BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Validasi Program Perhitungan validasi program bertujuan untuk meninjau layak atau tidaknya suatu program untuk digunakan. Peninjauan validasi program dilakukan dengan cara membandingkan hasil perhitungan manual dengan hasil perhitungan menggunakan program. Tinjauan validasi program ConPave dilakukan untuk masing-masing jenis perkerasan kaku, yaitu: a. Perkerasan Beton Bersambung Tanpa Tulangan (BBTT) b. Perkerasan Beton Bersambung Dengan Tulangan (BBDT) c. Perkerasan Beton Menerus Dengan Tulangan (BMDT)
4.1.1
Perkerasan Beton Bersambung Tanpa Tulangan (BBTT) Perhitungan perkerasan Beton Bersambung Tanpa Tulangan (BBTT) dilakukan dengan data sebagai berikut: Peranan jalan
: Tol
Tipe jalan
: 2 lajur 2 arah
Kuat tekan beton (f'c) : 35 MPa Jenis agregat
: Agregat pecah
Bahu jalan
: Tidak
Ruji (dowel)
: Ya
Umur rencana
: 20 tahun
CBR tanah dasar
:6%
58 Data lalu lintas
:
Tabel 4.1 Data Lalu Lintas untuk Kasus BBTT Volume Kendaraan
Pertumbuhan Lalu Lintas
(kendaraan/hari)
(% / tahun)
10598
10,63
Bus
273
5,8
Truk 2 as Kecil
3766
5,8
Truk 2 as Besar
3445
6,91
Truk 3 as
1482
6,56
Truk Gandeng
410
6,56
Semi Trailer
731
6,56
Jenis Kendaraan Mobil Penumpang
4.1.1.1
Perhitungan Manual Perkerasan Beton Bersambung Tanpa Tulangan (BBTT) Langkah-langkah perhitungan perkerasan Beton Bersambung Tanpa Tulangan (BBTT) adalah sebagai berikut: a. Analisa Lalu Lintas Kendaraan Berdasarkan volume lalu lintas kendaraan, dapat diketahui jumlah sumbu dan beban sumbu tiap jenis kendaraan niaga. Adapun perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Jumlah Sumbu Berdasarkan Jenis dan Beban Sumbu Kendaraan Niaga untuk Kasus BBTT Konfigurasi BS (ton)
Jenis Kendaraan
JSKN'
RB
Mobil Penumpang
1
1
10598
Bus
3
5
273
2
546
Truk 2 as Kecil
2
4
3766
2
7532
Truk 2 as Besar
5
8
3445
2
Truk 3 as
6
14
1482
2
Semi Trailer
6
6
14
14
5
RGB
5
14
410
4
731
3
Total
STRT
JSKNH
RD
Truk Gandeng
RGD
Jumlah Kendaraan
STRG
BS
JS
BS
JS
3
273
5
273
2
3766
4
3766
6890
5
3445
8
3445
2964
6
1640
2193
STdRG BS
JS
1482
14
1482
6
410
14
410
5
410
5
410
6
731
21765
14
731
14
731
14693
5180
1892
Keterangan: RD
= Roda Depan
STRT
= Sumbu Tunggal Roda Tunggal
RB
= Roda Belakang
STRG
= Sumbu Tunggal Roda Ganda
RGD
= Roda Gandeng Depan
STdRG
= Sumbu Tandem Roda Ganda
RGB
= Roda Gandeng Belakang
BS
= Beban Sumbu
JSKN'
= Jumlah sumbu setiap kendaraan niaga
JS
= Jumlah Sumbu
JSKNH
= Jumlah sumbu kendaraan niaga harian
59
60 b. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (R) Faktor pertumbuhan lalu lintas kendaraan dapat dihitung dengan persamaan 2.13. Adapun perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas untuk Kasus BBTT Jenis Kendaraan
Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (%)
Mobil Penumpang
61,5382
Bus
36,0044
Truk 2 as Kecil
36,0044
Truk 2 as Besar
40,5949
Truk 3 as
39,0787
Truk Gandeng
39,0787
Semi Trailer
39,0787
c. Koefisien Distribusi (C) Berdasarkan Tabel 2.4, dengan tipe jalan yang ditinjau terdiri dari 2 lajur dan 2 arah, maka koefisien distribusi (C) kendaraan niaga sebesar 0,50. d. Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga (JSKN) Jumlah sumbu kendaraan niaga dapat dihitung dengan persamaan 2.14. Adapun perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga untuk Kasus BBTT Jenis Kendaraan
JSKNH
JSKN
-
-
Bus
546
3.587.660,55
Truk 2 as Kecil
7532
49.491.317,29
Truk 2 as Besar
6890
51.044.986,31
Truk 3 as
2964
21.138.829,66
Truk Gandeng
1640
11.696.248,53
Semi Trailer
2193
15.640.166,48
Mobil Penumpang
Total
152.599.208,82
61 e. Repetisi Sumbu yang Terjadi Perhitungan repetisi sumbu yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Repetisi Sumbu yang Terjadi untuk Kasus BBTT Jenis
BS
JS
Proporsi
Proporsi
Sumbu
(ton)
(bh)
Beban
Sumbu
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)=(d)×(e)×(f)
STRT
3
273
0,02
0,68
152.599.208,82
1.914.063,13
2
3766
0,26
0,68
152.599.208,82
26.404.255,48
4
3766
0,26
0,68
152.599.208,82
26.404.255,48
5
4265
0,29
0,68
152.599.208,82
29.902.854,38
6
2623
0,18
0,68
152.599.208,82
18.390.430,73
14693
1
5
273
0,05
0,24
152.599.208,82
1.914.063,13
8
3445
0,67
0,24
152.599.208,82
24.153.653,77
14
1462
0,28
0,24
152.599.208,82
10.250.404,01
5180
1
1892
1
0,09
152.599.208,82
13.265.228,72
1892
1
Jumlah STRG
Jumlah STdRG
14
Jumlah
Total
JSKN
Repetisi yang Terjadi
152.599.208,82
f. Jenis dan Tebal Lapis Pondasi Bawah Untuk menentukan jenis dan tebal pondasi bawah, digunakan Gambar 2.13. Dengan CBR tanah dasar 6 % dan jumlah repetisi yang terjadi 152.599.208,82, maka:
Gambar 4.1 Jenis dan Tebal Pondasi untuk Kasus BBTT
62 Didapatkan jenis pondasi bawah berupa bahan pengikat dengan tebal 144 mm. g. CBR Efektif Dengan menggunakan Gambar 2.14 dapat ditentukan CBR efektif.
Gambar 4.2 CBR Efektif untuk Kasus BBTT Diperoleh CBR efektif sebesar 38,33 %. h. Faktor Keamanan Beban (FKB) Berdasarkan Tabel 2.5, dengan peranan jalan sebagai jalan tol, maka faktor keamanan beban sebesar 1,2. i. Kuat Tarik Lentur Beton (fcf) Dengan jenis agregat berupa agregat pecah dan kuat tekan beton 35 MPa, maka kuat tarik lentur beton (fcf) adalah: f cf = K f c′ = 0,75 35 = 4,44 MPa
63 j. Analisa Fatik dan Erosi Analisa fatik dan erosi digunakan untuk menentukan tebal pelat beton optimum. Persen kerusakan dari analisa fatik dan erosi harus lebih kecil dari 100 %. Analisa fatik dan erosi menggunakan Tabel 2.6 sampai 2.8, dan Gambar 2.15 sampai 2.17. Perhitungan analisa fatik dan erosi dapat dilihat pada Tabel 4.6. Asumsi tebal pelat beton = 300 mm.
64
Gambar 4.3 Analisa Fatik dan Repetisi Beban Ijin Berdasarkan Rasio Tegangan Tanpa Bahu Beton untuk Kasus BBTT
65
Gambar 4.4 Analisa Erosi dan Repetisi Beban Ijin Berdasarkan Faktor Erosi Tanpa Bahu Beton untuk Kasus BBTT
Tabel 4.6 Analisa Fatik dan Erosi untuk Kasus BBTT Analisa Fatik
Analisa Erosi
Jenis
BS
Beban Rencana per
Repetisi yang
Faktor Tegangan
Sumbu
(kN)
Roda (kN)
Terjadi
dan Erosi
Repetisi Ijin
Persen Rusak
Repetisi Ijin
Persen Rusak
(a)
(b)
(c)=(b)×FKB/jml roda
(d)
(e)
(f)
(g)=(d) ×100/(f)
(h)
(i)=(d) ×100/(h)
STRT
30
18
1.914.063,13
TE = 0,5056
TT
0
TT
0
20
12
26.404.255,48
FE = 1,6678
TT
0
TT
0
40
24
26.404.255,48
FRT = 0,114
TT
0
TT
0
50
30
29.902.854,38
TT
0
TT
0
60
36
18.390.430,73
TT
0
TT
0
50
15
1.914.063,13
TE = 0,8511
TT
0
TT
0
80
24
24.253.653,77
FE = 2,2756
TT
0
TT
0
140
42
10.250.404,01
FRT = 0,192
TT
0
10.588.235,29
96,81
TT
0
TT
0
STRG
TE = 0,7589 STdRG
140
21
13.265.228,72
FE = 2,4256 FRT = 0,171
Total
0
96,81
Keterangan: TE
= Tegangan Ekivalen
FE
= Faktor Erosi
FRT
= Faktor Rasio Tegangan
66
67 Berdasarkan Tabel 4.6, diperoleh tebal pelat beton yang digunakan adalah 300 mm.
300 mm
144 mm
Gambar 4.5 Lapisan Perkerasan untuk Kasus BBTT 5m
Gambar 4.6 Tampak Atas untuk Kasus BBTT
4.1.1.2
Perhitungan Program ConPave untuk Perkerasan Beton Bersambung Tanpa Tulangan (BBTT) Langkah-langkah perhitungan Program ConPave yaitu sebagai berikut: a. Start Program
Gambar 4.7 Start Program untuk Kasus BBTT
68 b. Pilih jenis perkerasan yang akan dihitung
Gambar 4.8 Pilih Perkerasan BBTT c. Input Data Proyek
Gambar 4.9 Input Data Proyek untuk Kasus BBTT
69 d. Input Data
Gambar 4.10 Input Data untuk Kasus BBTT e. Analisa Lalu Lintas
Gambar 4.11 Hasil Analisa Lalu Lintas untuk Kasus BBTT Dari hasil perhitungan program, didapatkan JSKN sebesar 152.599.208,82.
70 f. Repetisi yang Terjadi
Gambar 4.12 Hasil Repetisi Sumbu Rencana untuk Kasus BBTT g. Analisa Fatik dan Erosi
Gambar 4.13 Hasil Analisa Fatik dan Erosi untuk Kasus BBTT Dari hasil perhitungan program, didapatkan jenis pondasi bawah yang digunakan berupa bahan pengikat setebal 145 mm, dengan CBR efektif 38,80%. Tebal pelat beton yang digunakan yaitu 300 mm, dengan persen rusak fatik sebesar 0% dan persen rusak erosi sebesar 97,01%.
71 h. Nomogram Fatik dan Erosi
Gambar 4.14 Nomogram Fatik dan Erosi untuk Kasus BBTT i. Hasil Akhir
Gambar 4.15 Hasil Akhir Program untuk Kasus BBTT
72 4.1.2
Perkerasan Beton Bersambung Dengan Tulangan (BBDT) Perhitungan perkerasan Beton Bersambung Dengan Tulangan (BBDT) dilakukan dengan data sebagai berikut: Peranan jalan
: Arteri
Tipe jalan
: 2 lajur 1 arah
Kuat tarik lentur beton (fcf)
: 4 MPa
Jenis agregat
: Agregat pecah
Bahu jalan
: Ya
Ruji (dowel)
: Ya
Umur rencana
: 25 tahun
CBR tanah dasar
:3%
Tegangan leleh baja
: 2400 kg/cm2
Jenis lapis pemecah ikatan antara pondasi bawah dan pelat beton digunakan laburan parafin tipis. Data lalu lintas
:
Tabel 4.7 Data Lalu Lintas untuk Kasus BBDT Volume Kendaraan
Pertumbuhan Lalu Lintas
(kendaraan/hari)
(% / tahun)
10036
7,7
Bus
273
5,8
Truk 2 as Kecil
2934
2,88
Truk 2 as Besar
3445
6,91
Truk 3 as
3077
6,56
Truk Gandeng
324
6,56
Jenis Kendaraan Mobil Penumpang
73 4.1.2.1
Perhitungan Manual Perkerasan Beton Bersambung Dengan Tulangan (BBDT) Langkah-langkah perhitungan perkerasan Beton Bersambung Dengan Tulangan (BBDT) adalah sebagai berikut: a. Analisa Lalu Lintas Kendaraan Berdasarkan volume lalu lintas kendaraan, dapat diketahui jumlah sumbu dan beban sumbu tiap jenis kendaraan niaga. Adapun perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Jumlah Sumbu Berdasarkan Jenis dan Beban Sumbu Kendaraan Niaga untuk Kasus BBDT Konfigurasi BS (ton)
Jenis Kendaraan
JSKN'
RB
Mobil Penumpang
1
1
10036
Bus
3
5
273
2
546
Truk 2 as Kecil
2
4
2934
2
5868
Truk 2 as Besar
5
8
3445
2
Truk 3 as
6
14
3077
2
6
14
5
RGB
5
324
4
Total
STRT
JSKNH
RD
Truk Gandeng
RGD
Jumlah Kendaraan
STRG
BS
JS
BS
JS
3
273
5
273
2
2934
4
2934
6890
5
3445
8
3445
6154
6
1296
STdRG BS
JS
3077
14
3077
6
324
14
324
5
324
5
324
20754
13635
3718
3401
Keterangan: RD
= Roda Depan
STRT
= Sumbu Tunggal Roda Tunggal
RB
= Roda Belakang
STRG
= Sumbu Tunggal Roda Ganda
RGD
= Roda Gandeng Depan
STdRG
= Sumbu Tandem Roda Ganda
RGB
= Roda Gandeng Belakang
BS
= Beban Sumbu
JSKN'
= Jumlah sumbu setiap kendaraan niaga
JS
= Jumlah Sumbu
JSKNH
= Jumlah sumbu kendaraan niaga harian
74
75 b. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (R) Faktor pertumbuhan lalu lintas kendaraan berdasarkan laju pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana, dihitung dengan persamaan 2.13. Adapun perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.9. Tabel 4.9 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas untuk Kasus BBDT Jenis Kendaraan
Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (%)
Mobil Penumpang
69,9793
Bus
53,3438
Truk 2 as Kecil
35,8902
Truk 2 as Besar
62,4378
Truk 3 as
59,3926
Truk Gandeng
59,3926
c. Koefisien Distribusi (C) Berdasarkan Tabel 2.4, dengan tipe jalan yang ditinjau terdiri dari 2 lajur dan 1 arah, maka koefisien distribusi (C) kendaraan niaga sebesar 0,70. d. Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga (JSKN) Jumlah sumbu kendaraan niaga dapat dihitung dengan persamaan 2.14. Adapun perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.10. Tabel 4.10 Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga untuk Kasus BBDT Jenis Kendaraan
JSKNH
JSKN
-
-
Bus
546
7.441.624,14
Truk 2 as Kecil
5868
53.809.314,98
Truk 2 as Besar
6890
109.915.113,44
Truk 3 as
6154
93.385.824,17
Truk Gandeng
1296
19.666.562,91
Mobil Penumpang
Total
284.218.439,63
76 e. Repetisi Sumbu yang Terjadi Perhitungan repetisi sumbu yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 4.11. Tabel 4.11 Repetisi Sumbu yang Terjadi untuk Kasus BBDT Jenis
BS
JS
Proporsi
Proporsi
Sumbu
(ton)
(bh)
Beban
Sumbu
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)=(d)×(e)×(f)
STRT
3
273
0,02
0,66
284.218.439,63
3.738.635,16
2
2934
0,22
0,66
284.218.439,63
40.180.056,95
4
2934
0,22
0,66
284.218.439,63
40.180.056,95
5
4093
0,30
0,66
284.218.439,63
56.052.138,07
6
3401
0,25
0,66
284.218.439,63
46.575.451,15
13635
1
5
273
0,07
0,18
284.218.439,63
3.738.635,16
8
3445
0,93
0,18
284.218.439,63
47.178.015,06
3718
1
3401
1
0,16
284.218.439,63
46.575.451,15
3401
1
Jumlah STRG
Jumlah STdRG
14
Jumlah
Total
JSKN
Repetisi yang Terjadi
284.218.439,63
f. Jenis dan Tebal Lapis Pondasi Bawah Untuk menentukan jenis dan tebal pondasi bawah, digunakan Gambar 2.13. Dengan CBR tanah dasar 3 % dan jumlah repetisi yang terjadi 284.218.439,63, maka:
Gambar 4.16 Jenis dan Tebal Pondasi untuk Kasus BBDT
77 Didapatkan jenis pondasi bawah berupa campuran beton kurus dengan tebal 135 mm. g. CBR Efektif Dengan menggunakan Gambar 2.14 dapat ditentukan CBR efektif.
Gambar 4.17 CBR Efektif untuk Kasus BBDT Diperoleh CBR efektif sebesar 35 %. h. Faktor Keamanan Beban (FKB) Berdasarkan Tabel 2.5, dengan peranan jalan sebagai jalan arteri, maka faktor keamanan beban sebesar 1,1. i. Analisa Fatik dan Erosi Analisa fatik dan erosi digunakan untuk menentukan tebal pelat beton optimum. Persen kerusakan dari analisa fatik dan erosi harus lebih kecil dari 100 %. Analisa fatik dan erosi menggunakan Tabel 2.6 sampai 2.8, dan Gambar 2.15 sampai 2.17. Perhitungan analisa fatik dan erosi dapat dilihat pada Tabel 4.12. Asumsi tebal pelat beton = 171 mm.
78
Gambar 4.18 Analisa Fatik dan Repetisi Beban Ijin Berdasarkan Rasio Tegangan Dengan Bahu Beton untuk Kasus BBDT
79
Gambar 4.19 Analisa Erosi dan Repetisi Beban Ijin Berdasarkan Faktor Erosi Dengan Bahu Beton untuk Kasus BBDT
Tabel 4.12 Analisa Fatik dan Erosi untuk Kasus BBDT Analisa Fatik
Analisa Erosi
Jenis
BS
Beban Rencana per
Repetisi yang
Faktor Tegangan
Sumbu
(kN)
Roda (kN)
Terjadi
dan Erosi
Repetisi Ijin
Persen Rusak
Repetisi Ijin
Persen Rusak
(a)
(b)
(c)=(b)×FKB/jml roda
(d)
(e)
(f)
(g)=(d)×100/(f)
(h)
(i)=(d)×100/(h)
STRT
30
16,5
3.738.635,16
TE = 1,043
TT
0
TT
0
20
11
40.180.056,95 FE = 1,933
TT
0
TT
0
40
22
40.180.056,95 FRT = 0,261
TT
0
TT
0
50
27,5
56.052.138,07
TT
0
TT
0
60
33
46.575.451,15
TT
0
TT
0
50
13,75
3.738.635,16
TT
0
TT
0
80
22
47.178.015,06
TT
0
57.142.857,14
82,56
TT
0
TT
0
STRG
TE = 1,539 FE = 2,523 FRT = 0,385 TE = 1,29
STdRG
140
19,25
46.575.451,15 FE = 2,504 FRT = 0,323
Total
0
82,56
Keterangan: TE
= Tegangan Ekivalen
FE
= Faktor Erosi
FRT
= Faktor Rasio Tegangan
80
81 Berdasarkan Tabel 4.12, diperoleh tebal pelat beton yang digunakan adalah 171 mm. j. Perhitungan Tulangan Memanjang Luas penampang tulangan yang dibutuhkan, dihitung dengan menggunakan persamaan 2.26. Perhitungan tulangan yaitu sebagai berikut:
As =
µ ⋅ L ⋅ M ⋅ g ⋅ h 1,5 × 15 × 2400 × 9,81× 0,171 = = 314,53 mm 2 2 ⋅ fs 2 × (0,6 × 240)
Syarat As minimum = 0,1% × 171 × 1000 = 171 mm2 (As > As min) Digunakan tulangan diameter 12 mm (As = 113,1 mm2). Jumlah tulangan =
314,53 = 2,78 ≈ 3 buah 113,1
Jarak tulangan memanjang =
1000 = 333,33 mm = 33,33 cm 3
k. Perhitungan Tulangan Melintang Luas penampang tulangan yang dibutuhkan, dihitung dengan menggunakan persamaan 2.26. Perhitungan tulangan yaitu sebagai berikut: As =
µ ⋅ L ⋅ M ⋅ g ⋅ h 1,5 × 3,5 × 2400 × 9,81× 0,171 = = 73,39 mm 2 2 ⋅ fs 2 × (0,6 × 240)
Syarat As minimum = 0,1% × 171 × 1000 = 171 mm2 (As < As min) Digunakan tulangan diameter 12 mm (As = 113,1 mm2). Jumlah tulangan =
171 = 1,51 ≈ 2 buah 113,1
Jarak tulangan melintang =
1000 = 500 mm = 50 cm 2
82
171 mm
135 mm
Gambar 4.20 Lapisan Perkerasan untuk Kasus BBDT 15 m
Gambar 4.21 Tampak Atas untuk Kasus BBDT
4.1.2.2
Perhitungan Program ConPave untuk Perkerasan Beton Bersambung Dengan Tulangan (BBDT) Langkah-langkah perhitungan Program ConPave yaitu sebagai berikut: a. Start Program
Gambar 4.22 Start Program untuk Kasus BBDT
83 b. Pilih jenis perkerasan yang akan dihitung
Gambar 4.23 Pilih Perkerasan BBDT c. Input Data Proyek
Gambar 4.24 Input Data Proyek untuk Kasus BBDT
84 d. Input Data
Gambar 4.25 Input Data untuk Kasus BBDT e. Analisa Lalu Lintas
Gambar 4.26 Hasil Analisa Lalu Lintas untuk Kasus BBDT Dari hasil perhitungan program, didapatkan JSKN sebesar 284.218.439,63.
85 f. Repetisi yang Terjadi
Gambar 4.27 Hasil Repetisi Sumbu Rencana untuk Kasus BBDT g. Analisa Fatik dan Erosi
Gambar 4.28 Hasil Analisa Fatik dan Erosi untuk Kasus BBDT Dari hasil perhitungan program, didapatkan jenis pondasi bawah yang digunakan berupa campuran beton kurus setebal 135 mm, dengan CBR efektif 34,6%. Tebal pelat beton yang digunakan yaitu 171 mm, dengan persen rusak fatik sebesar 0% dan persen rusak erosi sebesar 80,69%.
86 h. Nomogram Fatik dan Erosi
Gambar 4.29 Nomogram Fatik dan Erosi untuk Kasus BBDT i. Hasil Akhir
Gambar 4.30 Hasil Akhir Program untuk Kasus BBDT
87 4.1.3
Perkerasan Beton Menerus Dengan Tulangan (BMDT) Perhitungan perkerasan Beton Menerus Dengan Tulangan (BMDT) dilakukan dengan data sebagai berikut: Peranan jalan
: Tol
Tipe jalan
: 2 lajur 2 arah
Kuat tekan beton (f'c) : 30 MPa Jenis agregat
: Agregat pecah
Bahu jalan
: Tidak
Ruji (dowel)
: Ya
Umur rencana
: 20 tahun
CBR tanah dasar
:3%
Tegangan leleh baja : 3900 kg/cm2 Koefisien gesek antara pelat beton dengan pondasi bawah : 1,3 Data lalu lintas
:
Tabel 4.13 Data Lalu Lintas untuk Kasus BMDT Volume Kendaraan
Pertumbuhan Lalu Lintas
(kendaraan/hari)
(% / tahun)
Mobil Penumpang
9306
6,7
Bus
213
13,4
Truk 2 as Kecil
2929
13,38
Truk 2 as Besar
3060
6,11
Truk 3 as
1171
12,48
Truk Gandeng
324
12,48
Semi Trailer
578
12,48
Jenis Kendaraan
88 4.1.3.1
Perhitungan Manual Perkerasan Beton Menerus Dengan Tulangan (BMDT) Langkah-langkah perhitungan perkerasan Beton Menerus Dengan Tulangan (BMDT) adalah sebagai berikut: a. Analisa Lalu Lintas Kendaraan Berdasarkan volume lalu lintas kendaraan, dapat diketahui jumlah sumbu dan beban sumbu tiap jenis kendaraan niaga. Adapun perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.14.
Tabel 4.14 Jumlah Sumbu Berdasarkan Jenis dan Beban Sumbu Kendaraan Niaga untuk Kasus BMDT Konfigurasi BS (ton)
Jenis Kendaraan
JSKN’
RB
Mobil Penumpang
1
1
9306
Bus
3
5
213
2
426
Truk 2 as Kecil
2
4
2929
2
5858
Truk 2 as Besar
5
8
3060
2
Truk 3 as
6
14
1171
2
Semi Trailer
6
6
14
14
5
RGB
5
14
324
4
578
3
Total
STRT
JSKNH
RD
Truk Gandeng
RGD
Jumlah Kendaraan
STRG
BS
JS
BS
JS
3
213
5
213
2
2929
4
2929
6120
5
3060
8
3060
2342
6
1296
1734
STdRG BS
JS
1171
14
1171
6
324
14
324
5
324
5
324
6
578
17776
14
578
14
578
11852
4429
1495
Keterangan: RD
= Roda Depan
STRT
= Sumbu Tunggal Roda Tunggal
RB
= Roda Belakang
STRG
= Sumbu Tunggal Roda Ganda
RGD
= Roda Gandeng Depan
STdRG
= Sumbu Tandem Roda Ganda
RGB
= Roda Gandeng Belakang
BS
= Beban Sumbu
JSKN'
= Jumlah sumbu setiap kendaraan niaga
JS
= Jumlah Sumbu
JSKNH
= Jumlah sumbu kendaraan niaga harian
89
90 b. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (R) Faktor pertumbuhan lalu lintas kendaraan dapat dihitung dengan persamaan 2.13. Adapun perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.15. Tabel 4.15 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas untuk Kasus BMDT Jenis Kendaraan
Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (%)
Mobil Penumpang
39,6773
Bus
84,8277
Truk 2 as Kecil
84,6290
Truk 2 as Besar
37,2236
Truk 3 as
76,1832
Truk Gandeng
76,1832
Semi Trailer
76,1832
c. Koefisien Distribusi (C) Berdasarkan Tabel 2.4, dengan tipe jalan yang ditinjau terdiri dari 2 lajur dan 2 arah, maka koefisien distribusi (C) kendaraan niaga sebesar 0,5. d. Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga (JSKN) Jumlah sumbu kendaraan niaga dapat dihitung dengan persamaan 2.14. Adapun perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.16. Tabel 4.16 Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga untuk Kasus BMDT Jenis Kendaraan
JSKNH
JSKN
-
-
Bus
426
6.594.926,69
Truk 2 as Kecil
5858
90.475.574,16
Truk 2 as Besar
6120
41.574.984,33
Truk 3 as
2342
32.561.842,67
Truk Gandeng
1296
18.018.850,60
Semi Trailer
1734
24.108.554,74
Mobil Penumpang
Total
213.334.733,17
91 e. Repetisi Sumbu yang Terjadi Perhitungan repetisi sumbu yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 4.17. Tabel 4.17 Repetisi Sumbu yang Terjadi untuk Kasus BMDT Jenis
BS
JS
Proporsi
Proporsi
Sumbu
(ton)
(bh)
Beban
Sumbu
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)=(d)×(e)×(f)
STRT
3
213
0,02
0,67
213.334.733,17
2.556.272,40
2
2929
0,25
0,67
213.334.733,17
35.151.745,81
4
2929
0,25
0,67
213.334.733,17
35.151.745,81
5
3708
0,31
0,67
213.334.733,17
44.500.742,05
6
2073
0,17
0,67
213.334.733,17
24.878.651,10
11852
1
5
213
0,05
0,25
213.334.733,17
2.556.272,40
8
3060
0,69
0,25
213.334.733,17
36.723.913,34
14
1156
0,26
0,25
213.334.733,17
13.873.478,37
4429
1
1495
1
0,08
213.334.733,17
17.941.911,91
1495
1
Jumlah STRG
Jumlah STdRG
14
Jumlah
Total
JSKN
Repetisi yang Terjadi
213.334.733,17
f. Jenis dan Tebal Lapis Pondasi Bawah Untuk menentukan jenis dan tebal pondasi bawah, digunakan Gambar 2.13. Dengan CBR tanah dasar 3 % dan jumlah repetisi yang terjadi 213.334.733,17, maka:
Gambar 4.31 Jenis dan Tebal Pondasi untuk Kasus BMDT
92 Didapatkan jenis pondasi bawah berupa campuran beton kurus dengan tebal 130 mm. g. CBR Efektif Dengan menggunakan Gambar 2.14 dapat ditentukan CBR efektif.
Gambar 4.32 CBR Efektif untuk Kasus BMDT Diperoleh CBR efektif sebesar 32,86%. h. Faktor Keamanan Beban (FKB) Berdasarkan Tabel 2.5, dengan peranan jalan sebagai jalan tol, maka faktor keamanan beban sebesar 1,2. i. Kuat Tarik Lentur Beton (fcf) Dengan jenis agregat berupa agregat pecah dan kuat tekan beton 30 MPa, maka kuat tarik lentur beton (fcf) adalah: f cf = K f c′ = 0,75 30 = 4,11 MPa
93 j. Analisa Fatik dan Erosi Analisa fatik dan erosi digunakan untuk menentukan tebal pelat beton optimum. Persen kerusakan dari analisa fatik dan erosi harus lebih kecil dari 100 %. Analisa fatik dan erosi menggunakan Tabel 2.6 sampai 2.8, dan Gambar 2.15 sampai 2.17. Perhitungan analisa fatik dan erosi dapat dilihat pada Tabel 4.18. Asumsi tebal pelat beton = 309 mm.
94
Gambar 4.33 Analisa Fatik dan Repetisi Beban Ijin Berdasarkan Rasio Tegangan Tanpa Bahu Beton untuk Kasus BMDT
95
Gambar 4.34 Analisa Erosi dan Repetisi Beban Ijin Berdasarkan Faktor Erosi Tanpa Bahu Beton untuk Kasus BMDT
Tabel 4.18 Analisa Fatik dan Erosi untuk Kasus BMDT Analisa Fatik
Analisa Erosi
Jenis
BS
Beban Rencana per
Repetisi yang
Faktor Tegangan
Sumbu
(kN)
Roda (kN)
Terjadi
dan Erosi
Repetisi Ijin
Persen Rusak
Repetisi Ijin
Persen Rusak
(a)
(b)
(c)=(b)×FKB/jml roda
(d)
(e)
(f)
(g)=(d)×100/(f)
(h)
(i)=(d)×100/(h)
STRT
30
18
2.556.272,40
TE = 0,4944
TT
0
TT
0
20
12
35.151.745,81
FE = 1,6361
TT
0
TT
0
40
24
35.151.745,81
FRT = 0,12
TT
0
TT
0
50
30
44.500.742,05
TT
0
TT
0
60
36
24.878.651,10
TT
0
TT
0
50
15
2.556.272,40
TE = 0,8326
TT
0
TT
0
80
24
36.723.913,34
FE = 2,2371
TT
0
TT
0
140
42
13.873.478,37
FRT = 0,203
TT
0
14.117.647,06
98,27
TT
0
TT
0
STRG
TE = 0,7537 STdRG
140
21
17.941.911,91
FE = 2,4094 FRT = 0,183
Total
0
98,27
Keterangan: TE
= Tegangan Ekivalen
FE
= Faktor Erosi
FRT
= Faktor Rasio Tegangan
96
97 Berdasarkan Tabel 4.18, diperoleh tebal pelat beton yang digunakan adalah 309 mm. k. Perhitungan Tulangan Memanjang Luas penampang tulangan yang dibutuhkan, dihitung dengan menggunakan persamaan 2.27. Perhitungan tulangan yaitu sebagai berikut:
Ps =
100 ⋅ f ct ⋅ (1,3 − 0,2 ⋅ µ ) = fy − n ⋅ f ct
100 ⋅ 0,5 ⋅ 41,1 ⋅ (1,3 − 0,2 ⋅1,3) = 0,573% 2,1× 10 6 3900 − ⋅ (0,5 ⋅ 41,1) 14850 300
As perlu = 0,573 % × 309 × 1000 = 1770,57 mm2 Syarat As minimum = 0,6% × 309 × 1000 = 1854 mm2 (As < As min) Digunakan tulangan diameter 17 mm (As = 226,98 mm2). Jumlah tulangan =
1854 = 8,17 ≈ 9 buah 226,98
Jarak tulangan memanjang =
1000 = 111,11 mm = 11,11 cm 9
l. Perhitungan Jarak Teoritis Antar Retakan Pengecekan jarak teoritis antar retakan menggunakan persamaan 2.28. Adapun perhitungannya yaitu sebagai berikut: L cr = =
f ct 2
n ⋅ p 2 ⋅ u ⋅ f b ⋅ (ε s ⋅ Ec − f ct ) (0,5 × 41,1) 2 2,1 × 10 6
2
(
)
4 1,97 300 10 × 2,2698 × × 400 × 10 −6 × 14850 300 − 0,5 × 41,1 × × 1,7 14850 300 100 × 30,9 1,7
= 246,53 cm
Syarat Lcr maksimum = 250 cm (Lcr < Lcr maks)
98 Jarak teoritis antar retakan lebih kecil daripada syarat maksimum, sehingga tulangan memanjang yang digunakan memenuhi syarat yaitu berdiameter 17 mm dengan jarak 11,11 cm. m. Perhitungan Tulangan Melintang Luas penampang tulangan yang dibutuhkan, dihitung dengan menggunakan persamaan 2.26. Perhitungan tulangan yaitu sebagai berikut:
As =
µ ⋅ L ⋅ M ⋅ g ⋅ h 1,3 × 3,5 × 2400 × 9,81× 0,309 = = 70,7301 mm 2 2 ⋅ fs 2 × (0,6 × 390)
Syarat As minimum = 0,1% × 309 × 1000 = 309 mm2 (As < As min) Digunakan tulangan diameter 12 mm (As = 113,1 mm2). Jumlah tulangan =
309 = 2,73 ≈ 3 buah 113,1
Jarak tulangan melintang =
1000 = 333,33 mm = 33,33 cm 3
309 mm
130 mm
Gambar 4.35 Lapisan Perkerasan untuk Kasus BMDT
Gambar 4.36 Tampak Atas untuk Kasus BMDT
99 4.1.3.2
Perhitungan Program ConPave untuk Perkerasan Beton Menerus Dengan Tulangan (BMDT) Langkah-langkah perhitungan Program ConPave yaitu sebagai berikut: a. Start Program
Gambar 4.37 Start Program untuk Kasus BMDT b. Pilih jenis perkerasan yang akan dihitung
Gambar 4.38 Pilih Perkerasan BMDT
100 c. Input Data Proyek
Gambar 4.39 Input Data Proyek untuk Kasus BMDT d. Input Data
Gambar 4.40 Input Data untuk Kasus BMDT
101 e. Analisa Lalu Lintas
Gambar 4.41 Hasil Analisa Lalu Lintas untuk Kasus BMDT Dari hasil perhitungan program, didapatkan JSKN sebesar 213.334.733,17. f. Repetisi yang Terjadi
Gambar 4.42 Hasil Repetisi Sumbu Rencana untuk Kasus BMDT
102 g. Analisa Fatik dan Erosi
Gambar 4.43 Hasil Analisa Fatik dan Erosi untuk Kasus BMDT Dari hasil perhitungan program, didapatkan jenis pondasi bawah yang digunakan berupa campuran beton kurus setebal 131 mm, dengan CBR efektif 33,16%. Tebal pelat beton yang digunakan yaitu 309 mm, dengan persen rusak fatik sebesar 0% dan persen rusak erosi sebesar 97,73%. h. Nomogram Fatik dan Erosi
Gambar 4.44 Nomogram Fatik dan Erosi untuk Kasus BMDT
103 i. Hasil Akhir
Gambar 4.45 Hasil Akhir Program untuk Kasus BMDT
104 4.1.4
Hasil Perbandingan Perhitungan Manual dan Program Berdasarkan perhitungan manual dan program terhadap 3 kasus, yaitu untuk BBTT, BBDT, dan BMDT, maka dapat dilihat hasil perbandingannya pada Tabel 4.19, Tabel 4.20, dan Tabel 4.21 sebagai berikut. Tabel 4.19 Perbandingan Perhitungan Manual dan Program untuk Kasus BBTT Kasus BBTT
Perbedaan
Manual
Program
(%)
JSKN
152.599.208,82
152.599.208,82
0
Repetisi yang terjadi
152.599.208,82
152.599.208,83
6,55×10-9
Tebal pondasi bawah
144
145
0,69
38,33
38,80
1,23
TE
0,5056
0,5130
1,46
FRT
0,114
0,116
1,75
FE
1,6678
1,6683
0,03
TE
0,8511
0,8647
1,60
FRT
0,192
0,195
1,56
FE
2,2756
2,2719
0,16
TE
0,7589
0,7653
0,84
FRT
0,171
0,172
0,58
FE
2,4256
2,4274
0,07
10.588.235,29
10.566.646,66
0,20
Persen rusak fatik
0
0
0
Persen rusak erosi
96,81
97,01
0,21
Tebal pelat beton
300
300
0
CBR efektif
STRT
STRG
STdRG
Repetisi ijin
105 Tabel 4.20 Perbandingan Perhitungan Manual dan Program untuk Kasus BBDT Kasus BBDT
Perbedaan
Manual
Program
(%)
JSKN
284.218.439,63
284.218.439,63
0
Repetisi yang terjadi
284.218.439,63
284.218.439,65
7×10-9
Tebal pondasi bawah
135
135
0
CBR efektif
35
34,60
1,14
TE
1,043
1,0488
0,56
FRT
0,261
0,262
0,38
FE
1,933
1,9274
0,29
TE
1,539
1,5501
0,72
FRT
0,385
0,388
0,78
FE
2,523
2,532
0,36
TE
1,29
1,2929
0,22
FRT
0,323
0,323
0
FE
2,504
2,5103
0,25
57.142.857,14
58.470.081,32
2,32
Persen rusak fatik
0
0
0
Persen rusak erosi
82,56
80,69
2,27
Tebal pelat beton
171
171
0
12
12
0
33,33
33,33
0
12
12
0
50
50
0
STRT
STRG
STdRG
Repetisi ijin
Diameter tulangan memanjang Jarak tulangan memanjang Diameter tulangan melintang Jarak tulangan melintang
106 Tabel 4.21 Perbandingan Perhitungan Manual dan Program untuk Kasus BMDT Kasus BMDT
Perbedaan
Manual
Program
(%)
JSKN
213.334.733,17
213.334.733,17
0
Repetisi yang terjadi
213.334.733,17
213.334.733,18
4,7×10-9
Tebal pondasi bawah
130
131
0,77
32,86
33,16
0,91
TE
0,4944
0,4972
0,57
FRT
0,12
0,121
0,83
FE
1,6361
1,6353
0,05
TE
0,8326
0,8447
1,45
FRT
0,203
0,206
1,48
FE
2,2371
2,2387
0,07
TE
0,7537
0,7613
1,01
FRT
0,183
0,185
1,09
FE
2,4094
2,4074
0,08
14.117.647,06
14.196.440,51
0,56
Persen rusak fatik
0
0
0
Persen rusak erosi
98,27
97,73
0,55
Tebal pelat beton
309
309
0
17
17
0
11,11
11,11
0
12
12
0
33,33
33,33
0
CBR efektif
STRT
STRG
STdRG
Repetisi ijin
Diameter tulangan memanjang Jarak tulangan memanjang Diameter tulangan melintang Jarak tulangan melintang
107 Hasil perbandingan pada Tabel 4.19, Tabel 4.20, dan Tabel 4.21 menunjukkan bahwa perhitungan manual dan hasil perhitungan program cukup akurat, dengan batas toleransi sebesar 5%. Perbedaan hasil tersebut dikarenakan oleh adanya pembulatan angka-angka yang diperoleh dari grafik dan nomogram. Sehingga dapat disimpulkan bahwa program layak digunakan sebagai alat bantu perhitungan perencanaan perkerasan kaku.
4.2 4.2.1
Studi Kasus Analisa Perubahan CBR Tanah Dasar terhadap Tebal Pelat Beton Lapisan tanah dasar mempengaruhi ketahanan lapisan di atasnya dan mutu jalan secara keseluruhan. Banyak metode yang digunakan untuk menentukan daya dukung tanah dasar. Di Indonesia, untuk menentukan daya dukung tanah dasar untuk kebutuhan perencanaan tebal perkerasan ditentukan dengan pemeriksaan CBR (California Bearing Ratio) yang diperoleh dari hasil pemeriksaan contoh tanah di laboratorium atau langsung di lapangan. CBR tanah dasar merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi tebal perkerasan beton semen. Namun rendahnya nilai CBR tanah dasar, dapat diatasi dengan penggunaan lapisan pondasi bawah yang dapat meningkatkan daya dukung tanah dasar tersebut. Analisa pengaruh perubahan CBR tanah dasar ini menggunakan input data pada kasus BBTT dan digunakan bantuan program ConPave untuk mempermudah dan mempercepat perhitungan. Hasil analisa yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 4.22.
108 Tabel 4.22 Pengaruh CBR Tanah Dasar terhadap Tebal Pelat Beton CBR (%)
Tebal Pelat Beton (cm)
2
30,2
3
30,1
4
30,0
5
30,0
6
30,0
7
29,9
8
29,9
9
29,9
10
29,9
Dari hasil di atas, maka didapatkan grafik hubungan antara CBR terhadap tebal pelat beton yaitu sebagai berikut:
Tebal Pelat Beton (cm)
31
30
29 2
3
4
5
6
7
8
9
10
CBR (%)
Gambar 4.46 Grafik Hubungan antara CBR dengan Tebal Pelat Beton
109 Dari grafik hubungan di atas, dapat diambil analisa sebagai berikut: a. Semakin tinggi nilai CBR suatu tanah dasar maka semakin tipis pelat beton yang digunakan, seperti dapat dilihat pada grafik yang ditunjukkan pada Gambar 4.46. Hal ini disebabkan karena nilai CBR tanah dasar yang semakin tinggi menandakan semakin tinggi daya dukung tanah dasar tersebut, sehingga tidak memerlukan pelat beton yang terlalu tebal untuk mendukung beban lalu lintas. b. Namun dalam kasus ini, nilai CBR tanah dasar tidak memiliki pengaruh besar terhadap perubahan tebal pelat beton, karena adanya lapis pondasi bawah yang meningkatkan nilai daya dukung tanah dasar tersebut.
4.2.2
Analisa Perubahan Umur Rencana terhadap Tebal Pelat Beton Umur rencana merupakan jumlah tahun dari saat jalan dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai diperlukan suatu perbaikan yang bersifat stuktural. Analisa pengaruh perubahan umur rencana ini menggunakan data pada kasus BBTT. Analisa dilakukan dengan menggunakan bantuan program ConPave untuk mempermudah dan mempercepat perhitungan. Hasil analisa yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 4.23.
110 Tabel 4.23 Pengaruh Umur Rencana terhadap Tebal Pelat Beton Umur Rencana (th)
Tebal Pelat Beton (cm)
JSKN
5
26,8
22.566.582,17
10
27,1
53.336.080,75
15
28,7
95.310.812,61
20
30,0
152.599.208,82
25
31,0
230.825.871,43
30
-
337.694.533,59
35
-
483.761.246,97
40
-
683.496.718,54
* Tebal perkerasan tidak terdefinisi disebabkan karena repetisi sumbu yang terjadi melebihi syarat grafik pada pedoman Bina Marga.
Dari hasil di atas, maka didapatkan grafik hubungan antara umur rencana terhadap tebal pelat beton yaitu sebagai berikut: 33 32
Tebal Pelat Beton (cm)
31 30 29 28 27 26 25 5
10
15
20
25
30
35
40
Umur Rencana (th)
Gambar 4.47 Grafik Hubungan antara Umur Rencana dengan Tebal Pelat Beton
111 Dari grafik hubungan di atas, dapat diambil analisa sebagai berikut: a. Semakin besar umur perkerasan yang direncanakan maka semakin tebal pelat beton yang diperlukan. Volume kendaraan dan pertumbuhan lalu lintas juga mempengaruhi tebal pelat beton yang diperlukan. Namun volume kendaraan, pertumbuhan lalu lintas, dan umur rencana yang terlalu besar dapat menyebabkan repetisi sumbu yang berlebihan sehingga tebal pelat beton tidak terdefinisi karena melebihi syarat pada pedoman Bina Marga dimana berdasarkan grafik CBR pada Gambar 2.13, repetisi sumbu yang terjadi tidak melebihi 3 ×108. b. Tebal pelat beton yang tidak terdefinisi diakibatkan oleh besarnya beban lalu lintas, dalam hal ini volume dan pertumbuhan lalu lintas, yang melebihi kapasitas jalan. Selain itu, metode Bina Marga yang tidak direkomendasikan untuk daerah pemukiman dengan jumlah sumbu kendaraan rendah dan daerah industri dengan jumlah sumbu kendaraan tinggi.
4.2.3
Analisa Perubahan Kuat Tekan Beton terhadap Tebal Pelat Beton Menurut SNI 03-1974-1990, kuat tekan beton adalah besarnya berat per satuan luas yang menyebabkan benda uji beton hancur bila dibebani dengan gaya tekan tertentu. Analisa pengaruh perubahan kuat tekan beton ini menggunakan data pada kasus BBTT. Analisa dilakukan dengan menggunakan bantuan program ConPave untuk mempermudah dan mempercepat perhitungan. Hasil analisa yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 4.24.
112 Tabel 4.24 Pengaruh Kuat Tekan Beton terhadap Tebal Pelat Beton Kuat Tekan Beton (MPa)
Tebal Pelat Beton (cm)
15
35,0
20
32,9
25
30,3
30
30,0
35
30,0
Dari hasil di atas, maka didapatkan grafik hubungan antara kuat tekan beton terhadap tebal pelat beton yaitu sebagai berikut: 36 35
Tebal Pelat Beton (cm)
34 33 32 31 30 29 28 27 15
20
25
30
35
Kuat Tekan Beton (MPa)
Gambar 4.48 Grafik Hubungan antara Kuat Tekan Beton dengan Tebal Pelat Beton
Dari grafik hubungan di atas, dapat diambil analisa sebagai berikut: a. Semakin besar kuat tekan beton yang digunakan sebagai campuran pelat beton maka semakin tipis pelat beton yang diperlukan, seperti dapat dilihat pada grafik yang ditunjukkan pada Gambar 4.48. Hal ini disebabkan karena
113 kuat tekan beton yang semakin besar menandakan semakin tinggi kemampuan beton tersebut dalam menerima gaya tekan, sehingga tidak diperlukan pelat beton yang terlalu tebal untuk mendukung beban lalu lintas.
4.2.4
Analisa Pengaruh Tipe Perkerasan terhadap Biaya Dalam merencanakan suatu perkerasan jalan raya, perlu dipertimbangkan berbagai macam faktor yang mempengaruhi fungsi pelayanan dan kenyamanan pengguna jalan. Selain itu, perencanaan perkerasan jalan raya perlu dipertimbangkan pula dari segi biaya pembangunan untuk mendapatkan desain perencanaan yang paling ekonomis. Perencanaan perkerasan jalan harus melihat dari segi keuntungan dan kerugian dari setiap tipe perkerasan. Analisa dilakukan terhadap tiga tipe perkerasan dengan satu jenis kasus untuk membandingkan biaya per m2 pelat beton. Biaya yang akan dihitung yaitu biaya beton dan baja tulangan untuk 100 meter panjang pelat, dengan hanya memperhitungkan biaya material saja. Dalam analisa ini, digunakan data pada kasus BBTT dengan menggunakan bantuan program untuk mempercepat perhitungan. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.25.
114 Tabel 4.25 Hasil Perhitungan Perencanaan Perkerasan Jalan Raya BBTT
BBDT
BMDT
300
300
300
2 × 3,5
2 × 3,5
2 × 3,5
Diameter (mm)
32
32
32
Panjang (cm)
45
45
45
Jarak (cm)
30
30
30
Diameter (mm)
16
16
16
Panjang (cm)
75
75
75
Jarak (cm)
90
90
90
Diameter (mm)
-
12
18
Jarak (cm)
-
20
12,5
Tulangan
Diameter (mm)
-
12
12
melintang
Jarak (cm)
-
33,33
33,33
Tebal pelat beton (mm) Lebar pelat beton (m)
Ruji
Tie bar
Tulangan memanjang
Berdasarkan SNI 07-2052-2002 mengenai ”Baja Tulangan Beton”, diperoleh bahwa berat baja tulangan polos dengan diameter 32 mm adalah 6,31 kg/m dan berat baja tulangan ulir dengan diameter 12 mm adalah 0,888 kg/m, diameter 16 mm adalah 1,58 kg/m, dan diameter 18 mm adalah 2,013 kg/m. Hasil perhitungan volume beton dan baja tulangan dari ketiga tipe perkerasan tersebut, dapat dilihat pada Tabel 4.26. Tabel 4.26 Hasil Perhitungan Volume Beton dan Berat Baja Tulangan BBTT
BBDT
BMDT
210
210
210
Ruji
68,148
68,148
68,148
Tie bar
132,72
132,72
132,72
-
3108
11272,8
-
1871,016
1871,016
Volume beton (m3)
Berat baja tulangan (kg)
Tulangan memanjang Tulangan melintang
115 Berdasarkan ”Buku Acuan Harga Satuan Bahan dan Upah Pekerjaan Bidang/Jasa Pemborongan Provinsi DKI Jakarta Periode Januari 2010”, diperoleh bahwa harga beton readymix K-300 adalah Rp 704.000,-/m3, harga baja tulangan polos adalah Rp 8.750,-/kg, dan harga baja tulangan ulir adalah Rp 8.800,-/kg. Maka hasil perhitungan biaya dari ketiga perkerasan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.27. Tabel 4.27 Hasil Perhitungan Biaya
Biaya 2
Biaya / m
BBTT
BBDT
BMDT
Rp 149.604.231,00
Rp 193.419.571,80
Rp 265.269.811,80
Rp
Rp
Rp
213.720,33
276.313,67
378.956,87
400
2
Biaya / m (rupiah dalam ratus ribuan)
350 300 250 200 150 100 50 0 BBTT
BBDT Jenis Perkerasan
BMDT
Gambar 4.49 Grafik Analisa Biaya dari Tiga Jenis Perkerasan
Berdasarkan Tabel 4.27, maka dapat diambil analisa sebagai berikut: a. Dari hasil perhitungan biaya pada Tabel 4.27, maka dapat diketahui bahwa biaya konstruksi termurah yaitu perkerasan Beton Bersambung Tanpa
116 Tulangan (BBTT) karena perkerasan tersebut tanpa menggunakan tulangan. Sedangkan biaya termahal adalah perkerasan Beton Menerus Dengan Tulangan (BMDT) karena perkerasan tersebut memiliki tulangan yang lebih banyak dengan jarak antar tulangan yang lebih kecil dibandingkan dengan perkerasan Beton Bersambung Dengan Tulangan (BBDT). b. Walaupun biaya perkerasan BBTT lebih murah dibandingkan dengan perkerasan
lainnya,
namun
perkerasan
BBTT
membutuhkan
biaya
pemeliharaan yang tinggi karena lebih cepat mengalami kerusakan akibat retak. Sedangkan perkerasan BBDT akan lebih menguntungkan walaupun biaya konstruksinya lebih tinggi namun biaya pemeliharaan akan lebih rendah karena perkerasan BBDT diperkuat dengan tulangan sehingga kerusakan retak akan lebih kecil. c. Biaya konstruksi perkerasan BBDT lebih rendah dibandingkan perkerasan BMDT karena perkerasan BMDT memiliki jumlah baja tulangan dengan jarak antar tulangan yang lebih kecil dibandingkan perkerasan BBDT, sehingga perkerasan BMDT mampu bertahan untuk umur rencana yang lebih lama, serta perkerasan BMDT memiliki tingkat kenyamanan lebih tinggi dikarenakan oleh tidak adanya sambungan susut yang dapat mengganggu kenyamanan pengguna jalan.