ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JAM KERJA PEKERJA ANAK DI KOTA PALEMBANG Oleh : Romi Febriana Email :
[email protected]
ABSTRACT The Title of a research is the work time of the child’s labor in Kecamatan Sukarami Kelurahan Talang Jambe Palembang. This research consist of two variabel, there are free variabel and bound variabel. Free variabel is the work time of the child’s labor, whereas bound variable consist gender, school participation, income of child, earning and parental education. The data of a reseach use primer data that use structured questionary. The researcher use cross tabulation analysis methods and regression to know the relation of the variabel one other variable. The sample of this research consist of a hundred of child’s labor in Kecamatan Sukarami Kelurahan Talang Jambe Palembang. Key words: Child Labor, Work Time, Gender, School Participation, Income of Child labor, Income of Parent, Parent Education. PENDAHULUAN Pekerja anak merupakan isu global yang dihubungkan dengan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, ketidakseimbangan gender dan risiko kesehatan (Roggerro, 2007:271). UNICEF menekankan permasalahan pekerja anak bukan pada bentuk kegiatan anak, melainkan konsekuensi dari kegiatan tersebut. Pekerjaan anak yang berisiko akan menyebabkan penurunan kesehatan dan penurunan waktu yang seharusnya digunakan untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah (Anonymous, 2007:20). Anak adalah generasi yang akan menjadi penerus bangsa.
Mereka harus
dipersiapkan dan diarahkan sejak dini, supaya dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sehat jasmani dan rohani, maju, mandiri, dan sejahtera. Dengan demikian, mereka akan menjadi sumber daya yang berkualitas dan dapat menghadapi tantangan di masa depan. Setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang.
Orangtua dilarang menelantarkan
anaknya, sebagimana diatur oleh Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Orang tua dan perusahaan yang mempekerjakan anak di bawah umur dapat dikenakan sanksi hukuman kurungan yang cukup berat. Walaupun demikian, masih banyak anak-anak yang tidak dapat menikmati hak tumbuh dan berkembang karena berbagai faktor yang berkaitan dengan keterbatasan kemampuan ekonomi keluarga atau kemiskinan. Keluarga miskin, terpaksa mengerahkan 1
sumber daya anak untuk secara kolektif memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi demikian mendorong anak-anak yang belum mencapai usia bekerja terpaksa harus bekerja. Masalah pekerja anak merupakan isu yang penting,
karena masalah ini akan mempengaruhi
perkembangan modal manusia dari anak-anak tersebut; baik, karena mereka putus sekolah, atau menyebabkan proses belajar di sekolah tidak efektif. Bahkan, di usia mereka yang semestinya dipergunakan untuk menuntut ilmu dan menambah keterampilan atau, untuk bermain; justru digunakan untuk bekerja. Di Indonesia, menurut Sarjono (2004:1) berdasarkan data Depnakertrans, jumlah pekerja anak pada tahun 1995 mencapai 1,644 juta jiwa, meningkat menjadi 1,768 juta jiwa pada tahun 1996. Jumlah tersebut terus meningkat menjadi 1.802 juta jiwa pada tahun 1997. Bahkan pada tahun 1998 sudah mencapai 2,183 juta jiwa. Data dari depdiknas, menunjukkan bahwa selama periode 1995-1999 tercatat 11,7 juta anak usia sekolah (7-15) mengalami putus sekolah dan diduga kemungkinan besar mereka ”bekerja”. Pekerja anak saat ini bekerja dengan berbagai macam alasan. Salah satunya, karena mereka ingin membantu orang tua. Penghasilan yang mereka dapatkan untuk menopang keadaan ekonomi keluarga, dan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, seperti biaya sekolah dengan tidak menggantungkan nasib mereka kepada orang tua.
Sebagian besar
orang tua beranggapan bahwa anak yang bekerja atau memberikan pekerjaan kepada anak merupakan bagian dari proses belajar untuk menghargai kerja dan belajar bertanggung jawab. Selain dapat melatih dan memperkenalkan anak pada dunia kerja, para orang tua juga berharap dapat membantu mengurangi beban kerja keluarga. Dengan berkembangnya waktu, fenomena anak yang bekerja juga berkaitan erat dengan alasan ekonomi keluarga (kemiskinan) serta kesempatan untuk memperoleh dan melanjutkan pendidikan (Nachrowi, 1999:1). Orang tua yang mempunyai kesempatan kerja terbatas atau tidak memiliki pekerjaan (pengangguran) sehingga tidak mampu lagi untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga, memaksa anak untuk ikut bekerja. Di lain pihak, biaya pendidikan yang relatif tinggi dan tidak terjangkau ikut memperkecil kesempatan anak untuk mengikuti pendidikan. Pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia bagi bangsa dan sama pentingnya dengan investasi modal fisik. Mutu Sumber Daya Manusia akan bertambah baik, bila dilakukan melalui perubahan input tenaga kerja itu sendiri. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki tenaga kerja, akan menghasilkan output yang lebih baik pula (Badan Pusat Statistik, 2005:12). Perkembangan pekerja anak di Sumatera Selatan dapat kita lihat pada tabel di bawah ini: 2
Tabel 1 Jumlah Pekerja Anak Di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 1998 – 2005 Tahun Umur 10 – 14 tahun 1998 68.797 1999 66.449 2000 48.206 2001 48.546 2002 37.539 2003 39.108 2004 40.243 2005 38.698 Sumber: BPS Data Susenas Propinsi Sumatera Selatan 2005
Tabel 1 diatas menjelaskan bahwa walaupun jumlah pekerja anak cenderung mengalami penurunan; Namun, jumlah pekerja anak tetap memprihatinkan. Seharusnya mereka berada dibangku sekolah; tetapi karena terpaksa, mereka tidak dapat bersekolah. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan, terutama kondisi ekonomi keluarga yang tidak mampu, menyebabkan mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau setidaknya meringankan beban orang tua. Pendidikan merupakan salah satu hak dasar seorang anak. Di Indonesia tidak sedikit anak yang terabaikan pendidikannya akibat kondisi yang tidak menguntungkan. Anak tidak pernah mengecap pendidikan sama sekali, besar kemungkinan disebabkan oleh minimnya fasilitas. Sedang mereka yang putus sekolah, selain karena soal biaya, juga diakibatkan karena faktor lain.
Salah satunya adalah cepatnya terjun ke dunia kerja. Penelitian yang
dilakukan White dan Tjandraningsih (1998:5) menemukan bahwa gejala putus sekolah sering sekali terjadi karena indikator lainnya untuk melihat partisipasi anak dalam kegiatan ekonomi adalah keterlibatan pekerja anak dalam pendidikan (BPS, 2001:10).
Selain itu, semakin
tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah orang tersebut dalam menerima dan menyerap teknologi dan informasi. Pendidikan yang rendah dapat berpengaruh buruk bagi kemampuan berfikir seorang anak. Kondisi demikian tentunya tidak menguntungkan anak, terutama dalam menghadapi persaingan ketika menjadi tenaga kerja dewasa. Program Wajib Relajar telah dicanangkan pemerintah sekian lama, akan tetapi, masih banyak terdapat anak yang tidak mempunyai kesempatan untuk mengecap pendidikan. Apabila dilihat dari jenis kelamin, pekerja anak laki-laki lebih banyak apabila dibandingkan dengan pekerja anak perempuan. Dimana pekerja anak laki-laki lebih dominan 3
dibandingkan dengan pekerja anak perempuan. Bila dilihat dari jam kerja pekerja anak secara umum dapat dilihat dari tabel dibawah ini: Tabel 2 Persentase Pekerja Anak Menurut Jam Kerja Dan Jenis Kelamin di Propinsi Sumatera Selatan Tahun 2005 ( per minggu) Jenis Kelamin Jam Kerja / minggu Laki-Laki Perempuan < 9 jam 4,13 4,20 10 – 24 jam 41,56 40,82 25 – 34 jam 21,41 33,75 35 – 44 jam 9,98 12,79 45 – 59 jam 10,86 8,44 > 60 jam 1,70 Total (%) 100 100 N 20,303 8,805 Sumber : BPS Data Susenas Propinsi Sumatera Selatan 2005
Dari tabel 2 diketahui persentase pekerja anak yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai jam kerja terbanyak adalah 10 – 24 jam (41,56 persen) dan terendah adalah > 60 jam (1,70 persen). Dengan melihat jumlah jam kerja pada pekerja anak, dapat diungkapkan fenomena setengah pengangguran pada kelompok pekerja anak tersebut. Faktor latar belakang keluarga juga mempengaruhi anak untuk masuk dalam pasar kerja. Faktor tersebut antara lain adalah pendapatan keluarga (Gustman et.al, 1999:38) dan pendidikan orang tua . Pendapatan keluarga merupakan sumber utama penghasilan kepala keluarga. Oleh karena itu, pendapatan keluarga harus cukup untuk memenuhi kebutuhan kepala keluarga dan keluarganya dengan wajar. Pendidikan orang tua mempunyai pengaruh bagi pekerja anak untuk bekerja. Hango (2007:29) mengemukakan bahwa orang tua terutama kepala keluarga yang mempunyai pendidikan yang rendah cenderung mempengaruhi anak untuk keluar dari sekolah dan bekerja. Manurung (1998:23) mengemukakan bahwa semakin tinggi pendidikan kepala keluarga maka akan semakin kecil resiko anak untuk terjun ke dunia kerja. Pendidikan orangtua sangat penting artinya dalam mencegah anak-anak untuk terjun ke dunia kerja. Menurut Daliyo et.al (1999:4) anak yang putus sekolah dan bekerja kebanyakan berasal dari keluarga dimana pendidikan kepala keluarga lebih rendah. Faktor pendidikan orang tua berperan besar dalam memutuskan perlunya anak bekerja atau tidak. Sedangkan menurut White dan Tjandraningsih (1999:12), menjelaskan bahwa untuk kesulitan ekonomi keluarga yang berpenghasilan rendah, biasanya dengan latar belakang pendidikan yang rendah dari 4
kepala keluarga dengan status pekerjaan seperti buruh, karyawan pabrik, pedagang kecil, dan pekerja bangunan, akan membawa anaknya untuk ikut serta bekerja. Berdasarkan rekapitulasi dari Badan Pusat Statistik tahun 2005 data pekerja anak yang berumur 10 - 14 tahun adalah sebagai berikut: Tabel 3
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Jumlah Pekerja Anak Usia 10 – 14 Tahun Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan Di Kota Palembang Tahun 2005 Jenis Kelamin Kecamatan Laki - Laki Perempuan Ilir Barat I 723 172 Seberang Ulu 1 1.206 307 Seberang Ulu 2 609 101 Ilir Barat 1 587 112 Ilir Timur 1 412 94 Ilir Timur 2 589 144 Sako 229 105 Sukarami 1.477 314 Gandus 632 223 Kertapati 957 209 Plaju 391 82 Bukit Kecil 278 133 Kemuning 160 123 Kalidoni 201 103
Sumber: BPS, Data SUSENAS Prop. Sumatera Selatan Tahun 2005
TINJAUAN PUSTAKA Teori New Home Economics menempatkan rumah tangga sebagai salah satu kesatuan ekonomi yang identik dengan perusahaan, maka adanya perbedaan-perbedaan tersebut dikarenakan oleh adanya perbedaan household production function dan harga tinggi di tiaptiap individu yang memiliki produktivitas tinggi (Sugiharso, 1998:14). Teori New Home Economic berasumsi bahwa tiap-tiap individu bertindak sebagai produsen dan juga sebagai konsumennya.
Selain itu, barang-barang seperti kursi, meja,
lemari, dan beberapa barang lain yang dijual di pasar bukan merupakan barang jadi, tetapi masih membutuhkan pengolahan dengan berbagai pengolahan sehingga kursi, meja, lemari tersebut menjadi barang jadi atau barang akhir dan hal tersebut dikenal dengan “Household commodity”
5
Deskripsi New Home Economics Di dalam teori new home economics dimana rumah tangga berperan sebagai produsen berarti rumah tangga mempergunakan bermacam-macam input untuk memproduksi komoditikomoditi yang memberikan kepuasan atau utility bagi rumah tangga. Untuk mempermudah kita menganalisa, maka kita membagi input tersebut menjadi dua bagian yaitu waktu senggang (leisure) dan konsumsi barang (market goods). Penentuan alokasi waktu masingmasing anggota rumah tangga didasarkan pada utility maksimum rumah tangga yang secara geometris terjadi pada kurva anggaran bersinggungan dengan kurva utility. Ini berarti bahwa jumlah pendapatan tertentu keluarga mencapai kepuasan yang maksimum dari konsumsi barang dan waktu. Tingkat utility seseorang akan bertambah apabila 1) barang konsumsi bertambah sedang waktu senggap tetap; 2) waktu senggang bertambah, jumlah barang yang dikonsumsi tidak berubah; atau 3) jumlah barang yang dikonsumsi dan waktu senggang samasama bertambah. Hal ini dapat terlihat dari Indifferent curve U1, U2, U3 pada gambar 1 berikut ini: Barang Konsumsi
D
E1 E3
C
U3
B
E
E2
U2 U1
0
Waktu senggang
A Indifference Curves
C
F
Gambar 1. Indifferent curve U1 disebut Indifference Curve karena semua titik pada kurva U1 menunjukkan tingkat utility yang sama. Tingkat utility U2 lebih tinggi daripada U1 dan tingkat utility U3 lebih tinggi daripada U2 dan U1. Utility (dari titik E) dapat ditingkatkan dengan menambah barang konsumsi sebesar BD = EE1 menjadi E1 pada U2 atau dengan menambah waktu senggang sebesar AC = EE2 (menjadi E2 pada U2). Tingkat utility U2 dapat diperoleh dengan konsumsi barang sejumlah OD dan menikmati waktu senggang sebanyak OA (di titik E1) atau dengan mengkonsumsi barang sebanyak OB dan menikmati waktu senggang sebanyak OC (posisi E2). Untuk berpindah dari posisi E2 ke E1 (dalam tingkat utility yang sama) keluarga harus 6
mengorbankan waktu senggang AC guna memperoleh pertambahan barang konsumsi dengan perubahan waktu senggang.
Perbandingan antara perubahan barang konsumsi dengan
perubahan waktu senggang (untuk tingkat utility yang sama) dinamakan Marginal Rate of Substitution (Borjas, 2000:13). Aplikasi New Home Economics Konsep New Home Economics dianggap memiliki kerangka analisa yang lebih luas dalam membahas berbagai prilaku rumah tangga dalam melakukan aktivitas ekonominya. Hal ini terutama dalam melihat hubungan antara penawaran kerja dengan keputusan rumah tangga dalam aktifitas ekonominya. Penerapan yang umum berkaitan dengan hal di atas adalah menganalisis partisipasi angkatan kerja.
Sebagai contoh, akibat dari kenaikan
pendapatan dari orang tua terhadap tingkat partisipasi anak dalam membantu perekonomian keluarganya. Dengan asumsi ceteris paribus, kenaikan pendapatan dari orang tua berarti kenaikan pendapatan keluarga, tetapi kenaikan tersebut tidak berpengaruh terhadap nilai waktu dari anak. Efek dari kenaikan ini adalah kenaikan jumlah komoditi yang normal. Karena komoditi diproduksi dengan menggunakan input time dan goods, maka hal ini akan mengurangi jumlah waktu yang dijual ke pasar oleh beberapa anggota keluarga. Dari sini di simpulkan bahwa kenaikan gaji kepala rumah tangga dapat menurunkan tingkat partisipasi angkatan kerja anak Tingkat partisipasi angkatan kerja anak yang dicurahkan oleh setiap individu selalu tidak sama. Seseorang mempunyai waktu yang dipergunakan dalam berbagai kegiatan yang tidak membutuhkan waktu. Apabila seorang memiliki suatu kegiatan berarti, ia telah dengan sadar rela mengkonsumsi waktu yang kita pilih dengan segala resiko yang akan ditimbulkannya.
Resiko tersebut adalah sejumlah pekerjaan dan hasilnya yang terpaksa
hilang akibat seseorang memilih suatu kegiatan lain. Diasumsikan bahwa ada tiga jenis pilihan kegiatan dalam hubungannya dengan pola alokasi penggunaan waktu.
Pertama,
seseorang membutuhkan untuk keperluan-keperluan pokok seperti makan, mandi, tidur dan semua waktu yang diperlukan untuk berbagai aktifitas yang tidak termasuk dalam labour force participation, dan pola ini disebut non market consumption activity. Kedua, seseorang membutuhkan waktu yang dipakai untuk masuk ke dalam lapangan kerja (labour force participation). Ketiga, individu memerlukan waktu untuk investasi dalam modal manusia (human capital). Dalam hal ini individu berhadapan dengan satu pilihan yaitu apakah akan masuk pasar kerja atau tidak, berarti seseorang berpartisipasi di pasar kerja, dengan mengorbankan sejumlah waktunya untuk memperoleh sejumlah pendapatan. Tetapi dengan 7
pilihan tersebut maka individu telah mengorbankan kesempatan untuk memasuki bangku sekolah. Karena, apabila individu tersebut lebih memilih bangku sekolah maka akumulasi human capital menjadi lebih besar. Teori human capital mempunyai asumsi dasar, bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan pendidikan. Akumulasi dari human capital ini pada akhirnya akan meningkatkan upah atau penghasilan mereka (Ehrenberg, et al, 2003:5)
Teori Tentang Pekerja Anak Didalam konteks sosial ekonomi terutama dari sisi ketenagakerjaan setidaknya ada dua teori yang mencoba menjelaskan mengapa anak-anak bekerja, dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Tjandraningsih (1998:3) menjelaskan adanya dua pendekatan teori dalam mempekerjakan anak; yaitu, 1) Teori dari sisi permintaan menyatakan bahwa mempekerjakan anak-anak dan perempuan dewasa dianggap sebagai pencari nafkah dan melipatkangandakan keuntungan. 2) Teori dari sisi penawaran, menjelaskan bahwa kemiskinan merupakan sebab utama yang mendorong anak-anak bekerja untuk menjamin kelangsngan hidup dari keluarganya. Abdalla (1998) menjelaskan bahwa keberadaan pekerja anak dapat dipegaruhi oleh kekuatan pasar dan perluasan pekerja anak. Dilihat dari sisi penawaran maka adanya pekerja anak dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain yaitu: Pertama, pendapatan keluarga dan pendapatan pekerja dewasa. Ini artinya pekerja anak datang dari keluarga miskin yang hanya bergantung pada pendapatan rumah tangga, pendapatan rumah tangga tidak menentu, kepala rumah tangga (keluarga) tidak bekerja, keluarga butuh uang, tidak sanggup membayar uang sekolah, butuh pendapatan anak-anak untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Kedua, sikap dan kesanggupan di sekolah. Adanya pekerja anak dapat disebabkan rasa bosan untuk belajar, sekolahnya jauh dari rumah, biaya sekolah tinggi, butuh uang untuk biaya sekolah, orang tua tidak ada lagi. Ketiga, tradisi atau budaya. Ini berarti bahwa anak bekerja untuk melatih disiplin dan umumnya bekerja disektor informal, seperti bertani, berkebun, dan lainlain.
Pengertian Pekerja Anak Menurut Tjandraningsih (1998:2) pekerja anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orangtuanya atau untuk orang lain, dalam jumlah waktu tertentu dengan menerima imbalan maupun tidak. Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (2003:3), pekerja anak adalah mereka yang berusia 10 – 14 tahun dan yang bekerja paling sedikit 1 jam 8
secara terus menerus dalam seminggu yang lalu dan bekerja untuk meningkatkan penghasilan keluarga dan rumah tangga. Menurut Haryadi et. Al (dalam Mulyadi, 2003:111) ada tiga bentuk keterlibatan kerja anak-anak. Pertama, anak-anak yang bekerja membantu orang tua. Kedua, anak-anak yang bekerja berstatus magang, dimana magang merupakan salah satu cara untuk dapat menguasai keterampilan yang dibutuhkan. Secara formal, magang dapat dilakukan dengan cara belajar pada orang tua sendiri. Ketiga, anak-anak yang bekerja sebagai buruh/karyawan. Dimana pekerja anak terikat pada hubungan kerja, antara buruh dan majikan, serta menerima upah dalam bentuk uang. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 membedakan pekerja remaja dan pekerja anak. Di mana pekerja remaja adalah mereka yang berada dalam usia 14 – 18 tahun, sedangkan pekerja anak adalah mereka yang berusia di bawah 14 tahun. Undang -undang ini melarang anak untuk bekerja dan menetapkan pula bahwa anak-anak yang bekerja di pekerjaan berat dan berbahaya minimum harus berusia 18 tahun. Pengertian Anak, menurut Undang–undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Batasan ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha
kesejahteraan sosial.dimana kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak mencapai pada umur tersebut. Jika dilihat dari status pekerjaannya menurut Nahrowi et.al (1999:10) maka status pekerjaan utama anak dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu formal dan informal. Mereka yang berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain dan pekerja keluarga dimasukkan ke dalam sektor informal, sedangkan mereka yang bekerja sebagai buruh/karyawan dimasukkan ke dalam sektor formal. Asra (1994:10) dalam penelitiannya menguraikan bahwa pendidikan orangtua berperan besar dalam insiden anak bekerja, terlebih jika dikombinasikan dengan jenis kelamin kepala rumah tangga dan status perkawinan mereka (single atau menikah). Penelitian ini juga menemukan bahwa rumah tangga yang dikepalai oleh wanita lebih banyak pekerja anak. Hal ini dapat dimengerti karena wanita sebagai kepala rumah tangga berada dalam posisi yang kurang beruntung karena biasanya kepala rumah tangga perempuan tidak biasa mencari kerja dan menghadapi dunia kerja yang mendiskriminasi tenaga perempuan. Dalam penelitian ini anak-anak yang dikepalai oleh wanita cenderung meninggalkan bangku sekolah untuk mencari nafkah bagi keluarganya.
9
Daliyo et.al (1999:21) meneliti tentang variabel yang menyebabkan anak terpaksa bekerja membantu orang tuanya bekerja, dimana anak-anak di pedesaan cenderung bekerja di sektor pertanian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka yang bekerja di sektor
pertanian ini, bukan saja anak yang putus sekolah, melainkan juga anak yang masih berada di bangku sekolah. Penelitian dilakukan di daerah Lombok, dan Kupang. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa total persentase anak-anak yang bekerja di sektor pertanian dari kalangan pelajar sebesar 56.0 persen, sedangkan dari anak putus sekolah sekitar 50.3 persen dari seluruh tenaga kerja di sektor ini.
Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak yang
bersekolah juga mampu bekerja membantu meringankan beban orang tua mereka dengan tidak berhenti bersekolah. Pada penelitian Indri (2007: 72) menggunakan variabel bebas seperti Jenis Kelamin, Status Pekerjaan, Jenis Pekerjaan, Partisipasi Sekolah, dan Penghasilan, sedangkan untuk variabel terikatnya yaitu jam kerja pekerja anak. Dalam penelitian ini menggunakan alat analisis tabulasi silang.
Dimana dari hasil penelitian ini faktor penghasilan anak sangat
berpengaruh terhadap jam kerja pekerja anak, dimana tingginya jam kerja anak tidak diimbangi dengan besarnya upah. Selain dari itu, tingginya jam kerja pekerja anak pada umumnya disebabkan oleh tekanan ekonomi keluarga (kemiskinan). Kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan dalam skema berikut: Jenis Kelamin Anak
Partisipasi Sekolah Anak
Jam Kerja Pekerja Penghasilan Anak
Anak
Pendidikan Kepala Keluarga Pendapatan Keluarga Gambar 2. Hubungan antara pekerja anak dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kota Palembang dengan objek yang akan diteliti adalah rumah tangga yang mempunyai anak berumur 10 – 14 tahun yang bekerja di Kecamatan Sukarami yang berada di Kelurahan Talang Jambe. Ruang lingkup penelitian ini hanya 10
terbatas pada jenis kelamin, partisipasi sekolah, dan penghasilan anak, serta pendapatan dan pendidikan kepala keluarga. Metode Analisis Data Analisa deskriptif dengan menggunakan Tabulasi Silang untuk melihat kecenderungan hubungan antara variabel jam kerja pekerja Anak dengan masing-masing variabel independen. Selanjutnya secara inferensial dilakukan analisa regresi berganda untuk melihat sebesar besar pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat dengan memperhatikan variabel lainnya. Y = f ( X1, X2, X3, X4, X5 ) Dimana: Variabel Terikat : Y = Jam kerja pekerja anak Variabel Bebas : X1 = Jenis Kelamin X2 = Partisipasi Sekolah X3 = Penghasilan Pekerja Anak X4 = Pendapatan Kepala Keluarga X5 = Pendidikan Kepala Keluarga HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Karakteristik Responden 1.
Umur Pekerja Anak Faktor umur merupakan salah satu faktor demografi yang dapat mempengaruhi
produktivias seseorang untuk menghasilkan suatu barang.
Pada deskripsi ini saya ingin
melihat bagaimana umur mempengaruhi lamanya anak bekerja untuk memperoleh penghasilan. Lama anak bekerja disini diukur dengan jumlah jam kerja pekerja anak per minggu dan untuk melihat bagaimana hubungan antara jam kerja pekerja anak dengan umur, yang dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4 Persentase Umur Pekerja Anak Total Umur No (tahun) F % 1 10 9 10 2 11 8 19 3 12 14 22 4 13 33 21 5 14 36 27 Total 100 100 11
Sumber: Data Lapangan diolah 2.
Jenjang Pendidikan Pekerja Anak Jenjang pendidikan pekerja anak merupakan salah satu hak dasar seorang anak. Di
kelurahan talang jambe tidak sedikit anak yang terabaikan pendidikannya akibat kondisi yang tidak menguntungkan. Jenjang Pekerja Anak di Kelurahan Talang Jambe dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 5 Persentase Jenjang Pendidikan Pekerja Anak Total Jenjang Pendidikan F % SD 15 15 M. Ibtidaiyah 11 11 SMP 24 24 M. Tsanawiyah 6 6 Tidak/Pernah Sekolah 44 44 Total 100 100 3.
Latar Belakang Kepala Keluarga Latar belakang kepala keluarga merupakan salah satu penyebab anak menjadi pekerja
anak.
Kepala keluarga yang mempunyai kesempatan kerja terbatas atau tidak memiliki
pekerjaan (pengangguran) sehingga tidak mampu lagi untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga, memaksa anak untuk ikut bekerja. Latar belakang kepala keluarga ini terdiri dari : 4.
Pekerjaan Kepala Keluarga Bekerja atau tidaknya kepala keluarga, merupakan salah satu alasan kenapa anak
bekerja. Jenis Pekerjaan kepala keluarga adalah hal yang dianggap penting, dimana pekerjaan kepala keluarga dapat mempengaruhi produktivias seseorang untuk menghasilkan suatu barang. Pekerjaan sangatlah penting bagi kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Tabel 6 Persentase Pekerjaan Kepala Keluarga Total Pekerjaan Kepala Keluarga F % Buruh 43 43 Pedagang 13 13 Petani 23 23 Lain-lain 21 21 Total 100 100 12
Sumber : Data lapangan diolah, 2009
5.
Pendapatan Kepala Keluarga Pendapatan kepala keluarga adalah salah satu variabel yang mempengaruhi masuknya
seorang anak ke dalam pasar kerja dalam usia yang lebih muda. Semakin sedikit pendapatan kepala keluarga maka semakin cenderung anak mereka untuk bekerja dibandingkan dengan pendapatan kepala keluarga yang tinggi. Hasil dari penelitian terhadap pendapatan kepala keluarga dapat kita lihat pada tabel berikut ini: Tabel 7 Persentase Pendapatan Kepala Keluarga Pendapatan Kepala Keluarga Rp. 100.000 Rp. 101.000 – Rp. 249.999 Rp. 250.000 – Rp. 349.999 Rp. 350.000 – Rp. 449.999 500.000 Total
F
%
47 36 10 4 3 100
11 17 24 27 11 100
Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian, 2009
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa dari total 100 sampel pekerja anak yang mempunyai kepala keluarga, jumlah pendapatan yang diterima oleh kepala keluarga setiap minggunya, lebih banyak adalah Rp. 101.000 – Rp. 249.999, dengan penghasilan tersebut menunjukkan bahwa banyaknya jumlah jam kerja pekerja anak cenderung muncul karena faktor kesulitan ekonomi keluarga. Hal ini adalah suatu penyebab kemungkinan terhadap keikutsertaan pekerja anak dalam kegiatan ekonomi. Sedangkan bagi pekerja anak yang upah kepala keluarganya tinggi, maka keterlibatannya dalam ekonomi dapat disebabkan oleh faktor lain, misalnya faktor budaya dan faktor persoalan rumah tangga yang lainnya disamping masalah ekonomi.
6.
Pendidikan Kepala Keluarga Latar belakang pendidikan Kepala Keluarga dalah termasuk dalam salah satu faktor
yang mengakibatkan anak bekerja. Pendidikanlah yang diduga membentuk pandangan kepala rumah tangga terhadap anak-anaknya yang bekerja, termasuk dalam melakukan pemilihan untuk mengirim anak-anak ke pasar tenaga kerja atau mendapatkan pendidikan formal di sekolah.
Kepala Keluarga dengan latar belakang pendidikan yang rendah cenderung 13
menganggap pendidikan dengan nilai yang rendah. Latar belakang pendidikan yang rendah ini dapat mengakibatkan persoalan ekonomi yang pada akhirnya membutuhkan keterlibatan anak dalam kegiatan ekonomi rumah tangga. Hal ini dapat kita lihat pada tabel di bawah ini: Tabel 8 Persentase Pendidikan Kepala Keluarga Total Pendidikan Kepala Keluarga F % Tidak Tamat SD 37 37 SD / M. Ibtidaiyah 41 5 SMP / M. 14 7 Tsanawiyah SMP + 8 16 Total 100 100 Sumber : Data lapangan diolah, 2009
Dari tabel 8 ini dapat dilihat bahwa sebagian besar pekerja anak memiliki kepala keluarga yang berpendidikan tamat SD.
Artinya bahwa semakin rendah tingkat pendidikan kepala
keluarga maka semakin tinggi jumlah jam kerja pekerja anak, dimana ada hubungan yang negatif antar tingkat pendidikan kepala keluarga dengan jumlah jam kerja pekerja anak. Hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan kepala keluarga yang rendah bahkan ada yang tidak memiliki ijazah. Dalam penelitian ini munculnya pekerja anak berhubungan dengan unsur budaya, dimana secara nasional satu keluarga dipimpin oleh laki-laki. Dimana jika kepala keluarganya dalam keadaan menganggur, sakit, cacat maupun tidak bekerja, maka anak-anak mereka akan terlibat dalam kegiatan ekonomi 7.
Deskripsi Variabel Penelitian Dalam penelitian ini untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan variabel
terikat, penulis menggunakan tabulasi silang, dimana kegunaan dari tabulasi silang ini adalah untuk melihat adakah hubungan antara masing-masing variabel terikat dengan variabel bebas. 8.
Hubungan Lama Bekerja Pekerja Anak dan Jenis Kelamin Jam Kerja Pekerja anak dapat juga dilihat menurut jenis kelamin. Membandingkan
antara jam kerja pekerja anak laki-laki dan jam kerja pekerja anak perempuan, secara umum dapat dikatakan bahwa persentase jam kerja pekerja anak laki-laki lebih banyak daripada jam kerja pekerja anak perempuan. Hal ini dapat kita lihat pada tabel berikut ini Tabel 9 Rata-rata jam kerja pekerja anak menurut Jenis Kelamin 14
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Jumlah
Persentase
Rata-rata
80 20 100
80 20 100
24,95 14,75 39,70
Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian, 2009
Pada tabel 9 diatas, menjelaskan bahwa dari total jumlah keseluruhan responden sebanyak 100 orang. Pekerja anak jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase pekerja anak jenis kelamin laki-laki sebesar 80 persen dengan rata-rata jam kerja 24,95 jam per minggu, dan persentase pekerja anak berjenis kelamin perempuan adalah 20 persen dengan rata-rata jam kerja 14,75 jam per minggu. Apabila dilihat dari tabel diatas jumlah jam kerja pekerja anak laki-laki lebih banyak dibandingkan pekerja anak perempuan. Artinya bahwa persentase pekerja anak laki-laki masih dominan dibandingkan persentase pekerja anak perempuan. 9.
Hubungan Lama Bekerja Pekerja Anak dan Partisipasi Sekolah Secara umum, pekerja anak yang bekerja di Kelurahan Talang Jambe Kecamatan
Sukarami Kota Palembang adalah pekerja anak yang tidak bersekolah lagi, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 10 Rata-rata jam kerja pekerja anak menurut Partisipasi Sekolah Partisipasi Jumlah Persentase Rata-rata Sekolah Pernah Sekolah 61 61 22,90 Masih Sekolah 39 39 22,92 Total 100 100 45,82 Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian, 2009
Berdasarkan tabel 4.7 diatas dapat dilihat bahwa untuk pekerja anak pernah sekolah sebanyak 61,0 % dengan rata-rata 22,90. Selanjutnya untuk pekerja anak masih sekolah terdapat 39 % dengan rata-rata 22,92. Pekerja anak yang partisipasi sekolahnya pernah sekolah atau berhenti lebih memilih bekerja dengan alasan, apabila mereka sekolah maka penghasilan yang didapat akan habis untuk biaya sekolah, sedangkan tujuan mereka bekerja adalah mencari uang untuk meringankan beban orang tua dan
membantu perekonomian keluarga dibandingkan
mengenyam pendidikan dan dengan sekolah dapat mengganggu waktu mereka bekerja. Sedangkan untuk pekerja anak yang masih sekolah, mereka beralasan bekerja untuk mencari 15
tambahan biaya sekolah, baik untuk membeli buku, peralatan sekolah lainnya, atau untuk mendapatkan uang jajan.
10. Hubungan Lama Bekerja Pekerja Anak dan Penghasilan Anak Berdasarkan tingkat penghasilan pekerja anak, penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja anak laki-laki dan pekerja anak perempuan dari Kelurahan Talang jambe ini dominan mempunyai penghasilan kurang dari Rp. 100.000,-. Seperti di tunjukkan dalam tabel 4.8 berikut ini: Tabel 11 Rata-rata jam kerja pekerja anak menurut Penghasilan Anak Penghasilan anak per Jumlah Persentase Rata-rata minggu 61 61 3,53 Rp. 100.000 Rp. 101.000 – Rp. 200.000 33 33 8,24 Rp. 201.000 – Rp. 300.000 6 6 24,77 Total 100 100 36,54 Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian, 2009
Pada tabel 11 menunjukkan bahwa pekerja anak dengan penghasilan Rp. 100.000,- terdapat 61 %, dengan penghasilan mulai dari Rp. 15.000,- sampai dengan Rp. 100.000,-. Sedangkan untuk penghasilan Rp. 101.000,- sampai dengan Rp. 200.000,- terdapat 33 %, kemudian untuk penghasilan sebesar Rp. 201.000,- sampai dengan Rp. 300.000,-
terdapat 6 %.
Penghasilan yang diperoleh pekerja anak dengan jumlah tertinggi adalah Rp. 300.000,dengan lama jam kerja 54 jam per minggu, sedangkan penghasilan yang diperoleh oleh pekerja anak terendah adalah Rp. 15.000,- dengan lama jam kerja 7 jam per minggu nya. Penghasilan yang diperoleh oleh pekerja anak beragam sesuai dengan lamanya waktu mereka bekerja. Pekerja anak yang mempunyai waktu kerja panjang, biasanya tidak bersekolah lagi atau berhenti, dan bekerja merupakan pencaharian pokok baginya. Hal ini dilakukan karena selain sebagai tulang punggung keluarga yang dikarenakan kepala keluarga telah meninggal dunia, dan juga sebagai rasa tanggung jawab seorang anak untuk membantu meringankan beban orang tua baik dari segi moril maupun materil. 11. Hubungan Lama Bekerja Pekerja Anak dan Pendapatan Kepala Keluarga Pendapatan adalah salah satu faktor penentu tingkat sosial ekonomi rumah tangga. Rendahnya tingkat sosial ekonomi rumah tangga tidak terlepas dari rendahnya upah yang diperoleh. Penghasilan yang rendah akan cenderung mengakibatkan kemiskinan dalam satu 16
rumah tangga, yang pada akhirnya harus ditanggulangi secara bersama-sama dengan anakanak. Pendapatan kepala keluarga adalah salah satu variabel yang mempengaruhi masuknya seorang anak ke dalam pasar kerja dalam usia yang lebih muda. Semakin sedikit pendapatan kepala keluarga maka semakin cenderung anak mereka untuk bekerja dibandingkan dengan pendapatan kepala keluarga yang tinggi. Hasil dari penelitian terhadap pendapatan kepala keluarga dapat kita lihat pada tabel berikut ini: Tabel 12 Rata-rata jam kerja pekerja anak menurut Pendapatan Kepala Keluarga Pendapatan kepala Jumlah Persentase Rata-rata keluarga per minggu 30 30 2,02 Rp. 100.000 Rp. 101.000 – Rp. 200.000 Rp. 201.000 – Rp. 300.000 > Rp. 301.000
Total
53 13 4 100
53 13 4 100
4,36 5,18 32,5 44,06
Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian, 2009
Pada tabel 12
menunjukkan bahwa dari jumlah responden sebanyak 100 orang,
dan
pendapatan kepala keluarga dari pekerja anak yang mempunyai penghasilan Rp. 100.000,terdapat 30 %, dengan penghasilan mulai dari Rp. 75.000,- sampai dengan Rp. 100.000,-. Sedangkan untuk penghasilan Rp. 101.000,- sampai dengan Rp. 200.000,- terdapat 53 %, kemudian untuk penghasilan sebesar Rp. 201.000,- sampai dengan Rp. 300.000,- terdapat 13 %.
Untuk pendapatan kepala keluarga > Rp 301.000 terdapat 4 % kepala keluarga.
Penghasilan yang diperoleh pekerja anak dengan jumlah tertinggi adalah Rp. 700.000,- yang diterima oleh kepala keluarga setiap minggunya. Bila kita perhatikan bahwa dengan penghasilan tesebut menunjukkan bahwa banyaknya jumlah jam kerja pekerja anak cenderung muncul karena faktor kesulitan ekonomi keluarga. Hal ini adalah suatu penyebab kemungkinan terhadap keikutsertaan pekerja anak dalam kegiatan ekonomi. Sedangkan bagi pekerja anak yang upah kepala keluarganya tinggi, maka keterlibatannya dalam ekonomi dapat disebabkan oleh faktor lain, misalnya faktor budaya dan faktor persoalan rumah tangga yang lainnya disamping masalah ekonomi. 12. Hubungan Lama Bekerja Pekerja Anak dan Pendidikan Kepala Keluarga Latar belakang pendidikan Kepala Keluarga adalah termasuk salah satu faktor yang mengakibatkan anak bekerja.
Pendidikanlah yang diduga membentuk pandangan kepala
rumah tangga terhadap anak-anaknya yang bekerja, termasuk dalam melakukan pemilihan untuk mengirim anak-anak ke pasar tenaga kerja atau mendapatkan pendidikan formal di 17
sekolah.
Kepala Keluarga dengan latar belakang pendidikan yang rendah cenderung
menganggap pendidikan dengan nilai yang rendah. Latar belakang pendidikan yang rendah ini dapat mengakibatkan persoalan ekonomi yang pada akhirnya membutuhkan keterlibatan anak dalam kegiatan ekonomi rumah tangga. Hal ini dapat kita lihat pada tabel berikut ini: Tabel 13 Rata-rata jam kerja pekerja anak menurut Pendidikan Kepala Keluarga Tidak Tamat SD Pendidikan Jumlah Persentase Rata-rata Kepala Keluarga Lainnya (SMP) 74 74 22,58 Tidak Tamat SD 26 26 23,52 Total 100 100 46,10 Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian, 2009
Pada tabel 13 pendidikan kepala keluarga yang tidak tamat SD terdapat 25,8 % dan nilai ratarata 23,52 dengan pembanding kepala keluarga yang berpendidikan lainnya (SMP) yaitu sebesar 74,2 % dengan rata-rata 22,58. Itu berarti dari 100 sampel pekerja anak terdapat 25,8 % pekerja anak mempunyai kepala keluarga berpendidikan tidak tamat SD. Sedangkan untuk pendidikan kepala keluarga tamat SD dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 14 Rata-rata jam kerja pekerja anak menurut Pendidikan Kepala Keluarga Tamat SD Pendidikan Jumlah Persentase Rata-rata Kepala Keluarga Lainnya (SMP) 50 50 23,90 Tidak Tamat SD 50 50 21,92 Total 100 100 45,92 Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian, 2009
Pada tabel 14 pendidikan kepala keluarga yang tamat SD terdapat 50 % dan nilai rata-rata 21,92 dengan pembanding kepala keluarga yang berpendidikan lainnya (SMP) yaitu sebesar 50 % dengan rata-rata 23,90. Itu berarti dari 100 sampel pekerja anak terdapat 50 % pekerja anak mempunyai kepala keluarga berpendidikan tamat SD.
Untuk pendidikan kepala
keluarga tamat SMP dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 15 Rata-rata jam kerja pekerja anak menurut Pendidikan Kepala Keluarga Tamat SMP Pendidikan Jumlah Persentase Rata-rata Kepala Keluarga Lainnya (SMP +) 77 77 22,75 Tamat SMP 23 23 23,43 Total 100 100 46,18 Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian, 2009
18
Pada tabel 15 pendidikan kepala keluarga yang tamat SMP terdapat 23,0 % dan nilai rata-rata 23,43 dengan pembanding kepala keluarga yang berpendidikan lainnya (SMP+) yaitu sebesar 77,0 % dengan rata-rata 22,75. Itu berarti dari 100 sampel pekerja anak terdapat 23 % pekerja anak mempunyai kepala keluarga berpendidikan tamat SMP. 13. Hasil Analisis Regresi Penelitian Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model regresi berganda dengan persamaan umum berikut: Y = f ( X1, X2, X3, X4, X5 ) Dimana : Variabel Terikat adalah: Y = Jam Kerja Pekerja Anak X1 = Jenis kelamin, yang terdiri dari 1 untuk laki-laki, dan 0 untuk perempuan X2 = Penghasilan Anak X3 = Partisipasi sekolah yang terdiri dari : X3D1 = 1 = jika masih sekolah 0 = jika pernah sekolah (berhenti) X4 = Pendapatan Kepala Keluarga X5 = Pendidikan kepala keluarga, dikategorikan menjadi: X5D1 = 1 = tidak tamat SD 0 = lainnya (SMP + ) X5D2 = 1 = tamat SD 0 = lainnya (SMP) X5D3 = 1 = tamat SMP 0 = lainnya (SMP +) Setelah dianalisis dengan menggunakan program SPSS terhadap model diatas maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = 14,735 + 7,518 X1D1 + 0,907 X2D1 + 4,182 X3 + 2,119 X4 – 5,308 X5D1 – 7,465 X5D2 – 5,023 X5D3 Koefisien sebesar 14,735 menunjukkan bahwa apabila variabel lain yaitu jenis kelamin, penghasilan anak dan pendapatan kepala keluarga, maka partisipasi sekolah anak dan pendidikan kepala keluarga akan mempunyai koefisien sebesar 14,735. Sedangkan perbedaan jenis kelamin akan ada perbedaan sebesar koefisien 7,518. Setiap penghasilan yang diperoleh oleh pekerja anak akan ada perbedaan koefisien sebesar 4,182.
Selanjutnya pendapatan
kepala keluarga juga menunjukkan perbedaan koefisien sebesar 2,119 artinya setiap kenaikan 1 persen pendapatan kepala keluarga maka akan mengurangi pekerja anak sebesar 2,119. Untuk lebih jelas, hasil estimasi pada model dapat dilihat pada tabel 16 berikut ini: 19
Tabel 16 Hasil Estimasi Regresi Berganda Variabel
Koefisien
t - hitung
Jenis Kelamin (X1D1) Partisipasi Sekolah (X2D1) Penghasilan Anak (X3) Pendapatan Kepala Keluarga (X4) Pendidikan Kepala Keluarga X5D1 X5D2 X5D3
7,518 0,907 4,182 2,119
-5,308 -7,465 -5,023
Konstanta R2 DW – hitung F-Statistik
= = = =
14,735 37,8 1,568 7,978
t - tabel
Signifikan
3,296 0,516 4,427 2,204
2,660 2,660 2,660 2,660
S TS S S
-1,128 -1,656 -1,104
2,660 2,660 2,660
TS TS TS
R adjusted = 3,30
Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2009
Keterangan : S = signifikan pada = 5 % TS = tidak signifikan pada = 5 % Hasil regresi model dengan bantuan koefisien determinasi R2 yaitu hal ini menunjukkan bahwa sebesar 37,8 % proporsi variabel-variabel yang digunakan mampu menjelaskan variasi variabel terikat dalam model tersebut, sedangkan sisanya sebesar 52,2 % dijelaskan oleh variabel-variabel bebas lain di luar model. Adapun dari variabel diatas maka paling dominan adalah variabel jenis kelamin yang dilihat dari koefisien sebesar
7,518, sedangkan
Pendidikan Kepala Keluarga Tamat SMP adalah koefisien yang terkecil yaitu sebesar -7,465. Variabel jenis kelamin yang diukur dengan variabel dummy ternyata signifikan karena t hitungnya lebih besar dari t tabel (3,296 > 2,660) pada tingkat signifikansi = 5 %. Hal ini berarti ada beda terhadap lamanya jam kerja pekerja anak antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Variabel partisipasi sekolah yang diukur dengan variabel dummy ternyata tidak signifikan karena t hitungnya lebih kecil dari t tabel (0,516 < 2,660) pada tingkat signifikansi = 5 %. Hal ini berarti tidak ada beda antara partisipasi sekolah pekerja anak masih sekolah dengan partisipasi sekolah pekerja anak pernah sekolah terhadap lamanya jam kerja pekerja anak. Variabel penghasilan anak yang diukur dengan lamanya jam kerja yang dilakukan pada saat pekerja anak bekerja pada tingkat signifikansi = 5 %, nilai t hitung lebih besar dari t-tabel yaitu (4,427 > 2,660). Hal ini berarti ada pengaruh antara penghasilan anak 20
terhadap lamanya jam kerja pekerja, dimana semakin lama atau panjang waktu anak bekerja maka penghasilan yang diperoleh akan semakin besar, sebaliknya apabila jam kerja pekerja anak pendek maka penghasilan yang diperoleh pun akan rendah. Variabel pendapatan kepala keluarga yang diukur dengan besarnya pendapatan yang diperoleh oleh kepala keluarga terhadap lamanya jam kerja pekerja anak, pada tingkat signifikansi = 5 %, nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel (2,704 > 2,660). Hal ini berarti ada pengaruh antara pendapatan kepala keluarga terhadap lamanya jam kerja pekerja anak. Dimana semakin tinggi pendapatan kepala keluarga maka akan semakin rendah jam kerja pekerja anak, sebaliknya semakin rendah pendapatan kepala keluarga maka akan semakin tinggi jam kerja pekerja anak. Sedangkan variabel pendidikan kepala keluarga yang diukur dengan variabel dummy ternyata tidak signifikan, karena nilai t-hitungnya lebih kecil dari t-tabel. Dimana untuk variabel pendidikan kepala keluarga tidak tamat SD dengan pembanding pendidikan kepala keluarga SMP nilai t-hitungnya (-5,308 > 2,660)pada tingkat signifikansi = 5 %, sedangkan untuk variabel pendidikan kepala keluarga tamat SD dengan pembanding pendidikan kepala keluarga SMP, nilai t-hitungnya lebih kecil daripada t-tabel (-7,465 < 2,660), dan untuk variabel pendidikan kepala keluarga tamat SMP dengan pembanding pendidikan kepala keluarga SMP plus, nilai t-hitungnya lebih kecil daripada t-tabel (-5,023 < 2,660). Hal ini berarti tidak ada beda antara pendidikan yang diperoleh kepala keluarga pekerja anak terhadap lamanya jam kerja pekerja anak. Pendidikan yang didapatkan oleh kepala keluarga baik itu tidak tamat SD, tamat SD, ataupun tamat SMP, tidak mempengaruhi pekerja anak dalam bekerja.
Mereka bekerja untuk mencari penghasilan, membantu perekonomian
keluarga dan meringankan beban orang tua tanpa ada pengaruh dari pendidikan yang telah diperoleh oleh kepala keluarga. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil dan pembahasan didapat kesimpulan antara lain : 1.
Jenis kelamin, pada penelitian terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dimana jenis kelamin laki-laki lebih dominan bekerja dengan jangka waktu yang lebih lama dibandingkan pekerja anak perempuan.
2.
Partisipasi sekolah, tidak terdapat perbedaan terhadap lamanya jam kerja pekerja anak, antara pekerja anak yang pernah sekolah dan masih sekolah, hal ini terlihat dengan nilai t-hitung yang diperoleh yaitu t-hitung > t-tabel.
21
3.
Penghasilan anak berpengaruh signifikan terhadap lamanya waktu jam kerja pekerja anak disebabkan karena lamanya waktu jam kerja pekerja anak membuat penghasilan yang diperoleh oleh pekerja anak akan lebih besar dibandingkan pekerja anak yang jam kerjanya lebih singkat.
4.
Pendapatan kepala keluarga berpengaruh signifikan terhadap lamanya waktu jam kerja pekerja anak, hal ini dikarenakan apabila pendapatan kepala keluarga semakin besar maka jam kerja pekerja anak akan semakin rendah, atau sebaliknya semakin rendah pendapatan yang diperoleh kepala keluarga maka semakin tinggi jumlah jam kerja pekerja anak.
5.
Pendidikan Kepala Keluarga, tidak terdapat beda antara pendidikan yang diperoleh kepala keluarga pekerja anak terhadap lamanya jam kerja pekerja anak, pendidikan yang didapatkan oleh kepala keluarga tidak mempengaruhi anak untuk bekerja. Dari hasil dan pembahasan serta kesimpulan penulis menyarankan Pemerintah perlu
memperhatikan kondisi pekerja anak di Kota Palembang, khususnya di Kelurahan Talang Jambe Kecamatan Sukarami Palembang yang kurang menguntungkan karena masih rendahnya jumlah pekerja anak yang masih sekolah, dan hendaknya pemerintah
tetap
memberlakukan wajib belajar sembilan tahun, karena dengan tingginya tingkat partisipasi sekolah anak, maka jumlah anak yang tidak bersekolah lagi akan semakin rendah. Pada akhirnya jumlah pekerja anak khususnya di Kelurahan Talang Jambe Kecamatan Sukarami Palembang juga akan semakin rendah. Hal lain yang menjadi saran saya adalah penelitian ini bisa dilanjutkan kembali dengan melihat variabel-variabel bebas yang lainnya, untuk melihat penyebab pekerja anak itu bekerja selain dari faktor-faktor yang ada pada penelitian ini.
DAFTAR RUJUKAN Abdalla, Ahmed. 1998. Child Labour in Egypt: Leather Tanning in Cairo, dalam Combatting Child Labour. Bequele, A and Boyden, J. ILO. Geneva. Ananta, Aris, Ekonomi Sumberdaya Manusia, UDFE UI, Jakarta, 1999. Anonymous. 2007. Report Crities United States on Child Labor Protections. American Teacher; 91, 5; Academic Research Library Pg. 20. Asra, Abuzar. 1994. Working Children in Bandung Indonesia. Central Bureau of Statistics and ILO. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1999. Angkatan Kerja Anak-anak Sumatera Selatan Tahun 1998. Palembang. ___________. 2000. Angkatan Kerja Anak-anak Sumatera Selatan Tahun 1999. Palembang. 22
___________. 2001. Angkatan Kerja Anak-anak Sumatera Selatan Tahun 2000. Palembang. ___________. 2003. Angkatan Kerja Anak-anak Sumatera Selatan Tahun 2004. Palembang. ___________. 2004. Angkatan Kerja Anak-anak Sumatera Selatan Tahun 2003. Palembang. ___________.2005. Angkatan Kerja Anak-anak Sumatera Selatan Tahun 2004. Palembang. Belammy, Carol. 1998. Laporan Situasi Anak di Dunia 1998. UNICEF. Jakarta. Hal 2428. Borjas, George. J. 2005. Labor Economics, Second Edition. Mr. Graw Hill Co Inc, Taiwan, 2000. Daliyo. et.al. 1999. Child Labour and Education Planning in Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. CV. Marinalon, Jakarta. Ehrenberg, Ronald, G and Roberts Smith. 2003. Modern Labor Economics, Theory and Public Policy. Sixth Edition, Scott, Foreman and Company, Gienview Illionis. Gay, Report Crities United States on Child Labor Protections. American Teacher; 91, 5; Academic Research Library Pg. 27. Gustman, Alan L and Steinmeir, Thomas L. 1999. “The Impact of the market and The Family on Youth Enrollment and Labor Supply” NBER WORKING Paper no. 415. Hango, Darcy and Broucker. Patrice De. 2007. “Education To Labour Market Pathways of Canadian Youth: Findings From The Youth in Transition Survey, Research Paper. Culture, Tourism and The Centre for Education Statistics Canada (http://www.stancan.ca) Indri, Ariyanti. 2007. “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Jam Kerja Pekerja Anak di Kota Palembang”. Tesis. Program Pascasarjana Palembang. Irwanto, Sutrisno dan R. Pardoen. 1998. “Profil Pekerja Anak Indonesia”. Paper. Jakarta: Puslit UNIKA Atmajaya. Manurung, Dopang. 1998. ”Keadaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pekerja Anak dan Industrialisasi”. Prisma. Edisi 2. hlm. 17. Jakarta Mulyadi, Subri. 2003. Ekonomi Sumber Daya Dalam Perspektif Pembangunan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Nachrowi, Nachrowi. Djalal, Salahuddin A. Muhidin dan Romanus Beni. 1999. ”Masalah Pekerja Anak dalam Perekonomian Global”, Lembaga Demograi FEUI. Jakarta. Priyambada, Agus D., Asep Suryahadi dan Sudarno Sumarto. 1998. What Happenend to Chile Labor in Indonesia during the Economic Crisis: The Trade – off between School and Work. SMERU. Jakarta. Purtranto, Pandji. 1998. Berbagai Upaya Penanggulangan Pekerja Anak. Tidak dipublikasikan. Hal 1-5. Roggero, P. et.al. 2007. The Health Impact of Child Labor in Developing Countries, Evidence from Cross Country Data. American Journal of Public Health; 97,2 : ABI / INFORM Research. Pg 271. Sarjono, Herry, Warsono. 2004. Implikasi Peningkatan Jumlah Pekerja Anak di Indonesia. Jakarta. http://www.nakertrans.go.id/majalah-buletin/majalah-balitfo/volume-2-4/implikasi% Simanjuntak, Payaman J. 1999. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Lembaga Penerbit Universitas Indonesia. Sofyan Yamin. 2009. SPSS Complete Teknik Analisis Statistik Terlengkap dengan Software SPSS. Jakarta. Salemba Infotek. Sutomo. 1999. Studi Tentang Karakteristik dan Permasalahan Pekerja Anak di 3 Kota Besar Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998. Solo. Fakultas Ekonomi UNS. Tjandraningsih, Indrasari. 1998. Pemberdayaan Pekerja Anak Studi Mengenai Pendampingan Pekerja Anak. Bandung: Yayasan AKATIGA. White, B. 1999. Pekerja Anak dan Remaja di Pedesaan Jawa Barat: Pengantar Studi Lapangan. PSB-IPB. Bogor. 23