TEQIP SEBAGAI WAHANA MEWUJUDKAN PEMBELAJARAN BERMAKNA DAN MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
Subanji Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Tulisan ini membahas praktik pembelajaran bermakna di TEQIP dalam rangka mewujudkan bangsa berkarakter. Kajian ini dilakukan terhadap kegiatan TEQIP kerjasama PT Pertamina (Persero) dengan Universitas Negeri Malang dalam memberdayakan guru dari Sabang sampai Merauke yang telah berlangsung selama empat tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi (1) perubahan perilaku guru dalam mewujudkan pembelajaran bermakna di kelas, (2) peningkatan kreativitas guru dalam melaksanakan pembelajaran bermakna, dan (3) pembentukan karakter siswa yang meliputi kerja keras, mandiri, kreatif, kritis, saling menghargai dan menghormati perbedaan. Kata kunci: TEQIP, pembelajaran bermakna, karakter
Pada dekade terakhir terjadi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi yang sangat pesat. Perkembangan tersebut menunjukkan adanya perkembangan peradaban manusia. Peradaban akan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu dan akan berlangsung semakin cepat. Perkembangan peradaban tidak mungkin dibendung lagi, karena itu yang bisa dilakukan adalah membangun peradaban yang baik. Salah satu langkah utama membangun peradaban yang baik adalah melalui pembentukan karakter. Peranan pendidikan sangat penting dalam membentuk karakter manusia (Lickona, 2003; Chapman, 2011; Narvaez & Lapsley, 2006; Bercowitz & Bier, 2005). Lickona (2003) menjelaskan bahwa ada sepuluh nilai-nilai utama dalam membentuk karakter yang baik, meliputi wisdom (kebijaksanaan), justice (keadilan), fortitude (ketabahan), self-control (penguasaan diri), love (memiliki rasa cinta), positive attitude (sikap positif), hard work
(kerja keras), integrity (integritas), gratitude (sikap mau berterimakasih kepada orang lain), dan humility (kerendahan hati). Lebih lanjut Lickona menegaskan bahwa nilai-nilai utama yang membentuk karakter tersebut perlu dikembangkan di sekolah. Hal ini bisa dilakukan dalam kegiatan penanaman nilai-nilai secara periodik, bisa mingguan, bulanan, dan tahunan. Sekolah juga perlu mengembangkan model penanaman nilai-nilai tersebut melalui kurikulum pendidikan di sekolah. Pengintegrasian nilai-nilai karakter ke dalam kurikulum dan kegiatan sekolah akan menjadi lebih efektif jika dilakukan secara bersama dan komprehensif. Chapman (2011) menyarankan agar penanaman nilai-nilai karakter di sekolah diwujudkan dalam bentuk pendidikan karakter. Lebih lanjut, Chapman menjelaskan sebagai berikut. The main idea of Character Education is to improve the behavior and attitudes of students
307
308, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
at school. According to Character Education, the application of social-emotional and character development (SECD) in classrooms is about teaching, practicing, and modeling essential personal and civic life habits and skills that are almost universally understood as making people good human beings Pendidikan karakter digunakan untuk meningkatkan penanaman nilai-nilai yang berkaitan dengan perilaku dan sikap siswa di sekolah. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk melaksanakan pendidikan karakter kepada siswa di sekolah, salah satu yang utama adalah modeling. Hal ini ditegaskan oleh Chapman (2011) seperti berikut. Many different strategies have been developed to continue to improve the design of the program. Modeling is a main component to the success of Character Education. Another successful idea is to have the students help write the rules for the classroom. Students can pick important character traits such as fairness, respectfulness, and honesty that they all feel are important to follow. Other constructive strategies proven effective for teaching Character Education include: direct instruction, cooperative learning, role playing, and service projects. Pendidikan karakter bisa dilakukan secara terintegrasi dalam praktik pembelajaran. Siswa bisa diajak untuk membangun kesepakatan bersama dengan menuliskan aturan-aturan yang memuat nilai-nilai karakter yang diperlukan dalam proses pembelajaran, misalnya dalam diskusi harus menghargai pendapat orang lain, harus menghormati orang lain, harus jujur, dan harus adil.
Narvaez & Lapsley (2006) menekankan pentingnya mengintegrasi-kan pendidikan karakter ke dalam praktik pembelajaran. Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang dapat menumbuhkembangkan karakter siswa. Guru juga perlu memberikan porsi yang cukup untuk memasukkan nilai-nilai karakter yang baik kepada siswa baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Bercowitz & Bier (2005) mengaji praktik pendidikan karakter guru di sekolah. Guru perlu mendapatkan “cara” mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam praktik pembelajaran di kelas, juga perlu ada upaya peningkatan kesadaran guru terhadap pentingnya mengintegrasikan pendidikan karakter ke praktik pembelajaran. Pendidikan karakter semakin dirasakan penting seiring perkembangan tantangan kehidupan. Pada saat ini, hampir setiap hari siswa dihadapkan pada informasi-informasi yang “tidak jarang” menunjukkan karakter “tidak baik”, seperti yang ditayangkan di sinetron, film, pertunjukan langsung, dan sebagainya. Demikian pula berbagai perilaku negatif sering disaksikan oleh siswa melalui berbagai media, seperti adanya tawuran pelajar, tawuran suporter, tindakan anarkis, keterlibatan dalam narkoba, dan sebagainya. Berdasarkan beberapa temuan tentang pentingnya pendidikan karakter dan tantangan yang dihadapi oleh siswa, maka perlu ada upaya sistematis untuk membangun karakter yang baik dan sekaligus membentengi siswa dari berbagai pengaruh negatif. Upaya tersebut harus dilakukan secara menyeluruh mulai dari pendidikan tingkat rendah sampai tingkat tinggi. Salah satu bentuk pendidikan karakter dalam praktik pembelajaran adalah pembelajaran bermakna. Subanji (2013) menjelaskan bahwa belajar bermakna menggambarkan proses seseorang dalam mengonstruksi penge-
Subanji, TEQIP sebagai Wahana Mewujudkan Pembelajaran Bermakna, 309
tahuan dengan mengaitkan antara apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan yang sudah dimiliki. Dalam belajar
terjadi konstruksi pengetahuan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Terjadinya proses asimilasi dan akomodasi dapat digambarkan seperti berikut.
Asimilasi
Akomodasi Struktur Materi
Struktur Materi
Skema
Skema
Asimilasi Akomodasi Integrasi
Gambar 1. Terjadinya Proses Asimilasi dan Akomodasi dalam belajar Menyatakan kesesuaian antara struktur materi dan skema yang dimiliki
Pada proses asimilasi, struktur materi yang dipelajari oleh siswa sudah sesuai dengan struktur berpikir (skema) yang dimiliki oleh siswa, sehingga stimulus tersebut dapat diinterpretasi secara langsung oleh siswa. Dalam hal ini terjadi pengintegrasian stimulus ke dalam skema yang sudah dimiliki. Ketika struktur materi yang dipelajari oleh siswa belum sesuai dengan skema yang dimiliki, maka akan terjadi proses modifikasi skema lama atau pembentukan skema baru sehingga struktur materi dapat diintegrasi ke skemanya. Pembentukan skema baru berlangsung secara terus menerus dalam proses belajar siswa, sehingga pengetahuan yang dikonstruksi dari waktu ke waktu semakin kompleks. Dalam proses belajar
Menyatakan ketidaksesuaian antara struktur materi dan skema yang dimiliki
bermakna, senantiasa terjadi pembentukan skema baru yang terintegrasi dengan skema lama. Dalam hal ini proses asimilasi dan akomodasi bisa terjadi secara bersamasama. Sebaliknya, belajar dikatakan “tidak bermakna” apabila proses konstruksi terjadi dengan tidak mengaitkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru. Pengetahuan yang terbentuk tidak terikat secara utuh dalam skema pengetahuan. Konstruksi pengetahuan yang terbentuk bersifat sementara (tidak permanen), dampaknya siswa mudah lupa terhadap apa yang dipelajari. Demikian pula, siswa sulit memanggil pengetahuan lama yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah baru. Bahkan ketika siswa
310, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
diberikan masalah yang “mirip” dengan yang pernah dipelajari mereka tidak bisa memecahkannya. Hal-hal seperti ini yang sering ditemui dan dikeluhkan oleh guru dalam proses pembelajaran di kelas, karena itu perlu mengembangkan pembelajaran bermakna. Pembelajaran bermakna merupakan upaya menciptakan terjadinya belajar bermakna dan melanjutkan proses internalisasi pengetahuan menjadi perilaku dan karakter diri. Pembelajaran bermakna tidak hanya berhenti pada terbentuknya pengetahuan, tetapi lebih jauh membentuk pengetahuan menjadi perilaku dan karakter diri siswa. Subanji (2013) menjelaskan bahwa Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses sistematis dan terencana yang dirancang oleh pembelajar (guru) untuk membelajarkan siswa sehing.
ga siswa mampu: (1) mengonstruksi pengetahuan (materi) baru melalui pengaitan dengan pengetahuan lama, (2) memahami materi lebih dari sekedar tahu, (3) mampu menjawab apa, mengapa, dan bagaimana, (4) menginternalisasi pengetahuan ke dalam diri sedemikian hingga membentuk perilaku, dan (5) mengolah perilaku menjadi karakter diri. Dalam hal ini peranan guru adalah (1) mengaitkan materi yang diajarkan dengan pengetahuan lama yang dimiliki oleh siswa, (2) menjadi pembangkit belajar, (3) memberikan scaffolding ketika dibutuhkan oleh siswa, dan (4) menjadi pemicu berpikir bagi siswa. Lebih lanjut, Subanji (2013) merevitalisasi pembelajaran bermakna dalam Teacher Quality Improvement Program (TEQIP) seperti berikut:
Gambar 2 Revitalisasi Pembelajaran Bermakna diadopsi dari Subanji (2013)
Pembelajaran bermakna yang dikembangkan di TEQIP sebagai perluasan dari meaningfull learning yang dicetuskan oleh Ausubel. Selain bisa mengaitkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru, juga sangat penting bahwa dalam belajar siswa harus paham lebih dari
sekedar tahu sehingga bisa menjawab “apa, mengapa, dan bagaimana”. Sebagai akhir dari tahapan proses belajar adalah pengetahuan yang sedang dipelajari bisa terinternalisasi menjadi perilaku dan akhirnya terbentuk karakter diri yang baik.
Subanji, TEQIP sebagai Wahana Mewujudkan Pembelajaran Bermakna, 311
Dalam pembelajaran bermakna, peran guru adalah (1) memfasilitasi siswa agar siswa mampu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama, (2) membangkitkan siswa untuk terus belajar, (3) memberi bantuan secukupnya (scaffolding) kepada siswa menuju kemandiriannya, (4) memicu siswa untuk senantiasa berpikir sehingga perkembangan skemanya senantiasa bertambah, dan (5) membantu siswa menginternalisasi pengetahuan ke perilaku dan membentuk karakter diri. Tujuan akhir dari pembelajaran bermakna adalah konstruksi pengetahuan dan pembentukan karakter pada diri siswa. Karakter yang baik pada individu siswa akan membentuk karakter yang baik pada komunitas masyarakat sekolah dan akhirnya terbentuk karakter yang baik pada bangsa Indonesia atau disebut sebagai karakter bangsa. Lebih lanjut Subanji dkk (2014) menjelaskan bahwa Teachers Quality Improvement Program (TEQIP) merupakan salah satu bentuk pengembangan keprofesian berkelanjutan. TEQIP sebagai program in-service training yang didesain untuk membentuk guru kreatif, inovatif, inspiratif dan profesional dalam pedagogic, content, serta kompeten dalam menghasilkan karya ilmiah. Pengembangan keprofesian berkelanjutan telah dibahas oleh banyak ahli dengan istilah berbeda-beda. Craft (2000), Day & Sachs (2004), dan Neil & Morgan (2003) menggunakan istilah Continuous Professional Development (CPD). Sedangkan ahli lain, Coe (2010) menggunakan istilah Continuous Teacher Professional Development (CPTD). CPD merupakan konsep yang luas dan mencakup berbagai bidang pengembangan berkelanjutan, sedangkan CPTD lebih difokuskan kepada guru. Salah satu bentuk kegiatan CTPD adalah Teachers Quality Improvement Program (TEQIP).
TEQIP merupakan program peningkatan keprofesionalan guru secara berkelanjutan yang diarahkan untuk mengubah perilaku guru dari penyampai atau pemberi pengetahuan menjadi pembangkit belajar bagi siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli (Bray, 2011; David S. Bolden, dkk, 2010; Eva Thanheiser, 2010; Hill, 2010; Kim Agatha, 2009; Janson & Spitzer, 2009; Spilkova´, 2001). Keprofesionalan guru dikembangkan secara berkelanjutan dan diarahkan menjadi pembelajar kreatif, inovatif, dan bermakna. METODE Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis praktik kegiatan TEQIP dalam mengembangkan keprofesionalan guru yang telah berlangsung selama 4 tahun. Fokus penelitian ini adalah praktik pembelajaran bermakna yang dilakukan oleh guru peserta TEQIP (trainers) dan dampaknya pada pembentukan karakter siswa. Penelitian dilakukan secara kualitatif. Data yang terkumpul berupa dokumen praktik pembelajaran dan aktivitas siswanya yang diperoleh selama kegiatan ongoing dan real teaching. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Peningkatan keprofesionalan guru (trainers) TEQIP berlangsung dalam kegiatan TOT 1 (2 minggu), TOT 2 (2 minggu), Diseminasi 1 (1 minggu), Diseminasi 2 (1 minggu), TOT 3 (1 minggu), real teaching (2 kali), dan ongoing (5 x 1 minggu). Penelitian ini difokuskan pada praktik pembelajaran bermakna dalam kegiatan real teaching dan ongoing. Hasil analisis data difokuskan pada perubahan perilaku guru dalam mempraktikkan pembelajar-an bermakna, peningkatan kreativitas guru dalam pembelajaran, dan karakter yang terbentuk
312, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
pada siswa bermakna.
dengan
pembelajaran
PERUBAHAN PERILAKU GURU DALAM PRAKTIK PEMBELAJARAN TEQIP telah mengubah perilaku guru dari penyampai materi pelajaran menjadi pembangkit belajar dan pemicu berpikir bagi siswa. Hal ini dapat diamati dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dengan menggunakan media papan KPK. Guru memodelkan kelipatan 3 dan kelipatan 4 di papan KPK. Kelipatan 3 ditandai dengan lingkaran merah. Siswa diminta menempelkan lingkaran merah pada bilangan-bilangan yang merupakan kelipatan 3, yaitu pada bilangan 3,6,9,12,15,18, 21,24,..... Siswa juga diminta menempelkan lingkaran hijau pada bilangan kelipatan 4, diperoleh bilangan 4,8,12,16,20,24,...... Guru melanjutkan dengan memicu berpikir siswa dengan mengajukan pertanyaan.
juga berpikir bahwa masih banyak bilangan-bilangan kelipatan persekutuan dengan mengajukan pertanyaan. G: Menurut kalian, masih adakah bilangan-bilangan kelipatan persekutuan yang lain dari 3 dan 4? S: (siswa berpikir sejenak) masih ada bu. G: bilangan berapa? S: 60, 72 G: darimana kalian mendapatkan 60 dan 72? S: 48 ditambah 12 sama dengan 60, hasilnya ditambah lagi 12 hasilnya 72 G: masih adakah yang lain? Apakah ada bilangan kelipatan persekutuan yang terbesar? S: masih ada lagi bu, banyak, contohnya 84, 96, dan seterusnya. Siswa tahu bahwa masih banyak lagi yang lain, namun siswa kebingungan untuk menjawab, apakah ada yang terbesar. Guru menggiring secara induktif pemikiran siswa.
Gambar 3. Papan KPK untuk kelipatan 3 dan 4
Gambar 4. Guru menggiring pemikiran siswa secara induktif
G: di posisi bilangan berapa saja lingkaran merah dan hijau berada di posisi yang sama? S: di bilangan 12, 24, 36, dan 48. G: bagus. Bilangan-bilangan yang ada pada posisi yang sama tersebut disebut kelipatan persekutuan dari 3 dan 4.
G: coba kamu pilih bilangan kelipatan persekutuan dari 3 dan 4 yang kalian anggap besar? S: (siswa berpikir sejenak) 12.000 G: Dari mana kalian tahun 12.000 kelipatan persekutuan dari 3 dan 4? S: 12.000 diperoleh dari 12 x 1000. Atau kelipatan 12 dari 1000 kali. Karena 12 kelipatan 3 dan 4, berarti 12.000 juga kelipatan 3 dan 4.
Siswa menjawab sampai bilangan 48 saja, karena bilangan pada media hanya sampai 50. Guru ingin mengetahui apakah siswa
Subanji, TEQIP sebagai Wahana Mewujudkan Pembelajaran Bermakna, 313
G: Kalau 12.000 sudah klian anggap besar, bagaimana dengan 12 x 1001 = 12.012. Besar mana? S: besar 12.012 G: baik. Kalau kita memilih suatu bilangan kelipatan persekutuan dari 3 dan 4 yang sudah sangat besar, ternyata masih ada yang lebih besar lagi. Apa yang dapat kalian simpulkan? S: ehm... berarti tidak ada yang terbesar ya Bu. Dialog tersebut menunjukkan bahwa guru memancing siswa untuk selalu berpikir (pembangkit berpikir). Guru juga bertindak sebagai pembangkit belajar, dimana siswa dibuat penasaran dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru. Sehingga siswa penasaran untuk terus belajar dan belajar lagi. Ketika siswa sudah memahami kelipatan persekutuan, guru melanjutkan lagi sebagai pembangkit belajar dengan mengajak siswa menye-
lidiki apakah ada kelipatan persekutuan paling kecil dan berhasil ditemukan bahwa kelipatan persekutuan terkecil (KPK) adalah 12. Kegiatan guru dilanjutkan dengan mengubah masalah “KPK dari 3 dan 4” menjadi soal cerita seperti berikut. Jojo berenang setiap 3 hari sekali. Amir berenang setiap 4 hari sekali. Jika mereka berenang bersama pada tanggal 4 januari, maka pada tanggal berapa mereka akan berenang kembali paling cepat? Dengan masalah tersebut membuat siswa berpikir lagi dengan penuh rasa penasaran. Siswa menyelesaikan masalah tersebut dengan mengaitkannya pada masalah yang baru diselesaikan. Siswa menyusun bilangan lompat 3 dan lompat 4 mulai dari tanggal 4 Januari.
Tabel 1. Masalah KPK 3 dan 4 dalam soal cerita
Nam a Jojo Amir
Renan g ke-1 4 4
Renan g ke-2 7 8
Renan g ke-3 10 12
Tanggal Renang Renan Renan Renan g ke-4 g ke-5 g ke-6 13 16 19 16 20 24
Siswa menyimpulkan dari hasil identifikasinya bahwa Jojo dan Amir berenang bersama pada tanggal 16 januari dan 28 januari. Karena yang ditanyakan tanggal berenang bersama paling cepat, siswa menjawab tanggal 16 januari. Dari jawaban siswa tersebut terlihat bahwa siswa paham lebih dari sekedar tahu, sehingga bisa mengaitkan pengalaman mencari KPK ke proses pemecahan masalah soal cerita. Untuk mengetahui proses perubahan perilaku guru dari sebelum mengikuti TEQIP dan setelahnya, maka dilakukan wawancara. Peneliti menggali praktik
Renan g ke-7 22 28
Renan g ke-7 25 1 peb
Renan g ke-7 28 5 peb
mengajar guru sebelum mengikuti TEQIP dengan wawancara berikut. P: Kalau melihat praktik Ibu dalam pembelajaran KPK tadi sangat menarik, darimana mendapatkan ide pembelajaran seperti itu? G: Dari pelatihan TEQIP pak. P: Bagaimana Ibu membelajarkan siswa materi KPK sebelum mengikuti TEQIP? G: Langsung menggunakan pohon faktor P: Kenapa menggunakan pohon faktor? G: karena di buku juga begitu yang disajikan
314, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
P: Bagaimana kondisi siswa dalam belajar? G: Cepat bosan. Siswa hanya menghafalkan prosedur yang saya beri. Untuk lebih hafal lagi siswa saya beri banyak latihan. Tapi saya juga bingung, kenapa setelah diberi masalah lain yang mirip, mereka sudah tidak bisa lagi. Dari dialog tersebut, terlihat bahwa pengalaman guru sebelum mengikuti TEQIP banyak melakukan pembelajaran dengan model doktrin (pokoknya prosedurnya ya begitu). Guru juga sadar bahwa siswa hanya sekedar menghafal prosedur yang diberikan oleh guru. Namun guru tidak berdaya untuk mengubah kondisi tersebut. Peneliti menggali lebih jauh lagi dengan mewawancarai lagi. P: Apa yang bisa Anda ungkapkan terkait dengan perubahan pembelajaran yang Anda praktikkan? G: Saya menyadari dan merasakan bahwa pembelajaran yang saya lakukan selama ini tidak bermakna. Siswa bosan mengikuti pembelajaran, tetapi saya tidak perduli dengan kondisi itu. Saya beranggapan pembelajaran yang saya lakukan sudah benar. Ternyata apa yang saya lakukan selama ini sangat menyiksa anak. Saya sadar dan bertekad untuk memperbaiki dengan melaksanakan pembelajaran bermakna. P: Apa yang Anda rasakan setelah melaksanakan pembelajaran bermakna? G: Kita (guru) tidak capai pak dan siswanya bisa belajar lebih maksimal. Siswa tidak merasa kalau belajarnya lama, karena kativitasnya belajar dan berpikir terus. Dari dialog tersebut terlihat bahwa siswa belajar dan terus belajar, bisa membentuk karakter cerdas dan kerja keras. Siswa sangat senang terhadap pembelajaran, sehingga bisa membentuk karakter mencintai bidang studi yang dipelajari.
PENINGKATAN KREATIVITAS GURU DALAM PEMBELAJARAN Untuk mewujudkan pembelajaran bermakna, guru di TEQIP senantiasa dituntut mengembangkan: langkah pembelajaran inovatif, lembar aktivitas siswa yang menantang, dan media pembelajaran yang kreatif. Ketiga tuntutan tersebut dapat meningkatkan kreativitas guru. Sebelum membelajarkan siswa terhadap suatu materi, guru sudah memi kirkan beberapa hal. Pertama, langkah-langkah pembelajaran apa yang sesuai dengan kondisi siswa, kompleksitas materi, lingkungan dan budaya. Kedua, langkah-langkah pembelajaran apa yang dapat mengaitkan pengetahuan baru dan pengetahuan lama. Ketiga, langkah-langkah pembelajaran seperti apa yang dapat memicu berpikir siswa dan membangkitkan belajar siswa. Dalam menyusun langkah-langkah pembelajaran, guru juga mengantisipasi dan memprediksi reaksi apa yang terjadi pada siswa. Dengan demikian guru akan senantiasa berpikir mengembangkan langkah-langkah pembelajaran yang inovatif.
Gambar 5. Guru Mengembangkan Langkah Pembelajaran Inovatif
Lembar aktivitas siswa dan media pembelajaran juga harus senantiasa dipikirkan oleh guru. Dalam mengembangkan lembar aktivitas siswa dan media pembelajaran, guru di TEQIP telah mempertimbangkan masalah apa yang menantang, masalah apa yang menjadi pemicu berpikir, dan masalah apa yang
Subanji, TEQIP sebagai Wahana Mewujudkan Pembelajaran Bermakna, 315
membangkitkan belajar siswa. Guru-guru di TEQIP sudah diajak mengembangkan lembar aktivitas dan media berbasis kondisi/budaya daerah, sehingga lembar aktivitas dan media pembelajaran tersebut mudah untuk digunakan oleh siswa.
Gambar 6. Pembelajaran dengan Menggunakan Media
Hal yang menarik adalah pengakuan guru bahwa sebelum mengikuti kegiatan TEQIP ini tidak pernah memikirkan langkah-langkah pembelajaran inovatif. Pembelajaran hanya “mengalir” saja, yang penting sudah menyampaikan materi yang ada di buku. Guru juga mengakui bahwa selama ini belum pernah
mengembangkan lembar aktivitas siswa. Biasanya hanya menggunakan lembar aktivitas yang dibelinya di toko buku. Akibatnya guru tidak menjiwai apa yang akan disampaikan dan apa yang diharapkan terjadi pada siswa. Bahkan banyak guru yang tidak menyadari bahwa konteks yang diangkat di lembar aktivitas siswa yang dibelinya tidak dikenal didaerahnya. Akhirnya guru merasakan dan menyadari bahwa pembelajaran yang dilakukan selama ini tidak bermakna dan harus mengubahnya menjadi pembelajaran bermakna. Guru harus selalu berpikir dan kreatif untuk mengembangkan pembelajaran bermakna. Proses peningkatan kreativitas guru juga dipicu oleh adanya interaksi antar guru dalam kegiatan lesson study dan sekaligus pengembangan karya ilmiah. Guru dibiasakan untuk berkolaborasi dengan guru lain dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran. Semua aktivitas yang dilakukan oleh guru baik perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, maupun perbaikan pembelajaran dituliskan menjadi karya ilmiah.
G1 G1
G1
G2 DO PLAN
G3
G4
GM
G2 SEE
G4
REVISED G3
G4
G3 Inovasi 1
Siklus 2: PLAN, DO, SEE Inovasi 2
AKTIVITAS PEMBELAJARAN DISUSUN MENJADI KARYA ILMIAH dst Gambar 7. Siklus Pengembangan Kreativitas Guru dalam Pembelajaran
316, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
Berdasarkan gambar 3, kegiatan lesson study dimulai dari menyusun PLAN bersama sekelompok guru, dimana guru mengembangkan PLAN dengan suatu inovasi. Kegiatan praktik pembelajaran (DO) dilakukan dengan memilih salah satu guru sebagai guru model dan guru yang lain sebagai observer. Seusai praktik pembelajaran dilakukan refleksi bersama. Semua peserta lesson study mengutarakan hal-hal yang ditemukan pada belajar siswa, bisa berupa temuan positif (kelebihan) maupun temuan kekurangan. Hasil refleksi digunakan untuk merevisi pembelajaran siklus berikutnya. Dalam hal ini dikembangkan pembelajaran inovatif lagi dari hasil perbaikan sklus pertama. Proses ini dilakukan secara terus menerus sampai memperoleh langkah-langkah pembelajaran yang ideal. Bersamaan dengan praktik pembelajaran tersebut, juga dilakukan proses menulis karya (berupa artikel) ilmiah untuk dipublikasikan di seminar nasional. Di forum seminar nasional, guru juga akan berbagi inovasi dengan guru yang lain. Proses ini berlangsung secara terus menerus dan akan menghasilkan inovasi-inovasi pembelajaran dari berbagai daerah di Indonesia. PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA MELALUI PEMBEAJARAN BERMAKNA Karakter yang terbentuk dalam diri siswa melalui pembelajaran bermakna antara lain: kerja keras, kemandirian, kreatifitas, kritis, menghargai pendapat orang lain, dan menghormati perbedaan pendapat. Kerja keras dan kemandirian terbentuk dari komponen learning by doing.
Gambar 8. Pembelajaran Lerning by Doing
Belajar yang dilakukan dengan beraktivitas akan mendorong siswa untuk bekerja keras dan lebih mandiri. Ketika siswa belajar tentang materi waktu dengan mempelajari posisi masing-masing jarum jam, tidak cukup jika siswa hanya ditunjukkan dengan gambar jam dan posisi jarum jamnya. Siswa perlu membuat jam beserta ketiga jarumnya, sekaligus untuk mempraktikkannya. Guru bisa memanfaatkan kardus bekas untuk memfasilitasi siswa membuat miniatur jam.
Gambar 9. Pembelajaran Mengenai Waktu dengan Memanfaatkan Kardus Bekas
Dengan demikian siswa bisa memahami lebih dari sekedar tahu mengapa jam memiliki tiga jarum, bagaimana hubungan ketiga jarum jam tersebut, dan bagaimana membaca waktu ketika posisi jarum jam sudah diketahui, bagaimana kalau posisi jarum jam diubah. Siswa menjadi mandiri, kritis dan kreatif dengan mengembangkan media dan mempraktikkannya. Semua aktivitas siswa akan bermakna dan pada akhirnya siswa bisa membanggakan produk sendiri.
Subanji, TEQIP sebagai Wahana Mewujudkan Pembelajaran Bermakna, 317
Gambar 10. Aktivitas Bermakna
Kegiatan kritis, saling menghargai dan menghormati perbedaan terjadi pada kegiatan pembelajaran kooperatif. Siswa yang belajar dalam kelompok, akan terjadi interaksi berpikir satu siswa dengan siswa lain. Siswa seringkali beradu argumen dalam proses diskusi. Perbedaan pendapat harus mereka selesaikan dengan cara yang baik, perlu saling menghargai pendapat dan saling menghormati temannya yang sedang berargumen.
penyelesaian. Mereka mencoba mengerjakan secara bersama-sama. Ketika siswa sudah memahami maksud dari masalah di LKS, mereka mencoba melanjutkan mengambil media kertas karton. Karena diminta menggambar grafik fungsi, sementara dalam media kertas karton belum ada skalanya, maka siswa mencoba membuat skala dengan memanfaatkan penggaris yang dimilikinya. Ada satu kelompok yang tidak memiliki penggaris, sementara mereka harus membuat skala yang sama pada kertas karton. Ada seorang siswa yang mencoba membuat inisiatif dengan menggunakan tutupnya ballpoin untuk membuat skala.
Gambar 12. Inisiatif Siswa Menggunakan Tutup Bolpoin sebagai Pengganti Penggaris Gambar 11. Proses Interaksi Berpikir dalam kelompok
Contoh lain dari pembelajaran bermakna yang menumbuhkan kerja keras dan kreatif adalah pembelajaran membuat grafik fungsi linear. Guru memfasilitasi siswa dengan lembar kerja dan media yang berupa keras manila, benang, dan malem (untuk menempel benang). Begitu diberikan lembar kerja, siswa langsung merespon dengan mempelajari masalah yang ada di Lembar Kerja Siswa (LKS). Siswa memahami apa yang diinginkan dalam lembar kerja dan merencanakan
Setelah menyusun skala, siswa melanjutkan dengan menentukan dua titik yang dilalui oleh grafik fungsi yang diberikan. Siswa ternyata lebih menyukai menentukan dua titik dengan mencati titik potong sumbu-X dan titik potong sumbuY. Kegiatan tersebut mencerminkan praktik pembelajaran bermakna yang dapat menumbuhkan karakter baik pada diri siswa. SIMPULAN Dari hasil dan pembahasan disimpulkan bahwa terjadi: (1) perubahan perilaku guru dalam mewujudkan pembelajaran bermakna di kelas, (2) pening-
318, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 2, November 2014
katan kreativitas guru dalam melaksanakan pembelajaran bermakna, dan (3) pembentukan karakter siswa yang meliputi DAFTAR RUJUKAN Bercowitz & Bier, 2005. Research Based Character Education. ANNALS AAPSS, 591 Chapman, 2011. Implementing Character Education into School Curriculum. ESSAI: V ol. 9, Article 11. Lannin, dkk. 2013. The development of beginning mathematics teacher pedagogical content knowledge. Journal Math Teacher Educ, 16: 46-63 Lickona, 2003. The Content of Our Character: Ten Essential Virtues. The Fourth and Fifth Rs Respect and Responsibility. Vol 10 issue 1 Marsigit, 2007. Mathematics Teachers’ Professional Development through Lesson Study in Indonesia. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 2007, 3(2), 141-144. Mason, J., 1998. Enabling teachers to be real teacher: Necessary levels of awareness and structure of attention. Journal of Mathematics Teacher Education, 1, 243–267. Narvaez & Lapsley, 2006. Teaching Moral Character: Two Strategies for Teacher Education. Teaching for Moral Character. Vol 1. Niess, 2005. Preparing teachers to teach science and mathematics with technology: Developing a technology pedagogical content knowledge. Teaching and Teacher
kerja keras, mandiri, kreatif, kritis, saling menghargai dan menghormati perbedaan.
Education. Vol 21 (2005) 509– 523. Sandt, S., 2007. Research Framework on Mathematics Teacher Behaviour: Koehler and Grouws’ Framework Revisited. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education,, 3(4), 343-350 Shein, 2012. Seeing With Two Eyes: A Teacher’s Use f Gestures in Questioning and Revoicing to Engage English Language Learner in Reapir of Mathematical Errors. Journal for Research in Mathematics Education. Vol 43 no 2 Spilkova´ , V. 2001. Professional development of teachers and student teacher through reflection of practice. The New Hampshire Journal of Education, 4, 9–14. Subanji, 2013. Revitalisasi Pembelajaran Bermakna dan Penerapannya dalam Pembelajaran Matematika Sekolah. Makalah disajikan di Seminar Nasional TEQIP 9 November 2013 di Universitas Negeri Malang. Turnuklu, S. Yesildere, 2007. The Pedagogical Content Knowledge in Mathematics: Preservice primary mathematics Teachers’ Perspectives in Turkey. IUMPST Journal. Vol 1. 1 - 13