BAB I LARI KE ALASKA
Aku melangkah dengan cepat menembus keramaian orang di Bandara Internasional Miami, Florida. Walau bingung harus berbuat apa, aku harus berusaha terlihat tenang. Tenang dan terus berjalan, itu yang di intruksikan oleh seorang pria paruh baya yang kupanggil Ayah, kemarin di telepon. Akhirnya aku tiba di tempat tujuanku, yaitu sebuah ruangan besar yang terletak di sudut bangunan bandara. Mataku secara spontan menyapu isi ruangan itu. Seorang pria berkacamata riben, yang sedang duduk di sudut ruangan sambil membaca surat kabar, mengundang perhatianku. Aku merasa kenal dengan gaya duduk itu, posisis tubuh tegap, kedua kaki menyilang dan jari telunjuk yang mengetuk-ngetuk paha. Aku yakin orang itu, dia. Baru kali ini Aku merasa tidak percaya diri, berjalan sendirian di tempat umum, di bawah sorot lampu terang dengan penampilan yang jauh dari gaya asliku. Lututku sedikit gemetar dan kedua telapak tanganku mulai berkeringat. Aku mengeratkan genggaman jemariku pada tali ransel dan pegangan koper, saat berjalan melewati
sekumpulan pemuda funky, yang menatap aneh diriku dari pangkal rambut hingga ujung kaki. Aku merasa semua orang di dalam bandara sedang menaruh curiga padaku. Apa mereka benar-benar mencurigaiku? Atau aku hanya sedang paranoid? Sial, aku benar-benar grogi sekarang. Akhirnya aku sampai juga di tempat pria besar berjas abu-abu itu. Sambil mengawasi orang-orang di dalam ruangan, Aku mendaratkan bokong seksiku di kursi kosong tepat di sampingnya. Sementara koper dan ransel, ku geletakan begitu saja di depan kakinya. Aku bernapas lega. “Penyamaran
bagus,
sayang.”
Bisiknya
seraya
menggulung surat kabar dan memberikan itu padaku. Aku menerimanya dengan terpaksa. Hampir saja aku membuang benda lusuh itu, kalau ada tempat sampah di dekatku. “Terima
kasih.
Apa
yang
harus
ku
lakukan
selanjutnya?” tanyaku dingin. “Kau akan pergi ke Alaska, aku sudah menulis sesuatu di kertas yang ku selipkan di situ.” Dia berbisik seraya melirik tanganku. Oh tidak, dia sedang melirik surat kabar yang rencananya akan ku buang. Aku terkesiap seraya mengeratkan genggamanku, khawatir kalau-kalau aku khilaf membuangnya.
2
“Alaska? Aku bahkan belum pernah kesana, huh, yang benar saja.” Aku mengeluh pelan. “Ya, Kau akan temukan kehidupan baru disana, Miami bukan satu-satunya tempat terindah di Amerika.” Suaranya terdengar lemah. “Mungkin anda benar. Lalu bagaimana dengan anda, mau lari kemana?” Sindirku tajam, tanpa menatap wajahnya. Tak peduli Dia akan tersinggung atau tidak. “Kau tidak perlu tahu. Setelah ini tugasmu hanya satu, menjaga dirimu sendiri.” Jawabannya terdengar tegas namun masih bisa kurasakan suara lembutnya. Meski sedang tak menatapnya, aku tahu dia sedang memandangi wajah ovalku. Lensa mata palsu, kumis dan jenggot pendek palsu itu tidak mampu menyembunyikan wajah sedihnya dari lirikan pendek mataku. Aku menghela napas panjang. Sejujurnya aku tak kalah sedih darinya. Aku hanya sedang berusaha menghayati penyamaranku sebagai gadis tangguh. “Kau tidak ingin melihatku?” dia bertanya seraya memalingkan wajahnya dariku. Anehnya aku sama sekali tidak tertarik menjawab pertanyaan menyedihkan itu. “Baiklah kalau kau tidak mau melihatku. Apa aku masih
dibutuhkan
disini?”
Dia
kembali
mengajukan 3
pertanyaan yang membuatku terpaksa merajuk. Saat dia hendak berdiri, segera kutahan salah satu lengannya. “Ayah, please! Aku tidak mau sendirian disini.” Aku melepas kacamata besar berwarna coklat muda, yang sejak tadi membeton kedua mataku. Aku terpaksa melakukannya untuk untuk menatap wajah pria itu dari samping. Dia kembali menatapku. Saat itu aku baru menyadari keriput halus di sekitar hidung mancung dan mata bulatnya. Wajah tampannya sudah tidak sesegar dulu. Dia tampak lebih tua. “Lihat, aku sudah menatap Ayah. Puas?” aku mendengus, sementara Dia malah tersenyum kecil. “Aku ingin menyampaikan kata ‘maaf’ untuk yang terakhir kali.” Ujarnya lirih penuh ketulusan. Aku benci kata itu, karena telah membuat hatiku bergetar. Mengapa Dia mengucapkan kata maaf, apa dia masih merasa bersalah atas kesalahan fatal yang telah di perbuatnya?. “Sudahlah tidak perlu meminta maaf, semua sudah berlalu, kan.” Sahutku ketus sambil memalingkan wajah, pura-pura mengamati orang-orang disekitarku, padahal aku sedang menyembunyikan luka hatiku. “Benar, semua memang sudah berlalu. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau telah memaafkanku.” 4
Sepertinya Marcus sangat ingin mendengar kalimat ‘Ayah aku sudah memaafkanmu’ dari bibirku. Sayangnya, aku sendiri masih ragu untuk memberi maaf pada seseorang yang telah merenggut dua wanita kesayanganku dari hidupku. Kalau saja waktu itu, dia hati-hati mengendarai mobil yang membawa Ibu dan Adikku, peristiwa tragis itu tidak akan pernah terjadi. Hidupku pasti masih bahagia dan sempurna, tidak kesepian seperti sekarang. Ditambah, kini aku
harus
kelahiranku
meninggalkan untuk
teman-teman
selamanya.
Lalu
dan
tempat
pantaskah
dia
kumaafkan? Perhatian kepada seluruh penumpang US Airlanes dengan rute penerbangan Florida-Seatlle-Tacoma, penerbangan akan segera di berangkatkan, penumpang di persilahkan masuk melalui Gerbang Nomor 04. Pengumuman itu terdengar sangat keras, dan menyulap suasana ruangan yang semula tenang menjadi gaduh seperti pasar. “Jens, itu pesawatmu.“ Marcus memberitahuku. Aku tersentak untuk beberapa detik, sebelum akhirnya kembali memakai kacamata dan bersiap enyah dari kursi besi yang sejak tadi menopang bokongku. “Aku harus pergi sekarang.” Ujarku sok antusias. Marcus mengangguk tak bersemangat. Pria bertubuh kekar
5
itu mengamati beberapa orang di dalam ruangan yang saling berpelukan, dan mengucapkan kata perpisahan. Kurasa dia sedang iri pada sepasang suami~istri~tua yang berdiri di depan kami, pasangan itu memeluk putra mereka secara bergantian, lalu memberi nasihat kepada sang anak yang masih remaja, dan berakhir dengan kata ‘Aku mencintaimu, Nak’. Sangat manis. Aku jadi penasaran dengan kata perpisahan Marcus. “Maaf, aku tidak bisa mengantarmu sampai gerbang, banyak kamera pengintai yang siap menangkap wajahku.” Ucapnya pelan sambil berdiri mengikutiku. Waw, sungguh kata perpisahan yang manis atau justru aneh. Aku hanya mengangguk pelan. “Baiklah, aku pergi.” Aku langsung berjalan keluar ruangan, hanya saja sedikit antri karena ada seseorang yang memakai kursi roda mengalami kesulitan melewati pintu. Aku menoleh pada Marcus. Dia sedang berdiri tegap menatap ke arahku. Aku memergoki tangannya yang sedang menyeka sesuatu di pipi kirinya. Tiba-tiba bayangan wajah ibuku mampir begitu saja dalam benakku. “Jens, kau tidak boleh membencinya, bagaimanapun dia adalah ayahmu. Setidaknya dia sudah berusaha datang ke acara penghargaanmu, kan. Sayang, meski bagimu dia orang
6
yang payah, tapi ketahuilah bahwa dia adalah suami terbaik yang ibu punya. Dia sangat menyayangi kita.” Ibu
mengucapkan
kalimat
itu
dengan
wajah
memohon, ketika aku marah karena Marcus terlambat datang di acara penghargaan olimpiade musim panas di sekolahku, dua tahun silam. Padahal saat itu aku menjuarai dua olimpiade sekaligus yaitu berenang dan lari estafet. Saat aku tahu kalau dia tidak melihat detik-detik dimana aku menerima piagam penghargaan, Aku sangat marah sampai tidak ingin melihatnya lagi. Namun tiba-tiba ibu datang menghampiriku
di
dalam
kamar
pribadiku,
sehari
setelahnya. Ibu berbicara panjang lebar serta menjelaskan alasan mengapa suaminya bisa datang terlambat, barulah aku mau berbicara dengan Marcus lagi. Siluet wajah ibu memunculkan rasa ibaku terhadap Marcus. Aku merasa sudah bersikap keterlaluan padanya. Dalam kasus kematian Ibu dan Joana, sebenarnya bukan hanya aku yang terluka, tapi dia juga. Aku hanya kehilangan Ibu dan Joana, sementara dia harus kehilangan Ibu, dua orang putri, pekerjaan dan negaranya. Sesungguhnya dia sudah mendapat hukuman yang setimpal, jadi untuk apa lagi aku menghukumnya? Jadi sudah jelas kalau Aku harus memaafkan dia, dan kembali menjadi putri manisnya. Juga, bagaimana bila ini adalah pertemuan kami yang terakhir?
7