BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Eksistensi iklan dan perempuan sebagai media komunikasi pemasaran suatu produk dan kegiatan memang tidak bisa terelakkan lagi peran simbiosis mutualisme dari keduanya tersebut bagi beberapa pihak tertentu, baik itu untuk kepentingan sosial, ekonomi, politik, dan psikologis. Ditambah lagi ketika keduanya dikolaborasikan menjadi satu kesatuan, yakni perempuan dalam iklan, yang mana sebuah iklan menggunakan perempuan sebagai medium penunjang proses komunikasi pemasaran mereka terhadap produk tertentu yang akan mereka jual ke hadapan audiens mereka, baik anak-anak, anak muda, pria dan perempuan dewasa, dan orang tua. Sehingga, dalam hal ini, iklan mampu menjadi salah satu daya tarik yang cukup kuat untuk menarik daya beli audiens terhadap produk tertentu karena keberadaan perempuan dan peran perempuan yang ada di dalam iklan tersebut. Namun, keberadaan perempuan dalam sebuah iklan, rupanya, tidak lagi hanya sekedar menghadirkan daya tarik audiens untuk membeli sebuah produk tertentu yang dijual oleh iklan tersebut, melainkan juga menghadirkan daya tarik lain dari audiens tersebut setelah menyaksikan iklan yang dibintangi oleh perempuan tersebut. Sehingga, iklan yang dibintangi oleh perempuan tidak lagi menyampaikan pesan satu arah, melainkan juga pesan dua arah, yang mana pesan dua arah ini melahirkan perspektif multitafsir dalam pesan yang akan disasar ke arah
1
audiens mereka tersebut1. Salah satu contoh peran perempuan dalam iklan yang menghasilkan pesan multitafsir dalam iklan tersebut, antara lain iklan cetak American Apparel yang memasarkan produk pakaian dan celana panjang untuk perempuan dan pria berbasis unisex, yang mana pakaian dan celana panjang tersebut multi wearing, yakni bisa dipakai oleh siapapun, baik pakaian pria bisa digunakan oleh perempuan dan pakaian perempuan bisa digunakan pula oleh pria2. Namun, iklan cetak American Apparel ini menimbulkan beberapa opini kontroversial, di samping American Apparel ingin menjual produk pakaian dan celana panjang unisex mereka, karena cara berbusana para model pria dan perempuan dalam katalog pakaian dan celana panjang American Apparel tersebut terdiskriminasikan, yang mana para model pria berbusana rapi dengan pakaian dan celana panjang yang mereka kenakan, sedangkan para model perempuan hanya menjadikan busana tersebut sebagai aksesoris belaka, yakni mengenakan kemeja namun tidak mengenakan celana panjang, bahkan hampir terlihat telanjang seluruh badan, dan begitu pula ketika mereka mengenakan celana panjang namun tidak mengenakan sehelai pakaian sedikit pun, separuh telanjang. Tidak jauh berbeda dengan problematika dalam iklan cetak American Apparel di atas, iklan televisi Beng-Beng “Unstoppable Enjoyment” juga mengalami hal yang serupa. Sebelumnya, iklan televisi yang dikeluarkan oleh Beng-Beng hanya mencitrakan sebuah kenikmatan
1
Jurnal Perempuan No. 48 Th. 2006: “Ilmu Pengetahuan + Perempuan = ...”, oleh Elli Nur Hayati.
2
Website Business Insider, 16 Mei 2013, American Apparel’s Unisex Ads Portray Men And Women Very Differently by Laura Stampler, Archived at 12:34 PM: http://www.businessinsider.com/american-apparels-unisex-ads-2013-5?IR=T&op=1
2
tiada akhir di setiap sensasi gigitan wafer cokelat Beng-Beng, ketika dikulum oleh indera pengecapan audiens mereka tersebut, dengan asosiasi menghilangkan rasa bosan dengan wafer cokelat Beng-Beng. Namun kini, iklan televisi Beng-Beng melakukan pendekatan kepada audiens mereka melalui asosiasi yang cukup berbeda, yakni perempuan dan citra materialisme perempuan di dalamnya. Dalam iklan televisi tersebut, wafer Beng-Beng menyisipkan perempuan dengan dua penampilan yang berbeda namun berkarakter sama melalui dua versi iklan televisi wafer Beng-Beng, yakni Cool Class Version dan Great Date Version. Inti pesan dari kedua macam iklan yang dikeluarkan oleh BengBeng
“Unstoppable
Enjoyment” tersebut,
pada
hakikatnya,
ingin
menyampaikan pesan bahwa wafer cokelat Beng-Beng dengan jenis ukuran apapun, yakni Regular dan Maxx, mampu mengusir rasa kesal, amarah, dan emosi dari para target konsumen mereka karena kenikmatan yang tiada akhir dari setiap gigitan wafer cokelat Beng-Beng tersebut. Namun, di lain sisi, iklan televisi Beng-Beng “Unstoppable Enjoyment” ini juga menimbulkan satu pesan menyimpang yang berbias kepada mayoritas karakter perempuan saat ini, yang mana pesan tersebut diterima oleh sebagian audiens mereka karena kemunculan karakter perempuan di dalam iklan tersebut yang, pada awalnya, hanya sebagai pemanis, kemudian berubah menjadi ‘aktris’ penting dan stopping point di mata para audiens mereka ketika menyaksikan iklan tersebut dengan karakter dari konsep materialisme dalam diri perempuan yang, pada dasarnya, sudah hadir sejak dulu namun semakin menjamur hingga saat ini dengan idealisme materialisme setiap perempuan yang
3
berbeda-beda3. Dalam hal ini, kemunculan pesan lain dalam iklan “Unstoppable Enjoyment” karena kedua sosok perempuan tersebut, kemudian, menjadi sebuah permasalahan yang cukup signifikan, dimana kehadiran kedua sosok perempuan tersebut melahirkan sebuah pesan baru yang memengaruhi nilai jual dan daya tarik tersendiri di dalam kedua macam versi iklan Beng-Beng “Unstoppable Enjoyment” tersebut. B. Rumusan Masalah Bagaimana konstruksi materialisme perempuan muda, saat ini, divisualisasikan oleh dua macam versi iklan televisi Beng-Beng “Unstoppable Enjoyment”, yakni Cool Class Version dan Great Date Version? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat lebih dalam mengenai proses konstruksi materialisme yang tertanam di dalam diri perempuan muda saat ini melalui dua macam versi iklan televisi Beng-Beng “Unstoppable Enjoyement”, yakni Cool Class Version dan Great Date Version. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui berbagai macam simbol materialisme dalam diri perempuan muda saat ini yang diperlihatkan, secara implisit, dalam dua macam versi iklan televisi Beng-
3
Jurnal Universitas Esa Unggul: “Perempuan dalam Iklan: Otonomi Atas Tubuh atau Komoditi?” oleh Dra. Sarah Santi, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Esa Unggul.
4
Beng “Unstoppable Enjoyement”, yakni Cool Class Version dan Great Date Version. E. Kerangka Pemikiran a. Iklan Televisi Sebagai Medium Komunikasi Pemasaran dan Pesan “One picture worth a thousand words? You gave me 1000 words and I’ll take The Lords Prayer, the twenty third psaim, the hippocratic oath, a sonnet by Shakespeare, the preamble to the constitution, Lincoln’s Gettysburg address, and I’d still have enough words left over for just about all of the Boy Scout oath. And I wouldn’t trade you for any picture on earth”4 Demikian, pidato yang dikemukakan oleh Dallas Williams pada saat radio masih berjaya dan dielu-elukan sebagai media komunikasi audio terpercaya di masa keemasannya tersebut, yakni pada tahun 1920 hingga akhir tahun 1949. Hingga akhirnya, muncul media komunikasi audio visual termutakhir dengan segala macam kelebihannya dalam melukiskan wujud nyata sebuah benda, lengkap dengan suara, teks, dan warna, di sekitaran tahun 1950-19595 hingga saat ini, yakni televisi, yang mana kemunculan media komunikasi audio visual ini kemudian menenggelamkan radio, sebagai satu-satunya media komunikasi terpercaya di masanya tersebut, dan menampikkan pernyataan Dallas, dalam 4
Pidato yang dikemukakan oleh Dallas Williams sebelum disiarkan oleh Southern Broadcasting Association di ABC Radio Station (Courtesy: American Broadcasting Company, Owned by Radio Station Division). 5
Kirkpatrick, C.A, and James E. Littlefield, 1970, Advertising: Mass Communication in Marketing, India: Vakil and Sons Private Ltd. (Television and Radio I, pg. 251).
5
pidato sebelumnya, bahwa ribuan kata tidak bisa ditafsirkan hanya dengan satu gambar saja. Tentu saja, dengan adanya televisi, satu gambar bisa menafsirkan ribuan kata dengan jutaan makna sekaligus walaupun hanya dalam hitungan detik. Untuk itu, iklan televisi kemudian dikembangkan dengan kelebihan visualnya karena, apabila kita hanya menggunakan audio saja, produk tidak akan dapat diperjualbelikan, secara maksimal, di hadapan konsumen. Belum lagi, di era persaingan dagang yang cukup ketat saat ini, sebagian besar konsumen lebih memercayai keberadaan dan kegunaan sebuah produk melalui bentuk visualnya dibandingkan dengan bentuk audionya karena visualisasi dari sebuah produk lebih memiliki daya tarik yang cukup menjanjikan dengan medium pesan melalui teks, warna, gambar, bintang iklan, wujud produk, dan suara yang lebih memanjakan mata atau biasa disebut dengan consumer gaze6 sehingga pesan yang disampaikan melalui iklan televisi dengan medium tersebut dapat diterima oleh konsumen dengan cepat dan konsumen, tidak dengan basa-basi lagi, langsung mengonsumsi produk yang dipromosikan melalui iklan televisi tersebut. Inilah yang kemudian membuat iklan televisi memiliki nilai tambah tersendiri dalam medium komunikasi pemasaran dan medium komunikasi pesan handal saat ini.
6
Consumer gaze: daya tarik mata konsumen terhadap suatu barang dan jasa yang ditaruh di hadapannya.
6
b. Value Ganda Perempuan dalam Iklan Televisi Keberadaan perempuan dalam iklan televisi menjadi sebuah perdebatan yang tidak pernah henti ketika perempuan ditampilkan dalam bentuk beberapa simbol untuk menciptakan citra tertentu sebuah produk. Hal ini bisa dilihat dari citra perempuan dan tampilannya secara fisik untuk menonjolkan kenikmatan sebuah produk perusahaan minuman, kelincahan dan keanggunan sebuah produk perusahaan mobil keluaran terbaru, kemewahan sebuah produk perusahaan berlian terbaru, dan produk-produk lainnya yang menggunakan perempuan sebagai citra produk tersebut. Dari sudut pandang sebagian besar praktisi periklanan, keberadaan perempuan dalam iklan merupakan satu hal yang tidak bisa terhindarkan. Sementara itu, dari sudut pandang beberapa masyarakat, penikmat iklan televisi, dengan perempuan di
dalamnya,
perempuan
hanya
dijadikan
sebagai
bahan
eksploitasi dini dengan diperlihatkannya lekuk tubuh mereka dalam iklan televisi akhir-akhir ini. Melalui ekonomi politik tubuh, tanda, dan hasrat, ekonomi kapitalis menjadikan tubuh perempuan hanya potongan-potongan tanda yang satu per satu menjadi komoditas melalui adanya iklan televisi. Meski demikian, tidak sedikit perempuan, yang terlibat di dalam iklan televisi tersebut, justru berpendapat bahwa peran serta mereka dengan menonjolkan keindahan bagian-bagian tubuh mereka tersebut merupakan sebuah pilihan yang otonom
7
atas diri dan tubuh mereka sendiri sehingga tidak ada unsur paksaan di dalamnya yang kemudian membuat sebagian besar penikmat iklan televisi dengan adanya mereka di dalam iklan televisi tersebut berkicau sekenanya mengenai eksploitasi tubuh mereka di dalam iklan televisi tersebut. Bicara perempuan dalam iklan televisi tersebut, berikut tiga posisi perempuan di dalam industri periklanan7 berdasarkan peranannya di dalam iklan televisi tersebut, yakni peran perempuan sebagai praktisi, peran perempuan sebeagai endorser atau bintang iklan, dan peran perempuan sebagai target pasar. Salah satu dari tiga posisi perempuan tersebut, yang paling mendominasi dalam sub pembahasan penelitian skripsi ini adalah titik peran perempuan sebagai endorser aau bintang iklan. Dalam peran perempuan sebagai endorser atau bintang iklan tersebut, perempuan digambarkan sebagai tokoh penting yang menaikkan nilai pasar dan menjual produk tersebut ke hadapan target konsumen dari produk tersebut melalui iklan Maka dari itu dalam hal ini, perempuan memiliki value ganda di dalam sebuah iklan televisi, yang mana perempuan memiliki beberapa peran ganda untuk menjual produk dan menarik target konsumen untuk mengonsumsi produk tersebut walaupun hal ini menarik perhatian pro dan kontra dari masyarakat yang sangat ketat mengritisi unsur feminisme di dalam sebuah iklan televisi, yang mana suara dan penampilan 7
Jurnal Universitas Esa Unggul: “Perempuan dalam Iklan: Otonomi Atas Tubuh atau Komoditi?” oleh Dra. Sarah Santi, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Esa Unggul.
8
perempuan sangat sensitif untuk dipertontonkan dan disajikan ke hadapan publik. c. Realitas dan Konstruksi Sosial Sebagai Unsur Penunjang Terpenting dalam Iklan Televisi “Advertising is not just a bussiness expenditure undertaken in the hope of moving some merchandise off the store shelves, but is rather an integral part of modern culture. Its creations appropriate and transform a vast range of symbols and ideas back through the networks of social interactions”8 Tidak hanya berbicara mengenai nilai jual dan nilai tambah perempuan di dalam sebuah iklan televisi, namun iklan televisi juga, secara implisit, memunculkan nilai-nilai sosial di dalamnya, yang mana nilai-nilai sosial tersebut sangat berpengaruh cukup kuat terhadap proses terbentuknya sebuah konstruksi sosial di lingkup kehidupan sosial masyarakat, baik target konsumen yang dituju oleh iklan televisi tersebut ataupun yang tidak dituju sebagai target konsumen iklan televisi tersebut, melalui realitas sosial yang diangkat di dalam iklan televisi itu sendiri. Nilai-nilai
sosial
tersebut,
secara
tidak
disadari,
dimunculkan sendiri oleh para bintang iklan yang membintangi iklan televisi tersebut. Tidak hanya melalui bintang iklan tersebut saja, melainkan juga melalui teks dan setting dimunculkan oleh iklan televisi tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadikan nilai sosial di dalam iklan televisi tersebut tidak hanya sekedar 8
Leiss, William, Stephen Kline, and Sut Jhally, Social Communication in Advertising: Persons, Products, and Images of Well-Being, New York: Methuen. (Chapt.1 Introduction, pg. 7)
9
dimunculkan, melainkan juga digunakan sebagai nilai jual dan daya tarik tersendiri agar para target konsumen dari iklan televisi tersebut berminat untuk mengonsumsi produk yang dijual oleh iklan televisi tersebut dan memberi gambaran kepada target konsumen mereka bahwa iklan televisi tersebut mencerminkan wujud sebenarnya dari sebagian target konsumen mereka tersebut sehingga iklan televisi tidak hanya menjual dan menarik namun juga memberi pesan dan mengandung unsur moral yang berkaitan dengan kondisi sosial terkini yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat luas di lingkup kehidupan sosial mereka akhir-akhir ini. d. Penyuguhan Materialisme dalam Diri Perempuan Melalui Media Massa Nilai-nilai
materialistis
memang
sudah
cukup
lama
mengikat masyarakat sedari dulu karena nilai-nilai tersebutlah yang melahirkan masyarakat-masyarakat kapitalis dan hedonis, dimana
masyarakat-masyarakat
tersebut
hanya
memikirkan
kebutuhan dan kesenangan semata di sepanjang hidup mereka di muka bumi ini. Bahkan hingga saat ini, unsur-unsur dari nilai-nilai materialistis tersebut masih melekat di dalam diri masyarakat dan hal inilah yang mendorong beberapa media massa untuk mengungkitnya kembali melalui medium-medium yang mereka miliki, salah satunya melalui music video clip dan iklan televisi yang saat ini sedang gencar-gencarnya diputar di beberapa
10
stasiun televisi dan lini new media, seperti Youtube, Vimeo, dan live streaming melalui beberapa medium new media. Contoh dari salah dua wujud kepedulian media massa terhadap munculnya kembali nilai-nilai materialistis tersebut, di antaranya: 1) Material Girl – Madonna (Music Video Clip) Video klip musik yang dikeluarkan oleh produser Madonna di era 80-an, yang mana, di dalam video clip ini, Madonna berperan sebagai perempuan cantik yang dikelilingi dan dimanjakan oleh sebagian besar pria di kehidupannya dengan pakaian mahal, aksesoris ternama, make up mahal, dan uang yang berlimpah. Dalam video clip ini, Madonna memperlihatkan keindahan, kebahagiaan, dan kesenangan perempuan di era 80-an ketika apapun yang dia inginkan terwujud semua ke dalam bentuk materi dan sosok pria-pria tampan berpakaian rapi di sekelilignya.
(sumber: www.youtube.com)
11
2) Telephone – Lady Gaga dan Beyonce (Music Video Clip) Lady Gaga dan Beyonce, salah dua penyanyi papan atas yang cukup spektakuler dan kontroversial di kancah musik internasional,
berhasil
membombardir
target
mereka
dengan video clip Telephone ini, yang mana, di dalam video clip ini, Lady Gaga dan Beyonce menyampaikan pesan eksplisit terhadap khalayak mereka mengenai perempuan di era 20-an dengan bentuk hiperbolis dari perempuan
materialistis
saat
ini.
Sisi
materialisme
perempuan kekinian yang diperlihatkan oleh mereka tersebut lebih kepada material-material mahal yang selama ini dikonsumsi oleh perempuan kekinian di cakupan wilayah internasional, seperti Diet Coke, tatanan rambut penuh dengan hair roll, cara berpakaian glamour, make up tebal di segala sisi agar terlihat menonjol, kaca mata bermerek mahal, aksesoris bertumpuk dengan warna keemasan, dan mobil mahal yang digunakan hanya untuk berkeliling kota sebentar agar terlihat istimewa di mata beberapa orang di sekitar mereka.
(sumber: www.youtube.com)
12
3) Price Tag – Jessie J (Music Video Clip) Pendatang baru dalam dunia tarik suara, Jessie J, berhasil mengguncang sebagian besar perempuan dan pria secara personal melalui liriknya dalam lagu Price Tag ini. Dengan suguhan video clip yang cukup sederhana di tahun 2013, Jessie J mampu menyindir sebagian besar perempuan kekinian yang di diri mereka selalu ditempelkan tekad, “Aku harus memiliki banyak barang mahal, kecantikan yang sempurna dengan selalu pergi ke salon, dan uang yang berlimpah”, dan video clip ini berhasil dibicarakan hangat melalui berbagai lini social media oleh sebagian besar kalangan anak muda, khususnya pelajar SMP, SMA, dan mahasiswa, yang mana lirik dari lagu tersebut dijadikan bahan untuk saling sindir satu teman ke teman lainnya,
lebih
tepatnya
sindir-menyindir
ke
teman
perempuan mereka, sehingga lagu ini banyak digandrungi oleh anak-anak muda tersebut. Dari klip video Price Tag ini, Jessie J mencoba untuk menyadarkan perempuanperempuan di era 21-an yang selalu membandingkan segala sesuatu hal dengan materi, harta, dan merek ternama yang disembah oleh mereka, layaknya Tuhan. Namun,
sangat
menggugah
disayangkan,
perasaan
para
video
clip
perempuan
ini
dan
tidak malah
melahirkan perempuan-perempuan sosialita dengan level kesombongan materi yang meningkat hingga saat ini.
13
(sumber: www.youtube.com)
Ketiga
music
video
clip
tersebut
mengambil
sisi
materialisme yang terdapat di dalam diri perempuan saat ini, yang mana perempuan hanya memikirkan kebutuhan materi untuk memperindah diri dan memikat banyak mata lelaki di lingkup sosial mereka. Pada hakikatnya, materialisme tidak hanya dijadikan image dari karakteristik perempuan dalam kurun waktu tahun ke tahun karena pria pun memiliki pola pikir materialistis yang cukup tinggi apabila kita berani mengambil image pria saat ini. Namun, media selalu menitikberatkan image perempuan dengan pola pikir materialistisnya sehingga tidak sedikit media massa yang berhasil memunculkan kembali sisi negatif materialisme di dalam diri perempuan, sedari dulu hingga saat ini, dan hal inilah yang, kemudian, melahirkan kembali proyeksi perempuan materialistis ke arah yang lebih tajam melalui beberapa media massa,
14
khususnya berkembang di dalam iklan televisi Indonesia saat ini, yang salah satunya melalui iklan televisi Wafer Beng-Beng “Unstoppable Enjoyment”. F. Kerangka Konsep a. Realitas Sosial dalam Proses Konstruksi Sosial 1) Konsep Realitas Sosial Menurut Berger dan Luckman (1990:1)9, realitas merupakan kesatuan bentuk dari beberapa fenomena yang terjadi di lingkup sosial kita sehingga realitas sosial merupakan
fenomena-fenomena
sosial
yang
sangat
berpengaruh besar terhadap keberlangsungan hajat kita selama hidup di lingkup sosial kita, baik dari fenomenafenomena sosial yang kita alami secara individu maupun dari pengalaman hidup sebagian orang di sekitar kita. 2) Konsep Konstruksi Sosial Konstruksi
sendiri
berasal
dari
istilah
constructivism, seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn10, yakni sebuah konsep yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam menafsirkan segala sesuatu yang ada di sekitar mereka melalui kategori-kategori konseptual yang ada di dalam pikiran mereka sehingga konstruksi lebih
9
Jurnal ASE – Volume 7 Nomor 2, Mei 2011: 1 – 4: “Konstruksi Sosial Dalam Realitas Sosial”, oleh Charles R. Ngangi. 10
Jurnal Studi Komunikasi dan Media – Vol. 16 No. 1, Januari-Juni 2012: “Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Koran Tempo Mengenai Kasus Ledakan Bom di Masjid Mapolres Cirebon”, oleh Karman, Calon Peneliti Studi Komunikasi dan Media BPPKI Jakarta Balitbang SDM Kemkominfo.
15
ditekankan kepada proses dari penafsiran tersebut, dimana bahasa dan perilaku yang digambarkan oleh para aktor di dalam kejadian-kejadian sosial tertentu sangat ditelaah oleh para penganut constructivism karena, bagi mereka, world of meaning merupakan sesuatu yang harus ditafsirkan
dan
sangat
berpengaruh
dalam
proses
pembentukan sebuah realitas sosial yang terjadi di dalam kehidupan
mereka
(Schwandt,
1994:
118).
Tanpa
konstruksi sosial, realitas tidak bisa terbentuk begitu saja. Demikian pula, dengan konstruksi sosial yang tidak bisa hidup tanpa realitas sosial di dalamnya. 3) Unsur-Unsur Konstruksi Sosial Dari kedua hubungan yang cukup erat antara realitas sosial dengan konstruksi sosial, Robyn Penman (Zen, 2004:50) merangkum asumsi-asumsi dari sudut pandang constructivism mengenai proses yang menjalin realitas sosial dan konstruksi sosial tersebut, yakni sebagai berikut: 1) Komunikator Sebagai Makhluk Pembuat Pilihan Ini tidak berarti setiap orang memiliki pilihan bebas. Lingkungan sosial memang membatasi apa yang dapat dan sudah dilakukan, tetapi, dalam kebanyakan situasi, ada elemen pilihan tertentu yang harus dibatasi keberadaannya.
16
2) Pengetahuan adalah Produk Sosial Pengetahuan
bukanlah
sesuatu
yang
ditemukan secara objektif, melainkan diturunkan dari interaksi yang terjadi di dalam kelompokkelompok sosial. 3) Pengetahuan Bersifat Kontekstual Pengertian kita terhadap peristiwa selalu merupakan produk interaksi pada tempat dan waktu tertentu serta pada lingkungan sosial tertentu sehingga menimbulkan perubahan yang cukup signifikan di dalam setiap prosesnya. 4) Pengetahuan Bersifat Sarat Nilai Apa yang kita amati dalam suatu penelitian atau apa yang kita jelaskan dalam suatu teori senantiasa
dipengaruhi
oleh
nilai-nilai
yang
tertanam di dalam pendekatan yang dipakai. Jadi, konsep konstruksi sosial merupakan suatu proses pembentukan pesan yang ditafsirkan dari realitas sosial atas fenomena-fenomena sosial tertentu, yang mana melahirkan pandangan, gambaran, dan pengaruh baru yang cukup besar nilainya di dalam kehidupan sosial kita sehari-sehari, baik dalam jangka waktu yang cukup panjang maupun jangka waktu yang sangat singkat.
17
b. Spesifikasi Nilai-Nilai Materialisme dalam Kehidupan Sosial 1) Konsep Materialisme “Ma·te·ri·al·is·me
/matérialisme/
n
pandangan
hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan sematamata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra” Dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia,
materialisme diartikan sebagai sesuatu yang bersifat kebendaan, yang mana sebuah harapan muncul bukan karena
atas
dasar
keinginan
maupun
kebutuhan,
melainkan hanya karena rasa ingin meningkatkan taraf hidup di mata masyarakat di sekitarnya. Sedangkan materialisme
dalam
diartikan
sudut
sebagai
pandang
paham
agama,
yang
hanya
bersandar pada materi (ma’dah) yang tidak meyakini apa yang ada di balik alam ghaib sehingga yang dijunjung tinggi bukanlah yang menciptakan alam semesta ini, melainkan sesuatu yang diciptakan oleh kekuatan alam semesta ini sendiri11. 2) Karakteristik Materialisme Dari
keempat
jenis
materialisme
yang
telah
dipaparkan sebelumnya, ditarik kesimpulan mengenai karakteristik materialisme yang begitu melekat di dalam diri 11
Website Muliadi Haneda, Mei 2012, Makalah Agama: Islam, The Key to Truth, Archived at 06:33 AM: http://muliadi-haneda.blogspot.com/2012/05/makalah-agama.html
18
kita, yakni mengejar kesenangan yang sia-sia12, yang mana kesenangan itu tidak akan pernah habis dikejar karena akan terus bertambah dan berkembang di dalam benak kita hanya untuk sesuatu yang bersifat tidak permanen di alam semesta ini. Jadi,
konsep
materialisme
dalam
kehidupan
sosial
merupakan segala sesuatu hal yang lahir dari dasar materi sehingga kita mengejar segala macam kepentingan, kebutuhan, dan keinginan hanya untuk memenuhi dan mencapai keberadaan materi semata, yang mana fenomena sosial ini menjadi salah satu cambukan yang cukup besar berpengaruh di dalam proses pembentukan
kehidupan
kita
di
lingkup
sosial
atau
kemasyarakatan kita, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. c. Spesifikasi
Perempuan
Muda
dan
Peranannya
dalam
Kehidupan Sosial 1) Konsep Perempuan “Pe.rem.pu.an: kaum --, kaum putri (dewasa);” Dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia,
perempuan didefiniskan sebagai kaum putri dewasa, yang mana sudah beranjak ke dalam tahap pubertas, berpola pikir lebih panjang, dan berpenampilan subur atau matang sehingga di umurnya tersebut sudah sangat wajar apabila
12
Website Marxists Indonesia, April 2007, Leon Trotsky (1939): ABC Dialektika Materialis, Archived at: https://www.marxists.org/indonesia/archive/trotsky/1939-ABC.htm
19
dinikahi oleh pria atau sudah berstatus sebagai seorang istri. Sedangkan, dalam Bahasa Jawa, perempuan diartikan sebagai per-‘empuan’, yang mana perempuan merupakan sesosok kaum putri dewasa yang memiliki keteguhan sendiri di dalam dirinya sehingga kaum putri tidak lagi dimiliki oleh orang lain namun dimiliki oleh dirinya sendiri. Untuk itu, perempuan lebih digambarkan sebagai sesosok putri yang tidak mudah dipengaruhi oleh orang di sekitarnya, kritis, mandiri, dan tidak takut beremansipasi demi kesetaraan hidupnya di lingkup kehidupan sosialnya. 2) Konsep Muda “Muda /mu.da/ a 1 belum sampai setengah umur: istrinya masih --; 2 belum sampai masak (tt buah-buahan); 3 belum cukup umur (tt tumbuhan, binatang); 4 belum sampai waktunya untuk dipetik (dituai dsb): buah nangka ini masih terlalu – untuk dipetik; 5 belum lama ada (berdiri dsb): organisasi kita ini masih – karena baru berusia dua tahun; 6 kurang gelap, agak pucat (tt warna): warnanya biru --; 7 yang kedua (menurut tingkat kedudukannya): istri --;”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, muda diartikan sebagai sesuatu yang belum berumur hingga setengah umur, belum matang, dan belum saatnya untuk
20
dipetik walaupun sudah bisa dijamah untuk dipanen dan dinikahi oleh pria di luar sana13. 3) Karakteristik Perempuan Muda Dari kedua definisi perempuan dan muda yang telah disinggung oleh KBBI sebelumnya, karakteristik perempuan muda dapat ditarik sebagai berikut: 1) Benar-benar berjenis kelamin perempuan (bukan transgender). 2) Berpola pikir dan berpenampilan dewasa. 3) Rentang umur 17-23 tahun. 4) Belum bekerja dan belum berpenghasilan (masih bergantung dengan penghasilan orang tua maupun kerabat lain)14. Jadi, perempuan muda dapat didefinisikan sebagai kaum putri dewasa yang memiliki pola pikir dan penampilan fisik ke dalam kategori dewasa namun masih berumur belia, yakni 17-23 tahun, dan belum memiliki pekerjaan tetap sehingga masih bergantung kepada orang yang ada di sekitar mereka, baik itu dari segi finansial maupun dari segi sosial.
13
Diambil dari pengamatan kecil saya (jangka waktu berkelanjutan) dalam pemberitaan selebritiselebriti perempuan muda di Indonesia melalui saluran televisi swasta TransTV (Program Hiburan “Insert”), GlobalTV (Program Hiburan “Selebrita Siang”), dan RCTI (Program Hiburan “Silet” dan “Intens”). 14
Diambil dari pengamatan kecil saya (jangka waktu berkelanjutan) dalam serial drama Indonesia (“Ganteng-Ganteng Serigala”, “Diam-Diam Suka”, “Kamu”, dan FTV Siang SCTV-Indosiar) dan kehidupan mahasiswi-mahasiswi perguruan tinggi swasta di sekitar Seturan-Babarsari, Yogyakarta.
21
d. Hubungan Konstruksi Sosial, Materialisme, dan Perempuan Muda dalam Iklan Televisi Perempuan dalam usia muda selalu ditandai dan mudah dikenal karakteristiknya dengan simbol materialisme di dalam diri mereka, yang mana kemudian kolaborasi dari keduanya ini mendorong beberapa iklan melalui wujud audio visual untuk mengangkat fenomena sosial yang muncul dari permukaan persepsi masyarakat tersebut. Iklan-iklan seperti ini yang kemudian muncul di beberapa saluran televisi tersebut pada akhirnya menimbulkan beberapa gejala munculnya realitas materialisme pada diri perempuan muda saat ini yang mana konstruksi makna sosial dari gejala sosial tersebut sangat memengaruhi keberlangsungan hajat hidup perempuan muda yang tidak semuanya terlihat seperti yang dibentuk oleh iklan televisi tersebut dan juga berpengaruh cukup besar terhadap pembentukan persepsi masyarakat yang juga penikmat iklan-iklan televisi tersebut perihal perempuan muda di benak mereka. Maka dari itu, ketiga konsep ini sangat berkesinambungan satu sama lain karena ketiga konsep tersebutlah yang mampu menjual iklan-iklan televisi tersebut sehingga produk di dalam iklan televisi tersebut lebih banyak dan mampu dikosumsi oleh para target konsumennya saat ini. Dan, para target konsumen masih buta dan tidak ada rasa ingin tahu terhadap proses konstruksi
22
materialisme
di
dalam
diri
perempuan
tersebut
sebelum
disuguhkan oleh pihak pengolah iklan televisi tersebut15. G. Metodologi Penelitian a. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode penelitian studi wacana, yang mana metode ini merujuk kepada penelitian
yang
mengupas
tuntas
fenomena-fenomena
sosial
kontroversial di diri obyek penelitian dan sekitar obyek penelitian yang mendukung
proses
pembentukan
fenomena-fenomena
sosial
kontroversial tersebut sehingga menghasilkan nilai-nilai baru yang sesungguhnya sudah ada sejak lama atau baru saja muncul di hadapan masyarakat, yang mana nilai-nilai baru tersebut, pada akhirnya, memiliki andil yang cukup besar dalam membentuk karakter dan kehidupan sosial masyarakatnya tersebut, baik dari aspek psikologis personal maupun psikologis eksternal, melalui mediamedia tertulis (text), bergambar (visual), dan bersuara (audio) yang, akhir-akhir ini, sering menjadi acuan utama masyarakat untuk mengakses informasi di dalamnya, baik informasi penting maupun informasi tidak penting sekalipun. b. Obyek Penelitian Penelitian ini berpusat kepada konten yang terdapat di dalam dua macam versi iklan televisi Beng-Beng “Unstoppable Enjoyment”, 15
Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik – Th. XIV No. 2, April 2001, 51-64: “Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik”, oleh Burhan Bungin, Dosen Pascasarjana Universitas Bhayangkara Surabaya.
23
yakni Cool Class Version dan Great Date Version, yang mana di dalam kedua macam iklan tersebut terdapat beberapa konten yang menjurus kepada penggambaran konstruksi materialisme dalam diri perempuan muda saat ini. Berikut unit obyek yang akan diteliti dari dua macam versi iklan televisi Beng-Beng “Unstoppable Enjoyment” tersebut: Tabel b.1. Perangkat Produk, Perusahaan, Agensi Iklan BengBeng
“Unstoppable Enjoyment” Uraian Iklan Televisi "Unstoppable Enjoyment" Produk:
Beng-Beng
Jenis Produk:
Wafer Cokelat
Company:
PT. Mayora Indah, Tbk.
Agensi Iklan:
Flowr Indonesia
Jenis Iklan:
TVC (Television Commercial)
Durasi Iklan:
30 detik
Tagline Iklan:
Unstoppable Enjoyment
Tema Iklan:
Cool Class dan Great Date
24
Tabel b.2. Perangkat Iklan dari Dua Tema Iklan “Unstoppable Enjoyment” yang Akan Diteliti Perangkat
No.
Tema
Durasi
Iklan
Tayang
Pendukung Deskripsi
Obyek yang Diteliti
Lainnya
a. Penampilan fisik talent siswi
Cool 1
b. Ekspresi wajah
a. Voice over
Siswi SMA cantik
talent siswi
dalam iklan
menerima
c. Properti ruang
pertemanan siswa
kelas sekolah
SMA berbadan
d. Checklist dalam
gendut dengan
iklan (font dan teks)
keringat bercucuran
e. Coloring tone
setelah diberi Wafer
dalam iklan
30 detik Class
b. Naskah iklan Beng-Beng
f. Sound effect dalam iklan g. Suasana di dalam ruang kelas
Mahasiswi cantik
a. Penampilan fisik
kecewa dengan
talent mahasiswi
pacarnya karena
b. Ekspresi wajah
tidak
talent mahasiswi
Great 2
a. Voice over 30 detik
Date
dalam iklan
membahagiakannya c. Properti rumah
25
dan seketika
talent mahasiswi
kecewanya berubah
d. Properti yang
menjadi bahagia
dibawa talent pria
ketika diberi Wafer
e. Checklist dalam
Beng-Beng oleh
iklan (font dan teks)
pacarnya
f. Coloring tone dalam iklan b. Naskah iklan g. Sound effect dalam iklan h. Suasana dalam iklan
c. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian : Yogyakarta Waktu penelitian : 1 Juni 2014-31 Oktober 2014. d. Teknik Pengumpulan Data Penelitian Data
dalam
penelitian
skripsi
ini
dikumpulkan
melalui
pengamatan intensif terhadap konten yang menjurus kepada simbolsimbol materialisme perempuan muda yang dibangun oleh dua macam versi iklan televisi Beng-Beng “Unstoppable Enjoyment”, yakni Cool Class Version dan Great Date Version.
26
e. Teknik Analisis Data Penelitian Perolehan data dalam penelitian skripsi ini akan dianalisis melalui analisis wacana kritis yang dikeluarkan oleh Foucault, yang mana analisis wacana kritis tersebut akan dipaparkan ke dalam tiga poin besar di bawah ini, sebagai berikut16: 1) Pengertian
Analisis
Wacana
Simberloucks
dan
Foucault Istilah wacana (E= discourse, L= discursus = running to and from atau I = diskursus) memiliki pengertian yang berragam tergantung pada konteks apa yang tengah digunakan untuk memperbincangkannya. Wacana juga mengandung pengertian yang berbeda-beda dalam bidang ilmu
yang
berbeda.
Stef
Slembrouck
secara
rinci
mengkategorisasikan paling tidak delapan pendekatan yang digunakan dalam membangun teori atau metode analisis wacana yang berkembang dalam kurun waktu sepuluh
tahun
terakhir
ini.
Pendekatan-pendekatan
tersebut di antaranya adalah pendekatan filosifis, linguistik, linguistik antropologi, cultural studies, postrukturalis, teori sosial,
sosiologi.
Jika
masing-masing
pendekatan
melahirkan lebih dari dua teori atau metode analisis, maka
16
Paper Seminar Metode Penelitian Berbasis Gender di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta 2009 oleh Widyastuti Purbani, Anggota peneliti PSW UNY, Dosen Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
27
dapat
dibayangkan
betapa
kompleksnya
pengertian
wacana dan analisis wacana. Secara
umum,
wacana
dimengerti
sebagai
pernyataan-pernyataan. Wikipedia mendefinisikan wacana sebagai perdebatan atau komunikasi tertulis maupun lisan. Masyarakat
umum
memahami
wacana
sebagai
perbincangan yang terjadi dalam masyarakat ihwal topik tertentu. Dalam ranah yang lebih ilmiah Michael Stubbs dalam Slemborouck5 menyatakan bahwa wacana memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: 1. Memberi perhatian terhadap penggunaan bahasa (language use, bukan language system) yang lebih besar daripada kalimat atau ujaran 2. Memberi perhatian pada hubungan antara bahasa dengan masyarakat 3. Memberi
perhatian
terhadap
perangkat
interaktif
dialogis dari komunikasi sehari-hari. Pemahaman wacana dalam analisis wacana ini kemudian mendapat pengaruh dari teori wacana Foucault sehingga analisis wacana yang juga berkembang sebagai suatu analisis yang melihat hal-hal yang meretas batas hal-hal yang tidak dilihat oleh analisis wacana biasa. Dalam wilayah ilmu sosial kemasyarakatan atau cultural studies, pemahaman tentang wacana mendapat pengaruh
28
sangat kuat dari Foucault. Dalam konteks ini wacana dimaknai sebagai berikut: “Wacana (discourse) adalah kumpulan ujaran atau tulisan dilihat dari segi kepercayaan dan nilai yang dikandungnya. Kepercayaan-kepercayaan tersebut membangun suatu cara pandang terhadap dunia, pengelolaan
atau
representasi
pengalaman-
pengalaman – yang kemudian sering disebut sebagai ideologi. Tata wacana yang berbeda akan menghasilkan
representasi
pengalaman
yang
berbeda pula.”17 Menurut Foucault wacana merupakan segenap pemikiran ataupun tulisan yang menggunakan bahasa yang sama untuk membicarakan suatu topik tertentu. Wacana
mencakup
memahaminya
dan
konsep
yang
digunakan
untuk
metode
yang
digunakan
untuk
memeriksanya. Wacana dapat ditemukan dalam praktik kehidupan sehari-hari tatkala sekelompok masyarakat berbicara
tentang
topik
tersebut,
misalnya
dalam
percakapan, wawancara, komentar, pidato, tulisan-tulisan, artikel,
pengumuman,
bagian
dari
buku,
dan
lain
sebagainya. Tetapi, wacana bukanlah sekadar koleksi pernyatan-pernyataan yang tidak dikemukakan secara terbuka, melainkan sekumpulan ujaran-ujaran, kalimat atau 17
Dikutip dari teks Roger Fowler dalam buku Discourse yang ditulis oleh Sara Mills. (London: Routledge, 2004).
29
pernyataan yang ada atau terjadi dan ditentukan oleh konteks sosial sebagai hal yang memberi sumbangan bagi keberlangsungan konteks soial tersebut. Dengan demikian lembaga dan konteks sosial memainkan peran yang penting sekaligus menentukan dalam perkembangan, pemeliharaan serta sirkulasi wacana. Studi Wacana Foucault memeriksa pernyataanpernyataan
yang
membangun
pengetahuan
tentang
sesuatu hal, misalnya kegilaan, tatanan yang menentukan apa yang bisa dikatakan atau dipikirkan tentang hal-hal tertentu, subjek yang biasa digunakan sebagai contoh dalam
wacana tersebut,
proses yang
dilalui untuk
mendapatkan otoritas atau kebenaran tentang hal tersebut, praktik-praktik yang dilakukan oleh lembaga tentang hal tersebut. 2) Pengertian Analisis Wacana Kritis Foucault Agenda utama analisis wacana kritis adalah mengungkap
bagaimana
kekuasaan,
dominasi
dan
ketidaksetaraan dipraktikkan, direproduksi atau dilawan oleh teks tertulis maupun perbincangan dalam konteks sosial dan politis. Dengan demikian, analisis wacana kritis mengambil posisi non-konformis atau melawan arus dominasi
dalam
30
kerangka
besar
untuk
melawan
ketidakadilan
sosial.
mengidentifikasi
Fairclough
karakteristik
dan
analisis
Wodak18
wacana
kritis,
sebagai berikut: 1. Memberi perhatian pada masalah-masalah sosial 2. Percaya bahwa relasi kekuasaan bersifat diskursif atau ada dalam wacana 3. Percaya bahwa wacana berperan dalam pembentukan masyarakat dan budaya 4. Percaya bahwa wacana berperan dalam membangun ideologi 5. Percaya bahwa wacana bersifat historis 6. Memediasikan hubungan antara teks dan masyarakat siosial 7. Bersifat interpretatif dan eksplanatif 8. Percaya bahwa wacana merupakan suatu bentuk aksi sosial. Sekalipun berangkat dari basis yang sama, yakni linguistik,
tetapi
karena
mendapat
pengaruh
dan
paradigma yang berbeda, Analisis Wacana Kritis memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dengan Analisis Wacana. Pengaruh yang kuat dari Foucault menjadikan analisis wacana kritis tertarik untuk melihat fenomena sosial, politik dan
kultural
yang
mengejawantah
dalam
bahasa.
Jorgensen and Phillips, menyebut bahwa analisis wacana 18
Norman Fairclough dan Ruth Wodak. 1997. 270
31
kritis adalah pendekatan konstruktivis sosial yang meyakini bahwa representasi dunia bersifat linguistis diskursif, makna bersifat historis dan pengetahuan diciptakan melalui interaksi sosial. Itulah mengapa analisis wacana kritis bersifat multidisiplin, dan persentuhannya dengan ilmu sosial, politik dan budaya tidak terelakkan. Dengan demikian, peneliti analisis wacana kritis dituntut untuk membuka diri terhadap prinsip-prinsip yang dikukuhi oleh disiplin ilmu yang lain. Dalam banyak literatur, analisis wacana kritis bahkan sering disebut sebagai metode analisa yang mempertemukan ilmu bahasa (linguistik dan susastra), sosial, politik dan budaya. 3) Tahapan-Tahapan
Analisis
Wacana
Kritis
Dalam
Penelitian Sosial Foucault Analisis wacana merupakan teori atau metode analisis yang banyak menggunakan teknik interpretasi. Pada tingkat lanjut interpretasi yang dilakukan mengacu pada model dekonstruksi yang dikembangkan Derrida, yakni model pembacaan yang yang dilakukan guna menunjukkan apa yang terkubur atau tersembunyi di balik ujaran. Karena bersifat interpretatif maka reliabilitas dan validitas analisis sering dipertanyakan. Tetapi reliablilitas dan validitas ini bisa dipertanggungjawabkan melalui logika dan rasional dari argumen-argumen yang dihasilkan. Dengan kata lain validitas penelitian tergantung pada
32
kualitas logika analisis serta kualitas retorik dari argumen yang digunakan peneliti dalam membahas data. Analisis wacana kritis juga bersifat eksplanatif atau menjelaskan bukan sekadar deskriptif, sehingga peneliti tidak boleh terjebak dalam analisis yang bersifat superficial atau kulitan. Antaki Et Al memerinci beberapa kelemahan metodologis
analisis
wacana
kritis
yang
sering
ditemukannya dalam laporan hasil penelitian atau tulisan dalam jurnal ilmiah. Di antara kelemahan-kelemahan metodologis tersebut adalah perancuan antara analisis wacana dengan peringkasan atau deskripsi wacana, minimnya penjelasan terhadap kutipan wawancara, dan keberpihakan dalam melakukan analisis. Wodak menyatakan bahwa analisis wacana kritis tidak sekadar metode atau metodologi melainkan juga teori produksi
dan
resepsi
teks.
Analisis
wacana
kritis
menekankan pada kejelasan data secara menyeluruh, sistematisasi, dan transparansi. Pembaca dapat melacak, secara detail, dari analisis tekstual yang mendalam seperti banyak diterapkan pada penelitian sosial. 4) Kegunaan Besar Analisis Wacana Kritis Foucault Dalam Sebuah Penelitian Sosial Analisis wacana kritis memiliki agenda untuk mengungkap politik yang tersembunyi dalam atau di balik wacana atau diskursus yang, secara sosial, dominan dalam masyarakat, misalnya dalam sistem kepercayaan,
33
agama, peraturan-peraturan adat dan interpretasi atau cara pandang masyarakat tentang dunia. Melalui analisis wacana kritis, peneliti berusaha mengungkap motivasi dan politik yang berada di balik argumen-argumen yang membela atau menentang suatu metode, pengetahuan, nilai, atau ajaran tertentu. Melalui upaya-upaya itu analisis wacana kritis berkeinginan untuk membangun informasi dan kesadaran yang lebih baik akan kualitas atau keterbatasan dari masing-masing metode, pengetahuan, nilai, atau ajaran tersebut. Percaturan
atau
aktivitas
yang
dilakukan
berdasarkan hasil pengungkapan tersebut diharapkan menjadi lebih bermutu karena lepas dari kekaburan atau pengelabuan. Analisis wacana kritis juga memiliki agenda untuk mengoreksi bias-bias yang terjadi akibat politisasi dan
mengikutsertakan
minoritas
yang
biasanya
tersingkirkan atau bahkan disingkirkan dari wacana. Analisis wacana kritis tidak berkehendak untuk melahirkan jawaban yang penuh kepastian. Melalui terbangunnya kesadaran
akan
kelemahan
serta
motivasi-motivasi
terselubung yang diungkap, analisis wacana kritis lebih tertarik untuk memperluas cakrawala pandang masyarakat yang selama itu menentukan, meninabobokkan atau bahkan membodohi mereka.
34
“Discourse Analysis will, thus, not provide absolute answers to a specific problem, but enable us to understand the conditions behind a specific "problem" and make us realize that the essence of that "problem", and its resolution, lie in its assumptions; the very assumptions that enable the existence of that "problem". By enabling us to make these assumption explicit, Discourse Analysis aims at allowing us to view the "problem" from a higher stance and to gain a comprehensive view of the "problem" and ourselves in relation to that "problem". Discourse Analysis is meant to provide a higher awareness of the hidden motivations in others and ourselves and, therefore, enable us to solve concrete problems - not by providing unequivocal answers, but by making us ask ontological and epistemological questions”.19 Melalui
analisis
wacana
kritis
peneliti
dapat
mengajak masyarakat untuk melemparkan pertanyaanpertanyaan yang bersifat ontologis dan epistemologis tentang hal-hal yang diproblematisasikan. Tidak hanya itu, analisis wacana kritis juga sangat tertarik
untuk
memeriksa
percakapan-percakapan
perempuan yang pada mahzab sebelumnya dianggap tidak penting, seperti pengakuan pembantu rumah tangga, 19
Dikutip dari Discourse Analysis dalam http://www.ischool.utexas.edu/~palmquis/courses/discourse.htm yang diunduh pada 27 Mei 2009.
35
kaum lesbian, waria, korban kekerasan dalam rumah tangga, tenaga kerja wanita dan para perempuan minoritas untuk
mengartikulasikan
dihadapi,
dan
perasaan,
pendapat
mereka.
kesulitan
yang
Pendapat
dan
pengakuan-pengakuan tersebut dapat diperoleh melalui percakapan maupun tulisan-tulisan, seperti buku harian atau surat. Dengan
demikian,
dugaan
unsur
dan
nilai
materalisme pada perempuan muda masa kini yang terkandung di dalam kedua macam versi iklan Beng-Beng “Unstoppable Enjoyment” ini, dapat dianalisis melalui analisis wacana kritis tersebut, yang mana segala macam konten dari kedua versi iklan Beng-Beng “Unstoppable Enjoyment” yang mendukung terbentuknya realitas sosial materialisme dalam diri perempuan muda masa kini tersebut. Dari pemaparan panjang teknik analisis studi wacana kritis di atas, dapat disimpulkan bahwa gambaran pengaplikasian
analisis
data
digambarkan sebagai berikut:
36
penelitian
ini
akan
Tabel
e.1.
Bagan
Analisis
Data
Penelitian
dalam
Iklan
“Unstoppable Enjoyment”
Pengamatan Iklan BengBeng “Cool Class” dan “Great Date” Pemilahan Konten yang Akan Dianalisis
Teks
Tagline, Naskah Dialog, dan Checklist
Audio
Sound Effect dan Voice Over
Visual
Talent Perempuan, Setting, Properti, dan Coloring Tone
Pemrosesan dan Penjabaran Data Hasil Analisis ke Dalam Bentuk Tabel dan Narasi
37