BAB I IDENTITAS SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK A. Latar Belakang Identitas bukan hanya persoalan belonging semata, tetapi saat ini identitas bertransformasi sebagai alat politik dalam menarik simpati publik. Semakin lama, identitas menjadi alat komoditi bagi kandidat yang maju dalam pemilihan khususnya dalam area lokal yaitu pemilihan kepala daerah atau pilkada. Pemilihan kepala daerah yang sifatnya lokal membuat banyaknya kandidat yang mengusung tema etnis dengan dalih mewakili kelompok tertentu. Hal ini menyebabkan kandidat yang berasal dari kelompok tertentu menggunakan sentimen etnis untuk mendapat dukungan dari pemilih (LSI, 2008: 2). Terutama kandidat yang berasal dari kelompok asli daerah tersebut. Mereka kerap melakukan pengentalan identitas selama pilkada berlangsung. Maraknya politisasi identitas bermula dari munculnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah. Sebagian isi Undang-Undang tersebut (Pasal 56 s/d 119) berisi prosedur dan mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah seacara langsung oleh rakyat (Surbakti, 20008 via lanskap-artikel.com). Kehadiran Undang-undang tersebut merupakan peluang untuk mewujudkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki pemimpin lokal yang disepakati oleh rakyat melalui pilkada langsung (Irtanto, 2006: 1). Sistem demokrasi mampu mengakomodasi kesejahteraan bersama termasuk pemakaian etnisitas kedalam sistem politik di daerah. Dalam prakteknya, aktor
1
dan struktur politik yang berperan dalam sistem demokrasi tersebut tidak dapat terlepas dari faktor etnisitas dan identitas (LSI, 2008: 27). Undang-undang tersebut juga membuka peluang bagi para Putra Asli Daerah (PAD) untuk memimpin daerahnya sendiri karena sebelumnya segala urusan daerah „disetir‟ oleh pemerintah pusat, termasuk pemilihan kepala daerah. Bahkan setelah adanya Undang-undang tersebut membuat isu PAD merebak. Tuntutan dipilihnya gubernur, bupati, serta walikota PAD masuk kedalam tata tertib DPRD (Chalid, 2005: 8). Disini dapat terlihat bahwa isu putra daerah adalah isu yang strategis dipakai di pilkada. Putra daerah dipandang sebagai orang yang sangat mengerti daerahnya sendiri dibandingkan dengan kandidat pendatang. Putra daerah juga senantiasa dianggap lebih mendengarkan kepentingankepentingan orang asli. Sehingga mereka dapat dipilih menjadi kepala daerah karena sentimen kedaerahan dan primordialisme yang kuat dalam daerah tersebut. Euforia kedaerahan pasca otonomi daerah kian berkembang hingga munculnya penguatan identitas dalam kelompok terutama kelompok asli daerah. Wacana etnis menjadi wacana pokok dalam setiap pemilihan kepala daerah. Hal ini terjadi karena pemilihan kepala daerah yang cenderung lebih bersifat lokal dan keberadaan etnis tertentu masih sangat berpengaruh di daerah-daerah tertentu. Dibandingkan dengan pemilihan nasional, pemilihan kepala daerah dianggap strategis untuk memunculkan unsur etnis didalamnya karena pilkada bersifat lokal dan kedaerahan. Tentunya para kandidat mewakili kelompok daerah asal atau kelompok mayoritas untuk mendapatkan pemilih. Sementara pada
2
pemilihan nasional, para kandidat cenderung lebih universal, dalam artian tidak menunjukkan sisi primordialnya agar tidak memihak satu golongan saja, tetapi dapat diterima ke semua kelompok dan golongan. Begitupun dengan isu-isu yang diterbitkan. Jelas pada pemilihan kepala daerah yang diangkat merupakan isu lokal. Dibandingkan dengan pemilihan nasional, isu yang diangkat tidak spesifik pada suatu wilayah tetapi isunya nasional serta lebih mengangkat upaya dalam mengatasi problema-problema yang masih belum terselesaikan, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini yang menjadi alasan mengapa penguatan identitas hanya terjadi pada pemilihan kepala daerah dibandingkan dengan pemilihan nasional. Melihat fenomena yang terjadi demikian, muncul penguatan dan pengentalan identitas, yang nantinya berujung pada politisasi identitas. Politisasi identitas ini terjadi sebab identitas dijadikan sebatas alat untuk memperoleh kekuasaan bagi elit-elit politik. Politik identitas pada awalnya berangkat dari persamaan baik nasib, teritorial, dsb, telah dijadikan instrumen untuk mendapatkan simpati publik. Dari sini dapat dilihat bahwa politik identitas mengalami transformasi pemaknaan identitas karena proses identitas dibuat untuk kepentingan orang-orang yang membuatnya, bukan untuk kepentingan identitas sendiri. Segala elemen-elemen etnisitas dapat menjadi kekuatan untuk memperoleh legitimasi dan menghegemoni masyarakat. Elemen etnis bukan lagi sesuatu yang tidak penting dan tertinggal tetapi justru menjadi kekuatan yang ampuh dalam pemilihan khususnya pemilihan kepala daerah.
3
Sikap masyarakat Indonesia yang masih primordial serta cenderung kedaerahan dan rasisme tentu akan memberikan pengaruh dalam pilkada. Hal ini telah terbukti ampuh di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai macam penguatan identitas dilakukan hanya untuk mendapatkan simpati kepada salah satu kelompok. Hal ini dapat dilihat di pilkada Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, serta Bangka Belitung. Tidak mengherankan jika pemakaian identitas ini dilakukan di daerah-daerah tersebut karena tingkat kedaerahannya masih tinggi serta adanya satu etnis yang dominan. Tetapi pada nyatanya, pemakaian identitas ini juga dilakukan di Jakarta yang notabene struktur masyarakatnya heterogen, tidak terdominasi satu etnis saja, serta gaya hidup yang metropolitan. Hal ini menarik untuk disimak lebih dalam mengapa pemakaian identitas dilakukan di Jakarta yang modern dan tidak lagi mementingkan kedaerahan didalamnya. Sekilas itulah problematisasi yang ingin diuraikan dalam penelitian ini. Didalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta periode 2012 muncul penggunaan identitas Betawi. Mengapa Betawi? Karena etnis Betawi yang disebut-sebut sebagai etnis asli DKI Jakarta justru menjadi etnis minoritas di kampungnya sendiri karena banyaknya imigran yang datang dari luar Jakarta maupun luar Pulau Jawa. Hal ini yang membuat Betawi mengidentifikasikan dirinya berbeda dengan suku Jawa, Batak, Ambon, dll, sehingga timbul sikap ingin menjadi „tuan rumah‟ di kandangnya sendiri. Etnis Betawi yang mulai terpinggirkan menjadi isu yang menarik dalam tingkat lokal.
4
Identitas Betawi bukan hanya perasaan satu nasib atau teritorial semata tetapi juga sebagai sarana untuk menunjukkan dirinya adalah bagian dari „mereka‟ yang merupakan etnis Betawi. Hal inilah yang patut untuk diamati. Kandidat asli pada nyatanya mengeksplor identitas mereka dalam kampanye. Hal ini dapat dilihat dari strategi kampanye, cara berpakaian, berbahasa, atau pun isu yang dilemparkan yang diusung setiap kandidat. Sebenarnya, isu mengenai politisasi identitas Betawi bukan hanya terjadi pada periode ini. Isu etnisitas tampak pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2007 silam. Saat itu pasangan Fauzi-Prijanto menggunakan tokoh Si Doel Anak Sekolahan sebagai ajang kampanye di televisi. Selain itu, pasangan ini juga memakai pakaian kebesaran Betawi di setiap kampanye mereka. Hal ini melihatkan bahwa adanya politisasi identitas dalam strategi kampanye yang diterapkan. Kandidat yang lain yaitu Adang-Dani mengekspolitasi identitas kebetawian dengan menggunakan profil Bajaj Bajuri sebagai kampanye mereka. Pilkada yang terjadi di DKI Jakarta periode lalu terjadi kembali pada tahun 2012 ini. Pasangan-pasangan yang maju tampak mengenakan simbol-simbol Betawi di setiap kampanyenya. Pada pilkada kali ini, terdapat enam pasangan kandidat yang mencalonkan dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahap pertama, antara lain: Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini, Alex Noerdin-Nono Sampono, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, Faisal Basri-Beim Benyamin, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, dan Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria. Perlu diamati dari keenam pasangan ini hanya satu pasangan asli Betawi yaitu Fauzi
5
Bowo-Nachrowi Ramli. Pasangan asli Betawi ini memanfaatkan identitas Betawi yang dimiliki olehnya untuk menjaring massa Betawi. Sebaliknya,
kandidat
non
Betawi
melemparkan
pertarungan
isu
didalamnya dimana kota Jakarta adalah kota metropolitan yang heterogen sehingga pemakaian unsur-unsur etnis tidak berpengaruh dalam pemilihan kepala daerah. Jakarta tidak terdominasi oleh satu kelompok saja tetapi berbagai etnis tinggal dan hidup disana. Saat pilkada berlangsung, dijumpai berbagai sindiran mengenai kandidat dari luar Jakarta. Sebaliknya, perang wacana identitas ini juga dilakukan oleh kandidat luar Jakarta bahwa Jakarta bukan hanya milik Betawi saja. Hal tersebut membuat adanya pertentangan pemilihan kepala daerah antara putra daerah dan bukan putra daerah. Pemakaian unsur-unsur etnis begitu gencar dilakukan oleh semua calon, baik yang beretnis Betawi maupun tidak, tetapi penelitian ini memfokuskan pada pemakaian identitas yang dilakukan oleh kandidat yang memiliki latar belakang asli Betawi, yaitu Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli. Difokuskan pada kandidat yang berlatar belakang Betawi karena ingin melihat bagaimana mereka memakai identitas Betawi didalam strategi kampanye mereka, dan melihat ada apa dibalik pemakaian identitas tersebut. Apakah terdapat unsur ke-aku-an yang mereka tampilkan kepada lawan-lawan mereka yang notabene merupakan pendatang? Semuanya terangkai didalam penelitian ini. Dinamika wacana identitas seperti ini menarik untuk disimak dalam Pilgub DKI Jakarta periode ini. Kandidat beretnis Betawi yaitu Foke-Nara
6
nyatanya terlihat memakai atribut identitas Betawi, dimulai dari bahasa, pakaian, hingga isu Betawi. Hal ini menunjukkan bahwa mulai munculnya riak-riak politisasi identitas dalam arena pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012 oleh pasangan Betawi. Melihat periode sebelumnya, terpilihnya Fauzi Bowo (asli Betawi) sebagai gubernur Jakarta tahun 2007. Walaupun pemenangnya bukanlah hal utama yang dibahas dalam penelitian ini tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa kekuatan primordialisme terlihat masih kental, bahkan didaerah yang heterogen seperti Jakarta sekalipun. Dari kasus yang terjadi diatas, identitas yang pada awalnya hanya rasa kesamaan dengan suatu kelompok dan sebagai pembeda dengan kelompok lain bergeser menjadi alat politik bagi kandidat dalam pilkada. Pengentalan dan politisasi identitas menjadi sesuatu yang lumrah. Seberapa besar pesan politik yang dapat disampaikan dan diterima oleh masyarakat akan sangat ditentukan oleh seberapa besar kesesuaian pilihan bahasa, media penyampaian dan komunikasi dengan kondisi real masyarakat yang menjadi target (Widigdo, 2009: 80). Dari sini terdapat fenomena unik yang menarik untuk diekspor lebih lanjut dalam penelitian.
7
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, skripsi ini memuat rumusan masalah: Bagaimana politisasi identitas Betawi yang dilakukan kandidat beretnik Betawi dalam kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012?
C. Tujuan Penelitian
Menunjukkan dengan cara apa Foke-Nara memakai identitas di kampanye mereka.
Menunjukkan sejauh mana kandidat asli Betawi menggunakan isu-isu etnis kebetawian dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012.
Menjelaskan mengapa terjadi politisasi identitas kebetawian dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012.
Mengetahui untuk apa identitas Betawi dipakai oleh Foke-Nara di pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012.
D. Kerangka Teori Dalam kerangka teoritis ini, terdapat beberapa teori utama yang dipakai sebagai pisau analisis, yaitu teori mengenai identitas, politisasi identitas, serta
8
politisasi identitas di pemilihan kepala daerah. Secara rinci, teori-teori tersebut dijelaskan sebagai berikut:
D.1. Identitas Identitas adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin yaitu idem, yang artinya adalah sama. Secara filosofis, identitas merupakan konsep yang mempunyai dua pengertian didalamnya yaitu singleness over time dan sameness amid difference (via desantarafoundation.org). Berarti terdapat dua konsep mengenai identitas, yaitu persamaan dan perbedaan. Hal inilah yang biasa disebut dengan konstruksi keakuan (selfness) dan yang lain (the other). Individu mengidentifikasikan diri mereka dan orang lain. Setiap individu berpacu untuk menguatkan identitas yang melekat pada diri mereka. Dari setiap proses identifikasi, maka individu membentuk siapa dirinya. Ketika individu membentuk siapa dirinya (selfness), maka secara otomatis ia akan mencari negasinya atau the other. Jadi, proses identifikasi selfness dan the other tersebut dipengaruhi oleh cara individu atau kelompok memandang dirinya dalam lingkungan dan komunitas (Widayanti, 2009: 18). Berkaitan dengan pembentukan identitas, terdapat tiga perspektif darimana kita melihatnya yaitu primordialisme, konstruktivisme, dan instrumentalisme. Perspektif primordialisme adalah perpektif yang menerangkan bahwa identitas terbentuk secara alamiah dan turun-temurun (given) sehingga tidak dapat dibantah. Perspektif primordialisme melihat etnis dalam kategori sosio-biologis.
9
Pendekatan ini umumnya beranggapan bahwa kelompok-kelompok sosial dikarakteristikkan oleh gambaran seperti kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa, dan organisasi sosial yang memang disadari secara objektif sebagai hal yang given (Putri, 2004 via vegitya.unsri.ac.id) Selanjutnya adalah perspektif konstruktivisme. Dalam perspektif ini identitas dibentuk melalui ikatan-ikatan kultural dalam masyarakat (Aini dalam Kinasih, 2005: 17). Jadi, identitas terbentuk karena adanya proses sosial yang kompleks. Perspektif yang terakhir adalah instrumentalisme. Dalam pandangan ini identitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan elit dan lebih menekankan pada aspek kekuasaan. Identitas dipahami sebagai sesuatu yang tidak statis karena selalu ada perubahan dalam relasi antar identitas serta berkembangnya produk wacana politik dari elit yang berkuasa. Instrumentalisme lebih menaruh perhatian pada proses manipulasi dan mobilisasi politik manakala kelompok-kelompok sosial tersebut tersusun atas dasar atribut-atribut awal etnisitas seperti kebangsaan, agama, ras, dan bahasa (Aini dalam Kinasih, 2005: 17). Identitas bukanlah suatu yang tetap dan alamiah, melainkan sebuah proses yang terus menerus berubah, serta memiliki titik-titik perbedaan yang terus berkembang (Trianton, 2013: 10). Sifat identitas situasional, ia dapat bergeser dan berubah sesuai dengan konteks sosial yang ada (Tirtosudarmo, 2007: 143). Dengan kata lain, identitas tidak statis tetapi dinamis. Identitas semakin lama semakin bergerak, tidak sama persis ketika awal pembentukannya. Identitas yang terus menerus berubah dapat kita lihat dalam kelas, gender, agama, etnis, dll. 10
Apabila berbicara mengenai identitas bukan hanya berbicara mengenai individu (tunggal) tetapi juga mengenai kelompok dan kolektivitas (jamak). Tidak dipungkiri individu membutuhkan individu lain, membangun relasi, serta berinteraksi satu sama lain. Interaksi-interaksi yang terbangun antar individu inilah yang secara otomatis membentuk kelompok sosial. Saat berinteraksi, antar individu tersebut akan menyadari bahwa terdapat perbedaan dan persamaan terkait dengan kepentingan dan unsur pembentuk konsep diri mereka (Afif, 2012: 18). Proses interaksi di kelompok sosial inilah yang disebut dengan identitas sosial. Dasar pembentukan identitas sosial ini antara lain ras, etnis, seksualitas (nominal), kelas, dan gender (Widayanti, 2009: 20).
D.2. Politisasi Identitas Berkaca dari sifat identitas yang dinamis, politik identitas selalu dikonstruksi dan dan dipertahankan secara refleksif dengan berdasarkan perubahan kebutuhan dan kepentingan (Widayanti, 2009: 21). Sehingga disaat identitas bergeser ke arah kepentingan yang berubah, bisa dikatakan bahwa identitas menjadi sesuatu yang bersifat politis. Disaat adanya politisasi identitas, identitas itu bergerak kepentingan, identitas yang pada mulanya adalah base on identity dan base on interest telah dijadikan instrumen untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Jadi dasar terjadinya politik identitas karena adanya suatu kelompok yang memiliki berbagai kepentingan dan menimbulkan perubahan
11
kepentingan yang berbeda dalam suatu kelompok tersebut, sehingga kepentingan mengalami pergeseran. Definisi mengenai politisasi identitas bermacam-macam. Politik identitas diartikan juga sebagai politik perbedaan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Agnes Heller dalam Haboddin (2012) yang mendefinisikan politik identitas sebagai gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama. Begitupun dengan pandangan Donald L Morowitz (1998). Dia mendefinisikan politik identitas merupakan memberian garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Karena garis-garis penentuan tersebut tampak tidak dapat dirubah, maka status sebagai anggota bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen. Agnes Heller dan Donald L Morowitz mempunyai kesamaan pandangan dalam memaknai politik identitas sebagai politik perbedaan. Politisasi identitas kerap dikaitkan dengan adanya perebutan sumber daya yang bersifat struktural, seperti potensi ekonomi maupun kekuatan politik. Pandangan ini melihat lebih jauh mengenai politik identitas yang terjadi pada level yang lebih praktis, dimana identitas digunakan sebagai alat manipulasi. Seperti yang tertera berikut ini: “Her work showed that ethnicity is an instrument to archieve various interest. Moreover, it seems too simplistic to argue that material or economic interest are the sole driving force behind the rise of ethnicity. Ethnic is an instrument, yet the target of that instrument can carry” (Aragon dalam Firdaus, 2008).
12
Hal ini juga sependapat dengan gagasan milik Kemala Chandakirana (1989) dalam tulisannya yang berjudul Geertz dan Masalah Kesukuan. Dia mendefinisikan bahwa politik identitas digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan (Haboddin, 2012). Jadi, pada intinya, politik identitas hanya dijadikan sebagai alat memanipulasi dan alat untuk menggalang politik untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya. Dalam jurnal yang berjudul Politik Identitas dan Kebanggan (via desantarafoundation.org)
menyebutkan
bahwa
politisasi
identitas
dapat
didefinisikan sebagai tindakan politis untuk mengedepankan kepentingankepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan (via publikasi.umy.ac.id). Politisasi identitas juga kerap disebut sebagai pembentukan bahasa baru identitas dan tindakan untuk mengubah praktik sosial, biasanya melalui pembentukan koalisi dimana paling tidak beberapa nilai dimiliki bersama (Barker, 2004: 416). Dalam politik identitas tentu saja ikatan kesukuan mendapat peranan penting, ia menjadi simbol-simbol budaya yang potensial serta menjadi sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik (Kemala, 1989). Simbol-simbol budaya ini dapat berupa bahasa maupun pakaian yang mencirikan budaya dan etnis tertentu. Identitas dapat dijadikan untuk kepentingan elit dan sarana kekuasaan yang memungkinkan terjadi penguatan politik identitas di satu pihak dan juga 13
melemahkan pihak lain. Kekuatan-kekuatan primordial di tingkat lokal telah menjelma menjadi kekuatan politik yang terus direproduksi dan dimainkan oleh elite sehingga mampu mempengaruhi aktivitas politik di tingkat lokal (Palungan & Setyanto, 2009: 380). Menguatnya isu identitas ini dilakukan oleh elite antara lain dengan upaya membenturkan keberadaan satu kelompok yang merasa tidak diuntungkan oleh keberadaan kelompok lain sehingga mampu membangkitkan sentimen di suatu kelompok. Hal ini juga disebutkan di jurnal milik Muhtar Haboddin (2012) yang berjudul Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal menyebutkan bahwa politik identitas ditransformasi ke dalam entitas politik dengan harapan bisa menguasai pemerintahan daerah sampai pergantian pimpinan puncak. Atau menurut Gerry Van Klinken (2007) disebut elit lokal yang mengambilalih seluruh bangunan institusi politik lokal. Politik etnisitas digunakan untuk mempersoalkan antara „kami‟ dan „mereka‟, „aku‟ dan „kamu‟ sampai pada bentuk yang ekstrem, seperti „islam‟ dan „kristen‟ atau „jawa‟ dan „luar jawa‟. Persepsi ini dibangun oleh elit politik lokal untuk melawan rival politiknya yang merupakan „kaum pendatang‟. Dalam penyataan diatas dapat disimpulkan bahwa politisasi identitas dimunculkan saat pemilihan pimpinan yang berbau lokal. Politisasi identitas dikonstruksikan dalam proses pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara berkala melalui bentuk-bentuk interaksi simbolik untuk mendapatkan dukungan massa. Proses penguatan dan pengentalan identitas dilakukan berkala secara intens oleh kandidat kepala daerah. Terdapat tiga sumber kekuatan etnis yang dianggap dominan dalam pemilihan kepala daerah yaitu agama, suku, dan adat
14
(Pulungan & Sentyanto, 2009: 380). Ketiga kekuatan etnis ini yang seringkali muncul dalam pemilihan kepala daerah yang dalam prakteknya dapat diwujudkan dalam berbagai macam bentuk seperti teks, konteks, maupun wacana. Ketiga kekuatan ini juga acapkali dieksploitasi oleh para kandidat untuk memperoleh keuntungan dan kekuasaan bagi dirinya. Unsur primordialisme yang dahulunya dianggap sebagai hal yang ditinggalkan saat ini justru menjadi kekuatan yang efektif untuk memperoleh legitimasi dan simpati dalam bahasa politik dan bentuk simbol yang diproduksi terus-menerus. Oleh karena itu, politisasi identitas kerap dikaitkan dengan citra dan wacana yang ditampilkan kepada publik. Wacana merupakan wujud dari praktekpraktek kekuasaan. Wacana menyangkut legitimasi bagi penguasa-penguasa elit dalam arena politik dan kerap dijadikan sebagai alat stategis politik. Hal senada juga dikemukakan oleh Michel Foucalt dalam jurnal milik Ibnu Hamad. Dalam jurnal tersebut menjelaskan bagaimana kekuasaan dapat mengontrol wacana, begitu pun sebaliknya, wacana dapat menghegemoni publik. Wacana disini dapat diartikan sebagai gagasan, konsep, maupun efek. Dari wacana ini kita dapat melihat bahwa realitas dipahami sebagai konstruk yang dibentuk melalui wacana. Konstruksi wacana inilah nantinya akan berdampak pada terbentuknya wacana dominan. Guy Cook (Eriyanto, 2001) menyebutkan bahwa terdapat tiga hal dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan wacana. “Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi
15
komunikasi, ucapan, musik gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi.”
Dari pembahasan diatas dapat diartikan bahwa wacana tidak hanya berwujud teks dalam media cetak tetapi juga dalam bentuk lain seperti komunikasi, bahasa, dll. Ketika identitas dijadikan sebagai sebuah alat untuk memproduksi kekuasaan maka wacana adalah kendaraan untuk menuju hal tersebut. Oleh karena itu, wacana kerap kali bersinergi dengan praktek politisasi identitas. Faktor utama mengapa kandidat menggunakan isu identitas dalam menarik simpati karena adanya faktor sosiologis dari perilaku pemilih yang cenderung memilih kandidat berdasarkan dari etnis yang sama. Dari penyataan diatas dapat dikatakan bahwa politisasi identitas dilakukan karena adanya pencarian massa yang dilakukan oleh elite-elite politik. Mereka kerap melakukan pemetaan pemilih berdasarkan perilaku politik pemilih. Hal ini dijelaskan dalam teori milik Daniel N. Posner (2007). Teori ini menjelaskan ada dua kecendrungan elit politik menggunakan
isu-isu
identitas.
Pertama,
kandidat-kandidat
biasanya
menggunakan berbagai pola pendekatan terhadap etnisitas menjelang arena pemilihan. Target yang menjadi sasaran adalah etnis yang bersangkutan maupun yang berdekatan dengan etnis tersebut. Kedua, kandidat memainkan kartu etnis (playing ethnic card) untuk mengamankan batas keunggulan yang dimilkinya dalam sebuah arena kompetisi baik ketika pemilihan berlangsung maupun setelah pemilihan.
16
E. Definisi Konseptual E.1. Identitas Etnis Sesuatu yang melekat pada etnis tertentu yang menjadi ciri khas dan karakteritik bersama. Karakteristik identitas etnis ditandai dengan adanya ikatan kolektif, adanya ingatan masa lalu mengenai yang direproduksi bersama, penanda-penanda etnis (sistem kekerabatan, pakaian, bahasa, ciri-ciri fisik), maupun rasa solidaritas didalamnya. Ciri khas inilah yang nantinya akan menyatukan anggota kelompok yang berada didalamya, sekaligus membedakan dengan etnis lainnya.
E.2. Politisasi Identitas Proses penguatan identitas pada individu yang tujuannya untuk memperoleh kekuasaan. Proses penguatan identitas ini disokongi oleh elite-elite politik dimana seseorang mencirikan sebagai salah satu identitas tertentu. Ketika citra personal dapat menjadi citra bagi suatu identitas tertentu maka dapat disebut sebagai politisasi identitas. Politisasi identitas juga kerap berkaitan dengan wacana (isu, bahasa, citra, maupun ekspresi komunikasi lainnya) digunakan sebagai salah satu instrumen bagi elit politik, yang biasanya dilakukan di arena pemilihan.
17
F. Definisi Operasional Beberapa tolok ukur cagub dan cawagub terlibat dalam praktek politisasi identitas adalah sejauh mana mereka menggunakan identitas Betawi dalam proses kampanye mereka. Penggunaan identitas Betawi tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain: 1. Gaya busana; 2. Bahasa atau istilah verbal yang digunakan; 3. Penggunaan isu ke media; 4. Iklan, baik dalam media cetak maupun elektronik; 5. Mobilisasi organisasi etnis.
G. Metode Penelitian G.1. Jenis Penelitian Penelitian ini membahas mengenai politisasi identitas keBetawian dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012. Penelitian ini memakai jenis metode penelitian kualitatif dengan berbasis desain penelitian studi kasus. Penelitian kualititatif dianggap sebagai metode penelitian yang cocok dengan penelitian yang hendak dibahas karena dapat mendeskripsikan suatu peristiwa secara merinci dan mendalam, bersifat sistematis dan naratif. Metode ini menghasilkan data-data yang bersifat deskripstif, baik tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati oleh peneliti. Hal ini sesuai dengan tujuan dari penelitian yang ingin
18
menjelaskan dan menggambarkan sejauh mana sentimen etnisitas dijadikan instrumen dalam pemilihan kepala daerah dan bagaimana hal itu terjadi. Penelitian ini menggunakan pertanyaan riset “why and how” karena secara khusus ingin mengungkap mengapa dan bagaimana politisasi identitas terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Dengan memakai studi kasus, penelitian ini lebih kaya data dan menjelaskan serta mengeksplorasikan kasus. Selain itu, studi kasus juga memiliki batasan-batasan dalam mengkerangkai penelitian. Batasan tersebut dapat batasan waktu dan tempat. Batasan waktu dalam penelitian ini adalah tahun 2012. Selain itu batasan tempat adalah di DKI Jakarta. Karena adanya batasanbatasan tersebut maka studi kasus tidak dapat digeneralisasikan sehingga hasilnya hanya dapat berlaku di kasus itu sendiri. Sedangkan lokasi yang diteliti adalah pemilihan gubernur di DKI Jakarta, sehingga tidak berlaku bagi kasus yang terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia kecuali kasus yang mempunyai ciri khas maupun karakteristik yang sama. Hal ini pula yang menjadi kelemahan studi kasus dimana satu kasus tidak dapat dapat digeneralisasi dengan kasus lain. Dengan kata lain, hanya berlaku bagi kasus itu sendiri. Penelitian ini menggunakan studi kasus tunggal, yaitu Politisasi Identitas dalam Pilkada. Studi kasus tunggal menyajikan uji kritis suatu teori yang difokuskan pada kasus yang dipilih. Studi kasus tunggal berfokus pada sejumlah kecil kejadian yang diselidiki secara mendalam dalam satu rentang waktu, atau dalam jangka waktu yang lebih panjang (Daymon & Holloway, 2002: 166). Peneliti menggunakan studi kasus tunggal karena dapat melakukan eksplorasi mendalam dan spesifik mengenai suatu kasus sehingga penelitian hanya berfokus 19
pada satu kajian. Studi kasus tunggal hanya menggunakan satu kasus untuk memahami fenomena dibalik sebuah kasus. Tidak seperti halnya multiple case study yang menganalisis dua atau lebih unit kasus untuk menarik satu kesimpulan didalamnya yang lebih luas. Penelitian ini menggunakan beberapa sumber data, yaitu observasi, wawancara mendalam, serta kajian pustaka berupa dokumen, dan arsip yang berkaitan dengan kajian yang dibahas. Dengan begitu, metode ini dapat menggali lebih mendalam mengenai informan-informan yang diteliti seperti tim sukses kandidat beretnik Betawi yaitu tim sukses Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (FokeNara). Penentuan informan dalam pencarian data menggunakan snowball sampling. Artinya, pada teknik ini peneliti sebelumnya telah menentukan seorang informan kunci sebagai sumber data awal. Informan kunci penelitian ini adalah tim sukses Foke-Nara. Peneliti mendatangi kantor KPUD Jakarta untuk meminta daftar tim sukses Foke-Nara. Kemudian, tim sukses yang menjadi informan pertama peneliti akan menunjuk tim sukses lainnya, begitu seterusnya. Secara singkat, alasan peneliti memilih metode penelitian ini antara lain: Pertama, penelitian lebih fokus karena adanya batasan-batasan dalam metode studi kasus. Kedua, penelitian lebih kaya data karena studi kasus memfokuskan penelitian dengan rumusan masalah why dan how. Ketiga, penelitian menggunakan studi kasus tunggal untuk melakukan penggalian mendalam tetapi tetap berfokus pada satu kasus saja. Keempat, dalam pencarian data studi kasus
20
bersifat fleksibel, dalam arti tidak hanya terpaku pada satu aktivitas saja. Kelima, proposisi menggiring untuk mencari data-data yang relevan dan data-data yang dicari tetap fokus walupun data yang dicari banyak.
G.2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini memakai tiga cara untuk mengumpulkan data yaitu wawancara atau interview, observasi, serta studi kepustakaan atau kajian literatur. Format wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam yaitu menggunakan interview guide yang telah dibuat dan memodifikasi pertanyaan ketika wawancara berlangsung. Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur sesuai dengan arah pembicaraan informan. Selain itu, teknik selanjutnya adalah observasi. Observasi yang dilakukan adalah observasi tidak langsung. Peneliti tidak terjun langsung ke lapangan, tetapi peneliti melihat video dan gambar kampanye untuk mengamati kasus yang tengah diteliti. Langkah selanjutnya adalah studi kepustakaan atau kajian literatur. Studi kepustakaan ini berkaitan dengan menelaah teoritis dari sejumlah literatur seperti buku, jurnal, koran, majalah, dokumen-dokumen, serta literatur lainnya yang berwujudkan penelitian. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan beberapa sumber terkait yaitu tim sukses dari kandidat beretnis Betawi pada Pilkada DKI Jakarta, yaitu Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli. Tim sukses menjadi narasumber utama karena merupakan seorang yang paling kompeten dan 21
mengetahui seluk beluk dari cagub dan cawagub yang tengah bertarung dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012. Wawancara dilakukan dengan mengarah pada interview guide tetapi dikembangkan sesuai dengan data yang dibutuhkan. Wawancara yang dilakukan bersifat formal dan informal sesuai dengan kemauan informan dan arah pembicaraan. Selain itu, observasi yang dilakukan adalah observasi tidak langsung dengan mengamati bagaimana proses kampanye Foke-Nara dengan video yang di unggah di media sosial. Dengan demikian, peneliti mendapatkan gambaran mengenai apa saja yang dipakai cagub dan cawagub selama kampanye misalnya simbol dan atribut yang dipakai serta visi dan misi dari cagub dan cawagub tersebut. Selain wawancara dan observasi, selanjutnya adalah studi kepustakaan untuk melengkapi data-data primer hasil wawancara dan observasi. Studi kepustakaan ini dapat ditelaah dari berbagai sumber media cetak seperti buku, internet, majalah, skripsi, serta literatur-literatur lainnya yang bersifat ilmiah dan berkaitan dengan penelitian ini.
G.3. Teknik Analisis Data Dalam teknik analisis data terdapat beberapa langkah yang dilakukan bagi penelitian. Awalnya adalah mengumpulkan data-data yang diperoleh dari lapangan baik wawancara narasumber maupun observasi langsung. Kemudian, hasil data primer yang telah didapat dikombinasikan dengan data sekunder untuk melengkapi satu sama lain atau mencocokkan dengan data yang telah didapat dari
22
lapangan. Untuk mempermudahkan dalam mengklasifikasikan data, data-data primer maupun sekunder, data yang telah terkumpul dibuat transkrip lebih dahulu. Hal ini juga membantu peneliti untuk memilah-milah bagian mana yang akan ditulis dari setiap bab penulisan. Tahapan selanjutnya adalah reduksi data. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data secara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Zed, 2004: 19). Reduksi data dapat meringkas data-data yang telah dikumpulkan menjadi data yang dibutuhkan kedalam penelitian. Hal ini juga untuk mensinkronisasikan data di setiap bab penelitian. Penting untuk diingatkan kembali bahwa pada analisis data, pembungkusan teori menjadi hal yang terpenting karena dapat menelaah penelitian dengan perubahan yang diperlukan. Setelah mengumpulkan data serta mereduksi data, selanjutnya adalah membuat kesimpulan. Pembuatan kesimpulan diambil berdasarkan pokok-pokok dari bab yang telah disusun dalam teks penelitian. Kesimpulan juga memuat jawaban dari rumusan masalah yang dibuat. Selain itu, kesimpulan menampilkan pencapaian tujuan-tujuan dari penelitian.
H. Sistematika Penulisanan Laporan penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab yang memiliki keteraturan didalamnya. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi tentang 23
latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, definisi konseptual, serta metode penelitian. Selanjutnya pada bab dua membahas mengenai jejak-jejak politisasi identitas Betawi, baik yang dilakukan elite pemerintah maupun elite Betawi itu sendiri. Bab dua merupakan kajian historis karena melihat politisasi identitas Betawi yang terjadi dari masa ke masa (sebelum pilkada tahun 2012 yang menjadi konten dari penelitian ini). Bab dua ini berjudul „Menelusuri Politisasi Identitas Betawi‟ yang terbagi menjadi dua sub bab yaitu Orde Baru dan Reformasi. Dibagi menjadi dua sub bab karena peneliti ingin menjelaskan bagaimana pola yang terjadi hingga munculnya politisasi identitas Betawi di pilkada yang terjadi saat ini. Bab ketiga berjudul Identitas Betawi Bermain di Pilkada 2012. Pada bab ini dibahas mengenai bagaimana politisasi identitas Betawi dilakukan oleh kandidat yang beretnik Betawi, yaitu Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli. Dimulai dari proses perkawinan mereka, serta proses selama kampanye berlangsung, seperti penggunaan simbol Betawi dalam kampanye, dan isu-isu kebetawian yang dilempar oleh kandidat ke publik. Kemudian pada bab empat dibahas mengenai mobilisasi organisasi Betawi yang dimanfaatkan oleh pasangan. Solidaritas sesama Betawi menjadi keuntungan sendiri bagi kandidat, dimana terdapat tim sukses khusus yang dibentuk oleh pasangan untuk menjaring masyarakat Betawi. Dengan apa dan bagaimana jaringan-jaringan Betawi ini terbungkus rapi di bab empat.
24
Bab kelima merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan rekomendasi penulis. Pada bab ini mengulas ulang secara singkat mengenai garis besar penelitian ini serta menjabarkan teori yang diulas dengan hasil penelitian sejalan atau bahkan bertolak belakang dengan kasus yang diteliti di Jakarta. Refleksi penelitian juga terlampir dalam bab terakhir ini.
25