BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS Bab keempat dilandaskan pertanyaan penelitian pertama, yaitu bagaimana proses pembentukan identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga. Untuk menggambarkan dan menjelaskan proses pembentukan identitas tersebut, pola hubungan negara pusat dan satelit menjadi sangat penting. Balinuraga sebagai negara satelit tidak dapat melepaskan dirinya dari Bali sebagai negara pusat. Hal ini disebabkan – seperti yang dikemukan Geertz (1959) – kuatnya ikatan sosial yang mengikat masyarakat Bali. Ikatan sosial yang kuat menjadikan Balinuraga (negara satelit di luar Bali) tetap mengorbit pada pusatnya. Pola hubungan negara pusat dan satelit bukan merupakan hubungan yang statis, tetapi dinamis. Seperti yang menjadi kritik Schulte Nordholt (2009) atas kestatisan hubungan negara pusat dan satelitnya Geertz (1980) dalam negara teater. Hubungan negara pusat dan satelit yang dinamis menjadikan keduanya (pusat dan satelit) sebagai aktor pengkonstruksi identitas. Dengan kata lain, mengacu pada tiga pengklasifikasian identitas berdasarkan bentuk dan asal usulnya Castells (2002), tidak hanya negara pusat yang menjadi aktor atau agen dalam mengkonstruksikan identitas satelit menjadi identitas yang sahih (legitimizing identity), tetapi negara satelit (Balinuraga) juga menjadi aktor yang mengkonstruksikan identitasnya dalam bentuk resistance dan project identity sebagai bagian dari politik identitas Balinuraga sebagai satelit yang aktif.
Aktor Datang dari sebuah pulau kecil, Nusa Penida, di sebelah timur Pulau Bali, dengan semangat dan tujuan yang sama, yakni mencari penghidupan secara ekonomi yang lebih baik, bukan menjadi satu-satunya tujuan utama bagi transmigran Bali Nusa. Sukses secara ekonomi di tanah rantau dan menjadi kaya, tidak akan berarti apa-apa jika mereka kehilangan identitas leluhurnya – identitas sebagai orang Bali Hindu. Kehilangan identitas berarti kehilangan jati diri mereka sebagai Bali Hindu, di mana secara sosial dan kultural mereka tersisihkan dari komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung, maupun di tanah kelahiran. Ini berarti kehilangan hak dan kewajiban mereka sebagai Bali Hindu, baik
97
berupa ikatan kekerabatan, adat istiadat, maupun status sosial yang disandangnya terun-temurun. Kekayaan materi tidak dapat menggantikan identitas tersebut. Beban psikologis secara sosial dan kultural akibat kehilangan identitas leluhur tidak dapat dibandingkan dengan kehilangan materi. Kekayaan materi dapat dicari melalui ketekunan dan kerja keras, tapi kekayaan komunitas yang terkandung di dalam identitas leluhur tidak dapat diperoleh kembali jika telah hilang akibat keputusan si individu untuk kepentingan tertentu baik bersifat politis maupun perkawinan – kasus umum: berpindah agama132. Identitas ini sudah melembaga di setiap individu dan komunitas. Ini yang menjadikan kuatnya ikatan antar individu yang memberikan ikatan kuat terhadap komunitas, di mana akhirnya melahirkan lembagalembaga yang bersifat formal dan informal dalam komunitas dan antar komunitas itu sendiri. Misalnya, dalam skala kecil –level keluarga besar – berupa identitas klan (warga, soroh, dadia, atau kawitan), di atasnya berupa ikatan tempat asal, ikatan adat dan agama. Melalui identitas ini rasa percaya diri muncul di daerah baru. Kepercayaan diri yang memampukan mereka untuk dapat eksis, baik dalam komunitas adat dan agama maupun dalam bidang ekonomi terkait profesi mereka sebagai petani yang dalam kegiatannya harus berinteraksi dengan kelompok masyarakat lain yang berbeda secara budaya dan kepercayaan. Bertransmigrasinya orang Bali Nusa ke Lampung tidak serta merta berpindahnya keaslian identitas leluhur sama seperti di tanah kelahiran. Proses transmigrasi yang bersifat spontan dan sporadis karena kondisi alam yang memaksa mereka untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan
132
Kasus berpindah agama – dari agama Hindu ke agama lain non-Hindu – merupakan kasus umum yang jarang terjadi. Beberapa narasumber menjelaskan bahwa motif politik dan perkawinan menjadi salah satu alasan mengapa mereka pindah agama. Pindah agama – menurut para sepuh dikatakan sebagai „jalan singkat‟ – bagi mereka yang memiliki ambisi politik untuk menduduki posisi tertentu (jabatan administratif dalam pemerintahan atau pun jabatan politik), karena dalam lingkungan kerjanya memiliki posisi sebagai minoritas. Termasuk, perkawinan beda agama – ikut agama atau kepercayaan dari pihak istri atau suami – yang mengakibatkan si individu berpindah agama: „jalan singkat‟ agar dapat menikah dengan calon istri atau suami yang berbeda agama.
98
harapan besar untuk meningkatkan perekonomian keluarga, menyebabkan ada beberapa elemen dalam identitas itu yang tertinggal di tempat asal. Misalnya, seka-seka dan banjar yang merupakan ikatan sosial yang melekat dalam diri orang Bali Hindu dan menjadi identitas mereka secara sosial dan keagamaan. Hal ini disebabkan tidak semua anggota dalam seka dan banjar tersebut bertransmigrasi. Secara psikologis, ketakutan akan hilangnya identitas leluhur dan kecemasan akan nasib di tanah rantau, menyebabkan ada yang memutuskan untuk bertransmigrasi dan tetap tinggal di tanah leluhur133. Akibatnya, mereka yang bertransmigrasi merupakan transmigran yang berasal dari banjar dan seka-seka yang berbeda-beda, di mana setiap banjar dan seka memiliki identitas sosial dan kultural yang tidak sama dengan banjar dan seka yang lain. Di samping itu, tidak semua dari mereka yang bertransmigrasi memiliki pemahaman yang mendalam tentang identitas kultural dan keagamaan mereka di tempat asal. Tingkat pendidikan formal mereka pun, transmigran pertama, rata-rata sangat minim. Mayoritas dari mereka masih buta huruf. Ini dapat dimaklumi karena mereka berasal dari pulau kecil dengan akses informasi yang tentunya terbatas dengan pulau induk. Belum lagi kondisi sosial politik dan geografis yang tidak mendukung, khususnya pasca kolonialisme, di mana gejolak sosial politik antara afiliasi politik pro-kanan dan pro-kiri terfokus di pulau induk. Faktor penting lainnya adalah keadaan geografis dan sosialkultural di daerah transmigrasi yang sangat berbeda dengan tanah kelahiran – kondisi tersebut ditambah dengan tingkat pendidikan yang minim serta kehidupan awal bertransmigrasi yang sulit – menyebabkan
133
Sebagai perbandingan lihat hasil penelitian: (1) Kasus transmigrasi etnis Bali ke Parigi Sulawesi Tengah dalam: Davis, Gloria. (1976). Parigi: A Social History at the Balinese Movement to Central Sulawesi 1907-1974, Disertasi Doktor Stanford University; dan (2) Kasus transmigrasi etnis Bali di Sumbawa dalam: Wirawan, A. A. Bagus. (2008), Sejarah Sosial Migran-Transmigran Bali di Sumbawa, 1952-1997, Yogyakarta: JANTRA (Jurnal Sosial dan Sejarah) Vol. III, No.6 Desember 2008. Sebagai alat analisis apa yang menjadi keterikatan sosial orang Bali yang menyebabkan mereka sulit untuk bertransmigrasi (bermigrasi) atau meninggalkan tanah kelahirannya ( di dalam banjar atau desa adat tertentu) lihat juga: Geertz, Clifford. (1959), From and Variation in Bali Village Structure, dalam America Antropologist Vol. 61. Pp.991-1012.
99
kevakuman identitas134. Elemen-elemen identitas yang tersisa – yang hanya melekat dalam diri individu (bersifat personal) – semakin terkikis di tempat yang baru karena proses adaptasi alamiah dengan keadaan geografis dan sosial-kultural yang baru, tingkat pendidikan yang sangat minim, serta kesulitan hidup pada masa-masa awal. Ketika menghadapi keadaan tersebut, sangat sulit bagi para transmigran untuk berpikir tentang ego identitas klan-klannya, dan cenderung pasrah / tergantung pada pemimpin komunitasnya (transmigran Bali Nusa). Dalam kondisi kevakuman identitas inilah mereka membutuhkan seorang sosok atau tokoh yang dapat dijadikan sebagai acuan atau patron bagi mereka agar dapat memiliki atau mendapatkan kembali jati diri atau identitas leluhurnya. Patron bagi mereka adalah seorang aktor (tokoh) yang memiliki kekuatan sekala dan niskala, di mana dapat memimpin mereka secara sosial (komunitas), adat dan keagamaan. Kepadanya (patron) mereka mendapatkan perlindungan, dan memiliki identitas. Transmigran (klien) yang berpusat pada seorang tokoh (patron) adalah kekuatan bagi patron tersebut. Sang patron tersebut ada dan memiliki kekuatan secara sosial dalam komunitas transmigran melalui kepercayaan dari para klien yang menggantungkan perlindungan dirinya pada sang patron.
Sri Mpu Suci: The Powerfull Pandé Aktor utama dalam pembentukan identitas transmigran Bali Nusa adalah Sri Mpu Suci. Peran penting sosok Sri Mpu adalah membawa transmigran Bali dari Pulau Nusa Penida menuju daerah transmigrasi di Lampung Selatan. Sebagai seorang inisiator dan pemimpin yang memiliki kharisma dan pengetahuan, Sri Mpu bertanggungjawab tidak hanya membawa para transmigran sampai ke tempat tujuan, tapi juga bertanggungjawab secara moral terhadap keberlangsungan hidup 134
Meskipun tanah daerah transmigrasi di Lampung Selatan lebuh subur daripada Nusa Penida, mereka (para transmigran) harus berhadapan dengan hutan baru yang harus dibuka untuk lahan pertanian - hutan yang masih lebat dengan hewanhewan liar seperti gajah, babi hutan, dan harimau sumatera, termasuk nyamuk penyebab malaria -, kelompok penduduk lokal dan kelompok-kelompok pendatang yang berasal dari berbagai daerah di Jawa (transmigran Jawa) yang secara kebudayaan dan kepercayaan berbeda dengan transmigran Bali.
100
transmigran dan keluarganya setelah berada di Lampung. Tanpa kepemimpinannya, komunitas transmigran yang belum mapan ini akan bubar, dan bukan tidak mungkin sebagian dari mereka akan terpencarpencar dan kembali ke Nusa Penida. Hal ini disebabkan di masa-masa awal kedatangan mereka ke Lampung kehidupan sangat sulit dan berat. Kedudukannya sebagai patron mempersatukan komunitas transmigran Bali Nusa di masa-masa awal. Para transmigran memberikan kepercayaannya kepada Sri Mpu untuk memimpin mereka selama berada di Lampung Selatan. Kepercayaan ini dilandaskan pada kapasitas dan kapabilitasnya yang mumpuni. Tidak hanya kemampuan yang tampak mata, tapi juga yang tak tampak mata. Syarat kepemimpinan ini sesuai dengan tradisi yang dipercaya oleh mayoritas orang Bali Hindu, bahwa seorang pemimpin harus memiliki kemampuan sekala (alam nyata) dan niskala (tidak terlihat / alam gaib)135. Artinya, seorang pemimpin diharuskan menguasai dan memiliki kekuatan yang berasal dari dunia riil (nyata, terujud), tapi juga yang nir-ujud (kekuatan tak nampak mata, bersifat magis). Mereka percaya bahwa pemimpin yang memiliki kekuatan seperti ini dapat dijadikan sebagai pemimpin, dan menjadi patron atau acuan (pusat) bagi para pengikutnya (klien: transmigran Bali Nusa). Ketika kevakuman identitas itu terjadi, sosok Sri Mpu Suci sebagai patron menjadi penting. Kedudukannya sebagai pusat atau acuan bagi para transmigran memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengisi kevakuman identitasnya. Hal ini disebabkan lemahnya fondasi identitas asal mereka ketika bertransmigrasi dan sampai di daerah transmigrasi. Fondasi identitas asal yang dimaksudkan adalah identitas dari lingkungan sosial di mana mereka dilahirkan, atau banjar di mana mereka berasal. Minimnya pendidikan dan pengetahuan akan adat dan keagamaan
135
Bagaimana keterkaitan hubungan antara raja (pemimpin/patron) dengan rakyatnya (klien) dalam konteks hubungan antara dunia sekala dan niskala terkait konsep “negara” di Bali pada masa prakolonial, lihat: Schulte Nordholt (2009) The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940. Untuk penjelasan lebih detail mengenai konsep sekala dan niskala dapat dilihat dalam: Eiseman (2005) Bali: Sekala & Niskala (Volume I: Essays on Religion, Ritual, and Art).
101
merupakan penyebab lemahnya fondasi identitas asal tersebut136. Situasi ini diperparah dengan beban psikologis dan ekonomi yang menjepit mereka selama perjalanan dan tahun-tahun awal berada di daerah transmigrasi. Situasi ini memperbesar ketergantungan mereka terhadap sang aktor yang menjadi patron utama – Sri Mpu Suci – untuk memperoleh perlindungan. Cara untuk mengisi kevakuman identitas tersebut adalah dengan menjadi pengikut identitas asal Sri Mpu Suci, di mana sebagian besar dari mereka memiliki identitas asal yang berbeda patron karena berasal dari banjar yang berbeda; atau, dalam desa atau banjar yang sama tapi berasal dari klan yang berbeda. Dalam kasus ini, perlindungan yang diharapkan dari klien sebenarnya bukan hanya perlindungan fisik, tapi perlindungan fisik yang didasarkan karena adanya persamaan identitas dengan patron. Dengan demikian, mereka merasa semakin terlindungi. Dari sisi patron, sudah menjadi kewajiban untuk melindungi kliennya. Pada masa-masa ini para klien belum berpikir panjang atas keberlangsungan identitas asal mereka, sehingga komunitas transmigran Bali Nusa – Balinuraga – memiliki satu identitas yang sama dengan patron. Nantinya, ketika Sri Mpu Suci wafat, pengkopian identitas sebagian besar klien terhadap patron menyebabkan terjadinya pengkotak-kotakan identitas di dalam komunitas Balinuraga, yaitu ketika timbulnya kesadaran dari setiap klan – kelompok masyarakat dari banjar-banjar lain yang memiliki klan yang berbeda dengan patron ketika masih berada di Nusa Penida – untuk mencari jati dirinya sendiri, dan tidak lagi bergantung pada identitas patron yang telah wafat. Masyarakat Bali sebenarnya cukup beragam di dalam komunitasnya sendiri sebagai Bali Hindu. Masyarakatnya terdiri dari 136
Lemahnya pengetahuan tentang agama (dan termasuk adat di dalamnya) pada transmigran Bali Nusa ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh larangan / paham ajawera (aja wera), yaitu larangan yang membatasi keleluasaan masyarakat untuk mempelajari agama secara mendalam (Wiana & Santeri 2005); larangan memberitahukan isi kitab-kitab Weda kepada golongan Sudra, hanya kaum brahmana dan kesatria yang boleh mempelajarinyal paham yang melarang sudrawangsa mempelajari lontar-lontar yang mengandung ajaran agama Hindu (Karepun 2003).
102
berbagai klan-klan, atau dalam Bali disebut sebagai warga atau soroh137. Di masa pemerintahan kolonial, tepatnya di tahun 1920-an, keberagaman ini semakin ditonjolkan untuk melahirkan sebuah perbedaan yang sangat mencolok dengan melakukan pemilah-milahan kelompok masyarakat berdasarkan wangsa (kasta) berserta dengan kedudukan istimewanya dari pihak kolonial, yaitu melalui proyek Balinisasi138. Kebijakan ini mengakibatkan pemilahan kelompok masyarakat Bali berdasarkan fungsinya di dalam masyarakat – seperti dalam “catur warna” dalam konsep Hindu – menjadi sangat tertutup (kaku), di mana sangat sulit seseorang dari lapisan tertentu untuk beralih ke lapisan yang lebih tinggi atau sebaliknya, kecuali ada kasus-kasus khusus seperti pelanggaran adat atau perkawinan beda wangsa (kasta)139. Kebijakan pemerintah kolonial yang bersifat campur tangan ini pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dan gejolak sosial politik di dalam masyarakat Bali yang sebenarnya benih-benih konflik tersebut sudah ada dan berlangsung cukup lama sejak masa kerajaan. Namun, di masa kerajaan keberagaman kelompok masyarakat Bali tidak seajeg atau sekaku di masa pemerintahan kolonial yang berambisi mengembalikan Bali seperti aslinya dan menjadi Bali sebagai surga dunia140. Pada masa kolonial inilah, masyarakat Bali
137
Kata “warga” dalam artian luas berarti keluarga atau klan; kelompok keturunan; sistem kekerabatan berdasarkan geneologi atau garis keturunan dari leluhur tertentu (konsep “warga” dapat dilihat juga dalam: Wiana & Santeri 2005, Eiseman 2005, Howe 2005, Wiana 2006, Kerepun 2007). Dalam kamus Bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder 1982) warga diartikan: (separate division, class, group, company, family), category, group, class, escp of persons (c f watek); family. 138 Lihat: Robinson, Geoffrey. (1995), The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali, Ithaca and London: Cornell University Press. 139 Penjelasan mengenai larangan-larangan dan sangsi-sangsi bagi perkawinan beda wangsa di masa kolonial dapat dilihat dalam Kerepun (2007) “Mengurai Benang Kusut Kasta: Membedah Kiat Pengajegan Kasta di Bali” hlm. 161-195. Lihat juga: Atmaja, Jiwa. (2008), Bias Gender: Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat Bali, Denpasar: Udayana University Press & Bali Media Adhikarsa; Budiana, I Nyoman. (2009), Perkawinan Beda Wangsa Dalam Masyarakat Bali, Yogyakarta: Graha Ilmu. 140 Di masa kerajaan seorang raja mempunyai hal untuk bisa menaik-turunkan status seseorang (jabawangsa menjadi bangsawan dan sebaliknya), dan gelar bangsawan yang diberikan kepada jabawangsa ditujukan agar mereka menjadi
103
mengalami konstruksi identitas atas pengaruh atau intervensi kekuasaan, yaitu pemerintah kolonial, yang sejak di awal abad ke-20 mulai menguasai Bali141. Lalu, pertanyaannya adalah bagaimana pengaruh konstruksi identitas pemerintah kolonial terhadap masyarakat Bali di Nusa Penida (Bali Nusa)? Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, efek dari konstruksi identitas pemerintah kolonial (Balinisasi) bagi masyarakat Bali Nusa tidak semencolok seperti di pulau induk, Bali. Selain faktor geografis yang cukup sulit dijangkau – berpengaruh terhadap arus informasi yang masuk ke Nusa Penida dan kondisi sosial politik yang terpusat dan bergulat hanya di pulau induk – juga dikarenakan posisi pulau ini yang sejak masa kerajaan dijadikan tempat pembuangan politik bagi musuh-musuh kerajaan atau pun orang-orang yang melakukan praktek ilmu hitam serta kejahatan masyarakat. Orang-orang yang dibuang dari pulau induk ke Nusa Penida sebagian besar bukanlah orang biasa, tapi orang-orang yang semasa di pulau induk memiliki pengaruh dan status sosial yang penting. Akibatnya, masyarakat di Nusa Penida lebih egaliter karena identitas mereka sebagai orang-orang buangan atau tahanan politik. Status sosial mereka yang tinggi dan penting sewaktu di pulau induk tidak berarti apa-apa setelah diasingkan (dibuang) ke Nusa Penida. Dengan kata lain, status sosial mereka sama dengan masyarakat asli dan masyarakat biasa yang ada di Nusa Penida. Situasi ini yang menyebabkan masyarakat Nusa Penida tidak mendapatkan pengaruh langsung yang berdampak secara nyata dalam kehidupan sosial mereka atas kebijakan Balinisasi pemerintah kolonial. Namun, situasi ini tidak membuat mereka hidup tanpa identitas. Status sosial menjadi lebih egaliter di pulau kecil ini, tapi identitas asal mereka tetap dipertahankan, yaitu identitas yang berasal dari klan atau warga. Meskipun ada di antara mereka ada yang berasal dari warga yang dulunya (baik di masa kerajaan atau sebelum diasingkan ke Nusa Penida) memiliki status sosial dan kedudukan yang tinggi, setelah di
lebih setia kepada raja dan membatasi bangsawan-bangsawan lain yang menjadi saingan politik raja (Schulte Nordholt 2009). 141 Lihat: Vickers, Adrian. (1996), Bali: A Paradise Created, Singapore: Periplus Edition.
104
Nusa Penida tidak ada pengistimewaan itu di dalam masyarakatnya. Kedudukan mereka tetap sama setelah berada di Nusa Penida. Status sosial atau pun kedudukan sosial tinggi yang mereka dapatkan di Nusa Penida bukan ditentukan oleh sejarah warga mereka di masa lampau, tapi lebih ditentukan oleh kapasitas dan kepabilitas si individu, yaitu bagaimana mereka memiliki kekuatan sekala dan niskala – yang mana di pulau ini memang dikenal sebagai pulau yang memiliki kekuatan niskala tersohor jauh sebelum masa kolonial142. Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana efeknya bagi transmigran Bali Nusa setelah berada di Lampung? Setelah berada di Lampung, transmigran Bali Nusa lebih nyaman dengan identitas warga atau klannya daripada dengan identitas wangsa atau kasta – ini merupakan identitas antar klan di dalam komunitas Bali Hindu, bukan menjadi identitas Bali Hindu karena klan-klan ini berada di bawah satu identitas Bali Hindu. Mereka menilai bahwa kasta tidak mewakili identitas klan atau warga-nya, dan itu (kasta) tidak menjadi penting setelah berada di Lampung: “Di sini tidak ada kasta-kastaan. Di Lampung sama semua. Kalau dibilang sudra, ya sudra semua. Tapi, di sini kami adalah warga (klan) Pandé, Pasek, Arya (dan lain-lain). Toh, samasama tani, sama-sama ngerantau (dan bukan sudra, atau tidak mau disebut sebagai sudra).”
Informasi yang didapatkan dari informan kunci dan beberapa anggota warga lainnya, mereka dapat menjelaskan mengapa mereka lebih condong atau lebih suka memakai istilah warga daripada kasta – khususnya informan yang sudah sepuh. Ini tidak terlepas dari faktor sejarah yang didapatkan dari tetua mereka ketika masih berada di Bali seputar perlawanan yang dilakukan beberapa warga yang menentang kebijakkan Balinisasi pemerintah kolonial yang mencampakkan warga mereka ke
142
Cerita (mitologi) kekuatan gaib yang ada di nusa penida yang berkembang luas di kalangan masyarakat Bali (dan bagi sebagian masyarakat Balimasih dipercaya eksistensinya) adalah keberadaan Jero Gede Mecaling yang memiliki kekuatan gaib yang menakutkan.
105
dalam kasta sudra (sudrawangsa atau jabawangsa). Tidak hanya fakta sejarah mengenai perlawanan berbagai tokoh warga-warga yang menolak kebijakan pemerintah kolonial tersebut, tapi penjelasan sejarah mengenai peran, fungsi, dan asal usul warga mereka pada masa kerajaan-kerajaan (pra kolonial), baik ketika masih berada di Jawa maupun setelah berada di Bali. Informasi yang mereka jelaskan pun bukan informasi kosong yang tidak memiliki bukti tertulis. Kepada penulis, mereka memberikan dan menunjukkan (juga mengizinkan penulis untuk mendokumentasikannya) tulisan sejarah tersebut. Catatan tertulis tersebut dikelompokkan pada dua masa, yaitu pada masa kerajaan-kerajaan dan pada masa kolonial. Catatan sejarah pada masa kerajaan merupakan sebuah babad warga yang berisi sejarah, asal usul keturunan, fungsi dan peran mereka pada masa itu; sedangkan catatan sejarah pada masa kolonial berisi bagaimana perlawanan mereka terhadap pemerintah kolonial mengenai kebijakan Balinisasi yang mencampakkan warga mereka ke kasta sudra143. Dalam catatan pada masa kolonial ini dilengkapi juga catatan perdebatan antara tokoh-tokoh warga dengan pihak kolonial dan perwakilannya (keturunan raja yang diangkat oleh pemerintah kolonial), di mana catatan perdebatan ini bersumber dari dokumentasi pemerintah kolonial. Dokumen-dokumen sejarah ini, baik pada masa kerajaan maupun masa kolonial, ada yang sudah diterbitkan ke dalam buku, tapi ada yang belum diterbitkan (untuk kalangan sendiri, kelompok warga itu)144. Dokumen sejarah yang sudah 143
Seperti yang dicatat oleh Robinson (2006: 97) bahwa: “Pada saat yang bersamaan, banyak kelompok atau jaringan klan yang terhormat tapi “bukan ningrat”, seperti Pandé, Pasek, dan Sengguhuh, secara kurang senonoh dicampakkan ke dalam kategori sudra yang luas dan longgar di luar golongan bangsawan, sehingga banyak sekali kehilangan hal dan prestise politik.” 144 Di antaranya adalah dokumen Warga Pandé yang ditulis oleh Made Kembar Kerepun – yang merupakan salah satu tokoh dari golongan jabawangsa yang terkenal vokal dan aktif menulis sejumlah buku dan artikel (mantan pejabat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gianyar 1965-1969), yaitu “Pandé Menggugat”: Telaah Singkat atas Dokumentasi Masalah Pandé, Maha Semaya Warga Pandé Propinsi Bali (Tidak Diterbitkan: Untuk Kalangan Sendiri). Kemudian, Ramayadi, Pandé Made (2000), Babad Pandé: Keketus, Kapupul Ian Kepipil, Pujung: Tidak Diterbitkan (Untuk Kalangan Sendiri); Ramayadi, Pandé Made. (2003), Upacara Madiksa (Ngalinggihang Sri Mpu Pandé), Disajikan dalam Paruman Sri Mpu Pandé Se-Bali (Tidak Diterbitkan: Untuk Kalangan Sendiri).
106
diterbitkan ada yang berbentuk utuh, ada pula yang dicuplikan sebagai bahan analisis dari beberapa penulis, baik penulis (peneliti) asing maupun lokal (umumnya berasal dari Bali). Ini bukan berarti dokumen yang tidak diterbitkan, atau yang diperuntukan bagi kalangan (warga) sendiri, tidak dapat dipercaya kebenarannya. Dokumen-dokumen tersebut pun juga ditulis dan dirangkum berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ada, seperti dari catatan-catatan lontar atau pun arsip-arsip pemerintah kolonial, di mana sumber-sumber tersebut juga digunakan oleh para penulis asing dan lokal sebagai bahan tulisan (buku) yang diterbitkan ke khalayak145. Komunitas transmigran Bali Nusa – Balinuraga – memiliki tiga komposisi besar warga-warga, yaitu Pasek, Pandé, dan Arya. Warga Pasek memiliki komposisi dengan rata-rata terbesar, yaitu 50%; kemudian Warga Pandé dan Arya masing-masing 25%146. Sang aktor, Sri Mpu Suci, berasal dari warga Pandé. Kedudukan Sri Mpu Suci sebagai patron menjadikan Warga Pasek dan Arya menjadikan identitas Sri Mpu Suci “Warga Pandé” sebagai identitas mereka. Kedua kelompok warga ini, Pasek dan Arya, menggabungkan komunitas mereka ke dalam Banjar Pandéarga, banjar pertama menjadi cikal bakal Desa Balinuraga – komunitas transmigran Bali Nusa pertama di Lampung Selatan. Banjar Pandéarga ini merupakan banjar bagi Warga Pandé yang didirikan oleh Sri Mpu Suci. Kevakuman identitas kedua kelompok warga ini memaksa mereka untuk meleburkan diri (bergabung) ke dalam Banjar Pandéarga, yang sebenarnya dikhususkan bagi Warga Pandé. Namun, dikarenakan masa-masa awal yang sulit dan di dalam kedua kelompok ini tidak 145
Salah satu contohnya adalah buku Made Kembar Kerepun (2007) yang berjudul Mengurai Benang Kusut Kasta: Membedah Kiat Pengajegan Kasta di Bali, Editor: Jiwa Atmaja, Denpasar: Panakom Publishing. Untuk terbitan yang lebih eksklusif seperti: Soebandi, Jro Manku Gde Ketut. (2003), Babad Pasek: Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi, Penyunting: Wayan Supartha; Denpasar: Pustaka Manikgeni. 146 Hitungan ini merupakan pembulatan dan perkiraan. Besarnya belum tentu sama. Pasti ada perubahan dalam skala kecil, tapi kurang lebih perkiraan jumlah komposisinya tidak terlalu signifikan. Dalam kasus ini, tidak ada perhitungan yang jelas, termasuk sensus antar warga di balinuraga, termasuk Lampung. Di Bali sendiri pun tidak ada sensus seperti ini secara resmi belum pernah dilakukan (Wiana & Santeri 2005).
107
memiliki sosok pemimpin, maka mereka pun bergabung ke dalam Banjar Pandéarga. Penggabungan ini bukan tanpa alasan. Ketergantungan kedua kelompok warga ini terhadap patron – Sri Mpu Suci – di masa-masa awal tidak terelakkan. Hanya kepada patron mereka menggantungkan perlindungan dan keberlangsungan identitas mereka yang lebih besar, yaitu sebagai Bali Hindu, dan mengabaikan untuk sementara identitas asal mereka, yaitu identitas warga. Di samping itu, sosok Sri Mpu Suci belum dapat tergantikan, dan pengkopian identitas ini merupakan salah satu wujud rasa terima kasih kedua kelompok besar warga ini terhadap Sri Mpu Suci karena telah membawa mereka sampai ke Lampung. Konsekuensi bagi kedua kelompok warga ini adalah, mau tidak mau, harus mengikuti tata-cara adat istiadat maupun keagamaan berdasarkan tata cara yang dimiliki dan diterapkan oleh keluarga besar Pandé, di mana sebenarnya kedua kelompok ini memiliki tata cara yang masing-masing berbeda. Bagi kedua kelompok warga ini, persoalan tata cara tidak menjadi persoalan. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan yang dimiliki perihal tata cara adat dan keagamaan, di mana sosok Sri Mpu Suci menguasainya secara mendalam. Selain karena masih dipengaruhi konsep ajawera147, legitimasi secara adat dan keagamaan (berdasarkan hubungan kekerabatan dari silsilah leluhur) untuk kasus Warga Pandé dan Pasek dibolehkan menggunakan sulinggih (pendeta/mpu) yang sama. Oleh karena itu, selain menjadi pemimpin transmigran Bali Nusa, Sri Mpu Suci turut menjadi pemimpin adat, agama, dan spiritual yang kemampuannya sangat mumpuni dan diakui oleh para transmigran lainnya. Tentu sangat lumrah jika kedua kelompok warga ini mengikuti (sebagian kecil / sebagian besar) tata cara dari Warga Pandé, karena Sri Mpu Suci merupakan seorang Warga Pandé yang penguasaan pengetahuannya diperuntukkan (secara
147
“Ajawera” menurut Dwipayana (2001) adalah konsep dalam mempelajari agama yang tidak bisa diomongkan atau diributkan. Namun, dalam catatan kaki sebelumnya, konsep “Ajawera” lebih dipertegas sebagai sebuah larangan yang bersifat membatasi golongan jabawangsa untuk mempelajari agama secara mendalam seperti yang ada di alam kitab weda (lihat: Wiana & Santeri 2005; Kerepun 2007).
108
khusus) bagi Warga Pandé148. Jika mereka tidak diperkenankan (diizinkan) bergabung dengan Warga Pandé, maka kevakuman identitas mereka akan semakin berlarut mengingat pengetahuan mereka yang minim dan terbatas mengenai tata cara adat dan keagamaan yang rumit dan tidak semua orang dapat menguasainya. Ada beberapa tujuan yang lebih besar yang bersifat jangka panjang mengapa Sri Mpu Suci menerima mereka bergabung dengan Warga Pandé di dalam Banjar Pandéarga. Pertama, mempertahankan identitas mereka sebagai Bali Hindu. Sri Mpu Suci tidak ingin kedua kelompok warga ini kehilangan identitasnya sebagai Bali Hindu hanya dikarenakan kekosongan pemimpin dari dalam kelompok ini. Meskipun terdapat perbedaan tata cara antar warga, tetapi dasar atau falsafah Hindu Bali-nya tetap sama. Ini yang menjadi pertimbangan dari Sri Mpu Suci sebagai aktor dalam masa-masa awal yang sulit, di mana dalam himpitan hidup yang sulit karena harus beradaptasi dalam lingkungan yang baru, rasanya berat bagi kedua kelompok ini untuk berpisah dari patronnya hanya untuk identitas warga-nya semata. Bagi mereka pun, setelah mempertimbangkan kapastitas dan kapabilitas Sri Mpu Suci, penggabungan ini tidak masalah karena masih sama-sama Bali Hindu dan berasal dari Nusa Penida. Kedua, kesolidan dan kepercayaan diri sebagai komunitas Bali Hindu. Sri Mpu Suci sudah mengetahui bahwa setiap warga memiliki karakteristik tersendiri meskipun mereka sama-sama Bali Hindu. Tapi, persatuan identitas itu penting, yaitu sebagai komunitas Bali Hindu di Lampung. Identitas sebagai Bali Hindu harus berada di atas identitas warga-warga. Jika tercerai berai hanya karena pengelompokkan wargawarga, maka bukan tidak mungkin komunitas mereka akan hancur di masa-masa awal. Rasa senasib dan seperjuangan untuk sampai ke Lampung adalah faktor penting di mana mereka menyingkirkan ego masing-masing warga. Jika ego ini dipertahankan, bukan tidak mungkin tujuan mereka untuk meraih kesuksesan akan gagal, dan kehilangan identitasnya karena tidak ada aktor panutan (patron) di dua kelompok 148
Sulinggih warga secara umum diperkenankan untuk memuput upacara bagi warga lain yang yang memiliki identitas warga yang berbeda (khususnya wargawarga yang berasal dari golongan jaba).
109
warga lainnya. Melalui kesolidan dan kepercayaan diri sebagai komunitas Bali Hindu mereka dapat sesegera mungkin untuk membangun komunitas Bali Hindu yang dikenal dengan Kampung Bali, yaitu dengan membangun pranata-pranata sosial, adat, dan keagamaan yang menjadi simbol identitas mereka. Di samping itu, posisi mereka di Lampung adalah sebagai minoritas etnik dan agama, di mana berbeda dengan yang lain. Mereka percaya bahwa identitas mereka adalah identitas yang unik, dan itu harus dipertahankan meskipun sebagai minoritas di luar Bali. Tanpa kesolidan dan kepercayaan diri sebagai komunitas Bali Hindu, hal ini akan sulit tercapai. Ini yang memutuskan mereka untuk membangun komunitasnya secara eksklusif. Ada banyak tata cara upacara adat dan keagamaan yang harus dilaksanakan. Semuanya membutuhkan partisipasi aktif dari setiap anggota komunitas dan dana yang tidak sedikit. Jika mereka terpencarpencar, maka akan sulit mengadakan kewajiban mereka sebagai Bali Hindu. Maksud utama dari kedua tujuan tersebut adalah sebagai fondasi dasar pembentukan identitas Bali Hindu dari komunitas Bali Nusa di Lampung Selatan untuk mengantisipasi kemungkinan di kemudian hari jika warga-warga lain telah menemukan dan ingin kembali ke identitas asal warga-warga-nya, yaitu menggunakan sulinggih dari kalangan warganya sendiri, bukan menggunakan pendeta atau mpu dari warga lain – karena setiap warga memiliki sulinggih-nya sendiri. Tindakan antisipasi ini benar setelah wafatnya Sri Mpu Suci. Warga-warga non-Pandé mulai memisahkan diri dan ingin kembali – „ajeg‟ – pada identitas warga-nya. Hal ini dikarenakan identitas warga itu merupakan identitas dari mana leluhur mereka berasal. Bagi mereka ini sangat penting sekali, dan tidak boleh ada pengingkaran terhadap identitas leluhur. Namun, karena fondasi identitas Bali Hindu transmigran Bali Nusa ini telah kuat, maka meskipun warga-warga non-Pandé memutuskan untuk memisahkan diri dari Warga Pandé, komunitas Kampung Bali ini tetap utuh dan solid. Tidak ada perpecahan di dalamnya. Mereka pun tetap mengingat jasa besar Sri Mpu Suci yang telah membawa dan memimpin mereka mulai sejak bertransmigrasi dari Nusa Penida sampai mampu melewati masa-masa sulit di Lampung.
110
Peran Sentral Sri Mpu Suci Tidak ada tendensi apa pun untuk menempatkan Sri Mpu Suci sebagai aktor sentral dalam pembentukan identitas transmigran Bali Nusa. Mengingat kapasitas dan kapabilitasnya yang mumpuni sebagai seorang pusat (patron) bagi para satelitnya (klien), di mana berperan penting dalam menyatukan komunitas transmigran Bali Nusa dan mencegah hilangnya identitas mereka sebagai Bali Hindu. Hal ini dapat dilihat dari peran-peran penting yang telah dilakukannya pada masa-masa awal – dapat dikatakan masa kevakuman atau krisis identitas – agar identitas komunitas mereka sebagai komunitas Bali Hindu setelah keberadaannya di luar Bali tidak hilang. Hasil dari apa yang telah dilakukan Sri Mpu Suci masih tetap ada dan diakui, baik di kalangan komunitas Balinuraga, maupun komunitas tetangga Bali Hindu dan komunitas tetangga dari kelompok etnis lainnya. Sebagai aktor penting dan tokoh sentral dalam pembentukan identitas transmigran Bali Nusa, ada beberapa peran penting yang telah dilakukan oleh Sri Mpu Suci. Pertama, membangun Banjar Pandéarga yang menjadi cikal bakal Desa Balinuraga, baik sebagai desa administratif maupun desa adat. Komunitas ini dibangun bersama-sama oleh transmigran Bali Nusa, di mana Sri Mpu Suci sebagai pemimpin dan inisiatornya. Peran sentral Sri Mpu Suci tampak dari keputusannya yang tidak mau bergabung bersama-sama komunitas transmigran Jawa yang jumlahnya lebih besar. Sejak awal, Desa Balinuraga dibangun secara eksklusif, yaitu untuk transmigran Bali yang berasal dari Nusa Penida. Mereka adalah orang Bali Nusa yang bertransmigrasi secara swakarsa, tanpa sponsor atau bantuan dari pemerintah. Mulai sejak bertransmigrasi sampai pembangunan Banjar Pandéarga, kebutuhan atas biaya ditanggung dan diusahakan secara kolektif. Perbedaan ini dapat dilihat dari Kampung Bali lainnya yang berada di tengah-tengah komunitas transmigran Jawa, atau secara administratif masuk ke dalam desa yang didominasi transmigran Jawa. Kampung Bali tersebut diantaranya merupakan transmigrasi dengan bantuan (sponsor) dari pemerintah – yang dikenal atau biasa disebut dengan Bali KoOGA (Komando Operasi Gunung Agung): sebuah proyek dari pemerintah Orde Lama untuk mentransmigrasikan korban letusan Gunung Agung tahun 1963. Berbeda dengan Balinuraga,
111
yang berangkat dari sebuah Banjar Pandéarga, mereka menjadi desa administratif yang seluruh anggotanya adalah orang Bali Nusa. Dari namanya, Desa Balinuraga, menunjukkan dengan jelas identitasnya sebagai desa Bali Hindu di Kabupaten Lampung Selatan. Meskipun ada banyak Kampung Bali lainnya di Lampung Selatan, tapi secara administratif mereka masuk ke dalam desanya para transmigran Jawa, dan berada di antara komunitas transmigran Jawa – yang secara kelompok tidak sesolid transmigran Bali. Setelah berdirinya Desa Adat ini – Banjar Pandéarga – Sri Mpu Suci mengemban dua tugas sekaligus, yaitu sebagai pemimpin adat (bendesa, klian banjar) dan sebagai rohaniawan atau biasa disebut mpu (empu). Gelar “Sri Mpu” adalah gelar bagi seorang pemimpin keagamaan atau rohaniawan yang berasal dari Warga Pandé. Peran ganda ini diemban Sri Mpu Suci karena saat itu belum ada dari para transmigran yang memiliki kemampuan tersebut, dan Sri Mpu Suci memang dipercaya oleh para transmigran untuk memimpin mereka, baik dalam komunitas adat maupun keagamaan. Sambil menjalankan tugasnya sebagai pemimpin adat dan keagamaan, Sri Mpu Suci tetap melakukan kaderisasi kepemimpinan kepada anak-anaknya, dan juga anggota lain di dalam komunitas adat yang memang berminat dalam urusan adat dan keagamaan. Kaderisasi ini sangat penting dilakukan agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan (agar ada penerusnya) ketika Sri Mpu Suci wafat, di mana jika kekosongan kepemimpinan itu terjadi dikhawatirkan akan timbul perpecahan antar warga-warga di dalam Desa Adat ini. Kedua, membangun simbol-simbol identitas sosial, budaya, dan keagamaan yang mencirikan mereka sebagai komunitas Bali Hindu. Sebagai komunitas Bali Hindu mereka harus memiliki simbol-simbol tersebut yang menunjukkan eksistensi mereka sebagai sebuah komunitas Bali Hindu. Absennya simbol-simbol tersebut dapat diartikan hilangnya identitas mereka sebagai Bali Hindu. Ini disebabkan tidak adanya sebuah acuan bagi mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban adat dan keagamaan. Simbol-simbol ini merupakan elemen penting yang mengikat komunitas mereka – yang biasa disebut sebagai Kampung Bali – yaitu sebuah ikatan sosial yang sudah ada secara turun-temurun yang
112
membentuk dan mencirikan komunitas adat dan agama sebagai Bali Hindu. Elemen-elemen ini harus ada meskipun mereka sudah bertransmigrasi. Bagi mereka, Kampung Bali ini disebut sebagai sebuah Desa Adat, di mana di dalamnya harus memiliki Pura Tri Kahyangan atau Pura Kahyangan Tiga149, yaitu Pura Baleagung (Pura Desa), Pura Puseh, dan Pura Dalem150. Fasilitas penting lainnya yang harus juga dimiliki oleh mereka sebagai komunitas adalah bale banjar. Seperti yang dikatakan seorang anak Sri Mpu Suci yang sekarang menjadi tokoh masyarakat Balinuraga:
“Pas (saat/ketika) datang pertama ke Lampung memang susah sekali. Keluarga kami (Sri Mpu Suci) membawa banyak transmigran dari Nusa Penida. Tapi, kami harus tetap hidup dan pantang pulang kembali. Pura-pura harus tetap dibangun. Memang sangat sederhana sekali, belum permanen dan bagus seperti sekarang. Setidaknya, kami tidak nebeng (tergantung) dengan orang Bali lain (Kampung Bali tetangga). Tapi, kami membangunnya sendiri (mandiri). Tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah.”
Ketiga, dibentuknya awig-awig atau peraturan desa dalam bentuk tidak tertulis. Awig-awig ini dibuat dalam format yang sederhana mengingat kendala waktu dan tempat mereka di daerah transmigrasi. Sampai saat ini awig-awig desa masih belum ada format bakunya (tertulis). Banyak terjadi perdebatan di dalamnya. Bagi sebagian kalangan awig-awig ini cukup dalam bentuk tidak tertulis, yang lain berpendapat sebaliknya. Tidak adanya kata sepakat ini yang menyebabkan bentuknya belum tertulis. Ada yang mengatakan bahwa untuk menyusun awig-awig adat ini 149
Kahyangan tiga merupakan tempat suci bagi umat Hindu Bali yang memuliakan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya (prabhawa) sebagai Dewa Brahama atau Pencipta (Purah Desa atau Baleagung), Dewa Wisnu atau Pemelihara (Pura Puseh), dan Dewa Siwa (Pura Dalem). 150 Salah satu poin utama (poin kelima) dalam Ketetapan dan Keputusan Sabha Parisada Hindu Dharma Pusat yang berkaitan dengan pengaturan Desa Adat adalah (Surpha 2004, hlm.10): “Adanya Kahyangan tiga merupakan syarat mutlak bagi suatu Desa Adat”.
113
terlalu ribet, dan berpendapat bahwa aturan formal dari pemerintah sudah cukup dan konteksnya agak kurang relevan diterapkan di Lampung. Jadi, cukup dengan format tidak tertulis – meskipun sampai sekarang cukup diragukan apakah anak-anak muda di Balinuraga memahami dan mengetahui keberadaan dan keberfungsian dari awig-awig ini. Keempat, membentuk perkumpulan seni dan budaya Bali yang disebut seka gong. Tujuan pembentukan seka gong ini adalah menjaga kelestarian seni dan budaya Bali sebagai bagian dari identitas kebalian mereka. Di samping itu, seka gong juga memiliki fungsi sebagai pendukung aktifitas keagamaan dalam berbagai ritual dan upacara adat keagamaan. Kelima, menjalin relasi dengan pemerintah lokal dan komunitas etnik lain. Peran ini merupakan peran politik dan sosial yang dimainkan oleh Sri Mpu Suci sebagai pemimpin adat dan keagamaan salah satu komunitas Bali Hindu yang cukup besar di Lampung Selatan. Dalam kasus ini Sri Mpu Suci tidak hanya membawa nama komunitasnya sendiri, tapi juga mewakili komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung Selatan. Sebagai seorang pemimpin Sri Mpu Suci menyadari bahwa komunitasnya adalah komunitas pendatang dengan kedudukan sebagai minoritas etnik dan agama. Oleh karenanya, relasi harus terjalin dengan baik dengan pemerintah lokal dan komunitas etnik lain. Dalam masyarakat yang heterogen, potensi konflik akibat perbedaan itu tetap ada, terutama isu SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan) – yang semasa Orde Baru menjadi semacam ketabuan. Sejak bertransmigrasinya orang Bali ke Lampung, transmigran Bali sudah dikenal dengan kesolidan komunitasnya. Dalam hal ini, identitas mereka benar-benar sudah diakui oleh masyarakat Lampung secara luas. Juga mengingat keunikkan Bali yang sudah terkenal. Hubungan dengan pemerintah lokal merupakan sebuah upaya dari Sri Mpu Suci agar pemukiman komunitas transmigran Bali Nusa ini mendapatkan kedudukan secara administrasi sebagai sebuah desa bernama Desa Balinuraga. Nama Desa “Balinuraga” menjadi salah satu desa yang menggunakan nama Bali di Kabupaten Lampung Selatan, sekaligus menunjukkan identitas mereka sebagai sebuah desa yang mayoritas anggotanya Bali Hindu. Melalui hubungan dengan pemerintah lokal, maka
114
mereka pun dapat meminta pemerintah lokal mengupayakan pembangunan fasilitas publik bagi masyarakat Desa Balinuraga. Seperti yang sudah teralisasi antara lain: jalan utama desa sebagai penghubungan dengan desa lainnya, di mana akan memudahkan akses transportasi mereka menuju ke pasar kecamatan, kantor kecamatan, jalan provinsi (jalan lintas Sumatera), kantor kabupaten (ibukota kabupaten) dan ibukota provinsi; kemudian pembangunan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, serta posyandu (puskesmas pembantu). Menjalin hubungan dengan masyarakat lokal menjadi sangat penting sekali pada waktu itu, dan merupakan keharusan bagi Sri Mpu Suci berkomunikasi dan berinteraksi dengan mereka. Meskipun terdapat perbedaan dan ketidakcocokan ataupun sakit hati karena kesalahpahaman yang pernah terjadi saat pertama kali mereka datang, hubungan ini tetap harus dibangun. Alasannya karena masyarakat Lampung merupakan penduduk asli Lampung, mereka adalah tuan rumah atas tanahnya sendiri, di mana transmigran Bali adalah pendatang di tanah mereka. Pontensi konflik sangat terbuka lebar antara masyarakat lokal dengan pendatang, termasuk dengan transmigran Bali. Potensi konflik itu muncul akibat adanya kecemburuan ekonomi. Mengingat transmigran Bali sangat tekun (agresif) dalam bekerja di bidang pertanian – lambat laun posisi ekonomi masyarakat lokal akan tergeser, di samping turut tergeser oleh transmigran Jawa. Di samping itu, transmigran Bali memiliki watak atau karakter yang keras dan akan menjadi militan secara berkelompok melalui komunitasnya yang solid jika harga diri atau identitasnya sebagai Bali Hindu disakiti. Seperti kasus „perang kampung‟ di awal tahun 1990-an antara masyarakat Bali dengan penduduk lokal Lampung di daerah Jabung, di mana beberapa pemuda dari Desa Balinuraga bersama-sama pemuda-pemuda Bali dari Kampung Bali lain terlibat dalam aksi tersebut151. 151
Berdasarkan informasi dari narasumber – yang turut menjadi tokoh perundingan untuk penyelesaian „perang kampung‟ tersebut – kasus tersebut akhirnya diselesaikan secara „baik-baik‟. Tentu, kasus ini menjadi perhatian serius dari pemerintah, khususnya militer, agar tidak permasalahan ini tidak berkembang menjadi konflik bernuansa SARA, seperti kasus Talangsari yang terjadi satu tahun sebelumnya 1989. Oleh karena itu, setiap kali terjadi pergantian pimpinan DANDIM (Komandan Komando Distrik Militer), pimpinan yang baru selalu
115
Terkait dengan profesi transmigran sebagai petani, Sri Mpu Suci menjalin hubungan komunikasi dengan transmigran Jawa yang menjadi tetangga komunitas mereka. Ada beberapa hal yang mereka pelajari dari transmigran Jawa. Mereka merupakan transmigran pertama di Lampung yang sudah banyak pengalaman di bidang pertanian, seperti bagaimana menggarap dan mengelola tanah di Lampung, serta bagaimana mereka membina hubungan dengan pemerintah lokal dan masyarakat asli Lampung. Salah satu relasi dengan komunitas lain yang dibangun oleh Sri Mpu Suci, di mana menjadi salah relasi yang sangat erat, adalah relasi dengan etnis Tionghua yang sebagian besar bertempat tinggal di sekitar pasar Kecamatan Sidomulyo. Etnis ini sebagian besar berprofesi sebagai pedagang. Permulaan hubungan dengan etnis Tionghua sebenarnya sudah dimulai sejak pertemuan dengan seorang tentara Tionghua yang pada masa awal mereka membuka lahan menembak mati seekor gajah yang mengganggu lahan untuk dikonsumsi oleh transmigran. Hubungan ini terus berlanjut ketika mereka harus membeli berbagai kebutuhan pokok atau pun barang-barang kebutuhan lain di pasar kecamatan, di mana pedagangnya di dominasi oleh etnis ini. Sama seperti transmigran Jawa, etnis Tionghua juga merupakan pendatang. Persamaan perasaan sebagai pendatang menjadi salah satu jalinan relasi antara etnis Bali dan Tionghua berjalan baik, dan terus berlanjut hingga saat ini. Pribadi Sri Mpu Suci yang hangat dan ramah serta kharisma yang dimilikinya sebagai pemimpin komunitas transmigran Bali Nusa menjadikan komunikasi berjalan dengan baik, hingga muncul kepercayaan dan relasi itu sendiri. Menyadari posisinya sebagai pendatang dan minoritas, Sri Mpu Suci tidak segan-segan untuk menjalin komunikasi dan silaturahmi dengan kelompok etnis dan kepercayaan lain. Ini merupakan sebuah usaha dari Sri Mpu Suci agar terjadi kesepahaman dan pengertian antar komunitas.
menyelenggarakan semacam upacara informal (halal-bihalal) dengan sesepuh atau tetua adat dari komunitas Bali Hindu – termasuk sesepuh dari Balinuraga yang dalam setiap kesempatan selalu diundang sebagai salah tokoh komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan.
116
Dengan kharisma yang dimilikinya, Sri Mpu Suci menjadi tokoh sentral atau pusat dari komunitas Kampung Bali di Kecamatan Sidomulyo. Keberadaan seorang tokoh atau aktor sentral ini yang menyebabkan mengapa orang Bali di Lampung dikenal dengan kekompakkan dan kesolidannya sebagai sebuah komunitas etnis dan agama yang minoritas, karena adanya tokoh sentral yang menjadi pusat dan panutan bagi para kliennya. Kehadirannya dapat menyingkirkan perbedaan dan mempersatukan warga-warga yang sejak masa kerajaan sudah eksis dan memiliki track record persilihan antara warga satu dengan yang lain secara sosial dan politik.
Warga-Warga di Balinuraga Komunitas Bali Hindu dikenal sebagai komunitas pendatang – yang sudah menjadi bagian dalam masyarakat Lampung yang heterogen – dengan kesolidan (kekompakkan) komunitasnya. Kesolidan komunitas ini terlihat jelas secara fisik pada komunitas-komunitas Kampung Bali yang berada di daerah-daerah pedesaan (biasa disebut soateng152). Pandangan sebagian besar masyarakat Lampung yang menilai kesolidan masyarakat Bali ini sebenarnya didasarkan pada apa yang terlihat secara fisik (visual), di mana dapat dilihat dari perkampungan Bali yang eksklusif dan pengerahan massa dalam jumlah besar pada setiap upacara / ritual adat dan keagamaan besar. Perkampungan Bali yang eksklusif dan pengerahan massa dalam upacara /ritual penting merupakan wujud bagaimana komunitas Bali Hindu mengaktualisasikan eksistensi identitas mereka. Manifestasi politik identitas ini secara fisik (kasat mata) – sebagai upaya mendapatkan pengakuan dari khalayak akan eksistensi identitas etnis dan kepercayaannya – tidak bisa dinilai secara naif bahwa kesolidan komunitas Bali itu didasarkan atas satu kesatuan atau keseragaman identitas di dalam komunitas itu. Dengan kata lain, komunitas Bali di Lampung sama seperti layaknya di Bali yang dikesankan dengan keeksotisannya sebagai surga dunia, yang di dalam komunitas tersebut seolah-olah tidak terjadi apa-apa, hidup rukun, tenteram, dan (pastinya) tidak ada konflik / pertentangan 152
“Soateng” adalah sebutan bagi daerah-daerah yang berada di luar kota (Bandar Lampung). Dapat diartikan di daerah perkampungan atau pelosok.
117
antar kelompok di dalam komunitas itu. Seperti kasus di komunitas Bali Hindu di Desa Balinuraga – satu desa dengan tujuh banjar (dusun) yang mayoritas adalah Bali Hindu yang berasal dari Nusa Penida – memiliki kesan sebagai Desa Bali dengan identitas Bali-nya yang kental, terutama sebagai masyarakat yang penuh harmoni. Pandangan, penilaian, ataupun kesan yang mendalam bagi sebagian masyarakat Lampung bahwa komunitas Bali Hindu memiliki satu identitas yang sama dapat dikatakan keliru. Mengapa demikian? Karena dalam kenyataannya etnis Bali Hindu di Lampung – meskipun sudah bertransmigrasi ke luar Bali – tetap membawa dan mempertahankan identitas leluhurnya (kawitan), di mana setiap kelompok memiliki identitas leluhur (klan, dalam Bali biasa disebut warga, soroh, dadia) yang berbeda antara satu dan lain, dan tentunya dengan tata cara dan adat istiadat yang berbeda pula, termasuk dalam pelaksanaan beberapa upacara atau ritual adat dan keagamaan. Pulau Nusa Penida sebagai tempat komunitas Bali Hindu ini berasal pun memiliki karakteristik yang juga berbeda dengan komunitas Bali Hindu (transmigran) lainnya. Dengan kata lain, komunitas Bali Hindu di dalam Desa Balinuraga mempunyai identitas beragam (bukan identitas tunggal) yang didasarkan atas identitas leluhurnya. Konsekuensinya – dengan identitas leluhur yang beragam ini – adalah pertentangan antar kelompok (klan/warga) dengan mengusung identitasnya masing-masing; terutama klaim-klaim bahwa warga-nya lebih unggul daripada warga lain. Namun, sebagai catatan, bahwa pertentangan antar warga yang terjadi di dalam desa ini tidak lain merupakan sebuah dinamika dalam komunitas mereka sebagai Bali Hindu. Pertentangan warga tidak diartikan sebagai sebuah perpecahan, melainkan sebagai sebuah realitas yang harus dihadapi secara internal komunitas mereka, tanpa mengusik identitas mereka sebagai Bali Hindu. Mengapa ini terjadi? Ini dikarenakan identitas Bali Hindu mereka adalah identitas minoritas dalam masyarakat Lampung secara keseluruhan. Mereka tidak ingin identitasnya sebagai Bali Hindu terancam oleh pengaruh-pengaruh luar (eksternal) – ini yang menjadi pengikat (bonding) komunitas Bali Hindu di Balinuraga. Oleh karena itu, pertentangan antar warga dinilai sebagai sebuah dinamika yang terjadi di dalam „dunia‟ atau „negara‟ (konteksnya Desa Balinuraga sebagai komunitas Bali Hindu) hanya di dalam komunitas itu sendiri. Meskipun pertentangan antar warga
118
ini terkait dengan identitas leluhurnya, mereka tidak ingin identitasnya sebagai Bali Hindu hilang atau terkikis, karena jika itu terjadi maka identitas warga-warga itu yang selama ini mengalami pertentangan juga akan hilang atau terkikis. Warga-warga ini dikategorikan sebagai aktor yang turut membentuk identitas komunitas Bali Hindu di Balinuraga. Sebelum lembaga-lembaga formal adat dan keagamaan masuk ke komunitas ini sebagai pemersatu warga-warga (atau umat Hindu Bali), sosok Sri Mpu Suci secara individual berperan sebagai aktor utama pembentukan komunitas Bali Hindu dari Nusa Penida dan sebagai pemersatu wargawarga dengan kedudukannya sebagai patron. Namun, di aras grass root (akar rumput) warga-warga ini, dengan dinamika pertentangan antar warga yang terjadi, juga merupakan aktor-aktor yang tidak dapat diabaikan perannya dalam pembentukan identitas komuntias mereka – karena mereka(lah) yang dalam kesehariannya berinteraksi dengan sesama anggota komunitasnya dengan membawa identitas warga yang berbeda. Tentu, yang menjadi catatan penting di sini adalah anggota-anggota warga ini dalam interaksinya dengan warga lain sebenarnya “tidak mau ambil pusing” dengan pertentangan warga, karena tujuan mereka adalah bertani. Tapi, dalam kenyataannya elit-elit dari setiap warga – yang menjadi patron anggota warga – kerap mengusung identitas warga untuk kepentingan politiknya (dalam skala desa), di mana secara tidak langsung mempengaruhi anggota-anggota setiap warga terkait posisinya sebagai klien yang patuh ketika berinteraksi dengan warga lain. Oleh karena itu, dalam pembahasannya mengenai warga-warga di Balinuraga, penulis membahas warga sebagai lembaga, karena identitas warga ini sudah melekat (melembaga) pada setiap anggota warga-nya. Untuk membahas warga-warga ini, selain menggunakan data empirik, penulis menggunakan data-data sekunder yang memuat sejarah dan silsilah warga-warga, serta sejarah warga-warga ini di masa kerajaan dan kolonial, di mana dokumendokumen dan isinya secara umum sudah diketahui dan dimiliki oleh para sepuh-sepuh warga di sana. Data-data sekunder ini, terutama sejarah dan silsilah warga, perlu digunakan untuk memperjelas duduk-perkara pertentangan warga yang terjadi di Balinuraga, di mana memiliki pola
119
yang hampir sama dengan yang terjadi di Bali. Dalam pembahasannya, penulis akan lebih memumpunkannya pada dua warga, Pasek dan Pandé, karena baik berdasarkan realitas di lapangan, maupun data-data sejarah, dua warga ini yang paling sering bertentangan. Dengan kata lain, dua warga ini (dari tiga pengelompokkan warga di Balinuraga: Pasek, Pandé, dan Arya), Pasek dan Pandé, hubungannya paling dinamis. Dalam kasus ini, warga Arya seperti menjadi follower dari kedua warga ini, yang diperebutkan sebagai klien. Sejak kedatangan pertama kali ke Lampung hingga terbentuknya Desa Balinuraga, dengan Banjar Pandéarga sebagai cikal bakal Desa Balinuraga, komunitas transmigran Bali Nusa memiliki tiga kelompok besar warga, yaitu mulai dari yang terbesar Warga Pasek kurang lebih berjumlah 50%, dan sisanya masing-masing kurang lebih 25% untuk Warga Pandé dan Warga Arya. Konsep warga (atau sebutan lain soroh atau klan) pada dasarnya berbeda dengan konsep “wangsa” atau “kasta”. Namun, seiring dengan perkembangan situasi sosial dan politik pada masa kerajaan di Bali pasca invasi Majapahit (khususnya di masa-masa keruntuhan Majapahit dalam rentang 1478-1520; 1527 Majapahit jatuh), dan terutama di masa berkuasanya kolonial di Bali dengan proyek Balinisasi-nya, konsep warga atau soroh (disebut juga klan) menjadi tumpang-tindih dengan konsep “kasta” (wangsa) atau triwangsa. Dalam beberapa kasus, keanggotaan dari warga atau kelompok warga itu sendiri merupakan cerminan atau terbatas pada kasta tertentu. Dengan kata lain, jika seseorang merupakan seorang Brahmana, maka dia tidak dapat menjadi anggota dari warga Pasek atau Warga Pandé, begitu pula sebaliknya. Dalam kasus ini, konsep warga dalam aplikasinya, kerap, keluar dari pakem atau batasan-batasan kasta (wangsa). Contoh kasusnya adalah beberapa warga yang menggunakan nama Arya, di mana nama Arya tersebut berhubungan dengan kebudayaan pra-Hindu di India – ini merupakan sebuah hubungan yang dilihat dari segi waktu dan kebudayaan yang mungkin atau tidak mungkin benar (valid). Mengingat secara waktu dan usia peradaban suku Arya di India (masa pra-Hindu) lebih tua daripada klan yang menggunakan nama Arya di Bali. Arya di sini adalah para prajurit, termasuk para patih (kesatria), yang ikut berperang bersama
120
mahapatih Gajahmada ketika menginvasi Bali. Dalam perkembangannya, para Arya ini membentuk klan atau warga-nya sendiri, ada yang terpisah dan ada yang masih menyandang status sebagai wangsa kesatria. Konsep warga itu sendiri muncul ketika berkuasanya Kerajaan Majapahit atas Bali, di mana pihak kerajaan mengirimkan orang-orangnya yang berasal dari kalangan elite153 untuk bertugas di Bali. Lambat laun, elit-elit yang berasal dari Jawa (Majapahit) beranak-pinak di Bali dan akhirnya membentuk klan (warga) sendiri berdasarkan asal-usul mereka ketika masih berada di Jawa. Seiring dengan dinamika sosial dan politik di masa kerajaan, beberapa di antara elit-elit ini – yang ketika berada di Jawa memiliki status sosial tinggi – mengalami degradasi status sosial akibat “kesalahan-kesalahan” tertentu, baik bersifat teknis maupun politis. Misalnya, dalam kasus umum adalah karena pernikahan beda “kasta”, yaitu menikah dengan seseorang yang status sosialnya lebih rendah, dan pemberontakan dari kalangan bangsawan terhadap pihak kerajaan / puri (kudeta gagal). Konsekuensi yang harus ditanggung oleh elit-elit yang berasal dari Jawa ini adalah penurunan status sosial, di mana penurunan status / kedudukan sosial ini bersifat permanen yang nantinya akan diwarisi oleh anak-cucunya setelah beranak-pinak di Bali. Status sosial dari elit-elit ini, yang sewaktu di Jawa memiliki kedudukan yang tinggi, tidak dapat dikembalikan seperti sedia kala. Hal ini dapat dilihat dari 153
Kalangan elite yang dimaksud adalah utusan-utusan dari pihak kerajaan Majapahit di Jawa Timur yang dikirim ke Bali untuk urusan kerajaan, baik berupa urusan politik maupun sosial, budaya, dan keagamaan. Kalangan elit ini berasal dari kalangan kerajaan, orang, atau kalangan tertentu yang dekat dengan pihak kerajaan dengan posisi yang prestisius. Umumnya mereka berlatar belakang kesatria (orang-orang pemerintahan / kerajaan) dan brahmana (ahli-ahli keagamaan) yang biasanya memiliki gelar “mpu” (sebutan lain Empu) atau “Rsi” (sebutan lain: Resi) dari berbagai latar belakang aliran dalam agama Hindu-Budha. Hubungan bilateral antar dua kerajaan ini, Majapahit dan Bali, memungkinkan Majapahit sebagai negara pusat untuk mengirimkan utusan-utusannya secara berkala. Di masa berjayanya Majapahit, pengutusan atau pengiriman kalangan elit ini bertujuan untuk mematangkan dominasi Majapahit atas Bali. Di masa-masa keruntuhan Majapahit akibat bangkitnya kerajaan Islam di Jawa, Bali dijadikan sebagai tempat pengungsian bagi kalangan elit ini, dan menjadikannya sebagai benteng terakhir bagi eksistensi kerajaan Hindu yang dominasinya mulai pudar di Jawa.
121
catatan-catatan sejarah di dalam babad warga-warga – yang kedudukannya dianggap berada di bawah – bahwa leluhur mereka yang berasal dari Jawa (Kerajaan Majapahit) merupakan elit-elit utusan dari Majapahit yang memiliki status sosial yang tinggi ketika diutus dan menetap di Bali sebelum mengalami penurunan status sosial akibat peristiwa-peristiwa tertentu, khususnya di masa proyek balinisasi (baliseering) pemerintah kolonial. Di masa sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, tingkat pendidikan yang semakin membaik, serta terbitnya sejumlah catatancatatan sejarah dari para ahli dan pengamat Bali, kesadaran dari wargawarga yang pada masa kolonial dicampakkan ke dalam “sudra wangsa” mulai meningkat. Mereka (warga-warga) mulai kritis atas sistem wangsa yang mereka anggap sudah tidak relevan. Argumen-argumen yang mereka ajukan untuk memperjuangkan kedudukan sosial kelompok warga-nya didasarkan atas fakta-fakta sejarah – menggunakan catatan sejarah dalam babad dan hasil penelitian dari para ahli – dan konsep-konsep modern yang anti-feodalisme, seperti egaliter, kemanusiaan, demokrasi, dan lain-lain154. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Bali hingga masa sekarang, di mana perjuangan kasta dimulai di awal abad ke-20 pada masa kolonialisme di Bali ketika masyarakat Bali dari berbagai kalangan mulai mendapatkan pendidikan, tapi juga di dalam komunitas transmigran Bali Nusa di Desa Balinuraga. Kesadaran akan ketidak-relevanan konsep triwangsa sebenarnya tidak hanya terjadi di abad ke-21 dalam komunitas ini, tapi sudah dimulai ketika mereka bertransmigrasi ke Lampung – bukan tidak mungkin jika beberapa di antara mereka atau mayoritas ketika masih berada di Nusa Penida sudah menyadari ketidak-relevanan ini, mengingat masyarakat Bali di Nusa Penida yang cenderung lebih egaliter. Keegaliteran ini tentu semakin menguat setelah mereka bertransmigrasi ke Lampung, di mana perasaan senasib dan sepenanggungan sebagai pendatang (transmigran) menjadi perekat semangat keegaliteran tersebut. 154
Konsep-konsep modern ini mulai mencuat ke permukaan (memanas) di tahun 1920-an – sebelumnya telah ada tapi belum dalam tataran perdebatan publik yang panas – antara golongan jabawangsa terdidik (yang mendapatkan pendidikan modern di masa kolonial) melalui koran lokal berbahasa melayu “Surya Kanta” dan golongan bangsawan (triwangsa) melalui “Bali Adnyana” (Dwipayana 2001, Robinson 2006, Kerepun 2007, Wiana & Santeri 2005).
122
Di bawah ini merupakan daftar warga (klan-klan) yang ada di Bali yang jumlahnya kurang lebih mencapai 22 kelompok warga:
Brahmana Ksatrya Dalem Ksatrya Taman Bali Ksatrya Manggis Pasek Pula Sari Pandé Kayu Selem Sangging Batu Gaing Arya Kepakisan
Arya Kenceng Arya Belog Arya Gajah Para Arya Pinatih Arya Goto Waringen Arya Tan Mundur Arya Tan Kaur Arya Tan Kober Arya Sidemen Arya Sentong Arya Dalancang
Tabel 1. Daftar Warga-Warga (Klan) di Bali (Sumber: Eiseman 2005)
Warga Pasek155 Warga Pasek merupakan warga (klan) dengan jumlah anggota yang terbesar dari komunitas transmigran Bali Nusa di Desa Balinuraga. Hampir separuh dari keseluruhan anggota komunitas ini didominasi oleh warga Pasek. Hal ini bukan tanpa sebab, karena di Bali sendiri warga Pasek merupakan kelompok warga yang jumlahnya paling besar. Setidaknya hampir (kurang lebih) 60% penduduk Bali merupakan Warga Pasek (Eiseman 2005). Tidak hanya di pulau induk (Bali) saja warga Pasek mendominasi jumlahnya, tapi juga di Pulau Nusa Penida. Hal ini didasarkan pada catatan babad yang memuat silsilah leluhur warga Pasek – Sang Sapta Rsi – yang keturunannya tersebar ke berbagai daerah di Bali, termasuk mendominasi di daerah Klungkung yang secara geografis
155
Untuk menguraikan sejarah dan silsilah Warga Pasek, penulis menggunakan acuan utama dari “Babad Pasek: Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi” karya Jro Mangku Gde Ketut Soebandi (cetakan kedua: 2004) yang diterbitkan Pustaka Manikgeni dan Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi.
123
letaknya berdekatan dengan Nusa Penida156. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Warga Pasek mendominasi transmigran Bali Nusa ketika bertransmigrasi ke Lampung. Dalam Bahasa Bali kata “Pasek” adalah kata kerja (verb) “macek” yang berarti “memaku” (kata benda: paku). Dalam Bahasa Indonesia kata “Pasek” memiliki kesamaan arti dengan kata “Pasak”. Kata “Pasak” atau “Pasek” sama dengan baji dan paku kayu, di mana berfungsi untuk merapatkan atau menjejal sesuatu yang renggang157. Pada mulanya kata “Pasek” digunakan untuk seseorang yang memegang pimpinan di pemerintahan – seperti “gelar” bagi orang yang duduk di pemerintahan. Dalam perkembangannya istilah “Pasek” ini kemudian digunakan juga oleh orang Bali Aga sebagai gelar atau identitas seorang pemimpin, dan bagi orang Bali pada umumnya digunakan oleh setiap pimpinan di berbagai bidang. Gelar “Pasek” di Bali memiliki keterkaitan dengan secara organisatoris dengan Kerajaan di Jawa Timur – karena pada masa itu Jawa Timur merupakan “negara pusat” bagi Bali – dan juga di Jawa Tengah. Di Jawa Timur, kata “Pasek” dapat dianalogikan dengan kata “Pakis” yang dikenal dengan sebutan “Kepakisan”, dan di Jawa Tengah dengan sebutan “Paku” dengan sebutan jabatan Paku Alam dan Paku Buwono. Dalam Bahasa Indonesia kata “Pasak” – dalam Bali adalah “Pasek” – memiliki fungsi sebagai gelar bagi pemimpin, di mana kata “Pasak” tersebut memiliki arti yang sama (sinonim) dengan “ketua” atau pemimpin. Contohnya: pasak negeri (kesamaan arti: ketua), pasak kunci (kata kiasan 156
Di dalam Babad Pasek (Soebandi, 2004) diuraikan mengenai keturunan dari Pasek Penida; di mana Pasek Penida merupakan keturunan dari Mpu Dangka. Mpu Dangka sendiri merupakan putra bungsu dari Mpu Gnijaya (atau Mpu Geni Jaya), atau adik terkecil (bungsu) dari Pasek Sanak Sapta Rsi (sebutan lain: Tujuh Pendeta, Tujuh Mpu, atau Tujuh Rsi/Resi) yang merupakan pendiri dari warga/klan Pasek. Keturunan dari Pasek Penida ada yang berdomisili (memiliki banjar) di daerah Klungkung, di mana Pulau Nusa Penida menjadi bagiannya. Namun demikian, tidak hanya keturunan dari Mpu Dangka – dalam kasus ini salah satunya Pasek Penida – yang berdomisili di daerah Klungkung, tapi juga dari keturuan Sang Sapta Rsi yang lain (kakak-kakak kandung dari Mpu Dangka) yang masih menjadi leluhur Warga Pasek. 157 Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV (2008), Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
124
untuk penguasa administratif)158. Dengan kata lain, dalam arti kiasan, baik kata “Pasek” maupun “Pasak” memiliki arti sebagai gelar bagi seorang pemimpin yang menduduki jabatan fungsional di suatu pemerintahan. Arti yang memiliki makna hampir sama dalam Bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder 1982), di mana kata “pasak” atau “pasek” diartikan: a gift (tribute) of money or clothing presented to the king or members of the royal family (nini haji, bini haji, rake hino, etc) so that privileges granted may be respected or the action done, e.g. manusuk sima, cannot be undone159. Di Bali, kata “Pasek” ini kemudian menjadi sebuah warga atau klan dari leluhur warga Pasek, yaitu Sang Sapta Rsi atau Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Ini dikarenakan, berdasarkan sejarahnya, ketujuh pendeta ini ketika berada di Bali memegang sebuah jabatan pimpinan tertentu di berbagai bidang, khususnya bidang pemerintahan dan keagamaan. Oleh karena itulah, di masanya (abad ke-10) ketujuh pendeta dari Jawa Timur ini – Sang Sapta Rsi – menyandang gelar Pasek karena jabatan fungsionalnya. Kemudian, gelar Pasek ini digunakan oleh keturunan dari Sang Sapta Rsi sebagai identitas atau jati dirinya bahwa mereka keturunan dari Sang Sapta Rsi yang di masanya pernah menduduki sebuah jabatan fungsional dalam pemerintahan kerajaan. Singkatnya, warga Pasek merupakan keturunan dari Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (Sang Sapta Rsi), di mana kata “Pasek” di depan “Sanak Sapta Rsi” merupakan gelar atas jabatan fungsional mereka pada masa itu, dan digunakan sebagai penunjuk atau identitas bagi para keturunannya saat ini. Sebagai catatan tambahan, posisi dan status istimewa dari leluhur warga Pasek ini – di mana pada masa awal kedatangan Sanak Sapta Rsi di Bali posisi memiliki posisi yang prestisius sebagai pendeta (golongan brahmana) dan juga sebagai golongan kesatria karena turut andil dalam bidang pemerintahan – tidak dapat dinikmati atau dirasakan oleh para
158
Lihat: Tesaurus Bahasa Indonesia (2008), Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 159 Arti lain dari kata “pasak” di dalam Bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder 1982) adalah one might surmise: “to input heart into.” Memiliki makna yang hampir sama dengan Bahasa Indonesia terkait fungsi pasak untuk mengencangkan (perekat) sesuatu yang longgar.
125
keturunannya, baik yang berada di Bali maupun di luar Bali160. Di masa kerajaan, keturunan dari Sanak Sapta Rsi – warga Pasek – tidak seluruhnya mendapatkan status atau pun jabatan yang istimewa dalam pemerintah (mungkin hanya beberapa saja dalam setiap rezim kerajaan feodal di Bali). Pada masa ini, warga Pasek digolongkan sebagai outsider, di mana tidak termasuk dalam golongan triwangsa (brahmana, kesatria, dan waisya). Namun, di masa kolonial, melalui proyek baliseering (balinisasi) status sosial warga Pasek lebih dipertegas – tidak fleksibel seperti di masa kerajaan feodal Bali – sebagai sudra wangsa (nontriwangsa / di luar triwangsa)161. Bila mencermati komposisi warga-nya yang lebih besar daripada warga Pandé, warga Pasek dalam kenyataannya sulit untuk mendominasi atau memberikan pengaruh bagi komunitas Bali Hindu di Desa Balinuraga. Sampai saat ini pun, Warga Pasek belum bisa mengalahkan popularitas dan pengaruh dari Warga Pandé di Desa Balinuraga. Baik di bidang kesenian, kepemimpinan, maupun keagamaan. Kenyataannya Warga 160
Berdasarkan bagan genealogi dari leluhur Warga Pasek – lebih jauh lagi adalah leluhur dari Sang Sanak Sapta Rsi, meskipun Sang Sanak Sapta Rsi sendiri juga merupakan brahmana – menunjukkan bahwa leluhur mereka tidak hanya berasal dari golongan brahamana, tapi juga Hyang Brahma (Pencipta). Oleh karena itu, warga Pasek – yang diwakili oleh elit-elit politik dan keagamaan – berkeinginan untuk mengembalikan status sosial mereka seperti sediakala, yaitu brahmana. Perdebatan ini sebenarnya sudah mulai menghangat di masa pemerintahan kolonial dengan proyek balinisasinya, di mana warga pasek berada di luar dari golongan triwangsa, yang akhirnya menerima konsekuensi-konsekuensi yang tidak mengenakkan bagi warga mereka, seperti kerja sukarela untuk pemerintah kolonial dan kerajaan. 161 Namun demikian, dalam beberapa kasus, beberapa dari Warga Pasek masih mendapatkan kedudukan di dalam pemerintahan (puri/kerajaan). Di antaranya disebabkan karena adanya hubungan dekat dengan puri. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari faktor sejarah di mana di antara Warga Pasek ada yang disertakan dalam pemerintahan. Selain itu, jumlah warga Pasek yang menjadi mayoritas di Bali menjadikan peluang (probabilitas) bagi beberapa Warga Pasek untuk duduk di dalam pemerintahan lebih besar daripada warga lain. Oleh karena itu, perlawanan dan aksi protes Warga Pasek di masa kolonial yang menuntut diskriminasi wangsa muncul belakangan – setelah warga Bhujangga Waisana dan Pandé – karena jumlah warga yang besar sulit melakukan konsolidasi dan beberapa di antara mereka duduk dalam pemerintahan puri.
126
Pandé tetap lebih solid dan rapih secara komunitas di Desa Balinuraga. Di bidang kesenian, Warga Pandé tetap menjadi pemimpin dan kreator dari pentas-pentas kesenian atau pun karya-karya kesenian Bali, seperti seni tari, seni ukir, seni lukis, dan drama. Dalam beberapa even tertentu, baik di level kecamatan maupun kabupaten, pentas kesenian lebih banyak dibawakan oleh Warga Pandé (dalam Banjar Pandéarga). Dalam pertunjukkan Calon Arang di Desa Balinuraga setelah perayaan hari raya Nyepi (Maret 2010), inisiator dan sutradaranya berasal dari Warga Pandé. Untuk pembangunan pura dan ukirannya para pembuatnya didomimeriznasi oleh Warga Pandé, termasuk lukisan. Tidak jarang Warga Pasek di Desa Balinuraga dalam pembuatan pura keluarganya menggunakan jasa Warga Pandé, dikarenakan beberapa Warga Pandé menekuni profesi sebagai pembuat pura dan ukirannya, yang jasanya digunakan oleh Kampung Bali di daerah lain162. Tokoh masyarakat di Desa Balinuraga, yang kapasitas dan kapabilitasnya disegani dari berbagai kalangan, baik dari kalangan orang Bali sendiri di Lampung Selatan maupun pejabat sekelas bupati pun, berasal dari Warga Pandé. Ini bukan berarti dari kalangan Warga Pasek tidak mempunyai tokoh masyarakat atau pun pekerja seni sendiri, hanya saja popularitas dan nama besarnya masih kalah jauh dari tokoh yang berasal dari kalangan Warga Pandé yang sejak awal sudah mendominasi komunitas Desa Balinuraga. Di level makro, Warga Pasek di Desa Balinuraga sudah terorganisir dengan baik, khususnya pasca tahun 1970-an ketika beberapa elit Warga Pasek di Bali mulai melakukan pendataan terhadap warga-nya yang telah berdomisili di daerah transmigran, termasuk di Lampung. 162
Kasus ini merupakan salah satu contoh pergeseran fungsi (kerja) dari Warga (klan) Pandé, dari pandai besi menjadi pembuat pura. Bagi mereka (Warga Pandé) pergeseran ini merupakan bagian dari penyesuaian fungsi (kerja) dari klan Pandé sesuai dengan konteksnya di masa sekarang – di mana peralatan yang terbuat dari besi sudah dibuat dalam skala besar di pabrik-pabrik baja. Namun, hakikatnya, fungsi dari klan Pandé tidak berubah, yaitu sebagai “pembuat” atau “pencipta”. Jika dulu mereka “pembuat” atau “pencipta” barang-barang yang terbuat dari besi (seperti keris atau bajak), sekarang, seiring dengan perkembangan zaman dan perpindahan tempat tinggal dari Bali ke Lampung, mereka menjadi “pembuat” pura. Ulasan lebih lanjut warga Pandé disajikan pada setelah sub-bab ini.
127
Pendataannya dilakukan dengan tujuan untuk menghimpun massa Warga Pasek yang tersebar di berbagai daerah selain Bali, sekaligus untuk menghimpun sejumlah dana untuk organisasi tersebut. Dengan kata lain, untuk mengklaim eksistensi warga mereka sebagai warga mayoritas dalam masyarakat Bali Hindu. Tujuan ini biasanya bersifat politis, karena dalam beberapa kasus digunakan untuk melegitimasi elit-elit dari Warga Pasek yang ingin berkompetisi dalam politik lokal, khususnya di era otonomi daerah. Organisasi resmi yang mewadahi warga Pasek adalah Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi (Rsi: pengucapan untuk Resi) yang didirikan tahun 1952. Di level desa sampai di luar Bali, organisasi ini tetap ada untuk mengordinir Warga Pasek yang ada di luar Bali, seperti anak cabangnya yang ada di Desa Balinuraga. Tujuan yang tidak kalah penting dari pendataan Warga Pasek, khususnya yang ada di Desa Balinuraga, adalah bagaimana Warga Pasek tidak kehilangan jati dirinya setelah berada di luar Bali. Pendataan ini merupakan proyek dari elit lokal Warga Pasek di Bali untuk mengantisipasi hilangnya warga-warga mereka setelah berada di luar Bali, atau pindah (menjadi pengikut) dari warga lain yang dominan. Kekhawatiran ini cukup beralasan bagi para elit Warga Pasek di Bali, karena jika Warga Pasek di luar Bali kehilangan identitas, atau pindah ke warga lain (berpatron atau menjadi klien warga lain), maka akan berakibat terhadap menurunnya jumlah massa dari Warga Pasek. Menurunnya jumlah massa Warga Pasek di luar Bali akan berakibat pada menurunnya jumlah dana (dan tentunya jumlah suara atau dukungan massa di luar Bali bagi elit politik warga Pasek di Bali) yang dapat mereka kumpulkan dari Warga Pasek di luar Bali untuk kepentingan politik elit Warga Pasek di Bali, selain untuk kepentingan agama dan adat dari organisasi mereka. Mengingat sejumlah Warga Pasek di luar Bali – di daerah transmigran seperti di Lampung – ada yang telah berhasil atau sukses secara ekonomi di bidang pertanian atau usaha pertanian. Strategi jemput bola ini dapat dikatakan berhasil untuk memikat Warga Pasek yang menjadi transmigran, khususnya untuk memberikan dana bagi organisasi warga-nya yang ada di tanah leluhur – mengingat usia organisasi ini secara formal masih terbilang muda sejak berdirinya tahun 1952. Mengapa demikian? Karena dengan strategi jemput bola – elit lokal Warga Pasek di Bali yang melakukan pendataan Warga Pasek di daerah transmigrasi –
128
memberikan suatu kebanggaan bagi para transmigran yang selama bertransmigrasi mengalami kevakuman identitas. Para transmigran ini merasa dirinya diperhatikan dan dijadikan bagian yang tidak kalah penting seperti warga-warga lainnya yang ada di Bali. Terlebih jika mereka dapat memberikan bantuan dana yang besar bagi organisasi. Dalam kasus Warga Pasek di Desa Balinuraga, proyek ini memberikan angin segar bagi mereka yang selama ini menggantungkan identitasnya pada Warga Pandé. Melalui proyek ini mereka telah menemukan kembali identitasnya, dan diakui oleh sesama warga mereka yang ada di Bali. Terlebih setelah elit-elit lokal Warga Pasek tersebut, melalui strategi jemput bolanya datang langsung ke Desa Balinuraga untuk melakukan pendataan dan konsolidasi. Secara psikologis, kedatangan elit-elit tersebut membesarkan hati para Warga Pasek untuk menghidupkan identitas warga-nya. Dengan demikian, mereka tidak lagi bergantung dengan Warga Pandé, dan semakin percaya diri bahwa mereka merupakan kelompok warga yang mayoritas – tidak hanya di Bali, tapi juga di Desa Balinuraga dan Provinsi Lampung. Faktor pengalaman dan silsilah keluarga yang kompleks pada Warga Pasek menjadi salah satu penyebab utama mengapa mereka sulit untuk mendominasi dalam komunitas Balinuraga. Sejak kedatangan pertama kali ke Lampung (bertransmigrasi), Warga Pasek merupakan pengikut (follower) dari Warga Pandé yang dipimpin oleh Sri Mpu Suci. Faktor pengalaman ini turut ditentukan dari sumber daya manusia Warga Pasek yang bertransmigrasi, yaitu pengetahuan yang minim, di mana mayoritas dari transmigran Bali Nusa masih buta huruf, dan pengetahuan tentang adat dan agama yang kurang mumpuni. Hadirnya sosok Sri Mpu Suci sebagai seorang pemimpin yang kharismatik dengan kekuatan sekala dan niskala-nya, menjadikan Warga Pasek sebagai klien yang patuh. Di samping itu, anggota dari Warga Pasek belum ada yang memiliki kemampuan yang menandingi Sri Mpu Suci yang menguasai berbagai bidang. Mereka tidak mau mengambil resiko dengan melahirkan patron baru, dan menganggap Sri Mpu Suci yang berasal dari Warga Pandé tetap sebagai patron yang kuat, di mana mereka bisa menggantungkan keselamatannya pada kekuatan sekala dan niskala yang dimiliki Sri Mpu Suci. Pasca pendataan Warga Pasek oleh elit-elitnya dari Bali dan
129
wafatnya Sri Mpu Suci, Warga Pasek di Balinuraga mulai mengorganisasikan dirinya. Salah satu caranya adalah dengan membentuk banjar-banjar lain di dalam Desa Balinuraga yang terpisah dengan banjar Pandéarga yang merupakan banjar bagi Warga Pandé, diantaranya: Banjar Sumbersari, Banjar Jatirukun, Banjar Sukanadi, Banjar Sukamulya, Banjar Banjarsari, Banjar Sidorahayu163. Dengan kata lain, mereka memisahkan dirinya dari Warga Pandé – tidak bergabung dengan Warga Pandé. Artinya, identitas mereka sebagai Warga Pasek sudah jelas pasca pendataan tersebut, dan setelah wafatnya Sri Mpu Suci sudah saatnya mereka memiliki patron sendiri yang berasal dari Warga Pasek. Namun, sampai saat ini, upaya dari Warga Pasek di Desa Balinuraga untuk mendominasi warga-warga yang ada di Desa Balinuraga belum berhasil. Ada semacam perpecahan internal di dalam komunitas warga mereka yang mengakibatkan kesulitan dalam memilih pemimpin yang dapat mengayomi dan memberikan pengaruh pada warga-warga lain. Perpecahan internal ini bukan merupakan hancurnya komunitas Warga Pasek di Balinuraga, tapi lebih disebabkan silsilah dalam Warga Pasek yang lebih rumit (kompleks) daripada Warga Pandé. Warga Pasek merupakan keturunan dari Tujuh Pendeta “Sapta Rsi” atau Pasek Sanak Sapta Rsi, yang merupakan anak dari Mpu Gnijaya (atau disebut Geni Jaya) – Mpu Gnijaya sendiri merupakan salah satu dari Sang Catur Sanak (Empat Pendeta Bersaudara) dari Jawa Timur yang diutus ke Bali untuk 163
Berbeda dengan perkembangan Desa Adat dan Desa Dinas yang ada di Bali, di mana sudah ada pemisahan yang jelas antara keduanya secara fungsional dan administratif, di Balinuraga Desa Adat dan Desa Dinas menjadi “satu”. Akibatnya menjadi tumpang tindih dan membingungkan, mana yang menjadi Desa Dinas dan mana yang menjadi Desa Adat. Umumnya “Banjar” di Desa Balinuraga dijadikan “Dusun”, dan “Klian Banjar” (Ketua Banjar) menjadi “Kepala Dusun”. Berdasarkan data statistik “Kecamatan Way Panji Dalam Angka tahun 2008/2009” disebutkan ada tujuh (7) dusun di Desa Balinuraga, di mana ketujuh dusun ini merupakan tujuh banjar di dalam Desa Balinuraga. Sebagai minoritas etnik dan agama di Lampung, tentu orang Bali mengalami kesulitan untuk mendapatkan keistimewaan melalui otonomi Desa Adat. Secara sosial politik, akan mengakibatkan kecemburuan dari kelompok etnik lain, di mana Lampung merupakan wilayah dengan komposisi masyarakat yang heterogen baik etnik maupun agama dan aliran kepercayaan.
130
menyelesaikan persitegangan antar sekte. Dengan adanya tujuh leluhur, maka di dalam komunitas mereka timbul semacam polemik dari daris keturunan yang mana – dari ketujuh garis keturuan leluhur – yang sebenarnya pantas (layak) untuk menjadi pemimpin. Bukan tidak mungkin, terdapat beberapa kekeliruan dalam menentukan silsilah leluhur, karena proses penelusuran yang rumit. Para elit Pasek yang datang ke Balinuraga tidak menghabiskan waktu untuk membantu menyusun silsilah keluarga Warga Pasek satu per satu, karena Warga Pasek umumnya yang berada di Bali pun mengalami kesulitan untuk mengidentifikasikan secara tepat leluhurnya, termasuk arti dan asal-muasal “Pasek” itu sendiri. Mereka hanya tahu bahwa mereka adalah Warga Pasek, tapi dari garis keturunan mana mereka berasal itu yang harus mereka telusuri sendiri. Sebagai catatan, sangat jarang sekali dijumpai seseorang yang mengetahui dan menguasai kawitan, keturunan dan silsilah orang-orang Bali, dan tidak sembarangan orang yang dapat mempelajarinya. Tentu, ini menjadi permasalahan sendiri bagi Warga Pasek yang telah berada di luar Bali untuk mencari silsilah (kawitan) warga-nya dengan benar. Ketujuh garis keturunan Warga Pasek tersebut merupakan tujuh putra (keturunan) dari Mpu Gnijaya, yaitu yang biasa disebut sebagai Sang Sapta Rsi (sebutan lain: Tujuh Pendeta, Tujuh Empu/Mpu, dan Tujuh Rsi/Resi). Ketujuh Sang Sapta Rsi tersebut, yang menjadi leluhur dan pembentuk warga (klan) Pasek adalah Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadharmma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka dan Mpu Dangka. Keturunan Sang Sapta Rsi inilah yang kemudian menjadi Warga Pasek yang mendominasi warga-warga di Bali sebagai warga mayoritas. Kemudian, dari keturunan Sang Sapta Rsi ini, organisasi resmi Warga Pasek Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi dibentuk. Ayahanda dari Sang Sapta Rsi, Mpu Gnijaya, ini merupakan salah satu (kakak tertua) dari Catur Sanak (empat bersaudara; sebutan lain: Sang Catur Sanak yang berarti empat pandita) dari Panca Tirtha di Jawa Timur yang diutus ke Bali oleh Sri Gunaprya Dharmmapatni (Udayana Warmmadewa) untuk mengatasi keresahan masyarakat Bali akibat gesekan-gesekan yang timbul dari sad paksa (enam sekte) agama Hindu yang berkembang di Bali pada masa itu. Keenam sekte tersebut: Sambhu, Brahma, Wisnu, Bhayu dan
131
Iswara. Dari lima mpu di Jawa Timur yang terkenal dengan keahliannya di berbagai bidang, hanya empat saja yang akhirnya pergi ke Bali, yaitu (1) Mpu Gnijaya merupakan kakak tertua dari Panca Thirta atau Catur Sanak yang diutus ke Bali164. Mpu Gnijaya merupakan pemeluk Brahmaisme, di mana melalui ketujuh anaknya (Sang Sapta Rsi) menjadikan keturunan Warga Pasek sebagai warga mayoritas di Bali. Sebagai anak laki-laki tertua, maka keturunan dari Mpu Gnijaya (Sang Sapta Rsi) menjadi cikal bakal dari keturunan Warga Pasek di Bali, di mana memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Warga Pasek Kayuselem; (2) Mpu Sumeru (sebutan lain: Mpu Mahameru) yang merupakan pemeluk agama Siwa. Mpu Semeru tidak menikah seumur hidupnya. Meskipun tidak menikah, Mpu Semeru memiliki seorang keturunan. Konon, berkat kasidhi ajnanan (kesaktian dan pengetahuan gaib) yang dimilikinya, Mpu Semeru berhasil menurunkan putra dharma, yaitu Mpu Bandesa Dryakah atau Mpu Kamareka yang menjadi cikal bakal Warga Pasek Kayuselem. Sabda yang diberikan Mpu Sumeru kepada putra dharmanya, Mpu Kamareka, menyebutkan bahwa keturunan dari Mpu Kamareka merupakan kesatria dan brahamana, di mana setelah keturunan ketiga mereka statusnya surut menjadi rakyat biasa. Sebagai salah satu dari catur sanak dari Panca Tirtha, Mpu Semeru tetap merupakan leluhur bagi warga Pasek, termasuk bagi keturunan warga Pasek dari Sang Sapta Rsi yang tidak lain merupakan keturunan dari kakak tertua dari Mpu Semeru, Mpu Gnijaya, dan khususnya warga Pasek Kayuselem yang merupakan leluhur langsung dari Mpu Semeru melalui anaknya Mpu Kamareka. Untuk menghormati Mpu Sumeru maka didirikan Pura Ratu Pasek di Besakih sebagai Padharman Warga Pasek (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi) dan Warga Pasek Kayuselem; (3) Mpu Ghana adalah adik ketiga dari Mpu Gnijaya yang menganut aliran Ghanapatya. Sama seperti Mpu Sumeru, Mpu Ghana menjalani Nyukla Brahmacari (tidak menikah/kawin seumur hidup). Berbeda dengan Mpu Sumeru melalui kasidhi ajnanan mendapatkan 164
Mpu Gnijaya merupakan anak tertua dari Mpu Lampita, di mana Mpu Lampita adalah anak dari Mpu Bhajrastawwa (Mpu Wiradharmma) – anak tertua dari Mpu Withadarma yang berdasarkan Lontar Kutara Kanda Dewapurana pada Zaman Bahari merupakan keturunan langsung dari Bhatara Hyang Pasupati.
132
keturunan meskipun tidak menikah, Mpu Ghana tidak memiliki keturunan. Sebagai salah satu dari Catur Sanak yang menjadi leluhur Warga Pasek, Mpu Ghana tetap dianggap sebagai salah satu leluhur dari Warga Pasek meskipun tidak memiliki keturunan; (4) Mpu Kuturan (sebutan lain: Mpu Rajakretha) merupakan yang terkecil dari Catur Sanak, karena adiknya – Mpu Bradah (bungsu dari Panca Tirtha) – tetap tinggal di Jawa (tidak ikut serta ke Bali bersama keempat kakaknya/ Catur Sanak). Mpu Kuturan sendiri merupakan pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana. Selama di Bali Mpu Kuturan mengajarkan tingkah laku yang benar kepada masyarakat Bali. Untuk menghormati jasanya, maka didirikan Pura Cilayukti (baca: Silayukti) yang berasal dari kata “cila” (baca: sila) yang berarti “tingkah” dan kata “yukti” yang berarti “benar”. Selama hidupnya Mpu Kuturan menjalani Swala Brahmacari (kawin/menikah hanya sekali dan satu istri). Sampai saat ini, keturunan dari warga Pasek didominasi (mayoritas) berasal dari keturunan Sang Sapta Rsi, di mana populasinya terbesar di Bali, termasuk di luar Bali. Dari ketujuh Mpu inilah keturunannya menjadi warga terbesar di Bali sebagai Pasek tertua berdasarkan status leluhurnya, dibandingkan dengan Pasek Kayuselem yang statusnya sebagai adik dari Warga Pasek keturunan Sang Sapta Rsi. Dari ketujuh Mpu (Sang Sapta Rsi) keturunan yang statusnya tertua adalah yang berasal dari keturunan Mpu Ketek sebagai kakak tertua atau anak pertama (laki-laki) dari Mpu Gnijaya. Bila melihat kedatangan Catur Sanak, leluhur (orang tua) dari Sang Sapta Rsi, di sekitar permulaan abad ke-10, maka sudah semakin banyak cabang keturunan Warga Pasek dari Sang Sapta Rsi, yang keturunannya tersebar ke seluruh Bali termasuk ke Pulau Nusa Penida hingga akhirnya ke luar Bali, termasuk di Balinuraga, Lampung. Akibatnya, setelah memasuki abad ke-20 dan ke-21 keturunan Warga Pasek ini menjadi semakin rumit dan kompleks. Faktor ini (kerumitan menentukan silsilah) yang menyebabkan terjadinya konflik “internal” warga Pasek di Balinuraga, yang menjadikan mereka sulit untuk melahirkan pemimpin di dalam kelompok warga-nya dan menggeser popularitas warga Pandé di Balinuraga. Di samping jumlah populasi warga-nya yang besar (di Balinuraga) yang menyebabkan
133
pengonsolidasian warga lebih sulit, serta masih ada beberapa warga yang masih berpatron kepada warga Pandé. Pasca pendataan warga Pasek di Balinuraga oleh elit-elit warga Pasek di Bali dan wafatnya Sri Mpu Suci, warga Pasek mendapatkan kembali jati dirinya. Kembalinya identitas mereka sebagai warga Pasek menjadikan mereka semakin percaya diri dan memisahkan diri dari pengaruh warga Pandé. Ada perasaan bahwa warga-nya (klan Pasek) lebih unggul daripada warga Pandé, sehingga mereka merasa bahwa warga Pasek lebih layak untuk memimpin di komunitas Balinuraga. Tentu, perasaan ini, bahwa warga-nya adalah yang terbaik, dimiliki juga oleh warga Pandé. Rasa percaya diri warga Pasek pasca kembalinya identitas mereka memiliki latar belakang sejarah sendiri, di mana leluhur mereka, khususnya Catur Sanak (ayah dari Sang Sapta Rsi) telah membangun fondasi dan infrastruktur sosial-politik, budaya dan keagamaan bagi masyarakat Bali, di mana menjadi tugas dari Catur Sanak ketika diutus ke Bali. Kehadiran Catur Sanak membawa perubahan besar dalam tata keagamaan dan tatanan kehidupan masyarakat Bali. Mereka berhasil menyusun tata tertib desa, membangun pura seperti Kahyangan Tiga, Sad Kahyangan dan lain-lain, beserta aturan upacaranya. Dari keempat pandita tersebut (Catur Sanak) yang paling menonjol peran dan keahliannya adalah Mpu Kuturan (sebutan lain: Mpu Rarajkretha). Prestasi (karya) fenomenal Mpu Kuturan yang sampai saat ini masih berlaku di Bali dan etnis Bali Hindu di luar Bali adalah Desa Pakraman (Desa Adat). Mpu Kuturan berhasil menuangkan konsep Tri Murthi (nantinya dikenal dengan konsep Tri Hita Karana) ke dalam Desa Pakraman yang ditujukan untuk memperkuat keberadaan Desa Pakraman dari gejolak dan pengaruh negatif baik dari dalam maupun dari luar. Karya lain dari Mpu Kuturan antara lain: memperluas dan memperbesar Pura Besakih; menciptakan palinggih (bangunan suci) yang disebut Meru, Gedong dan lain-lain; membuat dan menyempurnakan Kahyangan Jagat yang berjumlah delapan buah (Pura Besakih, Lampuyang, Andakasa, Goa Lawah, Batukaru, Berantan, Batur dan Huluwatu). Rumitnya penelusuran silsilah warga Pasek di Balinuraga menjadikan kelompok warga ini kurang solid dibandingkan dengan warga
134
Pandé. Kesolidan yang dimaksud adalah kesolidan dalam kelompok warga Pasek di Balinuraga, bukan kesolidan mereka sebagai etnis Bali Hindu atau komunitas Bali Hindu di Balinuraga atau pun di Lampung Selatan. Kasus warga Pasek di Balinuraga kurang lebih sama seperti warga Pasek pada umumnya di Bali, yaitu mereka tahu bahwa mereka itu warga Pasek, tapi akan kesulitan untuk menjelaskan apa itu Pasek, bagaimana dan darimana asal-mula leluhurnya. Sebagai warga Pasek mereka tetap memiliki kesolidan – dengan mengusung identitas sebagai warga Pasek – tetapi yang menjadi semacam permasalahan di dalam kelompok warga ini adalah: mereka adalah pasek apa? Berasal dari leluhur pasek yang mana? Mengingat mereka memiliki tujuh leluhur (Tujuh Pendeta), di mana setiap pendeta memiliki keturunannya sendiri yang tersebar di Bali dan tetap mengusung identitas (jati diri) sebagai bagian dari warga (klan) Pasek. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini agar tidak terjadi perdebatan yang berlarut dan warga Pasek tetap bersatu (solid) – perdebatan klasik itu seperti: Pasek A lebih baik dari Pasek B dan Pasek C dan sebaliknya dan seterusnya – adalah dengan menjadikan “Pasek” sebagai identitas utama. Artinya, meskipun mereka mendefinisikan dirinya sebagai Pasek A, B, C, dan seterusnya, mereka tetap merupakan warga Pasek. Namun, ada kalanya solusi ini tidak efektif jika ada kepentingan politik dari beberapa individu yang berambisi untuk menjadi pemimpin dalam komunitasnya, atau di level kabupaten ingin mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Misalnya, dengan mengklaim dirinya sebagai “Pasek A”, dan berdasarkan silsilahnya “Pasek A” yang paling layak karena berasal dari pendeta tertua. Walaubagaimana pun keturunan warga Pasek yang berasal dari Pendeta tertua dengan keturunannya yang berasal dari anak laki-laki tertua tetap dianggap yang paling layak. Meskipun klaim tersebut terkadang sangat sulit untuk dibuktikan, karena keturunan dari Sang Sapta Rsi sudah sangat banyak dan tersebar ke berbagai daerah. Dalam kasus warga Pasek di Balinuraga, mereka adalah warga Pasek yang berasal dari Nusa Penida dan saat ini telah berada di Lampung. Tentu ada beberapa di antara mereka – yang memiliki alokasi dana khusus – yang berkepentingan untuk memperjelas identitas leluhurnya, mereka – warga Pasek di Balinuraga – meminta bantuan dari para Rsi (Resi atau pandita) Warga Pasek senior yang kompeten di bidangnya di pulau induk, Bali. Jika penelusuran
135
dilakukan di Nusa Penida, mereka mendapatkan kendala yang cukup rumit, yaitu dusun tempat di mana mereka berasal dulu (sebelum bertransmigrasi) jumlah penduduknya sudah sangat sedikit, tinggal hanya beberapa kepala keluarga saja. Di samping itu, karakteristik masyarakat Nusa Penida yang lebih egaliter – jauh dari pengaruh “negara pusat” yang berdampak atas jauhnya pengaruh konsep status sosial triwangsa dan nontriwangsa, serta warga-warga – menyebabkan mereka sulit untuk mendapatkan klaim yang jelas atas identitas leluhurnya. Bagi mereka, klaim yang didapatkan dari pulau induk, Bali, memiliki tingkat pengakuan yang tinggi, meskipun penelusuran itu belum tentu valid, karena ranting pohon keturuan warga Pasek dari Sang Sapta Rsi yang sudah bercabang sangat banyak. Pada akhirnya, tidak jarang, penelusuran ini terhenti karena permasalahan dana, karena butuh biaya yang besar untuk perjalanan pulang-pergi Lampung-Bali dan biaya-biaya adat dan keagamaan yang harus dipenuhi. Jumlah anggota warga Pasek yang lebih besar daripada warga Pandé – untuk kasus di Balinuraga – merupakan salah satu faktor yang menyebabkan mengapa warga Pasek kurang solid dibandingkan dengan warga Pandé. Dalam kasus ini, warga Pandé dari segi jumlah merupakan minoritas, sama seperti di Bali, tapi jumlah anggotanya yang lebih kecil menjadikan mereka lebih mudah untuk mengkonsolidasikan warga-nya. Hal ini juga tidak terlepas dari faktor sejarah (khususnya di masa kerajaan), di mana warga Pandé biasanya hidup dalam kelompok warga-nya sendiri sesama Pandé. Ini terkait dengan fungsi mereka sebagai pandai besi, di mana hanya klan mereka saja yang menguasai dan diwarisi teknik-teknik serta kekuatan untuk mengerjakan alat-alat dan perkakas yang terbuat dari besi. Biasanya mereka memiliki banjar tersendiri, di mana komunitas mereka bertugas sebagai pandai besi untuk menyediakan alat-alat dan perkakas yang terbuat dari besi, baik untuk kepentingan kerajaan atau pun kepentingan kelompok (warga) lain. Terlepas warga Pasek di Balinuraga berasal dari “Pasek A”, “Pasek B”, “Pasek C”, dan seterusnya, sebagai warga Pasek mereka tetap (dan pasti) melakukan kewajibannya sebagai warga Pasek, salah satunya yang utama adalah mengungjungi pura-pura suci bagi warga Pasek yang berada di Bali. Pura-pura Suci dan penting bagi warga Pasek di Bali
136
berdasarkan tingkatannya adalah (1) Pura Ratu Pasek di Besakih; (2) Pura Dasar Bhuwana Gelgel; (3) Pura Sila Yukti yang lokasinya dekat dengan Padang Bai; (4) Pura Lempuyang Madia dekat dengan Amlapura. Tanggungjawab keempat pura suci ini dipegang oleh organisasi formal warga Pasek, yaitu Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi – yang juga mempunyai cabangnya di Lampung dalam komunitas-komunitas Bali Hindu termasuk di Balinuraga. Oleh karena itu, ketika ada upacara-upacara dan ritual-ritual penting, warga Pasek yang ada di Balinuraga sebisa mungkin mengunjungi keempat pura suci ini, selain juga mengunjugi purapura suci yang ada di tempat asal mereka di Nusa Penida. Jika hasil pertanian bagus, bukan tidak mungkin, seorang warga Pasek atau pun warga lainnya, bisa mengunjungi Bali dan Nusa Penida dua kali dalam setahun. Biasanya mereka pergi secara berkelompok untuk menghemat biaya, seperti dengan membawa mobil pribadi atau menyewa mini bus yang membawa mereka ke Bali dan Nusa Penida. Tujuan dari pelaksanaan kewajiban ini bagi warga Pasek antara lain adalah untuk menunjukkan eksistensi identitas mereka sebagai warga Pasek, yaitu dengan mengunjungi pura-pura suci dan penting bagi warga Pasek. Ada semacam kebanggaan tersendiri – terkadang dapat meningkatkan status sosial si individu tersebut – jika secara rutin (minimal satu tahun sekali) pergi ke Bali untuk menunaikan kewajiban mereka, tidak hanya kewajiban sebagai warga Pasek, tapi juga kewajiban sebagai umat Hindu. Kewajiban yang bersifat agama dan adat ini memakan biaya yang besar, belum lagi kewajiban lain yang harus mereka tanggung di dalam komunitas Bali Hindunya di Balinuraga. Ini menjadi salah satu faktor yang merangsang mereka untuk tekun dan bekerja keras di bidang pertanian. Di kalangan kelompok masyarakat (transmigran) Jawa, selain keuletan dan kerja kerasnya, orang Bali di Balinuraga (dan di Kampung Bali lainnya) dikenal dengan perhitungannya secara ekonomi, tapi sangat royal (dalam pandangan orang Jawa terkesan boros) untuk urusan adat dan keagamaan. Saat ini warga Pasek di Balinuraga sudah memiliki sulinggih (pendeta / mpu) sendiri bagi warga Pasek. Hadirnya sulinggih warga Pasek ini, yang kesulinggihannya sudah diakui dan terdaftar di lembaga resmi agama Hindu (PHDI) dan lembaga formal warga Pasek, menjadi
137
pemersatu bagi warga Pasek di Balinuraga. Warga Pasek sudah memiliki patron baru yang menjadi pemersatu warga-nya, dan tidak perlu lagi menggunakan sulinggih dari warga lain. Setelah memiliki sulinggih-nya sendiri, menyebabkan setiap ada upacara adat dan keagamaan tertentu penyelenggaraannya tidak dapat dilakukan bersama-sama antar warga. Setiap warga dengan mpu-nya menyelenggarakan upacara tersebut bersama-sama dengan anggota warga-nya sendiri dan di bale banjar warga-nya sendiri dengan waktu yang kurang lebih hampir bersamaan. Dengan kata lain, seorang warga Pasek tidak dapat ikut serta dalam upacara yang diselenggarakan khusus bagi warga Pandé dan sebaliknya – kecuali upacara bersama untuk komunitas satu Desa Balinuraga. Artinya, dengan fenomena ini di mana setiap warga memiliki sulinggih-nya sendiri, menyebabkan terjadinya pengkotak-kotakan komunitas Hindu Bali di Desa Balinuraga – karena dengan memiliki sulinggih sendiri maka setiap warga dapat menyelenggarakan upacara tertentu khusus untuk warga-nya165. 165
Sore hari setelah penulis mengikuti Upacara Melasti (mekiis)– sebelum hari raya Nyepi (Maret 2010) – di banjar Pandéarga akan diselenggarakan sebuah upacara pra-Nyepi yang dikhususkan bagi warga Pandé. Ketika penulis sedang berada di rumah salah seorang sepuh dari warga Pandé, ada seorang anak muda Balinuraga yang bekerja di Bandar Lampung mengunjungi rumah sepuh ini untuk berkonsultasi. Ketika itu anak muda tersebut sedang cuti bekerja dari perusahaan di mana ia bekerja untuk mengikuti hari raya Nyepi. Menjelang malam hari, ketika upacara hendak dimulai di bale banjar Pandéarga, sepuh sudah terlebih dahulu ke tempat upacara, sedangkan penulis dan anak muda itu masih berada di rumah untuk berdiskusi sejenak. Sebelum menyaksikan jalannya upacara di „geria‟-nya warga Pandé, penulis bertanya: “Beli (sebutan „mas‟ dalam Bahasa Bali) gak ikut upacara?”. Kemudian dia membalasnya: “Tidak, mas. Nanti saya ikut di tempat lain”. Awalnya penulis mengira bahwa anak muda tersebut satu warga dengan sepuh. Setelah penulis berdiskusi sejenak baru diketahui bahwa anak muda tersebut berasal dari warga lain, di mana dalam waktu yang tidak berjauhan akan diselenggarakan upacara serupa khusus untuk warga-nya sendiri. Ini merupakan salah satu kasus di Balinuraga, di mana dalam beberapa upacara tertentu penyelenggaraan dilakukan terpisah berdasarkan warga-nya sendiri – tentu dengan sulinggih warga tersebut. Sebagai catatan, sepuh ini merupakan salah satu tokoh penting di Balinuraga, yang juga diakui ketokohannya di kalangan orang Bali di Lampung Selatan. Oleh karena itu, tidak sedikit anak muda di Balinuraga, maupun dari Kampung Bali lain tetangga Desa Balinuraga dan juga dari kalangan etnis lain, yang berkonsultasi (atau curhat) untuk meminta masukan dari sepuh ini.
138
Warga Pandé Warga Pandé merupakan warga yang minoritas dari segi jumlah anggotanya. Jumlah warga Pandé kurang lebih separuh dari total warga Pasek yang berada di Balinuraga. Bila dilihat jumlah anggotanya, warga Pandé terlihat sebagai minoritas, tapi dilihat peran dan fungsi yang mereka mainkan, Warga Pandé memiliki pengaruh yang besar, tidak hanya di level banjar dan Desa Balinuraga, tapi sampai ke level Kabupaten Lampung Selatan. Sejak kedatangan transmigran Bali Nusa ke Lampung Selatan, warga-warga di Balinuraga sepertinya masih belum bisa melepaskan diri dari pengaruh dan popularitas warga Pandé, khususnya Sri Mpu Suci (dan keluarganya) yang menjadi inisiator dan pemimpin transmigran Bali Nusa, mulai dari keberangkatan ke Lampung sampai sudah berada di Lampung. Setelah Sri Mpu Suci wafat, peran penting yang selama ini dimainkan oleh Sri Mpu dilanjutkan oleh putra-putranya, terutama di bidang keagamaan dan kesenian. Oleh karena itu, sampai saat ini, untuk melakukan hubungan keluar Desa Balinuraga, khususnya acaraacara yang bersifat formal (biasanya diselenggarakan oleh pihak pemerintah atau organisasi kemasyarakatan Bali dan non-Bali untuk level kecamatan dan kabupaten), sesepuh dari Balinuraga yang (biasa) selalu diundang berasal dari Warga Pandé, yaitu salah satu putra dari Sri Mpu Suci. Sebagai salah satu kelompok warga yang jumlahnya minoritas di Bali, dalam perjalanan sejarahnya, Warga Pandé memainkan peranan yang Setelah upacara selesai, ada pentas kesenian Tari Barong dan kesenian lain. Ketika pertunjukan di mulai beberapa warga lain (non-Pandé) turut menyaksikan pertunjukkan tersebut. Kehadiran mereka sebatas untuk melihat pertunjukkan, tapi tidak mengikuti upacara yang diselenggarakan bagi warga Pandé. Pertunjukkan tersebut berlangsung ramai, banyak warga lain yang menonton, setelah beberapa di antara mereka telah selesai mengadakan upacara di banjarnya. Pentas ini berlangsung ramai karena dalam beberapa pentas kesenian di Balinuraga, banjar Pandéarga terkenal dengan pertunjukkannya yang apik, karena mereka memiliki penari dan pemusik yang berbakat. Tidak jarang para seniman dari banjar ini diundang untuk menyelenggarakan pentas seni (biasanya tari-tarian Bali) di berbagai tempat di Lampung Selatan, khususnya di dalam komunitas Bali Hindu – termasuk dalam acara-acara formal di pemerintahan (level kecamatan dan kabupaten).
139
cukup penting di dalam masyarakat Bali, mulai masa pra-Hindu, masa pemerintahan Bali Aga, masa kekuasaan Majapahit di bawah dinasti Sri Kresna Kepakisan, dan masa kolonial. Warga atau klan Pandé diperkirakan sudah ada di Bali sejak zaman pra-Hindu, tapi pada masa itu belum istilah warga atau sistem warga belum dikenal karena sistem ini mulai dikenal setelah berkuasanya Majapahit atas Bali Namun, kelompok Pandé ini sudah ada di masa ini terkait dengan fungsinya (guna) sebagai pandai besi (dalam Bahasa Indonesia) atau Pandé wesi (dalam Bahasa Bali), sehingga di zaman pra-Hindu kelompok Pandé ini hidup berkelompok dalam komunitasnya sendiri sebagai sesama pandai besi. Di masa kerajaan – masa pra-Hindu, Bali Aga, dan Dinasti Sri Kresna Kepakisan – kedudukan Warga Pandé mendapatkan tempat yang istimewa di dalam kerajaan dan masyarakat Bali. Hal ini dikarenakan untuk membuat peralatan atau perkakas yang terbuat dari bahan dasar besi tidak bisa dikerjakan oleh sembarangan orang. Hanya orang-orang tertentu, atau keluarga tertentu (warga / klan) yang secara turun-temurun dapat mengerjakan pekerjaan “besi” ini. Ilmu dan teknik pembuatan peralatan atau perkakas yang terbuat dari besi ini merupakan resep rahasia yang hanya diwariskan kepada keluarganya sendiri. Tidak hanya di Bali, dalam beberapa sejarah tertulis di masa-masa awal peradaban Nusantara ini, mereka yang bekerja di bidang pandai besi mempunyai komunitasnya sendiri, yang dapat dikatakan terpisah dari kelompok masyarakat lain karena spesialisasi pekerjaannya. Besi, bagi orang Bali dan etnis lain di Nusantara, dipercaya memiliki kekuatan magis (magical power), di mana dalam pengerjaan membutuhkan orang-orang khusus dengan keterampilan yang tinggi. Oleh karena itulah, Warga Pandé mendapatkan satu tempat khusus di dalam sebuah pemerintahan kerajaan. Tentu, pertanyaannya adalah mengapa Warga Pandé mendapatkan keistimewaan tersebut? Selain karena besi memiliki kekuatan magis, bagi orang-orang pemerintahan (kesatria) di dalam kerajaan percaya bahwa apa yang dibuat oleh Warga Pandé memiliki kekuatan magis yang istimewa, khususnya senjata-senjata, terutama keris. Kalangan pemerintahan kerajaan – bangsawan-bangsawan puri yang memegang / menjalankan pemerintahan – mengetahui bahwa kekuasaan dari kerajaan (pemerintahan) yang baru, atau pemerintahan yang ada sekarang (status quo), bergantung pada hasil-
140
hasil pekerjaan kalangan Warga Pandé (terutama di bidang persenjataan perang). Dapat dikatakan, hasil-hasil dari pekerjaan Warga Pandé ini berarti kestabilan politik (Eiseman 2005). Untuk menghargai Warga Pandé, terutama agar mereka mendapatkan prestise (status dan kebanggaan sosial di dalam masyarakat) yang secara moril akan berdampak pada hasil karya-cipta mereka, Warga Pandé diberikan satu tempat di dalam puri, sebuah tempat di dalam lingkungan keluarga kerajaan. Bila dianalogikan secara sederhana, bila terjadi peperangan antar kerajaan, baik yang ada di Bali atau pun di Jawa, sebenarnya dibalik peperangan fisik itu merupakan peperangan di kalangan kelompok / keluarga dari pandai besi. Baik patih maupun prajurit yang berperang di medan pertempuran, keduanya menggunakan senjata yang dihasilkan (diciptakan) dari keluarga pandai besi. Oleh karena itulah, di masa kerajaan setiap kerajaan memiliki satu warga/keluarga Pandé untuk menangani pembuatan senjata. Bagi Warga Pandé sendiri, kemenangan dari suatu pertempuran, meskipun mereka tidak ikut berperang secara langsung, memberikan satu kebanggaan sendiri, karena baik langsung atau pun tidak langsung, kemenangan itu turut ditentukan oleh senjata yang mereka hasilkan. Secara niskala, dapat diartikan bahwa senjata yang mereka hasilkan diciptakan atau mendapatkan kekuatan magis dari Dewa Brahma dalam manifestasinya sebagai Dewa Api. Bukan tidak mungkin, satu Warga Pandé yang hasil kreasinya memenangi beberapa peperangan, dibajak melalui berbagai cara untuk pindah ke kubu atau kerajaan lain. Bagi kalangan masyarakat sipil di Bali, Warga Pandé turut mendapatkan satu tempat yang khusus bagi mereka, baik dalam lingkungan desa maupun banjar – biasanya disediakan satu banjar tersendiri bagi Warga Pandé166. Hal ini terkait dengan kebutuhan warga sipil akan peralatan dan perkakas dari besi, di mana hanya dapat dikerjakan dengan baik oleh kalangan Warga Pandé. Tempat khusus ini tidak hanya diberikan bagi Warga Pandé 166
Seperti contoh kasus di Desa Adat Tenganan, di mana untuk Warga Pandé diberikan satu tempat khusus – Banjar Pandé – sebagai “orang luar”. Warga atau klan Pandé ini sengaja didatangkan oleh desa adat untuk membuat keris – senjata tajam yang harus dibawa laki-laki Tenganan dan menjadi bagian dari pakian tradisional laki-laki (lihat:Ambarwati Kurnianingsih 2008, Simulacra Bali: Ambiguitas Tradisionalisasi Orang Bali, Yogyakarta: Insist Press).
141
di masa pemerintahan dinasti Sri Kresna Kepakisan, tapi juga di kalangan Bali Aga, baik pra maupun pasca kedudukan Majapahit atas Bali. Di masa kolonial, ketika sistem wangsa (kasta) diajegkan oleh pemerintah kolonial dengan dukungan raja-raja boneka bentukan Belanda, Warga Pandé di berbagai daerah di Bali mengadakan perlawanan atas kebijakan pemerintah kolonial – dalam kasus ini perlawanan dilayangkan kepada kerajaan boneka bentukan Belanda karena langsung berhadapakan dengan masyarakat sipil – yang mendiskriminasikan posisi mereka sebagai Warga Pandé yang dicampakkan sebagai jabawangsa (sudrawangsa). Konsekuensi atas pencampakkan ini adalah Warga Pandé harus menjalani kewajiban kerja rodi untuk pembangunan jalan, dan tidak diperkenankan menggunakan pendetanya sendiri (Mpu) untuk melaksanakan upacara dan ritual adat dan keagamaan – termasuk harus mendapatkan tirta (air suci) dari pedanda (pendeta brahmana). Aksi protes dan perlawanan Warga Pandé ini akhirnya menjadi inspirasi bagi warga lain yang lebih besar, seperti Warga Pasek, untuk melayangkan aksi protes kepada pemerintah kolonial167. Kata “Pandé” sendiri – seperti yang telah dijelaskan sebelumnya – berarti “Pandai” dalam Bahasa Indonesia, yang berarti “tukang tempa”. Secara umum, kata “Pandé” atau “pandai” ini dihubungan dengan pekerjaannya yang menciptakan atau menghasilkan produk-produk yang berbahan dasar besi. Atau, dalam Bahasa Bali disebut “Pandé wesi” dan dalam Bahasa Indonesia disebut “pandai besi”. Sebutan lain yang lebih khusus, misalnya “Pandé mas” atau “pandai mas”, untuk orang-orang pandai atau Pandé yang mengerjakan atau menempa bahan dasar dari emas. Dalam Bahasa Inggris, “Pandé wesi” ini disebut juga sebagai 167
Aksi protes dan perlawanan ini juga diikuti oleh warga Bhujangga Waisnawa – merupakan Brahmana Bali Aga. Inti dari aksi protes dan perlawanan ini adalah mereka menolak sistem kasta (wangsa) yang “diimpor” dari Jawa (Majapahit) dan menolak didiskriminasikan karena digolongkan oleh kekuasaan saat itu – ketika Majapahit berkuasa atas Bali – sebagai jabawangsa, yang dalam perkembangannya menjadi sudrawangsa. Oleh karena itulah, di kalangan masyarakat Bali Aga yang terdapat di daerah tinggi (pegunungan) di Bali, sistem wangsa (kasta) tidak ada di dalam komunitas mereka (lihat: Geertz 1967, “Tihingan: A Balinese Village” dalam Villages in Indonesia, edt. Kontjaraningrat, Ithaca-New York: Cornell University Press).
142
“smith” atau “masters of steel”. Dalam Bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder 1982) kata “Pandé” juga disebut “panday” yang berarti skilled workers; smith, gold smith, etc. Istilah “Warga Pandé” merupakan atau menunjukkan satu keluarga atau satu klan yang leluhurnya berasal dari keluarga pandai besi atau Pandé wesi. Berbeda dengan Warga Pasek yang leluhurnya berasal dari Tujuh Pendeta (Sang Sanak Sapta Rsi), Warga Pandé berasal dari satu leluhur – dalam lontar ditetapkan sebagai leluhur awal / pertama bagi Warga Pandé – yaitu Empu/Mpu168 Pradah. Di dalam lontar Warga Pandé – Prasasti Sira Pandé Empu169 – disebutkan bahwa Mpu Pradah merupakan hasil kreasi kehidupan dari Brahma. Di dalam mitologi-mitologi di awal zaman Hindu, disiplin yang ketat dalam bidang kerohanian (asketisme) dan meditasi dapat menghasilkan satu kehidupan (melahirkan manusia)170. Ini yang dilakukan oleh Brahma yang dipercaya – seperti tercatat dalam lontar Pandé – melahirkan Mpu Pradah yang
168
Empu atau Mpu dapat diartikan sebagai orang suci atau orang yang memiliki kualitas kerohanian yang tinggi; dalam Bahasa Indonesia, Empu atau Mpu diartikan sebagai: (1) gelar kehormatan yang berarti “tuan”; (2) orang yang sangat ahli – terutama ahli membuat keris (Kamus Besar Bahasa Indonesa). Salah satu contohnya adalah Mpu Gandring, salah satu mpu dari kalangan klan Pandai Besi yang ahli membuat senjata-senjata perang, terutama keris, di wilayah Tumapel di bawah pimpinan Tunggul Ametung. 169 Prasati Sira Pandé Empu merupakan sebuah dokumen (catatan) formal keagamaan. Dokumen lontar ini diperkirakan disusun sekitar abad ke-15 dan 16 Masehi. Pada masa-masa ini, tidak hanya warga (klan) Pandé saja yang menulis sejarah warga-nya, tapi juga warga-warga lain. Penulisan dokumen ini, seperti yang ditemui pada dokumen warga-warga lain, ditujukan untuk mengidentifikasikan, menyebarluaskan, bahwa mereka berhak atas sebuah status yang lebih besar daripada Sudra. Abad ke-15 dan 16 Masehi adalah masa dinasti Sri Kresna Kepakisan, masa di mana Bali sudah dikuasi Majapahit, di mana beberapa warga (klan) yang tidak terlibat dalam pemerintahan kerajaan – termasuk orang Bali Aga sebagai tertakluk – tidak digolongkan sebagai orang „dalem‟ (lingkungan dalam kerajaan atau puri) ,dan karena itu disebut sebagai orang luar (jaba wangsa). Saat berkuasanya Majapahit atas Bali, diperkirakan sistem wangsa yang berasal dari Jawa (Jawa Timur) mulai diadaptasikan oleh pendeta-pendeta (brahmana siwa dan budha) beserta kesatria (arya-arya Jawa Timur) ke Bali. 170 Bandingkan dengan kisah Mpu Kuturan yang dalam meditasinya bisa melahirkan keturunan meskipun brahmacari.
143
ditetapkan sebagai leluhur Warga Pandé. Meskipun di dalam lontar menjabarkan penciptaan yang dilakukan oleh Brahma, tapi Brahma yang dimaksudkan dalam lontar tersebut kurang lebih seperti trimurthi dalam Hindu, dan lebih condong mendekati Dewa Api yang disebut Agni. Penekanan Brahma yang lebih condong ke Agni dinilai cukup beralasan, karena bagi Warga Pandé, api merupakan „bahan bakar‟ utama dalam guna mereka sebagai Pandé wesi, yang melaluinya (api) kekuatan didapatkan. Oleh karena itu, sampai saat ini warna merah menjadi simbol bagi Warga Pandé yang menunjukkan identitas warga mereka, yang selalu diasosiasikan dengan Brahma (trimurthi). Selain itu, Warga Pandé diharuskan memiliki / menyimpan perapen – peralatan pembakaran yang digunakan pandai besi –sebagai simbol identitas mereka sebagai Warga Pandé, meskipun sudah tidak menekuni profesi sebagai pandai besi. Simbol warna merah dan perapen tidak hanya diadaptasi oleh Warga Pandé yang ada di Bali, tapi juga diadaptasi oleh Warga Pandé yang ada di Balinuraga. Cara paling mudah untuk mengidentifikasikan Warga Pandé di Balinuraga adalah dengan melihat warna bangunan rumah dan pura keluarganya yang didominasi warna merah. Lontar tersebut juga mencatat yang menyatakan bahwa Warga Pandé warga yang merdeka, atau sebagai warga yang independen, tidak tergantung atau bergantung terhadap warga-warga (atau wangsa) lain. Pernyataan dalam lontar Pandé tersebut secara tegas dan jelas menyatakan bahwa kaum Brahmana mendapatkan pengetahuan dan kekuatan (kekuasaan) dari Pandé, dan mendudukkan Warga Pandé sebagai saudara tertua (lebih tua) daripada kaum Brahmana, dan tentunya dengan kekuatan dan prestise yang lebih tinggi daripada kaum Brahmana. Selain itu juga diintruksikan bahwa Warga Pandé tidak diperkenankan untuk menerima tirta (air suci) dari pedanda (pendeta Brahmana), karena pendeta Brahmana adalah adik (lebih muda) daripada Pandé. Catatan-catatan dalam lontar Pandé inilah yang menjadi acuan bagi Warga Pandé mengadakan aksi protes dan perlawanan terhadap pihak kerajaan boneka di masa kolonial. Keinginan pemerintah kolonial untuk mengembalikan Bali sebagaimana aslinya seperti masamasa kerajaan – dengan mengajegkan sistem wangsa (kasta) menjadi semakin tertutup (vertikal) dalam proyek balinisasi, melahirkan peraturan yang salah satunya mengharuskan kelompok jabawangsa (golongan di luar
144
triwangsa) menerima tirta dari pedanda (pendeta brahmana) dan tidak boleh menggunakan pendetanya sendiri (mpu) untuk memimpin upacara adat dan keagamaan – menyebabkan Warga Pandé di berbagai daerah di Bali melayangkan aksi protes ke Raad Kerta (peradilan adat). Di samping itu, di dalam lontar Pandé terdapat berbagai larangan kepada kelompok (warga) lain bahwa mereka seharusnya tidak mengikuti pengajaran dari para brahmana dan kesatria, tapi lebih mengikuti Pandé171. Untuk kasus di Balinuraga di masa-masa awal kedatangan transmigran Bali Nusa ke Lampung Selatan, selain dikarenakan alasan teknis karena transmigran Bali Nusa tidak memiliki patron yang mumpuni sebagai Mpu, dapat dimungkinkan, isi atau peraturan di dalam lontar Pandé ini menjadi salah satu rujukan yang membenarkan agar warga-warga lain mengikuti ajaran atau pimpinan seorang Mpu dari Warga Pandé. Terkait dengan isi lontar Pandé, seperti yang diuraikan sebelumnya, Eiseman (2005) menyebutkan bahwa dokumen ini anti-brahmana, anti-kemapanan, dan dihembuskan oleh propaganda yang pro-Pandé172. Meskipun demikian, sejak Belanda menguasai Bali dan melaksanakan proyek Balinisasinya dengan mengajegkan sistem wangsa, menimbulkan sejumlah aksi protes dan perlawanan dari warga-warga yang dicampakkan ke dalam jabawangsa. Tindakan ini timbul karena adanya ketidakadilan yang dirasakan dan ditanggung oleh kelompok jabaangsa, seperti harus kerja rodi, di mana golongan triwangsa mendapatkan keistimewaan-keistimewaan dari pemerintah kolonial. Di samping itu, jika menelusuri babad-babad wargawarga yang ada di Bali, leluhur mereka berasal dari kalangan terpandang di masanya, seperti pendeta (brahmana) dan kesatria (bangsawan, pejabat pemerintahan kerajaan). Dikarenakan gejolak politik di masa kerajaan
171
Perlawanan Warga Pandé di Bali, baik di masa kerajaan maupun kolonial, terhadap hegemoni triwangsa umumnya dipelopori atau “dimainkan” oleh warga Pandé yang konservatif, di mana mereka tetap teguh pada pendirian mereka – seperti yang tertulis dalam lontar – bahwa mereka memiliki kedudukan yang lebih tua daripada brahmana wangsa, dan tentunya status/prestis yang lebih tinggi. Ini yang menyebabkan di beberapa daerah di Bali pada masa itu, menolak untuk menerima air dari pedanda (pendeta brahamana). 172 Kalangan ini berasal dari warga Pandé yang konservatif.
145
yang dinamis, warga-warga ini tersingkir dari pentas politik kerajaan dan menjadi warga biasa, tanpa keistimewaan dan status sosial yang tinggi. Bila menelusuri keberadaan Warga Pandé di Bali, baik berdasarkan sejarah pra-invasi Majapahit maupun pasca-jatuhnya Majapahit oleh Kerajaan Islam Demak, maka dapat diketahui bahwa ada dua Warga Pandé di Bali, yaitu Warga Pandé yang berasal dari Bali Aga dan Warga Pandé yang melakukan eksodus atau pelarian dari Jawa Timur (saat jatuhnya Majapahit) ke Bali. Berdasarkan sejarahnya, ketika Majapapahit bersama Mahapatih Gajahmada dan para Arya menyerang Bali, mereka harus bertempur dengan sengit melawan raja Bali Aga – Asta Asura Ratna Bumi Banten – yang persenjataannya dibuat oleh Warga Pandé dari Bali Aga yang tersohor – yang disebut Pandé Tamblingan: kelompok Pandé Bali kuno (Bali Aga) yang bermungkim di kawasan Tamblingan. Strategi Mahapati Gajahmada untuk mengalahkan Raja Asta Asura Ratna Bumi Banten adalah dengan menghancur pusat industri persenjataannya terlebih dahulu di Tamblingan, di mana di sana bermungkim kelompok Pandé yang bertugas membuat persenjataan bagi raja-raja Bali kuno. Strategi ini jitu, karena dengan menghancurkan Tamblingan, maka kerajaan Bali Aga menjadi lemah – disebabkan hancurnya gudang dan industri persenjataan kerajaan Bali kuno, yang menyebabkan kekalahan kerajaan Bali Aga di kepemimpinan Mahapati Gajahmada. Sejarah ini membuktikan bahwa stabilitas politik dan keamanan sebuah kerajaan – di masa kerajaan – tergantung pada kelompok Pandé-nya, karena kelompok ini bertugas untuk membuat persenjataan baik untuk berperang (invasi) melawan kerajaan lain, atau pun mempertahankan diri dari serangan kerajaan lain. Kasus ini (kurang lebih) sama seperti kerajaan-kerajaan di Jawa maupun di Bali. Meskipun kelompok Pandé ini sudah ada di masa Bali kuno sebelum Majapahit menginvasi Bali, Warga Pandé (dari dua kelompok ini, baik Pandé dari Bali Aga maupun Pandé dari Jawa) mengakui bahwa mereka berasal dari satu leluhur yang sama, yaitu Mpu Pradah – titisan Dewa Brahma yang lebih dimanifestasikan sebagai Dewa Api. Hal ini cukup berasalan karena mitologi yang terdapat dari dalam lontar yang menyebutkan bahwa leluhur Pandé berasal dari Brahma (condong ke Dewa Api), dari penulisannya,
146
(diperkirakan) serupa dengan masa sebelum masuknya Hindu. Mitologi dalam lontar ini, yang mungkin, menjadi klaim bahwa kelompok Pandé, baik dari Bali maupun dari Jawa, berasal dari satu leluhur. Kelompok Pandé yang kedua yang berada di Bali, pasca invasi Majapahit ke Bali dan pasca jatuhnya Majapahit, adalah kelompok Pandé yang berasal dari Jawa. Kelompok Pandé ini merupakan pelarian dari Jawa Timur, yang melakukan eksodus pasca jatuhnya Majapahit. Besar kemungkinan, kelompok Pandé yang melakukan eksodus ke Bali ini adalah kelompok Pandé yang selama ini berafiliasi dengan kerajaan Majapahit, sebagai pembuat senjata, dan beberapa kelompok Pandé yang bekerja untuk masyarakat sipil. Dalam pelariannya ke Bali, kelompok Pandé ini singgah pertama kali di Gunung Berantan (Bali bagian barat) antara Gilimanuk dan Pulaki. Kemudian, mereka bermigrasi ke Danau Berantan di dekat Bedugul. Di sini mereka membangun Pura Berantan – pura ini kemudian menjadi pura penting bagi Warga Pandé. Dari tempat ini, Gunung Berantan, kelompok Pandé ini yang terdiri dari berbagai kelompok, menyebar ke berbagai daerah di Bali, di antaranya: Singaraja, Marga, Klungkung, Karangasem, Gianyar, dan Celuk. Umumnya kelompok Pandé ini membentuk banjar khusus untuk kalangan (klan/warga) mereka sendiri, di samping secara fungsional pekerjaan mereka mendapatkan tempat khusus di masyarakat sebagai pandai besi. Di antara kelompok Pandé yang bermigrasi ke Klungkung ini diperkirakan, sebagian atau diantaranya, bermigrasi ke Pulau Nusa Penida. Salah satu alasan yang memungkinkan mereka pindah ke pulau yang tandus ini adalah terkait dengan profesi mereka sebagai pandai besi. Ketika Majapahit menginvasi Bali, Nusa Penida menjadi salah satu daerah taklukkannya, karena itu dimungkinkan, dan tidak ada kesulitan, bagi kelompok Pandé ini untuk bermigrasi ke Nusa Penida – meskipun sebelumnya sudah ada kelompok Pandé di pulau ini yang berasal dari Bali Aga. Kembali ke Warga Pandé di Balinuraga, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana peran yang mereka mainkan sejak kedatangan pertama kali ke Lampung? Sampai saat ini Warga Pandé di Balinuraga masih memegang peranan penting dan dominan, khususnya di bidang kesenian
147
dan sosial kemasyarakatan173. Di bidang kesenian, hasil karya cipta yang paling mencolok adalah ukiran – dalam hal ini sebagai pembuat pura –, seni lukis, dan seni tari. Beberapa keluarga dari Warga Pandé di Balinuraga terkenal sebagai pembuat pura. Konsumennya berasal dari warga-warga lain (non Pandé) yang ada di Balinuraga, maupun di desa / Kampung Bali lain, baik yang ada di Lampung Selatan maupun di Kabupaten lain – beberapa di antaranya di berada di Sumatera Selatan yang juga memiliki komunitas Bali Hindu. Selain itu, mereka juga mengerjakan beberapa proyek untuk upacara Ngaben, untuk membuat perlengkapan upacara, seperti bade manumpang dan patulangan (sarana dalam pengabenan)174, dan membuat patung beserta ukirannya. Bahan dasar untuk pembuatan pura, patung, dan ukiran yang digunakan oleh Warga Pandé di Balinuraga adalah semen, sebagai menggunakan cetakan – untuk pembuatan pura -, dan sebagaian dari cetakan semen basah dibuat patung atau ukiran. Semakin mahal borongan – sistem pengerjaan dan pembayaran dalam pembuatan pura – maka jumlah ukirannya (ukiran tangan) semakin banyak dan rumit. Di samping itu, mereka juga mendapatkan pesanan untuk membuat patung, ukiran, dan lukisan dari etnis lain yang menyukai karya seni Bali. Contoh yang menarik adalah pembuatan patung Yesus di sebuah gereja Katolik yang terletak di desa tetangga, yang merupakan karya Warga Pandé. Di Balinuraga sendiri, pura-pura penting dan ornamennya juga merupakan karya dari Warga Pandé, karena di Balinuraga hanya klan Pandé yang paling mumpuni dalam pekerjaan ini. Meskipun mereka sudah tidak lagi menekuni profesi leluhur mereka, yang menjadi basis identitas mereka sebagai Warga Pandé, ini tidak menjadi persoalan. Menurut mereka, tantangan bagi Warga Pandé, dan warga-warga lain di Balinuraga, sudah berbeda jauh dengan zaman (masa) saat leluhur mereka masih hidup. Mereka harus 173
Yang diwakili oleh beberapa tokoh masyarakat, baik tokoh muda maupun sepuh; sedangkan mayoritas warga Pandé lainnya tetap menjalankan profesinya sebagai petani, sama seperti mayoritas warga-warga lainnya. 174 Biaya pembuatan perlengkapan ngaben tergolong mahal. Ada yang menghabiskan puluhan sampai ratusan juta rupiah, belum termasuk biaya-biaya lain pra-ngaben, maupun saat ngaben berlangsung. Oleh karena itulah, ada upacara “ngaben massal” untuk menghemat biaya.
148
menyesuaikan dengan konteks waktu (kala) dan tempat (patra), terlebih setelah berdomisili di Lampung. Di bidang sosial kemasyarakatan, sesepuh dari Warga Pandé tetap dihargai sebagai tokoh utama, khususnya putra dari Sri Mpu Suci. Tokoh Warga Pandé ini selalu menjadi perwakilan dari Balinuraga, atau komunitas Bali Hindu di level kecamatan dan kabupaten, sebagai simbol eksistensi identitas komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan. Sejak wafatnya Sri Mpu Suci, peran sosial kemasyarakatan dipegang oleh putra-putranya. Di bidang keagamaan, dominasi Warga Pandé mulai berkurang, terutama sejak Sri Mpu Aji, putra Sri Mpu Suci yang menjadi pewaris kependetaan Warga Pandé di Balinuraga, wafat. Sebagai catatan, untuk menjadi pendeta di kalangan Warga Pandé, juga berlaku bagi warga-warga lainnya, sangat sulit. Banyak prosedur dan pembelajaran yang harus mereka lalui (lulus) dengan baik, salah satu di antaranya, menguasai bahasa sansekerta (termasuk Bahasa Bali Kuno dan Bahasa Jawa Kuno yang sedikit banyak memiliki kesamaan), dan dapat menghapal (serta merapal) berbagai macam mantra dan doa. Sama seperti Warga Pasek, Warga Pandé memiliki sebuah organisasi formal yang mewadahi warga-nya, yaitu Maha Semaya Warga Pandé, yang memiliki perwakilannya di Balinuraga. Organisasi ini secara resmi didirikan pada tahun 1975, di mana sejak tahun 1930-an secara informal sudah berdiri (Howe 2005175) – keorganisasian Warga Pandé lebih tua daripada Warga Pasek (1952) dari sisi organisatoris.
175
Howe, Leo. (2005), The Changing World of Bali: Religion, Society and Tourism, London & New York: Routledge, Taylor and Francis Group.
149
Gambar 5. Gereja Katolik dan Patung Yesus Kristus di Desa Tetangga Balinuraga (Patung Yesus Kristus merupakan hasil karya seniman Balinuraga). (Sumber: Yulianto, 2009)
Hubungan Warga Pandé dengan warga lain di Balinuraga yang paling dinamis dan cenderung pasang surut adalah hubungannya dengan Warga Pasek. Permasalahan klasik dalam hubungan keduanya, kurang lebih mirip dengan yang terjadi di Bali, adalah siapa di antara keduanya yang memiliki status sosial atau prestise paling tinggi, dan yang paling layak menjadi pemimpin di dalam komunitas itu176. Berdasarkan silsilah 176
Seperti yang dikemukakann Geertz (op.cit. 1967: 224-225) dalam studinya di Tihingan yang menunjukkan bagaimana sengitnya persaingan di antara dua warga ini: “In Tihingan, status rivalry takes on its sharpest form among the different djaba groups rather than between them an the triwangsa. Though the Pandé and
150
leluhur dari kedua warga ini (silsilah yang berangkat dari leluhur mereka yang berasal dari Jawa Timur), Pandé dan Pasek, secara geneologi kedua warga ini mempunyai leluhur – yang mewarisi klan (warga) Pandé dan Pasek – yang hubungannya kakak-beradik ketika masih di Jawa. Dengan kata lain, kedua warga ini, berdasarkan silsilah yang mereka susun mempunyai satu leluhur yang sama ketika di Jawa, yaitu Mpu Withadarma, atau sebutan lain: Danghyang Bajra Satwa atau Mpu Keling. Bila mengacu pada bagan silsilah, pohon keluarga kedua warga ini, kedudukan leluhur Warga Pasek lebih tua daripada Warga Pandé – leluhur warga Pandé yang berasal dari Jawa merupakan adik dari leluhur Warga Pasek. Berdasarkan silsilahnya, Mpu Withadarma atau Danghyang Bajra Satwa mempunyai dua putra, yaitu Mpu Bhajrastawwa atau Danghyang Tanuhan sebagai putra pertama (tertua), dan Mpu Dwijendra atau Mpu Rajakretha (Danghyang Dwijendra Rajakrta). Anak tertua dari Mpu Withadarma – Mpu Bhajrastawwa – menjadi leluhur Warga Pasek, karena keturunan (cucu) dari Mpu Bhajrastawwa (yang berjumlah lima orang putra177), cucu laki-laki tertuanya adalah Mpu Gnijaya (Mpu Geni Jaya), di mana Mpu Gnijaya merupakan ayah dari Sang Sanak Sapta Rsi (Tujuh Pendeta178) yang menjadi leluhur Warga Pasek di Bali. Kemudian, anak
Pasek groups have a certain cultural claim to higher status than the others, in general no group will openly grant superiority to any other and in fact will privately regard itself as “really higher.”” 177 Kelima cucu dari Mpu Bhajrastawwa atau kelima putra Mpu Lampita (putra Mpu Bhajrastawwa) adalah Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bradah. Empat yang pertama disebut Sang Catur Sanak, di mana keempatnya diutus ke Bali, terkecuali Mpu Bradah yang tetap tinggal di Jawa. Mpu Gnijaya mempunya tujuh orang putra yang menjadi leluhur warga Pasek; Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Kuturan menjalani nyukla brahmacari (tidak menikah seumur hidup) sehingga tidak memiliki keturunan; kecuali Mpu Sumeru, meskipun menjadi brahmacari, karena kasidhi ajnanan (kesaktian dan pengetahuan gaibnya) bisa menghasilkan seorang putra yang bernama Mpu Kamakera atau Mpu Bandesa Dryakah – yang menjadi cikal bakal warga Pasek Kayuselem. 178 Ketujuh pendeta tersebut (cucu Mpu Lampita atau cicit Mpu Bhajrastawwa) yang menjadi leluhur warga Pasel adalah adalah Mpu Ketek, Mpu Kanada, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadarmma, Mpu Ragarunting, Mpu Pratka, dan Mpu Dangka.
151
kedua (bungsu: adik Mpu Bhajrastawwa) Mpu Withadarma yang bernama Mpu Dwijendra (keturunannya) menjadi leluhur Warga Pandé di Bali. Di Balinuraga, kedua warga ini mengetahui bahwa leluhur Pasek dan Pandé kakak-beradik, leluhur Pasek merupakan kakak dari leluhur Pandé, dan keduanya berasal dari satu leluhur yang berasal dari Jawa. Pengakuan dari kedua-belah pihak ini didasarkan pada pohon silsilah yang sama – sumber atau acuan yang sama – di mana penyusunan silsilah ini lakukan bersama oleh kedua kelompok warga ini dengan mengacu bahwa leluhur mereka berasal dari Jawa. Dari sisi senioritas, jelas bahwa kedudukan Warga Pandé lebih muda daripada Warga Pasek, karena mengacu pada sumber silsilah keluarga yang sama. Bagi Warga Pandé, dari sisi senioritas leluhur belum cukup untuk membuktikan bahwa Warga Pasek lebih unggul daripada Warga Pandé. Hal ini dikarenakan Warga Pandé memiliki acuan lain dari lontar Prasasti Sira Pandé Empu bahwa Mpu Pradah yang menjadi leluhur Warga Pandé merupakan titisan dari Dewa Brahma dalam manifestasi Dewa Api. Jika mengacu pada sumber ini, tampak jelas bahwa kedudukan Warga Pandé lebih tua daripada Warga Pasek, dan tentu juga, dari para Brahmana – seperti yang terjadi dalam sejumlah aksi protes Warga Pandé terhadap golongan triwangsa (dalam kasus ini pendeta brahmana / pedanda) di Bali pada masa kerajaan dan kolonial – meskipun Warga Pasek berhak mengklaim bahwa leluhurnya juga merupakan pendeta brahmana yang menjadi kesatria (bagian dari pemerintahan) setelah bertugas dalam pemerintahan kerajaan di Bali saat itu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa warga-warga di Balinuraga, khususnya Pandé dan Pasek yang sepuh (senior), memiliki dan menyimpan babad-babad warga-nya sendiri, baik berupa buku ataupun kopian naskah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan. Sumber-sumber ini, baik buku atau kopian naskah, mereka dapatkan dari Bali, yang sebagian didapatkan dengan membeli dari toko buku, ataupun mendapatkan dari organisasi formal warga mereka di Bali – ada pula yang mendapatkan dari sepuh lain yang menjadi pengurus anak cabang dari organisasi formal warga-warga tersebut di Lampung Selatan. Bagi para sepuh masing-masing warga yang mengetahui silsilah leluhur, dalam kasus ini Warga Pasek dan Pandé, adalah kewajiban bagi mereka untuk menjelaskan identitas leluhur (klan) generasi muda warga-nya.
152
Penyampaian informasi ini umumnya dilakukan secara lisan. Bukan tidak mungkin, dalam penyampaiannya memuat klaim-klaim yang mendudukkan keunggulan warga-nya daripada warga yang lain. Bagi masyarakat Balinuraga, identitas warga ini sangat penting sebagai identitas atau jati diri mereka sebagai Bali Hindu – meskipun dalam pergaulan mereka dengan kelompok etnik lain di Lampung identitas warga ini tidak memberikan sebuah status atau prestis tertentu. Dengan kata lain, identitas warga ini hanya berlaku dalam komunitas mereka di Balinuraga, dalam ruang yang lebih luas adalah di dalam komunitas Bali Hindu di Lampung. Oleh karena itu, jika terjadi pertemuan dengan orang Bali Lampung (sebutan orang Bali yang ada di Lampung), maka pertanyaan yang sering diutarakan setelah mengetahui bahwa mereka berasal dari komunitas yang sama adalah “Kamu warga apa?.” Bagi mereka yang telah tahu secara jelas silsilah leluhurnya, dengan berbagai mahakarya yang telah diciptakan di masanya, maka mereka akan menjawab: “Saya warga Pandé”, atau “Saya Warga Pasek”, dan seterusnya. Dalam ruang yang lebih kecil, kasus Warga Pasek dan Pandé di Balinuraga, penyampaian identitas leluhur yang keliru – klaim-klaim yang cenderung berlebihan atas identitas leluhur – dapat mewariskan konflik antar-warga. Konflik yang dimaksud adalah konflik yang terselubung, tidak tampak atau muncul dipermukaan yang berwujud dalam benturan fisik. Kasus seperti ini muncul, biasanya, saat terjadi pemilihan kepala desa, atau pemimpin desa adat karena terjadi kesatuan antara desa adat dengan desa dinas. Salah satu cara untuk melegitimasikan bahwa calon kepala desa itu adalah yang terbaik adalah dengan mendapatkan dukungan dari warga-warga melalui pendekatan adat, yaitu dengan mengklaim bahwa warga-nya lebih pantas menjadi pemimpin. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, klaim-klaim itu didapatkan dari dokumen-dokumen yang memuat babad-babad warga-nya dengan disertasi legitimasi dari para sepuh warga yang menguasai silsilah warga. Dinamika hubungan antar-warga di Balinuraga ini tidak banyak diketahui dan dimengerti oleh komunitas lain, seperti komunitas (transmigran) Jawa. Ini dikarenakan dalam komunitas Jawa di desa-desa tetangga, konsep klan (warga) sudah tidak dikenal lagi, dan yang terpenting, juga tidak memiliki sistem adat yang kuat seperti yang ada di Desa Balinuraga. Dinamika hubungan antar warga di Balinuraga dapat
153
dikatakan lebih kompleks bila dibandingkan dengan Kampung Bali lain di desa tetangga. Desa Balinuraga mayoritas masyarakatnya adalah etnis Bali Nusa, sedangkan Kampung Bali lain posisinya beberapa di tengah-tengah (di antara) desa yang mayoritas etnis Jawa – beberapa kedudukannya hanya selevel dusun dalam satu desa yang mayoritas etnis Jawa. Contoh kasus dinamika hubungan antar-warga di Desa Balinuraga ini, sebenarnya bertentangan dengan persepsi yang berkembang di sebagian besar masyarakat Lampung pada umumnya mengenai kekompakkan dalam komunitas Bali Hindu yang ada di berbagai Kampung Bali. Secara komunal kekompakkan fisik itu dapat dibuktikan dan mendapatkan pengakuan di kalangan masyarakat Lampung, namun yang tidak banyak diketahui oleh dari kalangan masyarakat tersebut adalah bahwa di dalam kekompakkan tersebut terdapat sebuah dinamika hubungan antar warga memiliki potensi konflik terselubung hanya di dalam komunitas itu sendiri, yang cenderung bersifat politis dalam hubungan antar warga. Ini merupakan permasalahan internal yang tidak banyak diketahui oleh kelompok / komunitas etnis lain, bahwa di dalam komunitas Bali Hindu terdapat berbagai macam klan (warga) yang berdasarkan sejarahnya (dan dalam mitologi-mitologi babad warga) pernah memiliki masa-masa keemasan. Fenomena ini menunjukkan bahwa etnis Bali merupakan salah satu kelompok pendatang (transmigran) di Lampung yang masyarakatnya dinamis dalam hubungan antar klan di dalam komunitasnya. Bagi komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga, dinamika hubungan antar warga yang pasang-surut ini merupakan hal yang lumrah atau wajar, terkait dengan klaim warga-nya lebih unggul daripada warga lain, meskipun terdapat kekhawatiran akan timbul bentrokan fisik. Bukan tidak mungkin, dinamika hubungan antar warga ini merupakan salah satu faktor yang mendukung kekompakkan komunitas mereka sebagai Bali Hindu di Lampung. Mengapa demikian? Karena, meskipun terjadi persaingan antar warga, komunitas ini tetap solid secara fisik, terutama tampak jelas sekali dalam penyelenggaraan upacara-upacara hari besar keagamaan mereka dengan melibatkan jumlah massa yang besar. Di samping itu, yang tidak kalah penting, persaingan antar warga ini hanya salah satu elemen dari poros mereka sebagai komuntias Bali Hindu. Artinya, komunitas ini masih memiliki sistem adat dan keagamaan yang berfungsi sebagai pemersatu
154
warga-warga. Dengan kata lain, warga-warga ini – sistem warga dalam lingkup Desa Balinuraga – masih berada di bawah sistem adat dan agama Hindu. Ini yang menyebabkan persaingan antar warga tidak sampai muncul di atas permukaan berupa benturan fisik. Saat ini instrumen persaingan antar warga yang paling banyak digunakan adalah ekonomi, yaitu warga mana yang lebih sukses secara keuangan dengan indikator umumnya: luas sawah, jumlah sapi, mobil dan motor pribadi, dan barangbarang elektronik (terutama multimedia player dan telpon seluler). Perwujudannya adalah melalui pembangunan pura keluarga (dan pura kawitan) yang megah dan indah. Sebenarnya, berbagai pendapat dari komunitas lain bahwa orang Bali secara ekonomi umumnya sudah mapan – melalui penampilan fisik – tidak lain merupakan persaingan antar warga secara ekonomi di kalangan komunitas mereka sendiri. Seperti memiliki dunia sendiri, di kalangan komunitas Balinuraga pengakuan atas eksistensi warga-nya memiliki nilai yang penting, di mana menjadi kebutuhan sosial bagi komunitas ini.
Gambar 6. Salah Satu Pura Keluarga di Balinuraga (sumber: Yulianto, 2010)
Sampai saat ini perang dingin (pertentangan identitas) antara Warga Pandé dengan warga-warga lainnya adalah seputar penyederhanaan
155
tata upacara atau ritual adat-keagamaan. Warga Pandé ingin menunjukkan bagaimana warga ini melakukan modernisasi. Di sisi lain, modernisasi ini mendapatkan penolakan dari warga lain – modernisme versus tradisional. Ironisnya dalam beberapa kasus tertentu modernisasi yang dilakukan oleh Warga Pandé ternyata dijadikan sebagai panutan bagi warga lain untuk melakukan modernisasi tersebut. Misalnya, dalam tata upakara (sesajaen / bantenan) yang isinya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masingmasing keluarga, tanpa harus yang mahal. Begitu juga dalam hiasan di atas penjor yang bisa dimodifikasi dengan menggunakan kertas berwarna mengkilap agar semakin menarik untuk dilihat.
Warga Arya Warga Arya merupakan kelompok warga ketiga di Balinuraga selain Warga Pasek dan Pandé. Berdasarkan jumlah anggotanya, diperkirakan (kurang lebih) sama dengan Warga Pandé. Sebagai salah satu warga (klan) yang ada di Balinuraga, Warga Arya memiliki hubungan yang „datar‟ dengan warga lainnya, Pasek dan Pandé. Hubungan Warga Arya dengan Warga Pasek dan Pandé tidak „sehangat‟ hubungan Warga Pasek dan Pandé yang dinamis. Warga Arya dalam hubungan dengan Warga Pasek dan Pandé dapat dikatakan baik-baik saja, cenderung tidak mau ikut campur atau menjaga jarak, dari pasang-surutnya hubungan Warga Pasek dan Pandé. Dapat dikatakan Warga Arya seperti menjadi follower di antara kedua warga ini, Pasek dan Pandé, dalam usahanya mendominasi warga-warga di Balinuraga. Permasalahan identitas adalah salah satu aspek mengapa Warga Arya perannya tidak dominan di Balinuraga. Berbeda dengan Warga Pasek dan Pandé, Warga Arya memiliki silsilah beragam (kompleks) dengan leluhur yang berbeda-beda berdasarkan tempat asalnya sewaktu di Jawa Timur. Dengan kata lain, ada banyak (jumlahnya diperkirakan mencapai puluhan) arya-arya. Oleh karena itulah, untuk memperjelas identitasnya – supaya tidak terjadi kebingungan berasal dari arya apa – mereka mengidentifikasikan warganya sebagai Warga Arya179; meskipun di Bali sendiri terdapat banyak 179
Dalam sejumlah percakapan (diskusi) dengan masyarakat Balinuraga, mereka yang berasal dari Warga Arya mengidentifikasikan dirinya sebagai “Warga Arya”
156
Warga Arya, seperti yang dikelompokkan oleh Eiseman (2005): Arya Kepakisan, Arya Kenceng, Arya Belog, Arya Gajah Para, Arya Pinatih, Arya Goto Waringen, Arya Tan Mundur, Arya Tan Kaur, Arya Tan Kober, Arya Sidemen, Arya Sentong, dan Arya Dalancang. Arya-arya tersebut merupakan keturunan dari arya-arya Jawa Timur di masa kerajaan Majapahit180, yang diikutsertakan oleh Gajah Mada ketika menginvasi Bali untuk menundukkan Raja Bali Asta Sura Ratna Bumi Banten. Kata “arya” merupakan gelar bagi patih-patih Majapahit yang berdasarkan fungsinya digolongkan sebagai kaum kesatria (kesatria wangsa). Setelah Majapahit berhasil menundukkan Bali, para Arya ini kemudian mendapatkan kedudukan / jabatan dalam pemerintahan dinasti Sri Kresna Kepakisan. Di Bali sendiri pada masa kerajaan Bali Aga, sebelum invasi Majapahit, mengenal Arya Bali yang merupakan keturunan raja-raja Bali atau keturunan para pejabat tinggi kerajaan (bangsawan). Perbedaannya adalah Arya Bali tidak menggunakan gelar arya seperti arya-arya dari Jawa Timur, tapi lebih menggunakan gelar “Ki”181 – baik gelar arya ataupun “ki” sebenarnya memiliki pengertian dan fungsi yang hampir sama, yaitu sebagai gelar bagi kaum kesatria, keturunan raja, bangsawan, dan „orang tok. Seperti ketika penulis bertanya kepada beberapa warga Arya: “(dari) warga apa Beli (Bli)?”. Kemudian pertanyaan penulis dijawab (secara tegas, langsung, tidak bertele-tele): “Warga Arya”. 180 Pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit, gelar”Arya” ini diberikan kepada mantan raja dan keturunan-keturunan raja-raja Kediri dan raja-raja Kahuripan, di mana sebagian besar dari arya-arya ini masih keturunan atau keluarga besar dari Sri Airlangga. Arya-arya ini yang kemudian disertakan oleh Gajahmada ketika menginvasi Bali, di samping arya-arya yang bukan keturunan raja Kediri dan Kahuripan, dan Arya Kepakisan yang berasal dari masa pemerintahan kerajaan Majapahit. Berdasarkan klasifikasi warga-warga Arya yang disebutkan oleh Eiseman (2005) – meskipun diperkirakan masih ada „arya-arya‟ lain – maka yang yang merupakan keturunan dari raja Kediri adalah Arya Gajah Para dan Arya Kutawaringin; keturunan raja Kahuripan: Arya Kenceng, Arya Kutawaringin, Arya Sentong, dan Arya Belog (atau Arya Pudak); sedangkan yang bukan termasuk keturunan Raja Kediri dan Kahuripan: Arya Tan Kawur, Arya Tan Kober, dan Arya Tan Mundur (lihat: K.M. Suhardana 2006, Babad Arya: Kisah Perjalanan Para Arya, Surabaya: Paramita). 181 Meskipun gelar “Arya” tidak begitu lazim digunakan pada masa Bali Aga, tapi ada beberapa yang menggunakan gelar ini, seperti: Arya Ringgih, Arya Ringgis, Arya Kedi, dan Arya Karangbuncing (op.cit. Suhardana 2006).
157
dalam‟ kerajaan yang memiliki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Jadi, gelar arya ini berbeda dengan suku Arya dalam peradaban pra-Hindu di India, yang menetapkan bangsanya sebagai bangsa yang unggul daripada bangsa Dravida (penduduk asli India). Warga Arya yang ada di Balinuraga adalah transmigran Bali yang berasal dari Nusa Penida. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana arya-arya ini bisa ada di Nusa Penida. Keberadaan para Arya di Nusa Penida, berdasarkan sejarahnya (perkiraan)182, dapat ditelusuri dari dua hal: (1) Pada masa invasi Majapahit, Pulau Nusa Penida menjadi salah satu target invasi selain target utama adalah Pulau Bali, di mana dalam invasi tersebut melibatkan para arya dari Jawa Timur. Bisa jadi – dimungkinkan – ada arya-arya yang ditugaskan oleh Gajah Mada untuk menetap di Nusa Penida; (2) Pada masa dinasti Sri Kresna Kepakisan, Pulau Nusa Penida dijadikan sebagai tempat pembuangan tahanan-tahanan politik bagi para kesatria-kesatria (pejabat pemerintahan) yang mengadakan pemberontakan (perlawanan atau pun kudeta) terhadap raja pada masa itu. Hukuman pembuangan bagi pada kesatria ini memiliki standar yang sama seperti hukuman mati bagi kawula (orang-orang Bali 182
Dalam proses penelitian yang dilakukan secara berkala di Balinuraga, penulis sangat berhati-hati dalam bertanya tentang keberadaan leluhur mereka di Nusa Penida, khususnya Warga Arya. Tentu, status pulau Nusa Penida sebagai pulau buangan bagi tahanan politik di masa kerajaan sudah diketahui oleh mereka yang berasal dari Nusa Penida maupun dari Bali. Tapi, bagi beberapa responden, tentu merasa “tidak enak” (bisa juga malu atau gengsi) bila menyebutkan leluhur mereka yang berada di Nusa Penida memiliki keterkaitan dengan tahanan politik di masa kerajaan. Bagi mereka adalah lebih baik menceritakan kejayaan leluhur awalnya daripada menceritakan keturunan dari leluhurnya yang “tahu-tahu” sudah ada di Nusa Penida, karena akan dapat menunjukkan aktualisasi identitas leluhurnya. Untuk warga Pasek, keberadaan mereka di Nusa Penida – perkiraan umum – disebabkan karena populasi warga ini mayoritas di Bali, dan memiliki banyak keturunan di Klungkung. Bukan tidak mungkin, jika mereka merantau ke Nusa Penida karena pulau itu belum begitu banyak penghuninya, atau memang diutus/ditugaskan oleh pihak kerajaan untuk bertugas di sana untuk menjaga teritori kekuasaan; sedangkan warga Pandé, ini terkait dengan fungsi warga Pandé sebagai pandai besi, yang dibutuhkan dalam setiap wilayah tertentu dalam tugasnya membuat alat-alat atau perlengkapan dari logam, khususnya besi, baik senjata atau alat pertanian.
158
non-puri, di luar lingkup kekuasaan kerajaan / puri). Kesatria-kesatria yang memberontak ini tidak lain adalah para keturunan-keturunan arya-arya semasa perang Bali Aga (Arya dari Jawa Timur), karena setelah Bali ditundukkan oleh Majapahit para Arya Jawa Timur ini ditugaskan oleh Gajah Mada untuk memerintah di daerah-daerah tertentu. Oleh karena itu, tahanan politik kerajaan yang dibuang dari Nusa Penida ini – diperkirakan – sebagian besar adalah keturunan arya-arya dari Jawa Timur. Tentu, setelah dibuang ke Nusa Penida, gelar atau pun status kebangsawanan itu akan hilang dan menjadi rakyat biasa, namun tidak menghilangkan identitas leluhur mereka bahwa mereka adalah Warga Arya, yang leluhurnya pernah menduduki peran penting di masa Majapahit menginvasi Bali. Dengan kata lain, Warga Arya di Balinuraga dapat dikatakan sebagai Warga Arya yang telah kehilangan status atau fungsinya sebagai arya dengan sebab-sebab tertentu, sampai akhirnya berada di Nusa Penida dan bertransmigrasi ke Lampung; atau dapat disebut sebagai Arya Nusa Penida183. Tentu, setelah berada di Nusa Penida, dan beranak-pinak di sana, status mereka menjadi seperti kawula, sama seperti penduduk asal Nusa Penida (keturunan Bali Aga) dan keturunan warga-warga lain yang “bermigrasi” di pulau ini. Meskipun tidak (belum) menunjukkan perannya yang signifikan dalam kehidupan sosial di Balinuraga – khususnya dalam dinamika politik desa yang selalu didominasi Warga Pasek dan Pandé – kedudukan Warga Arya di Balinuraga sebagai salah satu identitas yang eksis (ada) dengan sejumlah massa dari anggota warga-nya tidak dapat disepelekan. Walaubagaimana pun posisi mereka sebagai klien yang patuh dalam perebutan dominasi Warga Pasek dan Pandé membuatnya memiliki posisi tawar yang besar. Hal ini disebabkan karena baik Warga Pasek maupun Pandé membutuhkan dukungan atau pun legitimasi dari Warga Arya 183
Arya Nusa Penida ini digunakan (oleh penulis) untuk menyebut Warga Arya yang berasal dari Nusa Penida secara turun-temurun. Nama “Nusa Penida” di depan nama “Arya” menunjukan tempat asalnya di Nusa Penida, sama seperti penamaan warga arya-arya lainnya, di mana nama yang ditempatkan sesudah nama “arya” menunjukkan tempat di mana arya itu berasal, ataupun nama / gelar / sebutan lain dari leluhurnya di masa pemerintahan kerajaan tertentu, , seperti “Arya - Sidemen”, “Arya - Kepakisan”, “Arya - Tan Kober”, dan lain-lain.
159
sebagai follower sala satu dari kedua warga tersebut. Tanpa adanya dukungan dari Warga Arya, tentu akan sulit bagi Warga Pasek ataupun Pandé untuk mendominasi atau mengaktualisasikan identitas warga-nya. Dukungan ini penting karena masyarakat Balinuraga lebih egaliter – terkait dengan tempat asalnya di Nusa Penida, yang dapat masyarakatnya digolongan sebagai kawula (non-triwangsa), dan jauh secara geografis dari „negara pusat‟ atau kerajaan yang berkuasa dalam teritori itu - sehingga klaim-klaim yang mendudukan warga-nya sebagai triwangsa jelas tidak mungkin dapat diterima (dan tidak beralasan juga). Karena itu, dukungan dari warga lain, massa (anggota-anggota) Warga Arya menjadi sangat penting sebagai legitimasi. Sama seperti mayoritas anggota warga-warga lainnya, Warga Arya tidak dapat dilepaskan dari cara berpikir dan bertindak yang pragmatis, di mana menjadi penyebab (utama) bagi Warga Arya untuk terjun ke pentas politik praktis desa yang bernuansa poitik praktis antar warga. Perlu diketahui bahwa mayoritas masyarakat di Balinuraga adalah petani. Mereka adalah transmigran yang bercita-cita memperbaiki kehidupan ekonominya. Dinamika politik desa yang ada di dalamnya tidak lain, hanya, permainan dari sejumlah elit warga-warga yang jumlahnya tidak banyak. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat (warga-warga) Balinuraga – termasuk Warga Arya – lebih bersifat pragmatis, lebih fokus bekerja di pertanian, sehingga dapat mengumpulkan uang atau aset (umumnya tanah dan sapi) lebih banyak. Pemikiran pragmatis ini sangat berasalan, karena sebagai Bali Hindu mereka mempunyai kewajibankewajiban adat dan agama yang banyak dan mahal – mengurusi masalah sosial politik desa, terutama masalah adat atau pun agama, akan menyita banyak waktu dan tidak produktif – di mana eksistensi identitas mereka turut ditentukan oleh pemenuhan kewajiban-kewajiban tersebut. Pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut bila dapat diselenggarakan dalam sebuah upacara yang besar dan mewah akan semakin baik, karena status sosial dan identitas warga-nya akan terangkat. Namun, ini bukan berarti bahwa pragmatisme mereka (warga-warga) tidak memiliki satu tujuan yang tidak terpengaruh dari permainan politik para elit wargawarga. Mengapa? Karena dengan pragmatisme itu mereka bisa
160
meningkatkan perekonomian keluarganya, di mana kekuatan ekonomi yang berhasil dikumpulkan nantinya digunakan untuk meningkatkan status dari identitas warga-nya melalui selebrasi kewajiban adat dan agama yang besar dan mewah. Fenomena ini berujung pada terjadinya pengkotakkotakan masyarakat di Balinuraga berdasarkan warga-warga, yang disebabkan permainan segelintir elit-elitnya, sehingga warga-warga ini memiliki kecenderungan untuk lebih mementingkan eksistensi dan status sosial dari warga-nya.
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Sebagai organisasi formal keagamaan resmi, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) memainkan peranan penting sebagai aktor dalam pembentukan identitas komunitas Bali Hindu di Desa Balinuraga. Peran penting yang dimainkan PHDI sebagai aktor kelembagaan formal adalah sebagai pemersatu identitas komunitas Bali Hindu yang berada di luar Bali – dalam kasus ini Balinuraga – sebagai bagian utama dari umat Hindu Dharma di Indonesia. Identitas yang diusung, dan yang dibentuk oleh PHDI adalah identitas mereka sebagai (umat) Hindu – Hindu Dharma – lebih umumnya Hindu Dharma Indonesia. Hal ini disebabkan keanggotaan di dalam tubuh PHDI, sebagai wadah bagi umat Hindu Dharma Indonesia, (sampai saat ini) tidak hanya ditempati oleh etnis Bali sebagai mayoritas, tapi juga etnis-etnis lain di Indonesia yang berlatarbelakang Hindu, seperti: etnis (Jawa) Tengger di wilayah Gunung Bromo Jawa Timur, etnis Bugis (To Wani To Lotang), etni Toraja (Mamasa Toraja dan Sa‟dan Toraja) di Sulawesi Selatan, Etnis Batak Karo di Sumatera Utara, serta di Kalimantan Tengah dan Selatan ada etnis Dayak Ngaju dan Luangan184. Dikarenakan keragaman etnis sebagai umat Hindu Dharma ini yang menyebabkan perubahan nama organisasi parisada ini dari Parisada Hindu Dharma menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia di tahun 1986, di mana penambahan kata “Indonesia” menunjukkan keragaman etnik dari anggota organisasi (umat Hindu
184
Lihat: Ramstedt (edt. 2004) dalam “Hinduism in Modern Indonesia: A minority religion between local, national, and global interests”, London-New York: RoutledgeCurzon.
161
Dharma) yang tidak hanya beranggotaan orang Bali semata, juga selain menjadikan identitas Hindu lebih Indonesia. Kemudian, kepecayaankepercayaan dari etnis-etnis tersebut (Tengger, Aluk To Dolo, Ada‟Mappurondo, Toani, Pamena, dan Kaharingan) secara resmi diakui sebagai sekta-sekta (sekte-sekte) dalam Hindu Dharma185. Peranan PHDI sebagai pemersatu umat Hindu Dharma di Balinuraga sejauh ini dapat dikatakan efektif, karena mewadahi berbagai organisasi-organisasi formal dan informal di Balinuraga terkait aktivitasnya sebagai umat Hindu Dharma, khususnya organisasi-organisasi yang mewadahi identitas warga-warga, seperti Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi dan Maha Semaya Warga Pandé186. Jadi, entah dari warga mana mereka berasal, selama masih merupakan Bali Hindu, mereka merupakan bagian dari umat Hindu Dharma yang dipayungi secara resmi oleh PHDI, di mana organisasi ini memiliki perwakilannya sampai di tingkat desa. Sebagai organisasi yang bernaung di bawah Departemen Agama, kehadiran PHDI di Balinuraga tidak lebih seperti birokrasi pemerintahan yang kaku, yang berfungsi memastikan dan menjaga eksistensi identitas Hindu umatnya – terutama sejak organisasi ini memberikan loyalitasnya kepada Orde Baru (Suharto) sama seperti Golkar di tahun 1968, dan sebagai imbalannya, mendapatkan perlindungan dari pusat termasuk militer187. Dalam setiap kesempatan, seperti acara formal komunitas Bali 185
Op.cit. Ramstedt (pp.18) Dalam Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma Indonesia, BAB X. Hubungan dengan Organisasi, Lembaga/Badan, Pasal 30 ayat (1) dan (2) menyebutkan: (1) Parisada wajib mengayomi yayasan, organisasi, forum, lembaga, sampradaya, badan-badan, komunitas umat yang berdasarkan ajaran Hindu; (2) Dalam mengayomi seperti ayat (1), Parisada mengadakan pertemuan berkala sekurangkurangnya enam bulan sekali demi terpeliharanya hubungan aspiratif yang dinamis untuk kesejahteraan umat (Lihat: Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 2006 dalam www.phdi.org ). Pasal (1) dan ayat (1) ini tidak mengalami perubahan signifikan – intinya tetap sama – sejak 23 Februari 1959 ketika organisasi Parisada ini didirikan, di mana semua organisasi penting formal keagamaan Bali meleburkan diri ke dalam tubuh Parisada (PHDI). 187 “Hubungan mesra” antara PHDI dengan Orde Baru mengalami periode “romantis” antara tahun 1968 sampai akhir tahun 1980-an. Di awal tahun 1990-an, terutama setelah terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang didirikan oleh Habibie, PHDI tidak mendapatkan perlakuan-perlakuan 186
162
Hindu baik di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten, PHDI selalu menempatkan posisinya secara jelas bahwa organisasi ini merupakan forum bagi umat Hindu Dharma (khususnya di bidang keagamaan dan kemasyarakatan), dan tidak terkait dengan permasalahan adat (dalam kasus ini adalah adat yang berlaku di kalangan etnis Bali Hindu di luar Bali, Lampung Selatan) dan politik praktis188. Namun, dibalik peranan PHDI yang efektif sebagai pemersatu umat Hindu Dharma, kehadiran PHDI sebagai “birokrasi agama” justru menimbulkan kerancuan identitas bagi komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan dan Balinuraga khususnya. Hal ini disebabkan umat Hindu Dharma ini terdiri dari warga-warga yang mengusung dan mempertahankan eksistensi identitas warga atau leluhurnya, termasuk adat yang berlaku dalam warga-warga ini. Warga-warga ini hidup dalam sebuah komunitas yang dinamis dengan segala dinamika pertentangan antar warga di dalamnya. Dalam kasus ini, posisi PHDI adalah jelas sebagai penengah atau wasit agar tidak terjadi konflik antar warga, dan berusaha agar warga-warga ini bersatu sebagai sesama umat Hindu Dharma. Kenyataannya, warga-warga ini menghadapi berbagai macam tantangan yang kompleks setelah berada di luar Bali. Mereka hidup dalam lingkungan sosial (Lampung) yang heterogen dengan posisi sebagai istimewa seperti masa-masa sebelumnya, seperti pengurangan subsidi (Ramstedt 2004, I.G.N. Bagus 2004, Schulte Nordholt 2007). 188 Dalam Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma Indonesia, Bab III. Fungsi dan Tugas, Pasal 7 menyebutkan: ayat satu (1) Fungsi Parisada adalah: (a) Menetapkan bhisama; (b) Mengambil keputusan di bidang keagamaan dalam hal ada perbedaan penafsiran ajaran agama dan atau dalam hal terdapat keragu-raguan mengenai masalah tersebut; (c) Memasyarakatkan ajaran Veda, bhisama dan keputusan-keputusan Parisada; ayat dua (2) Fungsi Parisada sebagaimana dimaksud ayat 1 a dan b dilaksanakan oleh Sabha Pandita; ayat tiga (3) Tugas pokok Parisada adalah: (a) Melayani umat Hindu dalam meningkatkan sradha dan bhakti sesuai kitab suci Veda; (b) Meningkatkan pengabdian dan peranan umat Hindu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (c) Mengembangkan dan memelihara keserasian dan keharmonisan internal dan antara umat beragama; (d) Mengembangkan dan memelihara hubungan baik dengan setiap badan, organisasi, lembaga yang bergerak dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan baik nasional maupun internasional (op.cit. Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 2006 dalam www.phdi.org ).
163
minoritas etnik dan agama. Hal ini mengakibatkan kekhawatiran yang mendalam akan tergerusnya identitas mereka, tidak hanya sebagai umat Hindu Dharma, tapi yang tidak kalah penting adalah eksistensi identitas warga (klan/soroh) mereka yang turut menjadi identitas mereka sebagai umat Hindu Dharma. Dengan kata lain, hilangnya identitas warga dapat menyebabkan hilangnya identitas mereka sebagai umat Hindu Dharma. Identitas warga ini sangat penting bagi warga-warga karena ini merupakan identitas leluhur mereka yang harus mereka pertahankan, dan sudah melembaga (melekat) pada setiap individu anggota warga-warga ini. Dengan kata lain, identitas warga adalah jati diri mereka sebagai Bali Hindu. Karena, setelah melewati beberapa masa, dari masa kerajaan sampai pasca-kolonial, identitas warga yang melekat dalam ikatan adat ini tidak dapat dilepaskan atau selalu terkait dengan religi (agama) mereka – yang disebut dan diakui resmi oleh pemerintah sebagai Hindu Dharma. Jadi, dalam kasus ini PHDI berhasil melakukan konstruksi identitas komunitas Bali Hindu ini dengan identitasnya sebagai umat Hindu Dharma yang berada di atas identitas warga, sehingga warga-warga ini – meskipun mempunyai pertentangan-pertentangan historis yang masih berlanjut sampai sekarang – bisa disatukan identitasnya dalam satu identitas tunggal Hindu Dharma. Problematika identitas antar warga ini tampaknya tidak dapat diselesaikan dengan satu identitas tunggal sebagai umat Hindu Dharma. Ada tantangan penting yang harus mereka hadapi setelah berada di Lampung (luar Bali) terkait eksistensi identitasnya. Pertama, setelah berada di Lampung, bertransmigrasi dan berkeluarga, baik langsung atau tidak langsung, mereka telah menjadi bagian dari masyarakat Lampung. Singkatnya, mereka telah menjadi orang Lampung yang berasal dari Bali, atau biasa disebut Bali Lampung. Sebagai Bali Lampung mereka tidak dapat ajeg dengan identitas kebaliannya, karena sesuai dengan konsep kala (waktu) dan patra (tempat) mereka harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, yaitu Lampung. Kekukuhan dengan identitas tempat asal akan menyebabkan benturan dengan kelompok masyarakat lain yang berbeda etnis dan keyakinan (agama), dan yang lebih penting adalah akses ekonomi komunitas ini di wilayah Lampung yang didominasi oleh
164
berbagai kalangan etnis dengan latar belakang agama yang berbeda, baik di dunia industri maupun pemerintahan. Kekukuhan dengan identitas asal dipastikan akan menghambat komunikasi dan bentukan jalinan relasi (bisnis / ekonomi dan pemerintahan). Dengan menjadi Lampung dalam identitas Balinya, maka mereka dapat bersosialisasi dengan optimal sebagai orang Bali Hindu dan sebagai orang Bali yang ada di Lampung, Bali Lampung. Artinya, mereka tidak perlu khawatir dan takut akan eksistensi identitasnya, tapi sebaliknya, dengan menjadi Lampung eksistensi mereka diakui keberadaannya oleh kalangan masyarakat Lampung yang heterogen. Kedua, meskipun telah menjadi Bali Lampung mereka tidak mau kehilangan identitasnya sebagai orang Bali yang juga sebagai Hindu. Meskipun dengan kehadiran PHDI eksistensi identitas mereka sebagai Hindu (umat Hindu Dharma) terpayungi secara resmi dan diakui pemerintah, mereka juga tidak mau kehilangan identitas warga-nya (leluhurnya) yang di dalamnya melekat pula identitas sebagai Hindu. Konsekuensi dari eksistensi identitas warga ini dalam komunitasnya (komunitas Bali Hindu) adalah persaingan identitas antar warga sebagai upaya mendapatkan legitimasi atau pengakuan dari warga-warga lain. Meskipun eksistensi identitas warga ini tidak diketahui (dipahami keberadaannya) oleh masyarakat Lampung lain non-Bali Hindu, karena hanya diketahui mereka yang berada di dalam komunitas itu, namun di dalam komunitasnya – di mana warga-warga menjadi bagian dari PHDI sebagai umat Hindu Dharma – perjuangan dan persaingan untuk eksistensi identitas warga tidak lain merupakan gesekan di dalam komunitas umat Hindu Dharma dalam level desa. Misalnya, seperti kasus seorang bekas pejabat desa yang ketika berkuasa mengikuti identitas warga istrinya karena memiliki massa yang besar. Akibatnya, ketika meninggal pihak dari warga istri tidak mau mengabenkan bekas pejabat tersebut berdasarkan tata upacara ngaben warga itu, karena aslinya bukan berasal dari warga istri, tapi hanya ikut-ikutan untuk kepentingan politik. Awalnya pihak dari warga asli bekas pejabat tersebut tidak mau mengurus pengabenannya karena ia telah berkhianat, tapi karena dari warga istrinya tidak mau mengabenkannya, maka terpaksa warga asli bekas pejabat itu yang mengurus pengabenannya. Mereka percaya bahwa jika yang dingabenkan tersebut bukan berasal dari warganya, maka akan terjadi sebuah hal-hal
165
yang tidak diinginkan (musibah atau malapetaka). Dalam kasus ini, PHDI tetap sebagai penengah – tidak mau terlalu ikut campur permasalahan identitas warga ini – agar jangan sampai polemik ini berkepanjangan, karena (menurut PHDI) walaubagaimanapun bekas pejabat tersebut tetap sebagai Bali Hindu yang harus dingabenkan oleh keluarganya (jangan sampai atman-nya terperangkap atau terhalang dalam menuju pembebasan). Terlepas dari problematika identitas di atas, kehadiran PHDI bagi komunitas Bali Hindu telah memberikan jaminan akan identitasnya sebagai Hindu (umat Hindu Dharma), khususnya bagi transmigran Bali Nusa pertama kali. Mengapa demikian? Akar dari permasalahan ini adalah mengenai identitas Hindu pada etnis Bali – kepercayaan dan keyakinan etnis Bali – yang pada masa itu (Orde Lama) belum diakui oleh pemerintah sebagai agama resmi negara. Memang, ketika mereka bertransmigrasi di tahun 1963, pada tahun yang sama Hindu Bali sudah mendapatkan pengakuan penuh dari pemerintah – yang tidak lain disebabkan melemahnya pengaruh politik Islam di pusat, di mana selama itu mempunyai andil yang cukup besar untuk menentukan mana agama dan mana yang bukan-agama dengan posisi dominannya di Kementerian Agama – khususnya di dalam tubuh Kementerian Agama, yaitu ketika Bagian Urusan Hindu Bali berubah (nama) menjadi Biro Urusan Agama Hindu Bali. Kata “Agama” di depan “Hindu Bali” menunjukkan eksistensi identitas Hindu Bali sebagai agama yang diakui oleh pemerintah, khususnya di Kementerian Agama yang bertanggungjawab mengurusi keagamaan masyarakat Indonesia. Tapi, dalam kenyataannya para transmigran ini masih merasakan dampak dari stigma lama dari sebagian kalangan masyarakat Lampung, yaitu bahwa orang Bali dengan kepercayaannya digolongkan sebagai “orang jang belum beragama‟. Dalam situasi seperti ini, PHDI memainkan perannya untuk menjamin identitas Hindu pada transmigran Bali Nusa ini. Terutama setelah PHDI menjadi bagian dari rezim Suharto (tahun 1968) dengan memberikan loyalitasnya, sehingga PHDI mendapatkan proteksi dari pemerintah dan militer.
166
Selain berfungsi sebagai pemersatu identitas umat Hindu Dharma, ada satu peran penting yang dimainkan PHDI sebagai aktor dalam pembentukan identitas, yaitu konstruktor yang mengkonstruksi identitas Hindu (agama Hindu Dharma) kepada komunitas transmigran Bali Nusa. Bila dilihat sejarahnya, maka apa (identitas) yang dikonstruksikan oleh PHDI sebagai identitas Hindu tidak lain adalah hasil dari sebuah konstruksi identitas dari pemerintah pusat. Di masa Orde Lama kekuatan politik kubu nasionalis, agama, dan komunis sangat dominan di pusat (Jakarta). Kekuatan politik agamais di masa Orde Lama didominasi oleh golongan Islam yang mendapatkan tempat yang superior di Kementerian Agama. Dengan otoritas ini, Departemen Agama memiliki kuasa untuk menentukan apakah sebuah agama itu adalah benar-benar sebagai sebuah Agama atau tidak. Tentu, konsep agama yang dijadikan rujukan adalah konsep agama seperti yang dimiliki oleh kekuatan politik agamais yang berkuasa di Departemen Agama, yaitu konsep agama menurut golongan Islam, termasuk Kristen. Kriteria yang harus dipenuhi apakah agama layak disebut sebagai agama resmi, antara lain: monotheis (sesuai dengan sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa), mempunyai Kitab Suci dan Nabi – seperti: orang Muslim memiliki Nabi Muhammad dan orang Kristen – Khatolik memiliki Nabi Isa (Yesus Kristus), mempunyai sistem hukum atau aturan bagi para pengikutnya (seperti: tata cara ibadah dan ibadah rutin/harian, hukum agama, dan sebagainya), memiliki pengakuan (dan pengikut) dari dunia internasional, dan keanggotaannya tidak boleh terbatas pada satu kelompok etnis tertentu (Ramstedt 2004, Picard 2004, Bagus 2004). Akibatnya, karena membutuhkan pengakuan sebagai agama resmi dari pemerintah pusat, di tahun 1953 sejumlah intelektual muda (kaum cendikiawan) Bali dikirimkan ke India189 untuk meredefinisikan perinsip-perinsip dan praktek-praktek (ritual) kepercayaan mereka sesuai dengan apa yang dikukuhkan oleh Kementrian Agama Indonesia yang ketika itu dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim190. Kemudian di tahun 1958 189
Mereka mendapatkan kesempatan (beasiswa) untuk belajar di Shantiniketan Vishva Bharaty University, Banaras Hindu University, dan International Academy of Indian Culture (Ramstedt 2004: 10). 190 Para intelektual muda Bali ini, sekembalinya dari studi di India, membawa gagasan-gagasan modernis yang mengakibatkan terjadinya pergeseran secara
167
Pandit Shastri berhasil merampungkan sebuah buku mengenai garis besar pedoman Hindu Dharma yang telah disetujui oleh beberapa organisasi dan intelektual muda yang sudah kembali dari studinya di India, dan pada tanggal 14 Juni 1958 sebuah petisi bersama disusun untuk meminta membentuk sebuah Bagian Hindu Bali di dalam Kementrian Agama atas dasar bahwa Agama Hindu Bali tidak bertentangan dengan sila pertama Pancasila. Sampai akhirnya, dengan dukungan Presiden Sukarno pada tanggal 1 Januari 1959 Agama Hindu Bali mendapatkan (beberapa) pengakuan resmi – pengakuan penuh baru didapatkan pada tahun 1963 – dari pemerintah Indonesia dengan membentuk Bagian Urusan Hindu Bali di Kementerian Agama. Di tahun yang sama, 23 Februari 1959, semua organisasi penting keagamaan Bali meleburkan diri pada sebuah lembaga (organisasi) formal, yang merepresentasikan seluruh komunitas Bali Hindu, organisasi ini disebut Parisada Dharma Hindu Bali (sekarang menjadi PHDI) dibentuk, seperti model parisad di India191. Berdasarkan kronologi singkat terbentuknya identitas Hindu Bali menjadi sebuah agama resmi yang disebut Hindu Dharma, maka dapat diketahui bahwa pemerintah pusat (kekuasaan) memiliki andil yang sangat besar untuk mengkonstruksi identitas Hindu etnis Bali. Ironisnya, konsep dari pengkonstruksian identitas Hindu tersebut merupakan konsep yang dianut oleh agama Samawi: Yudea-Kristen-Islam. Dan karena eksistensi agama mereka butuh diakui sebagai agama resmi – tidak mau disebut sebagai “orang jang belum beragama” – maka penyesuaian pun dilakukan agar mendapatkan pengakuan dari pemerintah (pusat, kekuasaan). Akibatnya, bertahap dari ritualisme ke skriptualisme, dari mistik ke etik, dan dari pengalaman keagamaan kolektif ke individual (Lihat: Howe 2001, Hinduism and Hierarchy in Bali, Oxford: James Curry/ Santa Fe: School of American Research Press). Gagasan modernis ini yang kemudian menjadi perdebatan panjang antara golongan triwangsa dan jaba – sebuah perdebatan yang telah di mulai di awal tahun 1920-an antara Bali Adnyana vs Surya Kanta. Perdebatan ini muncul dikarenakan dengan munculnya gagasan modernis yang lebih egaliter akan menggeser peran dominan dari triwangsa (khususnya pendeta brahmana/pedanda), di mana golongan triwangsa menilai bahwa identitas Bali itu berakar pada adat / hirarki kasta sedangkan golongan jaba membela sistem status berbasis prestasi dan kualitas (Schulte Nordholt 2004). 191 Op.cit. Ramstedt 2004.
168
identitas Hindu yang coba konstruksikan oleh PHDI kepada komunitas transmigran Bali Nusa adalah sebuah identitas yang telah dikontruksikan oleh pusat atau kekuasaan, dalam hal ini Kementrian Agama yang didominasi oleh kubu politik agamais Islam. Clifford Geertz menyebutnya sebagai sebuah “internal conversion”, lebih merupakan sebuah fenomena ambigu dikarenakan orang Bali mengubah kembali dirinya (meredefinisikan, menyesuaikan, dan menafsirkan ulang) sebagai Hindu di mana mereka sendiri sejatinya sudah menjadi Hindu192. Dalam kasus ini, PHDI yang telah mengubah dirinya menjadi organisasi Hindu modern, menjadi mesin birokrasi yang mendapatkan otoritas dari pusat (kekuasaan) unuk mengkonstruksi identitas anggotanya (umat) untuk menjadi Hindu Dharma. Satu catatan penting yang harus diketahui bahwa konstruksi identitas yang dilakukan oleh pusat di masa Orde Lama dan Orde Baru (pasca kolonial, termasuk pemerintahan sekarang) merupakan kelanjutan dari sebuah konstruksi identitas di masa kolonial. Konsep atau versi Hindu yang diadopsi di masa pasca kolonial – terutama di Orde Lama – merupakan konsep atau versi Hindu dari India, atau Hindu India, di mana Hindu India sendiri merupakan identitas yang dikonstruksi oleh pemerintah kolonial (Inggris) pada abad ke-19 melalui (diwakili) pakar orientalis Eropa, ketika berkuasa di India, bersama-sama (bekerja sama, berkolaborasi) dengan kaum Brahmana. Konstruksi identitas yang dilakukan para elit ini agar identitas Hindu memiliki kedudukan sejajar dengan identitas agama Kristen, Islam, dan peradaban Eropa dengan konsep modernisasi dan reformasi, sehingga menjadi “Neo-Hindusim”. Hal ini dapat dilihat dari doktrin kaum Brahmana di India yang turut diadopsi di Indonesia, terutama ketika sejumlah intelektual muda Bali dikirim belajar di sejumlah universitas di India, yaitu: brahman, atman, karma, samsara, dan moksa)193. Bagi orang Bali sendiri, konstruksi identitas sebenarnya telah terjadi di masa kolonial, ketika pihak kolonial 192
Geertz, C. (1964 )‟”Internal Conversion” in Contemporary Bali‟, dalam: J. Bastin and R. Roolvink (edt) Malayan and Indonesian Studies Presented to Sir Richard Winstedt, Oxford: Oxford University Press, pp. 282-302. Dan juga, Geertz (1992b) “ ‟Peralihan Batiniah‟ di Bali Dewasa Ini” (hlm.123-136) dalam Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius. 193 Op.cit. Ramstedt 2004, Picard 2004.
169
yang diwakili para pakar orientalis Eropa bersama-sama dengan golongan triwangsa (brahmana) mencoba menyusun ulang konsep kebalian untuk mengajegkan kebudayaan Bali agar tidak punah dan menjadi museum hidup dunia194. Baik di masa kolonial maupun pasca kolonial, keduanya merupakan sebuah konstruksi identitas yang dilakukan oleh pusat atau kekuasaan (rezim yang berkuasa). Terlepas dari perannya yang ambigu, sebagai organisasi Hindu modern dengan mesin birokrasi yang menjangkau sampai tingkat desa di luar Bali (Lampung Selatan), ada peran penting yang dilakukannya sebagai organisasi berdasarkan otoritas yang dimiliki, yaitu merekonstruksi ulang identitas transmigran Bali Hindu dengan identitas baru sebagai hasil konstruksi pusat dengan menjadi identitas Hindu Dharma – yang disebut Geertz (1964) sebagai internal conversion. Karena konstruksi identitas yang akan dikonstruksi oleh PHDI merupakan konstruksi identitas agama menurut konsep Yudea-Kristen-Islam, maka ada beberapa doktrin yang harus diketahui para transmigran Bali agar mereka benar-benar menjadi Hindu Dharma – sesuai dengan apa yang diminta oleh pusat bahwa Hindu Dharma merupakan agama resmi yang diakui pemerintah. Doktrin itu termuat dalam Pokok-Pokok Keimanan Agama Hindu195 yang biasa disebut panca sraddha, yaitu: (1) Percaya adanya Tuhan (Brahman atau Sang Hyang Widhi Wasa), bahwa Tuhan itu ada (keimanan), Yang berkuasa atas segala-galanya dan Esa; (2) Percaya adanya Atman, jiwa yang sempurna dan abadi (kekal) dari setiap makhluk; (3) Percaya adanya Hukum Karmaphala (Karma Phala), hukum sebab-akibat; (4) Percaya adanya Samsara196 (Punarbhawa atau Reinkarnasi), kelahiran kembali
194
Lihat: Vickrs, Dwipayana, Robinson, Picard, Ramsted, dll. Op.cit. Ramstedt 2004, lihat juga lebih detail : A.A.G. Oka Netra, 2010, Tuntunan Dasar Agama Hindu: Pokok-Pokok Keimanan Agama Hindu, Departemen Agama dalam www.phdi.org. 196 Samsara: penjelmaan jiwaatman yang berulang-ulang di dunia ini atau di dunia yang lebih tinggi. Samsara memiliki arti yang kurang lebih dengan Punarbhawa (kelahiran yang berulang-ulang) dan Reinkarnasi (penitisan kembali) (op.cit. A.A.G. Oka Netra). 195
170
yang berulang-ulang atau penitisan kembali; (5) Percaya adanya Moksa197, kelepasan (bebas) dari siklus kelahiran kembali (ikatan duniawi). Panca Sraddha ini yang kemudian disosialisasikan oleh PHDI melalui pejabatpejabatnya yang ada di level bawah (kecamatan dan desa), termasuk Sri Mpu Suci yang menjadi pendeta formal di bawah naungan PHDI, kepada komunitas transmigran Bali Nusa. Tujuannya adalah agar identitas mereka sebagai Hindu diakui oleh PHDI, dan tentunya pemerintah, karena dengan mengakui panca sraddha ini maka mereka telah menjadi dan memiliki identitas Hindu (Hindu Dharma) yang diakui oleh pemerintah. Bagi para transmigran Bali Nusa awal (1963), konstruksi identitas mereka sebagai Hindu memiliki arti yang penting, yaitu agar mereka mendapatkan pengakuan dari pemerintah (dalam kasus ini pemerintah lokal di Lampung) bahwa mereka termasuk orang yang beragama, dan tidak mendapatkan stigma-stigma yang melukai hati mereka sebagai Bali Hindu. Namun, yang menjadi titik krusial (penting) dari melekatnya identitas Hindu yang resmi ini terjadi pasca 1965 – pasca Gerakan 30 September 1965 – ketika gerakan anti-komunis yang menyebabkan terjadinya pembantaian massal, khususnya di Bali, mengidentikkan orang-orang komunis sebagai orang yang tidak memiliki agama (tidak beragama). Terutama saat kedatangan atau transmigrasi gelombang kedua dari transmigran Bali Nusa ke Balinuraga pasca tahun 1965, baik yang berada di Nusa Penida ataupun transmigran Bali Nusa dari Bali Utara (wilayah Jembrana dan sekitarnya) yang dulunya menjadi transmigran lokal di masa kolonial, dan transmigran Bali Nusa yang berasal dari Jembrana menjadi perhatian serius dari pemerintah (khususnya militer) karena daerah ini menjadi basis orangorang kiri (komunis)198. Oleh karena itu, konstruksi identitas Hindu 197
Moksa: kebebasan dari keterikatan benda-benda yang bersifat duniawi dan terlepasnya Atman dari pengaruh maya dan bersatu kembali dengan sumber-Nya, yaitu Brahman (Hyang Widhi) dan mencapai kebenaran tertinggi, mengalami kesadaran dan kebahagiaan yang kekal abadi yand disebut Sat Cit Ananda. Ketika seseorang telah mencapai moksa maka dia tidak lagi lahir ke dunia, atau bebas dari siklus kelahiran kembali (loc.cit). 198 Lihat: Roosa, John. (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra); Farram, Stevan & Webb, R.A.F. Paul. (2005), Di-PKI-kan Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur (terjemahan), Syarikat Indonesia; Robinson,
171
Dharma di masa-masa itu menjadi sangat penting sekali bagi transmigran Bali Nusa, terutama dari tindakan anarkis dan pembunuhan yang dilakukan oleh pihak sipil dan militer, karena dengan memiliki identitas Hindu Dharma maka mereka terbebas dari tuduhan sebagai komunis – dengan kata lain, identitas Hindu Dharma menjadi penyelamat mereka dari kekerasan dan ancaman pembunuhan atas tuduhan orang-orang komunis. Legalisasi atau legitimasi identitas Hindu Dharma dari PHDI pada transmigran ini memberikan jaminan yang penuh atas keselamatan mereka setelah di luar Bali, terutama setelah di tahun 1968 PHDI memberikan loyalitasnya kepada Suharto (tentu, dengan jaminan bahwa umatnya bersih dari komunis), dan Suharto (beserta militer) memberikan perlindungan penuh pada PHDI, termasuk umat yang bernaung di bawahnya. Selain itu, PHDI juga harus memastikan bahwa identitas Hindu Dharma itu tidak keluar atau menyimpang dari doktrin umumnya panca sraddha, terutama ritual-ritual adat dan keagamaan. Karena itu, PHDI dengan sejumlah aturan-aturan yang birokratis dan cenderung kaku, dapat memastikan bahwa mereka tidak menyimpang dari ajaran utama Hindu Dharma. Peran PHDI dalam mengkonstruksi identitas Hindu Dharma tidak berhenti pada transmigran Bali Nusa pertama, tapi dilanjutkan pada generasi berikutnya, generasi kedua dan ketiga (anak dan cucu, beberapa sudah memiliki cicit) yang masih menetap di Balinuraga. Jika generasi pertama transmigran mendapatkan pengetahuan tentang identitas baru (Hindu Dharma) melalui sosialisasi dari para sulinggih yang sudah berada di dalam tubuh PHDI (melalui jalur informal), maka generasi berikutnya mendapatkan konstruksi identitas Hindu Dharma melalui jalur formal, yaitu pendidikan. Terutama setelah berdirinya sekolah Sekolah Dasar (SD), yang statusnya masih darurat, di akhir tahun 1960-an, sampai Sekolah Dasar ini mendapatkan pengakuan dari pemerintah dan kemudian dibangun Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Di bangku sekolah dasar ini anak-anak para transmigran pertama (berikutnya cucu dan cicit) sudah mendapatkan pengetahuan mengenai identitas mereka sebagai Hindu Dharma, seperti: apa dan bagaimana Hindu Dharma, apa yang harus Geoffrey. (1995), The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali, Ithaca and London: Cornell University Press.
172
dilakukan sebagai umat Hindu Dharma sebagai kewajiban, dan lain-lain. Karena komunitas Desa Balinuraga mayoritas etnis Bali Hindu, maka mereka tidak mendapatkan banyak kendala untuk mengajarkan pelajaran agama Hindu kepada peserta didiknya. Ketersediaan guru agama Hindu ini sepenuhnya merupakan tanggungjawab dari PHDI sebagai wakil dari Departemen Agama yang bekerja sama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan pemilihannya telah disesuaikan dengan standar PHDI dan rekanannya (Departemen Agama dan Pendidikan)199. Seperti yang berlaku di setiap sekolah formal di Indonesia, pelajaran agama ini sudah menjadi sebuah mata pelajaran wajib yang harus diikuti oleh setiap siswanya sesuai dengan agama orang tuanya. Ketika para murid hendak melanjutkan sekolahnya ke jenjang Sekolah Menengah Umum (SMU), mereka harus menempuhnya di luar Desa Balinuraga. Biasanya mereka menempuhnya di kecamatan atau di ibukota kabupaten. Meskipun sudah bersekolah (SMU) di luar desanya, mereka masih mendapatkan pelajaran agama Hindu dari guru agama Hindu yang telah disediakan oleh pihak sekolah. Jadi, melalui jalur pendidikan formal – karena pelajaran agama masuk di dalam kurikulum wajib – PHDI dapat memastikan bahwa umatnya, generasi-generasi muda, khususnya yang telah berada di luar Bali, tidak kehilangan identitasnya sebagai Hindu (umat Hindu Dharma). Melalui jalur pendidikan ini pula, terbentuk sebuah identitas agama Hindu yang standar, yaitu dengan materi yang tidak jauh berbeda dengan yang ada di Bali, maka para generasi muda Bali Hindu di luar Bali mendapatkan pengetahuan yang kurang lebih hampir sama akan identitasnya sebagai Hindu. Ada pun yang menjadi pokok materi yang harus diberikan oleh
199
Pada waktu itu, guru-guru Agama Hindu berasal dari Bali, yang telah menempuh Pendidikan Guru Agama Hindu (PGAH) di Denpasar Bali. Sejak pelajaran agama mulai diperkenalkan (setelah tahun 1950) sebagai pelajaran wajib dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, terutama setelah gelombang pertama transmigrasi orang Bali ke Lampung dalam jumlah besar di tahun 1950an dan 1960-an, terjadi permintaan tenaga pengajar (guru) agama Hindu. Guru Agama Hindu ini dibutuhkan untuk anak-anak transmigran yang bersekolah di Lampung, yang tersebar di berbagai daerah lokasi transmigrasi.
173
setiap guru agama Hindu di antaranya mencakup200: (1) penjelasan hubungan (vertikal) manusia dengan Penciptanya (Tuhan); (2) aspek sosiologi: terkait hubungan / relasi horisontal antar sesama manusia; (2) aspek etika (dharma) dan filofosi (tattwa): nilai, norma, dan hukum (dogma) dalam hubungan antar manusia dan Pencipta; (3) aspek psikologi: bagaimana membentuk karakter dan pikiran yang damai; (4) petujukpetunjuk etis bagaimana berhasil dalam dunia profesional, bagaimana mencapai kehidupan yang baik nan haromis antara kegiatan ekonomi dan ekologi201.
200
Lihat: Ngurah Nala (2004) “The Development of Hindu Education in Bali” dalam Hinduism in Modern Indonesia: A minority religion between local, national, and global interest. 201 Keempat poin ini dapat dileburkan ke dalam filosofi Tri Hita Karana, yaitu bagaimana manusia (individu) menjalankan hubungan yang harmonis (selaras) dengan Sang Pencipta (Tuhan YME; Sang Hyang Widhi Wasa), dengan sesama manusia, dan dengan lingkungannya (alam). Penekanannya terletak dalam aplikasinya di dalam kehidupan sehari-hari, dengan salah satu tujuan idealnya agar tercipta kerukunan hidup antar umat beragama. Sama seperti yang ada di dalam pelajaran agama Kristen dan Islam - penekanannya lebih ke aspek etik dan filosofi – karena secara politik penyamaan ini bagian dari pengakuan eksistensi identitas agama Hindu (Hindu Dharma) mereka yang setara dengan eksistensi agama Islam dan Kristen yang selama ini “meragukan” eksistensi identitas mereka sebagai “agama”, terutama terkait dengan “monotheisme”.
174
Gambar 7. Sekolah Dasar dan Menengah Pertama di Balinuraga (gambar pertama atas: sekolah dasar negero pertama di Balinuraga; gambar kedua kiri: sekolah dasar kedua di Balinuraga; gambar ketiga kiri: sekolah menengah pertama swasta di Balinuraga). (Sumber: Yulianto, 2010)
175
Hadirnya pelajaran agama Hindu tidak serta merta menyelesaikan permasalahan identitas yang harus dihadapi para murid sebagai etnis Bali Hindu, meskipun di dalam pelajaran agama tersebut sudah sesuai dengan standar resmi untuk mematangkan identitas Hindu mereka. Setelah kembali ke rumah dan bersosialisasi dalam komunitasnya yang sama (komunitas Bali Hindu), para murid menghadapi realitas identitas yang lain, yaitu identitas warga (soroh). Artinya, sebelum mereka mendapatkan pendidikan formal, terutama pelajaran agama Hindu, identitas mereka sebagai warga tertentu sudah terbentuk di dalam level keluarga. Identitas warga ini melekat dalam diri mereka, dan di dalam identitas warga itu melekat pula identitasnya sebagai Hindu. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa PHDI – dalam kasus ini melalui pelajaran agama Hindu Dharma – memisahkan dengan tegas agama dan adat, karena identitas Hindu Dharma tidak hanya identitas yang dimiliki oleh etnis Bali, tapi umat Hindu Dharma yang terdiri dari beberapa etnis di Indonesia. Permasalahan lainnya adalah ketika para murid harus bersekolah di luar Balinuraga, yaitu ketika harus menghadapi berbagai perbedaan, baik etnis maupun kepercayaan. Berbeda ketika masih bersekolah di Balinuraga, di mana teman-teman sebayanya berasal dari etnis dan kepecayaan yang sama. Posisi mereka setelah berada di luar desanya adalah jelas sebagai minoritas etnik dan kepercayaan, dan bukan tidak mungkin, terdapat potensi ketersinggungan terkait kepercayaan mereka yang sebenarnya tidak begitu dipahami oleh teman-temannya di sekolah.
176
Gambar 8. Contoh Buku Pelajaran Agama yang Digunakan Murid SD di Balinuraga (Sumber: Yulianto, 2010)
Dari ketiga aktor yang telah diuraikan – Sri Mpu Suci, WargaWarga, dan PHDI – dalam pembentukan identitas komunitas Bali Hindu di Balinuraga, ketiga-tiganya memainkan peranan sentral dalam membentuk identitas mereka sebagai Bali Hindu setelah berada di Lampung. Dari ketiganya, PHDI yang memilki otoritas paling luas, karena kedudukannya sebagai organisasi resmi yang diakui oleh pemerintah, dan Sri Mpu Suci dengan kedudukannya sebagai seorang sulinggih dan pemimpin transmigran Bali Nusa, serta Warga-Warga, menjadi bagian dari anggota PHDI. Dengan kata lain, eksistensi identitas Hindu mereka bergantung pada organisasi formal ini karena otoritas yang dimilikinya – meskipun dalam kenyataanya ketika PHDI mengkonstruksikan identitas Hindu Dharma di dalam setiap kesempatan saat bersosialisasi dengan komunitas Bali Hindu tampak seperti meng-Hindu-kan seseorang yang sebenarnya sudah menjadi Hindu. Namun, peran yang lebih luas di aras akar rumput dalam proses pembentukan identitas justru banyak dimainkan oleh Sri Mpu Suci dan Warga-Warga melalui dinamikanya dalam hubungan antar warga dengan identitas leluhur yang berbeda, terutama untuk urusan adat istiadat. Ini merupakan problematika identitas tersendiri yang harus dihadapi anggota komunitas Hindu Bali di luar Bali, yaitu ketika identitas
177
leluhur yang coba mereka pertahankan, secara langsung dan tidak langsung, berkaitan dengan identitasnya sebagai Hindu, di mana PHDI sebagai organisasi keagamaan resmi yang memiliki otoritas membatasi perannya sebagai pemersatu identitas warga-warga sebagai umat Hindu Dharma, dan tidak mau terlibat dalam urusan adat. Oleh karena itu, bagi sebagian masyarakat Balinuraga, PHDI tidak lebih seperti birokrasi pemerintahan, yang membedakan adalah identitas Hindu yang melekat pada PHDI. Wafatnya Sri Mpu Suci di tahun 1970-an, dan pendataan anggotaanggota warga oleh elit lokal di Bali, menjadikan PHDI sebagai “patron baru” bagi komunitas Bali Hindu di Balinuraga. Namun, PHDI tidak bisa menyatukan warga-warga yang ada di komunitas ini. PHDI hanya bisa menyatukan warga-warga ini sebagai komunitas umat Hindu Dharma. PHDI sebagai organisasi modern Hindu tetap merupakan sebuah birokrasi keagamaan. PHDI lebih menjadi patron yang bersifat simbolik, karena sebagai sebuah birokrasi keagamaan PHDI tidak terlibat secara aktif dalam dinamika komunitas Balinuraga yang di dalamnya terdapat warga-warga yang saling bersaing dengan identitas leluhurnya. Sri Mpu Suci sebagai sulinggih yang menjadi bagian dari PHDI bisa mengendalikan dan menyatukan warga-warga dari pertentangan identitas leluhur, karena Sri Mpu Suci sebagai patron terlibat aktif di dalam kehidupan komunitas ini, dan diakui kepemimpinannya sebagai pemimpin para transmigran Bali Nusa. Dengan kata lain, sosok PHDI hanya muncul di dalam masyarakat, melalui para pengurus/pejabatnya, saat penyelenggaraan upacara keagamaan yang bersifat formal dan seremonial yang dihadiri pejabatpejabat selevel camat, bupati, dan gubernur dalam rangka menunjukkan eksistensi umat Hindu Dharma yang berasal dari Bali. Sejak PHDI memberikan loyalitasnya kepada Orde Baru (1968)202, pejabat-pejabat PHDI dari level desa sampai pusat dapat dikatakan berafiliasi dengan
202
Dalam rentang tahun 1959 sampai 1966, ketika organisasi ini sedang mematangkan organisasinya, PHDI masih bersikap netral, tidak berafiliasi ke partai politik lain (I.G.N. Bagus 2004).
178
Golkar (juga merupakan anggota dari Golkar) dan militer203. Ini menjadikan peran PHDI lebih condong ke politik sebagai pendukung rezim Orde Baru, daripada perannya di akar rumput komunitas Bali Hindu, dalam kasus ini Balinuraga. Sebagai organisasi resmi keagamaan (organisasi semi-pemerintah) yang bersimbolik Hindu, dan menjadi patron simbolik bagi komunitas Hindu, kehadirannya sampai di level desa sangat membantu untuk mengarahkan massanya (umat) untuk mendukung atau memilih Golkar saat diselenggarakan Pemilu di masa Orde Baru. Sebagai imbalannya, PHDI bisa mengajukan permintaan-permintaan (lobi-lobi) ke pemerintah agar umatnya bisa (diizinkan) menyelenggarakan seremoniseremoni di tempat tertentu yang melibatkan massa yang besar, seperti menyelenggarakan upacara Melasti (upacara pembersihan sebelum hari raya Nyepi) yang dilakukan di pantai dengan massa yang besar. Oleh karena itu, kredibilitas PHDI menjadi dipertanyakan oleh komunitas ini, karena tantangan yang dihadapi anggotanya (umat) yang hidup di luar Bali terus berkembang dan dinamis dalam interaksinya dengan komunitas lain yang berbeda, dan kehidupan antar warga di dalam komunitas itu sendiri.
203
Keterkaitan organisasi ini dengan Golkar, menjadikan organisasi ini mirip (dibentuk menyerupai / meniru bentuk) dengan Golkar, dan sekretaris jendralnya berasal dari militer / ABRI (Schulte Nordholt 2007, I.G.N. Bagus 2004).
179
Gambar 9. Upacara Melasti Komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan (upacara ini diikuti seluruh komunitas adat Bali Hindu di Lampung Selatan, termasuk Balinuraga). (Sumber: Yulianto, 2010)
180
Gambar 10. Persiapan Upacara Melasti (Sumber: Yulianto, 2010).
Bagi masyarakat Balinuraga, PHDI merupakan representasi dari pusat, dalam arti ini adalah Jakarta dan Bali, tapi lebih condong merepresentasikan Bali. Sebagai orang Bali yang hidup di luar Bali, kehadiran PHDI dianggap dapat mendekatkan diri mereka dengan Bali. Meskipun mereka telah berada di Lampung, keterikatan mereka dengan tanah kelahiran (Bali) masih sangat kuat. Seperti ada fanatisme tersendiri terhadap hal-hal yang berhubungan langsung dengan Bali. Jadi, meskipun PHDI dianggap tidak lebih dari mesin birokrasi keagamaan, PHDI tetap dianggap sebagai patron, khususnya terkait dengan identitas agama, yang
181
dapat mendekatkan komunitas ini dengan Bali. Mengapa demikian? Karena dengan adanya semacam standarisasi kegiatan / ritual keagamaan yang berasal dari PHDI, maka mereka merasa bahwa ritual keagamaan yang mereka adakan di luar Bali kurang lebih tidak jauh berbeda dengan mereka yang ada di Bali. Sehingga dapat mengurangi rasa kekhawatiran bahwa mereka sudah berbeda atau tidak sama dengan di Bali dalam penyelenggarakan ritual keagamaan. Tentu dengan mempertimbangan situasi dan kondisi penyelenggaraan ritual itu sendiri, karena perbedaan itu tetap ada antara penyelenggaran ritual di Bali dan di luar Bali. Namun, pro dan kontra tetap saja ada perihal standarisasi itu, khususnya di kalangan warga-warga (beberapa elit) yang teguh (kolot) dengan tradisinya. Artinya, menyelenggarakan prosedur-prosedur ritual yang “sedikit” berbeda dengan apa yang telah dibakukan oleh PHDI. Toh, PHDI sendiri pun tidak setiap hari berada di dalam masyarakat untuk mengawasi dinamika mereka. Bagi mereka (elit-elit warga) pejabat-pejabat PHDI, terutama di tingkat desa sampai kecamatan, belum tentu memahami adat istiadat dari masing-masing warga, karena (dimungkinkan) pejabat tersebut yang merupakan orang lain berasal dari warga yang berbeda. Di samping itu, elit-elit warga ini masih tetap menjalin komunikasi yang baik dengan organisasi formal warga-nya – yang sebenarnya berinduk pada PHDI – yang berpusat di Bali. Elit-elit ini pun secara rutin masih sering pergi ke Bali (termasuk anggota warga-warga-nya), baik untuk urusan upacara keluarga besar yang masih ada di Bali (kewajiban yang harus mereka lakukan) maupun pertemuan organisasi tertentu. Ini pula yang menyebabkan mereka menjadi kritis terhadap PHDI. Jadi, meskipun mereka telah berada di luar Bali, komunikasi dengan sanak saudara atau pun informasi penting (sosial politik keagamaan) yang terjadi di Bali, dapat mereka ketahui dalam jeda waktu yang tidak terlalu lama. Seperti misalnya, kemelut yang terjadi di PHDI antara golongan jaba dan triwangsa dalam memperebutkan posisi dominan di lembaga ini dalam Mahasabda VII (rapat akbar/pertemuan besar) pada September 1996 di Surakarta dan September 2001 di Hotel Radisson di Sanur, Bali; kemudian saat terjadi protes besar dari golongan jaba saat penyelenggaraan upacara
182
Panca Wali Krama204 di Pura Besakih (1999) yang menuntut agar pendetapendeta dari golongan jabawangsa diperkenankan untuk terlibat dalam memimpin upacara tersebut205. Untuk upacara besar seperti ini, Panca Wali Krama di Pura Besakih, umat Hindu Bali dari berbagai daerah ikut di luar Bali turut berpartisipasi mengikuti upacara tersebut – termasuk masyarakat di Balinuraga yang memiliki kesempatan dan biaya untuk mengikuti upacara tersebut206 – di mana mayoritas umat yang mengikuti upacara tersebut adalah golongan jaba (warga-warga / soroh yang digolongkan sebagai jaba / non-bangsawan puri). Keterikatan komunitas Bali Hindu di luar Bali (kasus Balinuraga) terhadap patronnya – PHDI sebagai perwakilan pusat, Bali – menyebabkan efek domino sampai ke komunitas ini; meskipun elit-elit warga yang lebih banyak mengetahui kemelut yang terjadi di pusat di dalam tubuh PHDI.
204
Panca Wali Krama merupakan Yadnya Agung (ritual besar) yang diadakan di Pura Besakih setiap sepuluh tahun sekali, di mana pada waktu itu (April 1999) diselenggarakan atas kerja sama antara Pemerintah Daerah Bali dan PHDI. Bagi mereka, orang Balinuraga, bisa menghadiri upacara besar di Pura Besakih, terutama seperti Panca Wali Krama, dipercaya bisa memberikan berkah dan sugesti psikologis tertentu dalam pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka (seperti terberkati), dan tentunya yang tidak kalah penting adalah prestise. Yadnya Agung yang lebih besar dari Panca Wali Krama adalah (upacara) Tawur Agung Eka Dasa Rudra. 205 Op.cit. Ramstedt 2004, Ngurah Bagus 2004, Schulte Nordholt 2007. 206 Di masa sekarang, terutama sejak tahun 1990-an, biaya dan sarana transportasi dari Lampung ke Bali cukup terjangkau dan memadai. Mereka bisa menumpang bis antar kota antar propinsi yang langsung dari Lampung ke Bali, ngeteng (naik bis dari Lampung ke Jawa Tengah, kemudian disambung dengan naik bis dari Jawa Tengah ke Bali; atau naik travel ke Bandara Sukarno Hatta kemudian dilanjutkan dengan penerbangan ke Bali,karena biayanya yang relatif lebih murah dan cepat), atau memakai satu mobil pribadi yang ditumpangi beberapa orang. Untuk upacara-upacara besar seperti Panca Wali Krama sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk bisa hadir di sana. Tanpa ada upacara besar dan penting pun di Pura Besakih, biasanya jika tidak ada halangan mereka bisa pergi ke Bali minimal satu tahun sekali untuk mengikuti upacara-upacara dalam lingkungan keluarga atau warga mereka baik yang ada di Bali maupun di Nusa Penida. Untuk perhitungan pulang-pergi Lampung-Bali sangat sederhana: menjual satu ekor sapi dewasa sudah cukup untuk biaya perjalanan satu keluarga; dengan rata-rata harga satu ekor sapi dewasa yang gemuk kurang lebih sepuluh juta rupiah.
183
Kemelut yang terjadi di tubuh PHDI pusat seputar hak-hak istimewa golongan triwangsa dan jabawangsa, khususnya tentang persamaan status kependetaan warga-warga dan pedanda (brahmana), sebenarnya dalam level yang lebih kecil (Balinuraga) juga terjadi kemelut seperti itu, terutama kependetaan antar warga. Sebagian warga ada yang tetap ingin mempertahankan pendeta (sulinggih) warga-nya untuk memimpin upacara-upacara penting (misalnya, ngaben), sedangkan warga yang lain ingin menggunakan pendeta dari kalangan brahmana (pedanda) dari Bali. Waktu dan tempat yang berbeda tentu menimbulkan tantangan dan problematika identitas yang berbeda pada anggota masyarakat komunitas ini. Anggota masyarakat ekonominya telah mapan, statusnya sosialnya di dalam komunitasnya akan naik bila mampu menghadirkan pedanda dari Bali dalam upacara penting, seperti ngaben. Sebaliknya, bagi sebagian anggota komunitas baik yang ekonominya mapan atau belum mapan, lebih menginginkan pendeta dari kalangan warga-nya sendiri – dalam beberapa kasus mereka yang sudah mapan bisa mengundang pendeta dari warga-nya sendiri dari Bali. Prosedur ini pun sebenarnya di dalam tubuh PHDI tidak menjadi masalah, meskipun dalam kenyataannya peran pedanda masih sangat signifikan dalam dominasi penyelenggaraan upacara-upacara penting, khususnya sebelum memudarnya dominasi pedanda di jabatan penting PHDI pasca Mahasabda 2001 di Bali207.
Perjalanan Identitas Bali Nusa Perjalanan identitas Bali Nusa merupakan sebuah proses bertahap pembentukan identitas Bali Nusa yang dimulai sejak mereka bertransmigrasi di tahun 1963 sampai satu dasawarsa terakhir di abad ke21. Hampir lima dasawarsa komunitas ini menetap di Lampung Selatan, tepatnya empat puluh tujuh tahun terhitung dari 1963-2010. Secara fisik Kampung Bali di Desa Balinuraga sudah mencapai tahap mapan dari segi pembangunannya. Artinya, seandainya terjadi penambahan-penambahan bangunan atau infrastuktur, pengaruhnya sudah tidak seberapa signifikan merubah penampilan fisik perkampungan komunitas Bali Hindu ini – umumnya hanya renovasi rumah dari semi permanen menjadi permanen, 207
Op.cit. Ramstedt 2004, Schulte Nordholt 2007.
184
renovasi (perbaikan) pura-pura (seperti pura keluarga (rong telu), pura desa, pura puseh, dan pura dalem), perbaikan dan penambahan aspal jalan, dan lain-lain. Poin penting bagi komunitas ini, sebagai penanda kemapanan komunitas mereka sebagai Bali Hindu adalah setelah bangunan fisik yang menjadi simbol identitas mereka sebagai Bali Hindu lengkap – tidak ada lagi kekurangan berdasarkan aturan adat dan kerpecayaan / agama mereka, dengan kata lain, sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan), khususnya Pura Kahyangan Tiga. Untuk saat ini, yang mereka lakukan hanya merenovasi – tidak hanya memperbaiki bangunan pura yang rusak, tapi menjadikannya lebih bagus daripada sebelumnya. Namun, kasus menarik yang terjadi belakangan ini adalah para kelompok warga lebih memfokuskan renovasi (penambahan bangunan pura) untuk pura kawitan di griya-griya milik warga-nya. Kasus ini menunjukkan bahwa perjalanan identitas komunitas Bali Nusa (Bali Hindu dari Nusa Penida) belum selesai, dan terus berdinamika dalam interaksinya dengan wargawarga yang lain. Oleh karena itu, penampilan secara fisik komunitas ini menunjukkan bahwa identitas mereka sebagai Bali Lampung sudah ajeg, tapi kenyataannya, dalam kehidupan sosial anggota komunitas ini yang terfragmentasi berdasarkan warga-warga menunjukkan bahwa pertentangan identitas masih terjadi internal komunitas mereka – tidak seajeg penampilan fisiknya melalui bangunan pura yang indah dan artistik, ritual harian yang menunjukkan identitas kebalian yang kental, iringiringan massa yang hendak melaksanakan upacara, dan lain-lain, yang seolah-olah di mata orang luar menunjukkan komunitas ini sebagai komunitas yang stagnan, adinamis, kaku, atau kolot. Memang dari berbagai fenomena hubungan antar warga dalam manifestasinya yang beragam – saling klaim identitas leluhur, persaingan pembangunan pura kawitan, persaingan upacara / ritual warga mana yang paling besar, dan lain-lain – secara jelas menunjukkan bahwa komunitas ini terpecah-pecah berdasarkan identitas leluhur, dan menampikkan kesolidan internal di dalam komunitas ini. Namun, uniknya dalam kasus yang lain, misalnya jika ada bagian dari anggota komunitas mereka, atau pun anggota komunitas lain (dari Kampung Bali tetangga), mengalami masalah (pertengkaran / keributan) dengan anggota komunitas lain non-Bali, meskipun berasal dari warga yang berbeda, maka mereka secara spontan
185
akan saling membantu. Rasa solidaritas itu masih kuat dan solid secara massa jika salah satu anggota dari komunitas mereka bermasalah dengan anggota komunitas lain non-Bali, meskipun yang patut dicermati adalah bahwa anggota yang bermasalah itu berasal dari warga yang berbeda. Fenomena ini terjadi karena di dalam benak mereka (komunitas Bali Hindu) jika ada salah satu anggota komunitas mereka mengalami masalah dengan komunitas lain (misalnya dalam kasus umum: mengalami kekerasan fisik dari anggota komunitas lain non-Bali, seperti penodongan atau begal), maka kejadian ini dianggap (oleh sebagian anggota komunitas Bali Hindu) sebagai ancaman eksternal yang nantinya akan mengancam eksistensi identitas mereka sebagai Bali Hindu. Fenomena ini akhirnya melahirkan stigma-stigma terhadap etnis Bali dari etnis-etnis lain non-Bali, misalnya: “jangan ganggu orang Bali”, “hati-hati dengan orang Bali”, “kalau ribut dengan orang Bali urusannya bisa jadi besar”, “magic orang Bali hebat”, “jangan pacaran sama orang Bali”, dan lain-lain. Di sisi yang lain, berbanding terbalik dengan stigma negatif di atas, terkait dengan kehidupan keseharian termasuk tradisi adat dan keagamaan, etnis Bali Hindu mendapatkan pengakuan akan eksistensi identitasnya, baik sebagai orang Bali maupun sebagai orang Bali Hindu, misalnya: “kalo sudah urusan adat dan agama, orang Bali nomor satu”, “Orang Bali itu paling kuat adat sama (dan) agamanya”, “Orang Bali sangat royal dengan urusan adat dan agama”, “Orang Bali kompak, apalagi kalo urusan adat sama agama”, dan lain-lain. Terlepas dari kontrakdiksi-kontradiksi yang dipaparkan di atas, patut diketahui bahwa dinamika hubungan antara anggota warga, ataupun hubungan sesama masyarakat (lintas warga) di dalam komunitasnya, yang penuh dengan pasang-surut merupakan sesuatu yang dinilai sesuatu biasa saja atau normal. Mereka menganalogikannya seperti musik dan tarian Bali. Ritme musik yang cepat dan naik-turun, dan gerakan tari yang cepat dan lincah, itu yang terjadi di dalam kehidupan sosial komunitas mereka. Pesan ini menunjukkan bahwa melalui produk-produk kebudayaannya (melalui seni tari dan musik), maka tercermin bagaimana mereka sebagai orang Bali. Mereka bukan masyarakat yang kehidupannya monoton, tapi sebaliknya, masyarakat yang dinamis, sama seperti musik dan tariannya.
186
Uraian singkat pada dua paragraf di atas merupakan pengantar untuk menguraikan perjalanan identitas Bali Nusa setelah mereka berada di Lampung, dan sudah menjadi bagian dalam masyarakat Lampung yang heterogen: bahwa dalam setiap tahapan dari perjalanan identitasnya, selalu dipenuhi dengan dinamika – tidak monoton, tidak statis, dan tidak apolitis seperti yang diidealkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia the last paradise berdasarkan pencitraan identitas terhadap etnis Bali di masa kolonial dan pasca kolonial. Dalam pembahasan sub-bab ini, untuk menguraikan perjalanan identitas Bali Nusa, penulis memilahnya menjadi beberapa masa atau tahapan berdasarkan rezim yang berkuasa di Indonesia pada masa itu (untuk mempermudah pengkategorian waktu/pentahapan) sejak mereka bertransmigrasi tahun 1963, yaitu: (1) Orde Lama (19631966): dari masa pemerintahan Sukarno 1950-1966, mereka masih merasakan rezim ini selama tiga tahun (1963-1966) di Lampung; (2) Orde Baru (1967-1998); dan (3) Orde Reformasi (pasca jatuhnya Suharto, 1998 – sekarang). Berdasarkan masa-masa (rezim) ini maka pentahapan yang akan diuraikan lebih lanjut adalah: (1) Masa kevakuman dan pencarian bentuk identitas (tiga tahun di masa masa Orde Lama, peralihan kekuasan Orde Lama ke Orde Baru pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, 1966-1967, masa-masa awal Orde Baru sebelum PHDI berafiliasi dengan Suharto tahun 1968); (2) Masa kemapanan identitas semu di masa Orde Baru (1967-1998) tepatnya pasca 1968; (3) Masa Politik Identitas, pasca jatuhnya Suharto, ketika identitas digunakan dalam tataran politik praktis di dalam komunitas dan di luar komunitas. Dalam pembahasan sub-bab ini (perjalanan identitas Bali Nusa) akan disertakan di dalam pembahasan proses pembentukan identitas itu sendiri, dan dinamikanya.
Masa Kevakuman dan Pencarian Bentuk Identitas Masa kevakuman dan pencarian bentuk identitas pada komunitas transmigran Bali Nusa terjadi dalam tiga periode yang sangat singkat namun kritis bagi eksistensi identitas mereka: (1) Tiga tahun terakhir masa Sukarno (1963-1966), efektifnya sebelum terjadi Gerakan 30 September 1965, yaitu 1963-1965; (2) Masa resesi / peralihan kekuasan Orde Lama ke Orde Baru pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965: penghujung tahun 1965 (Desember 1965) ketika pembantaian massal mulai terjadi di Bali
187
sampai tahun 1967 ketika Suharto berhasil mendirikan rezim Orde Baru; (3) Masa Orde Baru, tepatnya pasca 1968 saat PHDI berafiliasi dengan Suharto. Periode penting dalam masa kevakuman identitas terjadi pada tahun 1963 sampai sebelum terjadinya Gerakan 30 September 1965. Di masa kevakuman identitas ini, proses pencarian identitas belum sempat dilakukan dikarenakan ada beberapa hal mendasar yang barus mereka lakukan. Peristiwa dan kejadian penting yang terjadi pada waktu itu, yang menyebabkan terjadinya kevakuman identitas adalah: Pertama, tingkat kesulitan hidup yang tinggi saat pertama kali tiba di Lampung pada pertengahan tahun 1963 (pasca meletusnya Gunung Agung yang kedua 16 Mei 1963). Mereka mengalami kesulitan hidup yang tinggi karena beberapa hal yang tidak bisa dihindari: (1) Persediaan uang (tunai) sudah menipis – sebagian besar kemungkinan sudah habis – karena perjalanan dari Nusa Penida ke Lampung membutuhkan waktu berminguminggu. Uang yang mereka bawa dari Nusa Penida, dalam jumlah yang tidak terlalu besar jumlahnya, habis selama perjalanan, baik karena harus memenuhi kebutuhan makan-minum atau pun diperas oleh oknum-oknum aparat waktu itu; (2) Tingkat inflasi yang tinggi di level nasional. Tingginya tingkat inflasi di masa itu menyebabkan nilai riil dari uang yang mereka miliki menjadi turun. Kenyataan yang lebih buruk adalah persediaan uang itu sebagian besar sudah habis ketika sampai di Lampung; (3) Status ketransmigrasian mereka adalah swakarsa. Konsekuensinya mereka tidak mendapatkan sponsor atau bantuan dana dari pemerintah, semua biaya perjalanan dan biaya hidup di masa-masa awal ditanggung sendiri, meskipun pada tahun 1963 mayoritas orang Bali yang bertransmigran disebabkan karena letusan Gunung Agung dan ada kelompok transmigran lain yang mendapatkan sponsor dari pemerintah (yang disebut oleh mereka: Bali KoOGA); (4) Pembukaan hutan untuk lahan pertanian. Lokasi transmigrasi yang disediakan pemerintah bagi transmigran masih berupa hutan, bukan lahan yang sudah siap tanam. Akibatnya mereka harus menghabiskan sisa waktu di tahun 1963 untuk membuka hutan sampai benar-benar siap ditanami padi – dari hutan menjadi persawahan; (5) Serangan wabah penyakit yang menimpa para
188
transmigran dan anggota keluarganya. Sakit penyakit yang menyerang mereka merupakan hal yang sangat manusiawi. Mental mereka secara psikologis sudah menurun setelah tiba di Lampung akibat perjalanan panjang dari Nusa Penida ke Lampung. Dalam kondisi mental yang menurun, mereka belum memiliki tempat tinggal yang permanen (layak huni), masih harus membuka hutan, persediaan uang tunai sudah (hampir) habis dan harga sembako waktu itu sangat mahal, serangan nyamuk malaria dan gangguan hewan liar khas Sumatera (khususnya gajah dan harimau sumatera), pola makan yang tidak teratur (dengan mutu makanan yang tidak sehat dan bergizi) dan jenis makanan yang berbeda dengan yang ada di Nusa Penida, serta proses adaptasi tubuh tiap individu dari transmigran dengan iklim yang ada di Lampung yang berbeda dengan di Nusa Penida. Dalam kondisi tersebut sangat manusiawi sekali jika para transmigran dan anggota keluarganya menderita sakit penyakit di masa awal kedatangan mereka, di mana mengakibatkan sebagian dari mereka meningggal dunia dan depresi Kedua, kebutuhan untuk bertahan hidup tahun-tahun pertama (sekitar dua tahun) dalam situasi politik nasional yang tidak menentu di penghujung rezim Sukarno. Kebutuhan untuk bertahan hidup merupakan konsekuensi atas tingginya tingkat kesulitan hidup sejak tiba di Lampung. Persoalan “perut” masih belum bisa diatasi dikarenakan lahan pertanian yang telah dibuka belum bisa menghasilkan secara optimal. Salah satu solusinya, sebagian dari mereka harus bekerja sebagai buruh tani di ladang-ladang milik penduduk lokal. Stigma-stigma negatif masih mereka terima sebagai “orang jang belum beragama”, meskipun kepercayaan mereka waktu itu sudah diakui eksistensinya oleh pemerintah. Tentu menjadi aneh bagi masyarakat sekitar yang mayoritas Islam (baik yang fundamental maupun abangan), melihat ritual-ritual yang dilakukan oleh transmigran Bali berdasarkan kepercayaannya, yang waktu itu dilakukan masih sangat sederhana sekali, serta mengkonsumsi daging babi hutan (celeng) yang selama ini jadi musuh petani, yang dagingnya dianggap haram menurut orang-orang Muslim. Bagi masyarakat Muslim (non-Bali) pandangan yang selama ini mereka ketahui secara umum tentang orang Bali dan adat istiadatnya adalah bahwa mereka memiliki banyak dewa-
189
dewa yang disembah. Artinya, bila mereka mengacu pada kepercayaan mereka (sebagai muslim), kepercayaan orang Bali itu termasuk politheis (menyembah banyak tuhan / dewa), bukan monoteis seperti yang selama ini mereka lakukan (dalam ritual keagamaan) dan percayai dalam manifestasi Tuhan yang Esa (monotheis). Oleh karena itu, bukan tidak mungkin sebutan „kafir‟ dan „primitif‟ dialamatkan kepada mereka karena kepercayaan mereka yang politheis dan mengkonsumsi daging babi208. Situasi politik waktu itu, khususnya di Sumatera masih terpengaruh oleh aliran politik Islam – tidak terlepas dari pengaruh pemberontakan Darul Islam di tahun 1950-an dan partai-partai politik Islam yang berkembang waktu itu – menjadikan sedikit banyak berpengaruh atas kelompok pendatang (transmigran) non-Islam, dalam kasus ini transmigran Bali. Kondisi pertama dan kedua di atas menyebabkan terjadinya kevakuman identitas pada transmigran Bali Nusa. Penyebabnya sangat sederhana dan manusiawi, yaitu bagaimana mungkin mereka berpikir tentang eksistensi identitasnya di mana mereka sendiri sebagai komunitas pendatang yang minoritas (etnis dan kepercayaan) hidupnya secara ekonomi masih belum menentu. Proses adaptasi terkait kebertahanan hidup 208
Kata “kafir” dan “primitif” pada waktu itu masih belum dikenal oleh transmigran Bali Nusa. Transmigran Bali Nusa pada waktu itu masih belum menguasai Bahasa Indonesia. Mereka masih menggunakan Bahasa Bali Nusa yang pada dasarnya memiliki perbedaan dengan Bahasa Bali. Oleh karena itu, seandainya mereka mendengar kata “kafir” dan “primitif” pun mereka tidak akan bereaksi, selain perbedaan bahasa, masyarakat sekitar juga masih menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Kata “primitif” dialamat karena transmigran Bali Nusa ini hidupnya masih sangat tradisonal sekali. Bagaimana tidak, mereka berasal dari Pulau Nusa Penida, sebelah timur Bali, yang akses ke Bali pun sangat sulit pada waktu itu (termasuk di masa sekarang saat cuaca tidak mendukung). Di samping itu, beberapa wanita (yang sudah lanjut usia) masih memiliki kebiasaan tidak menggunakan bra untuk menutup payudaranya, sama seperti Bali tempo dulu yang masih dijumpai di era kolonial tahun 1930-an di pulau induk, Bali. Saat ini, ketika perekonomian mereka sudah mapan, justru kata „primitf‟ ini yang dialamatkan pada penduduk lokal – yang dulu pernah menyebutkan kata ini kepada mereka – dikarenakan penduduk lokal masih tetap mempertahankan kelokalan mereka yang kolot, yang tanpa disadarinya mereka telah tertinggal jauh oleh modernisasi yang dilakukan para pendatang (Bali) dan pemukimannya semakin terdesak karena tanahnya telah dijual kepada pendatang (Bali dan Jawa).
190
masih mereka lakukan, termasuk ritual-ritual dan upacara-upacara kepercayaan mereka sebagai Bali Hindu. Dengan kata lain, sangat sulit berpikir atau pun bertindak untuk mengaktualisasikan eksistensi identitas mereka saat kondisi “perut lapar”. Masa kevakuman, yang kemudian diikuti pencarian bentuk identitas mencapai titik kritis pasca Gerakan 30 September 1965, khususnya ketika pembantaian massal mulai terjadi di Bali di bulan Desember 1965. Efeknya baru mulai terasa bagi transmigran Bali Nusa setelah memasuki awal tahun 1966. Meskipun masyarakat Lampung sebagain besar tidak mengetahui bahwa terjadi pembantaian massal di Bali karena tidak dimuat di media massa secara jelas (cenderung ditutuptutupi), namun ini tidak terjadi di kalangan militer, khususnya yang ada di Lampung. Dalam kasus ini, militer pasti mengindikasikan bahwa ada keterkaitan antara orang-orang berhaluan kiri di Bali dan orang-orang Bali yang bertransmigrasi ke Lampung. Beberapa sumber menyebutkan bahwa militer pada saat itu turut mengamati perkembangan yang terjadi pada transmigran Bali di Lampung. Masa ini menjadi penting bagi transmigran Bali mengapa mereka mulai melakukan pencarian bentuk identitas bagi komunitasnya. Hal yang lebih ditakutkan oleh mereka adalah aksi brutal atau penghakiman massa (mayoritas), khususnya golongan Islam, yang tidak senang dengan keberadaan orang-orang berhaluan kiri. Penghakiman oleh massa bisa dilakukan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang dituduh sebagai komunis, meskipun pada kenyataan tidak, atau hanya sebagai simpatisan. Pencitraan kata “komunis” di masa itu yang paling melekat adalah “orang yang tidak punya agama” dan “tidak percaya Tuhan”. Meskipun kepercayaan etnis Bali sebagai Hindu sudah diakui oleh pemerintah sebagai agama resmi negara dengan dukungan Presiden Sukarno tepat pada tanggal 1 Januari 1959, namun stigma-stigma yang menyebutkan transmigran sebagai “orang jang belum beragama” masih melekat di dalam masyarakat, khususnya yang berhaluan fundamentalis – karena pada masa sebelum dan sesudah 1959 golongan ini (termasuk dari golongan Kristen) yang masih mempertanyakan keabsahan Hindu Bali sebagai sebuah agama menurut konsep agama kedua golongan ini. Di masa kritis seperti ini, pasca Gerakan 30 September 1965, para transmigran
191
harus mencari bentuk identitas keagamaan mereka sebagai orang yang beragama berdasarkan agama versi pemerintah dan opini yang berkembang di masyarakat pada masa itu, dalam arti mereka harus mempertegas dan bisa membuktikan bahwa mereka orang yang beragama, yaitu Hindu Dharma. Jika mereka tidak bisa mempertegas dan membuktikan identitas keagamaannya bahwa mereka adalah orang yang beragama, maka keselamatan mereka dipastikan akan terancam (dan kehilangan nyawa). Pada masa ini pula, para transmigran yang sedang mengalami kevakuman dan sedang dalam pencarian bentuk identitas keagamaan mereka, menjadi target Islamisasi dan Kristenisasi – walaubagaimana pun kedua golongan ini masih beranggapan bahwa para transmigran belum memiliki identitas agama yang jelas seperti konsep agama versi kedua golongan ini. Dalam situasi darurat identitas seperti ini, tentu PHDI sebagai organisasi formal keagamaan Hindu Bali menjadi penyelamat bagi para transmigran untuk melegalkan identitas keagamaan mereka, karena persoalan keabsahan identitas agama ini merupakan persoalan antara hidup atau mati. PHDI sendiri pun harus cepat dan tanggap merespon situasi ini, karena jika tidak para transmigran ini akan berpindah-haluan ke agama lain yang menawarkan garansi identitas agama yang lebih legal. Catatan penting di masa ini bagi identitas transmigran Bali Nusa adalah bahwa mereka merelakan identitasnya dikonstruksikan ulang demi alasan keselamatan hidupnya. Menjadi aneh dan cenderung pragmatis, karena sebenarnya mereka sudah menjadi Hindu, tapi bagi mereka, merupakan hal yang sangat konyol jika harus mati di Lampung saat belum menikmati hasil kerja kerasnya, dan mati hanya karena “beragama” atau “tidak beragama” (dicap komunis). Catatan berikutnya, periode pasca Gerakan 30 September 1965 sampai pertengahan tahun 1966 hampir dipastikan tidak ada orang Bali Nusa yang bertransmigrasi ke Lampung. Militer pasti akan bersiaga penuh mengantisipasi orang-orang Bali yang dicap komunis melarikan diri – berhasil lolos dari pembantaian massal – ke Lampung mengunjungi sanak saudaranya yang bertransmigrasi. Mengapa demikian? Karena di Bali Utara, di wilayah Jembrana, merupakan salah satu basis orang-orang Bali berhaluan kiri, di mana di daerah Jembrana pada masa kolonial menjadi daerah transmigrasi lokal orang-orang Bali dari Nusa Penida dan orang Bali di Bali Selatan yang pemukimannya sudah padat (khususnya,
192
orang Bali yang sudah menjadi Nasrani, sebagai upaya mencegah kegiatan misionaris lebih luas di Bali bagian Selatan, yang tidak diizinkan oleh pemerintah kolonial melalui kebijakan Balinisasinya).
Masa Kemapanan Identitas Semu: Internal Conversion (Identitas Warga Dan Agama) Setelah “Pemberontakan PKI” – versi Suharto atas Gerakan 30 September 1965 – berhasil dipadamkan, kemudian Suharto berhasil mengambil-alih kekuasaan dari Sukarno dan membentuk rezim Orde Baru di tahun 1967, kondisi keamanan secara sosial politik mulai dirasakan oleh transmigran Bali Nusa. Artinya, mereka sudah melewati sebuah masa di mana “cap PKI” itu sama dengan maut (kematian). Keamanan penuh atas legalitas agamanya baru mereka rasakan di tahun 1968, setelah PHDI, yang menjadi penyelamat bagi mereka dari tiket kematian dengan cap PKI, secara resmi bergabung dengan rezim Suharto yang didukung oleh militer yang kuat, serta berafiliasi secara organisasi dengan Golkar. Pada masa ini PHDI sudah menjadi bagian dari pemerintah, dan menjadi organisasi semipemerintah – organisasinya secara kelembagaan menyerupai Golkar dan Sekjen-nya berasal dari ABRI. Pasca 1968 sampai tahun 1970-an, identitas agama Hindu Dharma yang dikonstruksikan oleh PHDI belum dikatakan selesai. Artinya, proses pengkonstruksian itu masih terus dilakukan sampai mereka benar-benar menjadi Hindu Dharma. Bagi Suharto ini menjadi penting, karena untuk memastikan bahwa orang-orang Bali, termasuk di luar Bali, sudah bersih dari ideologi kiri dan Sukarnois. Oleh karena itu, doktrin-doktrin agama terus ditanamkan pada transmigran, termasuk dilanjutkan ke anak-cucucicit, agar identitas Hindu mereka menjadi mapan, dan bebas dari “kiri” dan “Sukarno”. Namun, di saat pengkonstruksian identitas Hindu Dharma itu masih sedang dalam proses rekonstruksi kembali, di tahun 1970-an sejumlah elit-elit dari Bali datang ke komunitas transmigran Bali (Bali dan Bali Nusa) untuk merekonstruksi ulang identitas warga-warga-nya. Elitelit ini menganggap bahwa (ada kemungkinan) para transmigran Bali ini, khususnya Bali Nusa, belum / tidak memiliki identitas warga yang jelas.
193
Oleh karena itu, proses pendataan warga-warga dilakukan oleh elit-elit ini. Di saat yang sama, kehidupan ekonomi transmigran sudah mengalami kemajuan, lahan pertanian yang mereka kelola sudah menghasilkan panen yang baik. Karenanya, motif ekonomi dan politik menjadi tidak dapat dipisahkan dari kedatangan elit-elit dari Bali ini. Sama seperti PHDI, elitelit ini dianggap sebagai penyelamat terhadap identitas warga mereka yang selama berada di Nusa Penida masih kabur (belum jelas)209. Dalam perekonstruksian ulang identitas warga oleh elit-elit dari Bali, turut dimasukkan klaim-klaim yang menempatkan warga-nya berada di atas dari warga lain. Akibatnya, transmigran Bali Nusa menjadi mulai terpecah berdasarkan kelompok warga-nya masing-masing, entah karena memang mereka mengetahui bahwa berasal dari warga itu, atau memang mengikuti arus saja – berpikir pragmatis – bahwa mereka harus punya identitas warga yang jelas. Pengkotak-kotakan ini – sebagai konsekuensi dari apa yang dilakukan oleh elit-elit dari Bali – semakin nyata setelah Sri Mpu Suci yang selama ini menjadi patron yang menyatukan identitas mereka sebagai transmigran Bali Nusa wafat. Dengan wafatnya Sri Mpu Suci, komunitas transmigran Bali ini mulai meyakini bahwa patron atau pusat yang menjadi naungan keabsahan identitas warga dan agama mereka adalah Bali, termasuk PHDI itu sendiri. Menempatkan Bali sebagai pusat yang dapat mengabsahkan identitas warga dan agama Hindu Dharma, tidak dapat dilepaskan dari keterikatan yang kuat dalam diri etnis Bali – dalam kasus ini termasuk Bali Nusa karena ketika masih di Nusa Penida pun Bali tetap menjadi pusat – terhadap identitas tanah leluhurnya. Identitas yang dimaksud adalah identitas secara adat – warga – dan identitas agama – Hindu Bali atau identitas resminya Hindu Dharma. Permasalahannya adalah mereka memiliki dua pusat: elit warga – dalam arti yang lebih luas adalah organisasi formal warga-warga – dan PHDI. Meskipun organisasi formal warga-warga ini bernaung di bawah payung PHDI karena mendapatkan otoritas dari Suharto, namun dalam kenyataannya PHDI seperti tidak mau terlalu ikut campur tentang urusan adat atau warga-warga. Situasi ini 209
Lihat: David Stuart-Fox (2002), Pura Besakih: Temple, religion and society in Bali, Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
194
tentunya tidak dapat ditampikkan, karena pada masa itu di tubuh PHDI sendiri mulai (sudah) terjadi pertentangan antara golongan jaba (outsider, commoners, warga, non-puri) dengan golongan bangsawan (triwangsa, khususnya kaum brahmana). Oleh karena itu, penulis menyebutkan di masa ini sebagai masa “kemapanan identitas” yang semu cum ambigu. Dikatakan demikian, karena mereka harus apa yang disebut Geertz (1964) sebagai internal conversion sebanyak dua kali, tapi bukan pada satu identitas yang sama, melainkan dua identitas yang berbeda (yang pada dasarnya sebenarnya sama dan seperti menjadi kesatuan antara identitas adat dan agama), yaitu identitas agama dan identitas warga. Alasan kedua, karena kemapanan identitas itu sebagai hasil konstruksi identitas berdasarkan kekuasaan pada waktu itu di dua rezim pasca kolonial: Sukarno dan Suharto, di mana konstruksi identitas agama dilakukan berdasarkan konsep kepercayaan Yudea-Kristen-Islam – pada akhirnya melahirkan Hindu yang modern seperti dalam konsep Weber. Ironisnya, bila ditarik kebelakang, konstruksi identitas terhadap etnis Bali oleh pemerintah pasca kolonial merupakan warisan dari pemerintah kolonial yang sebelumnya telah mengkonstruksikan identitas Bali berdasarkan versi pemerintah kolonial dan pakar orientalis Eropa bekerja sama dengan golongan triwangsa dengan dalih menjaga identitas kultural Bali dari serangan luar (khususnya pengaruh Islam dan Nasrani). Dan bila ditarik belakang lagi, di masa kerajaan pasca berkuasanya Majapahit atas Bali, konstruksi identitas wangsa yang melahirkan sistem kasta ala Bali (tepatnya ala Majapahit) telah dilakukan oleh bangsawan-bangsawan Majapahit yang berasal dari Jawa Timur, di mana salah satunya menjaga eksistensi identitas Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan Hindu-Budha yang masih eksis pasca takluk oleh Kerajaan Islam Demak. Alasan ketiga, dengan adanya dua identitas yang berbeda dengan pusat yang sama tapi berbeda patron, menyebabkan identitas yang seolah-olah mapan ini melahirkan sebuah konflik (pertentangan) lama, yang sebenarnya sudah terjadi di Bali, yaitu pertentangan antar warga, modernisme Hindu versus tradisionalisme Hindu Bali (kesatuan adat dan agama). Dengan kata lain, terjadi pola konflik atau pertentangan identitas yang hampir sama dengan yang terjadi di Bali, tapi dalam bentuk atau manifestasi yang berbeda, karena waktu dan tempatnya berbeda antara Bali dan Lampung. Alasan
195
keempat, kemapanan identitas itu semu karena kemapanannya didapatkan atas perlindungan dari sebuah rezim, Suharto, khususnya identitas orang Bali sebagai Hindu Dharma. Dalam kasus ini, unsur politik dan kekuasaan suatu rezim lebih dominan, untuk menjamin keberlangsungan kekuasaannya dari lawan politik yang menggunakan simbol-simbol identitas SARA. Periode Suharto adalah masa yang paling nyaman bagi komunitas Bali Nusa di Balinuraga (era 1970-an sampai sebelum dimulainya krisis ekonomi 1996/1997), meskipun di aras pusat, sejak berdirinya ICMI di awal tahun 1990-an merupakan akhir “bulan madu” antara PHDI dengan Suharto. Perekonomian mereka semakin mapan, salah satunya ditunjukkan dengan membeli tanah baru di luar Lampung Selatan, khususnya di daerah perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung Timur – salah satu cara meningkatkan pendapatan dengan memperluas areal pertanian. Hal ini disebabkan lahan pertanian di Balinuraga dan Lampung Selatan pada umumnya, sudah mulai habis dan mahal menurut ukuran harga tanah pertanian di Lampung Selatan (terutama setelah tahun 1990-an), sedangkan harga tanah di perbatasan propinsi relatif lebih murah dan masih luas. Dalam periode ini pula identitas kebalian mereka, khususnya identitas agama, relatif lebih aman. Syaratnya adalah mereka harus memilih Golkar saat pemilu diselenggarakan, meskipun bagi mereka sosok Sukarno masih menjadi idola – sama seperti orang Bali kebanyakan – dengan alasan karena ibu Sukarno adalah orang Bali. Kondisi demokrasi seperti ini menyebabkan komunitas ini menjadi malas dengan urusan politik, dan menjadi lebih pragmatis: tetap tingkatkan kesejahteraan ekonomi di sektor pertanian. Namun, bukan berarti pertentangan identitas warga sudah selesai, justru sebaliknya, pertentangan identitas warga itu terus berlangsung, tapi dalam manifestasi yang berbeda dan cenderung pragmatis-materialistik, yaitu dengan berlomba-lomba merenovasi pura keluarga dan pura kawitan warga agar menjadi lebih baik dari yang warga lain; dan yang menghasilkan prestise lebih tinggi adalah dengan menyelenggarakan upacara ngaben secara besar-besaran, jika perlu mengundang pedanda (brahmana) dari Bali. Bentuk lainnya adalah dengan menjadikan pulang kampung sebagai agenda rutin tahunan untuk
196
melaksanakan kewajiban adatnya, terutama berhubungan dengan identitas warga-nya di tanah leluhur. Semakin sering agenda pulang kampung dilaksanakan, maka semakin tinggi prestise mereka sebagai warga tertentu. Prestise tersebut akan semakin tinggi jika mereka bisa pergi ke tempattempat suci agama Hindu yang ada di India. Ada di antara mereka yang beranggapan bahwa ke India sama seperti “Orang Islam naik Haji” atau “Naik Hajinya orang Bali” – merupakan dampak dari modernisasi Hindu yang berkiblat ke India. Rentang waktu 1970-an sampai sebelum krisis ekonomi 1996/1997 merupakan waktu yang ideal bagi proses pemapanan identitas yang dilakukan oleh komunitas Bali Nusa. Hal ini disebabkan karena, pertama, perekonomian mereka semakin membaik. Hasil panen dan harga jual panen relatif lebih stabil. Meskipun gagal panen pernah dialami di masa-masa ini, tapi secara umum tidak mengganggu perekonomian mereka. Kebijakan pemerintah pusat yang berambisi berswasembada beras, berdampak positif terhadap komunitas ini, karena daerah Lampung Selatan bersama-sama daerah transmigran lainnya di Lampung dijadikan sebagai salah satu lumbung beras di level propinsi. Mereka menyebutkan masa Suharto adalah masa yang paling nyaman dalam hidup mereka sebagai transmigran: situasi politik, ekonomi, dan keamanan menjadi lebih stabil. Ini menyebabkan mereka menjadi lebih tenang dan nyaman ketika bekerja, di samping menjadikan mereka apolitis, dan harga-harga barang (khususnya sembako) sangat terjangkau. Mereka menyebutkan: “Zaman Suharto cari uang paling gampang. Apa-apa murah. Jadinya kalo mau ke Bali kapan aja gak begitu masalah”. Kedua, perlakukan istimewa pemerintah pusat terhadap Bali sebagai daerah wisata dan lumbung devisa negara, ternyata memberikan efek terhadap pemerintah daerah bagaimana memperlakukan komunitas Bali transmigran ini seperti pemerintah pusat memperlakukan Bali sebagai daerah wisata, sebuah komunitas yang harus dijaga identitas budayanya agar tetap lestari. Caranya: (1) menjadikan kebudayaan Bali sebagai salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat Lampung; (2) memfasilitasi komunitas Bali untuk mempertunjukkan kebudayaan mereka kepada masyarakat Lampung lebih luas. Misalnya, kasus yang paling sering terjadi di kabupaten Lampung Selatan adalah
197
dengan mengundang komunitas Bali untuk mementaskan keseniannya dalam acara-acara formalnya di level kecamatan dan kabupaten. Pementasan biasanya dilakukan bersama-sama dengan pementasan senibudaya dari masyarakat Lampung asli. Ketika keadaan ekonomi relatif stabil “cari uang gampang” dan kebudayaan Bali mendapatkan tempat di pemerintah daerah tingkat kabupaten dan kecamatan, maka terbuka kesempatan bagi mereka untuk melakukan “peniruan identitas” melalui produk-produk kesenian asli Bali dan simbol-simbolnya. Tujuannya adalah agar komunitas ini menjadi semakin mendekati kebalian meskipun sudah berada di luar Bali. Proses peniruan identitas terhadap tempat asal identitas ini berasal tentu akan sulit tercapai jika tidak didukung oleh kondisi perekonomian yang baik dan dukungan dari kekuasaan (pemerintah daerah sebagai kaki tangan pemerintah pusat). Agar semakin menjadi Bali, maka mereka harus secara rutin pulang kampung, selain untuk menunaikan kewajiban adat dan agama, kesempatan ini digunakan untuk “mengimpor” kebudayaan Bali – tentunya , kegiatan pulang kampung secara rutin tidak dapat dilakukan jika kondisi perekonomiannya tidak baik. Dengan kata lain, mereka ingin benar-benar menjadi Bali, sama seperti Bali pada umumnya yang ada di Bali. Ada banyak yang diimpor oleh komunitas ini agar sama seperti Bali. Antara lain sebagai contoh, udeng, kain Bali yang dikenakan saat upacara, dupa, lukisan, patung, arit Bali, kalender, sapi Bali, dan lain-lain. Tidak hanya benda-benda ini saja yang diimpor oleh mereka, tapi juga tata cara ketika melakukan upacara atau ritual tertentu. Oleh karena itu, ketika melihat komunitas ini melakukan kesehariannya, termasuk dalam upacara-upacara tertentu, komunitas ini tampak mirip seperti yang ada di Bali. Letak perbedaannya yang paling signifikan hanya pada tempat dan waktu. Meskipun dalam perkembangan waktu, ada beberapa di antara mereka yang melihat pengimporan atribut-atribut Bali ini sebagai peluang bisnis, dengan menjadi pedagang, namun tetap saja membeli sendiri ketika pulang kampung ke Bali menjadikan nilainya lebih berharga daripada membelinya di Lampung (meskipun barang-barang tersebut juga berasal dari Bali). Fenomena peniruan identitas ini tetap berlangsung sampai sekarang. Ini menunjukkan bahwa proses pemapanan identitas tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pusat (Bali) sebagai acuan identitas mereka sebagai Bali Hindu. Lalu, kemapanan identitas ini dapat
198
dikatakan semu karena identitas Bali Hindu itu dinamis, yang ditunjukkan dalam kedinamisan masyarakatnya, sama seperti komunitas Bali Nusa di Lampung Selatan. Artinya, identitas yang ditiru terus mengalami perubahan, sama seperti masyarakat Bali yang di Bali terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan zaman – baik itu pengaruh dari globalisasi maupun pengaruh politik-ekonomi-sosial di aras nasional. Selain itu dalam proses peniruan, tidak ada jaminan seratus persen sama persis seperti Bali, di mana di Bali sendiri pun mempunyai banyak variasi-variasi yang membedakan antara desa adat satu dengan yang lain, kecuali hal-hal lain yang sudah distandarisasikan oleh otoritas tertentu, seperti PHDI. Dalam proses peniruan dipastikan ada sesuatu yang hilang, karena ada proses penyesuaian secara kontekstual dengan waktu dan tempat komunitas ini sekarang menetap. Kemudian, dalam proses peniruan ini, umumnya dilakukan secara otoditak, karena sangat sulit bagi mereka untuk mengundang seorang master (ahli lukis, ahli tari, ahli pembuat pura, dan lain-lain) untuk mengajari mereka secara private. Berikut ini adalah contoh kasus yang umum dilakukan oleh pekerja seni di komunitas ini dalam proses peniruan dengan pusat: ketika pulang ke Bali mereka membeli kaset-kaset rekaman musik dan tari Bali (mulai dari bentuk atau format kaset sampai saat ini dalam format vcd/dvd), lukisan, dan ukir-ukiran, yang kemudian setelah sampai di Lampung mereka mempelajarinya secara otodidak dan memprakteknya, dan memberikan improvisasi. Dalam improvisasi ini ada penambahan dan juga ada pengurangan. Selain itu, ketika di Bali mereka gunakan kesempatan untuk mengunjungi galeri-galeri, pentas seni, dan ritualupacara tertentu yang dapat memberikan ide dan inspirasi bagi mereka setelah berada di Lampung. Bila tidak sempat ke Bali karena halangan tertentu, maka mereka akan memesan kepada saudara atau tetangganya yang ke Bali atau keluarga (dan teman) yang ada di Bali. Proses peniruan ini terus berlangsung, dan selalu ter-update tiap tahunnya, karena sampai saat ini dipastikan selalu ada masyarakat Balinuraga yang pulang ke Bali tiap tahunnya.
199
Gambar 11. Karya Ukiran Seniman Balinuraga (ukiran berbahan adukan semen-pasir, yang diukir ketika masih basah). (Sumber: Yulianto 2010)
200
Gambar 12. Seka Gong (seka gong sedang mentas). (Sumber: Yulianto, 2010)
201
Gambar 13. Pentas Tari Bali di Acara Formal (Penari berasal dari seka gong Balinuraga). (Sumber: Yulianto, 2010)
Contoh kasus kedua, yang terus berlaku sampai sekarang dan lebih diterapkan secara umum, adalah penggunaan salam om swastiastu dalam pengucapan sambutan acara formal keagamaan yang diakhiri dengan om shanti shanti shanti om, serta pengucapan doa pelafalan puja trisandya (doa Hindu). Penggunaan salam om swastiastu semakin meluas pasca reformasi, yaitu tidak hanya digunakan pada saat upacara formal, tapi juga
202
ketika bertamu atau pun bertemu dengan sesama rekan / kerabat lama, serta dalam pesan singkat (SMS). Realitas menarik yang terjadi di masa ini adalah mereka mendapatkan perhatian dari elit-elit dari Bali mengenai perkembangan kebudayaan Bali-nya, seperti mengadakan studi banding. Ada hubungan yang saling menguntukan dari kedua belah pihak ini: sama-sama ingin melestarikan kebudayaan Bali. Kemudian, ada keistimewaan khusus dari pemerintah daerah untuk komunitas untuk menyelenggarakan upacara adat-agama yang bersifat massal. Hal menarik yang masih terus berlanjut sampai sekarang, ada kesamaan dengan di Bali, ketika iring-iringan massa pergi ke tempat upacara diselenggarakan, sejumlah massa menumpang kendaraan bak terbuka dengan jumlah yang padat dan yang menaiki sepeda motor tidak menggunakan helm, cukup menggunakan udeng210. Artinya, ketika mereka sudah berbusana lengkap Bali dan mengerahkan massa, mereka mendapatkan perlakuan istimewa dari pihak berwajib. Tentu, hal ini tidak dapat ditolerir jika mereka tidak mengenakan busana adat Bali atau tidak sedang mengadakan upacara penting bersifat massal. Keistimewaan ini (sejak era Suharto sampai sekarang), dalam mengekspresikan kebudayaannya secara massal, yang menyebabkan masyarakat Lampung mengidentikan etnis Bali di Lampung sebagai kelompok pendatang yang kompak. Kekompakkan secara massal yang dipentaskan ini, kemudian menjadikan komunitas Bali di Lampung disegani, dan memiliki posisi tawar kuat terhadap pemerintah agar terus mendapatkan keistimewaan (perlakuan khusus) dari pemerintah setempat ketika menyelenggarakan upacara adat-keagamaan. Hal penting yang menyebabkan mengapa mereka tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh pusat sebagai acuan identitasnya yang menyebabkan mereka melakukan peniruan adalah faktor psikologis. Secara psikologis mereka takut kehilangan identitasnya, atau takut eksistensi 210
Dari sudut pandang kepraktisan, sangat sulit untuk menggunakan udeng sambil memakai helm. Menjadi merepotkan jika sudah mengunakan busana lengkap (busana adat Bali), tanpa mengenakan udeng saat berkendara sepeda motor, melainkan mengenakan helm. Dikatakan mendapatkan perlakukan istimewa dalam even-even tertentu, karena menjadi bukan sebuah pelanggaran hukum jika itu dilakukan secara massal untuk penyelenggaraan upacara adat-keagamaan.
203
identitasnya terancam, jika mereka tidak selalu mengikuti perkembangan yang ada di Bali. Di satu sisi, mereka harus menyesuaikan identitasnya dengan masyarakat Lampung, di sisi yang lain, mereka takut eksistensi identitas Bali-nya tidak diakui karena tidak mengikuti perkembangan yang ada di Bali. Selain itu, mereka membutuhkan pengakuan dari Bali bahwa identitas mereka itu eksis, tidak banyak berbeda dengan yang ada di Bali. Secara psikologis pengakuan itu penting sekali untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka sebagai Bali Hindu, yang tetap memiliki banyak persamaan (dengan sedikit perbedaan) dengan di Bali.
Masa Politik Identitas Pasca jatuhnya Suharto tahun 1998 dan lahirnya era Otonomi Daerah tahun 1999 membawa satu perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan sosial-politik-kebudayaan-agama bagi komunitas Bali Nusa di Balinuraga yang masih terus berlangsung sampai sekarang, yaitu menjadikan identitas kebaliannya sebagai sarana atau modal politik bagi mereka untuk berpolitik praktis. Fenomena ini bersamaan dengan menguatnya politik kedaerahan masyarakat lokal – etnis Lampung asli – yang ingin mendapatkan posisi strategisnya di bidang pemerintahan dan politik di wilayah Lampung, yaitu dengan mengusung isu sentral putra daerah sebagai yang berhak mengatur wilayahnya211. Penyebabnya adalah putra daerah perannya selalu dimarginalkan di masa Orde Baru dengan tidak mendapatkan posisi strategis di pemerintahan, di mana posisi ini selalu ditempati oleh pendatang (etnis Jawa) yang berasal dari kalangan militer yang penunjukkannya bersifat top-down melalui Kementerian Dalam Negeri atas restu Suharto sebagai presiden. Identitas kebalian dapat dikatakan sebagai modal politik karena di dalam identitas kebalian terdapat sebuah massa yang besar dan kompak. Jika itu dapat dimobilisir oleh elitelit komunitas ini, maka massa (suara) bisa dijadikan sebagai tiket untuk duduk di kursi legislatif tingkat daerah, atau diuangkan (dijual) oleh 211
Fenomena “politik lokal” ini merebak luas di permukaan pasca jatuhnya Suharto dan kemunculan era Otonomi Daerah di Indonesia (1999). Untuk melihat gambaran umum politik lokal di Indonesia pada periode ini, lihat (bagian pengantar): Schulte Nordholt dan Van Klinken (edt.) 2007, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Buku Obor & KITLV-Jakarta.
204
sekelompok elit kepada para calon bupati dan calon legislatif ketika berkampanye. Bagi para calon bupati dan calon legislatif, mereka akan rela menggelontorkan sejumlah uang tunai bagi para elit komunitas ini, karena mereka tahu persis bahwa komunitas Bali pada umumnya (termasuk Bali Nusa) massanya dapat diarahkan oleh elit-elit (sesepuh atau tokoh masyarakat) dengan mengusung identitas Bali Hindu. Bila dibandingkan dengan komunitas etnis lain, komunitas Bali merupakan komunitas etnis yang paling mudah dikumpulkan atau dikerahkan. Artinya, tanpa dikomando komunitas ini pasti akan berkumpul secara massal di suatu tempat tertentu dalam sebuah ritual atau upacara adat-keagamaan. Pada even ini, elit dari komunitas Bali bersama-sama dengan para calon bupati dan legislatif menyisipkan agenda kampanyenya masing-masing di selasela kegiatan adat-keagamaan tersebut. Supaya tidak menimbulkan kesan money politics, para calon ini biasanya memberikan sejumlah dana tunai atau pun fasilitas lainnya untuk melestarikan kebudayaan Bali, baik berupa sumbangan tunai untuk pura atau pun menyediakan fasilitas tertentu untuk kelancaran sebuah upacara atau ritual yang melibatkan massa yang besar, seperti mobil bak terbuka, snack, sound system, dan lain-lain. Menariknya, para calon ini ketika sedang berkampanye di dalam komunitas ini selalu mengenakan busana adat Bali, dan ikut serta dalam upacara yang diadakan, di mana sebagai penghargaan atas kehadiran para calon ini disuguhkan berupa musik dan tarian Bali212. Contoh lainnya adalah dengan 212
Ketika mengadakan penelitian di bulan Maret 2010, penulis mendapatkan beberapa kesempatan mengikuti beberapa upacara penting yang melibatkan massa: pertama, massa skala kecamatan dan kabupaten; kedua, massa skala banjar (dusun). Momen ini digunakan oleh beberapa calon bupati yang berbeda untuk mengikuti upacara tersebut. Alasannya adalah untuk silaturahmi untuk mempererat persaudaraan sebagai masyarakat Lampung. Namun, tanpa perlu disebutkan oleh para calon bupati, masyarakat sudah mengetahui bahwa calon tersebut sebenarnya sedang berkampanye. Masyarakat yang sudah jenuh dan bosan dengan model kampanye seperti ini, biasanya acuh tak acuh, dan tetap fokus pada kegiatan upacara. Seandainya mereka tetap ada di tempat upacara saat calon bupati mengucapkan kata sambutan, itu lebih disebabkan karena kata sambutan itu diucapkan sebelum upacara diselenggarakan, di mana massa telah berkumpul semua. Ketika upacara selesai yang ditutup dengan serah terima bantuan dari para calon, massa tetap hadir dan menyaksikan momen tersebut dikarenakan telah mendapatkan himbauan dari para sesepuh dan pemuka agamanya. Ini merupakan
205
membagikan Kalender Bali yang dibagian bawahnya terdapat foto dari calon bupati, di mana biasanya dibagian bawah kalender berisikan sponsor dari perusahaan tertentu. Tujuannya sangat jelas, untuk menarik simpati dari para pemilihnya yang berasal dari komunitas Bali Hindu. Massa pasti akan berkumpul saat diadakan upacara, karena itu para calon memanfaatkannya dengan mengikuti upacara tersebut dengan menggunakan busana adat Bali. Secara ekonomi, para calon ini sudah mendapatkan keuntungan, karena tidak perlu menggunakan uang ekstra untuk mengumpulkan massa, seperti yang sering mereka keluarkan ketika menggumpulkan massa dari kalangan etnis dan komunitas lainnya di massa kampanye. Saat pemilihan langsung sedang hangat-hangatnya, baik pemilihan legislatif maupun kepala daerah, metode ini cukup menarik simpati komunitas Bali Nusa. Namun, simpati tersebut tidak berlangsung lama, karena kesadaran politik mereka semakin menguat. Oleh karena itu, setiap kali memberikan sambutan kepada setiap calon legislatif atau pun bupati yang berkampanye di komunitas ini, salah seorang sepuh yang selalu memberikan sambutan selalu berkata:
“ Saya sebagai perwakilan orang Bali di sini mendukung saudara “X” sebagai “Z”, tapi biarlah masyarakat di sini yang memilih siapa yang terbaik dari setiap calon.”
Kemudian, sebagai respon atas “money politics” yang dilancarkan kepada setiap calon, salah seorang sepuh menjelaskan kepada penulis: “Jika mereka ingin menyumbang (memberikan uang) untuk (kas, renovasi atau pembangunan) pura, ya, kita terima. Yang penting (saya) sebagai perwakilan (orang Bali Nusa di Banjar X) sudah
sebuah strategi dari event organizer yang dimainkan oleh para elit politik yang ada di komunitas tersebut agar jumlah massa tidak berkurang. Sebelum mengikuti upacara, para calon ini biasanya sudah dibekali oleh para elit komuntias ini dengan busana adat Bali dan dilatih selama beberapa menit agar bisa mengucapkan dengan baik dan benar “Om Swastiastu” dan “Om Shanti Shanti Shanti”. Terkadang ini menjadi bahan tertawaan bagi massa begitu mereka mendengar pengucapan salam tersebut dalam pelafalan yang salah.
206
menyatakan posisi netral (seperti pernyataan di atas).”
Jadi, periode ini (pasca jatuhnya Suharto) disebut sebagai masa “politik identitas” karena pada masa ini mereka sudah menggunakan identitasnya – melalui simbol etnisitas, budaya dan agama – untuk kepentingan politik praktis sebagai respon atas perubahan politik di era reformasi, dan sebagai upaya menunjukkan eksistensi identitas mereka sebagai Bali Hindu – ingin mempunyai wakilnya di legislatif – di tengah-tengah dominasi putra daerah. Di era reformasi mereka mendapatkan kesempatan yang luas untuk terjun ke dunia politik. Sebuah kesempatan yang tidak mereka dapatkan dengan mudah di masa Suharto. Jika di masa Suharto, Balinuraga menjadi “kuning” (Golkar), maka di era reformasi menjadi lebih berwarna dengan warna dominan: “kuning” (Golkar), “merah” (PDI-P), dan “biru” (Demokrat). Seperti mayoritas etnis Bali lainnya, komunitas Balinuraga lebih condong ke partai politik yang berhaluan nasionalis. Partai politik yang berhaluan agama (Islam) bukan menjadi pilihan mereka.
Gambar 14. Salah Satu Kantor Pimpinan Partai Politik Tingkat Kecamatan di Balinuraga (sumber: Yulianto, 2009)
207
Gambar 15. Kalender Bali di Lampung (kalender pertama sebelah kiri: Kalender Bali biasa dengan pesan sponsor di bawahnya; kelender kedua sebelah kanan: Kalender Bali di masa kampanye dengan pesan sponsor calon kepala daerah). (Sumber: Yulianto, 2009 & 2010)
208
Gambar 16. Pesan Sponsor di Bawah Kalender Bali (gambar pertama atas: pesan sponsor perusahaan swasta di Lampung di bagian bawah Kalender Bali; gambar kedua bawah: pesan sponsor calon kepala daerah Lampung Selatan di bagian bawah Kalender Bali). Sumber: Yulianto, 2009 & 2010.
Sebuah realitas baru di era reformasi yang terjadi di komunitas Balinuraga bersama-sama komunitas Bali Hindu lainnya adalah terjadinya penguatan identitas etnis dan agama. Penguatan identitas ini, yang disertai dengan keterlibatan aktif (elit-elit komunitas Bali Hindu yang tersebar di Lampung Selatan, termasuk di Balinuraga) dalam politik praktis merupakan sebuah respon atas kekhawatiran yang dapat mengancam eksistensi identitas mereka, karena menguatnya politik berbasis identitas etnis yang mengusung putra daerah dalam memperebutkan kekuasaan di tingkat lokal. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah elit-elit ini bisa mendapatkan suara yang tinggi di dalam komunitasnya sendiri, yang menjadi basis utama perolehan suara bagi elit yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di tingkat kabupaten. Jika memperhatikan pertentangan identitas warga yang terjadi di dalam komunitas ini, maka bukan hal yang mengejutkan bila elit yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif mendapatkan suara yang minor di dalam komunitasnya. Penulis mencermati adanya win-winsolution untuk mengatasi pertentangan identitas warga. Artinya, mereka lebih memilih calon legislatif dari komunitas lainnya (non-Bali), atau warga lain dari Kampung Bali tetangga yang berasal dari warga yang
209
sama. Opsi pertama, dengan memilih calon legislatif non-Bali sepertinya menjadi opsi yang utama bagi mereka, supaya sentimen antar warga itu tidak terlalu tampak di permukaan. Dengan kata lain, lebih baik memilih orang lain, daripada memilih orang sendiri. Hal ini disebabkan, calon legislatif yang berasal dari komunitas Bali, cara paling mudah dan pasti untuk memperoleh suara adalah dengan mengambil suara dari warga-nya. Hal ini juga dilakukan oleh warga lain yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Tentu, dalam kampanyenya sentimen atau isu identitas warga (leluhur) akan digunakan sebagai media kampanye untuk memperoleh suara. Jika ada masing-masing warga mempunyai calon sendiri, maka pertentangan ini menjadi semakin tampak saat kampanye – sistem multipartai memungkin setiap warga untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, dan menjadi anggota legislatif sebagai salah satu alternatif pekerjaan yang menjanjikan. Oleh karena itu, lebih baik memilih orang lain (non-Bali) menjadi alternatif yang lebih baik, daripada akhirnya menimbulkan perasaan tidak enak antara satu dengan yang lainnya. Bagi anggota komunitas yang masih konservatif, mereka pasti akan memilih calon yang berasal dari warga-nya sendiri, daripada calon dari warga lain. Ada kontrakdiksi antara kekhawatiran menguatnya identitas putra daerah dengan keterwakilan mereka di legislatif – hal ini pula yang menyebabkan “pilih orang lain” daripada “orang sendiri” dan jumlah suara yang minor di dalam komunitasnya sendiri. Hal ini disebabkan adanya pandangan yang moderat dari sebagian masyarakat Balinuraga (dan juga pragmatis) bahwa dengan memilih calon legislatif atau pun calon kepala daerah yang berasal dari putra daerah sebenarnya identitas mereka sudah terwakilkan melalui calon itu ketika terpilih. Kalangan moderat ini berpandangan agar putra daerah diberikan kesempatan untuk memimpin selama masih memberikan perhatian yang serius masyarakat Bali Lampung sebagai bagian dari masyarakat Lampung. Selain itu, mereka menyadari posisinya sebagai minoritas dan pendatang, karenanya masalah jika harus mengalah asalkan identitas mereka tidak diganggu atau disakiti. Hubungan putra daerah dan masyarakat Bali (melalui elit-elitnya) terbilang baik. Keduanya saling menjaga hubungan baik agar tidak terjadi konflik yang dulu pernah terjadi di antara kedua etnis ini. Bagi putra daerah yang mendapatkan dukungan suara paling banyak dari masyarakat Bali menjadikannya memiliki
210
kepercayaan diri ekstra, dan biasanya masyarakat Bali memilih salah seorang calon dalam jumlah yang cukup besar (kompak), namun juga menjadi lebih berhati-hati agar jangan sampai janjinya selama kampanye untuk masyarakat Bali tidak dipenuhi – dukungan suara yang besar juga merupakan sebuah ancaman untuk mewakilkan komunitas mereka, agar jangan mempermainkan kepercayaan mereka.
Gambar 17. Keterlibatan Bupati Incumbent (Putra Daerah) dalam Upacara Melasti sebagai Media Kampanye Kepala Daerah (gambar pertama atas: ada spanduk bupati incumbent; gambar kedua bawah: para sesepuh Bali, perwakilan PHDI dan Depag, bupati incumbent dan staffnya). (Sumber: Yulianto, 2010)
211
Di bagian sebelumnya telah diuraikan bagaimana komunitas ini melakukan proses peniruan terhadap pusat atau Bali sebagai patron identitasnya. Artinya, apa yang saat ini menjadi tren di Bali juga menjadi tren bagi komunitas Bali yang ada di luar Bali. Contoh kasus yang sangat relevan untuk diuraikan di sini adalah wacana dan implementasi Ajeg Bali. Berkembang luasnya wacana Ajeg Bali di pusat ternyata mendapatkan perhatian yang serius bagi komunitas Bali di Lampung Selatan, di mana wacana dan implementasinya dilakukan secara bersama-sama antara Balinuraga dan Kampung Bali lainnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kekhawatiran akan tergerusnya identitas kebalian tidak hanya menjadi milik masyarakat Bali yang diwakili oleh elit-elitnya, tapi juga menjadi kekhawatiran masyarakat Bali di luar Bali, dalam kasus ini masyarakat Bali di Lampung Selatan yang diwakili oleh elit-elitnya yang ada di setiap komunitas yang memiliki massa besar – Balinuraga merupakan salah satu komunitas Bali Hindu dengan jumlah massa yang besar, karena satu desa ini mayoritas orang Bali Hindu (Bali Nusa) dengan memiliki tujuh banjar atau dusun. Wacana Ajeg Bali bagi masyarakat Bali di perantauan ini dinilai sangat relevan karena kedudukannya sebagai minoritas, komunitas mereka terpecah-pecah dan tersebar di Kampung Bali-Kampung Bali yang ada di beberapa kecamatan di Lampung Selatan. Kecuali Balinuraga yang level komunitasnya merupakan desa, Kampung Bali lainnya – karena tersebar di berbagai desa dan kecamatan, kedudukan komunitasnya yang eksklusif ini rata-rata hanya selevel banjar atau dusun. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana wacana Ajeg Bali ini diimplementasikan oleh komunitas Bali Hindu perantauan di Lampung Selatan yang merupakan sebuah adaptasi dari implementasi Ajeg Bali yang terjadi di Bali? Sebelum menjawab adaptasi implementasi Ajeg Bali di Lampung Selatan, penulis akan uraikan secara singkat lahirnya “Pecalang” (polisi adat / traditional police) yang berkembang di Bali sebagai salah satu implementasi dari wacana Ajeg Bali. Di Bali sendiri, kehadiran pecalang mulai menunjukkan eksistensi dan perannya sebagai satuan pasukan polisi adat – seperti menggantikan peran polisi negara yang dianggap absen – yang diakui oleh pemerintah daerah sejak diterbikannya Perda No. 3/2001, bahwa pecalang diakui sebagai satuan tugas keamanan
212
tradisional, khususnya untuk keperluan adat dan keagamaan213. Setelah sebelumnya di bulan Juli 2000 departemen kebudayaan propinsi menyelenggarakan sebuah seminar untuk menciptakan keseragaman bagi satuan polisi adat tersebut, dan di tahun 2002 sebuah booklet diterbitkan bekerja sama dengan Parisada yang menjelaskan tugas-tugas, fungsifungsi, dan seragam pecalang214. Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan memberikan contoh kasus dari lahirnya pecalang atau satuan polisi adat dalam komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan. Penulis sangat terkejut ketika menyaksikan satuan polisi adat atau pecalang menjalankan tugasnya pada saat diselenggarakan sebuah acara formal (Musyawarah Daerah / Musda) yang diadakan sebuah organisasi kemasyarakatan Paguyuban Bali Peduli Lampung Selatan (Pargali) sembari diadakan sebuah acara perkenalan DANDIM (Komandan Komando Distrik Militer) baru di Lampung Selatan dan sambutan dari perwakilan Bupati Lampung Selatan (Oktober 2009); dan saat diselenggarakannya Upacara Melasti di sebuah pantai terkenal di Lampung Selatan (Pantai Merak Belantung) Maret 2010. Ketika acara tersebut berlangsung, pecalang menjalankan tugasnya sebagai satuan keamanan untuk keperluan adat dan agama. Karena itu, ketika acara ini berlangsung, penulis tidak menemukan hansip (pertahanan sipil) atau pun polisi. Peran polisi yang penulis temukan waktu itu adalah hanya mengatur lalu lintas ketika iring-iringan massa hendak menuju ke pantai untuk melaksanakan Upacara Melasti, sisanya diambil-alih oleh pecalang, seperti menjaga keamanan di lokasi acara, mengatur parkir, sampai menjual dan memungut tiket masuk ke areal upacara yang sebenarnya merupakan areal wisata. Sama seperti pecalang di Bali, pecalang di Lampung Selatan ini memiliki seragam sebagai identitasnya, bahwa mereka resmi dan diakui keberadaannya sebagai satuan pengamanan untuk keperluan adat dan keagamaan yang secara kelembagaan formal berada di bawah pengawasan PHDI dan berinduk di bawah organisasi kemasyarakat Pargali Lampung
213
Lihat: Schulte Nordholt 2007, Bali an Open Fortress 1995-2005, Singapore:
Nus Press. dan Schulte Nordholt 2007 “Bali: Sebuah Benteng Terbuka”dalam politik lokal di Indonesia, Jakarta: Buku Obor & KITLV-Jakarta. 214 Op.cit. Schulte Nordholt 2007.
213
Selatan. Sama seperti pecalang di Bali, pecalang di Lampung Selatan menggunakan sebuah jaket yang seragam (sejenis rompi), destar, udeng, dan handy-talky, di mana terdapat beberapa penyesuaian dalam seragam yang digunakan – dengan menggunakan seragam resmi, udeng, dan destar sebenarnya mereka sudah menunjukkan bahwa mereka adalah pecalang. Pembedanya terletak pada logo yang terletak di sebuah jaket safari (motifnya loreng-loreng seperti milik militer) yang menandakan bahwa mereka ada “Pecalang Lampung”, yaitu dengan menempatkan logo khas Lampung “Siger” di atas logo “Swastika” dan nama organisasi di mana pecalang itu bernaung “Pargali Lam-Sel”. Logo “Siger” yang berada paling atas di sebelah kiri seragam menunjukkan identitas “Lampung”; logo “Swastika” menunjukkan identitas sebagai “Bali-Hindu”; tulisan “Pargali Lam-Sel” yang berada di bawah logo “Swastika” menunjukkan identitas organisasi kemasyarakatan di mana pecalang itu bernaung; sedangkan di sebelah kanan terdapat tulisan “PECALANG” yang menunjukkan identitasnya sebagai “pecalang”. Mereka yang direkrut menjadi pecalang harus merupakan seorang Bali Hindu yang bermungkim di Lampung Selatan. Biasanya yang direkrut menjadi pecalang adalah anak-anak muda atau tokoh muda yang memiliki pengaruh di dalam komunitasnya (di antara mereka terdapat tokoh muda dari Balinuraga), di mana mereka memiliki fisik yang bagus (cukup kekar), wajah yang meyakinkan (ada kesan garang), dan berani215.
215
Bisa dipahami bila perekrutan tokoh pemuda menjadi pecalang sebagai upaya mengalihkan mereka dari kegiatan yang negatif, seperti premanisme. Dengan diangkat menjadi pecalang, sebagai satuan pengamanan upacara adat dan keagamaan, memberikan mereka beban moral tersendiri untuk melakukan hal-hal yang aneh. Karena identitas yang melekat dalam pecalang adalah sebagai penjaga identitas adat dan agama. Namun, bukan tidak mungkin (dan bila nanti), hadirnya pecalang ini berpotensi menimbulkan kekerasan fisik jika terjadi kesalahpahaman yang menyinggung identitas adat dan agama mereka. Sebagai polisi adat yang resmi, tentu mereka akan langsung turun tangan (secara fisik) jika terjadi kesalahpahaman tersebut.
214
Gambar 18. Pecalang Bertugas Menjaga Keamanan Upacara Melasti dan Seragam Resmi Pecalang (sumber: Yulianto 2010).
Hadirnya pecalang di komunitas Bali Hindu Lampung Selatan tidak dapat dilepaskan dari berdirinya organisasi kemasyarakatan Pargali (Paguyuban Bali Peduli) Lampung Selatan pada 10 April 2004216. Melalui 216
Huruf “R” dalam singkatan PA-R-GALI (Paguyuban Bali Peduli) Lampung Selatan merupakan bentuk terima kasih kepada Bupati Lampung Selatan – yang huruf terakhir dalam namanya adalah huruf “r” – atas partisipasi dan dukungannya (dorongan moril dan pendanaan) hingga terbentuknya organisasi ini. Sehingga, Paguyuban Bali Peduli yang tadinya disingkat PAGALI, disisipkan huruf “R” menjadi PARGALI. Meskipun dalam anggaran dasar menyebutkan bahwa organisasi ini tidak terlibat dalam urusan politik praktis atau pun berafiliasi dengan partai politik tertentu, namun patut diduga bahwa bupati tersebut memanfaatkan kesempatannya sebagai incumbent untuk mempersiapkan agenda politik yang
215
organisasi formal ini, Pargali, pecalang versi Bali Lampung dicetuskan. Artinya, setelah keberadaan pecalang di Bali mulai eksis dan mapan, menurut pandangan mereka sejauh ini tidak ada masalah yang menganggu dengan kehadiran pecalang di Bali, maka berdasarkan situasi dan kondisi perkembangan umat (Bali Hindu di Lampung Selatan) kehadiran pecalang juga dibutuhkan sebagai satuan pengamanan adat dan keagamaan (polisi adat). Mereka merasa perlu memiliki pecalang karena komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan sudah besar. Dalam penyelenggaran upacara adat dan keagamaan yang bersifat massal, tentu tidak dapat sepenuhnya dapat diatasi oleh polisi setempat, karenanya dibutuhkan satuan pengamanan (pecalang) yang menggantikan peranan polisi. Selain dikarenakan polisi setempat bukan merupakan orang Bali yang tentunya tidak mengerti tentang prosesi upacara adat dan keagamaan yang berlaku pada orang Bali. Kehadiran pecalang merupakan bentuk bagaimana mereka melindungi identitasnya sebagai Bali Hindu, yang idealnya harus dilindungi oleh satuan pengamanan adat sendiri. Sampai saat ini, jumlah pecalang mencapai puluhan, dan bukan tidak mungkin jumlahnya akan terus bertambah seiring dengan kebutuhan umat. Namun, pecalang bukan merupakan sebuah profesi atau pekerjaan tetap, tapi memiliki prestise atau status sosial yang tinggi di kalangan komunitas mereka217. Tenaga mereka dibutuhkan saat diselenggarakan upacara formal adat dan keagamaan yang lebih besar: menarik simpati orang Bali di Lampung Selatan sebagai bekal pencalonannya sebagai gubernur Lampung tahun 2008 (empat tahun setelah organisasi ini terbentuk). Sebagai politisi berpengalaman, bupati ini mengetahui bahwa dengan dibentuknya organisasi kemasyarakatan yang mewadahi orang Bali di Lampung Selatan, maka diharapkan jumlah suara orang Bali di Lampung Selatan dapat dialihkan ke bupati saat pencalonan dirinya menjadi gubernur – keberadaan elit-elit Bali Lampung Selatan dipercayai dapat memobilisir suara, karena pengaruhnya di dalam komunitas Bali. Bagi elit-elit Bali Lampung Selatan pun, kesempatan ini dimanfaatkan untuk meningkatkan posisi tawarnya secara politik agar dapat menjaga dan melestarikan eksistensi identitasnya – memfasilitasi dan tidak mempersulit kegiatan atau upacara adat dan keagamaan yang bersifat massal – tidak hanya kepada incumbent, tapi juga (nantinya) kepada calon-calon kepala daerah lain dalam pemilihan langsung berikutnya. 217 Bagi yang masih single (belum menikah) menjadi pecalang dapat menarik simpati lawan jenisnya. Ini dikarenakan sosok seorang pecalang sebagai pria yang jantan, memiliki kesan garang, dan berani.
216
melibatkan massa, di samping acara formal yang bersifat kelembagaan di mana menghadirkan pejabat-pejabat daerah di lingkungan kabupaten dan propinsi yang bekerja sama dengan PHDI. Jika dilihat dari posisi pecalang sebagai satgas (satuan tugas) dari organisasi kemasyarakatan Pargali Lampung Selatan, sebenarnya pecalang menyerupai satgas-satgas seperti organisasi Pemuda Pancasila yang cukup populer di Lampung – sebagai organisasi pemuda yang sangat lekat dengan premanisme. Pembedanya hanya lingkup tugasnya yang terbatas pada komunitas Bali Hindu Lampung Selatan. Dari sisi Pargali Lampung Selatan sendiri, menarik untuk dicermati mengenai perannya sebagai organisasi kemasyarakatan yang non-partisan (bukan partai). Dalam anggaran dasarnya dengan jelas disebutkan bahwa organisasi ini tidak terlibat dalam urusan politik praktis dan tidak bergabung dengan partai apa pun. Tapi dalam kenyataannya, sebagai sebuah organisasi masyarakat bagi komunitas Bali Hindu, organisasi ini memiliki posisi tawar yang sangat kuat di arena politik praktis. Alasan utamanya adalah organisasi ini memiliki massa yang jelas dan kompak, yaitu komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan. Meskipun di dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas posisi mereka yang tidak berpolitik praktis, namun dimungkinkan (atau terjadi secara diam-diam) deal-deal politik dengan partai politik tertentu atau caloncalon legislatif / kepala daerah tertentu yang dilakukan oleh elit organisasi ini. Pemilihan legislatif dan kepala daerah yang diselenggarakan secara langsung, dipastikan akan menjadikan organisasi kemasyarakatan ini sebagai salah satu rujukan untuk menghimpun suara dari kalangan komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan. Bukan tidak mungkin, jika elit dari organisasi ini memerima kunjungan dari para calon legislatif atau kepala daerah, atau mengunjungi para calon dengan mengajuka sebuah tawaran politik dengan “modal politik” yang dimiliki (jumlah suara atau massa pemilih), di mana dalam setiap pertemuan terdapat sejumlah dana segar agar organisasi ini menggunakan otoritasnya untuk mengarahkan komunitasnya kepada salah satu calon tertentu. Kehadiran organisasi tidak serta merta mendapatkan tanggapan positif dari anggota komunitasnya, meskipun bagi anggota komunitas terbuka kesempatan yang luas untuk mejadi anggota organisasi ini. Serangkaian pemilihan umum sejak tahun 1999 yang melibatkan elit-elit lokal, membuat anggota komunitas Bali
217
Hindu jenuh dengan urusan politik. Meskipun mereka sudah mendapatkan informasi bahwa organisasi ini tidak terlibat dalam urusan politik, tapi masyarakat yang sudah mulai “melek politik” tahu bahwa ujung-ujung-nya akan ke poltik dan bermuara pada uang. Masyarakat juga mengetahui ada dan siapa dari elit yang menduduki posisi strategis di dalam organisasi ini, termasuk berasal dari warga apa. Karenanya, untuk di lingkungan masyarakat Balinuraga, kehadiran organisasi ini dianggap biasa-biasa saja, terutama setelah di pemilihan 2009 yang menjadi ketua dari organisasi ini berasal dari Balinuraga yang sepak terjangnya di dunia politik sudah mereka ketahui dengan jelas: sebagai calon legislatif yang pernah mengalami kegagalan dua kali, dan praktek-praktek politiknya yang kotor. Masyarakat pun mengetahui bahwa di bawah kepemimpinan yang baru, berdasarkan track record politik praktisnya, bahwa organisasi ini akan dijadikan sebagai kendaraan politiknya untuk menghimpun massa pada pemilihan legislatif berikutnya. Sebagai catatan, dalam komunitas Balinuraga, semua informasi atau pun gosip mengenai elit-elitnya sudah menjadi bahan pembicaraan. Karena itu, jika elit tersebut melakukan kesalahan, maka ia akan menjadi bahan pembicaraan masyarakat, dan tentu konsekuensinya, ia tidak akan dipilih jika mencalonkan diri sebagai kepala desa, legislatif, atau pun mengusung calon legislatif atau kepala daerah tertentu agar dipilih oleh masyarakat dengan mengatas-namakan komunitas Balinuraga. Sentimen ini akan semakin menguat apabila elit itu berasal dari warga tertentu yang mana memiliki pertentangan dengan warga lain. Ini yang menyebabkan win-win-solution sering digunakan oleh mereka: mengalihkan suara ke orang lain di luar komunitasnya, memilih calon dari warga lain yang posisinya netral, atau tidak memilih sama sekali. PDHI sebagai payung dari organisasi ini, sekali lagi, tetap memposisikan dirinya dalam posisi yang netral, seperti yang disampaikan oleh pejabat PHDI ketika memberikan sambutan dalam pembukaan Musda Pargali Lamsel (termasuk ikut serta dalam mengawasi proses pemilihan ketua yang baru dalam proses pemilihan melalui voting), bahwa PHDI merupakan sebuah organisasi yang mengurusi permasalahan umat Hindu Dharma (komunitas Hindu Bali di Lampung Selatan), dan karenanya tidak ikut terlibat (tapi hanya sebagai penengah/pengawas/wasit) dalam urusan
218
praktis organisasi masyarakat ini, selama memberikan manfaat bagi kehidupan umat. Sebagai catatan penutup, masyarakat Balinuraga (dan komunitas Bali Hindu lainnya), secara rutin mengamati fenomena-fenomena umum yang terjadi di Bali, khususnya wacana Ajeg Bali. Bagi mereka, Ajeg Bali bukan sekadar “membuat sama” seperti Ajeg Bali di Bali, tapi lebih pada realitas yang berkembang dalam komunitas mereka dan relasinya dengan komunitas lain sebagai minoritas etnis-agama dan pendatang. Bagi mereka ancaman eksternal (seperti globalisasi, konsumerisme, hedonisme, dan lain-lain) juga mereka alami dan rasakan dalam bentuk yang berbeda. Sebagai akibat dari respon terhadap ancaman eksternal tersebut terhadap eksistensi identitas mereka adalah munculnya kelompok yang “modernis” – yang berpandangan bahwa identitas kebaliannya harus fleksibel dengan perkembangan zaman – dan konservatif – yang berpandangan bahwa ketradisionalan Bali harus diperkuat untuk menghalangi ancaman eksternal.
Faktor-Faktor Pembentuk Identitas Berdasarkan uraian yang dipaparkan pada bagian (sub-bab) sebelumnya diketahui bahwa faktor patronase yang kuat terhadap pusat (Bali) dan faktor otoritas (kekuasaan) sebagai dua faktor dominan dalam pembentukan identitas mereka. Faktor lain, seperti ekonomi, menjadi signifikan pengaruhnya dalam pembentukkan identitas sebagai instrumen yang paling ideal dan praktis di masa sekarang untuk memanifestasikan kekuatan dan eksistensi identitasnya, yaitu identitas warga (klan, dadia, soroh) – dalam konteks yang lebih luas merupakan manifestasi identitas mereka sebagai jaba-wangsa (non-bangsawan, orang luar puri, atau sudra wangsa) yang sukses (powerfull) secara ekonomi di luar Bali218. 218
Untuk menghindari kesalahpahaman – seolah-olah menilai komunitas Bali lebih kaya dan sukses daripada komunitas lainnya – indikator yang penulis gunakan adalah berdasarkan “kesuksesan” menurut versi mereka (yang sebagian besar sudah berhasil mereka penuhi). Jadi, penulis tidak menggunakan indikator “kesuksesan” yang bersifat kapitalistik (kepemilikan modal-modal fisik atau pun uang tunai). Kriteria “kesuksesan” di level keluarga inti berdasarkan versi mereka adalah berhasil membangun pura keluarga (kahyangan tiga di rumah / rong telu)
219
Faktor Patronase terhadap Pusat: Identitas Warga (Kawitan) Salah satu hal yang (paling) ditakutkan etnis Bali setelah berada di luar Bali, berdasarkan kasus komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga, adalah hilangnya identitas mereka sebagai Bali Hindu, lebih spesifik, hilangnya identitas leluhurnya yang disebut warga (klan, soroh), di mana ini menjadi jati diri mereka sebagai seorang Bali Hindu. Ketakutan ini merupakan cerminan dari kuatnya ikatan kekerabatan berdasarkan garis dan memiliki rumah yang permanen. Ketika keduanya telah terpenuhi, maka mereka dapat dikatakan telah berhasil melepaskan diri dari ketergantungan terhadap orang tuanya (sudah mandiri). Jika memakai parameter kesuksesan kapitalistik, tentunya kedua ini tidak cukup sebagai indikator kesusksesan di level keluarga inti, karena selain kedua bangunan ini, mereka tentunya harus memiliki kendaraan bermotor (khususnya roda empat), barang elektronik, bangunan pura keluarga dan rumah yang luas, dan lain-lain. kriteria “kesuksesan” di level warga (klan, soroh) adalah bagaimana anggota-anggota warga “A” – yang terdiri dari keluarga inti dari warga “A” – berhasil membangun pura kawitan yang apik (besar, megah, dan artistik) di dalam sebuah griya (banjar), di mana pura kawitan tersebut dibangun. Kriteria “kesuksesan” di level adat (desa) adalah berhasil membangun pura Kahyangan tiga – sebagai perekat komunitas adat-keagamaan komunitas Balinuraga – yang juga tidak kalah apik-nya, di mana pura ini merupakan milik dari warga-warga yang menjadi kesatuan adat masyarakat Balinuraga. Ditambah dengan bangunan-bangunan lain yang artistik yang menjadi simbol komunitas ini seperti “tugu” yang terletak di tengah desa sebagai sentral (titik tengah) desa itu, bale desa, pura-pura di areal pertanian yang mana dalam waktu tertentu diselenggarakan upacara ruwatan hasil panen. Garis besar atau poin utama dari kriteria kesuksesan versi mereka adalah bebas dari ketergantungan ekonomi dari pihak lain (termasuk keluarga besar), atau mandiri, dan berhasil memenuhi kewajiban adat-keagamaan yang bersifat ajeg, khususnya ngaben (karena menghabiskan biaya yang besar, dan mengandung prestise dalam penyelenggaraannya yang bersifat besar-besaran). Sebagai catatan, kriteria di atas bersifat umum – seperti „standar kesuksesan minimum‟ versi mereka – dan bukan berarti sebagian di antara mereka tidak memiliki kriteria kesuksesan seperti yang umum digunakan dalam masyarakat industri seperti: tanah pertanian yang luas (minimal di atas dua hektar) yang tersebar di luar Desa Balinuraga, jumlah sapi yang mencapai puluhan hingga ratusan, mobil bak terbuka (sejenis truk), mesin dan tempat penggilingan padi, kendaraan bermotor (sepeda motor dan mobil), peralatan elektronik (komputer desktop, laptop, handphone kamera merek terkenal, dsb.), dan lain-lain. Akses terhadap pasar yang terbuka lebar, memungkinkan mereka untuk memiliki barang-barang yang disebutkan di atas.
220
leluhur yang membentuk identitas warga tersebut. Ada sebuah kewajiban yang bersifat adat-keagamaan yang harus mereka lakukan sebagai warga tertentu yang memiliki perbedaan dengan warga yang lain. Jika mereka tidak melakukannya (kewajiban sebagai seorang warga tertentu), maka (dipercaya) ada semacam sangsi niskala yang akan menimpa mereka (musibah atau malapetaka). Ketakutan berikutnya adalah jika mereka keliru dalam mengidentifikasikan identitas warga-nya. Artinya, mereka tidak dapat membuktikan secara jelas dan rinci apakah benar ia berasal dari leluhur (warga) yang selama ini mereka anggap sebagai leluhurnya. Hilang atau kelirunya identitas leluhur (kawitan) tentu akan menjadi permasalahan besar di dalam komunitasnya sebagai Bali Hindu. Akibatnya mereka dapat dianggap bukan sebagai orang Bali lagi, karena tidak memiliki identitas leluhur yang jelas219. Bagi masyarakat Bali, sudah sewajarnya jika seseorang mengaku sebagai orang Bali dapat menyebutkan identitas kawitan-nya. Berangkat dari titik inilah, yang menyebabkan mengapa komunitas transmigran Bali Nusa di masa-masa awal butuh untuk mengetahui identitas warga-nya dengan jelas. Mereka membutuhkan patron (individu atau pun lembaga formal sebuah warga tertentu) untuk melegitimasi keabsahan identitas warga mereka, di mana patron yang mereka percayai itu ada di Bali sebagai pusat (patron) identitasnya. Dikatakan “butuh” karena bermula dari ketakutan tersebut, bahwa akan ada malapetaka atau musibah yang akan menimpa mereka. Untuk benarbenar memastikan keabsahan identitas leluhurnya, mereka pun rela pulangpergi Lampung-Bali secara rutin, sampai legitimasi itu didapatkan. Legitimasi secara resmi tentu mereka dapatkan dari organisasi formal warga yang ada di Bali, meskipun sudah ada perwakilannya di Lampung, tapi bagi mereka yang (legitimasi) di Bali tetap lebih penting. Namun, 219
Bila seorang Bali telah berpindah kepercayaan atau keyakinan, maka mereka dianggap “bukan Bali” lagi. “Bukan Bali” yang dimaksudkan adalah “Bali Hindu”, dari sudut pandang etnisitas individu yang berpindah keyakinan tersebut tetap sebagai seorang etnis Bali, tapi bukan “Bali Hindu”. Hal ini disebabkan, begitu individu tersebut pindah keyakinan (tidak menjadi Hindu), maka secara otomatis kewajiban-kewajiban adat-agama yang selama ini menjadi atau melekat pada identitas mereka (termasuk identitas leluhur) akan hilang, dan hilangnya kewajiban-kewajiban tersebut menunjukkan bahwa individu tersebut “bukan Bali” lagi.
221
sebelum mendapatkan legitimasi tersebut, mereka harus mendapatkan bukti-bukti dari seseorang yang ahli dalam menelusuri dan menguasai silsilah keluarga dari warga tertentu, atau meminta bantuan dari seorang balian (paranormal / dukun Bali) untuk melacak kehidupan lampaunya agar dapat diketahui sebenarnya ia berasal dari warga atau leluhur mana. Bagi masyarakat awam (non-Bali) kegiatan pencarian identitas leluhur terkesan berbelit dan merepotkan, tapi tidak bagi mereka (komunitas Bali Nusa di Balinuraga). Ini merupakan sebagai sebuah konsekuensi yang harus mereka emban sebagai seorang Bali, di mana identitas warga menjadi sebuah sistem yang harus mereka ikuti aturan mainnya. Terlebih setelah keberadaan mereka di luar Bali. Mereka tidak ingin jika identitas leluhurnya dipertanyakan oleh pusat, dan mereka juga ingin diakui dan bergabung dalam sebuah komunitas besar dari warga-nya. Oleh karena itu, ketergantungan patronase terhadap pusat dalam proses pembentukan identitasnya setelah berada di luar Bali tidak dapat mereka lepaskan begitu saja, melainkan akan tetap melekat. Tidak hanya menyangkut legitimasi identitas warga-nya, tapi juga menyangkut kewajiban-kewajiban adat-keagamaan yang harus mereka penuhi sebagai seorang warga tertentu. Meskipun mereka sudah memiliki pura kawitan di Balinuraga, tapi pura kawitan yang ada di tanah leluhur tetap memiliki kedudukan yang lebih istimewa, karena dari tanah inilah (Bali) leluhur mereka berasal.
Faktor Kekuasaan atau Otoritas: Identitas Hindu Dharma (Hindu Bali) Faktor kekuasaan atau otoritas sebagai salah satu faktor pembentukan identitas komunitas Bali Nusa – kurang lebih mirip dengan faktor patronase terhadap pusat – karena pusat memiliki andil yang besar dalam proses pembentukan identitas mereka. Letak perbedaannya, pusat dalam arti kekuasan atau otoritas adalah negara (kekuasaan yang memiliki otoritas untuk mengabsahkan identitas masyarakatnya), dan identitas yang dibentuk dan diakui oleh negara melalui kekuasaannya adalah identitas agama mereka sebagai Hindu Dharma (Hindu Bali). Seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, pihak yang memiliki otoritas tersebut adalah Kementrian Agama (Departemen Agama) sebagai kaki-tangan
222
negara, di mana pada masa Orde Lama kedudukan Hindu Bali sebagai agama resmi yang diakui pemerintah (negara) masih dipertanyakan oleh Kementrian Agama – berdasarkan konsep agama yang menjadi keyakinan sejumlah elit yang menduduki posisi strategis (dengan kekuatan politik keagamaan). Campur-tangan negara dalam pembentukan identitas keagamaan mereka adalah bahwa untuk menjadi agama resmi, maka mereka harus memenuhi beberapa kriteria wajib, seperti memiliki Tuhan yang Esa (monoteis), nabi, kitab suci agama, pengakuan internasional, doa harian, dan lain-lain. Meskipun agama Hindu Bali sudah diakui secara resmi oleh pemerintah di akhir tahun 1950-an, dan bersamaan dengan itu lahir organisasi resmi keagamaan Hindu (PHDI) yang berada di bawah Kementrian Agama, tidak serta-merta peran kekuasaan negara lepas begitu saja dalam proses pembentukan identitas. Hal ini disebabkan PHDI menjadi bagian dari dan berada di bawah otoritas Kementrian Agama (Departemen Agama). Terutama setelah PHDI memberikan loyalitasnya kepada Suharto (dan militernya) dan berafiliasi dengan Golkar, yang memantapkan parisada sebagai organisasi semi-pemerintah. Peran yang sangat signifikan yang dimainkan oleh PHDI – bisa disebut juga peran kekuasaan karena kedudukan PHDI sebagai organisasi semi-pemerintah – dalam pembentukan identitas komunitas Bali Nusa adalah pasca terjadinya Gerakan 30 September 1965. Pada periode ini, mereka sangat membutuhkan legitimasi identitas keagamaannya dari negara (melalui PHDI sebagai perwakilan) bahwa mereka memiliki dan menjadi pemeluk agama Hindu Dharma. Tujuannya pada masa itu memang sangat pragmatis, menyelamatkan diri dari kematian, karena tanpa adanya pengakuan dan legitimasi identitas keagamaan yang sah – bahwa mereka orang yang beragama Hindu Dharma – maka keselamatan (nyawa) akan terancam (mati). Jika tidak memiliki legitimasi sebagai Hindu Dharma, maka mereka bisa dicap sebagai “orang yang tidak beragama”, di mana “orang yang tidak beragama” diidentikkan atau dicap sebagai PKI, dan jika sudah dicap sebagai PKI maka kesempatan untuk hidup sangat tipis sekali – terutama setelah terjadi pembantaian massal di Bali pasca Gerakan 30 September 1965 terhadap orang-orang yang dituduh sebagai PKI. Sampai
223
saat ini, PHDI masih menggunakan otoritasnya untuk membentuk dan mematangkan identitas Hindu Dharma komunitas Bali Nusa di Balinuraga dan komunitas Bali lainnya dalam wilayah Lampung Selatan (sebagai proses pembentukan identitas Hindu Dharma yang berkelanjutan), dan dengan kedudukan sebagai “patron” kelembagaan yang berasal dari pusat – meskipun di dalam tubuh PHDI sendiri masih ada potensi konflik internal antara golongan puri (triwangsa) dan non-puri (jabawangsa).
Faktor Ekonomi Faktor ekonomi merupakan pendorong yang paling kuat yang menyebabkan Bali Nusa bertransmigrasi ke Lampung Selatan. Tapi, dorongan itu (bisa) hanya sebatas wacana saja tanpa aksi (bertransmigrasi) di kalangan mereka seandainya Gunung Agung tidak meletus di tahun 1963. Jika tidak ada penyebab luar yang kuat, maka mereka tidak akan bermigrasi. Faktor ekonomi di Nusa Penida yang mendorong mereka untuk bertransmigrasi adalah kondisi alam yang tandus (sulit untuk bercocok tanam), debit air terbatas, akses transportasi yang sulit menuju Bali karena tergantung kondisi cuaca, jumlah penduduk yang mulai padat, dan lainlain. Meskipun Bali telah berstatus provinsi sejak tahun 1958, Nusa Penida masih menjadi “pulau terasing” dengan segala hambatan alamnya. Situasi ini melahirkan kebulatan tekad dari sebagian masyarakat Bali Nusa untuk bertransmigrasi, karena jika masih tetap berada di Nusa Penida, kehidupan mereka (secara ekonomi) tidak akan ada perkembangan yang berarti. Kebulatan tekad ini yang menyebabkan mereka berani mengambil resiko untuk bertransmigrasi swakarsa – tanpa sponsor pemerintah. Oleh karena itu, setelah berhasil bertransmigrasi ke Lampung Selatan, fokus utama mereka adalah bertani. Perinsip yang mereka pegang: “Jangan pulang ke Nusa Penida, kalau belum ada hasil”. Terkait dengan pembentukan identitas komunitas Bali Nusa setelah berada di Lampung Selatan, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana faktor ekonomi ini memiliki andil besar dalam proses pembentukan identitas mereka? Ungkapan “tidak ada makan siang gratis” bisa menjadi jawabannya. Faktor ekonomi di alinea atas adalah faktor ekonomi sewaktu di tempat asal yang mendorong mereka bertransmigrasi, tapi faktor ekonomi terkait dengan pembentukan identitas adalah seberapa
224
kuat kondisi ekonomi mereka agar dapat melegitimasikan identitas mereka sebagai Bali Hindu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, patronase terhadap pusat dalam pembentukan identitas mereka adalah harga mati, jika identitas mereka ingin tetap eksis dan diakui sebagai bagian dari komunitas Hindu Bali dalam skopa yang lebih luas. Perjalanan pulangpergi Lampung-Bali-Nusa Penida butuh biaya. Ada banyak kewajiban rutin yang harus mereka penuhi di tanah leluhur untuk melanggengkan identitasnya, termasuk untuk melegitimasikan keabsahan identitas leluhur mereka. Konsekuensi adalah mereka harus bekerja keras dan sedikit perhitungan untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan adat-keagamaan agar bisa menabung. Fungsi tabungan bagi mereka, tidak serta-merta sebagai “re-investasi” untuk meningkatkan penghasilan dan modal, tapi juga untuk memenuhi berbagai kewajiban adat-keagamaan yang dua-kali lipat: di Lampung dan Bali. Bentuk tabungannya lebih bersifat fisik daripada uang tunai, seperti tanah dan sapi (paling umum). Dari keduanya hanya sapi yang lebih liquid, lebih mudah dicairkan menjadi uang tunai. Sapi biasanya digunakan sebagai tabungan untuk pulang kampung, ngaben, pembangunan dan renovasi pura, serta kewajiban adat-keagamaan lainnya. Jika hidup mereka setelah berada di Lampung masih tetap miskin seperti di Nusa Penida, belum tentu para elit warga yang ada di Bali mau datang ke Lampung untuk mendata ke-warga-annya. Kemapanan atau keberhasilan pertanian mereka – yang meningkatkan perekonomiannya – merupakan faktor utama dalam membentuk identitas mereka yang butuh dilegitimasi oleh pusat, lebih dari itu, perekonomian yang kuat dapat digunakan untuk mempertajam lagi eksistensi dan status sosial atas identitasnya, terutama identitas leluhur (warga). Melalui ekonominya mereka dapat membangun pura kawitan yang besar dan artistik, di mana mengandung arti melaluinya citra dan kebesaran leluhurnya dapat terangkat; begitu juga status sosial mereka akan terangkat sebagai keturunan dari leluhur tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, wargawarga yang ada di Balinuraga ini termasuk dalam golongan jabawangsa. Sebuah golongan yang kurang istimewa berdasarkan sudut pandang triwangsa (bangsawan puri). Kekuatan ekonomi yang dibangun dari
225
kumpulan warga-warga (jabawangsa) yang berada di luar Bali ini, nantinya akan memberikan posisi tawar atas status sosial mereka di tingkat pusat untuk melawan dominasi triwangsa. Donasi mereka kepada kelompok warga-warga di Bali (pusat) – beserta golongan jabawangsa lain (warga-warga) yang jumlahnya mendominasi Bali dan luar Bali – menjadikan kekuatan ekonomi sebagai alat meningkatkan status sosial mereka di tingkat pusat. Jika di tingkat pusat misi ini berhasil dieksekusi dengan donasi mereka, maka efeknya akan terasa bagi mereka yang berada di luar Bali – seperti menjadi kepuasan batin tersendiri. Sebuah misi (perjuangan) yang sampai sekarang belum selesai di tingkat pusat.
Faktor Ancaman Eksternal Di level komunitas, komunitas Bali Nusa dan komunitas Bali Hindu lainnya, membentuk satu perkampungan (pemukiman) yang eksklusif. Seperti kasus komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga, satu desa ini dengan tujuh banjar (dusun) mayoritas merupakan Bali Hindu yang berasal dari Nusa Penida. Kampung Bali lainnya yang setingkat banjar (dusun) tetap dibangun secara esklusif, meskipun mereka berada di tengahtengah desa yang mayoritas berasal dari (keluarga transmigrasn) Jawa. Itu pun masih membawa identitas tempat asalnya, seperti Kampung Bali yang merupakan transmigrasi atas sponsor pemerintah di tahun 1963 akibat meletusnya Gunung Agung, yang disebut (kampung) Bali KoOGA (Komando Operasi Gunung Agung) yang didominasi oleh orang Bali yang berasal dari wilayah Bali Selatan, khususnya wilayah Tabanan. Di samping itu, ada Kampung Bali yang anggotanya orang Bali dari berbagai tempat, termasuk dari Nusa Penida, Bali Selatan, dan Bali Utara – biasanya yang datang pasca Gerakan 30 September 1965, tepatnya setelah tahun-tahun awal Orde Baru berdiri (1970-an). Untuk alasan yang bersifat pragmatis pembangunan Kampung Bali yang bersifat eksklusif dapat dipahami, yaitu untuk mempermudah konsolidasi dan koordinasi massa saat penyelenggaraan upacara adatkeagamaan. Biaya yang dikeluarkan menjadi lebih murah, dan proses penyelenggaraan upacara menjadi lebih mudah karena sudah saling memahami prosedurnya (berasal dari tempat yang sama sewaktu di Bali). Selain itu, pemukiman yang eksklusif dapat menghindari kesalahpahaman
226
atau pun ketersinggungan dari komunitas lain yang mayoritas dengan keyakinan yang berbeda. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki agenda upacara adat-keagamaan yang jumlahnya banyak. Jika itu dilakukan di dalam pemukiman komunitasnya sendiri, maka dapat menghindari perasaan terganggu dari komunitas lain. Bisa dibayangkan bagaimana potensi konflik horisontal yang terjadi jika mereka membaur dalam sebuah komunitas yang memiliki fanatisme agama yang berlebihan. Selain itu, mereka dapat memelihara hewan ternak seperti babi dan hewan peliharaan seperti anjing, di mana hewan-hewan ini bisa menimbulkan perasaan tidak senang atau pun ketersinggungan bagi komunitas lain. Karena itu untuk di wilayah Lampung, hanya di Kampung Bali masyarakat bisa menemukan babi dan anjing dipelihara dengan bebas – babi dan anjing hilir mudik dengan bebasnya tanpa adanya ancaman pembunuhan terhadap hewan tersebut maupun ancaman fisik dan psikis terhadap pemiliknya. Poin yang sangat penting dari keberadaan Kampung Bali adalah kedudukannya sebagai “benteng terakhir” identitas kebalian mereka setelah berada di luar Bali. Sebuah benteng yang melindungi identitas kebalian dari ancaman eksternal. Penulis menyebutkan “benteng terakhir” karena mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat Lampung yang menyebabkan mereka tidak mungkin pindah lagi ke Bali dengan penduduknya yang sudah padat, dan yang paling penting, Kampung Bali merupakan basis identitas kebalian mereka. Posisi mereka sebagai minoritas yang hidup di tengah-tengah mayoritas (berbeda dengan posisi mereka ketika masih di Bali), memaksa mereka dalam proses pembentukan identitas kebaliannya identitas ini diperkuat. “Menjadi Lampung” (menjadi orang Bali Lampung) adalah solusi bagi mereka agar bonding komunitas berbasis identitas yang telah menguat ini, tidak menghalangi proses bridging dengan komunitas lain yang berbeda. Faktor ini (ancaman eksternal) yang menyebabkan mengapa mereka mengamini wacana Ajeg Bali yang berkembang di pusat. Bagi mereka ancaman atas ketahanan identitas Bali juga mereka rasakan di luar Bali. Berbeda dengan di Bali, di luar Bali mereka minoritas dengan ancaman eksternal yang tentunya lebih besar pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila mereka membentuk
227
satuan pengamanan tradisional sendiri – pecalang – untuk upacara (dan kepentingan formal / informal) adat dan keagamaan, di mana tujuan lainnya pembentukan pecalang ini sebagai penjaga keberlangsungan dan keamanan identitas kebalian mereka terhadap ancaman eksternal. Perasaan terancam (eksternal) merupakan hal yang manusiawi, karena posisinya sebagai minoritas yang kukuh mempertahakan identitas asalnya. Pasca Bom Bali I dan II – bagaimana mereka menyaksikan sendiri situasi Bali pasca ledakan bom saat pulang kampung – perasaan terancam ini dirasakan semakin menguat. Benteng identitas – Kampung Bali – yang dimiliki terlalu kecil bila harus menghadapi ancaman eksternal. Ancaman eksternal tersebut dapat mereka ilustrasikan sebagai “Jawa” yang mereka identikkan dengan “Islam”, dan mereka hidup di antaranya. Di Lampung sendiri, terdapat kelompok-kelompok fudamentalis yang tersebar di berbagai daerah, eksistensi mereka tampak di permukaan pasca jatuhnya Suharto220. Penampilan mereka yang khas – bercadar (wanita), bersorban (laki-laki), berjenggot tebal dan panjang – membangkitkan perasaan trauma tersendiri bila mereka melihat kembali peristiwa Bom Bali (meskipun mereka tidak mengalami secara langsung). Perasaan sensitif, sentimentil dan trauma kadang menghampiri mereka ketika berjumpa dengan salah satu anggota kelompok ini di tempat-tempat publik tertentu, seperti berpapasan di jalan raya atau pasar – meskipun tidak ditunjukkan melalui mimik wajah. Bila komunitas Balinuraga (dan juga komunitas Bali Hindu lainnya) memperhatikan kejatuhan Majapahit oleh Kerajaan Islam Demak, dan peristiwa Bom Bali yang belum lama terjadi, maka semakin menguatlah wacana meng-ajeg-kan Kampung Bali sebagai “benteng terakhir” identitas kebalian mereka di luar Bali. Eksistensi kelompokkelompok fundamentalis sebenarnya bukan satu-satunya ancaman eksternal bagi Kampung Bali. Ada ancaman yang lebih nyata yang harus 220
Kelompok-kelompok ini ada yang merupakan pecahan dari peristiwa Talang Sari, dan ada yang bentukan baru yang berkiblat di Jawa. Dari kelompokkelompok inilah, beberapa calon-calon teroris direkrut untuk melaksanakan aksiaksi teror di Indonesia. Contoh terbaru adalah aksi latihan militer gerakan ini di Aceh, di mana salah satu anggotanya ada yang berasal dari “Kelompok Lampung” – yang diindikasikan berasal dari kelompok-kelompok (fundamentalis) ini (berbagai sumber: September 2010).
228
dihadapi oleh komunitas mereka, terutama generasi muda, yaitu modernisme, konsumerisme, hedonisme, pragmatisme, demokrasi dan liberalisme, dan lain-lain. Faham-faham tersebut mereka dapatkan dan juga dipraktekkan oleh mereka ketika mereka sudah mulai bersentuhan dengan pergaulan dalam komunitas yang lebih luas dan heterogen, di mana sedikit-banyak bertentangan dengan ketradisionalan identitas mereka, yaitu ketika harus bersekolah atau bekerja di luar kampung seperti di ibukota kabupaten atau provinsi. Ketika mereka sudah berada di kota, otomatis mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat urban, dan terpengaruh budaya urban melalui interaksinya dengan masyarakat yang heterogen. Akibatnya, ketika mereka kembali ke Kampung Bali dan menjadi masyarakat modern, mereka harus berhadapan dengan ketradisionalan identitas mereka, dan harus berhadapan dengan kalangan yang konservatif – modernisme sebagai ancaman. Sampai saat ini, pertentangan antara modern vs tradisional masih terus berlangsung. Mereka yang modern beranggapan bahwa modernisme tidak berarti hilangnya ketradisionalan identitasnya, sebaliknya, yang tradisional beranggapan bahwa modernisme mengancam ketradisionalan dan keotentikkan identitas leluhur. Meskipun pertentangan ini muncul di dalam komunitasnya, ada satu kesepakatan bersama di antara mereka yang tetap menjadi faktor pemersatu: identitas kebalian harus tetap bertahan dan eksis. Jadi pertentangan-pertentangan yang ada merupakan bagian dari cara untuk mempertahankan identitas mereka, dan bagi mereka ini merupakan sebuah dinamika yang harus mereka jalani – untuk menjadi semakin solid harus ada pertentangan, tapi pertentangan yang tidak sampai pada bentrokan fisik.
Faktor Pendidikan Bagi generasi muda, (faktor) pendidikan merupakan konstruktor yang cukup berpengaruh dalam upaya mereka membentuk atau menafsirkan identitasnya sesuai dengan tantangan zaman. Di lingkungan keluarga dan komunitas, generasi muda mengalami pembentukan identitas oleh lingkungannya sebagai Bali Hindu. Kemudian, di sekolah identitas Hindu Dharma terus dikonstruksi dan dimatangkan melalui pelajaran agama, dan melalui anak-cabang pelajaran ilmu sosial, mereka disadarkan kembali bagaimana Bali (tanah leluhur) memiliki identitas budaya dan
229
keagamaan yang kuat – hingga menjadikannya daerah tujuan wisata domestik dan internasional tersohor. Sebaliknya, ketika jenjangan pendidikan semakin tinggi dan mengharuskan mereka bersekolah di luar kampungnya (tingkat SMU dan perguruan tinggi), mereka menghadapi gejolak identitas – meskipun pelajaran agama dan ilmu sosial yang “menyanjung” keorisinalan Bali sebagai warisan budaya masih mereka dapatkan. Penyebabnya, pertama, setelah bersekolah di luar kampung (di ibukota kabupaten atau provinsi) mereka bertemu dan berinteraksi dengan lingkungan yang heterogen dengan identitas yang heterogen pula. Kedua, melalui pergaulan di lingkungan sekolah, mereka menjadi semakin mengerti arti penting peralatan elektronik seperti handphone dan komputer (desktop atau pun laptop), sepatu dan baju bermerek, dan lain-lain. Akibatnya, timbul keinginan (bukan kebutuhan) untuk memiliki peralatan elektronik tersebut – lebih disebabkan motif gengsi daripada fungsi – yang berujung pada konsumerisme. Ketiga, melalui pelajaran-pelajaran di sekolah, secara tidak langsung, mereka dituntun dan dibentuk bagaimana menjadi masyarakat yang modern dan maju, di mana tradisionalisme bertentangan dengan modernisme: bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi berperan besar dalam kemajuan negara-negara maju. Keempat, melalui pergaulan di lingkungan sekolah pula, mereka dibentuk menjadi masyarakat yang pluralis – bhineka tunggal ika – dan Pancasilais (nasionalis). Agar mereka bisa mendapatkan pergaulan yang lebih luas, maka mereka harus menyingkirkan batas-batas identitas yang dapat menghambat pergaulan tersebut – menjadi lebih Indonesia – tanpa harus mengingkari identitas asalnya sebagai Bali Hindu. Oleh karena itu, bukan bermaksud mengeneralisir, pemudapemuda Balinuraga (termasuk pemuda-pemuda Bali Hindu di Kampung Bali lain) umumnya menjadi lebih moderat daripada mereka yang tidak pernah bersekolah di luar kampung dan berinteraksi secara intensif dalam lingkungan yang heterogen221. Pemuda-pemuda ini – yang kemudian 221
Ada kasus tertentu (kasus khusus yang jarang terjadi) di mana orang tua tidak mengizinkan anaknya untuk bersekolah terlalu jauh (di luar kota). Ada ketakutan jika anaknya menjadi berubah secara radikal setelah kembali dari sekolah. Orang tua ini mengkhawatirkan jika anaknya tidak lagi bersembahyang secara rutin
230
menjadi elit dalam komunitasnya – membawa sebuah gagasan baru yang didukung oleh sepuh-sepuh yang berpandangan luas dan moderat. Tujuannya adalah untuk memajukan perekonomian komunitas mereka – pengkondisiannya bahwa mereka harus membangun relasi ekonomi dengan komunitas lain yang berbeda dengan komunitas mereka – dan menerima berbagai perubahan dalam menghadapi tantangan zaman yang dinamis, disertai dengan kelestarian dan keajegan identitas leluhur mereka sebagai Bali Hindu. Tantangan zaman terus berubah secara dinamis dan semakin kompleks. Begitu pula halnya dengan identitas kebalian komunitas Bali Hindu di luar Bali. Ini menunjukkan bahwa identitas Bali tidak bisa diajegkan seajeg-ajegnya, identitas tersebut bersifat dinamis, tidak absolut (harga mati). Ini merupakan sebuah dilema, semakin diajegkan maka potensi konflik horisontal semakin besar; sebaliknya, jika tidak diajegkan maka potensi kehilangan identitas itu semakin besar pula. Permasalahan ini sebenarnya tantangan yang harus dihadapi generasi muda Bali di luar Bali, seperti kasus Balinuraga. Bagi mereka, pendidikan merupakan salah satu cara bagaimana mereka mendapatkan “pencerahan” agar dapat menghadapi berbagai tantangan yang dinamis dan kompleks, tanpa harus kehilangan identitas leluhurnya.
setelah jauh dari pengawasan orang tua. Kekhawatiran yang lebih besar – sebenenarnya – adalah ketika anak sudah lupa akan kewajiban adat-keagamaannya bahwa ia harus me-ngaben-kan orangtuanya. Konsekuensinya, anak tersebut difasilitasi berbagai keinginannya (dimanjakan), asalkan tidak keluar kampung. Akibatnya, (yang sering terjadi) anak tersebut justru banyak menghabiskan harta orangtuanya, dan menjadi pembangkang (karena terlalu dimanja).
231
Gambar 19. Pemuda dan Pemudi dengan Sepeda Motornya (Sumber: Yulianto, 2010)
Model Pembentukan Identitas Berdasarkan temuan di Bab IV, ada beberapa sintesa dan model pembentukan identitas yang dapat disajikan. Model ini dibangun berdasarkan keempirikan, bukan penyesuaian (pembenaran) atas modelmodel yang sudah ada. Model yang akan diuraikan, pertama-tama, adalah model yang paling sederhana terlebih dahulu bagaimana pembentukan identitas itu terjadi dan bagaimana keterkaitannya dengan pembangunan.
232
Model 1: Konstruksi Identitas Model pertama ini merupakan sebuah model yang menunjukkan bahwa identitas sebuah komunitas dibentuk atau dikonstruksikan aktor atau agen.
AKTOR
PUSAT (Otoritas, Bali)
SATELIT (Negara, Balinuraga)
CONSTRUCT (Mengkonstruksi)
CONSTRUCT (Mengkonstruksi)
Legitimizing Identity
Resistance dan Project Identity
Model 1. Konstruksi Identitas
Dua aktor utama konstruktor identitas dalam kasus ini adalah aktor pusat dan satelit. Pusat (Bali) dengan otoritasnya mengkonstruksikan identitas satelit sebagai sebuah identitas yang sahih (legitimizing identity). Penyahihan identitas ini terjadi karena adanya hubungan yang saling mengikat antara pusat dan satelit. Satelit membutuhkan identitas yang sahih dari legitimasi pusat, sedangkan pusat membutuhkan dukungan (dana dan massa) dari satelit untuk menopang kedudukannya. Hal ini ditunjukkan bagaimana di tahun 1970-an, setelah perekonomian transmigran mapan, warga-warga berusaha mendapatkan legitimasi dan dilegitimasikan identitasnya oleh pusat yang diwakili lembaga formal
233
warga. Sama halnya seperti identitas kepercayaan Hindu Bali mereka yang harus disahihkan oleh PHDI menjadi Hindu Dharma. Sebaliknya, Satelit (Balinuraga) sebagai aktor yang aktif mengkonstruksikan identitasnya dalam bentuk resistance identity (identitas perlawanan) dan project identity (identitas proyek). Ini tidak terlepas dari komposisi masyarakat Balinuraga yang didominasi oleh golongan jaba. Identitas perlawanan dan politik identitas yang dibentuk merupakan upaya golongan jaba di Balinuraga untuk mendapatkan kedudukan yang setara. Manifestasi utama ditunjukkan dengan penggunaan sulinggih warga (pendeta warga atau pendeta golongan jaba) sebagai pemimpin keagamaan dalam upacara-upacara penting. Aktor yang memiliki otoritas untuk mengkonstruksi identitas digolongkan pada tingkat individu dan organisasi formal di bawah kekuasaan negara. Sri Mpu Suci merupakan seorang aktor (tingkat individu) yang memiliki otoritas di tingkat satelit untuk membangun fondasi identitas transmigran Bali Nusa di masa-masa awal mereka bertransmigrasi ke Lampung, yaitu identitas menurut tempat asal sebagai orang Bali Nusa dan identitas kultural sebagai Bali Hindu. Otoritas tersebut didapatkan dan diakui oleh para transmigran Bali Nusa karena kedudukannya sebagai seorang pemimpin transmigran dan sebagai seorang sulinggih (pendeta). Kedudukan Sri Mpu Suci sebagai seorang sulinggih – tepatnya sulinggih untuk Warga Pandé, yang kesulinggihannya juga bisa digunakan oleh warga lain (dalam kasus ini peruntukkan bagi golongan jabawangsa / non-bangsawan) – berada di bawah PHDI. PHDI sebagai organisasi semi-pemerintah merupakan aktor pusat (organisasi keagamaan) yang mendapatkan otoritasnya dari negara (kekuasaan pusat) melalui departemen agama. Dengan kata lain, PHDI adalah kepanjangan tangan dari kekuasaan pusat untuk melegalkan keabsahan identitas Bali Nusa sebagai Hindu Dharma – sebuah agama sah versi pemerintah untuk Hindu Bali (dan beberapa etnis lain). Selain PHDI, masih ada organisasi formal warga-warga (elit-elit warga) yang berada di bawah PHDI yang memiliki otoritas untuk mengkonstruksikan, dan juga menyahihkan, identitas warga (klan, soroh) dari komunitas Bali Nusa di Balinuraga. Di samping lembaga otoritas di mana komunitas Balinuraga menetap – pemerintah daerah –
234
yang memantapkan identitas Bali Nusa ini sebagai “Orang Lampung keturunan Bali”. Mereka yang memiliki otoritas ini menggunakan otoritasnya dalam mengkonstruksi identitas Bali Nusa berdasarkan “identitas” versi-nya dan tujuannya masing-masing: Sri Mpu Suci membangun (dan membentuk) fondasi identitas Bali Nusa (dan Bali Hindu), PHDI mengkonstruksi identitas Hindu Dharma, organisasi formal warga-warga (di bawah kepemimpinan elit-elit warga) mengkonstruksi identitas warga (leluhur), dan pemerintah daerah mengkonstruksi identitas Bali Lampung. Ini bukan berarti anggota komunitas berdiri dalam posisi yang pasif, karena mereka sendiri pun secara aktif turut mencari bentuk dari identitasnya. Hanya saja, pencarian bentuk identitas-nya belum dapat diakui legitimasinya tanpa ada aktor (individu atau organisasi berwenang) yang mengakuinya secara resmi. Jadi, ada sebuah usaha dan tindakan dari anggota komunitas ini untuk mencari identitas warga-nya sebagai orang Bali Hindu, memantapkan identitasnya sebagai Hindu Dharma, dan diakui posisinya di masyarakat dan pemerintahan daerah sebagai masyarakat Lampung. Oleh karena itu, meskipun model pertama ini sederhana, bukan berarti menunjukkan sebuah proses yang kaku, tapi sebaliknya, mengalami sebuah proses yang sangat dinamis. Hal ini dapat dilihat mulai dari: membentuk sebuah komunitas orang (transmigran) Bali Nusa yang eksklusif; perjuangan mendapatkan pengakuan identitas sebagai Hindu Dharma (agama resmi) agar tidak menjadi korban pencapan sebagai PKI; pertentangan identitas antar warga dengan berbagai bentuk manifestasinya, yang masih berlanjut sampai saat ini, mulai dari klaim-klaim warga mana yang paling tinggi kedudukan sosialnya sampai pura kawitan warga mana yang paling megah dan artistik; Hindu Modern versus Hindu Tradisional, dengan contoh konkretnya adalah perdebatan (dan tindakan nyata) antara melakukan modernisasi penyelenggaraan upacara adat-keagamaan yang sederhana dan tidak berbelit-belit versus penyelenggaraan upacara yang harus runut dan ajeg agar tetap terjaga keorisinalitasannya; polemik seputar keterlibatan anggota komunitas mereka dalam kegiatan politik praktis; dan lain-lain. Catatan lain adalah bahwa di dalam anggota komunitas ada semacam keikhlasan ketika identitasnya dikonstruksi dan direkonstruksi oleh sebuah kekuasaan, atau sebaliknya, mengadakan aksi atau tindakan lain yang dinilai relevan bagi keberlangsungan identitasnya.
235
Hal ini lebih disebabkan oleh faktor keadaan dan situasi di mana mereka tidak memiliki pilihan atau alternatif lain, misalnya: pasca Gerakan 30 September 1965; masa-masa awal transmigrasi ketika mereka belum memiliki identitas yang meyakinkan bahwa mereka berasal dari warga (klan) tertentu – sebuah kondisi yang tidak dapat dielakkan karena mereka berasal dari Nusa Penida, sebuah pulau yang dahulunya mempunyai reputasi yang buruk (sebagai tempat pembuangan tahanan politik dan ilmu hitam); keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan pasca jatuhnya Suharto (1998) dan krisis ekonomi – mencari uang lebih sulit daripada masa sebelumnya (Orde Baru) – menyebabkan mereka harus melakukan modernisasi dalam penyelenggaran upacara adat-keagamaan agar menjadi lebih sederhana dan hemat tanpa menghilangkan substansi dari upacara tersebut; interaksi dengan lingkungan yang heterogen (khususnya masyarakat urban) menyebabkan generasi muda mengikuti pola umum yang dilakukan oleh lingkungan pergaulannya, seperti menjadi lebih pragmatis dalam berpikir dan bertindak, konsumerisme, dan hedonisme – juga merupakan hal yang tidak dapat dielakkan jika mereka harus bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan bekerja di luar kampung (komunitasnya); dan sebagainya. Peran anggota komunitas yang aktif dalam proses pembentukan identitasnya, maka memungkinkan mereka untuk mengadakan sebuah perubahan atas apa yang telah dikonstruksikan oleh pusat tersebut. Misalnya, menggunakan sulinggih dari kalangan warga tertentu (pendeta dari golongan jabawangsa) untuk memimpin upacara ngaben, tanpa harus mengundang pedanda dari Bali. Artinya, penyelenggaraan upacara ngaben dengan menggunakan pendeta warga, selain menghemat biaya (khususnya ngaben massal), juga tidak menghilangkan keabsahan identitas adat-keagamaan mereka. Menyelenggarakan upacara ngaben pribadi (khusus untuk keluarga sendiri) dan menggunakan sulinggih dari Bali atau pedanda (pendeta brahmana), tentu akan menghabiskan biaya yang mahal222. 222
Meskipun kesulinggihan pendeta warga (jabawangsa) telah diakui kedudukannya – setara dengan pedanda – namun bagi kalangan tertentu (masih konservatif), kehadiran pedanda dipercaya menghadirkan sebuah kereligiusan dan tentunya prestise tersendiri.
236
Model 2: Pusat sebagai Acuan Pembentukan Identitas Model kedua menggambarkan bahwa dalam proses pembentukan dan mencari bentuk identitas dibutuhkan sebuah pusat sebagai acuan atau cerminan. Dalam kasus orang Bali di luar Bali, seperti di Desa Balinuraga, pusat yang dimaksud adalah Bali (Bali dan Nusa Penida). Bali merupakan tanah leluhur di mana butuh untuk mengindetikkan dirinya seidentik mungkin dengan ada yang di Bali. Proses pembentukan dan mencari bentuk ini adalah proses yang terus menerus, bukan proses yang berhenti pada satu waktu tertentu, karena Bali sebagai pusat terus mengalami perubahan, begitu juga komunitas ini. Karenanya dalam proses peniruan atau pengkopian identitas diperlukan proses penyesuaian dengan situasi dan kondisi yang ada di Lampung. Tidak semua simbol, atribut, instrumen identitas kebalian bisa diimpor atau diadaptasi secara langsung – terkecuali yang mudah dibawa, seperti: dupa, destar, udeng, kalender, arit, dan lainlain (tapi bisa juga dibeli di Lampung). Untuk pembuatan pura, mereka tidak perlu membawa langsung dari Bali, tapi bisa mereka buat sendiri di Lampung melalui ahli pembuat pura. Proses pembuatannya melalui cetakan dengan menggunakan semen. Dalam kasus tertentu, sesuai pesanan, ada yang diukir dengan sebuah cetakan semen basah. Begitu pula dengan tata upacara (dan upakara), tetap dilakukan penyesuaian dengan situasi dan kondisi di Lampung. Namun, garis besar peniruan ini tetap mencari persamaan bentuk identitas. Penyesuaian tetap dilakukan tanpa kehilangan hakikat dari identitas tersebut. Umumnya proses peniruan ini – ketika melakukan reproduksi simbol, atribut, instrumen identitas kebalian – dilakukan secara otodidak. Mereka membeli sebuah master (atau prototipe) untuk ditiru dan diproduksi.
BALI “PUSAT”
LAMPUNG SELATAN
ADAPTASI / PENIRUAN
SIMBOL, ATRIBUT, INSTRUMEN IDENTITAS “KEBALIAN”
237 LAMPUNG SELATAN
Model 2. Pusat (Bali) dan Peniruan (Copying) Identitas
Proses peniruan ini merupakan salah satu upaya bagi mereka agar tetap menjadi dan diakui sebagai Bali. Simbol, atribut, instrumen identitas kebalian merupakan penunjuk yang dapat dilihat secara langsung bahwa mereka adalah Bali. Ini membuktikan kuatnya ikatan komunitas ini meskipun sudah berada di luar Bali. Mereka tidak ingin penunjuk identitasnya sebagai Bali ada yang absen setelah berada di luar Bali. Jadi melalui ini, tidak mengherankan bila mereka tetap disebut sebagai Bali meskipun sudah berada di luar Bali.
Model 3: Perkembangan dan Pembentukan Identitas Berdasarkan Waktu Model ketiga menggambarkan bahwa identitas itu terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Identitas itu bersifat dinamis. Tidak bersifat absolut atau tetap. Hal ini disebabkan setiap masa memiliki tantangan bagi setiap generasi di masa tersebut. Perubahan identitas ini diwujudkan dalam proses pengaktualisasian atas eksistensi identitas tersebut dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi.
IDENTITAS “LAMPAU”
IDENTITAS “KINI”
IDENTITAS “MENDATANG”
238 GENERASI TUA
GENERASI SEKARANG
GENERASI MASA DEPAN
Model 3. Perubahan Identitas, Waktu, Generasi, dan Tantangan
Contoh sederhananya adalah sebagai berikut: tata upacara (dan upakara) yang dilakukan transmigran pertama di saat tahun-tahun pertamanya di Lampung Selatan (khususnya sebelum peristiwa Gerakan 30 September 1965) akan sangat jauh berbeda dengan yang dilakukan di masa Orde Baru (1970an – 1990-an) dan di masa reformasi. Di tahun-tahun awal di Lampung tata upacara (dan upakara) dilakukan dengan sangat sederhana, dikarenakan situasi dan kondisi perekonomian dan kehidupan para transmigran masih sangat sulit. Di masa Orde Baru, mulai tahun 1970-an sampai sebelum krisis ekonomi (1997/1998) upacara bisa dilakukan dengan besar-besaran, karena perekonomian mereka sudah mapan dan mencari uang masih mudah. Di masa reformasi, upacara dilakukan dengan sederhana dengan berbagai perubahan, lebih disebabkan karena relevansinya di masa ini. Prosedur upacara (dan upakara) dibuat lebih mudah (tidak berbelit-belit) dan hemat, tanpa harus menghilangkan inti dari upacara (dan upakara) itu sendiri. Generasi ini (bersama generasi tua yang masih hidup) menyadari bahwa tata upacara yang bersifat ketat akan menghabiskan biaya yang mahal (di saat mencari uang tidak semudah di masa Orde Baru), dan bagi generasi muda ini dinilai membosankan. Garis besar yang mereka pegang adalah perubahan apa pun yang dilakukan dalam mengaktualisasikan identitas mereka sebagai Bali Hindu jangan sampai merubah hakikat (tujuan utama) dari setiap proses upacara (dan upakara) itu sendiri. Selama perubahan tersebut masih sesuai dengan aturan dan tidak mendapat teguran dari PHDI sebagai otoritas resmi yang mengawasi kegiatan umat.
239
Model 4: Bonding Berbasis Identitas dan Pembangunan Model keempat menggambarkan bahwa bonding berbasis identitas – dalam kasus komunitas Bali Nusa – tidak dapat dilepaskan dari motif pembangunan sebagai penunjuk dari eksistensi identitas mereka yang terfragmentasi. Model Empat di bawah ini menunjukkan fragmentasi dari bonding berbasiskan identitas. Dalam ruang yang lebih kecil adalah bonding berbasis identitas warga (sub-etnik) yang berada di level setingkat banjar atau dusun. Di atasnya adalah bonding berbasis agama. Bonding identitas berbasis agama ini menaungi identitas sub-etnik (warga) dan etnik, dan bagi masyarkat Bali ini seperti kesatuan, antara identitas etnik dan agama. Levelnya setingkat desa – dalam kasus ini Desa Balinuraga.
Identitas Lokal Identitas Agama Identitas Warga
Model 4. Bonding Berbasis Identitas
Dalam model keempat ini, penulis ingin menunjukkan bahwa bonding berbasis identitas ini tidak berpengaruh negatif terhadap pembangunan. Namun sebaliknya, bonding berbasis identitas ini berpengaruh positif terhadap pembangunan dalam level dusun (banjar) dan desa (desa adat / komunitas adat Bali Nusa). Hal ini dapat dilihat dan dibuktikan dari hasil atau produk pembangunan di level banjar dan desa adat.
Pura Kawitan, Pura Keluarga
Pura Kahyangan tiga, Bale Banjar, dll.
240 Level Banjar: warga
Level Desa: Bali Hindu
Infrastruktur umum: jalan, sekolah, posyandu, kantor desa, dll.
Level Lokal: Bali Lampung
Pembangunan Fisik
Model 4-1. Bonding Berbasis Identitas dan Pembangunan
Model keempat di atas menunjukkan bahwa penguatan identitas (bonding) warga (sub-etnik) pada level banjar atau dusun merangsang mereka untuk membangun banjar atau dusunnya secara swakarsa untuk menunjukkan eksistensi identitasnya sebagai warga tertentu, yaitu diwujudkan dengan membangun pura kawitan di sebuah griya dalam sebuah banjar yang diperuntukan bagi warga tersebut. Pembangunan tersebut dilakukan secara swakarsa, menggunakan dana dan tenaga kolektif anggota banjar (warga) tersebut. Agar proses pembangunan tersebut dapat direalisasikan menjadikan dorongan bagi komunitas warga ini untuk bekerja lebih keras (bertani) di level keluarga inti. Sumbangan sebagian penghasilannya untuk pembangunan dan renovasi pura kawitan merupakan wujud dari eksistensi dan status sosial identitas warga-nya (leluhur / kawitan). Kemudian, di level desa, dengan penguatan identitas sebagai Bali Hindu dari Nusa Penida, mengharuskan mereka untuk membangun infrastruktur adat-keagamaan yang menunjukkan kesolidan komunitas mereka sebagai Bali Nusa (Bali Hindu). Pada level ini, identitas warga-warga meleburkan diri menjadi satu kesatuan di tingkat desa adat (Desa Balinuraga). Ini ditunjukkan dari pembangunan Pura Kahyangan Tiga beserta fasilitas adat-keagamaan lainnya yang juga dibangun secara swakarsa. Artinya, dana dan tenaga untuk pembangunan di level desa ini disumbangkan oleh semua anggota warga-warga. Dengan kata lain, ada dua kewajiban pembangunan untuk eksistensi identitasnya, yaitu pembangunan untuk eksistensi identitas warga (Pura Kawitan) dan
241
eksistesi identitas sebagai Bali Hindu Nusa Penida (Pura Kahyangan tiga). Di level lokal, kecamatan dan kabupaten, Desa Balinuraga merupakan salah satu desa penghasil beras (padi) yang produktif di Kabupaten Lampung Selatan. Dengan memposisikan identitas asal (Bali Hindu) dengan identitas lokal sebagai Bali Lampung, memberikan posisi tawar bagi mereka kepada pemerintah daerah untuk membangun infrastuktur desa ini sebagai desa dinas – karena infrastruktur desa adat sudah dibangun secara swakarsa. Pembangunan jalan utama desa yang menghubungkan ke kecamatan dan kabupaten merupakan hak mereka sebagai masyarakat Lampung. Sebagai desa penghasil beras di Kabupaten Lampung Selatan mereka merupakan pembayar pajak yang loyal, infrastruktur umum terutama jalan desa, harus dibangun oleh pemerintah daerah agar distribusi hasil panen berjalan lancar. Menjadi pembayar pajak yang loyal adalah perwujudan identitas mereka sebagai masyarakat Lampung (Bali Lampung). Kelalaian pemerintah membangun infrastruktur desa (khususnya jalan utama desa) tentu berdampak pada penghasilan yang diterima pemerintah daerah, khususnya kecamatan, karena distribusi beras menjadi terganggu. Dengan kata lain, penguatan identitas lokal mereka sebagai Bali Lampung diwujudkan dengan peran serta pemerintah dalam membangun infrastruktur desa ini sebagai desa administratif. Jadi, penguatan identitas yang berlapis ini – dari identitas warga, agama, dan lokal – dalam pengaktualisasiannya membutuhkan sebuah kerja ekonomi (pertanian) yang keras dan tekun. Pembangunan fisik (bangunan fisik) merupakan manifestasi materiil dari identitasnya, baik sebagai identitas warga, identitas Bali Hindu, maupun identitas Bali Lampung. Manifestasi materiil ini jelas tidak dapat dilakukan jika mereka tidak bekerja keras – mengingat ada banyak kewajiban adat-keagamaan yang harus mereka laksanakan. Bila dalam gambar di atas penguatan identitas lokal diberikan garis putus-putus, dikarenakan ketika pengaktualisasian identitas sampai di level desa adat, maka sumbangsih kerja keras mereka untuk eksistensi identitasnya tentu akan langsung berefek pada perekonomian daerah – dari desa administratif ke kecamatan lalu ke kabupaten. Dengan kata lain, bonding berbasis identitas ini bersifat terbuka bagi pembangunan di tingkat desa. Pada tataran tertentu, bonding
242
berbasis identitas ini tidak menunjukkan keesklusifan, tapi sebaliknya, terdapat keterbukaan dalam relasi atau hubungan dengan komunitas lain, seperti penguatan identitas lokal (Bali Lampung) yang memungkinkan mereka untuk menjalin komunitas lain non-Bali sebagai sesama masyarakat Lampung. Dengan adanya realitas bahwa bonding berbasis identitas ini pembangunan tetap dapat berjalan tanpa adanya peran pemerintah, maka sebenarnya dalam komunitas tertentu kehadiran pemerintah dalam proses pembangunan tidak terlalu dibutuhkan dalam halhal tertentu, kecuali perannya sebagai pengatur lalu-lintas pembangunan itu sendiri agar tidak terjadi sebuah clash atau benturan fisik antar komunitas yang berbeda identitas, dan menjadikan sistem perekonomian lebih tertata rapih, terutama distribusi pendapatan. Melalui sebuah realitas bagaimana komunitas Bali di luar Bali mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitasnya melalui upacara adat-keagamaan bersifat massal – dengan sebuah sistem dan aturan yang sistematis – beserta perangkat-perangkat adat-keagamaannya (terutama dengan hadirnya pecalang), dan keterbukaannya dalam relasi ekonomi dengan komunitas lain non-Bali, bukankah menunjukkan komunitas ini seperti (meminjam istilah Geertz, 1980223) sebagai sebuah negara teater, sekaligus juga sebuah benteng tertutup.
Model 5: Model Pembentukan Identitas Model ini merupakan sebuah pola umum – studi kasus komunitas Bali Nusa di Balinuraga – dalam proses pembentukan identitasnya, yang tertutup (bonding) tapi juga terbuka (bridging). Model pembentukan identitas ini terkait bagaimana komunitas Bali Nusa bisa mempertahankan dan melestarikan identitas kebaliannya dalam pembangunan di tingkat lokal. Artinya, mereka bisa melakukan aktivitas perekonomiannya – yang dalam prosesnya harus berinteraksi dengan komunitas lain yang heterogen dan terbuka dalam menjalin relasi ekonomi – tanpa kehilangan identitas kebalian-nya. Dengan kata lain, mereka ingin membentengi identitasnya –
223
Lihat: Geertz (1980) Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali, Princenton University Press.
243
melalui bonding berbasis identitas – dalam sebuah benteng tertutup (Kampung Bali).
IDENTITAS (Legitimizing, Resistance, Project)
Identitas Lokal
Konstruksi
Pusat & Satelit
Peniruan
“Pusat”: Bali
Perubahan
Waktu, Tempat, & Tantangan
Identitas Agama
Identitas Warga
Politik Identitas
Pembangunan
Model 5. Pembentukan Identitas
Sebagai sebuah rangkuman dari model-model dan uraian pada subbab sebelumnya, model kelima ini memberikan gambaran sebuah pola umum – untuk kasus Balinuraga – pembentukan identitas. Model ini menjelaskan bahwa dalam proses pembentukan identitas: membutuhkan aktor atau agen berotoritas guna membentuk identitas yang sahih (legitimizing identity), identitas perlawanan (resistance identity), dan identitas proyek (project identity); proses peniruan bentuk identitas dengan pusat; kedinamisan identitas sesuai dengan waktu, tempat, dan tantangannya; serta keterkaitan dan penyesuaian dengan proses pembangunan di tingkat lokal. Garis lingkaran tebal pada identitas warga dan agama merupakan bagaimana mereka membentengi identitas kebaliannya terhadap ancaman eksternal (lingkungan sosial yang
244
majemuk); sedangkan garis lingkaran putus-putus pada identitas lokal (bonding identitas lokal) adalah bagaimana mereka membuka diri dalam interaksi ekonominya dalam proses pembangunan di tingkat lokal yang lingkungan sosialnya lebih heterogen, sekaligus sebagai jawaban atas ancaman eksternal. Model ini juga sekaligus menunjukkan bahwa bonding berbasis identitas, dalam tataran bonding yang lebih luas, di mana di dalam lingkaran bondingnya terdapat variasi identitas, proses pembangunan melalui interaksi ekonomi bisa dilakukan. Bonding identitas pada tataran ini kemudian memperkuat basis ekonomi berdasarkan identitas, dalam kasus ini adala identitas lokal yang lebih heterogen.
Kesimpulan Pembentukan identitas yang menghasilkan sebuah identitas tertentu merupakan sebuah proses yang dinamis. Artinya tidak berhenti pada satu titik tertentu yang menjadikan identitas itu bersifat absolut atau ajeg – identitas bukan sebuah harga mati yang tidak bisa berubah. Sama seperti diri individu di mana identitas itu melekat, begitu pula identitas itu sendiri, yang harus berhadapan dengan sebuah realitas waktu dan tantangan yang terus berubah. Pusat (power, otoritas, kekuasaan, Bali) yang mengkonstruksikan identitas berperan sebagai lembaga yang melegitimasi kesahihan identitas tersebut. Proses peniruan terhadap pusat, tidak lain merupakan cerminan dari kuatnya ikatan sosial di tempat asal di mana identitas tersebut melekat di dalamnya. Konstruksi identitas dalam proses pembentukan identitas komunitas Bali Nusa sebenarnya memiliki pola konstruksi identitas yang sama dalam konteks yang berbeda seperti yang dilakukan oleh pemerintah kolonial ketika mengkonstruksikan identitas Bali sebagai paradise, yaitu pusat dengan kekuasaan yang dimiliki dapat mengkonstruksikan identitas etnis tertentu. Dalam istilah Castells (2002) pengkonstruksian identitas ini disebut sebagai legitimizing identity. Kasus yang menonjol adalah penyahihan identitas warga oleh lembaga formal warga yang berada di pusat (Bali) dan identitas Hindu Dharma oleh PHDI. Di sisi lain, Balinuraga sebagai satelit menjadi agen atau aktor yang aktif dalam mengkonstruksikan identitasnya. Bentuknya – menggunakan istilah Castells (2002) – berupa resistance identity dan project identity yang
245
dilakukan komunitas Balinuraga sebagai satelit yang didominasi oleh golongan jaba. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana warga-warga (golongan jaba) berperan mendukung perjuangan pusat yang diwakili elitelit lembaga formal warga agar golongan jaba mendapatkan kedudukan yang setara dengan triwangsa, dan menggunakan sulinggih warga (pendeta warga, pendeta non-Brahmana) untuk memimpin upacaraupacara penting di dalam komunitas ini. Kasus yang menguraikan pertentangan identitas warga, sekali lagi, menunjukkan dan sekaligus menyangkal apa yang dikonstruksikan terhadap citra Bali sebagai paradise setelah keberadaan mereka di luar Bali. Pola-pola pertentangan identitas secara garis besar memiliki kesamaan dengan yang terjadi di Bali. Hal ini sama seperti yang dikemukakan oleh Vickers (1996), Schulte Nordholt (2009), dan Robinson (1995) bagaimana gesekan-gesekan sosial selalu terjadi dalam kehidupan masyarakat Bali sejak masa pra-kolonial sampai pasca kolonial. Fakta ini mempertegas bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat yang dinamis dalam kehidupan sosial politik di dalam komunitasnya. Tidak hanya di Bali, tetapi juga ketika mereka sudah berada di Lampung. Sebagai sebuah proses, pembentukan identitas komunitas ini belum selesai dan terus berlanjut sampai komunitas ini (satelit) beserta pusat masih tetap ada. Sampai saat ini pun, hubungan pusat-satelit ini masih berlangsung dalam proses pembentukan identitas komunitas ini sebagai sebuah ikatan sosial yang melekat (mengikat pengorbitan pusatsatelit). Tidak hanya untuk menyahihkan identitasnya (legitimizing idenitity), tetapi juga bagaimana satelit membentuk identitas perlawanan (resistance idenitity) dan identitas proyek (project identity).
246