BAB I
A. Latar Belakang Banyaknya permasalahan yang dihadapi perempuan (World Bank, 2005:5), (Elizabeth, 2007:129-130) dan kegagalan pemerintah dalam mengatasinya (Anitasari dkk, 2010: 28) memantik kritik dan reaksi dari beragam unsur masyarakat. Unsur-unsur masyarakat yang peduli dengan nasib perempuan kemudian muncul dan membentuk kelompok atau organisasi non-pemerintah untuk memperjuangkan dan memberdayakan perempuan. Salah satu unsur masyarakat tersebut adalah LSM perempuan yang kemudian tampil membantu, mendampingi dan membela kaum perempuan. LSM-LSM perempuan tersebut memproklamirkan diri sebagai organisasi yang otonom, independen dan berwawasan gender (Rahayu, 1996:32). Pemberdayaan semakin perlu dilakukan mengingat perempuan memiliki potensi yang jika dikembangkan akan mendukungnya berperan sesuai dengan kedudukannya (Elizabeth, 2007:128). Sebagian besar LSM-LSM perempuan menganggap kegagalan pemerintah dalam menangani permasalahan perempuan diakibatkan oleh dipaksakannya paradigma pembangunanisme yang cenderung teknokratis dan didominasi model top-down (Sugiyanto, 2002:91). Banyak program pemerintah yang tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh perempuan. Salah satu penyebabnya adalah program-program tersebut kurang relevan dengan kebutuhan dan keinginan perempuan. Hal itu merupakan konsekuensi logis karena dalam penentuan, perumusan program dan pengambilan keputusan perempuan tidak disertakan sehingga aspirasi, kepentingan dan kebutuhan mereka
tidak
terakumulasi
dalam
program.
1
Padahal
seharusnya
pendekatan
pemberdayaan lebih berpusat pada rakyat untuk mendorong kapasitas masyarakat agar mampu meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal (Hikmat, 2001 : 14). Pada dasarnya LSM dan pemerintah berbeda dalam mendefinisikan masalahmasalah perempuan serta strategi untuk mengatasinya (Harsono, 1997:292). LSM perempuan melihat permasalahan perempuan berakar pada adanya ketimpangan gender dalam struktur dan sistem sosial, ekonomi, dan politik masyarakat (Rahmawati, 2001:8, Lingham, 2007:136). Sedangkan pemerintah memandang permasalahan perempuan lebih sebagai kekurangan pada individu. Pandangan pemerintah tersebut berpengaruh pada perumusan kebijakan pemberdayaan perempuan yang kurang menyentuh akar persoalan (Zubaedi, 2007, Fakih, 1996). Oleh karena itu wajar jika permasalahan yang dihadapi perempuan sulit terselesaikan. Di Indonesia, LSM-LSM perempuan sudah relatif lama bermunculan. Pertumbuhan LSM perempuan di Indonesia ditandai dengan berdirinya LSM perempuan pertama dengan nama Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) yang dibentuk tahun 28 september 1982 di Yogyakarta oleh 6 aktivis perempuan. Sasaran pemberdayaan Yasanti adalah kaum buruh dan remaja putus sekolah (Rahmawati, 2001:71). LSM perempuan lainnya adalah Rifka Annisa yang fokus pada penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, seperti perkosaan, pemukulan atau penganiayaan suami terhadap istri dan pelecehan seksual (Zubaedi,2007:271), YKF yang melakukan pemberdayaan hak-hak politik dan hak-hak reproduksi perempuan dalam perspektif agama Islam, LSPPA (Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak) yang fokus sosialisasi nilai adil gender pada anak melalui lingkungan, PLIP (Pusat Informasi Perempuan) Mitra Wacana yang menyediakan jaringan informasi dan pusat data tentang perempuan (Rahmawati, 2001:88).
2
Berkaitan dengan pemberdayaan perempuan, pada tahun 2006 muncul Yayasan Sahabat Ibu (YSI) sebagai LSM perempuan yang berlokasi di Yogyakarta. Pada awal berdirinya, YSI hanya concern pada recovery pasca bencana gempa DIY 2006 untuk komunitas perempuan, program untuk anak-anak, dan program recovery ekonomi untuk keluarga. Program ini bertujuan untuk membangun soliditas keluargakeluarga anggota komunitas agar mereka lebih cepat melakukan recovery. Pasca recovery bencana usai, Sasaran pemberdayaan YSI kemudian beralih ke perempuan secara umum, khususnya yang minim akses ke sumberdaya produktif. Alasannya adalah YSI memandang banyak perempuan di Yogyakarta yang sebenarnya ingin mengembangkan potensi dan kapasitasnya namun terhambat oleh minimnya akses ke sumber dan faktor yang mendukung mereka, khususnya akses ke sumber daya produktif. Oleh karena itu, YSI berupaya melakukan pemberdayaan perempuan dengan menarget perempuan-perempuan yang ingin mengembangkan potensi dan kapasitasnya namun terkendala oleh minimnya akses ke sumber daya produktif (sahabatibu.org). Dengan beralihnya sasaran pemberdayaan, Program pemberdayaan YSI kini juga menjadi beragam dimana lebih menekankan aspek edukasi, parenting dan kewirausahaan perempuan. Program-program pemberdayaan perempuan yang dijalankan YSI meliputi pertama, Program PINTAR (Program Ibu Cerdas dan Terampil), sebuah program edukasi dan Parenting terpadu yang dirancang untuk mencerdaskan kaum ibu dalam mengembangkan pribadi dan mengelola keluarga, kedua program PROSIBU (Program Santunan Untuk Ibu) yaitu program sosial yang berperan dalam membantu penyaluran biaya pendidikan anak dan penyaluran dana sosial, ketiga program PRIMA (Program Ibu dan Keluarga Mandiri), salah satu program Yayasan Sahabat Ibu yang fokus pada
3
pemberdayaan ekonomi perempuan. Tujuan program PRIMA ini adalah untuk menciptakan perempuan yang mandiri dalam ekonomi dan mensejahterakan keluarga. Kehadiran YSI sebagai LSM perempuan diharapkan dapat memberdayakan perempuan. Harapan tersebut bukanlah tanpa alasan karena Lenkowsky menunjukkan banyak hasil studi kasus bahwa LSM lebih efektif dari pada birokrasi pemerintah terutama dalam keadaan yang membutuhkan gerak cepat dan bantuan darurat (dalam Sugiyanto, 2002:96). Mengacu pada temuan tersebut, peneliti berasumsi bahwa YSI juga dipandang mampu memberdayakan perempuan selama ia menyediakan alternatifalternatif pemberdayaan yang gagal dipenuhi pemerintah. Namun yang jadi masalah adalah bukan ada atau tidaknya kepedulian LSM dalam memperjuangkan nasib perempuan, tetapi adanya perbedaan antar LSM perempuan dalam mengusung beragam metodologi dan strategi untuk memperjuangkan nasib perempuan. Keragaman tersebut terlihat dari isu-isu yang diperjuangkan, cara melihat permasalahan perempuan, agenda yang direncanakan, strategi dan pendekatan yang diterapkan (Rahmawati, 2001:88). Semua itu berakar pada ideologi yang digunakan masing-masing LSM. Ideologi tersebut menjadi titik tolak untuk melihat permasalahan perempuan. Perbedaan tersebut akhirnya membawa implikasi yang berbeda pula dalam merumuskan strategi dan orientasi organisasi (Rahmawati, 2001:6). Dalam konteks di ataslah kemudian strategi pemberdayaan yang ditempuh YSI perlu dibahas. YSI sendiri diindikasikan memiliki strategi yang khas dan menarik untuk dibahas. YSI terlahir dari keresahan beberapa aktivis terhadap permasalahan perempuan di sekitarnya sehingga diasumsikan memiliki strategi pemberdayaan yang lebih bisa mengakomodir aspirasi dan kebutuhan perempuan. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena fokus pemberdayaan YSI beralih dari recovery bencana (filantropi) menuju 4
pemberdayaan produktif yang tentunya menuntut perubahan strategi. YSI berniat “membantu” pemerintah padahal pada dasarnya cara pandang LSM dan pemerintah terhadap permasalahan perempuan berbeda. Seharusnya LSM lepas dan menjadi alternatif dari pemerintah. Dan yang menarik adalah YSI banyak menerapkan praktikpraktik keagamaan dalam proses pemberdayaan. Praktik-praktik keagamaan tersebut antara lain ikrar, akad, pengajian, dan infaq. Di sisi lain, keseluruhan staf dan fasilitator YSI terlibat aktif dalam politik praktis melalui Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sehingga perlu diteliti apakah kedua hal tersebut termasuk bagian dari strategi pemberdayaannya. Penelitian ini mengisi ruang kosong yang ditinggalkan penelitian terdahulu. Sejauh ini penelitian terdahulu pada LSM-LSM perempuan hanya fokus pada ideologi dan gerakannya, sebagaimana penelitian Rahmawati (2001) pada LSM-LSM perempuan di Yogyakarta. Padahal penting juga melihat strategi dan hasil pemberdayaannya. Penelitian Zubaedi (2007) pada LSM Yasanti dan Rifka Annisa di Yogyakarta sebenarnya hampir sehaluan dengan penelitian ini namun ia kurang mengeksplorasi strateginya dari paradigmatiknya dan pengaruhnya terhadap hasil pemberdayaan. B. Rumusan Masalah Penelitian ini disusun untuk menjawab pertanyaan berikut: (1) bagaimana strategi pemberdayaan perempuan yang dijalankan oleh Yayasan Sahabat Ibu (YSI) sebagai LSM perempuan? (2) Sejauh mana keberhasilan program-program pemberdayaan tersebut? Untuk mengetahui bagaimana strategi pemberdayaan YSI, penelitian ini mengadopsi tipologi strategi pemberdayaan mikro, mezzo dan makro. Sedangkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pemberdayaan perempuan tersebut, penelitian ini menggunakan analisis pemberdayaan perempuan dari Sara H. Longwe yang terdiri dari beberapa level berikut; kesejahteraan, akses, partisipasi, penyadaran dan kontrol. 5
C. Tujuan penelitian Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk (1) memahami strategi pemberdayaan perempuan yang diterapkan Yayasan Sahabat Ibu. Lebih khusus lagi untuk mengetahui bagaimana paradigma YSI dalam memandang permasalahan perempuan, apa yang menjadi agenda utama pemberdayaan YSI, bagaimana teknik pemberdayaan yang ditempuh, apa saja masalah dalam pemberdayaan dan bagaimana solusi
yang
diterapkan,
(2)
mengetahui
hasil
pelaksanaan
program-program
pemberdayaan perempuan oleh YSI. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menyumbang pengetahuan tentang strategi, pendekatan dan hasil pemberdayaan perempuan yang dimotori LSM. Dalam tataran praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan kebijakan bagi stake holder tentang strategi dan pendekatan pemberdayaan perempuan. Lebih lanjut bagi LSM perempuan lainnya, penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi dan refleksi untuk memperbaiki program pemberdayaan yang telah dilakukan. Manfaat lain penelitian ini adalah sebagai pemantik studi lanjut lainnya tentang LSM-LSM perempuan beserta upaya dan hasil dari pemberdayaan yang dijalankannya. E. Kajian Pustaka Berkembang pesatnya jumlah NGO beserta perannya telah banyak melahirkan studi dan kajian tentang NGO di kalangan akademisi, praktisi, agen donor swasta dan resmi (Suharko, 2003:207). NGO telah menarik perhatian banyak kalangan karena keberadaannya mendorong lahirnya transformasi sosial (Fakih, 1996), keadilan Sosial (Zubaedi, 2007: 114), penguatan masyarakat sipil dan demokratisasi (Suharko, 2003:207). NGO juga menyediakan pendekatan alternatif kegagalan pembangunan 6
industri dan patternalistik top-down terhadap kemiskinan dan masalah wanita (Hikmat, 2001:12). Melihat urgensitas dan kompleksitas peran NGO, tidak heran jika fenomena NGO di Indonesia banyak mendapat sorotan dan kajian. Publikasi hasil kajian atau penelitian tentang NGO pun melimpah. Meskipun demikian, hingga kini NGO masih memiliki daya tarik tinggi untuk dibahas seiring dengan berkembangnya permasalahan sosial yang menjadi perhatian dan basis perjuangannya, terutama isu tentang perempuan. Terdapat beberapa penelitian yang menempatkan LSM perempuan sebagai subyek penelitiannya. Salah satunya adalah Zubaedi (2005) yang dalam bukunya memaparkan hasil penelitiannya terhadap LSM Yasanti dan Rifka Annisa. Fokus penelitian ini adalah bentuk program, pelaksanaan dan sasaran pemberdayaan LSM tersebut. Zubaedi (2005:271) menjelaskan segmentasi dan fokus kegiatan masing-masing LSM. Misalnya LSM Yasanti yang memfokuskan kegiatannya pada pemberdayaan kaum buruh dan remaja putus sekolah. Program pemberdayaan yang dilakukan LSM Yasanti dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup kaum buruh perempuan baik dari segi ekonomi, sosial maupun politik. Sedangkan Rifka Annisa cenderung memfokuskan kegiatannya pada penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap, seperti perkosaan, pemukulan atau penganiayaan suami terhadap istri dan pelecehan seksual. Program-progamnya dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan perempuan agar sederajat dengan laki-laki (Zubaedi, 2005:272). Penelitian Zubaedi di atas memiliki kelebihan dalam menjelaskan berbagai bentuk program, strategi, pendekatan, dan pelaksanaan program oleh subyek penelitiannya. Namun, kekurangannya adalah tidak menyertakan sasaran atau partisipan program dalam unit analisisnya. Sehingga tidak diketahui bagaimana hasil dari program masing-masing LSM perempuan tersebut. Padahal, untuk mengetahui berhasil tidaknya
7
suatu program hanya bisa diketahui dari sasaran program tersebut. Kekurangan tersebut cukup beralasan karena dalam bukunya hanya membahas tema besar LSM perempuan beserta isu pemberdayaan. Kekurangan ruang tersebut menjadi ruang bagi penelitian lanjutan untuk mendalami implikasi dari pemberdayaan tersebut. Penelitian lainnya terhadap LSM-LSM perempuan dilakukan oleh Rahmawati yang meneliti lima LSM perempuan di Yogyakarta pada tahun 2001. Fokus penelitiannya adalah ideologi dan gerakan feminis yang digunakan oleh LSM perempuan tersebut. Tujuan penelitiannya adalah untuk memetakan paradigma, ideologi, strategi dan pendekatan gerakan feminis LSM-LSM tersebut. Rahmawati (2001:88) menunjukkan bahwa masing-masing LSM mempunyai perbedaan dalam isu-isu yang diperjuangkan, cara melihat permasalahan perempuan, agenda yang direncanakan, strategi dan pendekatan yang diterapkan. Perbedaan tersebut berakar pada ideologi yang menjadi titik tolak LSM tersebut untuk melihat permasalahan perempuan dengan spesifikasi tertentu. Perbedaan tersebut akhirnya membawa implikasi yang berbeda pula dalam merumuskan strategi dan orientasi organisasi (Rahmawati, 2001:6). Dari hasil penelitian Rahmawati dapat dipahami bahwa setiap LSM mengusung beragam ideologi yang akhirnya menentukan sasaran, strategi dan gerakannya. Orientasi yang dicanangkan pun juga berbeda. Pemahaman itu menjadi kontribusi penting bagi pengetahuan tentang LSM perempuan beserta perjuangannya. Hasil penelitian tersebut juga memicu inspirasi untuk melihat LSM perempuan secara kritis. Beragamnya ideologi yang menjadi basis gerakan LSM perempuan mendorong pentingnya melihat apa sebenarnya kepentingan dan agenda yang diusung. Penelitian ini pada dasarnya juga terinspirasi dari temuan Rahmawati tersebut. Jika fokus penelitian Rahmawati adalah
8
ideologi dan gerakan LSM perempuan, penelitian ini menyoroti dinamika kelompok partisipan program pemberdayaan pada LSM yang berbeda. Penelitian berikutnya tentang LSM perempuan dilakukan oleh Herliawati (2009) pada komunitas Suara Ibu Peduli (SIP) di Cilandak. Hasilnya, penelitian tersebut menggambarkan bentuk kegiatan pemberdayaan yang dilakukan SIP yaitu Kegiatan simpan pinjam, Penjalinan Relasi, Pendampingan dan Konsultasi, Monitoring dan evaluasi. Manfaat yang Bertambah pengetahuan, meningkatkan rasa diperoleh anggota komunitas tersebut adalah tumbuhnya rasa percaya diri dan sikap kritis, serta solidaritas dan kepedulian terhadap sesama, membantu pendapatan keluarga. Penelitian tersebut menempatkan tema dan subyek yang hampir serupa dengan penelitian ini. Penelitian tersebut di atas menganalisis bagaimana pemberdayaan ekonomi perempuan SIP beserta manfaat yang diperoleh anggota SIP dari program pemberdayaannya. Penelitian tersebut juga menekankan bahwa modal sosial menjadi alat dan media yang kontributif bagi program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh SIP. Selain berbeda tema, subyek penelitian dan lokasi, penelitian tersebut kurang mengeksplorasi proses sosial dalam dinamika kelompok anggota. Selain itu, kurang meneliti lebih dalam tentang dinamika organisasi komunitas Suara Ibu Peduli terkait bagaimana fund-raising, siapa pihak yang mendukung dan terlibat, bagaimana proses dan tujuannnya, serta seperti apa bentuk kerjasama yang dibangun dalam jaringannya. Berkaitan dengan manfaat dan hasil dari program pemberdayaan, terdapat beberapa penelitan yang menyimpulkan bahwa program pemberdayaan mampu berimplikasi positif bagi perempuan. Salah satu penelitian tersebut dilakukan oleh Pramujiharso (2010) pada kasus pemberdayaan ekonomi produkti wanita muslim oleh koperasi Rukun Makmur Sentosa. Penelitian tersebut membahas bentuk pemberdayaan 9
yang dilakukan. Hasil penelitiannya mendeskripsikan bahwa bentuk pemberdayaan adalah pemberdayaan sumber daya manusia, kegiatan keagamaan, kegiatan sosial, kegiatan perekonomian. Dari pemberdayaan tersebut terjadi peningkatan taraf hidup, tercukupinya kebutuhan hidup dan peningkatan aset perempuan. Namun, Penelitian tersebut di atas hanya membahas sebatas bentuk kegiatan dari koperasi Rukun Makmur Sentosa dan sedikit menganalisis hasilnya bagi perempuan muslim. Terlihat sekali orientasi yang dituju adalah implikasi yang bersifat praktis tanpa melihat proses pemberdayaan dan partisipasi perempuan secara mendalam. Kerangka teoretis yang dijadikan acuan sangat minim sehingga penjelasannya terlalu sederhana. Dari beberapa penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa LSM perempuan memiliki semangat untuk memperjuangkan kaum perempuan melalui pelbagai program pemberdayaan. Namun, masing-masing LSM berangkat dari paradigma dan ideologi yang berbeda-beda sehingga implikasinya agenda dan gerakannya pun berbeda. Bentuk kegiatan dan pendekatannya pun berbeda satu sama lainnya. Dari perbedaan tersebut dapat diprediksikan hasil dari berbagai programnya pun berbeda. Meskipun demikian, perbedaan tersebut tidak meniadakan tujuan awal dari dibentuknya LSM. Penelitian Herliawati (2009) pada Suara Ibu Peduli membuktikan bahwa LSM (sebagai NGO) mampu memberikan implikasi positif bagi perempuan. Dalam fokus pemberdayaan ekonomi misalnya, perempuan dapat mengambil manfaat yang kontributif dari program dan intsrumen pemberdayaan yang diinisiasi LSM. Berkaitan dengan kerangka analisis pemberdayaan dari Sara H. Longwe, terdapat penelitian menggunakan pisau analisis tersebut. Penelitian tersebut berjudul “ Model Pemberdayaan Perempuan Miskin Melalui Pengembangan Kewirausahaan Keluarga Menuju Ekonomi Kreatif di Kabupaten Karanganyar” oleh Marwanti dan Astuti (2012).
10
Hasilnya, berdasar kerangka analisis pemberdayaan perempuan dari Sara H. Longwe, kebijakan ataupun program untuk perempuan di Karanganyar cenderung mampu meningkatkan kesejahteraan dan akses serta partisipasi namun belum menyentuh level penyadaran kritis dan kontrol (Marwanti dan Astuti, 2012:140). Hasil penelitian tersebut menjadi pijakan bagi untuk mengevaluasi sejauh mana program-program pemberdayaan perempuan yang dimotori LSM dapat meningkatkan keberdayaan perempuan. Hal tersebut perlu dikaji karena berbagai studi menunjukkan bahwa LSM lebih berhasil dalam memberdayakan masyarakat dari pada pemerintah. Hasil beberapa penelitian tersebut menjadi pijakan asumsi penelitian ini untuk memandang positif setiap kegiatan pemberdayaan perempuan oleh LSM. Meskipun sebenarnya peneliti dibingungkan oleh beberapa hasil penelitian yang memiliki dua kesimpulan bertolak belakang. Di satu sisi penelitian-penelitian di atas menunjukkan hasil yang positif terhadap LSM perempuan (Herliawati, 2009), di sisi lain hasil studi Mansour Fakih (1996) terhadap berbagai LSM di Indonesia menunjukkan bahwa LSM kurang mampu menciptakan transformasi sosial. Beberapa kekurangan dan konradiksi hasil penelitian di atas menjadi alasan perlunya meneliti Yayasan Sahabat Ibu sebagai LSM perempuan. Penelitian ini berusaha melengkapi kekurangan dan perdebatan penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian ini memposisikan diri secara berbeda dari penelitian terdahulu. Perbedaan tersebut adalah meskipun dari sisi tema penelitian ini serupa dengan penelitian terdahulu yakni pemberdayaan perempuan, namun penelitian ini fokus pada strategi dan hasil dari pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh LSM perempuan. Kebanyakan penelitian terdahulu cenderung asyik membahas paradigma, ideologi, teori, strategi, pendekatan, bentuk dan pelaksanaan program yang dijalankan LSM namun sedikit menyoroti
11
hasilnya di lapangan. Oleh karena itu, penelitian ini penting dirancang untuk mengambil bagian yang ditinggalkan tersebut. F. Kerangka Teoretik 1.
LSM: Tinjauan Umum Istilah LSM sebenarnya masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi,
praktisi dan aktifis. Sebagian pihak mengartikan LSM sebagai terjemahan dari NonGovernment Organizations (NGO`s) atau organisasi non-pemerintah. Namun sebagian pihak tidak setuju dengan penyebutan LSM sebagai terjemahan NGO`s karena istilah LSM dianggap merupakan bentuk penjinakan terhadap NGO`s. Pihak yang tidak setuju ini lebih menghendaki menyebut kembali nama lembaganya sebagai organisasi nonpemerintah atau ORNOP (Fakih, 2004:6). Uphoff (1995:20) juga membedakan NGO`s dan LSM. Menurutnya LSM adalah bagian dari NGO`s namun NGO`s belum tentu LSM karena istilah NGO`s mengacu pada sektor di luar pemeintah sedangkan LSM mengacu pada masyarakat di tingkat bawah. Menurut Prijono (1995:950) NGO`s mencakup beragam organisasi di mana LSM juga termasuk di dalamnya. Menurutnya, NGO`s meliputi Organisasi nirlaba (ONL) atau Non-Profit Organization (NPO), Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkaitan dengan proses dampak pembangunan, pengembangan dan perubahan sosial serta pemberdayaan rakyat. Tujuan dari lembaga-lembaga non-pemerintah adalah membangun keswadayaan yang tidak bergantung kepada pemerintah (Sugiyanto, 2002:91). Dalam konteks sekarang, menurut Fakih (2004) perdebatan pandangan di atas mulai mencair dan tidak terlalu dipermasalahkan meskipun ada sebagian LSM yang ingin kembali menyebut dirinya sebagai NGO. Atas dasar pernyataan Fakih tersebut, 12
peneliti lebih memilih menggunakan istilah LSM karena sesuai dengan karakteristik YSI. Definisi LSM sendiri juga beragam tergantung sudut pandang yang digunakan. Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990 pada lampiran II diartikan sebagai“ organisasi
LSM
atau lembaga yang anggotanya adalah masyarakat
warganegara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang tertentu yang ditetapkan oleh organisasi atau lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitik-beratkan kepada pengabdian secara swadaya”. Pendapat lain mengatakan LSM merupakan bagian dari organisasi civil society yang umumnya dikelola dalam wadah kelompok sosial serta memobilisasi sumber daya berdasarkan nilai-nilai dan visi sosial (Zubaedi, 2007: 114). Pendapat lainnya mendefinisikan LSM sebagai organisasi sosial yang kegiatannya berkaitan dengan proses dampak pembangunan, pengembangan dan perubahan sosial serta pemberdayaan rakyat (Prijono,
1995:950).
Sedangkan
untuk
definisi
NGO,
UNDP
(1993:84-85)
mengartikannya sebagai “ voluntary organizations that work with and very often on behalf of others. Their work and their activities are focussed on issues and people beyond their own staff and membership”. Dari beragam definisi dan ciri-ciri LSM di atas, penelitian ini berusaha memadukannya sehingga mendefinisikan LSM (NGO) sebagai organisasi sosial yang dibentuk atas dasar kepentingan bersama untuk memperjuangkan kemanusiaan, keadilan dan memperbaiki kondisi sosial melalui mobilisasi, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, LSM perempuan adalah organisasi sosial yang diinisiasi dan dimotori oleh beberapa perempuan untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan melalui mobilisasi, pengembangan dan pemberdayaan perempuan. Yayasan Sahabat Ibu
13
dalam konteks ini merupakan LSM yang dibentuk oleh beberapa perempuan yang peduli terhadap nasib kaum perempuan lainnya melalui program PROSIBU (karitatif), PINTAR (edukasi) dan PRIMA (ekonomi). Menurut Haddad (dalam Sugiyanto, 2002:95) organisasi sosial dapat dikatakan sebagai LSM apabila sudah memenuhi ciri-ciri LSM sebagai berikut: 1. Bekerjasama karena kesamaan aspirasi dan kegiatan bersama, dimana hubunganhubungannya akrab dan mampu berkomunikasi dengan masyarakat bawah. 2. Untuk mencapai tujuan mereka bekerja sama dengan prinsip saling membantu berdasarkan kepentingan bersama dengan substansi masalah kebutuhan mendasar. 3. Kelompok ini dikenali dengan istilah self help group dengan karakteristik kelompok ini kecil, belum terorganisir secara baik, informal, miskin, berada di pedesaan atau di perkampungan. 4. Dibantu oleh tenaga sukarela dan fokus kegiatannya pada proyek-proyek. Dengan demikian, organisasi sosial yang tidak memenuhi kriteria tersebut tidak termasuk LSM. Oleh karena itu perlu klarifikasi terhadap organisasi sosial mengingat perbedaan latar sejarah serta kompleksnya peran LSM yang berbeda dari organsisasi lainnya. Kemunculan LSM di Indonesia menurut Elderidge (dalam Zubaedi, 2007:122) dipicu oleh dua hal, yakni pertama, adanya upaya mencari model partisipasi dalam pembangunan sosial dan ekonomi yang memberikan penekanan lebih besar bagi masyarakat sendiri dalam menentukan kebutuhan dan meningkatkan kemampuan dalam mengelola kegiatan pembangunan secara mandiri. Kedua, adanya tuntutan kepada LSM sebagai katalisator bagi pengembangan nilai-nilai dan proses demokrasi dalam kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia secara lebih luas.
14
LSM merupakan pendekatan alternatif terhadap kegagalan pembangunan industri dan patternalistik top-down terhadap kemiskinan, masalah wanita dan sebagainya di tingkat grassroot berskala kecil. Melalui karakteristik khas tersebut dimaksudkan agar dapat mewujudkan lingkungan bagi pembangunan masyarakat itu sendiri. Dasar asumsinya adalah untuk membangun harus disandarkan pada pemberdayaan masyarakat (Hikmat, 2001). Clarke mengatakan bahwa secara khusus, pemberdayaan dilaksanakan melalui kegiatan kerja sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber dari pemerintah, tetapi dari LSM, termasuk organisasi dan pergerakan masyarakat
(dalam Hikmat,
2001:5). Kalaupun ada relasi yang dibangun dengan pemerintah, hal itu dalam bingkai kerjasama untuk saling melengkapi dan meraih tujuan. Meskipun LSM berupaya menyediakan alternatif penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat secara luas, dalam tubuh LSM sendiri sebenarnya sangat rentan terserang masalah-masalah yang mengancam eksistensinya. Setidaknya menurut Eko (2006:1-2)
terdapat empat masalah besar yang seringkali dihadapi LSM. Pertama
problem internal seperti manajemen, organisasi, keuangan dan lain-lain yang terkait dengan akuntabilitas dan keberlanjutan. Kedua, problem relasi LSM dengan elemen lain terutama pemerintah dan masyarakat yang mengandung dua pola hubungan yakni kemitraan dan konfontrasi. Ketiga, masalah pendekatan pemberdayaan dan strategi gerakan LSM untuk membaca peta masalah dan merumuskan strategi aksi pemecahan masalah. Keempat, LSM telah menjadi bagian dari polarisasi civil society (Ormas, LSM, mahasiswa, pers, organisasi rakyat dan lain-lain). Empat masalah tersebut jika tidak diantisipasi maka dapat mengurangi peran transformatif LSM pada masyarakat. Lebih parah lagi masalah tersebut sangat mungkin mengancam eksistensi LSM sendiri.
15
2. LSM dan Pemberdayaan Masyarakat Melihat peranan yang dimainkan oleh LSM secara umum, Gaffar (1999:204) memetakannya ke dalam dua kelompok besar, yaitu: pertama, Peranan dalam bidang non-politik, yaitu memberdayakan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi. Peranan demikian biasanya bersifat memfasilitasi dan mendampingi masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya dengan sedikit memberikan perubahan yang bersifat struktural. Kedua, peranan dalam bidang politik, yaitu sebagai wahana untuk menjembatani masyarakat dengan negara atau pemerintah. Dalam hal ini, LSM berfungsi sebagai mediator yang mengantarai hubungan masyarakat dengan negara melalui kepercayaan dari massa dan lobi-lobi terhadap kebijakan. Pada dasarnya, Peran organisasi lokal, organisasi sosial, LSM, dan kelompok masyarakat lainnya lebih sebagai agen pelaksana perubahan dan pelaksana pelayanan sosial kepada kelompok rentan atau masyarakat pada umumnya (Hikmat, 2001:16). Peranan tersebut mengisi kekosongan peran yang ditinggalkan pemerintah atau merubah tatanan yang merugikan bagi kelompok lemah. LSM dapat menjadi kekuatan positif untuk transformasi sosial yang diperlukan (Fakih, 2004:12). Sebagi pelaku perubahan sosial LSM berperan sebagai fasilitator pendidikan, komunikator bagi kepentingan masyarakat, lapis bawah, katalisator, dinamisator transformasi sosial, dan mediator antara pemerintah dan lembaga lain seperti bank dan masyarakat (Zubaedi, 2007:120). LSM-LSM memiliki beragam paradigma yang menjadi dasar gerakan dan strategi kegiatannya. Perbedaan pandangan dalam merumuskan permasalahan dan kepentingan perempuan berimplikasi timbulnya perbedaan dalam perumusan strategi dan orientasi organisasi (Rahmawati, 2001:6). Adapun ragam paradigma LSM sendiri, peneliti mengutip tipologi paradigma yang telah dipetakan Fakih (2004:122) berikut ini:
16
Tabel 1.1 Peta Paradigma LSM
Sebab-sebab masalah
Konformisme keadaan rakyat setempat takdir Tuhan nasib buruk
Sasaran
mengurangi penderitaan mendoakan mengharapkan
Program
perawatan anak bantuan kelaparan klinik rumah panti
Tipe perubahan dan asumsi Tipe Kepemimpinan Tipe Pelayanan
Inspirasi
Reformasi lemahnya pendidikan penduduk yang berlebihan nilai-nilai tradisional korupsi meningkatkan produksi membuat struktur yang ada bekerja mengubah nilai-nilai rakyat pelatihan teknis bisnis kecil pengembangan masyarakat bantuan hukum pelayanan suplementer
Fungsional/ Keseimbangan percaya pada pemerintah konsultatif memberi derma pada yang miskin kesejahteraan
konformasi
partisipatif memiliki tanggung jawab bersama membantu rakyat menolong dirinya Revolusi hijau Pembangunan komunitas Pendidikan non formal Pendidikan kejuruan reformasi
Transformasi eksploitasi struktur yang timpang hegemoni kapitalis menentang eksploitasi membangun struktur perekonomian/ politik yang baru kontra-diskursus penyadaran pembangunan ekonomi alternatif serikat buruh Koperasi Kritik Struktural fasilitator partisipatif disiplin yang kuat land reform riset partisipatif popular education
Emansipasi Transformasi
Dari tiga paradigma di atas, menurut Fakih (2004) kebanyakan LSM di Indonesia masih tergolong reformatif. Hanya sedikit saja LSM yang termasuk kategori transformatif. Namun belakangan, menurut Fakih sebagian LSM mulai mempersiapkan dirinya untuk menjadi transformatif. Kategorisasi dari Fakih di atas akan dipergunakan peneliti untuk melihat posisi YSI dengan mencocokkannya dengan variabel-variabel di atas. LSM juga berperan penting dalam mendukung kelompok swadaya masyarakat melalui sejumlah upaya sebagai berikut: pertama, mengidentifikasi kebutuhan masyarakat lokal dan strategi untuk memenuhinya. Kedua, memobilisasi dan
17
menggerakkan usaha aktif masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ketiga, merumuskan kegiatan jangka panjang dalam rangka mewujudkan sasaransasaran pembangunan yang lebih umum. Keempat, menghasilkan dan memobilisasi sumberdaya lokal atau eksternal untuk kegiatan pembangunan pedesaan. Kelima, pengaturan, perencanaan dan pelaksanaan kelompok sasaran (Hannam, 1988:4). Strategi program pengembangan NGO`s (LSM), Menurut Korten (dalam Prijono, 1996:99-100), tercermin dalam empat generasi, yaitu generasi pertama mengutamakan untuk memenuhi kekurangan atau kebutuhan tertentu yang dialami oleh individu atau keluarga (relief and welfare) seperti kebutuhan makanan, kesehatan, dan pendidikan. Generasi kedua, memusatkan kegiatannya pada small-scale self reliant local development yang meliputi pelayanan kesehatan, penerapan teknologi tepat guna dan pembangunan infrastruktur. Kemudian generasi ketiga terlibat dalam sustainable system development. Mereka melihat dampak pembangunan di regional, nasional dan internasional. Generasi keempat, NGO`s sebagai fasilitator gerakan masyarakat dengan membantu masyarakat mengorganisasikan diri, mengidentifikasi kebutuhan dan memobilisasi sumber daya mereka. Arah pengembangan NGO`s tersebut dilengkapi dengan generasi kelima yaitu pemberdayaan rakyat. Pemberdayaan sebagai agenda generasi LSM kelima dilaksanakan melalui kegiatan kerja sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber dari pemerintah, tetapi dari LSM, termasuk organisasi dan pergerakan masyarakat (Clarke, 1991, dalam Hikmat, 2001:5). Adanya agenda pemberdayaan mengantarkan LSM menjadi pusat harapan untuk mengatasi segera krisis akibat dilaksanakannya pembangunan global, perdamaian, lingkungan, wanita dan pergerakan hak-hak asasi manusia (Korten, 1990).
18
Pandangan mengenai pemberdayaan sendiri sebenarnya cukup beragam. Ragam pandangan itu dipengaruhi oleh pengalaman historis dan format sosial ekonomi yang beragam (Pranarka dan Vidhyandika, 1996 : 45-70). Pandangan yang pertama mengartikan pemberdayaan sebagai penghancuran kekuasaan (power to no body). Pandangan ini berkeyakinan bahwa kekuasaan telah mengasingkan dan menghancurkan manusia dari eksistensinya. Untuk itu perlu menghapus kekuasaan itu sendiri. Pandangan kedua lebih memandang pemberdayaan sebagai pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to every body). Pandangan ini meyakini bahwa kekuasaan yang terpusat berpotensi disalah gunakan dan cenderung mengeliminasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa. Agar tidak terjadi hal tersebut maka perlu mendistribusikan kekuasaan. Sedangkan pandangan yang ketiga mendefinisikan pemberdayaan sebagai upaya penguatan yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini menolak dua pandangan di atas yang dianggap mustahil dan rentan chaos. Dari tiga pandangan tentang pemberdayaan di atas, penelitian ini lebih memilih pandangan yang ketiga karena lebih moderat dan sangat mungkin dipraktekkan. Peneliti setuju memandang pemberdayaan sebagai pendistribusian kekuasaan tanpa harus menghancurkan kekuasaan lain. Artinya di sini tidak ada pihak yang dihancurkan namun justru sebaliknya menjadi mitra untuk kepentingan bersama. Alasannya pemberdayaan justru akan menjadi masalah bila secara konseptual bersifat zero-sum, maksudnya, memberdayakan untuk menguasai pihak lain. (Hikmat, 2001:2). Pemberdayaan dalam konteks ini diartikan sebagai peningkatan kapasitas dari yang semula lemah menjadi kuat, dari yang berdaya menjadi lebih berdaya agar dapat melindungi pihak yang lemah. Menurut Giddens pemberdayaan adalah usaha membangun daya “ transformative capacity of human action: the capability of human
19
beings to intervene in a series of events so as to alter course” (dalam Kartasasmita,1996). Pemberdayaan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan dan memperluas akses terhadap suatu kondisi untuk mendorong kemandirian yang berkelanjutan serta mampu berperan aktif dalam menentukan nasibnya sendiri melalui penciptaan peluang agar mampu berpartisipasi (Sumodiningrat,1999). Mengacu pengertian pemberdayaan dari Giddens di atas, pemberdayaan diartikan sebagai upaya meningkatkan kapasitas kelompok rentan dan lemah hingga mampu memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom) untuk mengemukakan pendapat, bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang dapat meningkatkan pendapatannya dan memenuhi kebutuhan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang menyangkut mereka (Suharto, 2005:58). Kategori orang lemah yang jadi sasaran pemberdayaan adalah (a) Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender maupun etnis (b) Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing (b) Kelompok lemah secara personal yakni mereka yang mengalami masalah pribadi yang dan atau keluarga (Suharto, 2005:60). Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Moeljarto, 1995:68): (a) Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat harus dari masyarakat sendiri (b) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasikan sumber-sumber yang ada untuk mencapai kebutuhannya (c) Mentoleransi variasi lokal sehingga sifatnya fleksibel dan menyesuaikan diri dengan kondisi lokal (d) Menekankan pada proses sosial learning (e) Proses pembentukan jaringan antara birokrasi dan LSM.
20
Pemberdayaan memerlukan masa proses belajar secara bertahap hingga mencapai status mandiri. Proses itu antara lain: tahap penyadaran dan pembentukan perilaku, tahap transformasi dan tahap peningkatan kemampuan intelektual. Tahap pertama penyadaran dan pembentukan perilaku merupakan tahap persiapan dalam proses pemberdayaan, dimana dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki dan menciptakan kondisi yang lebih baik di masa depan. Menurut Freire (2000), dengan kesadaran kritis individu mampu melihat ke dalam diri serta menggunakan apa yang didengar, dilihat, dialami untuk memahami apa yang terjadi dilingkungannya. Kesadaran hendaknya dimulai dari individu, kelompok hingga komunitas. Sedangkan tahap kedua transformasi yaitu proses belajar tentang pengetahuan kecakapan dan keterampilan sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Setelah mencapai tahap ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai kecakapan dasar yang dibutuhkan. Tahap ketiga yaitu pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan keterampilan untuk membentuk kemandirian. Kemandirian sendiri ditandai oleh kemampuan untuk membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi dilingkungannya (Sumodiningrat dalam Sulistiyani, 2004:83-84). Setidaknya ada tiga aktivitas sebagai proses pemberdayaan kepada masyarakat yang perlu dilakukan, yaitu: pertama, pembentukan kelompok. Pemberdayaan dapat dilakukan secara individu maupun secara kelompok. Pada satu kelompok terjadi dialog yang menumbuhkan dan memperkuat kesadaran dan solidaritas kelompok. Sementara individu dalam kelompok belajar mendeskripsikan situasi, mengekspresikan opini dan emosi masing-masing untuk merancang solusi dalam pemecahan masalah. Kedua, pendampingan, dalam proses ini dilakukan pendefinisian tentang masalah, menganalisa serta merancang sebuah kegiatan kelompok memerlukan 21
pendamping yang berfungsi sebagai pendorong potensi kelompok. Pendamping bertugas menyertai pembentukan penyelenggaraan kelompok sebagai fasilitator, komunikator ataupun dinamisator. Sebagai fasilitator, pendamping bertugas memfasilitasi segala kebutuhan dan mendorong proses pemberdayaan. Sebagai komunikator atau dinamisator, pendamping bertugas memediasi komunikasi atau akses pada sumberdaya yang mendukung upaya pemberdayaan termasuk informasi, pendidikan dan keuangan. Ketiga, perencanaan kegiatan. Dalam tahap ini peran aktif setiap anggota kelompok menentukan bidang usaha yang dapat digarap sesuai kemampuan agar meningkatkan taraf hidupnya. Untuk suatu perencanaan kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat terdapat prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan antara lain: (1) Prinsip kepercayaan yakni masyarakat diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan jenis kegiatan yang sesuai dengan potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat (2) Prinsip kebersamaan dan kegotong royongan yakni program harus mampu menumbuhkan kebersamaan dan kegotong-royongan, kesetiakawanan dan kemitraan di antara kelompok (3) prinsip kemandirian yakni menekankan program yang mendorong rasa percaya diri bahwa masyarakat mampu menolong dirinya. Program harus bermanfaat dalam meningkatkan taraf hidup anggota kelompok dan berkembang secara berkesinambungan, sehingga pada saatnya tidak lagi diperlukan bantuan (Hartini, 2000 : 18-20). Untuk melakukan pemberdayaan setidaknya ada beberapa strategi yang dapat digunakan. Pentingnya strategi ini adalah untuk memudahkan mengatasi persoalan yang dihadapi perempuan. Hal tersebut karena permasalahan perempuan sangatlah beragam dan kompleks sehingga perlu melihat akar permasalahan dan merumuskan strategi penyelesaiannya. Berikut model strategi pemberdayaan yang dapat digunakan.
22
Tabel 1.2 Model Strategi Pemberdayaan No
Strategi/Pendekatan
Sasaran
Teknik
Tujuan
1.
Mikro (sering disebut
Individu,
Konselling, terapi,
Mengurangi tekanan,
sebagai pendekatan
Keluarga
bimbingan,
menumbuhkan
yang berpusat pada
pembinaan,
kesadaran, , konsep
tugas atau task
managemen stres
diri, tumbuhnya
centered approach)
dan intervensi
motivasi, mengenal
krisis.
potensi, kemampuan dan kelemahan, mengarahkan, membimbing dan melatih klien.
2.
Mezzo
Kelompok Pendidikan,
tingkatan kesadaran,
, Peer
pelatihan, dinamika
pengetahuan,
group,
kelompok
keterampilan, sikap
self help
untuk mengatasi
group
masalah sendiri/kelompok
3.
Makro (Sering
Komunitas Kebijakan,
Partisipasi masyarakat,
disebut Large system
dan
meningkatkan
strategy)
masyarakat aksi sosial,
perencanaan dan
perfoma/kinerja
kampanye,
organisasi, perubahan
Lobbying, media
kebijakan, dan
massa appeal,
perubahan sosio
organisasir
ekonomi.
masyarakat dan manajemenkonflik Sumber: Fahruddin, Adi (ed). 2012. Pemberdayaan, Partisipasi dan Penguatan Kapasitas Masyarakat. Bandung: Humaniora. Hal. 19 Dari tabel di atas, terlihat perbedaan masing-masing strategi dalam menentukan sasaran, teknik dan tujuan pemberdayaan. Menurut Suharto (2005: 66-67) strategi pemberdayaan di aras mikro dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konselling, 23
stress management dan crisis intervention dengan tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Sedangkan pemberdayaan di aras mezzo menurut Suharto dilakukan terhadap sekelompok klien sebagai media intervensi, dengan cara melalui pendidikan dan pelatihan guna meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapiny. Pemberdayaan di aras makro atau disebut juga strategi sistem besar memandang klien sebagai seorang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi mereka sendiri dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertndak, dimana strategi ini lebih mengara pada perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat dan manajemen konflik. Dalam strategi mezzo, kedudukan kelompok sangat penting. Fungsi dari pembentukan kelompok adalah untuk memudahkan pengorganisasian, yaitu upaya mempersatukan sumberdaya pokok dengan cara yang teratur dan mengatur orang-orang dalam pola organisasi, hingga mereka dapat melaksanakan aktivitas guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. (Anwar, 2007:45). Kelompok juga berfungsi sebagai media dialog untuk menggali dan menyalurkan aspirasi para anggota. Menurut Freire (2000:81) dialog menuntut adanya dan melahirkan pemikiran kritis. Friedmann (1988:255) juga menyatakan bahwa kegiatan pembangunan akan efektif bila dilaksanakan melalui dialog yang melibatkan hubungan saling mempercayai antara dua pihak atau lebih. Pentingnya dialog dalam proses pemberdayaan karena dapat lebih detail menggali aspirasi dan potensi yang ada di kalangan masyarakat sasaran. Dialog merupakan salah satu upaya untuk melibatkan secara aktif kelompok sasaran (Anwar, 2007:40).
24
Berkaitan dengan adanya pelatihan dalam pemberdayaan, Pemberdayaan diri dan kelompok dapat lebih berdaya dengan mempelajari atau pelatihan keterampilanketerampilan hidup (life skills training) (Spence dan Sheperd, 1983:103). Pelatihan sendiri merupakan usaha berencana yang diselenggarakan agar menguasai keterampilan, pengetahuan dan sikap yang relevan dengan kebutuhan peserta pelatihan. Umumnya pelatihan dilakukan untuk pendidikan jangka pendek dengan prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk tujuan tertentu. (Anwar, 2007:107). Dalam kaitannya peran LSM dalam pemberdayaan, pada prakteknya Peran LSM dalam memberdayakan rakyat dapat dirumuskan melalui pendidikan dan pendampingan kemandirian melalui kelompok atau individu, yaitu (Ismawan, 2000:9-16): Pertama menggali motivasi dan membangkitkan kesadaran anggota kelompok, kedua membantu perkembangan, seperti pendidikan dan latihan, pemupukan modal dan pengelolaan, sebagai katalisator hubungan kerjasama antar kelompok termasuk hubungan kerjasama dengan lembaga lain demi tercapainya kemandirian. Dengan adanya pendamping, kelompok diharapkan tidak bergantung pada pihak luar, namun dapat tumbuh dan berfungsi sebagai suatu kelompok kegiatan yang mandiri. Pendamping diharapkan membantu kelompok untuk suatu masa tertentu agar kelompok dapat berfungsi secara mandiri (Prijono dan Pranarka,1996:142). Oleh karena itu, pendamping harus dapat berfungsi sebagai berikut: 1. Fasilitator dan katalisator: melalui pembinaan dengan tinggal di tengah-tengah kelompok menyertai proses perkembangan kelompok masyarakat, membantu memecahkan masalah dan ikut menentukan alternatif pemecahan. Seorang pembina bukan merupakan pemimpin tetapi merupakan sahabat kelompok dalam proses mencapai dan mengembangkan kemandiriannya. seorang pembina juga merupakan penghubung antara masyarakat dengan lembaga-lembaga terkait. 25
2. Pelatih dan pendidik: peran ini berusaha mencarikan dan menyalurkan informasi serta pengalaman dari luar ke dalam kelompok melalui berbagai metode untuk meningkatkan pendidikan kelompok sasaran. Peningkatan pendidikan pada kelompok dapat melalui dua jalur yaitu secara langsung dan tidak langsung. Peningkatan pendidikan secara langsung dapat melalui penyuluhan, pelatihan, konsultasi dan sebagainya. Sedangkan peningkatan pendidikan secara tidak langsung
terjadi sejalan dengan terintegrasinya anggota dalam kelompok
swadaya (Ismawan, 2003). Melalui kelompok tersebut, anggota berinteraksi menumbuhkan kesadaran akan posisi dan potensi mereka. 3. Pemupuk modal: peran ini dilakukan untuk mendorong upaya penghematan, usaha menabung dan kegiatan produktif. Dalam hal ini NGO`s dapat berfungsi sementara sebagai lembaga keuangan setempat atau sebagai penghubung dengan berbagai lembaga keuangan terdekat. 4. Penyelenggara proyek Proyek di sini adalah proyek-proyek stimulan dalam rangka meningkatkan kemandirian kelompok-kelompok swadaya. Berkaitan dengan peran LSM dalam mendorong keberhasilan penyelenggaraan kelompok swadaya, setidaknya ada 5 program pengembangan yang dapat disusun dan disalurkan melalui tenaga-tenaga pendamping kelompok , yaitu (Ismawan, 2003): a. Program pengembangan sumberdaya manusia yang meliputi kegiatan pendidikan dan latihan untuk anggota maupun pengurus yang mencakup pendidikan dan latihan tentang keterampilan mengelola kelembagaan
26
kelompok, keterampilan teknik produksi, maupun keterampilan mengelola usaha. b. Program
pengembangan
kelembagaan
kelompok,
dengan
membantu
menyusun peraturan rumah tangga, mekanisme organisasi, kepengurusan, administrasi dan lain sebagainya. c. Program pemupukan modal swadaya dengan membangun tabungan sosial dan kredit anggota serta menghubungkannya dengan lembaga-lembaga keuangan setempat untuk mendapatkan manfaat bagi pemupukan modal lebih lanjut. d. Program pengembangan usaha, baik produksi maupun pemasaran dengan berbagai studi kelayakan, informasi pasar, organisasi produksi dan pemasaran dan lain-lain. e. Program penyediaan informasi tepat guna, sesuai dengan kebutuhan kelompok swadaya dengan berbagai tingkat perkembangannya,. Informasi ini dapat berupa eksposure program, penerbitan buku-buku maupun majalahmajalah yang dapat memberikan masukan-masukan yang mendorong inspirasi ke arah inovasi usaha lebih lanjut. Beragamnya peran LSM di atas tidak terlaksana dengan baik tanpa disertakannya partisipasi aktif dari masyarakat. Hal tersebut karena menurut Clarke partisipasi masyarakat melalui LSM merupakan kunci untuk memperoleh keadilan, hak asasi manusia, dan demokrasi. (dalam Hikmat, 2001:5). Partisipasi sendiri diartikan sebagai proses aktif dimana orang atau kelompok yang terkait mengambil inisiatif secara bebas (dalam Mikkelson, 2001: 64). Bahkan menurut Fakih (dalam Juliantara, 1998:12), pada dasarnya partisipasi merupakan pemberdayaan yang bermakna mencari ruang kepada 27
rakyat untuk menjadi subyek proses perubahan sosial, pengambilan keputusan dan aksi melawan ketidak adilan untuk transformasi sosial mereka sendiri. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan sebagaimana
yang
diungkapkan di atas adalah sebagai berikut (Krimer dalam Ismail, 2001:34): (a) Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan program yang akan dijalankan (b) Partisipasi dalam pembangunan program, perlu didengar pendapat dan nasehat dari kelompok sasaran agar program sesuai dengan kebutuhan dan persoalan yang dihadapi (c) Partisipasi dalam gerakan sosial, agar kelompok sasaran dapat ikut dalam proses pengambilan keputusan dibutuhkan stimulasi dan dukungan agar dapat menjadi pressure group yang efektif (d) Partisipasi berupa keterlibatan dalam berbagai pekerjaan. Kelompok sasaran diasumsikan terbatas pada alternatif untuk melakukan pekerjaan guna meningkatkan partisipanya. 3. LSM dan Pemberdayaan Perempuan Kerangka teori yang ketiga ini digunakan untuk melihat bagaimana peran dan upaya LSM dalam pemberdayaan perempuan serta apa tujuan dan hasil yang harus dicapai. Secara umum peran LSM dalam pemberdayaan perempuan tidaklah jauh berbeda dari peran LSM dalam pemberdayaan masyarakat secara umum. Namun ada perbedaan mendasar di antara keduanya, yakni isu yang diperjuangkan, strategi dan tujuan dari pemberdayaan sebagaimana yang akan dijelaskan berikut. Peran LSM dalam pemberdayaan perempuan dalam hal ini dapat disebut merupakan cakupan dari LSM dalam pemberdayaan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, kerangka teori ini banyak mengadopsi konsep peran LSM dalam pemberdayaan masyarakat secara umum namun diadaptasikan pada kerangka pemberdayaan perempuan.
28
LSM perempuan didefinisikan sebagai sekumpulan perempuan dalam sebuah organisasi yang dibentuk untuk memperjuangkan nasib dan kepentingan perempuan. Bentuk kegiatan dan agenda untuk melaksanakan tujuan tersebut beragam, salah satunya adalah pemberdayaan. Adanya inisiatif pemberdayaan dari LSM perempuan yang ditujukan pada perempuan sebagai sasarannya mengandung arti bahwa kepentingan perempuan belum terpenuhi sehingga perlu diperjuangkan. Dalam konteks inil LSM perempuan kemudian tampil membantu, mendampingi dan membela perempuan. LSM-LSM perempuan tersebut memproklamirkan diri sebagai organisasi yang otonom, independen dan berwawasan gender (Rahayu, 1996:32). Para aktifis perempuan memaknai pemberdayaan dalam tiga pemaknaan berikut (Rinawati, 2010:48); pertama, sebagai kegiatan yang dapat menciptakan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan, kedua, sebagai peran serta atau partisipasi perempuan yang merupakan aktualisasi diri perempuan dalam masyarakat. Ketiga, sebagai bentuk kepeduliannya terhadap sesama kaum perempuan. Dari tiga pemakanaan yang berbeda tersebut, lantas memunculkan tiga jenis perempuan dalam kaitannya dengan aktifitas pemberdayaan yaitu pertama perempuan pragmatis, yakni perempuan yang memandang pemberdayaan sebagai instrumen untuk membantu dan meningkatkan kesejahteraan perempuan, kedua, perempuan partisipatoris, yakni perempuan yang memandang pemberdayaan sebagai peluang untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang di laksanakan di lingkungannya, ketiga, perempuan feminis, yakni perempuan yang memaknai pemberdayaan sebagai kesejajaran perempuan dengan laki-laki dalam bidang pembangunan (Rinawati, 2010:49). Adanya upaya pemberdayaan perempuan tidak terlepas dari pandangan negara-negara di dunia terhadap permasalahan perempuan. Sejak tahun 1970 an
29
permasalahan perempuan mulai diperhatikan saat dimasukkannya kajian perempuan dan pembangunan sebagai respon terhadap dominannya ideologi developmentalisme yang terbukti menyudutkan dan meminggirkan perempuan. Banyak publikasi yang menunjukkan dampak negatif developmentalisme terhadap perempuan. Diantaranya adalah hasil studi Barbara Roger berjudul “the Domestication of Women: Discrimination in Developing Country” membeberkan bahwa program Bank Dunia tersebut sangat bias gender, Stamp (1989) dalam bukunya “ Technology, Gender and Power in Africa, juga Boserup (1970), isu diskursus dan pengetahuan atau kekuasaan (Mueller A. 1987) dalam publikasi berjudul Peasant and Professional: the Production of Knowledge about in the Third World, maupun dari aspek lingkungan (Shiva, 1989) serta aspek-aspek lainnya seperti Sen (1987), Ahmed (1985), Charlton (1984) “Women in Development: Boulder”, McCarthy (1984), Dixon (1980) dan Wolf (1986) (dalam Fakih, 2003:59-61). Dari berbagai kritikan terhadap developmentalisme tersebut kemudian muncul berbagai model pendekatan yang mengupayakan kepentingan perempuan dalam pembangunan. Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain: Women in Development (WID) yang memperjuangkan keterlibatan perempuan dalam pembangunan, Women and
Development
(WAD)
yang
meningkatkan
kontrol
perempuan
dalam
pembangunan dan Gender and Development (GAD) yang menekankan kesetaraan gender dalam pembangunan. Pendekatan-pendekatan tersebut kemudian digunakan oleh negara-negara berkembang dan LSM-LSM perempuan sebagai acuan pemberdayaan perempuan (Rahmawati, 2001:47).
30
Berdasarkan pendekatan dan strategi gerakannya, LSM perempuan memiliki keragaman aktifitas yang dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu (Triwijati, 1996:358-359): a. LSM perempuan yang berupaya memenuhi kebutuhan praktis gender yaitu kebutuhan mendasar perempuan seperti penyediaan makanan bernutrisi, perbaikan tempat tinggal, peningkatan penghasilan, pekerjaan, pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan (Mosser, 1993). b. LSM perempuan yang beorientasi pada pemenuhan kebutuhan strategis gender. Menurut Molyneux (dalam Zubaedi, 2007:214) kebutuhan strategis gender menyangkut kedudukan atau posisi perempuan di dalam masyarakat. Menurut Zubaedi (2007:214) Fokus pemenuhan kebutuhan strategis adalah “ penyetaraan relasi dan partisipasi perempuan dengan laki-laki dalam hal pembuatan keputusan, akses yang sama untuk mendapatkan kesempatan bekerja, pendidikan, latihan, kepemilikan tanah, kekayaan dan kredit, upah yang sama dengan laki-laki untuk jenis pekerjaan yang bernilai sama, kebebasan untuk memilih dalam pernikahan dan reproduksi, perlindungan terhadap pelecehan seksual dan kekerasan yang dilakukan suami di rumah”. Untuk lebih mudah memahami bagaimana perbedaan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender dapat dilihat pada tabel berikut.
31
Tabel 1.4 Perbandingan Kebutuhan Praktis (GPN) dan Strategis Gender (GSN) Kebutuhan praktis
Ciriciri
Kebutuhan strategis
berhubungan dengan perbaikan kondisi hidup yang tidak memuaskan: kurangnya sumber daya atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar (kesehatan, pangan, air minum dsb.).
Berkaitan dengan peranan dan kedudukan di masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor struktural (ekonomi, sistem politik perundang-undangan, normanorma sosial-budaya)
Kebutuhan ini dapat segera diidentifikasi karena dirasakan secara langsung dapat terpenuhi dalam kurun waktu relatif Cpendek melalui intervensi atertentu misalnya pembuatan rsumur, posyandu dll.
Menyangkut kepentingan hampir semua perempuan, tetapi tidak dapat diidentifikasi secara langsung Dapat terpenuhi melalui suatu proses jangka panjang
a Melibatkan perempuan sebagai Melibatkan perempuan sebagai pemanfaatan atau bahkan pelaku atau memfasilitasi p sebagai partisipan perempuan untuk menjadi pelaku e dan penentu kebijakan n a Dilakukan melalui penyadaran, nMemperbaiki kondisi hidup memperkuat kepercayaan diri, perempuan melalui kegiatan g pendidikan, pengembangan yang memberikan suatu hasil g organisasi perempuan dsb. yang berefek langsung dan cepat u Memberdayakan perempuan untuk l dirasakan memperoleh kesempatan yang a lebih luas dalam pengambilan n keputusan di segala bidang dan g tingkat masyarakat, a memperjuangkan akses dan n kontrol terhadap sumberdaya yang lebih besar. ETidak mengubah peranan-peran Mengubah peranan-peranan dan hubungan sosial budaya. f dan hubungan sosial yang ada. Sumber: Moser, Caroline O. N. 1993. Gender Planning and Development: Theory, Practice and Training. London Routledge.
32
Upaya pemberdayaan perempuan dalam konteks sekarang dinilai cukup signifikan
karena:
Pertama,
proses
pembangunan
Indonesia
menekankan
pertumbuhan ekonomi dan modernisasi, sejauh ini belum berpihak terhadap kepentingan kaum perempuan. Kedua, pada praktiknya perempuan masih ditempatkan sebagai “pihak kedua” meski pengakuan normatif terhadap perempuan menguat. Misalnya pada sektor pekerjaan modern, masih ada praktik terselubung yang memarjinalkan kaum perempuan. Ketiga, adanya streotipe atau pelabelan terhadap kelompok perempuan. Perempuan dipandang sebagai seorang yang lemah, emosional, sensitif, tergantung, pasif, submissif, luwes, memerlukan perlindungan dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dinilai memiliki fisik yang kuat, agresif, lebih rasional, ingin memimpin, melindungi, aktif, kompetitif, kaku, keras dan sebagainya (Munandar, 1995 dalam Zubaedi:272-273). Pemberdayaan perempuan menekankan pentingnya penguatan kapasitas untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal melalui kontrol internal atas sumber daya materi dan non-material (Hikmat, 2001 : 14). Kapasitas sendiri adalah kualitas dan daya tampung yang dimiliki untuk menjalankan peran dan tanggung jawabnya. Kapasitas individu merupakan konsep yang dinamik sehingga dapat diubah dan dikelola termasuk dalam hal ini adalah kapasitas intelektual untuk mencapai tujuannya sendiri dan yang dikehendaki lingkungan. Dengan demikian, pemberdayaan perempuan adalah pengembangan potensi dan sumber daya yang dimiliki perempuan untuk meningkatkan kemandirian, pendidikan dan mendorong kesetaraan gender. Pemberdayaan perempuan lebih ditujukan untuk meningkatkan kualitas keterlibatan dan partisipasi mereka dalam segala aspek kehidupan” (Sadli, 1995:45-49).
33
Peningkatan kapasitas perempuan berarti meningkatkan kualitas sumber daya manusia perempuan agar dapat: (1) menganalisis lingkungannya (2) mengidentifikasi masalah-masalah,
kebutuhan-kebutuhan,
isu-isu,
dan
peluang-peluang
(3)
memformulasi strategi-strategi untuk mengatasi masalah-masalah, isu-isu dan kebutuhan-kebutuhan tersebut dan memanfaatkan peluang yang relevan. (4) merancang sebuah rencana aksi, serta mengumpulkan dan menggunakan secara efektif dan atas sumber daya yang berkesinambungan untuk mengimplementasikan, monitoring, mengevaluasi rencana aksi tersebut (5) memanfaatkan umpan balik sebagai pembelajaran (African Capacity Building Foundation, 2001). Pengembangan kapasitas manusia dapat berupa pengembangan wawasan, peningkatan kemampuan atau skill, akses informasi dan pengambilan keputusan. Strategi pengembangan perempuan, meliputi perhatian ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan perempuan yang tergolong dalam kelompok masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapat kesempatan lebih besar dalam menuntut pendidikan pasca pendidikan dasar, mendorong makin ikut berperannya perempuan dalam mengambangkan dan memanfaatkan kemajuan teknologi bagi pembangunan (Achmad, 1992:51-52). Kualitas keberhasilan suatu rumah tangga sangat tergantung pada kemampuan dan potensi memadai dari wanita ( Elizabeth, 2007:131). Hal demikian juga dinyatakan Tan (1997) bahwa pemberdayaan perempuan memperkuat ketahanan keluarga dan relasi perempuan dengan lingkungannya dengan menekankan aspek persamaan tanggung jawab untuk kesejahteraan. Dengan
mengimplementasikan
pemikiran
Sumodiningrat,
Elizabeth
(2007:130-131) mengungkapkan sedikitnya ada tiga aspek yang dicakup dalam pemberdayaan perempuan, yaitu: (1) menciptakan kondisi yang kondusif yang
34
mampu mengembangkan potensi perempuan; (2) memperkuat potensi (modal) sosial perempuan demi meningkatnya mutu kehidupannya; (3) mencegah dan melindungi perempuan, serta mengentaskan ketertindasan dan kemarginalan bidang kehidupan mereka. Upaya menciptakan suasana/iklim kondusif yang memungkinkan suatu potensi dapat berkembang dan menguat dengan cara: (1) mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki; (2) menciptakan aksesibilitas terhadap berbagai peluang yang menjadikannya semakin berdaya; (3) diperlukan tindakan perlindungan terhadap potensi sebagai bukti keberpihakan yang mencegah dan membatasi persaingan yang tidak seimbang dan cenderung eksploitasi terhadap yang lemah oleh yang kuat (Elizabeth, 2007:131). Pemberdayaan perempuan menurut Mosser (1996:209-210) harus lebih menekankan pada strategi pemberdayaan bawah ke atas (bottom-up). Pendekatan ini mendorong peningkatan keberdayaan perempuan namun bukan untuk mendominasi orang lain, melainkan kecakapan perempuan untuk meningkatkan kemandirian (self reliance) dan kekuatan internal (internal strength) atau “ the right to determine choices in life and to influence the direction of change, through the ability to gain control over material and non material resources” (Prijono, 1996:199). Moser (2003) juga mengingatkan bahwa strategi pemberdayaan perempuan bukan bermaksud untuk menciptakan perempuan yang mengungguli laki-laki. Namun lebih berupaya mengidentifikasi
kekuasaan
dalam
kerangka
kapasitas
perempuan
untuk
meningkatkan kemandirian dan kekuasaan internal. LSM Perempuan dituntut mampu membantu perempuan sasarannya untuk mencapai tujuan pemberdayaan berikut ini (Nugroho, 2008: 163-164):
35
a. Meningkatkan kemampuan kaum perempuan untuk melibatkan diri sebagai subyek pembangunan. Peran dan potensi perempuan sangat dibutuhkan untuk mengatur dan mengurus sumberdaya keluarga, terutama anak-anak dan sumberdaya material rumah tangga lainnya. Anak-anak merupakan faktor utama sumber daya manusia, sebagai calon generasi penerus (Elizabeth, 2007:131). Peran
perempuan
sebagai
ibu
rumah
tangga
sangat
penting
untuk
mempersiapkan anak-anak agar mampu memperoleh pekerjaan yang lebih baik dari orang tuanya kelak, melalui pembekalan pendidikan dan keterampilannya, di samping pembinaan akhlak dan martabat mereka (Elizabeth, 2007:131). b. Meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam kepemimpinan, untuk meningkatkan posisi tawar-menawar dan keterlibatan dalam setiap program pembangunan baik sebagai perencana, pelaksana, maupun melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan, c. meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam mengelola usaha skala rumah tangga, industri kecil maupun industri besar untuk menunjang peningkatan kebutuhan rumah tangga, maupun membuka peluang kerja produktif dan mandiri, d. meningkatkan peran dan fungsi organisasi perempuan di tingkat lokal sebagai wadah pemberdayaan kaum perempuan agar dapat terlibat secara aktif dalam program pembangunan pada wilayah tempat tinggalnya. 4. Level Analisis Pemberdayaan Perempuan (Sara Hlupekile Longwe) Sebenarnya ada beberapa kerangka analisis gender yang umum digunakan (selengkapnya lihat lampiran), yakni kerangka analisis Moser (Development Planning Unit), kerangka analisis Harvard (Gender Roles/people oriented planning), Gender 36
Analysis Matrix (GAM), pendekatan relasi sosial, analisis kapasitas dan kerentanan serta analisis pemberdayaan perempuan (Sara H. Longwe) (lihat March, Smyth dan Mukhopadhyay, 1999). Setiap kerangka analisis di atas memiliki fokus, kelemahan dan kelebihan tersendiri. Hal tersebut disebabkan oleh pendekatan dan orientasi yang berbeda. Namun sayangnya, masing-masing kerangka analisis seakan berjalan sendiri tanpa berusaha untuk saling melengkapi kekurangan. Untuk memilih kerangka analisis yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti berdasar pada pertimbangan-pertimbangan yang disarankan March dkk (1999) yaitu mempertanyakan (1) sejauh mana kerangka analisis gender tersebut mengulas relasi sosial yang melampui isu gender? (2) sejauh mana fleksibilitas framework tersebut? (3) apakah ia menganalisis relasi sosial atau peran sosial? (4) apakah framework tersebut mencakup secara seimbang unsur sumberdaya intangible (abstrak, seperti:hak, pertemanan, jaringan, skill, pengalaman di ruang publik, kepercayaan diri, kredibilitas, status dan respek, leadership dan waktu perempuan) dan tangible (tampak, seperti: tanah, pendapatan, alat produksi, modal dll.) (5) apa tujuan utama dari framework tersebut, fokus pada efisiensi atau pemberdayaan, (6) framework mana yang dapat diterapkan dalam mengkaji identitas dan peran laki-laki. Pertimbangan praktis lainnya adalah apakah kerangka analisis tersebut sesuai dengan yang penelitian ini inginkan, apa reaksi dari masyarakat jika kerangka tersebut digunakan, apa potensi limitasi dari kerangka analisis tersebut dan bagaimana cara menyiasatinya. Dari berbagai pertimbangan dan kriteria di atas, penelitian ini memilih kerangka analisis pemberdayaan perempuan dari Sara Longwe karena banyak memenuhi pertimbangan di atas dan sesuai dengan kondisi subyek dan konteks penelitian ini. Kelebihan dari kerangka analisis Longwe adalah (1) ia mampu mengembangkan poin-
37
poin kebutuhan praktis dan strategis gender secara hierarkis dan progresif (2) menekankan pemberdayaan sebagai elemen dasar dari pembangunan dan asesmen terhadap intervensi (3) memiliki perspektif politik kuat yang bertujuan mengubah kondisi dan tindakan. Meskipun memiliki kelebihan, namun terdapat potensi keterbatasan dalam kerangka analisis Sara Longwe yaitu; (1) kerangka analisis bersifat statis tanpa memperhitungkan perubahan situasi dalam waktu tertentu (2) mengkaji relasi gender dari sudut pandang keseteraan semata tanpa melibatkan aspek inter-relasi antara hak dan tanggung jawab (3) cenderung mengabaikan bentuk lain dari ketidaksetaraan dan relasi gender. Terlepas dari adanya kelebihan dan limitasi, kerangka analisis Sara Longwe dirasa sesuai dengan konteks dan kebutuhan penelitian ini. Oleh karena itulah kerangka tersebut dipilih. Sebenarnya, kerangka Longwe dapat dioperasikan secara fleksibel sesuai dengan tuntutan dan tujuan pemberdayaan. Dalam konteks makro, analisis Longwe dapat digunakan untuk merancang kebijakan dan program-program pemberdayaan dari pemerintah. Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa besar perempuan menikmati manfaat intervensi pemberdayaan dari pemerintah, Apakah intervensi tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan praktis dan strategis gender sekaligus ataukah masih bias gender. Dalam posisi ini, intervensi pemberdayaan beroperasi dalam ranah institusional (struktural) di mana pemerintah sebagai agen pemberdayaan merumuskan kebijakan pemberdayaan perempuan sebagai obyeknya. Untuk mengetahui keberhasilan pemberdayaan tersebut, dapat melihatnya dari analisis institusionalnya dengan mempertanyakan poin-poin berikut: bagaimana aturan atau kebijakan dirumuskan? Bagaimana pelaksanaannya? Sumberdaya apa yang digunakan dan apa yang dihasilkan? Siapa yang terlibat dan tidak terlibat dalam pemberdayaan? Siapa yang
38
melakukan aktifitas dalam pemberdayaan? Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan terkait pemberdayaan dan kebutuhan apa saja yang dipenuhi? Namun, kerangka analisis institusional kurang mencakup permasalahan perempuan secara komprehensif sehingga seringkali tidak tepat sasaran. Hal tersebut karena perumusan program intervensi pemberdayaan terlalu teknokratis dan cenderung project oriented. Pendekatan yang digunakan cenderung top-down sehingga kurang mengakomodir kebutuhan dan permasalahan perempuan. Kualitas kebijakan gender sendiri dapat dikategorisasikan sebagaimana yang ditunjukkan Mona Dahms berikut, yaitu gender-blind, gender-aware (gender-neutral dan gender-specific) dan gender redistributive. Kategori pertama menunjukkan kebijakan gender yang seringkali masih bias laki-laki. Sedangkan kategori kedua menggambarkan kebijakan sensitif gender yang berusaha melengkapi dan memenuhi kebutuhan tertentu. Kategori kebijakan gender ketiga bertujuan untuk mendistribusikan kekuasaan dan sumber daya produktif secara egaliter. Lebih mudahnya lihat bagan yang diadopsi dari Dahms berikut.
39
Dari bagan di atas, dapat diketahui bahwa kebijakan gender hanya berusaha memenuhi kebutuhan dan mendistribusikan sumberdaya secara merata bagi perempuan. Titik inilah yang menjadi kelemahan intervensi pemberdayaan yang diinisiasi pemerintah dimana kurang menyentuh akar permasalahan perempuan. Akibatnya adalah permasalahan yang dihadapi perempuan sulit diselesaikan. Dalam kondisi ini lantas memunculkan kerangka pemberdayaan yang lahir dari refleksi terhadap permasalahan perempuan oleh sebagian unsur masyarakat. Intervensi pemberdayaan perempuan dari masyarakat lebih bersifat bottom-up sehingga dianggap mampu mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan perempuan secara komprehensif. Dalam konteks inilah Longwe kemudian menawarkan sebuah kerangka analisis pemberdayaan perempuan mencakup kebutuhan praktis dan strategis gender yang disusun secara hierarkis. Kerangka ini seringkali diadopsi oleh LSM atau NGO lainnya sehingga diidentikkan sebagai kerangka pemberdayaan perempuan yang people oriented. Longwe memandang pemberdayaan perempuan adalah sentral dalam proses pembangunan. Pemberdayaan perempuan berarti menghasilkan mobilisasi dan organisasi perempuan politis agar lebih mampu berperan maksimal (Longwe, 1998:22) Ia juga memandang ketidaksetaraan gender tidak hanya muncul dari perbedaan peran gender, namun dari pembagian kerja berdasar gender dan alokasi manfaat serta sumberdaya. Oleh sebab itu, tujuan dari kerangka analisis tersebut adalah untuk meningkatkan keberdayaan perempuan dengan cara mendorong (enabling) perempuan agar memiliki kontrol setara pada faktor-faktor produksi dan berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dari tujuan tersebut, Longwe lantas membedakan antara womens`s issues, yang berkaitan dengan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam peran sosial atau ekonomi, serta women`s concern yang berhubungan dengan subordinasi, peran gender dan stereotip sex. 40
Untuk meraih tujuan pemberdayaan perempuan dalam kerangka analisis Longwe, dapat dilakukan beberapa langka berikut. Pertama, melengkapi kebutuhan perempuan yakni kesejahteraan. Kedua, meningkatkan kesadaran perempuan tentang hak yang harus diterimanya. Ketiga, melalui lima level pemberdayaan (kesejahteraan, akses, penyadaran, partisipasi dan kontrol) untuk memfasilitasi akses, partisipasi dan yang paling mendasar adalah memberikan kontrol perempuan pada aspek sosial budaya, hukum dan politik. Dalam pandangan Longwe (March dkk, 1999:92) pembangunan berarti menyediakan (enabling) ruang bagi perempuan untuk mengendalikan hidupnya dan terhindar dari kemiskinan. Kemiskinan tidak dilihat muncul dari kekurangan produktifitas, melainkan dari tekanan dan eksploitasi. Longwe menunjukkan beberapa literatur yang cenderung menganalisis keseteraan antara lakilaki dan perempuan berdasarkan sektor ekonomi dan masyarakat seperti kesetaraan dalam pendidikan, pekerjaan dan lain sebagainya. Menurutnya, Analisis model seperti itu lebih akan menimbulkan pemisahan kehidupan sosial dari pada meningkatkan kesetaraan perempuan dalam proses pembangunan. Oleh karena itu Ia menawarkan kerangka analisis pemberdayaan perempuan yang menurutnya lebih komprehensif. Analisis pemberdayaan perempuan sangat berguna dalam mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Dalam tulisan “ Gender Awareness: the Missing Element in the Third World Development Project” dalam Changing Perceptions: Writings on Gender and Development, Longwe (1991) menyusun level pemberdayaan perempuan yang harus diperhatikan yakni kesejahteraan, akses, konsentasi/penyadaran, partisipasi dan kontrol. Kelima level pemberdayaan perempuan tersebut tersusun secara hierarkis dimana tingkatan yang tertinggi adalah kontrol. Semua level tersebut harus dipenuhi dalam upaya pemberdayaan perempuan. Berikut dijelaskan level analisis pemberdayaan Longwe sebagaimana pada tabel. 41
Tabel 1.4 Level Analisis Pemberdayaan Perempuan (Longwe) Longwe’s Women’s Empowerment Framework Empowerment seeks a balance of power between women and Control men, so that neither is in a position of dominance. It means that ↑ women have power alongside men to influence their destiny and ↑ that of their society. In Longwe’s view, empowerment is an inter↑ connected cycle of countering discrimination and oppression. ↑ Addressing the roots of inequality at one level leads to a discussion about all of the other levels. Empowerment takes place as individual women and groups of women move between levels, gaining strength along the way. The individual woman in the home is not likely to make much Participation / progress in challenging traditional norms – Power expands in Mobilization numbers and connection. Mobilization is therefore the fourth and ↑ crucial stage of empowerment, which enables the collective ↑ analysis of gender issues, and the collective commitment to ↑ action. Mobilization is largely concerned with redefining ↑ participation in decision making, as participation of a mobilized group will spark the search for empowerment at yet another level. In development projects, it includes involvement in needs assessment, project design, implementation and evaluation. Conscientisation Here an understanding of the difference between sex roles and gender roles comes into force with the belief that gender relations ↑ and the gender division of labour should be fair and agreeable to ↑ both sides, and not based on the domination of one over the ↑ other. Access now pertains to women’s access to factors of ↑ production, land, labour, credit, training, marketing facilities, and ↑ all publicly available services and benefits - on an equal basis with men. Equality of access is obtained by securing equality of opportunity through legal reform to remove discriminatory provisions. The gender gap at the welfare level results from inequality of Access access to opportunity, information, and other resources. ↑ Empowerment means that women are 1) made aware of the gap ↑ and 2) animated to take actions for gaining access to their fair ↑ and equal share of the various resources available within the household, and within the wider system of state provision. Action here takes women automatically to the next level. At this base level work views women as passive recipients and Welfare welfare pertains to the level of material welfare of women, relative to men, with respect to food supply, income and medical care, without reference to whether women are themselves the --------active creators and producers of their material needs. This level is not sustainable nor does it empower women. 42
a. Welfare / Kesejahteraan kesejahteraan adalah unsur material pada level dasar yang harus dipenuhi dalam pemberdayaan perempuan. Asumsinya adalah perempuan selama ini dipandang sebagai penerima pasif dari kesejahteraan yang diusahakan laki-laki tanpa melihat kemampuan perempuan. Oleh karena itu, level pemberdayaan ini menekankan perempuan harus menjadi kreator aktif dan produser untuk mencukupi kebutuhan materialnya. Kesejahteraan dapat diukur melalui tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan, penghasilan, perumahan dan kesehatan. Untuk memperbaiki kesejahteraan diperlukan peningkatan akses perempuan terhadap sumber daya dan keterlibatan dalam proses pemberdayaan. b. Access / Akses Akses menurut Longwe adalah kemampuan perempuan untuk memperoleh peluang terhadap sumberdaya produktif seperti tanah, kredit, pelatihan, fasilitas pemasaran, tenaga kerja dan semua pelayanan publik. Argumen utama level pemberdayaan ini adalah adanya kesenjangan kesejahteraan antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya. Dengan kata lain, Rendahnya produktifitas perempuan disebabkan oleh minimnya akses perempuan terhadap sumber daya produktif seperti peluang, permodalan, informasi, pendidikan, pelatihan dll. Sumber daya menurut ICRW (2011:5) tidak hanya terkait finansial melainkan mencakup human capital (pendidikan, skill, dan pelatihan), financial capital (modal, tabungan), social capital (jaringan sosial, mentor), physical capital (tanah, mesin). Dengan memberikan akses terhadap permodalan dan pelatihan serta keuangan mikro dapat membantu meningkatkan kapasitas perempuan (Maholtra, 2002). Begitu juga dengan akses yang besar terhadap informasi akan membantu perempuan memperoleh
43
akses pada kekuasaan (Narayan, 2002:18). Untuk meningkatkan akses perlu melakukan penyadaran terhadap perempuan agar dapat mencari akar penyebab kesenjangan akses yang mereka alami. Menurut Winati (2002) akses dapat dilihat dari (1) sumberdaya yang diperoleh individu, (2) kegiatan yang dikerjakan individu dalam usaha memperoleh beragam sumber daya. Dalam hal ini metode alokasi waktu dapat dipakai untuk mengukur kegiatan tersebut, (3) siapa yang menikmati hasil kegiatan. c. Conscientisation / Menumbuhkan Kesadaran Kritis Perempuan Longwe mendefinisikan konsientasi sebagai kesadaran dalam memahami perbedaan peran berdasarkan pembagian seks dan gender. Pada level ini, pemberdayaan dituntut mampu menumbuhkan sikap kritis perempuan terhadap berbagai akar permasalahan yang menimpanya seperti diskriminasi, subordinasi, stereotipe sehingga menciptakan kesetaraan gender di segala aspek kehidupan. Dengan kesadaran kritis individu mampu melihat ke dalam diri serta menggunakan apa yang didengar, dilihat, dialami untuk memahami apa yang terjadi dilingkungannya. Kesadaran hendaknya dimulai dari individu, kelompok hingga komunitas (Freire, 2000). Kesadaran kritis dapat dicapai melalui proses dialog untuk mendefinisikan dan memecahkan permasalahan bersama (Freire 2000:81). d. Participation / Partisipasi Partisipasi diartikan sebagai keterlibatan dan keikutsertaan aktif dalam pengambilan keputusan,. Dalam konteks pemberdayaan, perempuan harus terlibat dalam penetapan kebutuhan, perumusan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Sejalan dengan pemikiran Longwe, Menurut Craig dan Mayo, partisipasi pada dasarnya merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan. Individu-individu harus terlibat dalam proses pemberdayaan sehingga mereka dapat 44
menumbuhkan rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru (Hikmat, 2001:3). McArdle (1989) bahkan menyatakan bahwa hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan (dalam hikmat, 2001:6). Partisipasi dapat dilihat dari peran serta perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga, komunitas, masyarakat, maupun negara. e. Control / Kontrol Pada level puncak pemberdayaan ini, perempuan perempuan harus memiliki kontrol setara dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan sehingga tidak ada lagi dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Pentingnya kontrol sebagai salah satu unsur analisis pemberdayaan perempuan adalah perempuan mempunyai kekuasaan untuk mengubah kondisi dan posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Konsep kontrol berhubungan dengan aspek kekuasaan seseorang untuk menentukan segala sesuatu yang menyangkut pelbagai kepentingan termasuk memperoleh beragam sumberdaya bagi dirinya (Winati, 2002). Konsep kontrol menurut Winati dapat dianalisis melalui bagaimana pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu untuk melakukan sesuatu baik dalam rumah tangga maupun masyarakat luas. Meskipun setiap level pemberdayaan tersusun secara hierarkis, namun sebenarnya setiap intervensi pemberdayaan tidak harus dimulai dari level kesejahteraan. Pada kenyataannya, Setiap intervensi tidak menunjukkan hasil sama pada setiap level. Intervensi tersebut dapat memiliki komponen yang sesuai dan memenuhi level tinggi namun tidak pada level yang lebih rendah (March,1999:94). Oleh karena itu, pemberdayaan bisa saja di mulai dari level akses, konsientasi, partisipasi untuk mencapai level puncak yaitu “kontrol”. Level pemberdayaan yang
45
hierarkis tersebut seringkali disalah pahami sebagai alur yang linier. Hal tersebut yang dikritik oleh March dkk (1999:100) sebagaimana berikut: “ Hierarchy of levels may make users think that empowerment is a linier process. Users may assume that in order to reach the level of “Control” an intervention will have had to meet all the previous four levels. As explained above, this is not the case. An Empowering intervention is likely to include resource considerations at the level of “ Control” but not at the levels of “welfare” and “Acces” (March dkk, 1999:100). Pemberdayaan perempuan kemungkinan besar akan lebih berhasil jika intervensi pemberdayaan fokus pada level tertinggi dari pada level yang lebih rendah. Jika intervensi pemberdayaan hanya berkonsentrasi pada level paling bawah, yakni kesejahteraan, dapat dikatakan pemberdayaan tidak akan berhasil. Partisipasi yang setara dalam proses pembuatan keputusan tentang sumberdaya lebih penting untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan dari pada akses yang setara pada sumber daya. Partisipasi dan akses adalah sama halnya dengan kontrol yang ekual. Longwe (March dkk, 1999:94) menyarankan bahwa hal yang penting untuk diukur bukan hanya intervensi pemberdayaan saja, melainkan juga tujuan dari intervensi tersebut apakah sudah mengakomodasi permasalahan perempuan (women`s issues) atau belum. Permasalahan perempuan mencakup kesetaran antara perempuan dan laki-laki dalam peran sosial atau ekonomi dan melibatkan seluruh level (kesejahteraan, akses, penyadaran, partisipasi dan kontrol). Suatu hal akan disebut sebagai women`s issues saat menyangkut relasi laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian, Longwe tidak menunjukkan secara spesifik apakah pemberdayaan harus menargetkan perempuan saja, laki-laki saja, atau gabungan laki-laki dan perempuan.
46
Dari berbagai penjelasan kerangka teoretik dan indikator pemberdayaan perempuan di atas, penelitian ini merumuskan beberapa kriteria penilaian untuk mengukur keberhasilan perempuan sebagai berikut: Tabel 1.5 Indikator Pemberdayaan Perempuan Menurut Level Analisis Longwe Level Pemberdayaan Kontrol ↑ ↑ ↑ ↑
Indikator Pemberdayaan - Kontrol dalam pengambilan keputusan di rumah tangga/ masyarakat (alokasi kebutuhan rumah tangga, KB, pendidikan anak) dan dalam program pemberdayaan (perumusan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi) - Kepemilikan dan kemampuan manajerial dalam usaha produktif - Kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat darinya (pinjaman, tabungan, pendapatan dan keuntungan)
Partisipasi ↑ ↑ ↑ ↑ ↑
- Partisipasi dalam kelompok komunitas, asosiasi atau jaringan sosial. - Keterlibatan dalam pengambilan keputusan di kelompok atau komunitas - Partisipasi dalam proses perumusan hingga evaluasi program pemberdayaan. Hal ini dapat dilihat dari : (1) berapa jumlah perempuan yang terlibat (2) bagaimana bentuk partisipasi perempuan (3) apa saja masalah selama perempuan berpartisipasi (4) berapa jumlah perempuan yang keluar dari program dan apa alasannya.
Konsientasi ↑ ↑ ↑ ↑ ↑
- Mampu membedakan peran berdasar seks dan gender - Mampu mengidentifikasi akar permasalahan kesenjangan gender - Timbul kepercayaan diri dan pengembangan potensi - Memahami hak dan perannya - Mampu menilai inklusi
Akses ↑ ↑ ↑ ↑ ↑ Kesejahteraan ↑ ↑ ↑
- Dapat mengakses sumber daya produktif (finansial, pelatihan, pendidikan, jaringan sosial dan tanah, mesin dsb). - Akses pada kegiatan publik dan program - Akses pada pelayanan publik
-
Peningkatan status ekonomi (pendapatan) Dimilikinya aset dari usaha produktif Meningkatnya kesehatan (nutrisi dan gisi) Terpenuhinya kebutuhan material pokok
47
Untuk lebih mudah mengukur apakah suatu intervensi pemberdayaan sudah memenuhi lima level analisis dan women`s issues dapat dicapai melalui tabel evaluasi berikut. Tabel 1.6 Desain Evaluasi Pemberdayaan Perempuan
Level pemberdayaan program
Level women`s issues
Sektor Kesejahteraan Akses Konsientasi Partisipasi Kontrol negatif / netral/ Positif Edukasi
PINTAR: Parenting Keagamaan kesehatan
Ekonomi PRIMA Permodalan Pelatihan kewirausaha an Karitatif PROSIBU Pembagian sembako Beasiswa bagi anak keluarga miskin
Sumber: diadopsi dari March, Smyth, Mukhopadhyay. 1999. A Guide to GenderAnalysis Framework. Oxfam GB. Level negatif menunjukkan tujuan dari pemberdayaan tidak mencakup women`s issues. Sedangkan level netral mengindikasikan pemberdayaan memenuhi women`s issues namun upaya tersebut tidak berdampak baik pada perempuan. Level positif berarti bahwa pemberdayaan mampu memenuhi women`s issues dan memperbaiki posisi perempuan terhadap laki-laki.
48
Bagan 1.1 Alur Pemberdayaan Kondisi Dasar/baseline
Kontrol Partisipasi Kesadaran Kritis Akses Kesejahteraan
Input Program
Hasil Program
Program Pemberdayaan
Kontrol Partisipasi Kesadaran Kritis Akses Kesejahteraan
Hasil
Kondisi Awal
49
Bagan 1.2 Kerangka Berpikir YSI:LSM Perempuan Hambatan Eksternal: minim akses pada sumberdaya produktif dan jaringan sosial, kurangnya sensitifitas gender di masyarakat.
Hambatan internal: rendahnya SDM , kesadaran dan motivasi
Pemberdayaan perempuan
Strategi Pemberdayaan ? Mikro: individu, teknik pembinaan dan konseling, Mezzo: kelompok, teknik pendidikan dan pelatihan. Makro: Sasaran Masyarakat/ Komunitas, teknik lobbying ,aksi sosial, kebijakan.
Program Pemberdayaan YSI: PROSIBU (Karitatif), PINTAR (Edukatif) PRIMA (Produktif)
Level Analisis Pemberdayaan Perempuan Longwe Kontrol: Kuasa dalam menentukan pilihan, keputusan dan atas sumberdaya produktif
Partisipasi: Peran serta dalam pengambilan keputusan, penetapan kebutuhan, perumusan, implementasi, monitoring dan evaluasi Kesadaran:Tumbuhnya sikap kritis dan kemampuan memecahkan masalah bersama Akses: Peluang pada sumberdaya produktif (tanah,kredit, pelatihan, fasilitas pemasaran, lapangan kerja dan pelayanan publik) Kesejahteraan:Terpenuhinya Kebutuhan pokok seperti: makanan, penghasilan, perumahan dan kesehatan)
50
G. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang secara intensif memahami realitas sosial, peristiwa, peran, kelompok dan interaksi. Metode ini seringkali digunakan untuk mendalami realitas sosial yang kompleks. Alasan pemilihan metode penelitian ini adalah untuk mendalami suatu proses sosial perlu pemahaman secara intensif dengan cara meninjau dan terlibat langsung dengan subyek penelitian untuk mendapatkan data yang komprehensif dan holistik. Dengan metode penelitian kualitatif, peneliti dapat memahami realitas sosial beserta unsur-unsur dan faktor yang melingkupinya. Peneliti dalam hal ini akan menekuni bagaimana strategi pemberdayaan perempuan oleh Yayasan Sahabat Ibu serta sejauh mana hasil yang dirasakan kelompok sasaran. Pendekatan yang digunakan untuk mendalaminya adalah pendekatan intrepetif yaitu memahami dan menafsirkan sebuah realitas sosial. Pendekatan ini dinilai sangat relevan dalam penelitian ini karena memberikan penekanan pada pemaknaan terhadap realitas secara mendalam yang tidak cukup hanya dimengerti dalam bentuk taken for granted. Unit analisis data penelitian ini yang utama adalah kelompok partisipan. 1. Subyek, Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian
ini
dilakukan
pada
lima
kelompok
perempuan
sasaran
pemberdayaan YSI yang tersebar di dua wilayah yakni Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Kelompok sasaran tersebut berlokasi di Sintokan (Wukirsari, Cangkringan, Sleman), Rajek Lor dan Pundong I (Tirtoadi, Mlati, Sleman), Patukan (Ambarketawang, Gamping, Sleman) dan Cokrodiningratan (Jetis, Kota Yogyakarta). Perlu ditekankan bahwa unit analisis penelitian ini adalah kelompok, bukan daerahdaerah yang disebutkan. Melalui unit analisis kelompok, penelitian ini diharapkan dapat
memahami
bagaimana
permasalahan
perempuan,
bagaimana
strategi
pemberdayaan YSI yang diberikan padanya, dan bagaimana dinamikanya serta apakah 51
kelompok tersebut dapat menyelesaikan permasalahannya. Pemilihan kelompok sasaran didasarkan pada karakteristik dan dinamika masing-masing kelompok namun bukan bermaksud untuk membandingkan antar kelompok. Dasar pertimbangan tersebut untuk melihat apakah terdapat variasi strategi pada masing-masing kelompok terpilih. Berikut pertimbangan karakteristik dan dinamika kelompok terpilih: (a) Sintokan merupakan daerah binaan YSI yang pernah tertimpa bencana erupsi Gunung Merapi pada 2006. YSI mendampingi kelompok ini sejak setelah bencana sampai saat ini (2014) sehingga perlu melihat bagaimana peran YSI pada kelompok partisipan dan bagaimana dinamikanya. Desa Wukirsari sendiri memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di antara desa lainnya (Lampiran SK Bupati Sleman 2011) yaitu 4444 warga miskin. Oleh karena itu, penting menempatkannya sebagai subyek penelitian untuk melihat kontribusi YSI bagi perempuan di sana. (b) Tirtoadi adalah daerah kelompok sasaran yang terletak di wilayah di Kecamatan Mlati. Kelompok binaan di daerah ini terdapat dua kelompok yakni di Dusun Pundong I dan Rajek Lor. Meskipun dua kelompok ini terletak di satu desa yang sama, namun menurut Ibu Tias -sebagai fasilitatornya-
keduanya memiliki
dinamika yang berbeda. Kelompok binaan di Pundong lebih responsif dan intensif mengikuti program pemberdayaan YSI sehingga anggotanya berkembang pesat. Sedangkan kelompok partisipan di Rajek Lor kurang begitu berkembang. Dua kecenderungan yang berbeda tersebut menarik peneliti untuk memilihnya sebagai subyek penelitian. (c) Patukan (Ambarketawang, Gamping, Sleman) adalah daerah kelompok sasaran yang merupakan pusat pemerintahan di wilayah kecamatan. Namun hasil studi 52
pendahuluan menemukan bahwa perempuan-perempuan produktif di Patukan memiliki akses yang rendah terhadap sumber daya produktif seperti keuangan dan informasi program pemerintah. Dekatnya jarak dengan pusat pemerintahan tidak menjamin arus informasi dan program-program dari pemerintah dapat terdistribusikan dengan baik pada perempuan di sana. Kondisi tersebut jadi pertimbangan pentingnya mengetahui proses dan hasil pemberdayaan YSI pada perempuan di daerah tersebut. (d) Jetis adalah daerah kelompok sasaran yang berada di wilayah kota Yogyakarta dan merupakan kelompok binaan yang relatif baru dibentuk, yakni awal tahun 2014. Setting sosial wilayah perkotaan dan lebih dekat dengan pusat pemerintahan tersebut menjadi latar penting menempatkannya sebagai subyek penelitian untuk mengetahui variasi hasil pemberdayaan antara kelompok perempuan di pedesaan dan perkotaan. Penelitian ini sebenarnya sudah lama dilakukan semenjak peneliti menempuh studi pendahuluan terhadap Yayasan Sahabat Ibu rentang akhir bulan Oktober 2013Mei 2014. Peneliti melakukan pendekatan dengan YSI dengan cara memanfaatkan relasi pertemanan. Peneliti berteman dengan seseorang yang mantan salah satu fasilitator YSI pada tahun 2006 saat terjadi erupsi Merapi. Dari pertemanan itu peneliti kemudian diperkenalkan dengan staf dan fasilitator lainnya yakni Ibu Lopinda (staf administrasi) dan Bu Iin (Staf divisi PRIMA). Peneliti terlebih dahulu melakukan pembacaan dokumentasi yang tersedia dalam literatur baik dalam bentuk on-line maupun draft. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik dari Yayasan tersebut berkaitan dengan program pemberdayaan perempuan yang dilakukannya.
53
Dari Studi pendahuluan tersebut, peneliti kemudian merumuskan fokus permasalahan dan subjek penelitian. 2. Kebutuhan dan Jenis Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data terkait dengan gambaran umum tentang lokasi, setting (termasuk dalam jenis data sekunder), subyek penelitian dan yang terkait dengan fokus kajian (jenis data sekunder). Data lokasi dan setting penelitian dapat berupa data letak geografis, luas wilayah, demografis. Data yang berhubungan dengan subyek penelitian seperti; identitas pribadi, latar belakang sosial, pendidikan, ekonomi dan hal-hal yang terkait dengan penelitian. Sedangkan data primer yang dibutuhkan untuk fokus kajian dalam penelitian ini adalah proses pemberdayaan dan hasil yang dirasakan kelompok sasaran selama mengikuti kegiatan pemberdayaan Yayasan Sahabat Ibu seperti tingkat kesejahteraan, akses pada pada sumberdaya produktif dan ruang publik, kesadaran kritis, partisipasi dalam pemberdayaan dan kontrol perempuan terhadap keputusan, pendapatan dan alokasi sumberdaya produktif. 3. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah informan yang dipilih secara purposive dengan pertimbangan keterlibatannya dalam program pemberdayaan. Teknik pemilihan informan ditentukan berdasar pada partisipasi dan pengetahuannya tentang pemberdayaan. Kriteria informan terbagi menjadi dua, pertama, informan kunci yakni informan
yang mengetahui
dan
menjalani
program-program
pemberdayaan
perempuan dari YSI. Informan tersebut adalah staf, fasilitator Yayasan Sahabat Ibu dan kelompok sasaran yang diwakili oleh ketua, sekretaris dan anggota. Informan dari YSI berjumlah lima orang yang mewakili masing-masing struktur organisasi YSI. 54
Sedangkan informan dari kelompok sasaran berjumlah 15 orang perempuan yang mewakili kelompok terpilih. Informan kedua adalah tambahan yaitu pihak yang mengetahui program pemberdayaan seperti perangkat desa, ketua dukuh hingga ketua RT dan masyarakat sekitar yang tidak terlibat dalam kegiatan pemberdayaan. Sumber data berikutnya adalah dokumentasi baik berupa laporan, publikasi, maupun foto dan referensi atau literatur terkait. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, peneliti menempuh tiga metode pengumpulan data. Ketiga metode pengumpulan data tersebut adalah: a. Observasi Observasi adalah proses pengumpulan data dari “tangan pertama” (otentik) dengan cara mengamati masyarakat dan lingkungan tempat dilaksanakannya penelitian Creswell (2012: 213). Teknik ini sangat relevan digunakan dalam penelitian ini karena dengan cara ini peneliti dapat memahami proses pemberdayaan, dinamika kelompok dan hasil pemberdayaan yang dicapai. Pengamatan dapat dilakukan secara bebas dan terstruktur. Peneliti dalam hal ini memilih pengamatan secara terstruktur dengan mengacu pada catatan poin-poin yang dibutuhkan. Dengan cara seperti itu peneliti mampu mengeksplorasi perihal yang perlu diamati secara menyeluruh. Peneliti melibatkan diri dalam proses pemberdayaan dan mengamati bagaimana kegiatan tersebut berlangsung. Pelibatan langsung tersebut bertujuan untuk penggalian informasi terkait permasalahan penelitian. Langkah ini juga dimaksudkan untuk mengetahui implikasi program pemberdayaan terhadap perempuan. Peneliti mencatat poin-poin penting dari hasil pengamatan tersebut.
55
b. Wawancara Peneliti juga mengumpulkan data melalui teknik wawancara. Melalui wawancara peneliti
mengetahui
pandangan
informan
secara
mendalam
dalam
menginterprestasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi. Wawancara akan dilakukan pada staf, fasilitator dan partisipan Yayasan Sahabat Ibu. Peneliti juga mewanwancarai stake holder dan perangkat desa. Peneliti akan mengajukan beberapa pertanyaan seputar fokus kajian penelitian Seperti apa motivasi YSI memberdayakan perempuan, bagaimana proses dan bentuknya, bagaimana pandangan partisipan tentang program pemberdayaan, apa hasil yang dirasakan partisipan selama mengikuti program pemberdayaan, bagaimana tanggapan perangkat desa dan lain sebagainya. Dalam prosesnya, peneliti akan lebih banyak “diam” dan melakukan pencatatan terhadap pernyataan-pernyataan
yang
dianggap
penting.
Hasil
wawancara
akan
diklarifikasikan dengan hasil dari observasi di lapangan dan studi dokumentasi. c. Studi Dokumentasi Untuk mendapatkan data yang lengkap, peneliti juga melakukan studi dokumentasi. Dengan mempelajari dokumentasi peneliti merasa maka kredibilitas hasil penelitian kualitatif ini akan semakin tinggi. Peneliti mempelajari data yang didokumentasikan YSI dalam laporan, publikasi baik dalam bentuk naskah maupun file. YSI sendiri memiliki halaman website yang memudahkan peneliti mencari data yang dibutuhkan seperti agenda dan hasil kegiatan pemberdayaan, perkembangan kelompok binaan dan lain sebagainya.
56
5. Pengujian Validitas data Untuk tujuan mengetahui keabsahan hasil penelitian, peneliti perlu melakukan pengujian validitas data. Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik triangulasi, yakni Pengujian validitas data dengan mengecek data dari teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren (Creswell, 2011: 287). Triangulasi data sendiri ada tiga jenis yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik dan triangulasi waktu. Triangulasi sumber yakni pengujian validitas data dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Dalam hal ini peneliti menggunakan triangulasi teknik, yaitu menguji validitas data dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda Misalnya data diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi dan dokumentasi. Triangulasi teknik dalam penelitian ini sebagaimana berikut: Bagan 1.3 Triangulasi Teknik
Observasi Staf, fasilitator dan kelompok sasaran YSI
Wawancara
Studi dokumentasi
6. Teknik pengolahan dan Analisis Data Teknik pengolahan data dalam penelitian ini ditempuh dengan cara mengumpulkan semua data yang telah didapatkan untuk kemudian dipilah-pilah sesuai dengan konteksnya. Data tersebut lalu dikoreksi dan disunting untuk kepentingan analisis data. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam
57
penelitian ini menggunakan teknik analisis data interaktif model Miles and Huberman (1992:18) yaitu pengumpulan, reduksi, penyajian dan verifikasi data. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data memilah-memilahnya menjadi kesatuan yang dapat dikelola, mensintetiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa menjadi fokus lalu menyederhanakannya (reduksi). Data dan informasi yang berkaitan dipilah dan dipilih untuk disajikan dalam rangkaian data yang sistematis (display). Kemudian data diinterpretasikan dan disimpulkan menjadi sebuah data valid (verifikasi).
58