1
BAB I I.
Latar Belakang.
Sejarah peradaban kehidupan manusia terus berubah, setiap perubahan peradaban disertai dengan benturan–benturan ideologi, politik, budaya dan sosio-ekonomi. Oleh sebab itu setiap perubahan peradaban menghasilkan wacana baru atau pandangan baru dari keadaan sebelumnya. wacana baru tersebut menjadi ranah bagi pelegimitasian suatu indetitas yang dilabelkan pada suatu peradaban yang baru. Wacana yang dihasilkan dari suatu perubahan dapat saja berupa kritik, pemodifikasian atau mereduksi dari apa yang ada sebelumnya. Terkadang kita sulit mengatakan mana yang baru atau yang usang, hal ini disebabkan banyaknya tesis–tesis yang timbul dari setiap perubahan dan tidak pernah sama. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak pernah ada yang kekal dalam setiap perubahan, yang kekal itu hanyalah perubahan itu sendiri. Sebagai peserta yang terlibat aktif dalam perjalanan sejarah peradaban, menjadi tanggung jawab setiap kita untuk merefleksikan dengan kritis perubahan yang sedang terjadi secara akal sehat. Sikap kritis tadi dapat membawa kita kedalam proses berpikir yang matang untuk mengetahui posisi eksitensi kita dalam perubahan sejarah.
Dunia kita sedang mengalami perubahan begitu cepatnya, sehingga sebagian besar dari kita mungkin tidak menduga, bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama kita sesungguhnya sudah berada di “dunia yang lain”, maksudnya dunia yang memiliki ciri–ciri yang berbeda dari keadaan sebelumnya. Kita telah meninggalkan abad 20 menuju abad 21, sebagai tanda yang menyertai perubahan zaman adalah kemajuan teknologi informasi. Dapat kita simpulkan abad ini sudah meninggalkan era industrialisasi (zaman kebangkitan industri) yang sangat kuat menjadi indentitas akhir abad 19 dan abad 20, menuju ke sebuah era yang di kenal dengan Post-industrialisasi (zaman melampaui zaman industri), walaupun demikian sektor industri tidak pernah ditinggalkan. Lahirnya zaman industrialisasi diidentikkan dengan perkembangan modernisme1 pada abad 20. Pertanyaan yang timbul apakah kemajuan teknologi informasi merupakan produk dari modernisme? Dengan kesederhanaan berpikir, kita dapat saja dengan buru–buru menjawab, ya. Maksud penulis adalah kita tidak dapat langsung begitu saja mengatakan bahwa kemajuan teknologi informasi adalah produk 1
Stanley. J. Grenz, A Primer On Postmodernism, yayasan ANDI, Yogyakarta, 3001, Hal 33.
2
atau anak zaman modern. Hal ini disebabkan prinsip-prinsip yang ada dalam modernisme seperti humanisme yang inidividualistis, rasionalisme, universalisme, realisme2, idealisme, absolutisme sampai pada eksklusivisme, terlihat tidak begitu menjadi tema-tema yang penting dan berpengaruh lagi bahkan mendapat pertentangan yang kuat oleh zaman baru ini. Lantas label apa yang dapat kita berikan kepada zaman yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi ini?
Suatu terminologi baru lahir dari ahli–ahli filsafat, seni, sosiologi dan budaya kontemporer, mereka menyebutnya zaman ini adalah zaman Post-Modern. Melihat akar katanya postmodern memiliki arti Post (Inggris) = sesudah, melampaui, setelah, yang sudah terlewati atau berlalu, dan arti kata Modern = suatu zaman yang ditandai dengan penerimaan otoritas sains dan penolakan segala asumsi–asumsi abad pertengahan yang ditandai keberkuasaan institusi agama beserta segenap substansinya3. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa postmodern adalah zaman berakhirnya era modern beserta asumsi–asumsinya (rasionalisme, obyektif, universal, metafisika)4.
Istilah postmodern semakin marak diperdebatkan dikalangan intelektual dan budayawan. Walau bukan sesuatu isu yang baru, postmodern menjadi suatu isu yang semakin hangat dibicarakan khususnya bagi kaum terpelajar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan banyaknya literatur-literatur yang bertemakan postmodern di toko- toko buku, ulasan–ulasan analisa budaya, agama, ekonomi, politik dan sosial di surat–surat kabar, media elektronik sampai pada diskusi–diskusi mahasiswa di kelas-kelas khususnya jurusan sastra, studi agama, filsafat, seni, sosial dan budaya.
Perkembangan pengaruh wacana postmodern telah merambah ke segala aspek kehidupan masyarakat. Walaupun wacana postmodern mengalami banyak perlawanan oleh tesis–tesis yang mempertentangkannya, postmodern telah menjadi fenomena kebudayaan di era informasi dan globalisasi ini. Selain itu postmodern telah menjadi pokok pembicaraan di kalangan masyarakat kita, maka ada suatu nada ejekan bagi orang–orang yang dianggap ketinggalan zaman oleh komunitasnya seperti “ah ngak posmo” . Fenomena postmodern inilah yang menjadi ketertarikan penyusun untuk 2
Realisme (realism): berasal dari kata res (hal, benda barang), realisme berarti: upaya melihat segala sesuatu apa adanya. 3 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta,2005, Hal 645. 4 Stanley. J. Grenz, A Primer On Postmodernis, yayasan ANDI, Yogyakarta, 2001, Hal 25-36.
3
menelaah lebih dalam dan menyeluruh mengenai wacana postmodern, yang menawarkan kerangka berpikir baru, yang problematis bagi pentas intelektual abad ini. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam benak penyusun, budaya apakah yang timbul sebagai kosekuensi dari segenap tesis postmodern? Dan bagaimana kehidupan kekristenan atau bergereja di zaman postmodern ini? Apakah Tuhan masih dihayati seperti dulu atau penghayatan akan Tuhan mengalami pergeseran? Bentuk ibadah apa yang dihasilkan oleh budaya postmodern?
II.
Perumusan Masalah.
Di era kemajuan teknologi informasi, segala sesuatu dapat dijangkau dan di akses dengan cepat tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Fasilitas internet, tv kabel dan telekomunikasi seluler merupakan produk–produk yang mewarnai kemajuan zaman ini. Apa yang menjadi permasalahan wilayah publik dan wilayah pribadi (Privacy) hampir tidak memiliki batas yang jelas diantara keduanya. Hal–hal yang menggambarkan pornografi, hororisme, tabu, mistis, irasional, maupun kriminalitas diekspos besar–besaran oleh berbagai media, dan dikonsumsi oleh masyarakat hampir tanpa pembatasan dan sikap kritis di dalamnya. Strategi ekonomi dan politik konvensional yang bercirikan sistem yang panjang lebar, kaku dan birokrasi yang rumit hampir ditinggalkan tanpa jejak. Gejala sosial demikian, kita dapati dalam postmodernitas.
Zaman ini mengutamakan kelompok-kelompok komunitas yang memiliki jaringan yang luas dan kuat untuk dapat melindungi kepentingan kelompok dan mencapai apa yang menjadi cita–cita bersama. Dunia sekarang dapat di katakan sebagai “desa global” (Global Village), apa yang menjadi ciri khas gaya hidup negara barat telah menjadi pilihan gaya hidup masyarakat luas di dunia, oleh sebab itu timbulah istilah–istilah seperti narsisme, hibrida5, gothic, fetisisme6 , budaya massa dan hiperrealitas dalam analisa ilmu budaya kontemporer, tentu hal ini sebagai respon terhadap perubahan yang sedang terjadi di kehidupan kita sekarang. Kita sedang menghadapi dialog antar peradaban, budaya dan merayakan kemajemukan di dunia. 5
hibrida : perkembangbiakan secara bersama dua spesies (dalam biologi atau dalam molekul) yang menghasilkan molekul baru 6 Fetisisme: kepercayaan kepada kekuatan adikodrati (antropologi), pembicaraan mengenai seksualitas (psikologis) dan pembincaraan mengenai kebudayaan yang sangat rendah atau promitif (sosio-ekonomi).
4
Melihat fakta–fakta yang terjadi di sekitar kita, sikap kritis dan merefleksikan dengan serius adalah suatu tindakan yang penting harus kita ambil dalam rangka memaknai permasalahan sosial dan budaya yang sedang berkembang. Satu hal yang perlu kita sadari, zaman ini mengalami suatu pergeseran cara pandang. Dunia barat yang telah menjadi barometer dunia dalam hal ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, politik, dan budaya, hadir sebagai tokoh utama perubahan global ini. Seorang ahli mengatakan “saat ini kita sedang mengalami perubahan budaya yang berlawanan dengan ciri khas zaman modern”.7 Perubahan budaya ini dikenal dengan istilah Postmodern. Istilah postmodern sebenarnya dikenal pertama kali pada tahun 1930, istilah ini digunakan sebagai penunjuk perkembangan dan pergeseran dalam dunia seni pada awalnya, dan kemudian tidak begitu di perhatikan. Setelah 40 tahun kemudian istilah postmodern mendapat perhatian yang lebih besar, tepatnya diawali pada tanggal 15 juli 1970 saat perobohan proyek rumah Pruitt – igoe di St. Louis, Missouri8.
Postmodernisme memiliki arti sebagai suatu gerakan kebudayaan pada umumnya, yang dicirikan oleh
pertentangan
terhadap
rasionalisme,
totalitarianisme9
dan
universalisme,
serta
kecenderungannya ke arah penghargaan akan keanekaragaman, pluralitas, kelimpahruahan dan fragmentasi, dengan menerima berbagai kontradiksi, banalitas dan ironi di dalamnya10. Apapun yang menjadi definisi para ahli tentang fenomena budaya postmodern, kesimpulannya adalah postmodern merupakan suatu reaksi terhadap proyek–proyek modernisme. Pertanyaan yang timbul adalah apa yang menjadi pertentangan postmodernisme terhadap modernisme?
Pertama, modernisme mengangkat manusia menjadi pusat dan tolak ukur segala sesuatu (benih pemikiran ini lahir pada jaman Renaisan, dalam perjuangannya meruntuhkan sistem skolastik yang mengekang intelektual manusia, Renaisans telah membangkitkan semangat untuk menghargai aktifitas intelektual manusia sebagai sebuah kerja sosial yang dinamis11). Kedua, modernisme 7
Scott Lash, Soiologi Postmodernisme, KANISIUS, Yogyakarta,2004, Hal 13 Stanley. J. Grenz, A Primer On Postmodernism, yayasan ANDI, Yogyakarta, 2001, Hal 25 9 Totalitarianisme: sistem sosio-politik yang ditandai campur tangan secara lalim oleh negara yang bersifat otoriter dan birokratis dalam masyarakat yang individu-individu. 10 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, JALASUTRA, Yogyakarta, 2004 Hal 24. 11 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta, 2005, Hal 661. 8
5
dengan
tokoh berpengaruhnya Francis Bacon menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan adalah
kekuasaan, maksudnya manusia dapat mengatasi dan menguasai kekuatan–kekuatan alam dengan penemuan dan penciptaan ilmiah”. Pemahaman ini lebih berkembang lagi menjadi dasar modernisme yang kuat melalui apa yang dirumuskan oleh Renne Descartes, dengan meminjam istilah yang dicetuskan oleh Agustinus “cogito ergo sum”
ia mendefinisikan bahwa manusia
sebagai mahluk yang berpikir dan diri manusia adalah subyek yang otonom dan rasional. Kemudian, Isaac Newton merumuskan sebuah kerangka berpikir sains untuk modernisme, rumusannya adalah ia menggambarkan alam semesta ini sebagai sebuah mesin yang mempunyai hukum – hukum dan keteraturan yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
Dapat kita simpulkan bahwa manusia adalah mahluk otonom dan rasional yang hidup dalam dunia mekanis. Kosekuensi lanjut dari pemahaman renaisan, Francis Bacon, Renne Descartes dan Isaac Newton adalah dengan kemampuan intelektualnya manusia dapat melakukan pencarian jawaban terhadap apa saja yang menjadi misteri alam. Manusia kemudian menjadi tuan atas alam dan dengan demikian manusia mendapat maafaat yang besar dari dunia bagi kehidupannya, serta kemudian manusia dapat menciptakan dunia yang lebih baik12.
Dalam modernisme, rasional manusia menjadi sesuatu yang mutlak. Segala aspek realitas berada dibawah pengawasan dan pemikiran rasio manusia. Secara khusus pemikiran modern berasumsi bahwa pengetahuan bersifat pasti, obyektif dan baik. Manusia modern yang ideal adalah seorang yang otonom dan berhak menentukan nasibnya sendiri, ia tidak terlikat oleh tradisi dan komunitas tertentu. Hal inilah yang menjadi dasar perjuangan kaum eksistensialis13 dalam memperjuangkan kebebasan manusia, sebagai suatu sikap demonstratif terhadap narasi besar dalam sepanjang sejarah kehidupan umat manusia yaitu moralitas keagamaan.
Dalam postmodern apa yang menjadi asumsi – asumsi dari modernisme ditolak mentah–mentah. Pertama, postmodernisme menolak kata universe maksud pemikiran ini adalah untuk menghentikan upaya bagi pencarian kesatuan realitas obyektif. Dunia tidak memiliki pusat, setiap komunitas 12
Stanley. J. Grenz, A Primer On Postmodernism, yayasan ANDI, Yogyakarta, 2001, Hal 99-100. Eksistensialis: filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi (apa yang ada atau yang memiliki aktualitas ada).
13
6
memiliki kebenarannya sendiri. Dengan demikian di dalam postmodernisme kita diajak untuk menghargai keberagaman makna yang dipahami oleh berbagai komunitas di dunia. Kedua, Postmodernisme menolak paham modernisme yang mengatakan “kebenaran bersifat pasti dan rasional”, bagi postmodernisme ada banyak jalan yang sah menuju pengetahuan selain rasio, termasuk emosi dan intuisi. Ketiga, postmodernisme menolak individualisme mereka lebih menekankan kehidupan komunal atau berkomunitas. Kebenaran hanya terdapat dalam komunitas, bukan dari individu yang terpisah dari komunitas melainkan individu–individu yang ada dalam komunitas.
Postmodern yang ditandai dengan semangat pluralisme, relativisme, komunal dan emansipasi ini, tentu saja menghasilkan suatu produk kebudayaan yang menjadi pola hidup masyarakat. Keberadaan masyarakat sekarang ini sedang menuju ke gerbang dialog lintas budaya dan peradaban. Teori-teori kebudayaan kontemporer telah bermunculan dengan memberi wacana baru dalam memetakan permasalahan global saat ini, yaitu lahirnya suatu realitas baru, realitas postmodern.
Tampilnya postmodern di abad 20–21 menjadi suatu perdebatan diantara kaum intelektual. Sebagian kaum intelektual menanggapi postmodern dengan sinis, bagi mereka postmodernisme dianggap sebagai kedangkalan diskursus semata. Ada pula yang mengatakan bahwa berbicara postmodern untuk saat ini sama saja dengan terburu–buru, karena jangankan membahas postmodern, memahami modern saja kita belum seratus persen menguasainya14. Adalah Jurgen Habermas∗ yang menjadi tokoh pembela modernisme paling gigih mengatakan bahwa postmodern adalah suatu bentuk konservatif baru (neo-konservatisme)15. Tundingan Habermas dapat dikatakan mendasar karena pada kenyataanya bahwa apa saja yang oleh pemikiran modern dijauhi, ditolak dan dikesampingkan seperti yang dikenal atau dipahami sebagai fiksi atau irasional, ketidaksetabilan, krisis dan mitos– mitos justru oleh postmodern cenderung dibela habis–habisan. Dipihak lain, para pendukung postmodern tidak mau kalah untuk mempertahankan segenap tesis yang diajukannya. Diawali
14
Gianni Vattimo, The End Modernity, Nihilisme dan Hermeneutika dalam budaya Postmodern, SADASIVA, Yogyakarta, 2003, Hal V. ∗ Jurgen Habermas adalah seorang ahli filsafat modern yang berasal dari jerman dan merupakan bagian dari Mazhab Frankrrut, bersama dengan Adorno dan lainnya. 15 Lih.. F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, KANISIUS, Yogyakarta,1993, Hal 184.
7
dengan Friedrich Nietzsche dan Martin Hidegger yang dianggap sebagai yang memulai dasar pemikiran bagi postmodernisme dengan masing – masing tesisnya mengatakan “kematian Tuhan” dan “berahkirnya filsafat”, para pendukung postmodern lekas menyambutnya dengan menambuh genderang kematian dan keberakhiran lainnya. Michel Foucault buru-buru menyatakan “kematian kemanusiaan”, Roland Barthes menyambutnya dengan “kematian pengarang” , Lyotard dengan “ runtuhnya metanarasi”, Jacques Derrida dengan “perayaan kemajemukan sampai pada Richard Rorty dengan “ pragmatismenya”
Postmodern juga mempegaruhi kehidupan beragama pada umumnya, dan kekristenan pada khususnya. Dulu kita kenal teologi konservative, teologi reformatoris, teologi modern, sekarang timbul teologi postmodern16, hal ini menandakan bahwa paradigma hidup keagamaan selalu berkembang sesuai dengan konteks zamannya. Maka dapat ditarik kesimpulan postmodernisme telah menjadi kajian studi agama juga, dan kehidupan bergereja serta penghayatan keimanan. Orang–orang yang hidup dalam budaya postmodern ini juga memiliki warnanya sendiri. Hal ini yang menjadi ketertarikan penulis untuk meneliti lebih dalam sejauh mana kebudayaan postmodernisme telah mempengaruhi hidup bergereja kita?.
Adalah gereja JPCC (Jakarta Praise Community Church) yang menjadi pilihan penulis untuk diteliti dalam rangka melihat sejauh mana postmodernisme mempengaruhi kehidupan berjemaat komunitas orang percaya ini. JPCC (Jakarta Praise Community Curch) adalah suatu fenomena penting dalam perkembangan sejarah gereja di Indonesia. Di era postmodern ini, tentu JPCC memiliki warnanya sendiri dalam kehidupan berjemaat, khususnya dalam pembinaan warga gerejanya. Tak dapat dipungkiri JPCC sebagai suatu kekuatan basis kekristenan baru di indonesia, hal ini dapat kita lihat dengan banyaknya minat pemeluk agama kristen yang bersekutu di gereja ini.
Gereja JPCC adalah bentuk gereja yang bersekala internasional dan interdenominasi, mereka merupakan jaringan pelayanan yang tersebar hampir di seluruh dunia. JPCC dipimpin oleh gembala sidangnya Pdt. Jeffrey Rahmat, berdiri pada tanggal 5 Juli 1995 dengan beranggotakan 30 orang dan di tahun 2005 ini, jumlah anggotanya mengalami kemajuan pesat menjadi 3000 orang jemaat. 16
Riggs,John,W, Postmodern Christianity, Trinity Press International, USA,2003, Hal 94, 137
8
Kemajuan jemaat yang terbilang pesat ini, menjadi perhatian besar penulis untuk menelitinya. Kota Jakarta yang notabene adalah kota metropolis, merupakan barometer kemajuan zaman negara ini. Hal-hal yang menjadi isu-isu global biasanya berkembang terlebih dahulu di ibukota negara ini. Ciri-ciri budaya postmodernisme sejauh yang penulis pahami telah mulai tercermin di kota Jakarta, salah satu cirinya adalah berkembangnya masyarakat konsumerisme. Jemaat gereja-gereja yang berada di Jakarta adalah bagian dari pergeseran itu, termasuk jemaat JPCC.
Pertanyaan yang timbul bagaimana warna kehidupan bergereja JPCC yang berada dalam perkembangan budaya postmodernisme? Apakah JPCC sebagai anak zaman Postmodern atau sebagai respon yang menolak postmodern? Sejauh mana jemaat JPCC sebagai jemaat perkotaan memahami postmodern? Apa yang menjadi penghayatan keimanan mereka dalam menanggapi kemajuan zaman?. Postmodernisme dengan segenap tesisnya memiliki permasalahan yang problematis. Oleh sebab itu penyusun berusaha menemukan jawaban bagi pertanyaan- pertanyaan diatas dengan melihat dan memahami dari sudut pandang postmodernisme dan juga pisau analisis lainnya. Setelah mencoba merumuskan masalah yang timbul dari fenomena budaya postmodern serta bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan bergereja pada khususnya. Maka penulis memilih judul skripsi sebagai berikut:
Tinjauan Sosio-Kultural Teologis Terhadap JPCC Ditengah-tengah Budaya Postmodern
III. Batasan Penulisan. Penulis memberikan batasan dalam penulisan sehingga dapat terfokus dalam menganalisa permasalahan. Batasan penulisan sebagai berikut; Menjelaskan pergeseran zaman modern sampai ke zaman postmodern.
Pengamatan dan pengumpulan data-data di gereja JPCC.
9
Melakukan Analisa sosio kultural postmodernisme terhadap gereja JPCC, tentunya dari hasil penelitian. Menarik kesimpulan, apakah JPCC adalah anak zaman JPCC atau bentuk respon kekeristenan yang menolak segenap tesis posmodernisme?
IV. Alasan Pemilihan Judul.
Berdasarkan judul yang penulis pilih, Gereja JPCC adalah menunjukan suatu subtansi atau kelembagaan keagamaan yang secara khusus menjadi tempat beribadah orang kristen dan sebagai tempat dimana penulis akan meneliti, sedangkan Postmodernisme adalah suatu zaman yang dikatakan sebagai zaman yang telah melampaui zaman modern dan penolakan terhadap asumsi– asumsi modernisme, sosio kultural teologis menunjukan suatu disiplin ilmu yang mempelajari perkembangan budaya dan kehidupan sosial masyarakat di suatau zaman dan bagaimana displin teologi menyikapinya.
V.
Tujuan Penulisan.
Penulis bertujuan untuk menggali lebih dalam pemikiran postmodern serta realitas yang dihasilkannya, pengaruhnya terhadap kekristenan atau gereja, dan menemukan jawaban apakah JPCC adalah model gereja yang menjadi anak zaman postmodern atau tidak? Dan melihat apa yang menjadi esensi gereja JPCC dalam kehidupan berjemaat, sehingga JPCC menjadi basis kekristenan yang patut diperhatikan? Dan teologi apa yang ada dalam JPCC?
VI. Metode Penulisan.
Metode yang di gunakan penulis dalam membuat skripsi adalah Deskriptif-Analisis. Penulis akan memberikan gambaran umum mengenai pemikiran postmodern dan menganalisa pengaruh budaya postmodern mempengaruhi kehidupan berjemaat khususnya di gereja JPCC. Penulis juga menggunakan cara berdialog langsung kepada Gembala Sidang dan jemaat JPCC, serta pengamatan
10
secara langsung terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dirancang oleh JPCC dalam membina warga jemaatnya, agar mendapatkan validitas data yang nantinya akan di analisa.
VII. Sistematika. Bab I
Pendahuluan Dalam pendahuluan penyusun menjelaskan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, batasan penulisan, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metode penulisan yang di gunakan penulis dan sitematika penulisan.
Bab II
Gambaran umum mengenai Pemikiran dan Realitas Postmodern.
Penyusun akan menjelaskan garis-garis besar pemikiran postmodern yang tengah berkembang dan realitas apa saja yang ada dalam kebudayaan postmodern .
Bab III
Penelitian di JPCC dengan mendefinisikan JPCC dan menemukan pengaruh postmodern dan bagaimana penghayatan iman jemaat JPCC .
Dalam bab ini penyusun akan mendefinisikan hasil penelitian yang didapat dari JPCC dengan mengunakan sosio-kultural postmodern sebagai pisau analisanya dalam melihat pengaruh postmodern bagai penghayatan iman jemaa JPCC.
Bab IV
Refleksi Teologi.
Dalam bab ini, penyusun akan melakukan refleksi teologi dalam melihat komunitas JPCC sebagai kmunitas kekristenan yang hidup dalam perkembangan budaya postmodern
Bab V.
Kesimpulan dan penutup. Dalam bab ini penulis akan menarik hipotesa atau kesimpulan dari hasil keselurhan bab.