Bab 3 Analisis Data
3.1 Analisis Shuudan shugi Sebagai Faktor Penyebab Tingginya Jam Kerja di Perusahaan Jepang yang Menyebabkan Karoushi Karoushi disebabkan oleh banyak hal, salah satunya yaitu jam kerja yang terlalu lama. Semakin lama mereka bekerja, maka tingkat stres akan semakin meningkat, dan mereka akan merasa lelah secara fisik. Semakin tinggi posisi mereka di dalam bekerja, semakin tinggi jam kerja mereka, karena itu semakin tinggi pula tingkat stres yang akan dialami oleh para pekerja. Seperti yang terlihat pada diagram di bawah ini:
Gambar 3.1 Grafik Jumlah Pekerja yang Mengalami Stres Berdasarkan Pekerjaan
Sumber : www.mhlw.com
Pada diagram di atas menggambarkan hubungan antara tahun, presentase jumlah pekerja yang mengalami stres dan jenis pekeja. Total pekerjaan yang mengalami stress pada tahun 1982 adalah sebesar 50 %, tahun 1987 sebesar 55 %, pada tahun 1992 sebesar 57%, pada tahun 1997 sebesar 63% dan pada tahun 2002 sebesar 62%. Presentasi pekerja yang mengalami stress, setiap tahunnya mengalami peningkatan dan penurunan. Berdasarkan jenis pekerjaannya, pekerjaan sales/service (penjualan/layanan) pada tahun 1982 sampai 1987 mengalami peningkatan jumlah pekerja yang mengalami stres sebesar 1%, dari 55 % menjadi 56%, tahun 1987 sampai tahun 1992 mengalami peningkatan sebesar 5%, dari 57 % menjadi 62%, pada tahun 1992 sampai tahun 1997 jumlah presentasenya tetap, tidak mengalami peningkatan dan penurunan yaitu sebesar 62%. Pada tahun 1997 sampai tahun 2002 mengalami peningkatan sebesar 2%, dari 62% meningkat menjadi 64 %. Pada bidang pekerjaan proffesional/ technical/ skilled work (profesional/ teknisi/ tenaga kerja terampil) pada tahun 1982 sampai 1987 mengalami peningkatan jumlah pekerja yang mengalami stres sebesar 1% dari 59% menjadi 60 %, pada tahun 1987 sampai tahun 1992 mengalami peningkatan sebesar 3% menjadi 65%, pada tahun 1992 sampai tahun 1997 mengalami peningkatan sebesar 3%, dari 65% menjadi 68%, dan pada tahun 1997 sampai tahun 2002 mengalami penurunan sebesar 4% dari 68% menjadi 64%. Jenis pekerjaan pekerja administration (administrasi) tahun 1982 sampai tahun 1987 mengalami peningkatan yang mengalami stres yang tinggi sebesar 5% dari 48 % menjadi 54%, pada tahun 1987 sampai tahun 1992 mengalami penurunan sebesar 1%, dari 54% menjadi 53%, pada tahun 1992 sampai tahun 1997 mengalami
peningkatan sebesar 4%, dari 53% menjadi 57%, dan pada tahun 1997 sampai tahun 2002 mengalami penurunan sebesar 3% dari 57% menjadi 54%. Protective service (pelayanan dan keamanan) pada tahun 1982 sampai tahun 1987 data tidak diketahui. Pada tahun 1987-1992 mengalami penurunan jumlah pekerja yang mengalami stress secara drastis sebesar 10% dari 40 % menjadi 30 %, tahun 1992 sampai tahun 1997 mengalami peningkatan drastis sebesar 25%, dari 30 % menjadi 55% dan setelah mengalami peningkatan drastis pada tahun 1992 sampai 1997, tahun1997 sampai tahun 2002 mengalami penurunan sebesar 15% dari 55 % menjadi 40%. Persentase jumlah pekerja di bidang transportation/contruction (pembangunan/transportasi) yang mengalami stress pada tahun 1982 sampai tahun 1987 dalam keadaan stabil/tetap, tidak mengalami peningkatan dan penurunan. Pada tahun 1987 sampai tahun 1992 mengalami penurunan sebesar 4% dari 49 % menjadi 45%. Pada tahun 1992 sampai tahun 1997 mengalami sedikit peningkatan sebesar 1% menjadi 46%. Tahun 1997 sampai tahun 2002 mengalami peningkatan sebesar 8% dari 46% menjadi 54%. Presentasi data untuk jenis pekerjaan Production/skill work (produksi/tenaga kerja terampil) sampai tahun 1987 tidak diketahui datanya. Pada tahun 1992 sampai tahun 1997 mengalami peningkatan jumlah pekerja yang mengalami stres sebesar 7% dari 55% menjadi 62%. Pada tahun 1997 sampai tahun 2002 mengalami penurunan sebesar 2%. Sedangkan pada jenis pekerjaan management (manajemen) pada tahun 1982 sampai tahun 1987 mengalami peningkatan sebesar 8 % dari 50% menjadi 58%. Pada tahun 1987 sampai tahun 1992 mengalami peningkatan hanya sebesar 1% menjadi 59%. Pada tahun 1992 sampai tahun 1997 mengalami peningakatan sebesar 4% dari 59% menjadi 63%. Pada tahun 1997 sampai tahun 2002 mengalami peningkatan sebesar 2% dari 63% menjadi 65%.
Dari semua data di atas, pada tahun 1982 presentase pekerja yang mengalami stress paling tinggi yaitu jenis pekerjaan di bidang professional/technical/researcher. Pada tahun 1987 presentase pekerja yang mengalami stress paling tinggi yaitu jenis pekerjaan di bidang professional/ technical/ researcher dan juga management. Pada tahun 1992 dan 1997 presentase pekerja yang mengalami stress paling tinggi yaitu jenis pekerjaan di bidang profesional/technical/researcher. Pada tahun 2002 presentase pekerja yang mengalami stress paling tinggi yaitu jenis pekerjaan di bidang management. Meskipun bidang pekerjaan proffesional/teknisi/peneliti selalu mengalami persentasi karyawan yang tertinggi mengalami stress kecuali tahun 2002, namun pada bidang pekerjaan management, persentase karyawan yang mengalami stress secara stabil bertambah dari tahun 1982, 1987, 1992, 1997, dan 2002. Menurut analisis penulis, hal ini dikarenakan tanggung jawab bidang pekerjaan management cukup besar sebagai oyakata dalam hubungan oyakata dan kokata, karena itu membutuhkan jam kerja yang cukup tinggi. Tingginya jam kerja pada bidang pekerjaan management inilah yang kemudian dapat menyebabkan stres. Hal ini sesuai dalam Stress and Health (1999:198) bahwa bekerja diluar batas (overwork) dapat dibagi menjadi bekerja berlebihan secara kuantitatif dan kualitatif (quantitative overload and qualitative overload). Hasil dari bekerja diluar batas (qualitative overload) ketika kebutuhan fisik dari pekerjaan melebihi kapasitas pekerja. Hal ini terjadi ketika pekerja harus melakukan terlalu banyak pekerjaan dalam waktu yang terlalu singkat. Beberapa pekerjaan mungkin memerlukan kekuatan fisik di luar kemampuan pekerja atau menetapkan jumlah suatu pekerjaan yang tinggi. Pekerjaan terus berlangsung tidak peduli betapa kelelahan atau ketegangan dalam bekerja. Setiap hari harus bekerja dengan berat sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan dan tanpa ada waktu untuk beristirahat. Quantitaative overload adalah ketika
pekerjaan yang dikerjakan terlalu sulit. Ini terjadi ketika kebutuhan teknis atau kemampuan mental dari suatu pekerja meningkat. Bekerja di dalam batas berarti bahwa bekerja di dalam batas kerja, tetapi ada waktu untuk bersenang-senang. Jam kerja tidak digunakan untuk benar-benar untuk bekerja. Berlebihan secara kualitatif (qualitative overload) menyebabkan tingkat stress meningkat setiap tahunnya. Pekerjaan menjadi seorang manajer tidaklah mudah, apalagi ketika seorang manajer harus membuat sebuah keputusan yang mempengaruhi produksi perusahaan dan masa depan pekerja. Manager harus merencanakan jadwal produksi, pengadaan barang, mengevaluasi pekerja, dan membuat rekomendasi untuk mempekerjakan, memecat atau mem-PHK pekerja. Ketika keputusan hanya meliputi hal-hal, sebagai lawan dari sekumpulan orang. Fungsi manager dapat efektif. Ketika keputusan manager meliputi tanggung jawab untuk orang lain, peningkatan stress dapat lebih mungkin terjadi. Menurut analisis penulis tingginya jam kerja yang dilakukan pada bidang pekerjaan management dan proffesor/teknisi/peneliti menimbulkan stres yang akibatnya dapat menimbulkan karoushi. Hal ini diakibatkan karena mereka bekerja sangat antusias namun mengabaikan kebutuhan mereka untuk istirahat, makan , tidur dengan teratur, sesuai dengan yang dikatakan oleh Dr.Uehaja (karoushi:2000) di dalam penelitiannya: Karakterisasi di dalam pekerjaan juga merupakan faktor penyebab terjadinya karoushi, dengan tingkat pekerjaan yang lebih tinggi, akan menyebabkan tuntutan kerja yang semakin tinggi pula, tetapi dukungan sosial yang didapatkan lebih rendah, dan tingkat kontrol bekerja masingmasing orang sangat bervariasi. Ada seseorang yang sangat senang dan antusias dengan pekerjaan mereka, dan akibatnya cenderung mengabaikan kebutuhan mereka untuk istirahat, makan, tidur dengan teratur dan seterusnya. Bahkan kebutuhan untuk kesehatan pun diabaikan. Jenis pekerjaan yang paling banyak terjadi karoushi yaitu Manajer dan Insinyur. Mereka memiliki tuntutan pekerjaan yang sangat tinggi dan biasanya
mereka sangat antusias di dalam melakukan pekerjaannya, sehingga mereka tidak bisa mengontrol jam kerja dengan baik.
Rasa senang dan antusias yang dimiliki oleh mereka yang bekerja di bidang management dan proffesional/teknisi/peneliti dikarenakan sikap mereka terhadap perusahaan yakni bagi mereka perusaahaan adalah ie (keluarga) mereka. Nilai-nilai di dalam ie diantaranya shuudan shugi, yakni mendahulukan kepentingan kelompok, dalam hal ini adalah kepentingan perusahaan daripada kepentingan pribadi yang sudah tertanam di dalam diri mereka. Hampir semua jenis pekerjaan mengalami peningkatan stres yang drastis akibat dari stress karena banyak bekerja. Karena tuntutan pekerjaan mereka yang mengharuskan setiap pekerjanya untuk bekerja dengan waktu yang singkat dan dengan pekerjaan yang banyak, sehingga menyebabkan para pekerja bekerja di bawah tekanan. Hal ini sesuai dalam Stress and Health (1999:204) yang menyatakan : Anxiety, tension,anger and resentment are among the more commonly reported symptoms. Some people find job pressure so great increase their psychological distance and gradually become depressed .
Terjemahan: Kecemasan, ketegangan, kemarahan, dan kebencian adalah gejala yang lebih sering dilaporkan. Beberapa orang menemukan tekanan pekerjaan begitu besar sehingga menyebabkan mereka dalam jangka waktu tertentu , dan secara bertahap menjadi depresi.
Apabila
pekerjaan
belum
selesai
dikerjakan,
maka
pekerja
akan
menyelesaikannya sehingga harus bekerja melebihi jam kerja normal. Seperti kutipan
di bawah ini yang menyatakan peningkatan stres akibat bekerja melebihi jam kerja normal, mengalami peningkatan yang cukup tinggi dan bahwa jam kerja yang berlebihan membuat banyak pekerja mengalami stress. Jam kerja yang panjang pasti membawa korban. Seorang psikiater pada tahun 1992 melaporkan dalam hotline karoushi (1991), bahwa jumlah pasien yang konsultasi kepadanya untuk masalah stres telah empat kali lipat lebih dari sepuluh tahun sebelumnya. Kondisi kerja spesifik yang berkontribusi menimbulkan stress meliputi kompleksitas pekerjaan, bekerja yang melebihi batas, kondisi fisik yang tidak nyaman, dan giliran bekerja (shift) yang tidak berjalan semestinya. Kompleksitas pekerjaan adalah bagian dari pekerjaan yang sulit untuk diselesaikan. Hal ini meliputi jumlah dan kerumitan informasi yang dibutuhkan dari fungsi suatu pekerjaan, serta perluasan atau penambahan dari metode untuk melakukan pekerjaan. Beberapa sumber stress yang dianggap sebagai sumber stress kerja adalah stress karena kondisi pekerjaan, masalah peran, hubungan interpersonal, kesempatan pengembangan karir, dan struktur organisasi (Cooper,1989:193)
Terry Beehr dan John (1999:195) mengkaji kembali banyak pelajaran mengenai stres yang disebabkan oleh pekerjaan dan menyimpulkan bahwa terdapat tiga hal pribadi negatif yang keluar sebagai hasil dari stress bekerja, diantaranya adalah ditinjau dari gejala kesehatan mental, gejala kesehatan fisik, dan gejala perilaku. Gejala-gejala tersebut di atas akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan dan juga bagi individu. Dampak stress kerja bagi individu adalah munculnya masalahmasalah yang berhubungan dengan kesehatan, psikologis dan interaksi interpersonal. Apabila seseorang pekerja sudah mengalami stres yang berkepanjangan, maka pekerja akan mudah cemas, binggung, dan sensitif. Daya tahan tubuh pun akan
berkurang, karena terlalu banyak hal-hal yang dipikirkan sehingga menyebabkan para pekerja yang mengalami stress pola hidupnya menjadi tidak teratur, dan akan menyebabkan gangguan pada kesehatan, contohnya kehilangan nafsu makan sehingga mengalami gangguan pada lambung (maag), dan membuat daya tahan tubuh menurun. Secara psikologis stress berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekuatiran yang terus-menerus. Menurut istilah psikologi, stress berkepanjangan ini disebut stress kronis. Stress kronis sifatnya menghancurkan tubuh, pikiran dan seluruh kehidupan penderitanya secara perlahan-lahan. Stress kronis umumnya terjadi di seputar masalah ketidakpuasan kerja. Akibatnya, orang akan terus-menerus merasa tertekan dan kehilangan harapan. Kesehatan adalah hal yang sangat penting, jika ketahanan tubuh menurun maka secara tidak langsung akan kehilangan semangat, sehingga mereka lebih sering menunda-nunda pekerjaan dan bahkan menghindari pekerjaan, tidak dapat melaksanakan pekerjaan secara maksimal, kehilangan konsentrasi dan akan membuat prestasi dan produktivitas di dalam bekerja menurun. Motivasi untuk melakukan halhal yang bersifat positif pun berkurang, karena secara fisik tubuh akan cepat merasa lelah apabila ketahanan daya tahan tubuh menurun secara drastis. Faktor-faktor dari individu akan berakibat langsung kepada perusahaan tempat pekerja itu bekerja. Kondisi bekerja yang terlalu panjang justru malah bersifat kontraproduktif, baik bagi perusahaan maupun individu pekerja. Efek yang ditanggung oleh pekerja secara langsung adalah kondisi fisik yang menurun dalam jangka panjang, yang diikuti dengan penurunan produktifitas. Penurunan produktivitas bagi perusahaan adalah kehilangan sejumlah keuntungan dalam bentuk biaya tambahan yang harus dibayar oleh perusahaan. Konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung adalah meningkatnya tingkat absensi,
menurunnya tingkat produktivitas, dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teraliansi, hingga meninggal (Robbins, 1993:18). Apabila seseorang bekerja sebagai seorang manajer di dalam perusahaan Jepang, maka ia harus bisa berkomunikasi secara baik, kepada atasannya, bawahannya, maupun kepada customer perusahaan lainnya. Komunikasi adalah hal yang sangat berpengaruh, apabila seorang manajer tidak dapat berbicara dengan baik kepada bawahannya, dan bawahan itu merasa tersinggung maka akan menimbulkan konflik yang akan menyebabkan kerja sama diantara satu kelompok menjadi tidak harmonis. Dan menyebabkan hubungan interpersonal terganggu. Hubungan interpesonal antara pemimpin dengan pengikutnya sangat penting di dalam organisasi kerja. Banyak juga pekerja yang melakukan tugas yang berada jauh di bawah kemampuan intelektual mereka atau yang mereka anggap berada di bawah tingkat pendidikan yang telah mereka peroleh. Di banyak sektor industri, pekerjaan telah sangat ‘dirasionalisasikan’, dipecah-pecah ke dalam tugas-tugas yang sederhana, menoton, dan menjemukan, yang hanya sesuai bagi robot yang tidak dapat berpikir. Pada level organisasi yang lebih tinggi, tingkat manager atau supervisor, perkembangan teknologi dan industrialisasi yang pesat menuntut adanya kemampuan managerial dan intelektual yang lebih baik, yang terkadang melampaui kemampuan yang dimiliki sebahagian besar individu. Dengan adanya teknologi yang lebih baik maka arus komunikasi dan proses produksi akan berjalan lebih cepat sehingga seorang manager dapat menjadi demikian sibuknya dan dibebani pekerjaan yang memerlukan penyelesaian dengan segera. Pada penyelesaian (supervisor) terjadi benturan antara dua tuntutan yang berbeda, di satu pihak ia harus memperhatikan
penyelesaian tugas yang berbatas waktu dan di lain pihak ia harus juga memperhatikan pembinaan hubungan baik dengan bawahan-bawahannya. Keadaan-keadaan di atas, baik bagi pekerjaan maupun bagi pihak manajer, menimbulkan perasaan tegang dalam diri mereka akibat faktor-faktor yang mengancam, baik yang bersifat sosial, managerial, ataupun yang berkaitan dengan lingkungan kerja yang tidak dapat diatasi. Keadaan tegang ini sesuai dengan konsep stres yang dikemukakan oleh Breznitz dan Golberger (1989:369) yang menyatakan Stress refer to a response of the organism to a noxious or theartening condition. Artinya: Stres berkaitan dengan respons makhluk hidup kepada kondisi yang dianggap berbahaya atau mengancam. Teknologi dan industrialisasi yang pesat juga menciptakan suatu perubahan penting dalam sifat ancaman dan stres itu sendiri. Dalam laporan Buruh Dunia ILO tahun 1993 mengatakan, bahwa para pekerja Jepang menderita stres berat yang terkait dengan jam kerja yang panjang, yang menyebabkan karoushi (kematian karena terlalu banyak bekerja.
Gambar 3.2 Grafik Jumlah Korban Karoushi
Sumber : hotline karoushi, 2000
Dari grafik karoushi di atas, Pada tahun 1949 sampai tahun 1953 untuk korban karoushi perempuan, mengalami peningkatan sebesar 1000 korban dari 5000 korban menjadi 6000 korban. Tahun berikutnya juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu pada tahun 1957 mencapai 9000 korban. Lalu megalami penurunan sedikit demi sedikit sampai tahun 1969, setelah itu pada tahun 1973 mulai mengalami peningkatan tetapi tidak terlalu tinggi. Pada tahun 1973 sampai tahun 1977 tidak terlalu banyak mengalami peningkatan dan juga penurunan jumlah korban karoushi. Sampai pada tahun 1997 mengalami peningkatan hingga mencapai 10.000 ribu korban. Bila dibandingkan dengan pekerja laki-laki sangat jauh perbedaannya. Pada grafik pekerja laki-laki setiap tahunnya mengalami peningkatan, walaupun pada tahun 1957 sampai pada tahun 1969 mengalami penurunan yang cukup drastis. Jumlah korban karoushi yang mengalami peningkatan yang cukup drastis yaitu dari tahun1973 sampai tahun 1985 hingga mencapai 16.000 ribu jiwa. Kemudian mengalami penurunan lagi dari tahun 1989 sampai 1993 hingga 13.000 ribu jiwa, dan mengalami peningkatan hingga mencapai 23.000 ribu jiwa. Para pekerja laki-laki yang lebih banyak mengalami karoushi daripada pekerja perempuan, karena jam kerja laki-laki lebih banyak daripada jam kerja perempuan, seperti dapat kita lihat di bawah ini:
Statistik resmi ini tidak mencerminkan perbedaan dalam jam kerja antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Pekerja perempuan di Jepang, untuk sebagian besar, bekerja hanya paruh waktu. Diagram berikut ini menunjukkan jumlah kerja pria dan wanita di Jepang berdasarkan jam kerja dan usia.
Gambar 3.3 Grafik Perbedaan Jumlah Jam Kerja Pekerja Laki-laki dan Wanita di Jepang
Sumber: www.mhlw.go.jp
Menurut analisis penulis, perbandingan jam kerja pria dan wanita yang lebih dari 60 jam pada tahun 1993 yaitu pada kelompok usia 15-19 tahun pekerja pria sebesar 10% sedangkan pekerja wanita 3%. Selanjutnya kelompok usia 20-24 tahun kelompok pekerja pria sebesar 12%, dan kelompok pekerja wanita sebesar 3%. Kelompok usia 25-29 tahun untuk pekerja pria sebesar 15% sedangkan pekerja wanita sebesar 18% sedangkan pada pekerja wanita sebesar 3%. Kelompok usia 3034 tahun untuk pekerja pria sebesar 20% sedangkan pekerja wanita sebesar 3%. Kelompok usia 35-39 tahun untuk pekerja pria sebesar 20% sedangkan untuk pekerja wanita sebesar 2%. Pada kelompok usia 40-44 tahun untuk pekerja pria sebesar 19% sedangkan pekerja wanita sebesar 2%. Kelompok usia 45-49 tahun untuk pekerja
pria sebesar 18% sedangkan pekerja wanita sebesar 3%. Kelompok usia 50-54 tahun untuk pekerja pria sebesar 16% dan untuk pekerja wanita sebesar 3%. Kelompok usia 55-59 tahun untuk pekerja pria sebesar 10% dan untuk pekerja wanita sebesar 3%. Kelompok usia 60-64 tahun untu pekerja pria sebesar 9% sedangkan pekerja wanita sebesar 3%. Pada tahun 1998, presentase pekerja pria dan wanita yang bekerja lebih dari 60 jam hampir sama seperti tahun 1993. Jumlah presentase pekerja pria lebih banyak dibandingkan jumlah presentase jam kerja untuk pekerja wanita. pada tahun 2003 presentase untuk pekerja yang bekerja melebihi 60 jam mengalami peningkatan. Sedangkan untuk presentase jam kerja wanita tetap stabil, tidak menglami peningkatan dan penurunan drastis. Pada kelompok usia 30-34 tahun pada tahun 2003 mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu sebesar 23%, mengalami peningkatan sebesar 3%. Sedangkan untuk pekerja wanita jumlah presentase dari tahun ke tahun tetaplah sama, bergerak stabil. Dari data di atas, dapat kita ketahui bahwa presentase jumlah jam kerja pria lebih banyak dibandingkan dengan presentase jumlah jam kerja wanita. Wanita memiliki jam kerja yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pekerja laki-laki. Biasanya perempuan hanya mengambil jam kerja paruh waktu atau part time, karena mereka masih harus mengurus anak dan rumah. Sehingga korban karoushi lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Sedangkan untuk pekerja pria kebanyakan mereka bekerja full time dan memiliki lebih banyak pekerjaan dan beban di dalam perusahaan karena ketika melihat jenis kelamin dan kelompok usia, persentase bekerja berjam-jam meningkat, terutama pada pria, hal ini terjadi karena adanya peningkatan variasi dalam jam kerja dan jenis pekerjaan. Jenis pekerjaan mereka sangat berpengaruh sekali terhadap jam kerja sehingga membuat para pekerja di Jepang harus bekerja melebihi batas jam
kerja normal dan menimbulkan fenomena karoushi, hubungan kekerabatan dan kebersamaan diantara satu pekerja dengan pekerja lainnya juga sangat baik sehingga membuat mereka rela berlama-lama bekerja demi kemajuan perusahaannya. Dari tahun ke tahun jumlah korban karoushi terus mengalami peningkatan. Ini dikarenakan jumlah jam kerja yang terlalu tinggi, dapat kita bandingkan jam kerja Jepang dengan negara-negara lain, dapat dilihat dari tabel berikut ini :
Gambar 3.4 Tabel Frekwensi Jam Kerja di Jepang dengan Negara-Negara Lain Negara Jepang Amerika Uk French Germany
1988 2,152 1,898 1,938 1,657 1,613
1991 2,139 1,847 1,835 1,619 1,499
1992 2,107 1,957 1,911 1,682 1,567
1997 1,942 2,005 1,934 1,677 1,517
1999 1,942 1,991 1,942
Sumber: Kawanishi, 2005:72 Menurut analisis penulis pada tahun 1988 perbedaan jam kerja antara Jepang dengan pekerja Amerika sekitar 200 jam dan 500 jam untuk Jerman dan Perancis. Perbedaan jam kerja selama beberapa jam dalam seminggu tidak terlalu terlihat perbedaannya, perbedaan antara Jepang dan Amerika Serikat sebesar 5,6 jam seminggu, berarti perbedaan tahunan 291 jam per pekerja. Ini berarti bahwa setiap tahun para pekerja Jepang bekerja empat sampai enam minggu lebih dari negaranegara lainnya. Para pekerja di Jepang secara tradisional maupun struktural memang bekerja lebih panjang, dibanding rekannya di Amerika Serikat, Perancis atau Jerman. Para pekerja Jepang selalu didorong untuk meningkatkan pendapatan dengan bekerja
lembur. Hubungan kerja industrialnya juga terpusat pada perusahaan. Selain itu gaya manajemen kepegawaian di Jepang juga amat kaku. Perusahaan tidak memaksa pegawai bekerja lebih panjang, akan tetapi pegawai secara sukarela melakukanya demi prestasi. Perusahaan menjadi lebih penting dari keluarga. Di dalam membuat perbandingan jam kerja internasional sering mengalami kesulitan, karena perbandingan jumlah jam kerja tahunan dan jumlah pegawai yang diteliti tidaklah sama dari satu negara dengan negara lainnya. Walupun pada setiap tahun jam kerja di Jepang mengalami penurunan dan peningkatan secara tidak stabil, namun Jepang tetap menjadi negara dengan jam kerja terlama di antara negaranegara lainnya. Tingginya frekuensi jam kerja di Jepang bisa diketahui dengan mengakumulaiskan ketiga unsur di bawah ini, menurut Murakami (2001:24-25); 1. Frekuensi jam kerja yang sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku atau jam kerja yang telah disepakati melalui kontrak kerja, 2. Frekuensi jam kerja di luar kontrak (lembur: termasuk saabisu zangyou/ unpaid overtime (lembur yang tidak dibayar) ), dan 3. Cuti libur kerja.
Jumlah rata-rata jam lembur di Jepang bisa mencapai 30-40 jam per bulannya. Bahkan pada perusahaan-perusahaan yang persaingannya sangat ketat seperti perusahaan-perusahaan elektronik, jam lembur per bulannya bisa mencapai 100-150 jam. (Higashii,1990:90). Lembur ini dapat mencapai hingga 100 jam per bulan untuk pejabat bank. Menurut survei resmi lain melalui wawancara pada para pekerja oleh Badan Koordinasi Pengelolaan dan Pemerintah, diketahui rata-rata jam kerja per tahun lebih dari 2.400 jam. Dari angka ini kita dapat memperkirakan bahwa jumlah jam rata-rata pekerja lembur adalah sekitar 350 jam per tahun. Apabila seseorang
ingin mempekerjakan karyawannya lebih dari jam kerja yang telah ditentukan oleh undang-undang mengenai lembur, maka perusahaan harus membuat kesepakatan terlebih dahulu dengan sarikat buruh di dalam perusahaan itu, atau setidak-tidaknya perusahaan harus membuat kesepakatan jam kerja dengan orang yang dianggap dapat mewakili lebih dari separuh jumlah pekerja. Lalu kesepakatan ini harus dilaporkan dan disetujui oleh kepala pengawas pelaksanaan Undang-Undang Standar Perburuhan. Peraturan mengenai jam kerja lembur harus disepakati melalui perjanjian sarikat buruh dengan perusahaan, tetapi para pekerja hampir tidak bisa berbuat apa-apa karena adanya pemutusan hubungan kerja dan tersisihkan dari kelompok. Mereka terpaksa atau secara sukarela harus bekerja lebih lama, baik untuk menunjukan prestasi atau meraih pendapatan lebih tinggi. Ironisnya, dalam masa resesi seperti saat ini, para pekerja yang berisiko tinggi terserang Karoushi, harus bekerja lebih keras lagi. Karyawan pabrik atau perusahaan yang terancam bangkrut, seringkali kerja lembur tanpa dibayar, demi menyelamatkan tempat kerjanya.
Di dalam Undang-Undang Standar Perburuhan di Jepang pasal 39, dalam setahun, seorang pekerja bisa mengambil cuti selama 10 hari, tetapi pada perusahaan yang berpegawai di bawah 300 orang, cuti bisa diambil hanya 6 hari per tahunnya. Jumlah cuti ini bertambah satu hari tiap satu tahun, mencapai batas 20 hari. Sesuai dengan Standar perburuhan pelaksanaan sistem libur Sabtu-Minggu, hanya 6,7% yang menerapkan sistem ini. Bila sistem ini benar-benar diterapkan, maka rata-rata jam kerja per minggu berkisar 40 jam. Pada kenyataannya, pekerja yang bekerja di perusahaan elektronik, bekerja dalam 1 minggu selama 51 jam 6 menit, begitu pula dengan para pekerja pabrik mereka bekerja selama enam hari seminggu dan hanya
memperoleh libur pada hari minggu. Mereka biasanya kerja 12-15 jam sehari, maka dalam seminggu mereka terbiasa bekerja 48- 60 jam dan ini belum termasuk lembur. Berarti banyak dari perusahaan-perusahaan yang belum menerapakan sistem ini (Kunio, 2001:46).
Statistik resmi ini, belum menunjukkan tingginya frekuensi jam kerja yang berlaku di Jepang, hal-hal tersebut dikarenakan, statistik ini berasal dari rata-rata perusahaan dengan lebih dari lima karyawan, karena besar dan kecil mengenai kesenjangan antara perusahaan dan pekerja sangat signifikan. Di Jepang banyak perusahaan-perusahaan kecil dengan pekerja kurang dari tiga puluh karyawan. Bahkan orang-orang yang bekerja untuk perusahaan kecil terdiri dari 60% pekerja. Para pekerja ini sering bekerja lebih lama daripada pekerja di perusahaan besar yang memiliki banyak pekerja. Karena banyak perusahaan bisnis kecil tidak dapat beroperasi selama lima hari kerja dalam seminggu, perusahaan-perusahaan kecil harus buka bahkan pada hari libur. Statistik ini dihitung dari angka resmi yang diterima dari berbagai perusahaan.. Karena itu menurut analisis penulis adanya konsep shuudan shugi mempengaruhi tingginya jam kerja di Jepang.
Menurut Madubrangti (2008:18) shuudan shugi terdiri dari tiga macam, yaitu shuudan seikatsu, shuudan shikou, dan shuudan ishiki. Sub bab berikut ini merupakan analisis tiga macam bentuk shuudan shugi sebagai faktor penyebab tingginya jam kerja di Jepang
3.1.1 Analisis Shuudan Seikatsu sebagai faktor penyebab tingginya jam kerja di Jepang yang Menyebabkan Karoushi
Pengertian shuudan seikatsu, menurut Kawamoto dalam Madubrangti (2008:19) menjelaskan yaitu:
Kehidupan berkelompok (shuudan seikatsu) adalah kehidupan sosial yang berlangsung atas dasarnya adanya kerja sama kelompok yang didasari atas kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok yang diikat oleh aturan, sistem pola, dan pedoman tentang kehidupan di dalam bekerja sama di kelompok atau masyarakatnya.
Di dalam melakukan pekerjaan, suatu organisasi atau perusahaan menggunakan sistem pembagian kerja. Hal ini untuk mencapai suatu keberhasilan di dalam suatu organisasi. Organisasi ini tertata rapi dengan membuat suatu program kerja yang dilandasi ittaikan dan solidaritas. Dalam perusahaan Jepang pada umumnya juga terdapat sistem pembagian kerja. Menurut analisis penulis dalam hal ini, contohnya, dalam satu divisi atau departemen terdapat pembagian tugas pada tiap-tiap anggota divisi tersebut salah satu contohnya di perusahaan Toyota anggota tim wajib datang 15-30 menit sebelum shift dimulai, anggota tim bertanggung jawab terhadap kesiapan perkakas dan area kerja, melakukan pengecekan barang, melaksanakan pemeriksaan kondisi peralatan, memastikan kesiapan produksi sebelum shift dimulai. Sedangkan Team leader bertanggung jawab untuk meninjau buku catatan shift, memeriksa permintaan produksi harian, meninjau hasil produksi setiap jam, melakukan audit kualitas setiap jam. Menurut analisis penulis, dalam pembagian kerja mereka memiliki ittaikan yakni mereka akan memiliki semangat gotong royong dalam berusaha menonjolkan
prestasi divisinya dalam perusahaan tersebut. Tujuan sistem pembagian kerja adalah agar memeiliki semangat gotong royong dan memelihara kesejahteraan setiap anggota kelompok, hal ini seperti dikatakan Hamaguchi dalam Madubrangti, (1994:48) ittaikan adalah nilai yang dimiliki seseorang yang didasari semangat bekerja sama bergotong royong yang bertujuan melindungi mempertahankan serta memelihara kesejahteraan setiap anggota kelompok dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup seseorang sebagai harmoni kelompok. Harmoni kelompok terwujud bukan hasil keputusan seseorang yang secara ikhlas ditujukan unutk kepentingan kelompok dan bukan pula yang dibuat kelompok sebagai usaha menyingkirkan pendapat-pendapat individu sebagai anggota kelompok tetapi dari sistem gotong royong. Gotong royong akan menghasilkan solidaritas. Solidaritas yaitu sikap yang ditimbulkan oleh kepercayaan, perasan dan tingkah laku yang sama dalam menunjukkan kebersamaan. Dengan begitu pembagian kerja yang merata sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memberikan kekuatan dan daya tarik yang kuat pada orang yang melakukannya, sehingga keinginan berkompetisi dan bekerja keras pada mereka semakin meningkat. (Madubrangti, 2008 :65-66). Di dalam bekerja pembagian kerja disusun secara merata sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, hal ini merupakan suatu sistem kehidupan berkelompok dalam melakukan berbagai kegiatan yang diperlukan untuk kepentingan dan kesejahteraan kelompoknya masing-masing. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan rasa tanggung jawab kepada para anggota kelompok terhadap pekerjaan yang dilakukan. Dijelaskan juga oleh Kawamoto dalam Madubrangti (2008:19) kehidupan berkelompok (shuudan seikatsu) adalah kehidupan sosial yang berlangsung atas dasar adanya kerja sama kelompok yang didasari atas kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan
kelompok yang diikat oleh aturan, sistem pola dan pedoman tentang kehidupan dalam kelompok atau masyarakatnya. Pada umumnya setiap orang cenderung ingin melakukan suatu kegiatan yang dapat menunjukkan suatu prestasi yang lebih baik dari prestasi sebelumnya. Menurut analisis penulis, untuk itu mereka bekerja keras mengatasi kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya dengan rela bekerja melebihi standar jam kerja.
3.1.2 Analisis Shuudan Ishiki Sebagai Faktor Penyebab Tingginya Jam kerja di Jepang yang Menyebabkan Karoushi
Shuudan ishiki menurut Ikeno (2002:145) adalah sebagai berikut:
Kebanyakan dari masyarakat Jepang, penting bagi mereka untuk berpedoman pada sebuah kelompok dan memberikan prioritasnya secara lebih kepada kelompoknya daripada diri sendiri. Kebanyakan dari masyarakat Jepang menyadari bahwa suatu kebaikan yang sangat penting adalah setia kepada nilai-nilai dari kelompok yang diikutinya.
Mereka lebih cenderung mengikuti apa yang dikatakan dan disepakati oleh kelompoknya. Hal ini dikarenakan loyalitas kepada kelompoknya sehingga menciptakan sebuah rasa solidaritas yang tinggi dan mengedepankan konsep dari kesadaran berkelompok. Sesuai dengan konsep shuudan shugi yaitu di dalam orientasi kelompok, tingkah laku individu dikontrol oleh masyarakatnya melalui kegiatan kelompok. Mereka sudah menyadari hak dan kewajibannya. Mereka merasa adalah kewajibannya untuk bertindak sesuai dengan kemauan kelompok, tidak menonjolkan diri sendiri.
Menurut analisis penulis terdapat konsep shuudan ishiki dalam etos kerja perusahaan di Jepang. Hal ini dapat dilihat pada kerja karyawan berikut ini, selama tiga sampai empat tahun, seorang karyawan akan terus bekerja dalam satu kelompok sebelum dimutasikan kepada kelompok lainnya, dan kelompok kerja tersebut akan menjadi fokus ke dalam kehidupan pekerja itu. Dia akan bekerja bersama dengan anggota kelompok yang lain antara empat puluh lima sampai lima puluh lima jam kerja setiap minggunya, sekaligus menghabiskan masa kehidupan sosialnya dengan anggota-anggota kelompok itu. Di dalam kelompok kerja dalam perusahaan Jepang kehadiran dicatat oleh atasan. Untuk jam lembur yang dilakukan oleh para pekerja tidak semua dicatat oleh atasan mereka dikarenakan agar perusahaan dapat menghemat pengeluaran. Hal ini dilakukan oleh mereka demi kelompok yaitu perusahaan mereka, karena mereka menyadari sebagai anggota dari perusahaan tersebut maka para pekerja tidak menuntut uang lembur dari kerja lembur yang mereka lakukan. Selain itu, bagi pekerja di Jepang, loyalitas kepada kelompok yang dapat menciptakan rasa solidaritas dapat terlihat pada sikap para pekerja yang tidak akan pulang mendahului atasan mereka. Demikian juga hal ini dilakukan oleh rekan kerja di dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu hal tersebut sesuai dengan Fukutake (1994:15). Setiap individu melakukan kegiatan atau aktivitas yang dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Para karyawan melakukan pekerjaan di atas sebagai dorongan-dorongan atas keinginan untuk membangun suatu kehidupan sosial menuju kemajuan dan perkembangan masyarakatnya. Di dalam kelompok kerja, hal yang terpenting yang harus dijaga yaitu keharmonisan. Apabila di dalam hubungan kelompok kerja sudah terjadi ketidakharmonisan maka akan berpengaruh terhadap pekerjaan. Karena masing-masing dari pekerja memiliki hubungan yang saling berkaitan, seperti
dijelaskan oleh Robbins, (1989:71), “two or more individuals, interacting and interdependent, who come together to achieve particular objective.” Artinya kelompok terdiri dari dua orang atau lebih, saling mempengaruhi dan saling tergantung, bersama-sama untuk mencapai sasaran tertentu. Menurut NHK Shin Nihonjin no Jouken (2001:65) perbedaan jam lembur di Jepang sering terjadi, karena adanya saabisu zangyo yaitu lembur yang tidak dibayar. Saabisu zangyo ini terjadi karena pekerja seringkali melaporkan jam lembur yang telah dikerjakannya lebih sedikit daripada yang sebenarnya, dan mereka tidak memperoleh bayaran atas lembur tersebut. Apabila mereka menyebutkan jumlah jam lembur yang sebenarnya maka bonus kerja yang seharusnya diperoleh pada musim panas akan dikurangi. Menghemat biaya lembur dilakukan oleh perusahaan dilakukan agar mampu bersaing dengan kompetitor lainnya. Sesuai dengan NHK Kokusai Kyoku Keizei Project (2001:99) Saabisu zangyou (lembur tidak dibayar) adalah hal yang sangat tidak menguntungkan bagi pekeja, tetapi bagi perusahaan akan sangat menguntungkan. Mereka dituntut untuk bekerja lebih keras melebihi jam kerja normal tetapi tidak memperoleh bayaran atas kerja kerasnya itu. Meskipun peraturan mengenai lembur ada, tetapi karena kesadaran kelompok dan loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan membuat perusahaan bisa menuntut pekerjanya untuk lembur selama berjam-jam lamanya.
3.1.3 Analisis Shuudan Shikou Sebagai Faktor Penyebab Tingginya Jam Kerja di Jepang yang Menyebabkan Karoushi
Shuudan shikou menurut Madubrangti (2008:18) adalah sebagai berikut:
Orang Jepang ketika berinterkasi dengan sesamanya di dalam berbagai kegiatan kelompok menunjukkan sikap keberadaannya di dalam kelompok, mereka berusaha keras menjalankan tugas sebagai anggota dan kewajibannya yang menjadi tanggung jawabnya dalam melakukan kegiatan agar mereka memperoleh hasil yang menguntungkan bagi kelompoknya.
Kehidupan masyarakat Jepang ini semakin berkembang dan berubah menjadi masyarakat
industri
dan
kini
memasuki
masyarakat
teknologi
canggih.
Perkembangan dan perubahan yang terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang dibangun oleh kesatuan konsep kerja kelompok dalam mengatur kehidupan sosialnya sebagai kerangka berpikirnya, yaitu orientasi berdasarkan kepada kelompok. Orientasi kelompok adalah kerangka berpikir orang Jepang terhadap kerja kelompok yang didasari kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok dalam satu kesatuan kehidupan berkelompok atau masyarakat, (Madubrangti, 2008:17). Kegiatan yang dilandasi oleh orientasi kelompok mampu mewujudkan keseimbangan dalam mengatur kehidupan sosial masyarakatnya, karena orang Jepang dalam melakukan kegiatan-kegiatan kelompok menunjukkan sikap konsisten dalam
mempertahankan
dan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakatnya. Hal ini terlihat pada orang Jepang masa kini.
kelompok
atau
Dalam manajemen Toyota (2002:56), manajemen merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan sumber daya suatu organisasi dalam rangka mencapai sasarannya. Tingkatan dasar manajemen dibagi menjadi tiga, yaitu manager puncak (top manager), manager menengah (middle manager), dan manager pertama (first line manager). Berikut ini adalah tanggung jawab atasan sesuai dengan posisinya dalam perusahaan.
1. Manager puncak (Top manager)
Manager puncak bertanggung jawab atas keseluruhan kinerja dan efektivitas perusahaan serta menerapkan kebijakan umum, merumuskan strategi, menyetujui seluruh keputusan dan mewakili perusahaan dalam menghadapi perusahaan lain dan badan-badan pemerintah.
2. Manager menengah (Middle manager)
Manager bertanggung jawab dalam mengimplementasikan strategi, kebijakan, dan keputusan yang dibuat oleh manajer puncak
3. Manager pertama (first line manager)
Mendukung operasi, meningkatkan sistem, memimpin perubahan.
3.2 Analisis Onjoo shugi (恩情主義 )sebagai faktor penyebab tingginya jam kerja di Jepang
Onjooshugi atau keakraban (warm-hearted), merupakan hubungan interaksi antara orang tua dan anak. Hubungan keakraban ini yang melahirkan kewajiban
timbal balik yaitu orang tua wajib memberikan perlindungannya kepada anak dan wajib memberikan kehidupan kepada anak. Onjoo shugi inipun muncul di dalam lingkungan kegiatan usaha orang Jepang sebagai sebuah hubungan yang disebut “oyabun kobun”. Menurut Nakane (2005:38) onjoo shugi adalah hubungan paternalisme yang sangat menekankan kepada hubungan yang bersifat vertikal (tate shakai).
Menurut analisis penulis konsep onjoo shugi terdapat di dalam perusahaan Jepang yang terlibat dalam hubungan antara atasan dan bawahan, salah satu contohnya di dalam perusahaan Toyota, Toyota tidak membeli CEO dan presiden untuk perusahaan mereka. Toyota berhasil, karena pemimpin mereka harus hidup dan mengerti secara mendalam budaya Toyota dari hari ke hari. Karena elemen kritis dari budaya adalah ‘genchi genbutsu’ yang artinya secara mendalam memahami situasi sebenarnya secara detail, para pemimpin harus mendemonstrasikan kemampuan ini dan mengerti bagaimana pekerjaan diselesaikan di tingkat pabrik Toyota. Apabila tidak, akan mengakibatkan pengambilan keputusan dan kepemimpinan di salah satu divisi tidak efektif. Toyota juga mengajarkan kepada pemimpinnya untuk mengajar dan membimbing bawahannya tentang manajemen di Toyota, yang berarti mereka harus dapat memahami dan hidup berdasarkan filosofi yang diajarkan oleh pemimpinnya. Ajaran penting tentang kepemimpinan di Toyota adalah upaya yang dilakukan pemimpin untuk mendukung budaya dari tahun ke tahun yang menciptakan lingkungan untuk organisasi pembelajaran. Di perusahaan Barat, karena sering berganti-ganti pemimpin, tidak seorangpun dapat memimpin cukup lama untuk membangun budaya yang matang agar sesuai dengan visi pribadinya. Setiap kali pemimpin baru masuk ke dalam perusahaan hanya akan menghentak karyawan saja tanpa membangun loyalitas dari para karyawan. Dari contoh di atas,
menunjukkan bahwa pemimpin sangat berperan penting dalam keberhasilan suatu perusahaan. Menurut analisis penulis di dalam hubungan antara oyakata dan kokata terlihat juga di dalam hubungan manajemen antara atasan dan bawahan di tempat kerja.
Sebagai oyakata memiliki tanggung jawab membimbing bawahannya di dalam mengerjakan tugas yang menjadi tanggung jawab bawahannya (kokata) dan juga turut mencari solusi bersama dengan bawahannya apabila bawahannya mengalami kesulitan di dalam melaksanakan tugas. Contohnya di dalam perusahaan Toyota, mengadakan pertemuan harian dengan regunya, menjelaskan masalah yang dihadapi dan mendiskusikannya bersama-sama. Dalam hal ini atasan sebagai oyakata bertugas memimpin rapat dan pertemuan, mendengarkan masukan dari bawahannya, dan juga mendengarkan masukan-masukan dari bawahan pada saat berdiskusi.
Seorang pemimpin juga harus secara konsisten menganalisis pekerjaan di areanya, mencari cara untuk menggabungkan, mengatur ulang, menyederhanakan, tugas agar mengahasilkan pemanfaatan yang lebih baik, dan yang paling penting pemimpin berperan untuk mendorong bawahannya untuk mengembangkan perbaikan berkesinambungan dalam berpikir dan bertindak. Pemimpin harus dapat bekerja dengan anggota tim agar dapat mencapai sasaran perusahaan. Pemimpin juga harus dapat mengajarkan orang lain. Tidak peduli berapa banyaknya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang, tanpa kemampuan mengajar, seorang pemimpin tidak akan dapat menyebarkan pengetahuannya kepada orang lain. Dengan demikian akan tercipta keharmonisan di dalam kelompok. Dengan Onjoo shugi setiap kelompok menginginkan tujuannya dapat tercapai seperti yang dikatakan oleh Sadono (2004:21-22) hubungan kerja atasan dan bawahan di dalam masyarakat
Jepang bersifat interpersonal dan personal sehingga berkembang menjadi suatu hubungan atasan dan bawahan yang bersifat paternalistik. Hubungan interpersonal antara pemimpin dengan pengikut sangat penting di dalam organisasi kerja, setiap organisasi menginginkan tujuannya tercapai.
Menurut analisis penulis tugas atasan sebagai oyakata terhadap kokata juga terdapat di dalam menyelesaikan konflik individu yang ada diantara pekerja agar tidak mengganggu kinerja kelompok pekerja. Pada kasus ini manager sebagai atasan secara langsung menjembatani pemecahan kasus yang ada pada suatu masalah atau dapat memberikan arahan khusus suatu kelompok yang mendesak pekerja agar dapat memecahkan permasalahan yang ada di antara mereka. Selain itu, tugas atasan sebagai oyakata adalah lebih mendekatkan diri terhadap para staff agar terjalin hubungan kekeluargaan yang erat. Hubungan tersebut akan selalu berjalan secara profesional seiring dengan posisi yang ada pada suatu pekerjaan jika pekerja dan manager berada di dalam kantor. Hal ini sesuai dengan Arnold (1995:198) bahwa posisi eksekutif dalam perusahaan Jepang dituntut untuk memiliki standart etika yang lebih tinggi dibanding pekerja lain atau moral yang terkandung dalam eksekutif perusahaan harus lebih ekslusif dibandingkan dengan staff pekerja yang ada pada perusahaan tersebut. Selain itu posisi manager di perusahaan Jepang dituntut untuk memiliki kemampuan lebih dalam menjembatani ide-ide yang berkembang dalam suatu perusahaan.
Adanya onjoo shugi yang terlihat dalam hubungan oyakata kokata dalam perusahaan ini yang menyebabkan motivasi bekerja di Jepang. Hal ini dapat dilihat pada alasan motivasi mereka bekerja pada grafik berikut ini:
Gambar: 3.5 Grafik latar Belakang Motivasi Kerja Pekerja Jepang
Sumber: www.mhlw.go.jp
Dari diagram di atas, jumlah pekerja di Jepang yang senang bekerja dengan koleganya (kelompok) berada di posisi paling atas sebesar 38% melebihi para pekerja yang bekerja untuk memanfaatkan pengetahuan atau kemampuan yaitu sebesar 26%. Jumlah pekerja dengan motivasi kerja karena senang bekerja dengan rekan kerja dalam perusahaan mengalami peningkatan hingga tahun 1995 menjadi 44% kemudian mengalami penurunan sedikit hinga tahun 2003 menjadi 42% Sedangkan para pekerja yang bekerja dengan motivasi untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat terus mengalami peningkatan dari tahun 1988 sampai tahun 2003. Peningkatan yang cukup tinggi terlihat dari tahun 1993 sampai tahun 2003, namun jumlah presentase tersebut jauh lebih rendah daripada motivasi kerja yang disebabkan karena senang bekerja dengan rekan kerja dalam perusahaan. Motivasi kerja yang lain yakni orang yang bekerja karena dapat memperlihatkan kemandiriannya tanpa mengganggu orang lain dari tahun 1973 mengalami peningkatan sedikit hingga tahun 1988 yakni dari 4% hingga menjadi 7% dan mengalami penurunan sedikit hingga tahun 2003 menjadi 6%. Motivasi kerja ini menunjukkan jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan motivasi kerja karena senang bekerja dengan rekan-rekan di dalam perusahaannya. Sedangkan motivasi
bekerja untuk menggunakan keahlian yang dimilikinya lebih tinggi daripada motivasi-motivasi lainnya yaitu karena pekerja ingin memberikan yang terbaik untuk perusahaannya dengan memanfaatkan dan menggunakan keahlian khusus dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh pekerja.
Oleh karena itu menurut analisis penulis, motivasi kerja pekerja umumnya adalah senang bekerja dengan rekan kerja dalam perusahaan dikarenakan terdapatnya konsep ie dalam masyarakat Jepang yang diterapkan dalam etos kerja mereka Bagi karyawan Jepang perusahaan adalah bagian dari keluarganya, yang berarti keluarga menjadi kerangka utama di dalam setiap perusahaan. Masyarakat Jepang cenderung memiliki rasa keterikatan yang kuat dengan kelompoknya. Terutama di tempat kerjanya,
mereka
rela
melakukan
apa saja demi
perusahaannya sampai
mengorbankan keluarga. Motivasi bekerja lebih banyak disebabkan karena rekanrekan kerja perusahaan dibandingkan dengan motivasi lainnya seperti, memanfaatkan pengetahuan atau keterampilan, atau karena dapat memperlihatkan kemandirian tanpa menganggu orang lain, dan yang lainnya. Dalam sistem bekerja sama dalam kelompok pada masyarakat Jepang, tempat kerja merupakan satu kesatuan unit keluarga. Kesatuan unit keluarga sebagai tempat kerja ini dibentuk oleh orang-orang yang sebelumnya tidak memiliki suatu keterampilan atau keahlian dan mereka bekerja sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing di dalam kelompok yang mengikatnya. Tugas dan kewajiban ini dilakukan dengan sikap loyal sebagai pengetahuannya dan pengalaman. Setiap anggota dalam kelompok dengan sendirinya mempunyai keinginan yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan kelompoknya atau menyukseskan kelompoknya, (Hamaguchi, 1994:19).
Onjoo shugi ada di dalam perusahaan Jepang karena bagi pekerja Jepang perusahaan adalah keluarga, seperti yang dikatakan Yamamoto (2001:18) mengatakan perusahaan adalah komunitas seorang pekerja, sedangkan rumah hanyalah sebagai tempat dimana ia tidur. Perusahaan tidak dianggap semata-mata sebagai satu organisasi dimana seorang terikat dengannya melalui kontrak, tetapi dianggap sebagai tempat dimana seorang pekerja merupakan bagian darinya bahkan dianggap sebagai miliknya. Karena itu terdapat konsep ie di dalam perusahaan yang berasas keluarga sebagai kerangka usaha di dalam setiap perusahaan. Melalui unit kekerabatan ie yang mengedepankan kepentingan kelompok akan mucul onjoo shugi. Hal inilah yang menyebabkan mereka memiliki jam kerja yang tinggi bahkan paling tinggi bila dibandingkan dengan jam kerja di negara-negara lain.
Gambar 3.6 Grafik Jumlah Jam Kerja dengan Jenis Pekerjaan
Sumber : http://www2.ttcn.ne.jp/~honkawa/3125.html
Dari grafik diatas terdapat persentase berbagai macam jenis pekerjaan dan lamanya jam bekerja, pada tahun 1995 jenis pekerjaan 有職者計(yuushokusyakei) (perdagangan) persentase jam kerjanya mencapai 17 % dan meningkat setiap tahunnya pada tahun 2000 sebesar 5 % menjadi 21 % dan pada tahun 2005 juga mengalami peningkatan sebesar 1 % menjdai 22 %. Untuk jenis pekerjaan 農林漁 (noringyou) 業 者 (gyousya) (pertanian dan perikanan) apabila dilihat dengan jam kerja lainnya, jam kerja jenis pekerjaan ini memiliki jam kerja yang lebih sedikit. Pada tahun 1995 sebesar 8 % dan pada tahun 2000 mengalami penurunan 1% menjadi 7%. Lalu pada tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar 4% menjadi 11%. Jenis pekerjaan 自営業者 (jieigyousya) (wiraswasta) terus mengalami peningkatan setiap tahunnya sebesar 1% tiap tahunnya. Kemudian jenis pekerjaan 販 売 職 (hanbaishoku) (penjualan) dan サービス職 (saabisu shoku) (service/layanan) juga mengalami peningkatan setiap tahunnya dari tahun 1995 sampai tahun 2000 mengalami peningkatan sebesar 1% menjadi sebesar 18% dan tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar 2 % menjadi 20%. Jenis pekerjaan ブルーカラー (blue colar) dan ホワイトカラー(white colar) juga mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga mencapai 26%. Jenis pekerjaan di bidang 専門職 (senmonshoku) profesi dan 自 由 業 (jyuugyo) profesi liberal mengalami peningkatan pada tahun 2000 dan mengalami purunan sebesar 2% pada tahun 2005. Pekerjaan yang paling tinggi jam kerjanya yaitu pada jenis pekerjaan 経営者 (keieisya) (management) dan 管理職 (kanrishoku) (management) hingga mencapai 35% pada tahun 2005. Hal ini membuktikan bahwa jam kerja di bidang management lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan lainnya. Karena bekerja di bidang
management memiliki jam kerja yang sangat lama, maka akan menyebabkan stres, dapat kita lihat pada grafik 3.1 (lihat halaman 26) yang menunjukkan jenis pekerjaan dengan tingkat stress paling tinggi, hal ini membuktikan bahwa adanya hubungan antara jam kerja dengan tingkat stress. Semakin lama bekerja, maka seseorang akan cenderung mengalami tingkat stres yang tinggi, apalagi dengan tuntutan pekerjaan yang begitu banyak. Pekerjaan sebagai seorang management termasuk manager di dalamnya tidaklah mudah, mereka bekerja tidak hanya untuk tanggung jawab kepada pekerjaannya saja, tetapi bertanggung jawab terhadap bawahannya. Menurut analisis penulis dalam hal ini adanya onjoo shugi mempengaruhi tingginya jam kerjadi Jepang Pekerjaan menjadi seorang manajer tidaklah mudah, apalagi ketika seorang manger harus membuat sebuah keputusan yang mempengaruhi produksi perusahaan dan masa depan pekerja. Terlebih karena perusahaan dianggap sebagai ie, dimana manager dan karyawan di perusahaan Jepang memiliki hunbungan yang sangat kuat sehingga lebih mementingkan kepentingan kelompok dalam hal kepentingan perusahaan akan mereka dahulukan daripada kepentingan pribadi.