BAB 5 RINGKASAN
Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki beragam etnis atau suku bangsa tinggal di dalamnya. Salah satu etnis yang paling menonjol perannya dalam perkembangan di Jakarta, khususnya di bidang ekonomi dan industri, adalah etnis China atau yang biasa kita sebut sebagai keturunan Tionghoa. Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang Indonesia, berasal dari kata Cung Hwa dari Tiongkok. Istilah Tionghoa dari Tiongkok lahir dari lafal Melayu (Indonesia) dan Hokkian. Jadi secara linguistik, Tionghoa dan Tiongkok memang tidak dikenal (diucapkan dan terdengar) diluar masyarakat Indonesia. Tionghoa adalah khas Indonesia, oleh sebab itu di Malaysia, Singapur, dan Thailand tidak dikenal istilah ini. Sejarah keberadaan warga keturunan Tionghoa di Indonesia menurut catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-Kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan Dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari tiongkok ke Nusantara atau sebaliknya. Maka hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat sukubangsa setempat dengan orang Tionghoa. Dengan berjalannya waktu sejak zaman Belanda terjadilah pecah-belah antara etnis Tionghoa dan Pribumi, hal ini disebabkan warga Tionghoa selalu dijadikan "target operasi" konflik politik dan selalu dijadikan kambing hitam. Minoritas Tionghoa dicap eksklusif, tidak mau berbaur, tahunya hanya berdagang, tidak punya nasionalisme, tidak peduli nasib bangsa, dan seterusnya. Labelisasi itu tentu tidak sepenuhnya tepat.
61
62 Ketika Indonesia sudah memasuki kemerdekaan, orde lama dan orde baru sikap prasangka yang mengecap negatif warga Tionghoa masih ada. Namun setelah memasuki zaman reformasi disaat kebijakan penguasa mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 pada tahun 2000 dan penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur almanak Indonesia. Apakah sikap prasangka tersebut masih ada? Sikap-sikap manusia tidak dibawa sejak ia dilahirkan, tetapi bermacam-macam sikap itu dipelajari dan dibentuk pada manusia selama perkembangannya. Demikian pula halnya dengan prasangka sosial yang tidak dibawa sejak lahirkan tetapi terbentuk selama perkembangannya, baik melalui didikan maupun dengan orang-orang lain yang sudah berprasangka. Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka itu datang bisa dikarnakan adanya pengaruh-pengaruh sejarah, dari lingkungan, dan bisa juga dari pengalaman yang mereka alami, yang menjadikan prasangka itu ada dan ditujukan kepada golongan yang sama, dan sebenarnya mereka belum tentu mempunyai sifat yang sama. Sikap-sikap prasangka yang sudah dijelaskan di atas memiliki 3 komponen skala sikap yaitu: komponen kognitif (pikiran) yang menyangkut cara individu mempersepsikan suatu obyek melalui pikiran (thoughts), gagasan (ideas), dan keyakinan (belief), komponen afektif (perasaan) yang terdiri dari emosi-emosi yang berhubungan dengan obyek, berkaitan dengan perasaan like-dislike atau favorable-unfavorable terhadap obyek, dan komponen konatif (perilaku) yang berupa kecenderung menerima atau menolak obyek dan bertingkah laku tertentu sehubungan dengan obyek. Terjadinya prasangka sosial semacam ini dapat juga disebut pertumbuhan prasangka sosial dengan tidak sadar dan yang berdasarkan kekurangan pengetahuan dan
63 pengertian akan fakta-fakta kehidupan yang sebenarnya dari golongan-golongan orang yang dikenai stereotip-stereotip itu. Dan sebagian besar orang-orang yang berprsangka sosial memiliki ciri yaitu tidak toleransi, kurang mengenal akan dirinya sendiri, kurang berdaya cipta, tidak merasa aman, memupuk khayalan-khayalan yang agresif dan lainlain. Prasangka bisa terjadi kepada siapapun, termasuk para mahasiswa dengan latar belakang pendidikan yang sudah cukup tinggi dan satu ciri yang melekat pada mahasiwa adalah intelektual, yaitu berpikir logis, mempunyai pemikiran yang sangat luas, dan mereka juga sudah bisa memilih mana yang baik dan buruk. Maka penulis memilih mahasiswa menjadi objek penelitian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis pada zaman reformasi ini dengan mahasiswa yang memiliki intelektual yang tinggi masih ditemukan sebagian besar dari mereka masih adanya sikap prasangka terhada warga Tionghoa. Masih adanya sikap prasangka terhadap warga Tionghoa. Ini dipengaruhi oleh berbagai factor antara lain:
Kurangnya keterbukaan satu sama lain, antara responden dan warga Tionghoa, menyebapkan munculnya sikap prasangka. Tertutupnya warga Tionghoa dalam bersosialisasi dengan warga pribumi, membuat warga pribumi berasumsi bahwa warga Tionghoa esklusif dan berkelompok, tidak memperdulikan sekeliling, dan tidak nasionalis.
Kurangnya pengetahuan dan pengertian responden terhadap kehidupan warga Tionghoa, membuat responden berpandangan yang sangat sempi. Sesungguhnya apa yang dinilai negatif oleh responden terhadap warga Tionghoa, belum tentu benar. Hal tersebut dipengaruhi factor-faktor lain, misalnya sejarah, lingkungan sosial dan ekonomi, juga pengalaman negatif yang mereka alami dalam
64 berinteraksi dengan warga Tionghoa menjadikan prasangka itu ada dan digeneralisasikan begitu saja terhadap warga Tionghoa lainnya, padahal satu atau dua pengalaman pribadi tidak mewakili seluruh populasi warga Tionghoa.
intelektualitas yang dimiliki mahasiswa
tidak mempengaruhi muncul atau
tidaknya suatu sikap prasangka terhadap warga Tionghoa. Karena seperti yang dikatakan dalam teori prasangka sosial Gerungan (2004) bahwa prasangka sosial merupakan sikap yang tidak dibawa sejak lahirkan tetapi terbentuk selama perkembangannya, baik melalui didikan maupun dengan orang-orang lain yang sudah berprasangka. Prasangka itu datang bisa juga dikarnakan adanya pengaruh-pengaruh sejarah, dari lingkungan, dan bisa juga dari pengalaman yang mereka alami, yang menjadikan prasangka itu ada dan ditujukan kepada golongan yang sama, dan sebenarnya mereka belum tentu mempunyai sifat yang sama. Hal ini memang sangat disayangkan, karena seharusnya keragaman suku bangsa, ras, budaya, agama, dan bahasa tidak dijadikan perbedaan, yang memecah-belahkan kehidupan sosial dan menimbulkan konflik-konlik yang disebabkan adanya prasangka. Sikap prasangka yang terjadi bisa dihindari dengan adanya keterbukaan satu sama lain, dari pihak warga pribumi dan warga Tionghoa itu sendiri, agar tidak ada kesalah pahaman antara kedua pihak, masing-masing pihak harus dapat menerima keragaman budaya, ras dan etnis sebagai kekayaan suatu bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Justru dengan kesatuan dalam keragaman ini kita akan menjadi suatu bangsa kuat di mata dunia, dan masing-masing pihak, hendaknya juga tidak mengeneralisasi sikap negatif satu atau dua orang sebagai prasangka yang menghakimi suatu kelompok atau etnis.
65 Bagi generasi yang akan datang, diupayakan memerangi prasangka antara golongan. Jelasnya pelajaran budi pekerti luhur harus kembali diajarkan kepada anak-anak sejak dini, baik dirumah maupun di sekolah. Sementara itu, sebaiknya dihindari pengajaranpengajaran yang dapat menimbulkan prasangka-prasangka sosial tersebut dan ajaranajaran yang sudah berprasangka sosial. Apa bila upaya memerangi prasangka tidak dijalankan, maka akan sikap prasangka diantara kedua pihak akan semakin melebar dan akan terus berkembang, sehingga potensi konflik sosial sangat mungkin terjadi dan berdampak buruk terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.
BIBLIOGRAFI Anselm Strauss & Juliet Corbin. 2003; Dasar-dasar penelitian kualitatif (tata langkah dan teknik-teknik teoritisasi data) Yogyakarta; Pustaka Pelajar.