BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Karakter bentuk fisik suatu tempat perlu dikenali melalui elemen dasar
lingkungan, bentuk ruang, dan kualitas nilai suatu tempat. Pemahaman makna tentang nilai, keunikan, dan karakteristik suatu tempat akan membentuk suatu identitas. Identitas akan memberikan “arti” sebagai pembentukan image suatu tempat (place). (Lynch, 1960). Pusat kota merupakan gerbang masuk segala pengaruh dan perubahan bagi daerah belakang (hinterland). Perkembangan sosial budaya tersebut telah memperkaya wujud fisik kota dan membentuk identitas kota. Gagasan menciptakan identitas suatu daerah atau suatu kawasan yang kerap dicoba dimanifestasikan dalam wujud fisik. Kebutuhan akan identitas ini juga muncul dalam berbagai slogan dengan berbagai dalih, mulai dari jati diri hingga budaya. Hal ini tidak selalu berarti negatif karena keinginan akan sesuatu yang “luhur” adalah baik. Apakah sebuah kota harus memiliki gapura atau tugu kota? Apapun namanya, membangun wilayah pusat kota merupakan salah satu hal penting bagi identitas sebuah kota. John Ormsbee (Garden Cities,1994) membuat perbandingan yang unik antara kota dan manusia. Dia menyatakan, kota ibarat manusia. Kota tumbuh, bergerak, berpikir, sehingga kota pun harus tampil rapi, bersih, menawan, dan tentu saja perlu bersolek supaya kelihatan menarik. Penampilan sebuah kota
1
adalah identitas yang dibaca, oleh warganya maupun tamu yang berkunjung. Apakah sebuah kota mempunyai kesan welcome? Warga yang menilai kotanya cukup bersih, teratur, nyaman, dan segar tentu akan tinggal dengan kebanggaan sebagai warga kota. Begitu pula tamu yang memiliki kesan baik, mencatat kota bersangkutan sebagai kota yang layak dikunjungi di kesempatan mendatang. Yogyakarta harus mempunyai jati diri atau ciri khas yang menunjukkan identitasnya sebagai trade mark. Kota juga harus mempunyai kandungan collective memory. Salah satu kota yang mempunyai kandungan kenangan kolektif adalah Kota Yogyakarta terutama di pusat kotanya (sekitar kawasan Malioboro). Kawasan ini terbentuk oleh faktor sejarah yang menyimpan banyak memori masa lalu baik nilai-nilai budaya, sosial, spiritual, ekonomi hingga politik. Karena menyimpan memori masa lalu yang sangat kuat dan berkesan bagi pelaku ruangnya, maka muncul keinginan untuk selalu mengulang hadir kembali dalam pentas kehidupan ruang perkotaan ini. Wajah kota juga merupakan bagian dari identitas itu sendiri dimana bangunan-bangunan yang melingkupi memegang peranan penting disana. Seperti M.I. Ririk Winandari (2002) dalam penelitian mengenai identifikasi elemen arsitektur lokal yang sesuai untuk bangunan di Jalan Malioboro Yogyakarta, yang ditinjau dari persepsi masyarakat. Image Malioboro dianggap kuat jika memiliki bukaan pintu, selasar, deretan kolom, dan memiliki ketinggian 2 lantai. Dalam hal ini kontinuitas bangunan dan penampilan visual sangat mempengaruhi identitas
2
sebuah kawasan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa bentuk dan elemen arsitektur lokal tidak selalu dianggap sesuai untuk penampilan visual Malioboro. Komposisi signage juga turut menciptakan kondisi visual kawasan Malioboro seperti dalam penelitian Khamelia Destri A. (2003). Keberhasilan tatanan signage Malioboro tidak hanya ditentukan oleh tatanan signage tetapi juga komposisinya terhadap keseluruhan bangunan. Hilangnya identitas suatu kawasan disebabkan oleh hilangnya karakter khas kawasan dimana komposisi signage turut menentukan didalamnya. Kota akan lebih terasa identitasnya ketika kota tersebut memberi ruang untuk pemasaran produk lokal. Kawasan Malioboro di Kota Yogyakarta adalah sebuah bukti, betapa kegiatan jual beli produk lokal menjadi sebuah aktivitas unggulan yang menjadi sebuah identitas lokal. Keberadaan kawasan sekitar juga sangat mendukung kuatnya image suatu kawasan. Sub kawasan Malioboro dalam hal ini kampung Dagen seperti dalam penelitian Fitriyah Nurul HidayatiUtami (2005) memandang gejala perubahan morfologi bangunan dan faktor-faktor penyebabnya sangat mempengaruhi image kawasan Malioboro itu sendiri. Keberadaan PKL tersebut menjadi ikon kawasan Malioboro, bahkan muncul jargon “kalau ke Jogja belum ke Malioboro belum dianggap ke Jogja”. Eksistensi PKL tersebut memberikan sebuah penegasan bahwa identitas sebuah kota dapat dibangun dengan ikon PKL yang menjajakan produk lokal (Purwanto, 2007). Eko Sofiyanto (2002) dalam penelitiannya mengenai arahan sistem desain pedagang kaki lima di Jalan Malioboro Yogyakarta juga menganggap PKL sebagai komponen penting untuk membentuk karakteristik Jalan Malioboro itu
3
sendiri. Pengembangan sistem desain dan seting PKL akan menjadikan PKL sebagai daya tarik Malioboro. PKL tak hanya hadir sebagai pelengkap kawasan, namun membentuk karakteristik tersendiri bagi ruang publik dan jalur pejalan kaki Malioboro. Pemanfaatan
ruang
publik
sebagai
area
perdagangan
sekaligus
pusat
berkumpulnya masyarakat Malioboro menjadi penelitian Fuad Zubaidi (2008) yang mengamati bahwa area pasar sore Kawasan Malioboro menjadi titik node bagi berkumpulnya masyarakat. Keberadaan PKL juga turut membentuk pola jalur pejalan kaki dan menimbulkan keragaman fungsi dari trotoar merupakan penelitian Nurhikmah Budi Hartati (1997) dimana semua itu turut membentuk karakteristik Malioboro. Peran perencana, arsitek, sosiolog, dan pengelola pembangunan kota tidak sekadar merumuskan rencana masa depan kota secara fisik dan keruangan yang serba deterministik, rasional, dan fungsional, melainkan mengarah pada aspek keterlibatan pelaku ruangnya. Membangun kota bukan sekedar mendesain kawasan maupun bangunan berasas estetika belaka. Jangan pernah memahami sebuah kota sebagai lautan beton yang disusun rapi sedemikian rupa yang selalu ingin tampak indah. Seorang perencana, arsitek, sosiolog, hingga pengambil kebijakan harus membebaskan diri dari pikirannya bahwa perencanaan pembangunan kota hanyalah fisik semata. Membangun lalu kemudian mempertahan identitas kota tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kekuatan pasar yang semakin mengontrol pembangunan kota begitu mudah mengendalikan kebijakan Pemerintah terkait
4
pembangunan kota. Membangun dan mempertahankan identitas kota pada dasarnya bukanlah perkara mudah, disisi lain membangun identitas kota sangat diperlukan, karena identitas kota tidak hanya berbicara jati diri sebuah kota namun lebih luas lagi yaitu bagaimana masyarakat yang menempati menjadi lebih nyaman dalam bersosialisasi, berinteraksi, sedangkan masyarakat yang mengamati menjadi lebih tertarik untuk mengunjungi dengan berbagai potensi kekayaan khasanah lokalnya. Beberapa penelitian yang diangkat mengenai jalan dan kawasan Malioboro sebagai locus menganggap Malioboro sebagai hal yang khas dari Kota Yogyakarta dimana kekhasan tersebut tidak terdapat di kota lainnya. Dalam hal ini, penelitian-penelitian sebelumnya memberikan kesimpulan bahwa Malioboro merupakan identitas Kota Yogyakarta. Penelitian-penelitian terebut sebagai referensi untuk saat ini melakukan penelitian mengenai elemen-elemen yang membentuk identitas Malioboro Yogyakarta itu sendiri.
1.2
Rumusan Masalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu propinsi yang
berkedudukan sebagai sebuah daerah otonomi di Indonesia dengan ibukota propinsinya adalah Kota Yogyakarta. Kota ini memiliki banyak predikat, seperti kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata. Hal ini sesuai dengan visi Kota Yogyakarta yaitu terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan yang berkualitas, pariwisata yang berbudaya, pertumbuhan dan pelayanan jasa
5
yang prima, ramah lingkungan serta masyarakat madani yang dijiwai semangat Mangayu Hayuning Bawana. Sebutan Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan potensi propinsi ini dalam kacamata kepariwisataan. Berbagai jenis obyek wisata dikembangkan di wilayah ini seperti wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata pendidikan, wisata belanja, bahkan yang terbaru wisata malam. Wisata belanja yang dari dulu dan sampai sekarang ini selalu diminati para wisatawan baik domestik maupun mancanegara adalah wisata belanja di kawasan Malioboro. Kawasan Malioboro terbagi menjadi 4 (empat) sub kawasan yaitu; sub kawasan Jl. P. Mangkubumi (dari Tugu sampai persimpangan kereta api), sub Kawasan Jl. Malioboro, sub Kawasan Jl. A. Yani dan sub Kawasan Alun-alun Utara (dari perempatan Kantor Pos sampai Pagelaran Kraton). Didukung dengan adanya Tugu (yang jika ditarik garis lurus dari utara ke selatan adalah titik pembagi yang seimbang antara Gunung Merapi dan Laut Selatan) yang menjadi landmark kota Yogyakarta secara otomatis Jl. P. Mangkubumi merupakan “Pintu Utama” sekaligus “Ruang Penerima” bagi pengunjung untuk masuk Kawasan Malioboro dan Kraton. Hal ini dikarenakan G. Merapi – Tugu – Kraton – Laut Selatan berada dalam satu garis lurus (poros imajiner).
Gambar 1.1. Tugu Pal Putih dan Kawasan Malioboro Sumber: www.vtrediting.files.wordpress.com
6
Gambar 1.2. Gedung Kantor Pos Pusat dan Keraton Sumber: www.katalogkota.com
Kraton sebagai pusat pemerintahan semenjak dari jaman prakemerdekaan sampai dengan saat ini dimana kepala daerah (gubernur) dipegang oleh Sri Sultan Hamengkubuwono secara turun temurun dan wakil gubernur dijabat oleh Paku Alam, ciri khas kerajaan (monarki) yang masih diakui di Indonesia. Tempat-tempat inilah yang dari dulu menjadi pusat komunitas warga Yogyakarta dimana berkumpul dan mengeluarkan kreativitasnya. Akan tetapi beberapa waktu ini terjadi beberapa pergeseran pusat komunitas dan aktivitas warga Yogyakarta, seperti munculnya beberapa pusat perbelanjaan baru yang menawarkan kegemerlapan dan kelengkapan, seperti Ambarukmo Plaza, Saphir Square, dan juga tempat hiburan baru yakni Empire XXI yang menjadi ikon perfilman, membuat warga Yogyakarta, remaja dan pemuda khususnya lebih cenderung untuk memilih mall sebagai tempat belanja dan sekedar bercengkerama atau melepas penat, yang dinilai lebih berkelas daripada Jalan Malioboro sebagai pusat kegiatan masyarakat Yogyakarta. Padahal dulunya Malioboro adalah tempat utama warga Yogyakarta berkumpul, nongkrong, dan menuangkan kreativitasnya.
7
Nilai-nilai historis dari terbentuknya Malioboro dan lingkungan sekitarnya juga sedikit demi sedikit tergeserkan melalui perkembangan kota yang mengarah ke liberalisme. Malioboro tak ubahnya seperti tempat berbelanja seperti pusat-pusat perbelanjaan lainnya tanpa ada identitas historis dibelakangnya. Pusat kota Yogyakarta yang diharapkan tetap teguh mempertahankan nilai budaya, saat ini mengalami stagnasasi dalam perkembangannya. Hal ini akan menjadikan Yogyakarta sedikit demi sedikit kehilangan identitasnya karena Kota Yogyakarta tak berbeda dengan kota lainnya. Masyarakat umum memegang peranan penting untuk menilai elemen apa sajakah yang menjadi identitas tersebut karena masyarakat umum sebagai pengguna Malioboro. Identitas tersebut akan lebih dirasakan oleh pengunjung Malioboro yang bukan menggunakan Malioboro sehari-hari dimana masyarakat akan menilai berdasarkan pengamatan saat berkunjung, memori masa lalu, dan pengalaman yang berbeda antara orang satu dengan yang lainnya. Untuk menilai elemen Malioboro dari segi tatanan ruang dan massa akan lebih mudah dinilai oleh masyarakat dari kalangan yang berlatar belakang arsitektur atau desain perkotaan. Masyarakat dengam latar belakang arsitektur dan desain perkotaan diharapkan memberikan penilaian lebih mendalam. Jika masyarakat umum dan masyarakat dari kalangan arsitektur/desain perkotaan bersama-sama memberikan penilaian dan input terhadap elemen-elemen Malioboro. Mereka nantinya diharapkan dapat memberikan arahan rancangan yang lebih baik dimana menjadikan elemen Malioboro sebagai identitas Yogyakarta ataupun memperkuat identitas tersebut.
8
1.3
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, peneliti terlebih dahulu mengidentifikasi
elemen apa yang membentuk identitas Malioboro Yogyakarta secara visual. Kemudian mengidentifikasi di koridor-koridor Jalan Malioboro Yogyakarta apakah identitas kota secara visual masih dapat ditemukan dan dirasakan sepanjang koridor tersebut. a.
Elemen-elemen apa saja yang membentuk identitas Jalan Malioboro Yogyakarta?
b.
Bagaimana persepsi masyarakat mengenai elemen-elemen pembentuk Jalan Malioboro tersebut?
c.
1.4
Rekomendasi seperti apakah yang dapat memperkuat identitas Malioboro?
Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk memberikan kontribusi dalam mendapatkan/ merumuskan elemen-elemen yang menjadi identitas Jalan Malioboro.
Rumusan elemen yang menjadi identitas Jalan Malioboro akan mendasari arahan desain agar penguatan karakter Malioboro tetap konsisten.
1.5
Keaslian Penelitian Penelitian tentang studi Identifikasi Elemen Pembentuk Identitas Jalan
Malioboro Yogyakarta ditinjau dari persepsi masyarakat mengidentifikasi elemen visual baik fisik maupun non-fisik yang membentuk ciri khas Kota Yogyakarta itu sendiri. Dibandingkan dengan penelitian lain berdasarkan focus dan locus yang
9
terlihat bahwa usulan ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian dengan focus yang memiliki kesamaan yaitu dalam hal citra dan identitas suatu kawasan adalah: Nama
: Edi Purwanto (1996) Tesis Program Studi Teknik Arsitektur
Judul Penelitian
: Citra Pusat Kota Yogyakarta Menurut Kognisi Pengamat Menggunakan kemampuan Peta Mental
Lokasi Penelitian : Pusat Kota Yogyakarta (Tugu - Kandang Menjangan) Tujuan Penelitian : Memperkaya teori tentang elemen-elemen pembentuk citra kota. Hasil Penelitian: Elemen-elemen yang dapat dipahami, dikenali, dan memberikan kesan bagi pengamat adalah landmark kota/kawasan; Struktur pusat kota Yogyakarta dapat dikenali melalui 4 kawasan yang memiliki hubungan (interrelasi), dihubungkan oleh penggal jalan Trikora - Jl. A. Yani - Jl. Malioboro - Jl. Mangkubumi; Citra pusat kota Yogyakarta memberi gambaran keunikan dan kekhasan setempat yang dipengaruhi oleh aspek sejarah; Citra pusat kota Yogyakarta tercipta oleh aspek fisik dan non-fisik. Namun dalam hal pengambilan data pada metode penelitian dan locus penelitian penulis memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Gagasan menciptakan identitas suatu daerah atau suatu kota kerap dicoba untuk dimanifestasikan dalam wujud fisik. Kebutuhan akan identitas ini juga muncul dalam berbagai slogan dengan berbagai dalih, mulai dari jati diri hingga
10
budaya. Hal ini tidak selalu berarti negatif karena keinginan akan sesuatu yang “luhur” adalah baik. Termasuk dalam menampilkan identitas kota Yogyakarta pada Jalan Malioboro itu sendiri. Namun pada faktanya Kota Yogyakarta kurang memperlihatkan identitas kota Yogyakarta itu sendiri. Ciri khas kota Yogyakarta yang mulai pudar seiring dengan perkembangan kota yang semakin mengikuti tuntutan jaman dalam hal ini mulai mengarah ke liberalisme dengan bermunculan pusat-pusat perdagangan modern. Visualisasi kota sendiri mengalami stagnasasi terutama Malioboro. Hal ini mengakibatkan berkurangnya identitas kota Yogyakarta yang selama ini dinilai berbeda dengan kota lainnya.
11
1.6
Kerangka Berfikir Tabel 1.1.
INPUT Latar Belakang Issue perkembangan Kota Yogyakarta Fenomena perkembangan Malioboro yang mengalami stagnasasi
Referensi Penelitian Pendahulu M. Ririk: karakter bangunan image Malioboro Destri: tatanan signage Malioboro Eko: desain PKL
Perlu penelitian untuk mengetahui elemen apakah yang membentuk identitas Malioboro Yogyakarta. ALASAN PENELITIAN
LANDASAN TEORI 1. Identitas Kota a. Elemen fixed b. Elemen semi-fixed c. Elemen non-fixed
2. Persepsi a. Pengamatan responden terhadap lingkungan saat ini b. Interpretasi terhadap pengalaman selama ini
VARIABEL PENELITIAN
Kerangka Berfikir PROCESS METODE PENELITIAN Metode Survei Deskriptif 1. Studi literatur Untuk mengetahui variabel penelitian. 2. Observasi lapangan Untuk mendapatkan gambar yang dapat mewakili persepsi responden. 3. Kuesioner Pertanyaan tertutup Pertanyaan terbuka Semantic diferensial 4. Pemilihan responden Responden dipilih dari masyarakat pengunjung Malioboro sehingga hasilnya dianggap dapat mewakili persepsi masyarakat. 5. Wawancara Penggalian data & informasi yang nantinya menentukan hasil analisis.
HASIL PEROLEHAN DATA LAPANGAN
OUTPUT ANALISIS 1. Elemen Fisik Kesimpulan elemen fisik yang menjadi karakter khas Malioboro Kesimpulan identitas Yogyakarta Hubungan Identitas Kawasan : Pengelompokan elemen visual berdasarkan fungsi 2.
Elemen Non Fisik
- PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI MALIOBORO - ELEMEN YANG MEMBENTUK IDENTITAS MALIOBORO - REKOMENDASI
Kesimpulan elemen non fisik yang menjadi karakter kota
HASIL ANALISIS
KESIMPULAN
12