DAPATKAH BAHASA DAERAH SEBAGAI WAHANA PEMBENTUKAN KARAKTER (IDENTITAS)2 Sunu Catur Budiyono3 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Adi Buana Surabaya Abstrak Bahasa bukan hanya alat tetapi kebudayaan itu sendiri. Struktur bahasa merepresentasikan struktur budaya masyarakatnya. Dengan demikian, bahasa mencirikan karakter, nilai, filosofi, maupun estetika masyarakat pendukungnya. Bahasa tidak hanya digunakan untuk mengkonstruksi budaya tetapi juga untuk mewariskan budaya. Pembentukan perilaku (karakter) warga suatu kebudayaan, secara dominan dilakukan melalui bahasa (selain dengan contoh atau aktivitas yang lain). Bahasa menjadi media ungkap terdalam warga kebudayaan tentang suka citanya, kebenciannya, kecintaannya, maupun religiusitasnya. Oleh karena itu, perkembangan bahasa dapat digunakan untuk melihat perkembangan kebudayaan, semakin besar perkembangan kebudayaan suatu masyarakat maka semakin besar pula perkembangan bahasanya, demikian pula sebaliknya. Kata kunci: bahasa, budaya, karakter
Abstract Language is not just a tool but the culture itself. Language structure represents the structure of society culture. Thus, language is characterizing character, values, philosophy, and aesthetics of its society supporters. Language is not only used to construct the culture but also to inherit culture. To form character of the citizen of a culture, predominantly conducted through language (other than the sample or other activities). Language becomes a media revealer most in the cultural community about its joy, its hatred, its love, and its religiosity.Therefore, the development of language can be used to see the development of culture; the greater the cultural development of a society, the greater the development of language, and vice versa. Keywords: language, culture, character
A. Bahasa: Konstruksi dan Dekonstruksi Karakter Bahasa bukan hanya memiliki peranan penting dalam pembentukan karakter suatu “bangsa” tetapi juga kelangsungan hidup etnik atau suku (bangsa). Karena bahasa selain menjadi identitas bagi mereka, juga merupakan sarana untuk memelihara, menciptakan, mewariskan, mengungkapkan, dan berperilaku bagi etnik yang bersangkutan. Sehingga bahasa menjadi representasi eksistensi mereka yang secara simbolik harus dipertahankan dan diwariskan secara terus menerus demi kelangsungan dan kemurnian suatu etnik. Bahasa sebagai media untuk mencipta dan mengungkapkan kebudayaan. Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan sebagai wahana untuk mengungkapkan budaya maka di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya yang khas yang dimiliki masyarakatnya. Bahasa digunakan sebagai 2 Disampaikan dalam seminar nasional di Universitas Widya Dharma Klaten. 3
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Adi Buana Surabaya
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
59
sarana untuk bertutur, berpikir, mengekspresikan gagasan, serta untuk berinteraksi antaranggota masyarakat dan lingkungannya. Seperti dikemukakan oleh Briefly (dalam Howell, 1985:271) bahwa bahasa yang pertama-tama digunakan sebagai media komunikasi dan kemudian sebagai wacana pokok yang memberikan informasi tentang budaya dan sosial. Dalam kenyataannya antara bahasa dan sosial saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Persepsi manusia tentang dunia akan mewarnai simbol-simbol (bahasa) yang digunakannya. Dengan kata lain, apa yang dikatakan seseorang, bagaimana cara mengatakan dan mengucapkannya sangat dipengaruhi oleh apa yang dilihat, dialami, dan dirasakan dalam dunia nyata. Dikatakan oleh Fairclough (1989:22) bahwa bahasa merupakan kenyataan sosial. Implikasi dari pernyataan tersebut adalah (1) bahasa merupakan bagian dari masyarakat, (2) bahasa merupakan sebuah proses sosial, dan (3) bahasa merupakan sebuah proses yang dikondisikan secara sosial, yakni dipengaruhi oleh faktor nonlinguistik. Sebagai kenyataan sosial, bahasa berada dalam lingkungan yang hidup. Bahasa merupakan representasi nilai, filsafat, estetika, dan etika bagi masyarakat etnik. Dalam kaitannya dengan kegiatan komunikasi, bahasa dapat dibedakan menjadi bahasa sebagai pikiran dan bahasa sebagai tindakan. Menurut Halliday (1985:24--28) makna bahasa sebagai pikiran mengandung arti bahwa kalimat-kalimat dalam bahasa tersebut mengungkapkan proses, peristiwa, tindakan, keadaan atau segi yang dikenal lainnya tentang dunia nyata yang mempunyai semacam hubungan simbolik dengan makna. Sedang bahasa sebagai tindakan mengandung arti bahwa kalimat-kalimat yang ada dalam bahasa tersebut mempunyai fungsi sebagai sarana berbuat dalam proses interaksi sosial. B. Bahasa Daerah “Pelajaran yang Paling Sukar” Topik di atas sesungguhnya merupakan pernyataan keprihatinan mengenai fenomena yang terjadi pada siswa SD di perkotaan (Malang dan Surabaya) dalam penguasaan dan pemahaman bahasa daerah (Jawa). Hasil surve yang penulis lakukan terhadap siswa SD di kedua kota tersebut menyatakan bahwa: (1) bahasa daerah merupakan pelajaran yang paling sulit4, (2) siswa yang terkena remidi mayoritas pada pelajaran bahasa daerah, (3) bahasa daerah bagi siswa berhenti sebagai pengalaman kognitif5, (4) pembelajaran bahasa daerah disampaikan melalui bahasa Indonesia, sehingga siswa kehilangan model berbahasa dan pajangan bahasa, dan (5) tidak semua guru bahasa daerah berlatar belakang pendidikan guru bahasa daerah. Selain sejumlah faktor di atas, terdapat faktor sosial lain yang menyebabkan lemahnya penguasaan bahasa daerah siswa di kota, yakni berubahnya basis sosial budaya (Jawa). Bahasa Jawa merupakan produk dari masyarakat agraris dengan segala kompleksitas budaya dan sosialnya. Sementara itu, masyarakat Jawa saat ini mengalami lompatan sosial budaya dari
4
Dalam pandangan siswa SD, urutan tingkat kesulitan mata pelajaran (tiga teratas) adalah bahasa daerah, matematika, dan bahasa Inggris.
5 Jika bahasa hanya menjadi pengalaman kognitif maka tidak akan mampu berpengaruh terhadap sikap/perilaku dan keterampilan penuturnya. Dalam kondisi seperti ini maka bahasa kehilangan “ruh”-nya dan tidak memiliki efek psikologis yang berwujud perilaku dan sosial. Dengan demikian, bahasa kehilangan daya terhadap penuturnya dan tidak lagi mampu membentuk karakter sebagaimana bahasa itu seharusnya bertindak.
60
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
masyarakat agraris ke masyarakat industri6 dengan basis yang sama sekali berbeda. Hal ini berimplikasi pada “berubahnya bahasa, berubahnya perilaku, dan berubahnya cara berpikir”. Dalam kondisi seperti ini, masih relevankah pernyataan “bahasa daerah sebagai wahana pembentukan karakter?” Selain itu, nilai-nilai sosial dan budaya Jawa telah mengalami entropi dan paraphernalia (budaya tidak mampu lagi menjadi representasi karena telah kehilangan nilai dan daya). Nilainilai tersebut dalam batas tertentu tidak lagi mampu mendukung, bahkan tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakatnya. Demikian pula, anak-anak (siswa) telah kehilangan “dunia bermainnya”, mitologi, dan pandangan dunia yang berjiwa agraris itu. Kondisi ini diperparah dengan hebatnya gempuran budaya sanding maupun budaya tanding yang sampai menyeruak dunia imajinasi dan mimpi anak-anak (siswa kita). Dengan demikian, bahasa Jawa tidak lagi menjadi bahasa imajinasi dan mimpi mereka. Bahasa Jawa tidak lagi menjadi bahasa ekspresi terdalam, ekspresi kebencian, ketabuan, bahkan cinta. Anak-anak (siswa) di perkotaan Jawa telah kehilangan taste bahasa Jawa-nya. Perubahan budaya dari tradisional (agraris) ke industri yang juga dipengaruhi oleh adanya perubahan mode of production dari “sistem budaya” dapat digambarkan sebagai berikut. Perubahan makna identitas simbolik
SUPER STRUCTURE
Agraris, Representasi Identitas (karakter)
Sakral
Mental
Profan
Solidaritas
Sosial budaya
Jasa
Tradisional agraris
Material budaya
Teknologi, IT
Industry, Entropi dan paraphernalia
INFRA STRUCTURE
: Terjadi transformasi dari tradisi ke modern : infra structure memengaruhi super structure Perubahan budaya tersebut tidak hanya pada tataran material budaya tetapi juga menyentuh tataran sosial budaya dan mental. Perubahan landasan material budaya berjalan 6 Jika kita mengikuti pandangan Ong tentang tahap perkembangan masyarakat dilihat dari keberaksaraannya, yang mencakup (1) kelisanan primer, (2) keaksaraan, dan (3) kelisanan skender. Maka masyarakat Indonesia mengalami lompatan dari kelisanan primer langsung ke kelisanan skender. Masyarakat Indonesia tidak mengalami tahap keaksaraan.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
61
terus karena pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan, perubahan sosial budaya juga berubah karena pertumbuhan penduduk, dan perubahan mental-kognitif didukung oleh pertumbuhan informasi dan peningkatan komunikasi yang tidak dapat selalu dikontrol (Kleden, 1987:242). Hal ini sejalan dengan pandangan Whorf dalam teori linguistic relativity bahwa tatabahasa (grammars) bukanlah sesuatu yang sederhana untuk mengemukakan gagasan, akan tetapi grammars merupakan bentuk gagasan itu sendiri, panduan aktivitas mental, dan ungkapan dari impresi kita sendiri (Howell, 1985:272). Grammar merupakan kaidah ujaran suatu generasi, sedangkan grammar budaya merupakan kaidah dari pola perilaku suatu generasi. Sehingga komponen-komponen pola budaya tercermin di dalam phonem, morphem, struktur sintaksis, dan sebagainya. Ujaran adalah tingkah laku nyata bagaimana orang-orang menghasilkan bunyi-bunyi bahasa (Keesing, 1992:79). Dengan demikian, bahasa bukan hanya sebagai alat tetapi merupakan budaya itu sendiri. Pemahaman terhadap bahasa merupakan pemahaman terhadap budaya. Lebih lanjut bahasa dapat digunakan sebagai sarana untuk membedah budaya dan menjadi identitas atau karakter etnik. Perilaku budaya dikondisikan oleh bahasa, sedangkan bahasa memiliki struktur, karena itu kita dapat melihat hubungan antara struktur bahasa dengan struktur perilaku pemakai bahasa itu (Howell, 1985:274). Suatu komunikasi yang dilakukan lewat ujaran (secara lisan) dipengaruhi pada pemilihan kata, konstruksi gramatikal, dan kepaduan sintaksis dalam suatu kalimat. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan pengalaman, tetapi yang lebih penting berfungsi sebagai sarana membentuk pengalaman penuturnya. Bahasa bukan hanya merupakan sarana sistematis yang bertugas menyampaikan berbagai pengalaman yang tampak relevan bagi individu, tetapi bahasa merupakan organisasi simbolik yang kreatif dan menentukan. Bahasa tidak hanya mengacu ke pengalaman yang telah diperoleh tanpa bantuan bahasa itu, tetapi membentuk pengalaman kita secara tak tersadari dengan kelengkapan formulanya. Dalam hal ini, bahasa menyerupai sistem matematika yang merekam pengalaman secara hakiki pada tahap awalnya, tetapi seirama dengan perkembangan waktu, menjadi sistem konseptual yang terjabar rinci dan menentukan semua pengalaman (Sapir-Whorf dalam Cahyono, 1995:420). Geertz (dalam Casson, tt:17) budaya merupakan sistem makna simbolik. Bahasa merupakan sistem semiotik yang berupa simbol yang berfungsi untuk komunikasi. Budaya merupakan simbol, bahasa juga berupa simbol yang mengungkap hubungan antara bentuk dan makna. Simbol merupakan sesuatu yang umum (public). Anggota masyarakat dalam memahami objek, tindakan, dan peristiwa di lingkungannya terletak pada makna tanda secara individual dan sebagai milik masyarakat. Simbol tidak dapat berdiri sendiri lepas dari konteks masyarakat yang menghasilkannya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa bahasa merupakan penuntun “realitas sosial.” Bahasa dengan kuat menentukan pemikiran kita mengenai masalah dan proses sosial. Demikian pula cara pandang kita lebih banyak ditentukan oleh pola-pola sosial yang disebut kata daripada yang kita duga. Kita melihat, mendengar, dan mengalami sesuatu karena kebiasaan berbahasa masyarakat kita menentukan pilihan-pilihan penafsiran tertentu.
62
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
C. Problematika bahasa daerah sebagai dasar pembentukan karakter Terdapat sejumlah problem jika bahasa daerah digunakan sebagai dasar pembentukan karakter (bagi siswa di perkotaan Jawa). Problem-problem tersebut tidak semata-mata terletak pada bahasa yang digunakan tetapi lebih pada persoalan jarak budaya dan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Selain itu, bahasa daerah cenderung lambat dalam mentransformasikan dirinya menjadi bahasa “ucap” di era teknologi. Di sisi yang berbeda, gempuran budaya sanding dan budaya tanding telah memasuki wilayah privat. Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa bahasa daerah (Jawa) bagi siswa di perkotaan telah kehilangan daya ungkap yang terdalam. DEFAMILIERISASI
WARGA BUDAYA NILAI SOSIAL BUDAYA, PERILAKU, UNGKAPAN/ PERIBAHASA IDIOLOGI (WORTH VIEW), SENI
BAHASA DAERAH
KARAKTER INTERNALISASI EKSTERNALISASI OBJEKTIVASI
PEDULI, JUJUR AMANAH, RELA, HORMAT, ETIS, MANDIRI, RELIGIUS, DISIPLIN NRIMA,
ENKULTURASI
1. Bahasa daerah (Jawa) seharusnya hadir di hadapan warga budaya secara given (terberi) dalam suasana yang familier, sehingga enkulturasi budaya terjadi secara maksimal. Hal ini mensyaratkan adanya keselarasan antara watak bahasa, budaya, dan sosial. 2. Dalam konteks bahasa Jawa terjadi “Defamilierisasi” dan “enkulturasi” dipengaruhi oleh pemahaman warga budaya terhadap nilai-nilai yang dihayati dan hal itu berpengaruh terhadap karakter yang dikonstruksi atau dihasilkan serta menimbulkan tegangan dalam horizon harapan warga budaya.(terjadi ambiguitas antara yang diwarisi, harapan kedepan (terkait kondisi saat ini) dan harapan untuk mewariskan). 3. Pemahaman terhadap bahasa daerah tersebut juga dipengaruhi oleh latar belakang dan prerequisit yang dimiliki warga budaya terkait problema dan kontekstualitas yang dihadapi. 4. Defamilierisasi dan enkulturasi menentukan serta menimbulkan tegangan bagi warga budaya dalam menginternalisasi dan mengeksternalisasi karakter atau nilai dari bahasa daerah yang diwarisi. Adanya tegangan tersebut akan menimbulkan konstruksi atau dekonstruksi karakter sesuai dengan konteks budaya warga. 5. Keragaman hasil pewarisan dan eksplorasi terhadap bahasa daerah merefleksikan keragaman horison harapan warga budaya.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
63
D. Bahasa sebagai Sarana Mengkonstruksi dan Menegosiasikan Identitas (Karakter) Bahasa sebagai salah satu komponen pembentuk identitas (karakter) yang memandang bahwa aktor-aktor sosial dalam mengkonstruksi karakter dilakukan melalui bahasa. Bahasa sebagai salah satu instrument identitas berperan penting dalam membentuk, mengkonstruksi, dan melestarikan identitas bagi suatu etnik tertentu. Karena itu, dengan bahasa mereka mengungkapkan perasaan, pikiran, keinginan, dan imaginasi bagi warga etnik. Bahasa daerah (etnik) merupakan dunia pertama bagi (kita) warga etnik, untuk menyampaikan sensasi dan perasaan, aktivitas pertama dan kegembiraan yang kita nikmati. Mengasosiasikan gagasan atas ruang dan waktu, cinta dan kebencian, kebahagiaan dan aktivitas, dan semua kegairahan di dalamnya, mengabadikan ini dan itu semua, dan bahasa menjadi stok. Melalui dan dengan bahasa itu pula mereka menenun identitas dan menggunakannya. Melalui bahasa (daerah) suatu substansi (dunia batin) warga etnik disimbolkan, diorganisasikan, dan ditransformasikan. Substansi dan simbol etnik biasanya bersifat primordial. Dalam konteks seperti itu, berarti bahwa bahasa (daerah) etnik dielaborasi secara filosofis dan religius sampai pada sikap yang paling dasar. Dengan demikian, bahasa di satu sisi menempati ruang paling privat untuk mengkonstruksi, menyatakan, dan menegosiasikan keinginan dalam panggung belakang. Di sisi lain, bahasa merupakan sarana untuk representasi bagi warga etnik dalam panggung depan mereka. Demikian pula, multilingual dalam batas tertentu merepresentasikan adanya multiidentitas, yang sekaligus dapat mencerminkan adanya dialektika budaya. Hal ini menunjukkan bahwa ia mengandung dua budaya atau lebih yang saling berinteraksi dan bersentuhan di dalamnya. Pun, juga berarti bahwa penyerapan budaya diikuti dengan penyerapan bahasa, karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan sekaligus sebagai salah satu wahana untuk mengekspresikan dan mendokumentasikan budaya. Bahasa bukan hanya merupakan sarana sistematis yang bertugas menyampaikan berbagai pengalaman yang tampak relevan bagi individu, tetapi bahasa merupakan organisasi simbolik yang kreatif dan menentukan. Bahasa tidak hanya mengacu ke pengalaman yang telah diperoleh tanpa bantuan bahasa itu, tetapi membentuk pengalaman kita secara tak tersadari dengan kelengkapan formulanya. Dalam hal ini, bahasa menyerupai sistem matematika yang merekam pengalaman secara hakiki pada tahap awalnya, tetapi seirama dengan perkembangan waktu, menjadi sistem konseptual yang terjabar rinci dan menentukan semua pengalaman (Cahyono, 1995:420). Selain itu, dalam komunitas etnik yang terbatas, ketika berada di luar ”panggung etniknya”, bahasa selain untuk menjaga perasaan solidaritas dan ungkapan emosi primordial juga dapat menjadi identitas eksklusif dari anggota etnik. Dengan kata lain, bahasa digunakan sebagai pengikat atas perasaan yang sama sedarah dan satu primordial. Bagaimana bahasa dapat mengindikasikan berbagai informasi? Berbagai faktor di dalam fenomena sosial, kultural, maupun politik. Pada tataran individu, ”Di mana Anda berkembang? Bagaimana kesejahteraan atau kesusahan keluargamu? Semuanya disampaikan melalui bahasa, bahwa Anda berbicara.” Bahasa dapat mengindikasikan bukan hanya asal wilayah mereka, tetapi juga kelas sosial, pendidikan, dan sebagainya. Hal ini juga merupakan pokok bagaimana menggunakan bahasa dengan yang lain. Dengan kata lain, bagaimana kita berkomunikasi dan berinteraksi dengan yang lain melalui ujaran (Thomas, 1999: 136-137). Dalam kehidupan routin, dalam batas tertentu, bahasa daerah di perkotaan tidak lagi menjadi bahasa utama dan pertama.
64
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
Karakter, apakah individual, sosial, atau institusional adalah sesuatu di mana kita secara konstan membangun dan mengonstruksi semua kehidupan kita melalui interaksi dengan yang lain. Identitas (karakter) juga multi faset: orang (siswa) berganti/berpindah dalam peran yang berbeda, waktu berbeda, situasi berbeda, dan setiap konteks menuntut pergantian yang berbeda, kadang-kadang konflik, identitas senantiasa termasuk di dalam pergantian tersebut. Selanjutnya pola enkulturasi dengan menggunakan local genius yang ditawarkan berkaitan dengan bentuk kultur pendidikan di “sekolah” dapat dibagankan sebagai berikut. Pembelajaran bahasa daerah sebagai media pembentukan karakter. KARAKTER PEDULI, JUJUR AMANAH, RELA, HORMAT, ETIS, MANDIRI, RELIGIUS, DISIPLIN NRIMA
Fase Atensi
Hasil Warga Budaya meniru karakter yang menampilkan kesadaran kolektif
Warga budaya mengkonstruksi karakter yang diambil dari praktik dalam masyarakat
Fase Retensi Warga budaya melakukan tahapan asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi
Fase Atensi
Fase Reproduksi
Semua Elemen budaya dan pendidikan memotivasi warga budaya sesuai dengan motif masingmasing pembelajar
Warga Budaya mereaksi hasil enkulturasi yang telah disatukan dengan struktur kognitif dan afektif
Hal penting dalam kultur pendidikan yang dibentuk adalah siswa (warga budaya) (1) dapat mengekspresikan gagasannya berdasarkan paparan atau pola yang digunakan, (2) melakukan refleksi dan recognisi terhadap budaya, keadilan, demokrasi, pluralitas, jujur, hormat, etis, dan toleransi berkaitan dengan budaya dan komunitasnya sendiri maupun yang lain, (3) bersikap kritis terhadap tindakan ketidakadilan (injustice), ketidaksetaraan (inequality), prasangka (prejudice), dan tidak toleran (intolerance), (4) bersikap terbuka dan mau menerima keragaman dalam kehidupan mereka, dan (5) bersedia melakukan negosiasi berkaitan dengan perbedaan dirinya dengan yang lain.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
65
DAFTAR PUSTAKA Ayatrohali. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta Pusat: Pustaka Jaya. Budiman, Manneke. 1999. Jatidiri Budaya dalam Proses “Nation Building” di Indonesia: Mengubah Kendala Menjadi Aset, Wacana: Jurnal Ilmu Pengatahuan Budaya. Vol.1, No.1 April 1999. Universitas Indonesia. Castells, Manuel. 2004. The Power of Identity (New Edition). Oxford: Blackwell. Delanty, Gerard. 1999. Social Theory in a Changing World: Conceptons of Modernity. Oxford – USA: Polity Press. Fairclough, Norman. 2000. Discours and Social Change. Cambridge: Polity Press. Fennell, Barbara A. 1997. Language, Literature, and the Negotiation of Identity. Chapel Hill: University of North Carolina Press. Geertz, Clifford. 1994. Primordial and Civic Ties, dalam Nationalism, edited by John Hutchinson and Anthony D. Smith. Oxford: Oxford University Press. Goffman, Erving. 1959. The Presentation of Self In Everyday Life. New York: Doubleday Anchor. Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES. Koesoema, A. Doni. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta:Grasindo. Kohlberg, Lawrence. 1995. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta: Kanisius. Lickona, Thomas. 1992. Education For Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York. Lickona, Thomas. 1998. Character Matter. New York. Mannix, Darlene. 2002. Character Building Activities For Kids. San Francisco: JosseyBass. Nucci, Larry. 2008. Hand Book of Moral and Character Education. New York. Routledge. Oetomo, Dede. 2001. Bahasa, Wacana dan Imajinasi Bangsa, Nasionalisme Etnisitas: Pertaruhan Sebuah Wacana Kebangsaan. Yogyakarta: Interfidei. Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Weil, Marsha. 1978. Sosial Models of Teaching: Expanding Your Teaching Repertoir. New Jersey: Prentice-Hall.
66
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”