BAB I MEMAHAMI MEDIA DAN PILIHAN POLITIK ANAK MUDA A. Latar Belakang Studi tentang perilaku memilih dalam pemilihan umum di Indonesia beberapa waktu ini semakin banyak bermunculan. Hal ini sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Orde Baru. Namun baru gencar memasuki Pemilu 1999 hingga sekarang. Pemilu 1999 menjadi salah satu gerbang bagi bermunculannya studi tentang perilaku memilih di era reformasi. Apalagi pada tahun 2005 dimulai dilakukan pemilihan kepada daerah secara langsung. Hal ini semakin meningkatkan minat studi mengenai perilaku memilih. Namun hampir semua studi mengenai perilaku memilih mempunyai kesamaan obyek yang diteliti yaitu masyarakat secara umum, hanya saja dibedakan oleh lokasi atau daerah penelitian. Salah satu kelemahan studi tentang perilaku memilih saat ini adalah tidak adanya fokus yang spesifik terhadap obyek yang dikaji. Masyarakat bukanlah sebuah entitas tunggal yang monolitik. Namun di dalam masyarakat terdapat kompleksitas tersendiri yang menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Salah satu kompleksitas yang ada di dalam masyarakat dan menarik dikaji dalam studi perilaku memilih adalah perilaku memilih pemilih pemula. Pemilu Presiden 2014 telah usai dan menjadikan Joko Widodo-M. Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 536/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014, pasangan Jokowi-JK meraih suara 70.997.833 atau 53,15% dari total suara sah. Sedangkan pasangan PrabowoHatta mendapatkan suara 62.576.444 atau 46,85% dari total suara sah.1 Dibalik suksesnya penyelenggaraan Pemilu Presiden 2014, ada hal yang menarik perhatian. Yaitu maraknya kampanye negatif dan hitam (smear
1
Diakses dari http://www.kpu.go.id/koleksigambar/SK_KPU_536_2272014.pdf tanggal 25 Desember 2014
4
campaign) yang masif. Kampanye hitam ini baru pertama kali terjadi dalam skala yang belum pernah ada di Pemilu Presiden sebelumnya.2 Bahkan kampanye hitam ini juga merembet pada pemberitaan di media massa. Media massa bukan sekedar menjadi sarana, melainkan juga arena pertarungan para kandidat Presiden 2014. Peran media dalam panggung politik kontemporer semakin tak tergantikan. Fenomena yang muncul, media telah menjadi perpanjangan tangan dari aktor-aktor politik yang bermain. Perannya melampaui apa yang bisa dikerjakan oleh partai politik melalui cara-cara konvensional. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana elite-elite politik mengeluarkan wacana dan gagasan-gagasannya melalui media. Pada tahap tertentu, media sendiri juga telah menjelma menjadi aktor politik.3 Pasca reformasi, dinamika politik di Indonesia memperlihatkan bahwa tidak ada alat yang mampu menjangkau kemudian menumbuhkan afeksi memilih konstituen pada partai atau seorang tokoh, melebihi apa yang bisa dilakukan oleh media massa.4 Media massa memiliki tingkat efektivitas dan efisiensi tertinggi dalam menjangkau warga. Hasil Survei The Asia Foundation tahun 2004 menyebutkan bahwa lebih dari 90% masyarakat menggunakan media sebagai sumber informasi pemilihan umum.5
2
Jonas Fredryc Tobing, Prabowo, Kampanye Hitam dan Konsutan Presiden Amerika. Diakses dari http://www.merdeka.com/politik/prabowo-kampanye-hitam-dan-konsultan-presidenamerika.html tanggal 25 Desember 2014 3 Aghnia Adzkia. Media sebagai Aktor Politik. Diakses dari http://pindai.org/2014/12/03/mediasebagai-aktor-politik/ tanggal 16 Desember 2014 4 Mujani, Saiful. William Liddle, Kuskridho Ambardi. 2012. Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perliaku Pemilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru. Mizan: Bandung 5 Tim LSPP. 2005. Media Sadar Publik: Media Lokal Mewartakan Korupsi dan Pelayanan Publik. Jakarta: LSPP dan Open Society. Hal 2
5
Tingginya tingkat penetrasi media di Indonesia sebagai sumber berita politik menimbulkan kekhawatiran terhadap asupan informasi politik yang diterima oleh publik.6 Dalam masa kampanye, informasi politik menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam menentukan kualitas demokrasi. Kondisi demokrasi yang mensyaratkan setiap warga berpikir dan bertindak rasional dalam melakukan tindakan politisnya. Oleh karena itu, asupan informasi menjadi semacam basis preferensi dan agregasi dalam bersikap yang nantinya akan mewujud dalam tindakan.7 Jika ditelusuri lebih jauh, rentang umur yang paling banyak bersentuhan dengan media adalah pemuda.8 Dalam sehari, anak-anak muda bersentuhan dengan media sekitar 4-6 jam baik itu menonton televisi, mendengarkan radio, maupun berselancar di internet.9 Pada umunya pemuda dikuantifikasikan dalam rentang umur 16-30 tahun, sesuai UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Namun demikian, mendefinisikan pemuda tidak bisa serta merta berdasarkan umur saja. Mendefinisikan pemuda harus berdasarkan konstruksi sosial, ekonomi, dan politik yang membentuk seseorang untuk disebuat sebagai pemuda.10 Oleh karena itu, sikap pemuda atau preferensi yang dimiliki dalam bertindak dapat dikatakan masih labil. Padahal piramida penduduk Indonesia tahun 2010 menunjukkan
6
Arif Akbar Jatmika Putra. Media dan Pilihan Politik Anak Muda. Diakses dari http://pindai.org/2014/11/03/media-dan-pilihan-politik-anak-muda/ tanggal 16 Desember 2014 7 Niemi, Richard G dan Herberf F. Weisberg. 2001. Controversies in Voting Behavior. CQ Press: Washington, DC 8 Osgorby, Bill. 2004. Youth Media. Routledge: London. Hal 5-7 9 Ibid Arif 10 Allen. 1968. Some Theoretical Problems in the Study of Youth. Sociological Review, 16 (3): 319-331
6
bahwa sebagian besar penduduk berada pada kelompok usia muda. Hal ini menunjukkan bahwa potensi untuk meraih suara pemuda amatlah besar. Selain karena jumlahnya yang banyak, juga karena sikap atau pilihan politiknya yang belum solid. Pada Pemilu 2004, jumlah pemilih pemula sekitar 27 juta dari 147 juta pemilih. Pada Pemilu 2009 sekitar 36 juta pemilih dari 171 juta pemilih. Data BPS tahun 2010 menyebutkan jumlah penduduk usia 15-19 tahun berjumlah 20.871.086 orang dan usia 20-24 tahun berjumlah 19.878.417 orang. Dengan demikian, jumlah pemilih muda sebanyak 40.749.503 orang. Sesuai dengan piramida penduduk Indonesia tahun 2010 yang memiliki tipe ekspansif, yaitu sebagian besar penduduk berada pada kelompok umur muda.11 Dalam pemilu, jumlah itu sangat besar dan bisa menentukan kemenangan partai politik atau kandidat tertentu yang berkompetisi dalam pemilihan umum. Secara psikologis, pemilih pemula memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang tua pada umumnya. Pemilih pemula cenderung kritis, mandiri, independen, anti status quo atau tidak puas dengan kemapanan, pro perubahan dan sebagainya. Karakteristik itu cukup kondusif untuk membangun komunitas pemilih cerdas dalam pemilu yakni pemilih yang memiliki pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya. Namun di sisi lain, pemilih pemula memiliki kekurangan yaitu belum mempunyai pengalaman memilih dalam Pemilu. Karena belum punya pengalaman memilih dalam pemilu, pada umumnya banyak dari kalangan mereka yang belum mengetahui berbagai hal yang terkait dengan
11
BPS. 2014. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. BPS. Edisi 45. Hal 37
7
pemilihan umum. Hal ini bisa dikatakan bahwa karakter pemilih pemula ini masih labil dan belum solid. Data terakhir Komisi Pemilihan Umum, jumlah pemilih pemula yang baru akan menggunakan hak pilih untuk pertama kali dalam Pemilu Presiden 2014 mencapai 11 persen dari jumlah total Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang mencapai 190.307.134 orang.12 Jumlah ini memang tidak sebanyak dengan data pemilih muda dari Badan Pusat Statistik tahun 2010 yang mencapai 40 juta. Namun hal ini tetap menunjukkan bahwa potensi untuk mengumpulkan suara pemilih pemula amatlah besar. Berdasarkan rentang usia yang dimiliknya, pemilih pemula yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu masih duduk di bangku sekolah (SMA/sederajat) maupun di bangku kuliah (mahasiswa). Selain masih tinggal bersama orang tuanya, ada juga pemilih pemula yang sudah hidup merantau dengan tinggal di rumah indekos maupun di sebuah asrama mahasiswa. Menjadi menarik ketika pemilih pemula yang baru akan pertama kali menggunakan hak pilihnya, tinggal bersama dalam sebuah asrama mahasiswa yang begitu lekat dengan kesan homogen. Berangkat dari latar belakang tersebut, menjadi penting untuk mengetahui pengaruh pemberitaan negatif (kampanye hitam) seputar Pemilu Presiden 2014 terhadap preferensi sikap politik pemilih pemula yang tinggal di asrama mahasiswa. Secara lebih spesifik, penelitian ini akan menyoroti hal tersebut di Asrama PPSDMS Nurul Fikri Yogyakarta. 12
Alina Mahamel, 2014, Pilpres 2014 di Mata Pemilih Muda diakses dari http://www.voaindonesia.com/content/pilpres-2014-di-mata-pemilih-muda/1954006.html tanggal 23 Desember 2014
8
B. Rumusan Masalah Adakah pengaruh pemberitaan negatif (kampanye hitam) seputar Pemilu Presiden 2014 terhadap pilihan politik anak Asrama PPSDMS (Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis) Nurul Fikri Yogyakarta?
C. Hipotesis Terdapat pengaruh pemberitaan negatif (kampanye hitam) seputar Pemilu Presiden 2014 terhadap pilihan politik anak Asrama PPSDMS Nurul Fikri Yogyakarta. D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: Mengetahui pengaruh pemberitaan negatif (kampanye hitam) seputar Pemilu Presiden 2014 terhadap pilihan politik anak Asrama PPSDMS Nurul Fikri Yogyakarta.
E. Landasan Teori E.1. Media dalam Pemilu Media dalam dunia politik sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Brian McNair dalam bukunya An Introduction to Political Communication (2003:21) mencatat ada lima peran ideal media
dalam
mewujudkan
kehidupan
demokratis.
Pertama,
untuk
menginformasikan apa yang sedang terjadi (surveillance). Kedua, untuk 9
mengedukasi masyarakat ihwal fakta yang ditemukan di lapangan. Objektifitas jurnalis sebagai edukator sangat ditekankan oleh McNair. Soal fungsi untuk mendidik dan membentuk diskursus, John Allen Hendricks dan Robert E Denton sepakat dengan McNair. Menurut Hendricks dan Denton, media berperan membentuk, mengumpulkan, dan menyebarkan informasi agar masyarakat memahami isu politik dan memiliki keterikatan dengan politik.13 Peran media yang ketiga ialah menjadi wadah diskursus yang kemudian dapat mempengaruhi opini publik. Media menjadi peracik agenda politik untuk memberikan informasi dan memilah isu. Pada peran ini, media memiliki kemampuan yang besar dari yang bisa dilakukan seorang politikus dalam membentuk wacana publik. Keempat, media berperan sebagai pemantau pemerintah (watch dog). Dalam konteks ini, media memiliki peran untuk mengkritik pemerintah. Kelima, media berperan untuk mengadvokasi beberapa pandangan politik (persuasion). Artinya, media digunakan partai politik sebagai kanal untuk menyampaikan sudut pandangnya.
E.2. Konsep Dasar Perilaku Memilih Perilaku diartikan sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan
atau
lingkungan.14
Menurut
Sastroatmodjo
perilaku
adalah
13
John Allen Hendricks dan Robert E-Denton (eds), 2010. Communicator in-Chief: How Barack Obama Used Media Technology to Win Tje White House. Lanham: Rowman&Littlefield Publisher, Inc. Hal.2 14 Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka hal.859.
10
keseluruhan tingkah laku politik para aktor politik dan warga negara yang dalam manifestasi konkretnya telah saling memiliki hubungan dengan kultur politik itu.15 Menurut Riswanda Imawan, tingkah laku memilih dari seseorang dapat dideteksi dengan dua konsep16. Pertama, disebut political involvement yaitu perasaan penting atau tidak untuk terlibat ke dalam isu-isu politik yang bersifat umum (general). Kedua disebut party identification, yakni preferensi perasaan suka atau tidak suka dari seseorang terhadap satu partai atau kelompok politik tertentu. Ada tiga pendekatan besar untuk menerangkan tingkah laku politik. Yaitu sosiologi, psikologi, dan rational choice. Pendekatan sosiologis menekankan pentingnya beberapa hal yang berkaitan dengan instrumen kemasyarakatan seseorang seperti, (i) status sosioekonomi (seperti pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, dan kelas), (ii) agama, (iii) etnik, bahkan (iv) wilayah tempat tinggal (misalnya kota, desa, pesisir, ataupun pedalaman). Beberapa hal ini menurut sarjana yang mengusungnya, Lipset (1960), Lazarsfeld (1968), mempunyai kaitan kuat dengan perilaku pemilih. Penelitian mengenai perilaku ini dicetuskan oleh sarjana-sarjana ilmu politik dari University of Columbia (Columbia’s School) yang mengkaji perilaku pemilih pada waktu pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) tahun 1940. Mereka mendapati pola yang mempunyai kaitan erat dengan aspek-aspek tadi. Misalnya, dari segi kelas. Kelas bawah dan kelas menengah di AS 15
Sudijono Sastroatmodjo. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press. Hal.56-57. Riswanda Imawan. 1993. Analisis Hasil Pemilihan Umum 1992 di Indonesia. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Universitas Gadjah MAda. Hal.11-12. 16
11
berkecenderungan mendukung Partai Demokrat. Sementara kelas atas menyokong Partai Republik (Lipset 1960:305). Demikian pula halnya jika dilihat dari aspek agama, penganut agama Kristen Protestan di AS cenderung memilih Partai Republik dibandingkan dengan mereka yang memeluk agama Katolik (Lazarsfeld 1968:21-22). Pendekatan
kedua
disebut
dengan
pendekatan
psikologis,
yang
dikembangkan beberapa sarjana, Campbell et. al. (1960), Jaros & Grant (1974), Rose & McAllister (1990) dan lainnya, dari Michigan University di bawah The Michigan Survey Research Centre. Pendekatan ini (disebut juga Michigan’s School) menerangkan bahwa perilaku pemilih sangat bergantung pada sosialisasi politik lingkungan yang menyelimuti diri pemilih. Identifikasi kepartaian (party identification) adalah wujud dari sosialisasi politik tersebut, yang bisa dibina orang tua, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya. Sosialisasi ini berkenaan dengan nilai dan norma yang diturunkan orang tua, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya sebagai bentuk penurunan dan penanaman kepada generasi baru. Oleh karena itu, pilihan seorang anak yang telah melalui tahap sosialisasi politik ini tidak jarang memilih partai yang sama dengan pilihan orang tuanya. Bahkan, kecenderungan menguatnya keyakinan terhadap suatu partai akibat sosialisasi ini merupakan dampak daripadanya (Campbell et. al. 1960:163). Untuk kasus terhadap anak-anak, menurut Jaros dan Grant (1974:132), identifikasi kepartaian lebih banyak disebabkan pengimitasian sikap dan perilaku anak ke atas sikap dan perilaku orang tuanya. 12
Hal tersebut terjadi di Inggris, khususnya pada anak-anak kelas pekerja yang melakukan pengimitasian terhadap pilihan orang tua mereka (Rose & McAllister 1990). Untuk kasus di Indonesia, dalam pemilihan umum di era Orde Baru, kesetiaan anak para pegawai negeri sipil (PNS) dan tentara (ABRI) terhadap Golongan Karya (Golkar) tampak sangat jelas dibandingkan dengan anak-anak dari kelompok lainnya (Agustino 2003). Pendekatan ketiga, pendekatan pilihan rasional (rational choice) yang mengasumsikan bahwa pemilih pada dasarnya bertindak secara rasional ketika membuat pilihan dalam tempat pemungutan suara (TPS), tanpa mengira agama, jenis kelamin, kelas, latar belakang orang tua, dan macam sebagainya. Pendekatan ini dipelopori oleh Anthoni Down yang melihat orientasi pemilih dalam menentukan sikapnya dipengaruhi oleh dua hal, yakni orientasi isu dan kandidat (figur). Orientasi isu berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Sedangkan orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat (figur) tanpa mempedulikan label partainya. Disinilah pemilih menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan rasional17. “ work which starts with the assumption that citizen are rational and voter on the basis of calculation of which party most closely given them all the
17
As Rifai, Teori Dasar Pilkada dan Kekalahan Incumbent. 2009 http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=44793 diunduh pada Selasa, 9 Desember 2009 pukul 17.15
13
political information they need: they then act on the basis of their own self interesting.”18 Model ini ingin melihat perilaku pemilih sebagai produk kalkulasi untung rugi. Mayoritas pemilih biasanya selalu mempertimbangkan faktor untung rugi dalam menentukan pilihannya terhadap calon yang dipilih. Seorang pemilih rasional adalah pemilih yang menghitung untung rugi tindakannya dalam memilih calon. Pemilih memilih berdasarkan kesadaran sendiri dengan menimbangnimbang kelayakan calon. Pemilih dianggap telah memahami apa yang dipilihnya, mengapa ia memilih dan apa dampaknya bila ia memilih calon tersebut. Dalam pendekatan rational choice menentukan sebuah pilihan seorang individu tidak hanya tergantung pada ikatan sosial struktural ataupun tergantung pada preferensi terhadap sebuah partai melainkan lewat hasil penilaian dari warga yang cakap.19 Pendekatan ini menekankan pada individu memiliki kapasitas rasional untuk menentukan pilihannya. Pendekatan ini memandang individu dalam posisi yang independen dimana tidak terikat secara psikologis ataupun basis sosial budaya. Berdasarkan 3 pendekatan besar diatas, preferensi sikap anak Asrama PPSDMS Nurul Fikri Yogyakarta dalam penelitian ini diturunkan menjadi tiga aspek, yaitu: afeksi, kognisi, dan perilaku dari objek yang diteliti. Afeksi digunakan untuk mengukur kesukaan berdasarkan emosional. Kognisi untuk mengukur informasi yang sifatnya rasional yang berujung pada kepercayaan (belief). Dan perilaku untuk melihat rangkuman sikap menolak atau menerima
18
Ken Newton., Jan W. van Deth (2005). Foundations Comparative Politics, New York.: Cambridge University Press. 19 Dieter Roth. 2008. Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-Teori, dan Metode. Jakarta: FriedrichNaumann-Stifung fur die Frehit., hlm.48
14
terhadap pemberitaan Pemilu Presiden 2014 yang didasari pada akumulasi perilaku anak asrama mengkonsumsi media. Sedangkan untuk mengetahui jenis informasi politik yang diberikan pada anak asrama, penelitian ini menggunakan jenis informasi politik substansial dari Ramsden.20 Jenis informasi politik substansial ini diperlukan bagi pemilih untuk bisa mempertimbangkan pilihan dan sikap politiknya. Informasi politik ini dibagi menjadi 4 kategori. Yaitu isu kebijakan, profil, skema permainan kandidat, dan kegiatan kampanye. Media yang akan dilihat korelasinya dengan pilihan politik anak asrama adalah televisi, koran, dan portal dalam jaringan (online). Radio tidak digunakan, karena berdasarkan pre-test tidak lagi signifikan dan valid dalam menentukan perilaku pemilih. Anak asrama mengakses radio hanya untuk keperluan hiburan, bukan informasi.
20
Ramsden, Graham Philip. 1992. Local Press Coverage of The 1988 Iowa Caucus Campaign. The University of Iowa. (Thesis) Diakses dari http://media.proguest.com tanggal 10 September 2013
15
F. Definisi Konseptual F.1. Media Media adalah segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan. Kata media berasal dari kata latin, merupakan bentuk jamak dari kata “medium”. Secara harfiah kata tersebut mempunyai arti "perantara" atau "pengantar", yaitu perantara sumber pesan (a source) dengan penerima pesan (a receiver). Jadi, dalam pengertian yang lain, media adalah alat atau sarana yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak.
F.2. Perilaku Memilih Perilaku memilih dalam pengertian sederhananya adalah sebuah metode bagi sebuah kelompok dalam menentukan keputusan tentang apa yang harus dipilih atau ditinggalkan, dilakukan atau tidak. Keputusan tersebut lahir dari altenatif tindakan yang kemudian dipilih berdasarkan ekspresi terbanyak dari tiap individu yang terdapat dalam kelompok tersebut. Alternatif tindakan yang dipilih oleh mayoritas individu di dalam kelompok kemudian dijadikan sebuah keputusan bersama seluruh anggota kelompok. Sekuen perilaku memilih inilah yang kemudian diadopsi di dalam pemilihan umum sebagai sebuah mekanisme sirkulasi elit dalam tatanan demokrasi. Dan dalam bingkai pemilu memunculkan beragam teori perihal latar belakang dan motif seseorang menjatuhkan sebuah pilihan.
16
G. Definisi Operasional G.1. Media Dalam penelitian ini media dioperasionalkan melalui: televisi, internet, dan surat kabar.
G.2. Perilaku Memilih Dalam penelitian ini, preferensi sikap anak Asrama PPSDMS Nurul Fikri Yogyakarta dioperasionalkan melalui tiga aspek, yaitu: afeksi, kognisi, dan perilaku dari objek yang diteliti.
H. Metode Penelitian H.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif, yaitu jenis penelitian yang menggunakan rancangan penelitian berdasarkan prosedur statistik atau dengan cara lain dari kuantifikasi untuk mengukur variable penelitiannya. Dan jenis metode yang digunakan adalah metode survei yaitu penelitian yang dilakukan pada populasi besar atau kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sample yang diambil dari populasi sehingga ditemukan keterkaitan antara variabel-variabelnya. Berdasarkan atas sifat-sifat masalahnya, jenis penelitian dapat digolongkan sebagai penelitian historis, deskriptif, perkembangan, kasus dan penelitian lapangan,
korelasional,
kausal
komparatif,
eksperimental
sungguhan,
eksperimental semu, dan tindakan. Dan jenis penelitian dalam hal ini adalah 17
penelitian korelasional (correlational research) karena ingin meyelidiki sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi.21 Oleh karena itu untuk melihat kasus ini, metode survei adalah metode yang paling tepat.
H.2. Populasi Populasi di sini bisa mengacu pada konseptualisasi dari Saifuddin Azwar, dikatakan bahwa populasi didefinisikan sebagai kelompok subyek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian. Kelompok subyek ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik bersama yang membedakannya dengan subyek yang lain22. Populasi penelitian ini adalah anak Asrama PPSDMS Nurul Fikri Yogyakarta.
H.3. Sampel Sampel merupakan perwakilan dari populasi atau Herbert dan Bruce mengatakannya sebagai a representative group23 yang paling tidak dapat mewakili karakter-karakter atau ciri-ciri dari populasi. Sampel berjumlah 60 responden anak Asrama PPSDMS Nurul Fikri Yogyakarta.
H.4. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan metode kuesioner (angket). Metode kuesioner adalah suatu daftar yang berisikan 21
Lihat Metodologi Penelitian oleh Drs. Cholid Narbuko dan Drs. H. Abu Achmadi. Diterbitkan oleh BUMI AKSARA. Jakarta. 1997. 22 Azwar, Saifuddin.2005. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Halaman : 77 23 Weisberg, Herbert F and Bowen Bruce D. 1977. Survey Research and Data Analysis (AnIntoduction). W.H. Freeman and Company. San Francisco of United States of America. Page 3
18
rangkaian pertanyaan mengenai sesuatu masalah atau bidang yang akan diteliti. Untuk memperoleh data, angket disebarkan kepada responden. Tujuan dilakukan angket atau kuesioner adalah memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian dan memperoleh informasi mengenai suatu masalah secara serentak. Mengenai prosedurnya, angket tersebut diberikan secara langsung kepada responden untuk dijawab.24 Pengumpulan data dilakukan dari tanggal 17-24 Desember 2014.
H.5. Analisis Data Data yang berhasil dihimpun selanjutnya diolah dalam kerangka kerja statistik melalui program SPSS. Selanjutnya hasil olahan data akan dikeluarkan dalam dua bentuk tabulasi pokok sebagai entry point analisis, yaitu tabulasi cross tabulation atau sering disingkat crosstab dan tabulasi correlation. Tabulasi crosstab dilakukan untuk mencari irisan dari dua hal yang dibenturkan sehingga akan memunculkan angka yang mempunyai irisan dari kedua hal tersebut. Sedangkan dalam tabel korelasi akan menggunakan uji Pearson atau Pearson Correlation atau dapat juga disebut Korelasi Moment Product25 untuk mengetahui tingkat hubungan yang terjadi antar kedua variabel (dependent dan independent). Sedangkan tingkatan tersebut mempunyai formula bahwa korelasi diukur dengan suatu koefisien (r) yang mengindikasikan seberapa banyak relasi antar dua variabel. Daerah nilai yang mungkin adalah +1.00 sampai -1.00. Dengan +1.00 menyatakan hubungan yang sangat erat, sedangkan -1.00 menyatakan hubungan 24 25
Ibid. Disebutkan oleh W. Gulo dalam Metodologi Penelitian., hlm. 181
19
negatif yang erat26. Berikut tampilan panduan untuk melihat nilai atau derajat korelasi tersebut, untuk (+) atau (-) : 0.80 sampai 1.00
Berarti
Korelasi sangat tinggi
0.60 sampai 0.79
Berarti
Korelasi tinggi
0.40 sampai 0.59
Berarti
Korelasi moderat
0.20 sampai 0.39
Berarti
Korelasi rendah
0.01 samapi 0.19
Berarti
Korelasi sangat rendah
Hal yang perlu diperhatikan dalam melihat tabulasi korelasi yaitu tabel tersebut tidak hendak mengatakan sebuah mekanisme hubungan sebab-akibat, tetapi hanya sampai pada menjawab adakah hubungan antarvariabel. Dan kalaupun ada, sejauh mana hubungan itu dapat terjadi dengan menggunakan acuan nilai korelasi sebagaiman penjabaran diatas.
I. Sistematika Penulisan Penulisan hasil penelitian ini dibagi ke dalam empat bab. Bab pertama merupakan bab yang memuat latar belakang, rumusan masalah, hipotesis, tujuan penulisan, landasan teori, dan metode penelitian. Bab kedua berisi tentang profil Asrama PPSDMS Nurul Fikri Yogyakarta. Bab ketiga berisi tentang analisis data dan pembahasan. Bab keempat akan diisi dengan kesimpulan penelitian.
26
Menurut Tedi Heriyanto dalam Aplikasi Statistika dalam Penelitian Kuantitatif.
20