BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Studi tentang konstruksi identitas keacehan merupakan suatu proses pembentukan identitas Aceh dari unsur-unsur sejarah, budaya, bahasa, agama, serta bahkan lingkungan sosial yang tak termasuk di dalamnya pengaruh globalitas dan modernitas. Untuk itu, unsur-unsur pembentuk yang saling berkontestasi di dalamnya menuntut perubahan yang terus menerus, aktif, dinamis, terbuka terhadap perkembangan keacehan dewasa ini. Oleh karena itu, identitas keacehan tidak dalam posisi yang stagnan, pasif, dan bahkan tertutup. Pada batas tertentu bahkan keacehan juga berpotensi mengalami pergeseran-pergeseran baik pada tingkat makna, fungsi, maupun pada tingkat konstruksinya. Perkembangan pembentukan identitas keacehan telah ditentukan oleh empat faktor penting yaitu: 1) aspek kolonialitas, 2). peradaban Melayu, 3) Islam, dan 4) modernitas. Masing-masing telah membentuk ciri-ciri dan karakteristik keacehan yang beragam. Untuk mengetahui pengaruh kolonialitas ini dapat dilihat atau ditemukan pada masa-masa keemasan dan kejayaan Aceh Abad ke 16 melalui kerajaan Aceh Darussalam. Kuatnya hubungan diplomatik dengan asing juga menandai kuatnya strategi bertahan kerajaan Aceh waktu itu. Selain itu Aceh juga disebut sebagai “imperium dagang”, sehingga dikenal dengan tiga kota dagang di Aceh (Pidie, Perlak, Pasai) yang menggunakan konsep “mutualism”, yang kemudian melahirkan para “aneuk keude” yang bahkan berkembang menjadi para bisnismen melalui induk semang sampai sekarang.
331
Lain halnya dengan pengaruh peradaban Melayu di Aceh, suatu contoh tentang tradisi hikayah. Hikayah merupakan pelajaran berharga bagi Aceh dalam membentuk identitas masyarakatnya, tidak saja sebagai sumber-sumber anutan masyarakat dalam menjalani hidup, tetapi bentuk-bentuk hikayah juga menjadi ciri khas tersendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengekspresikan aspirasi lewat sastra-sastra atau hikayah-hikayah seperti Bustanul al Salastin (karya Nuruddin ar Raniri), kitab hikayah akhbarul karim yang berisi tentang ajaran ketuhanan dan fiqh, dan masih banyak bentuk-bentuk hikayah lain yang menggunakan bahasa Melayu Jawoe. Bahkan ada hikayah dalam bahasa Aceh yang cukup terkenal yaitu hikayah prang sabi (hikayah perang suci/sabil) yang oleh Ibrahim Alfian disebut sebagai sastra perang. Sebuah ungkapan sastrawi yang bernuansa kesadaran kolektif untuk membangkitkan nasionalisme keacehan waktu itu. Selain pengaruh Kolonial dan Melayu, Islam juga menjadi pilar yang penting dalam mengkonstruksi identitas keacehan. Pengaruh kekuatan Islam di Aceh telah menjadikannya sebagai pusat kajian Islam Nusantara pada Abad 16. Terlepas dari madzhab-madzhab atau aliran Islam di Aceh, Islam secara umum hampir menjadi identitas tunggal yang tidak ada tandingannya di Aceh, bahkan Aceh juga mendapat julukan Serambi Mekah, sehingga Islam bahkan telah menjadi ideologi kerakyatan (populer ideology). Islam di Aceh tidak saja tercermin dari teks fisik kuantitatif kependudukan yang menunjukkan muslim mayoritas, tetapi Islam juga menjadi kerangka anutan baik dari konteks sosial, budaya maupun politik masyarakat Aceh. Selain itu, disandingkannya agama (Islam) dan adat juga menjadi pilar dalam penataan sosial di Aceh. Keacehan sebagai konstruksi Islam kini dapat dilihat pada nama-nama universitas atau
332
Perguruan Tinggi dengan nama Islam atau tokoh bersejarah, seperti Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh, IAIN / Universitas Islam Negeri Ar Raniri di Banda Aceh, Univ. Al Muslim di Lhokseumawe, Univ. Jabal Ghofur di Pidie, Univ. Iskandar Muda di Banda Aceh. Termasuk pemberlakuan perda /qanun Syariat Islam juga bagian yang tidak bisa dilepaskan dari keacehan sebagai konstruksi Islam. Sampai pada batas itu, munculnya madzhab atau aliran-aliran Islam di Aceh juga bagian dari fakta yang harus dilihat sebagai objek material pluralitas kebudayaan Islam di Aceh, termasuk Aceh sebagai masyarakat militan Islam juga menjadi tanda dari keacehan yang dikonstruksi oleh Islam . Perkembangan periode sejarah Aceh kemudian juga ikut menentukan yaitu bagaimana modernitas ikut ambil bagian dalam proses pembentukan identitas Keacehan. Momemtum pasca konflik dan tsunami diindikasi sebagai suatu momen penting bagi masyarakat Aceh, terutama bagaimana proses enkulturisasi budaya-budaya asing yang cenderung kebarat-baratan meluas di Aceh, baik melalui program-program rehap-rekon dan politik bantuan, hingga proses perdamaian Aceh. Sebagai suatu proses yang melibatkan beragam aktor, disadari atau tidak proses pelibatan ini masih sangat riskan dengan intervensi politis, keterlibatan dunia internasional yang juga ikut saling mendefinisikan identitas keacehan. Oleh karena itu, sebagai dampak modernitas yang tidak boleh luput dari temuan pengamatan kajian ini adalah munculnya gejolak komersialisasi dan komodifikasi yang melahirkan masyarakat Aceh memegangi prinsip-prinsip konsumtifis, materialis, hingga sikap keindividuan. Globalisasi dan modernisasi adalah dua hal yang memiliki akar yang beriringan, di mana masing-masing ikut mendorong masyarakat pada perilaku sosial budaya yang sama.
333
Oleh karena itu, keempat pilar pembentukan identitas keacehan di atas merupakan hal penting yang diklaim disertasi ini sebagai entitas yang mengkonstruksi identitas keacehan sejak sebelum dan sesudah tsunami. Tentu dengan beberapa penjelasan dan alasan yang kuat sekaligus empat hal ini menjadi tolak ukur dalam menyusun peta pembentukan identitas keacehan, dengan menimbang perspektif sejarah, budaya, serta konteks sosial-politik Aceh yang menyertainya. Untuk itu, relasi para aktor yang didukung oleh proses negosiasi yang panjang akan melengkapi proses pembentukan identitas keacehan pasca konflik dan tsunami. Menurut temuan penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi identitas keacehan itu selain dibentuk oleh masyarakat Aceh sendiri, juga dikonstruksi oleh beragam aktor yang dalam diskusi disertasi ini ditunjukkan melalui relasi-relasi aktor terutama dalam proses pembangunan Aceh. Relasi para aktor dalam studi ini direpresentasi oleh tiga agensi utama, yaitu: society, state, dan market, di mana ketiganya bekerja dalam relasi yang dialektis, sehingga kekuatan masing masing konteks selalu dihubungkan dengan perkembangan situasi sosial-politik yang melatarinya, termasuk bagaimana para aktor berkembang dari masa-ke masa, dari konteks dan antar konteks, serta aktor juga berkembang dari situasi budaya krisis seperti masa-masa konflik dan tsuanmi. Oleh karena itu, relasi tiga representasi aktor ini dapat diperlihatkan melalui dialektika ketiganya yang melahirkan sintesis kecahen yang cair, yaitu: pertama, masyarakat menguat (society strong) yang ditunjukkan oleh tiga kekuatan elit lokal yaitu: kesatuan Ulama, Uleebalang, dan Sultan; organisasi Gerakan Aceh Merdeka GAM); dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal Aceh yang perhatian pada penguatan identitas lokal.
334
Ketiganya berkembang menurut konteks yang berlangsung. Baik pada lingkungan sosial,
ekonomi,
maupun
lingkungan
politik.
Dibentuknya
Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) misalnya merupakan salah satu tanda munculnya formalisasi atau institusionalisasi identitas yang berkembang di Aceh. Sementara GAM masih menjadi trade mark politik atau tepatnya menjadi identitas politik dalam berkontestasi dengan negara khususnya yang selama ini berseteru selama puluhan tahun. Selain itu, Lsm-lsm lokal juga bergerak dalam komitmen yang sama yaitu bergerak pada program-program community development, capacity building, terutama pada isu-isu humanitarian. Bentuk-bentuk menguatnya masyarakat yang demikian ini merupakan suatu ekspresi para aktor dalam proses pembentukan identitas di tanah rencong ini. Oleh karena itu, tidak heran jika pada tingkat masyarakat (society) keacehan menguat, praktik-praktik etnosentrisme tidak dapat terbendung. Relasi vice a vice masyarakat-negara dan pasar, terutama kerangka etnosentris ini dipakai oleh elit Aceh dalam relasi kuasa masyarakat vs negara yang dalam studi ini lebih dikenal ethnonasional. Kedua, posisi negara dominan (state domination), melalui koersi negara mengejawantah dalam beberapa praktik, antara lain: konflik separasi selama puluhan tahun, dengan memarginalisasi identitas, eksploitasi ekonomi, serta tekanan-tekanan politik. Selain itu, negara melalui penyeragaman PERDA ke beberapa daerah telah memberlakukan kebijakan Syariat Islam termasuk di Aceh, yang mau tidak mau dapat diidentifikasi sebagai praktik politisasi syariat. Dalam beberapa respon masyarakat ternyata di akar rumput masih seringkali ditemui konflik–konflik berbasis syariat sebagai bias kebijakan Syariat Islam di Aceh. Yang amat menyedihkan lagi selain politisasi syariat adalah bahwa NKRI
335
dijadikan sebagai doktrin universal dalam politik reintegrasi di Aceh. dengan demikian, suatu hal yang disebut-sebut harga mati bagi negara, namun tidak bagi Aceh, karena masih tergantung pada bagaimana state/negara maupun dari pihak GAM/society sendiri ikut menjaga komitmen atas nota kesepahaman dalam perdamaian Helsinski yang mereka telah tandatangani bersama. Oleh karena itu, pada posisi state domination ini keacehan telah di-marginal-isasi oleh suatu praktik relasi kuasa dengan keadaan keacehan yang represive yakni mengalami tekanan-tekanan secara politik baik oleh RI maupun dunia internasional secara umum). Ketiga, kecenderungan pasar juga menunjukkan praktik yang relatif baru di Aceh, terutama meluas pasca konflik dan tsunami. Gejolak komersialisasi dan komodifikasi atas nilai barang dan jasa disebut- sebut sebagai bias era kebebasan dan keterbukaan pasca konflik dan tsunami. Sebagai dampak komersialisasi itu, sisi lain juga muncul apa yang disebut konsumerisme /konsumtivisme yang praktiknya telah membentuk citra gaya hidup konsumtif masyarakat Aceh. Tidak bisa dipungkiri meluasnya media-media lokal juga telah menandai kehidupan praktik-praktik
komersialisasi
dan
konsumerisme
di
Aceh.
Di
sinilah
kecenderungan pasar telah menghegemoni masyarakat Aceh yang muncul sebagai praktik
kemerdekaan
ethos
kapitalistis.
Bersamaan
dengan
proses
itu
kecenderungan pasar juga ditandai oleh meluasnya produk-produk global yang hampir mematikan akses kehidupan ekonomi lokal. Hal ini jelas peran negara benar-benar telah dikelabuhi oleh pasar yang kian praktiknya telah menghegemoni masyarakat sipil baik sadar maupun tak sadar. Pada fase inilah keacehan hampir
336
dapat dibilang sebagai yang materialistik-oriented yakni bersumber dari praktikpraktik kapitalistis. Keempat adalah sintesis dari perdebatan sebelumnya. Dalam konsep identitas dijumpai penyebutan “titik temu” “titik singgung” antara parktik dan wacana di satu sisi, dan di sisi lain sebagaimana yang ditegaskan oleh Hall dan Schutz adanya proses produksi subjektifitas yang membentuk kita sebagai subjek, untuk itu, identitas merupakan titik singgung sementara antara posisi subjek dengan praktik diskursif yang membentuknya. Sementara pada batas definitif yang lain juga muncul seperti apa yang disebut Althusser sebagai “titik interpelasi”, di mana masing-masing telah menegaskan suatu proses negosiasi identitas secara lebih terbuka. Oleh karena itu, pada bagian relasi sintesis ini menjadi integratif yakni ada suatu konteks yang diintegrasikan bukan lagi saling mendominasi, tetapi saling berintegrasi antara kekuatan satu dengan yang lainnya. Dengan begitu, society, state, dan market menjadi kekuatan kolektif yang saling mendukung dan ketiganya merupakan sumber energi baru bagi sebuah konteks kebangkitan lokal di Aceh yang terbuka. Penjelasan ini juga mengandaikan suatu kenyataan sosial yang terbuka dan suatu relasi aktor yang bersifat integratif, di mana relasi ini saling
menguatkan,
saling
mendukung,
saling
memberi
ruang,
saling
membutuhkan, dan sebaliknya tidak saling mendominasi, saling menindas, dan tidak pula saling meng-otorisasi sebagaimana relasi-relasi sebelumnya. Programprogram rekonstruksi pasca tsunami, kesepakatan damai Aceh, serta dalam membangun demokrasi lokal adalah aksi-aksi humanitarian yang dapat menjadi dasar-dasar dialogis dan negosiatif. Pelibatan para aktor yang datang dari berbagai
337
latar belakang yang berbeda dapat menegosiasikan berbagai kepentingannya melalui program-program tersebut. Untuk itu, bentuk relasi yang integratif (integrative) dengan keikutsertaan (participatory) banyak pihak ini menjadi dasar atau pondasi dalam pembentukan identitas keacehan yang dibangun secara terbuka. Tentu tidak saja menjelaskan relasi-relasi aktor seperti yang telah digambarkan di atas, tetapi juga menjelaskan lebih jauh apa yang kini sedang berlangsung di Aceh hubungannya dengan relasi global dan pertemuannya dengan identitas lokal keacehan. Beberapa isu ditunjukkan sebagai sebuah formulasi temuan penting setelah dilakukan analisis dan pendataan secara intens, seperti tergambar dalam narasi-narasi sebelumnya. Pertama, bahwa masyarakat ternyata tidak saja menerima ide-ide atau gagasan global, tetapi pada kelompok masyarakat tertentu, di dalmnya selain menerima juga terjadi penolakan-penolakan, di mana praktik-praktik kapitalisasi nilai-nilai keacehan yang dirasa semakin merenggut hak sipil kewargaan masyarakat juga menjadi ajank kontestasi yang secara terus menerus dilakukan. Tidak saja itu, di tengah arus global yang demikian padat itu, bersama lembaga adat, keagamaan, Lsm-lsm maupun organisasi-organisasi sosial lainya, termasuk universitas adalah tempat mereka belajar bersama untuk memelihara kearifan lokal mereka. Oleh karena itu, memberi ruang seluas-luasnya pada kreatifitas kearifan lokal dalam konteks keterbukaan dan demokratisasi di Aceh menjadi agenda yang sangat mendesak, terlebih di tengah lonjakan kekuatan global yang terkadang menyandra tradisi dan budaya kehidupan masyarakat Aceh yang bahkan tidak bisa dikontrol. Dialog dan negosias identitas yang diciptakan tidak saja menjadi suatu titik singgung antar elit yang manghasilkan rumusan-rumusan strategis di akar
338
rumput secara intens, tetapi hasil negosiasi yang dibangun dapat dioperasionalkan dan dimplementasikan, meski praktiknya kadang berbenturan dengan beragam kepentingan indivudu-individu dalam masyarakat. Kearifan lokal hanya akan berlangsung langgeng jika dapat diimplementasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari sehingga mampu merespons dan menjawab tuntutan zaman yang selalu berubah. Kearifan lokal bahkan kini faktanya sampai pada formalisasi kearifan lokal yaitu kebijakan negara atau Qanun di Aceh, misalnya dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang berasaskan gotong royong dan kekeluargaan sebagai salah satu wujud kearifan lokal Aceh. Kedua, terbentuknya kultur keterbukaan yang ditemukan sebagai bias meluasnya globalisasi di Aceh. Disadari atau tidak kultur keterbukaan juga membawa implikasi penting bagi pembentukan identitas Aceh selanjutnya. Terutama pemberian hak otonomi khusus dan keistimewaan bagi Aceh kini sedikit demi sedikit dirasakan oleh masyarakat dan orang-orang Aceh secara menyeluruh. Kebebasan dan keterbukaan terhadap hak sipil masyarakat dalam banyak hal menjadi indikator kultural bahwa Aceh dan masyarakatnya telah mengalami perubahan sosial yang kompleks, dinamis dan cepat, terutama pasca tsunami dan pasca damai di Aceh. Dua momentum ini merupakan basis-basis kekuatan masyarakat yang merupakan bagian dari ranah yang mengkonstruksi identitas keacehan belakangan ini, tidak saja soal peluang dan kesempatan yang terbuka bagi pengembangan aspek-aspek ekonomi, sosial–politik, tetapi juga soal pendidikan dan kehidupan keagamaan yang tampak mengalami perubahan dalam banyak sisi. Termasuk munculnya keragaman dalam praktik keagamaan di Aceh.
339
Selain itu, kultur keterbukaan juga tumbuh subur pada dunia pendidikan seperti di kampus-kampus, juga seperti NGO-NGO / LSM lokal maupun internasional dan, pusat-pusat kebudayaan, di sektor swasta, para bisnismen, pusat-pusat perbelanjaan / yang dikenal pasar sebagai tempat jual beli aneka ragam barang dan jasa. Serta juga tidak kalah pentingnya dengan keterbukaan dalam bidang informasi dan teknologi, di mana Aceh juga dapat mengekspresikan kebebasan dan keterbukaan dalam bidang-bidang tersebut. Karena melalui pospos yang demikian kritis inilah basis-basis intelektual masyarakat Aceh telah dapat terbangun dengan sangat progressif. Diakui atau tidak momentum dua kekuatan besar ini telah menghadirkan gagasan–gagasan global baru bagi pembangunan Aceh. Sebut saja misalnya menguatnya NGO-NGO lokal dalam membuka akses dan jaringan internasional sudah tidak diragukan lagi, banyaknya para intelektual Aceh yang dilibatkan serta diundang dalam konferensi internasional tentang kebencanaan di Jepang adalah salah satu contoh bagaimana jaringan internasional itu dibangun. Selain itu, hadirnya NGO-NGO internasional sendiri juga telah membuka peluang bagi bertemunya identitas lokal dan global, selain memang Aceh telah lama bersentuhan dengan dunia internasional, namun peluangnya semakin menguat ketika setelah tsunami dan pembangunan Aceh. Di sinilah suatu proses negosiasi identitas antara lokal dan global yang ditandani oleh suatu era keterbukaan di Aceh, telah memberikan banyak sekali harapan menuju Aceh yang lebih baik. Ketiga, Aceh telah mengalami proses demokratisasi politik pasca konflik, masyarakat telah merasakan kemerdekan berpolitik yang hampir 8 tahun berlangsung memen-momen itu yakni sejak dibukanya partai politik lokal 2006
340
sampai penelitian ini ditulis. Dua peristiwa pemilu 2006 dan 2009 ini memperlihatkan bagaimana proses demokratisasi berlangsung secara “alami”. Asas dan standar pemilu yang menjadi indikator demokratik setidaknya dalam proses Pemilu tersebut, dapat terpenuhi. Partisipasi politik masyarakat begitu tinggi. Peran serta semua elemen masyarakat mulai dari tokoh agama, pemuka masyarakat, pemimpin politik, dan lain sebagainya, telah memberi andil yang sangat besar bagi suksesnya dua pemilu tersebut. Semua itu dilakukan sebagai upaya agar damai, adil dan sejahtera hadir secara permanen di Aceh. Oleh karena itu, UUPA yang menjadi amanah MoU Helsinki, dapat diimplementasikan dengan baik, sehingga kontribusi semua elemen dan komponen masyarakat dapat terwujud sebagai cita-cita terhadap pengembangan dan pembangunan Aceh secara berkelanjutan dan bermartabat. Oleh karena itu, sebagai langkah mendesak yang telah dilakukan adalah penyadaran publik terhadap pentingnya menjaga perdamaian agar tidak terpancing provokasi-provokasi liar, di mana momentum politik seperti ini secara sadar ataupun tidak telah memiliki potensi untuk menciptakan suasana chaos, baik karena motivasi psikologis, ekonomis ataupun politis. Harapannya agar semua pihak menyadari pesta demokrasi ini sebagai representasi “demokratisasi politik” di ranah lokal yang dapat berjalan dengan penuh damai. Keempat, hal yang menurut peneliti tidak kalah pentingnya adalah bahwa gerakan reaktualisasi ruang-ruang publik yang didesain dari dalam ini menjadi ajang kontestasi baru dalam arena kegiatan sosial-polik, budaya, serta ekonomi masyarakat lokal Aceh. Sebagai sebuah ruang budaya, ruang publik seperti meunasah, gampong, dayah, mesjid, serta bahkan warung kopi telah didudukkan
341
sebagai narasi kebudayaan yang akan selalu mengalami pergeseran orientasi ruang sekaligus maknanya, baik ke arah ruang politik, ruang budaya, bahkan ekonomi. Sejalan dengan itu, melalui reaktualisasi ruang publik seperti fungsi meunasah, aktifitas gampong, mesjid di Aceh, sedikit demi sedikit telah mengembalikan nilai-nilai keacehan yang telah digeser oleh kepentingan global. Bahkan bentukbentuk ikatan tradisional yang melemah pasca dibentuknya pemerintah otonomi khusus ini seperti, komunalisme yang kian retak, referensi ketokohan yang mulai mengabur dapat ditemukan kembali. Harapannya adalah bagaimana bentukbentuk public space seperti meunasah, mesjid, gampong, dayah, bahkan warung kopi dapat dikelola menjadi agen perubahan budaya yang mampu mengembalikan Aceh dari masa-masa krisis semacam ini. Oleh karena itu, perjumpaan antara lokal dan global selalu menemuhi proses-proses negosiasi yang panjang dan alot. Kelima, transformasi identitas Aceh juga merupakan gerakan intelektual penting untuk dilakukan dalam pembentukan identitas keacehan serta membangun Aceh yang lebih baik, berdaulat dan bermartabat. Salah satu basis nilai yang penting untuk merepresentasi kekuatan lokal adalah basis-basis sosial yang pada perkembangannya juga telah menjadi modal sosial (social capital) yang aktif. Oleh karena itu, pada batas tertentu, meski faktanya masyarakat tidak behadaphadapan secara ketat dengan globalisasi, Aceh tampak berani menunjukkan daya kritis. Harus ditekankan bahwa perkembangan Aceh tidak saja diciptakan oleh masyarakat Aceh sendiri, pelibatan global juga mewariskan pengembangan Aceh yang sangat cepat dan strategis. Meski dalam batas yang lain globalisasi seringkali melewati batas-batas teritori kultural yang sudah ditentukan sebagai arena kontestasi dalam masyarakat. Apa yang menjadi komitmen dari awal dalam studi
342
ini selalu memberi penekanan terhadap proses negosiasi antara lokal dengan global, di mana formulasi-formulasi yang diciptakan kedua belah pihak telah menemukan keseimbangan antar berbagai kepentingan. Oleh karena itu, transformasi identitas keacehan telah dibatasi oleh teritori-teritori budaya dan aspek lokalitas keacehan, meski begitu identitas terkadang telah melintasi batas-batas yang ditentukan, hal itu tergantung pada konstruksi eksternal (global) yang begitu kuat, lemahnya kontrol internal (lokal), dan didukung oleh kreatifitas lokal yang progressif . Penjelasan di atas menerjemahkan suatu kenyataan sosial keacehan bahwa identitas keacehan sangat terbuka oleh perkembangan kebudayaan kontemporer belakangan ini. Dinamika dan progresifitas masyarakatnyapun juga ikut menginternalisasi perkembangan yang terus menerus, bergeser dan berubah-ubah sesuai dengan kepentingan dan proses negosiasi yang dibangun. Oleh karena itu, perkembangan pembentukan identitas keacehan juga berproses melewati penyesuaian diri dengan kenyataan yang diamati dan diperoleh, sehingga tidak heran jika munculnya resistensi-resistensi dan penerimaan di dalamnya merupakan bagian dari proses negosiasi dalam pembentukan identitas keacehan. Proses inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebuat tahap eksternalisasi, yaitu sebuah proses menarik diri keluar atau proses adaptasi. Terlepas dari proses di atas pembentukan identitas keacehan juga mengalami institusionalisasi, artinya hubungan antara pemikiran masyarakat Aceh dan konteks sosial yang meyertainya bersifat dinamis, berkembang, bergeser, dan bahkan berubah-ubah, sehingga mengalami pelembagaan di setiap periode sejarah pembentukannya. Proses ini disebut objektivikasi oleh Berger dan Luckmann
343
karena terjadi melalui penegasan yang berulang-ulang bahkan mengalami reproduksi secara terus menerus di dalam perubahan ruang dan waktu. Oleh karena itu, proses pelembagaan aspek-aspek Kolonialitas, Melayu, Islam dan Modernitas di Aceh terjadi secara terus menerus dan berulang-ulang sampai kemudian membentuk world view, perspektif, gaya hidup, sistem nilai dan keyakinan, serta bahkan identitas itu sendiri. Proses inilah yang kemudian memberi legitimasi terhadap keseluruhan tindakan orang Aceh dan memberi makna pada berbagai bidang kehidupan masyarakatnya. Pada batas itulah kemudian masyarakat mengidentifikasi, menginternalisasi ke dalam kehidupan sehari-hari, artinya masyarakat masuk kedalam proses pelembagaan yang diciptakan baik melalui aspek-aspek Kolonialitas, Melayu, Islam, maupun Modernitas yang telah terlembaga dalam proses konstruksi sosial ini. Melalui proses yang demikian inilah identitas keacehan mengalami pergerakan yang terus menerus, dinamis, dan bahkan berubah-ubah, bergeser, hingga tumbuh menurut konteks dan kepentingan yang berkembang, serta proses negosiasi yang dibangun. Hal ini secara konseptual segaris dengan pemikiranpemikiran Stuart Hall dalam konsepsi identitas yang anti-esensialis. Meski ada ada beberapa varian di dalam masyarakat Aceh yang berseberangan dengan konsepsi teoritis ini, sebagaimana yang telah didiskusikan dalam pembahasan sebelumnya188. Keacehan sebagai yang anti-esensialis atau konstruktivis ini kemudian didukung dengan konteks pembangunan Aceh yang melibatkan aktor dan agensi yang sangat beragam, baik dari pluralitas masyarakat sendiri, peran-peran 188
Pengelompokan varian sosial bagi masyarakat yang pro dan yang tidak terhadap perubahan sosial di Aceh. lihat Halaman 307-309
344
kebijakan pemerintah/negara, sampai bahkan spirit dari kekuatan pasar yang telah mendukung proses pembangunan Aceh. Melalui jaringan program-program rehabrekon pasca tsunami, MoU perdamaian Aceh, dan geliat pembangunan demokrasi lokal telah menunjukkan sintesis keacehan yang cair, di mana bertemunya beragam identitas telah mengasumsi pandangan Giddens bahwa identitas tidak bisa dilepaskan dari persoalan cerita diri orang Aceh dan para subjek lain yang membentuknya. Oleh karena itu, identitas keacehan pasca konflik dan tsunami adalah identitas yang terbuka, identitas yang cair, yakni identitas keacehan yang dapat mengatasi kekentalan dan kebekuan etnosentrisme eksklusif yang sempat menguat pada generasi Hasan Tiro dan sebagain besar pada masa konflik189. Sebagai refleksi kritis, pembentukan identitas keacehan periode pasca konflik dan tsunami cenderung menggunakan cara-cara dialogis dan negosiatif, dan lebih bersifat akomodatif-partisipatoris, artinya tidak dikonfrontasikan dengan identitas, budaya, dan kepentingan yang lain. Oleh karena itu, kebangkitan lokal bukan hanya dimaknai dengan membangkitkan dan mempertahankan semangat identitas nasional keetnisan lamanya, melainkan identitas keacehan dibangun dengan semangat partisipatoris, yaitu pelibatan masyarakat secara utuh untuk mengkonstruksi identitasnya terutama pasca konflik dan tsunami. Sebagai akibat terbentuknya identitas yang beragam ini di Aceh, tidak heran jika kebangkitan lokal salah satunya adalah ingin mendobrak bentuk-bentuk konstruksi aktor yang terlalu kuat dan dominan. Kini prasyarat untuk mewujudkan itu sangat terbuka 189
Etnosentrisme cenderung dimaknai sebagai suatu kesadaran kolektif yang dipakai oleh elit Aceh/GAM untuk berhadap-hadapan dengan pemerintah nasional RI, dalam kaitan dengan keinginan Aceh untuk merdeka atau berpisah dengan RI. Sementara ketika berhubungan dengan jaringan internasional mereka tidak menonjolkan etnosentrismenya, melainkan lebih cenderung menggunakan diplomasi luar negeri yang justru lebih cair. Oleh karena itu, dalam konteks relasinya dengan RI lebih tepat menggunakan apa yang disebut etnonasional saja.
345
bagi Aceh, selain karena diterapkannya otonomi khusus, di Aceh juga telah diberi mandat sebagai Daerah Istimewa, sebuah mandat untuk dapat mengelola daerahnya sendiri baik dari aspek sosial, budaya, ekonomi, keamanan, maupun bidang politik. Oleh karena itu, perbedaan pembentukan identitas keacehan periode masa konflik dan sebelum tsunami adalah bahwa keacehan dikonstruksi secara ketat, tertutup, konfrontatif bukan menggunakan cara-cara dialogis maupun negosiatif, apalagi partisipatif, sehingga cenderung esensialis, hanya mempertahankan maindset kejayaan masa lalu yang gemilang. Tidak heran jika masa-masa kemunduran Aceh awal abad 17 diindikasi karena lemahnya cara-cara negosiasi maupun diplomasi ke luar yang diciptakan, serta tidak terbuka terhadap keragaman yang muncul, termasuk hubungan dengan asing cenderung dimaknai sebagai penolakan atas konstruksi keagamaan orang asing yang dikhawatirkan akan berpengaruh pada konstruksi keagamaan “Islam” Orang Aceh, di sinilah konservatisme Islam tumbuh meracuni kerangka berfikir generasi kemudian. Namun satu hal yang perlu dibedakan bahwa periode masa kejayaan Aceh abad ke 16, keacehan justru dibangun dengan kerangka yang adaptif, akomodatif dengan diplomasi yang dialogis dan negosiatif. Kondisi ini tidak saja membawa Aceh terlibat dalam kancah perdagangan internasional, tetapi juga otoritasnya dalam ranah geo-politik internasional misalnya membuat Aceh dapat memperluas jaringan perdagangan, terutama dengan dunia Islam, yang menjadikan Aceh sebagai pusat kajian Islam Nusantara waktu itu. Hal ini terlihat tingkat pluralitas masyarakat dan akulturasi yang berkembang di kerajaan cukup mewarnai cara pandang masyarakatnya waktu itu. Kebangkitan dan kemajuan Aceh yang 346
demikian pesat ini tidak saja dipicu oleh kehadiran Portugis, tetapi juga faktor kekayaan sumberdaya alam, kebijakan dari para penguasa yang mampu manarik para pedagang baik di tingkat regional maupun internasional untuk singgah di pelabuhan Aceh membuat Aceh terbiasa bersikap toleran, sebagaimana yang ditunjukkan para penguasa baik toleran dari aspek etnis maupun pada aspek budayanya. Oleh karena itu, di Aceh telah terjadi pergeseran paradigma identitas, sebuah akumulasi perubahan yang terjadi di Aceh pasca konflik dan tsunami. Sebelum tsunami masyarakat Aceh masih belum terpolarisasi sedemikian kompleks, masyarakat secara struktural masih banyak yang memahami bahwa Islam adalah seperangkat ajaran atau doktrin normatif yang beridentitas tunggal, “Islam is Islam, there is no Nahdlotul Ulama nor Muhammadiyah”, sebuah pandangan yang menggunakan asumsi bahwa identitas tidak bisa berubah-ubah, bergerak, bahkan tidak bisa berkembang, karena didasarkan pada suatu konsep bahwa identitas merupakan bawaan ketetapan yang dilahirkan dalam bentuk fisik oleh nasional-etnik secara melekat sepanjang zaman. Ini merupakan suatu contoh bagaimana identitas Aceh telah dibangun dengan paradigma etnonasionalesensialis. Pada pengertian yang lebih terbuka, etnonasional-esensialis dipahami sebagai suatu pandangan filosofis kebudayaan yang memahami bahwa identitas merupakan suatu entitas yang melekat secara tunggal yang cenderung statis atau stagnan, tidak bisa berkembang, dinamis, bergeser, bahkan berubah-ubah. Sementara pandangan kulturalnya Islam Aceh pada dasarnya adalah Islam yang berbasis pada ajaran-ajaran tasawuf yang cenderung moderat-inklusif dan tentunya bersifat kontekstual bukan tekstual. Pada perkembangan pasca konflik
347
dan tsunami identitas Aceh mengalami transformasi, yakni bukan lagi berparadigma “ethnonasional-essensialist” melainkan menjadi “transculturalaccomodative/participatorist”,
karena
secara
kultural
identitas
Aceh
digambarkan sebagai sebuah identitas masyarakat yang telah mengalami interaksi secara terbuka dengan budaya yang sangat beragam atau heterogen (trans-culture) dengan menerima atau mengakomodasi secara terbuka pula berbagai pelibatan masyarakat internasional. Akomodatif artinya bisa mengakomodasi dari berbagai kepentingan, budaya, maupun identitas sendiri, sementara keikutsertaan (participatory) beragam aktor dalam pembangunan keacehan yaitu ditandai dengan interaksi yang meluas di antara para lembaga-lembaga donor, LSM-LSM internasional, sektor swasta dan individu-individu, --baik yang membawa pesan melakukan rehab-rekon pasca tsunami maupun mereka yang datang dengan membawa pesan perdamaian pasca konflik-- dari berbagai negara dan kultur yang berbeda. Sementara kebangkitan Aceh masih ditandai oleh varian kelompok yang masih bertahan pada identitas lamanya (sebagaimana digambarkan pada bab 5 sub 2 baik kelompok kontekstual-transformatif, tekstual-eksklusif, dan konservatifakomodatif), bahkan kini mengalami perkembangan yang transformatif sampai sekarang, seperti reaktualisasi gampong, meunasah, mukim, dayah, dan mesjid. Meski gagasan dan praktiknya bukan mempertahankan identitas lama, tetapi membuang jauh-jauh bentuk konstruksi identitas yang bersifat membelenggu, mendiskrimanasi, memarginalisasi, dll. Selanjutnya mereka lebih memilih untuk menarik identitas yang didesain melalui cara-cara negosiatif dan partisipatoris, baik secara politik maupun kultural antara subjek-subjek keacehan (society) di
348
satu pihak dan di pihak lain yaitu state dan market. Oleh karena itu, praktik reaktualisasi ruang publik di Aceh merupakan gambaran pelibatan atau partisipasi masyarakat dan aktor-aktor yang lain seperti state dan market dalam menentukan identitas keacehan. Oleh karena itu, dapat diprediksi ketika kecondongan keacehan pada polapola partisipatoris, memiliki sifat keacehan yang terbuka dan akomodatif, serta memilih bentuk-bentuk identitas yang dialogis dan negosiatif bisa berlangsung dan bertahan terus menerus, maka apa yang ditunjukkan oleh sejarah masa keemasan atau kejayaan Aceh yang berkembang pada abad 16 an, yang ditandai dengan keacehan yang memiliki daya tahan yang kuat, bermartabat, berdaulat, serta dapat memberikan rasa berkeadilan bagi masyarakatnya dapat terbangun kembali pada keacehan masa sekarang dan yang akan datang. Inilah yang menjadi harapan hampir sebagian besar masyarakat Aceh tentang hakekat kebangkitan lokal keacehan yang dicita-citakan. ####
B. SARAN-SARAN Sebagai tahapan yang tidak kalah pentingnya dalam kajian akademik selain menyimpulkan hasil penelitian adalah tahapan yang menjelaskan tentang saransaran, baik saran terhadap pengembangan pengatahuan, prospek kajian, hubungan-hubungan antar subjek seperti para akademisi dan peneliti, maupun juga pandangan lain yang muncul sebagai elaborasi kritik terhadap pandangan yang berbeda, sampai pada keberpihakan peneliti dan sekaligus implikasi teoritis dan kebijakan publik yang berhubungan dengan pengembangan pengetahuan dan identitas keacehan kedepan. 349
Selanjutnya dipaparkan bagaimana saran-saran itu dijelaskan dalam beberapa subjek isu: Pertama, bahwa kajian tentang konstruksi identitas tidak bisa diamati
hanya
menggunakan perspektif tunggal,
melainkan subjek ini
memerlukan pendekatan yang beragam beserta konteks yang menyertainya. Kedua, konstruksi identitas keacehan semestinya dikaji kritis dan berani dengan melewati batas-batas kelompok, komunitas, sejarah, dan juga budayanya. Karena faktanya perkembangan identitas keacehan muncul dari persinggungan antara ideologis, sejarah dan budaya. Ketiga, sebagai sebuah saran baik untuk para peneliti maupun akademisi yang perhatian dengan isu-isu Aceh dan identitas keacehan seyogyanya ada keberpihakan pada lokus penelitian yang sedang dilakukan, meskipun tidak berarti menunjukkan karakter emosional di dalamnya. Keempat, Sebagaimana program studi yang peneliti tempuh di S3 UGM. Program Studi Agama dan Lintas Budaya sangat terbuka untuk melakukan studi-studi semacam ini. Karena identitas selain sebagai subjek meteriil dalam studi budaya (cultural studies), identitas juga bagian dari materi budaya yang juga membicarakan soal simbol, kearifan lokal, agama, etnisitas, seni, adat, dan lain lain (Harris, 1980, 211).
350