BAB I
KEMANDIRIAN RAKYAT KECIL MEMBANGUN DESA Latar Belakang Upaya perjuangan dan pembangunan yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia, pemerintah dan masyarakat selama lebih dari lima puluh delapan tahun sungguh sangat luar biasa. Indonesia yang terdiri atas suku, agama dan latar belakang yang sangat berbeda-beda telah berhasil menjadi satu bangsa yang kuat dan bersatu dalam satu negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam era globalisasi yang maha dahsyat dewasa ini, bangsa Indonesia menghadapi tantangan luar biasa pula. Tantangan ini tidak saja ditujukan kepada masyarakat perkotaan yang relatif mudah dijangkau, tetapi juga terhadap masyarakat pedesaaan dengan ciri-ciri tradisionalnya yang ketat dan penghargaannya terhadap nilainilai budaya dan keagaaman yang tinggi. Masyarakat pedesaan yang sederhana dan hidup dalam alam damai dan lingkungan yang indah juga tergoda oleh hiruk pikuknya imingiming global yang merambah kehidupannya di pedesaan itu. Perkembangan yang cepat di wilayah perkotaan dengan segala bentuk pandangannya yang modern, kemampuannya yang relatif tinggi, fasilitas yang melimpah, jumlah anggota keluarga yang relatif kecil karena sudah mengikuti KB, mampu mengembangkan diri menjadi manusia modern, kaya, berpandangan global dan bisa dengan mudah mengikuti gaya dan kehidupan masyarakat modern. Sementara sebagian lain yang mutu dan tingkat pendidikannya rendah, kesempatannya terbatas, justru bertambah miskin, tertinggal atau makin menghadapi kesenjangan yang sangat mengerikan. Kemajuan itu ikut pula mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, arah dan langkah-langkah perubahan sosial masyarakat desa yang sederhana. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat kota mempunyai alasan yang wajar untuk ikut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat desa karena mereka umumnya mempunyai sumbangan lebih tinggi dibanding masyarakat pedesaan dengan kemampuan produksi yang rendah. Masyarakat kota mengurangi ketergantungannya kepada masyarakat desa dengan memanfaatkan kelemahan masyarakat desa itu. Karena pelatihan dan pendidikan merupakan kebutuhan pokok keluarga modern, maka bersamaan dengan perkembangan modernisasi itu tumbuh pusat-pusat pelatihan dan pendidikan baru, seperti kursus-kursus, sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi perguruan tinggi. Pertumbuhan itu mula-mula dilakukan di daerah perkotaan di wilayah pemukiman. Tetapi karena tanah yang sempit dan biaya perluasan mahal, pusat-pusat pendidikan dan pelatihan itu banyak yang dipindahkan ke daerah pedesaan atau daerah yang semula daerah pedesaan. Pada mulanya, masyarakat desa yang sederhana menyambut “kedatangan modernisasi” itu dengan gembira. Secara spontan dan ikhlas mereka memberikan sumbangan yang besar terhadap upaya pembangunan dan sumber daya manusia tersebut. Ada yang hanya menjadi penonton, ada pula yang ikut berpartisipasi merombak rumah menjadi tempat pondokan untuk menolong para mahasiswa yang berasal dari berbagai penjuru tanah air.
Pada dasarnya, kemajuan di banyak perguruan tinggi atau pusat-pusat pendidikan di daerah pedesaan itu mengundang kesempatan wirausaha. Namun pada umumnya masyarakat pedesaan bersifat pasif tidak melihat atau karena kelemahannya “lengah” akan adanya kesempatan emas yang terbuka lebar. Kelemahan yang “katanya” bisa diselesaikan dengan pendekatan ekonomi kelompok atau koperasi hanya berdering sangat tipis di telinga para penduduk di sekitar kampus. Andai saja koperasi dalam lingkungan sekolah, perguruan tinggi maupun pesantren dapat dimanfaatkan dengan memenuhi selera kebutuhan masyarakat sekitar. Tapi kenyataannya, banyak koperasi mahasiswa hanya menjadi sambilan tidak menarik dan koperasi karyawan hanya diurus oleh pegawai dengan cara yang birokratis. Padahal, koperasi yang berhasil bisa mempunyai omset berlimpah dan bisa menjadi agen penyalur dari perusahaan-perusahaan besar. Melihat kesempatan ini, biasanya masyarakat kota segera melompat mengambil kesempatan itu. Dengan iming-iming dana melimpah, mereka membabat habis pemukinan atau tanah disekitar kampus atau pusat-pusat pendidikan dengan mendirikan rumah makan dan pusat-pusat pertokoan untuk melayani siswa maupun civitas akademika yang berkembang pesat di daerah itu. Lain halnya dengan masyarakat desa yang tinggal di dekat lingkungan pesantren. Peran kyai dan elite pesantren dengan fasilitas kredible moralnya, mampu bertahan serta mempertahankan pranata sosial yang kondusif dalam suasana damai dan penuh kebersamaan, diterima masyarakat sebagai tuntunan yang dianggap cocok. Mereka membawa masyarakat menghadapi godaan globalisasi dan modernitas yang dahsyat dengan kearifan, ketenangan dan teknik komunikasi yang akomodatif dan secara mulus menempatkan diri dalam perubahan sosial itu. Kemampuan ini menempatkan mereka sebagai pemimpin kharismatik yang sangat disegani dengan kekuatan-kekuatan supranatural dan pesan-pesannya dianggap sangat benar sehingga apapun yang disampaikannya dianggap kredibel dan benar-benar diikuti secara fanatik. Kemampuan ini, apabila dikembangkan secara tepat dapat membantu pembangunan manusia modern dengan kemampuan perkotaan yang maju dan modern tetapi tetap kental dengan landasan moral religius yang padat. Sumber daya manusia dengan kualitas ini akan sangat berguna sebagai lapisan bangsa yang sanggup menjadi benteng moral religius dan kekuatan landasan bangsa. Pemberdayaan masyarakat desa Melihat potensi yang masih tersembunyi itu bangsa ini mempunyai kekuatan untuk membangun keluarga sejahtera secara mandiri dan sekaligus mengentaskan penduduk daerah pedesaan dari lembah kemiskinan. Upaya pemberdayaan masyarakat desa menjadi masyarakat yang mandiri harus dimulai dengan pengembangan sumber daya yang diikuti dengan partisipasi penuh dari seluruh masyarakat dan keluarga yang menjadi sasaran. Kegagalan pemberdayaan sumber daya manusia dan kegagalan mengikutsertakan sebanyak mungkin keluarga dan masyarakat kurang mampu yang menjadi sasaran, akan berakhir fatal. Semakin melembaganya partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan akan bermuara pada swakelola daerah secara mandiri. Meskipun demikian, konsep mandiri bukanlah suatu konsep yang sempit dan statis, sekadar menempatkan kemampuan
masyarakat lokal untuk membiayai pembangunan. Dalam konteks pembangunan daerah secara mandiri atau keswadayaan mengandung arti lebih luas daripada sekadar perimbangan tanggung jawab pembiayaan pembangunan. Konsep mandiri berarti perimbangan kekuatan antara masyarakat lokal (daerah) dan negara dalam menentukan arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam memberdayakan masyarakat lokal, selain dilakukan reorientasi peran pemerintah pusat, juga secara sistematis dan konsisten melakukan penyadaran terhadap masyarakat lokal melalui isu-isu lokal yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Upaya yang dilakukan lebih bersifat partisipatoris sehingga mampu menumbuhkan kemampuan masyarakat lokal. Strategi lain adalah melakukan tekanan secara politik terhadap institusi-institusi lokal seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif khususnya menyangkut fungsional kinerja mereka. Tekanan ini dimaksudkan untuk mendorong perbaikan-perbaikan pada kinerja institusi-institusi formal tersebut agar mampu merespons, merencanakan serta melaksanakan aspirasi-aspirasi yang berkembang di kalangan masyarakat. Kebersamaan pemerintah pusat dan rakyat akan mampu memberi kesempatan masyarakat untuk memanfaatkan berbagai peluang yang ada. Kegairahan itu didukung dengan upaya bersama secara berkesinambungan. Karena itu, dalam upaya pengentasan kemiskinan yang akan digalakkan, pengembangan peta wilayah yang akurat akan memberi makna kepada para penguasa otonomi daerah dengan sentuhan yang mengena hati rakyat banyak. Rakyat harus melihat bahwa otonomi daerah adalah untuk memperbaiki nasib rakyat, melalui kesempatan membangun yang diberikan kepada rakyat. Otonomi bukan sekedar untuk menaikkan pendapatan daerah, seperti biaya pembuatan surat sertifikat tanah, atau memberi kesempatan para pejabatnya mendapat honor lebih tinggi, jalan-jalan ke luar negeri atas beban rakyat banyak, atau membangun dengan mengorbankan gaji guru atau karyawan kecil lainnya, tetapi harus berarti membantu rakyat menghidupkan aset-aset “mati” untuk bisa dipergunakan dalam rangka partisipasi mereka dalam pembangunan yang menguntungkan dirinya dan meningkatkan pendapatannya dalam kerangka persatuan dalam lingkungan keluarganya, dalam lingkungan desanya, dalam rangka ketenangan berusaha di desa dan wilayahnya. Karena itu, seluruh keluarga di daerah tersebut harus diajak bergabung dalam kelompok-kelompok yang setiap anggotanya harus menjadi penggerak anggota kelompok lain yang dianggap lemah. Pendekatan ini akan memberikan kekuatan yang “maha dahsyat” karena semua pihak bisa ikut bermain sebagai pemimpin dan pelaksana yang dinamis. Disamping itu perlu dikembangkan tahapan-tahapan yang bisa dilakukan dengan mudah. Kemudahan ini harus bisa diukur oleh setiap peserta, sehingga masing-masing pihak bisa ikut dalam proses perkembangan secara aktif. Pengembangan keluarga sejahtera yang diperkenalkan oleh BKKBN pada tahun 1996 merupakan suatu contoh yang dapat dianut untuk memberi kesempatan setiap keluarga berkembang dari keadaan pra sejahtera menjadi keluarga sejhatera I, kemudia menjadi keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III dan akhirnya menjadi keluarga sejhatera III plus.
Kemandirian Perempuan Salah satu upaya menyadarkan dan mendidik keluarga Indonesia yang tergolong pra sejahtera dan sejahtera I ini, pada tahun 1994 diluncurkan program gerakan keluarga sadar menabung melalui Takesra (Tabungan Keluarga Sejahtera). Tiap-tiap keluarga mendapat bantuan sebesar Rp 2000. Selanjutnya oleh kader-kader pembangunan di desa mereka diberikan berbagai pelatihan dan petunjuk untuk berusaha maju dan membangun keluarga yang semula hidup dalam bidang pertanian tradisional menjadi keluarga yang hidup dalam alam maju, industrial dan mandiri sehingga kebiasaan baru dengan kesadaran menabung dilanjutkan dengan kebiasaan untuk belajar, bekerja dan akhirnya untuk bekerja keras. Pada gilirannya setiap peserta yang berminat untuk ikut belajar berusaha dalam bidang ekonomi produktif diberikan pinjaman dengan bunga murah. Sebagian kecil dari pinjaman itu, yaitu minimal sebesar 10 persen, ditambahkan sebagai pemupukan modal dalam Takesra. Besarnya Tabungan Takesra itu kemudian dikaitkan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan pinjaman Kredit Usaha Keluarga Sejahtera atau Kukesra. Dari program Takesra-Kukesra ini, bermunculanlah bibit-bibit pengusaha baru yang tergabung dalam kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS). Dan bibit pengusaha baru itu adalah kaum Ibu yang telah memanfaatkan kredit Kukesra sampai akhir Februari 2002 sebanyak 10.467.392 atau sekitar 500.000 kelompok UPPKS. Diantaranya lahir ribuan keluarga yang telah dapat mengembangkan usahanya sedemikian pesat dan melanjutkan berbagai kegiatan usaha dengan dukungan pembinaan dan kredit yang sifatnya makin mandiri. Bermacam bentuk skim kredit untuk pemberdayaan ekonomi kecil pun bermunculan. Seperti, Kredit Pengembangan Kemitraan Usaha (KPKU), Kredit Penerapan Teknologi Tepat Guna dan Pengentasan Kemiskinan (KPTTG-Taskin) yang semua prosedurnya diupayakan lebih mudah. Sesuai dengan kematangan para peserta anggota kelompok dan karena pemerintah mulai mengatur program-program untuk keluarga sangat miskin dengan JPS (Jaring Pengaman Sosial) dan program-program kompensasi lainnya -- seperti beras OPK (Operasi Pasar Khusus) dan BBM (Bahan Bakar Minyak)- program-program KPKU dan KPTTG-TASKIN digabungkan dengan program baru lainnya seperti Kukesra Mandiri dan PUNDI (Pusaka Mandiri) yang lebih berorientasi pasar. Selain itu, dikembangkan pula fasilitas dukungan dengan sistem “jemput bola”. Dengan fasilitas ini, Yayasan Damandiri bekerjasama dengan unit keuangan pedesaan atau lembaga keuangan mikro seperti Bank BPD, BPR dan Bank Bukopin, mendatangi calon nasabah melakukan pembinaan dan memberikan dukungan kredit untuk perluasan usaha. Dengan demikian, peran birokrasi BKKBN dan Yayasan akan makin terbatas pada upaya menyiapkan dan membina kelompok maupun anggota UPPKS serta merekomendasikannya pada lembaga keuangan mikro. Beragam dukungan yang diberikan guna mengentaskan kemiskinan keluarga Indonesia, khususnya pemberdayaan kaum perempuan ini, penulis coba paparkan dalam bentuk opini dan mencoba memaparkan kebangkitan rakyat kecil dipedesan agar tidak memiliki ketergantungan pada masyarakat perkotaan. Justru, masyarakat di perkotaanlah yang sebenarnya harus bekerjasama dengan masyarakat desa. Kelemahan masyarakat desa inilah yang hendaknya ditangkap oleh tokoh-tokoh penggerak desa lainnya dalam
buku ini, sebagai bentuk kewasapadaan membangun kemandirian dalam keluarga dan berlanjut menjadi investasi kemandirian pada masyarakat sekitar. Pada akhirnya, kunci keberhasilan kemandirian masyarakat terletak pada ketekunan dan bagaimana mereka mau belajar dari kegagalan. Semua itu tidak lepas pula dari kebersamaan pemerintah pusat dan rakyat yang berkesinambungan, sehingga mampu menciptakan kegairahan masyarakat untuk memanfaatkan berbagai peluang yang ada.