BAB 23 PERBAIKAN IKLIM KETENAGAKERJAAN
Perkembangan ketenagakerjaan di Indonesia selama satu tahun terakhir menunjukkan tanda adanya perbaikan. Jumlah orang yang bekerja pada Februari 2007 meningkat jika dibandingkan dengan keadaan pada Februari 2006. Peningkatan jumlah orang yang bekerja mendorong adanya penurunan angka dan tingkat pengangguran terbuka. Meskipun perkembangan ketenagakerjaan telah menunjukkan adanya perbaikan, jumlah penganggur terbuka masih cukup besar. Besarnya jumlah penganggur terbuka masih menjadi tantangan perekonomian Indonesia saat ini. Untuk itu, penciptaan lapangan kerja formal seluas-luasnya yang telah menjadi prioritas utama pemerintah terus diupayakan, antara lain, melalui perbaikan iklim ketenagakerjaan agar pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dapat terjadi.
I.
Permasalahan yang Dihadapi
Perkembangan ketenagakerjaan pada awal tahun 2007 (Februari) cukup menggembirakan. Hal itu ditunjukkan dari bertambahnya penduduk yang bekerja. Pada bulan Februari 2007,
penduduk yang bekerja bertambah sebanyak 2,12 juta orang jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2006 dan bertambah sebanyak 2,40 juta orang jika dibandingkan dengan keadaan setahun yang lalu (Februari 2006). Bertambahnya jumlah orang yang bekerja tersebut mendorong adanya penurunan pengangguran terbuka. Jumlah penganggur terbuka pada tahun Februari 2007 telah menurun sebesar 384 ribu orang jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2006 dan menurun sebesar 556 ribu orang jika dibandingkan dengan keadaan pada Februari 2006. Dengan penurunan tersebut, jumlah penganggur terbuka pada Februari 2007 mencapai 10,55 juta orang atau 9,75 persen dari seluruh angkatan kerja. Walaupun terjadi penurunan, jumlah penganggur terbuka pada kurun waktu satu tahun ini masih cukup besar. Sementara itu, jumlah angkatan kerja pada Februari 2007 mencapai 108,13 juta orang atau naik sebanyak 1,74 juta orang jika dibandingkan dengan keadaan pada Agustus 2006 dan meningkat sebesar 1,85 juta orang jika dibandingkan dengan keadaan pada Februari 2006. Jumlah penganggur terbuka pada kelompok usia muda (15-24 tahun) merupakan mayoritas dengan jumlah 6,82 juta orang pada tahun Agustus 2006 atau 62,35 persen dari jumlah penganggur terbuka (10,93 juta orang). Besarnya jumlah penganggur terbuka pada usia muda merupakan tantangan tersendiri yang harus diupayakan penyelesaiannya agar mereka dapat bekerja sesuai dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Selain itu, dari jumlah penganggur terbuka sebesar 10,93 juta orang, sekitar 30,84 persen berpendidikan SD ke bawah, 24,97 persen berpendidikan SLTP, 38,02 persen berpendidikan SLTA, dan 6,16 persen berpendidikan Diploma I sampai universitas. Sebagian besar penganggur terbuka berpendidikan SLTA diikuti dengan penganggur terbuka dengan tingkat pendidikan rendah, yaitu SD ke bawah. Rendahnya tingkat pendidikan penganggur terbuka menjadi hambatan dalam memperoleh lapangan kerja yang baik. Lapangan kerja formal pada Februari 2007 menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan keadaan Februari 2006. Walaupun masih belum dapat menutup berkurangnya lapangan kerja formal pada periode sebelumnya, namun jumlah pekerja formal telah meningkat dari 28,79 juta (30,25 persen) pada Februari 2006 menjadi 23 - 2
29,72 juta (30,46 persen) pada Februari 2007. Pekerja yang bekerja dengan status buruh/karyawan sebesar 27,53 persen dari seluruh orang yang bekerja. Lapangan kerja informal akhirnya menjadi tumpuan hidup sebagian besar angkatan kerja yang tidak terserap pada lapangan kerja formal. Sekitar 70 persen (Februari 2007) tenaga kerja Indonesia bekerja pada lapangan kerja informal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lapangan kerja informal merupakan mayoritas tempat mata pencaharian masyarakat Indonesia. Jika dilihat dari sisi gender, sekitar 35,20 persen tenaga kerja perempuan bekerja dengan status pekerja tidak dibayar. Hal itu menunjukkan bahwa walaupun terjadi peningkatan lapangan kerja yang diisi oleh perempuan, umumnya lapangan kerja tersebut masih dalam kegiatan informal. Selain itu, masih besarnya jumlah dan persentase angkatan kerja yang berpendidikan rendah mencerminkan masih rendahnya kualitas angkatan kerja yang tersedia. Hal itu tercermin dari besarnya jumlah angkatan kerja yang berpendidikan SD ke bawah pada Agustus tahun 2006, yaitu 55,37 juta orang atau 52,05 persen. Dengan kondisi seperti itu sering kali timbul ketidaksesuaian kebutuhan di pasar kerja. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan penyempurnaan dan pengembangan program pelatihan dan penyelenggaraan pelatihan kerja. Keterbatasan dalam penyediaan sarana dan prasarana pelatihan, khususnya pada balai latihan kerja milik pemerintah, menyebabkan lembaga pelatihan belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja yang terus berkembang. Sementara itu, tuntutan dunia kerja akan tenaga kerja terampil, ahli, dan kompeten seiring dengan tuntutan ekonomi global juga semakin tinggi. Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang telah terbentuk pada tahun 2005 diharapkan dapat membantu penyiapan tenaga kerja Indonesia yang terampil, ahli, dan kompeten dalam rangka menghadapi persaingan global. Berbagai permasalahan, baik sebelum pemberangkatan maupun setelah penempatan di luar negeri, masih mewarnai pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI). Keinginan untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri didorong oleh kondisi perekonomian saat ini yang belum mampu menciptakan lapangan kerja secara memadai. Dengan terbatasnya lapangan kerja di dalam 23 - 3
negeri, bekerja di luar negeri menjadi salah satu pilihan. Selain menghasilkan devisa yang cukup besar, pengiriman TKI selama ini juga telah memberikan lapangan pekerjaan yang cukup berarti. Namun, masih sering terjadi berbagai permasalahan yang disebabkan oleh lemahnya perlindungan terhadap TKI. Sebagian besar TKI adalah penatalaksana rumah tangga yang berpendidikan rendah sehingga kemampuan dan kesadaran mereka untuk melindungi diri dan memecahkan persoalan yang dihadapi menjadi sangat terbatas. Dalam hubungan itu upaya yang telah diambil, seperti penerbitan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, terus diperkuat agar berbagai permasalahan yang timbul tidak terjadi lagi. Di dalam perekonomian yang semakin membaik dan lebih demokratis, tuntutan akan pelaksanaan hubungan industrial yang lebih baik sangat sering dikemukakan. Keinginan serikat pekerja untuk meningkatkan kesejahteraan, termasuk kondisi kerja, menjadi hal yang wajar. Sebaliknya, keinginan untuk meningkatkan produktivitas pekerja sering dikemukakan oleh pengusaha. Berbagai keinginan itu yang sering kali menimbulkan ketegangan membutuhkan upaya pemerintah untuk menciptakan tata cara hubungan industrial yang dapat menyalurkan tuntutan tersebut. Upaya itu tidaklah mudah karena hubungan industrial yang harmonis dapat tercipta jika terdapat keseimbangan dan kesejajaran antara pekerja dan pemberi kerja dalam memperjuangkan hak-haknya. Keseimbangan dan kesejajaran di antara pekerja dan pemberi kerja menjadi kunci utama untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis. II.
Langkah Kebijakan dan Hasil yang Dicapai
Permasalahan ketenagakerjaan mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Dengan memperhatikan permasalahan seperti yang diuraikan sebelumnya, pemerintah terus mendorong terciptanya lapangan kerja ke arah industri padat pekerja, industri mikro, kecil, menengah, dan industri yang berorientasi pada ekspor melalui pasar kerja yang lebih luwes. Mendorong pasar kerja 23 - 4
yang luwes bukan berarti melupakan perlindungan yang memadai bagi tenaga kerja dan juga tanpa melupakan hubungan industrial yang harmonis antara pemberi kerja dan pekerja. Selain itu pemerintah terus menyempurnakan penyelenggaraan pelatihan kerja, menyempurnakan mekanisme penempatan TKI ke luar negeri, serta menyempurnakan berbagai upaya penciptaan kesempatan kerja yang dilakukan oleh pemerintah. Berbagai langkah kebijakan yang ditempuh adalah sebagai berikut. Pertama, pemerintah melanjutkan upaya penciptaan dan perluasan kesempatan kerja, yang terdiri atas (1) menyempurnakan peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong penciptaan pasar tenaga kerja yang lebih luwes dengan tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan; (2) menyusun berbagai aturan pelaksanaan UndangUndang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri; (3) menyempurnakan dan mengonsolidasikan program perluasan kesempatan kerja; (4) memfasilitasi kegiatan pendukung pasar kerja melalui penguatan kelembagaan, peningkatan kualitas informasi pasar kerja dan penyelenggaraan bursa kerja; (5) menempatkan tenaga kerja melalui mekanisme antarkerja lokal (AKL), antarkerja antardaerah (akad), dan antarkerja khusus (aksus); dan (6) mengoordinasikan penempatan tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri dan mengonsolidasikan kebutuhan pelatihan TKI. Kedua, pemerintah meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, yang terdiri atas (1) menyusun kerangka kualifikasi nasional dan sistem sertifikasi bidang pendidikan dan pelatihan; (2) meningkatkan fungsi dan kinerja balai latihan kerja (BLK) menjadi pusat pelatihan berbasis kompetensi; (3) mengembangkan standar kompetensi kerja pada sektor industri dan jasa; (4) menyelenggarakan program pelatihan pemagangan dalam negeri dan luar negeri; (5) mengembangkan kelembagaan produktivitas dan pelatihan kewirausahaan; (6) meningkatkan profesionalisme tenaga kepelatihan dan keinstrukturan BLK; (7) memberikan fasilitasi dan mendorong sistem pendanaan pelatihan berbasis masyarakat; (8) meningkatkan dan memperbaiki sarana dan prasarana BLK; (9)
23 - 5
memperkuat kelembagaan BNSP; dan (10) memfasilitasi pengembangan standar kompetensi dan sertifikasi kompetensi. Ketiga, pemerintah memberikan perlindungan dan mengembangkan lembaga tenaga kerja, yang terdiri atas (1) meningkatkan perangkat dan prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, dan adil; (2) mendorong dan menyempurnakan pelaksanaan negosiasi bipartit antara serikat pekerja dan pemberi kerja; (3) meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga pengawas hubungan industrial; (4) menyebarluaskan pemahaman dan penyamaan persepsi tentang peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan; (5) meningkatkan pengawasan, perlindungan, dan penegakan hukum serta keselamatan dan kesehatan kerja; (6) membina syarat kerja dan kesejahteraan pekerja; (7) mengembangkan jaminan sosial tenaga kerja; dan (8) melaksanakan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002), khususnya pekerja anak pada sektor perikanan. Dalam rangka perluasan dan pengembangan kesempatan kerja, telah dilakukan upaya sebagai berikut. Dalam kerangka regulasi, pemerintah telah menyusun peraturan pelaksanaan yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sampai saat ini telah ditetapkan tiga peraturan pemerintah (PP) yang merupakan amanat undang-undang itu, yakni Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan serta Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja (PP Nomor 15/2007), Sistem Pelatihan Kerja Nasional (PP Nomor 31/2006), dan Pembentukan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (PP Nomor 23/2004). Dua peraturan/keputusan presiden juga telah diterbitkan, yaitu peraturan/keputusan presiden tentang Dewan Pengupahan (Keppres Nomor 107/2004) dan Lembaga Produktivitas Nasional (Perpres Nomor 50/2005). Sementara itu, pemerintah juga telah menyusun peraturan pelaksanaan yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pada tahun 2006 telah ditetapkan Peraturan Presiden tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (Perpres Nomor 81/2006). 23 - 6
Dalam rangka penempatan tenaga kerja di dalam negeri, pemerintah telah melakukan upaya sebagai berikut: (1) untuk mengurangi pengangguran, dilakukan pendayagunaan/pemberdayaan tenaga kerja pemuda mandiri profesional/tenaga kerja sukarela/ tenaga kerja mandiri (TKPMP/TKS/TKM), padat karya, pembangunan infrastruktur/produktif, penerapan teknologi tepat guna, dan pemberdayaan usaha ekonomi produktif sebanyak 54.051 orang; sampai bulan Juni 2007, telah dilaksanakan pemberdayaan TKPMP/TKS sebanyak 2.380 orang, padat karya sebanyak 3.927 orang, penerapan teknologi tepat guna sebanyak 324 orang, dan usaha ekonomi produktif sebanyak 40 orang; (2) pemberdayaan wirausaha baru sebanyak 39.589 orang pada tahun 2006 dan sebanyak 330 orang sampai Juni tahun 2007; (3) peningkatan pelayanan penempatan melalui job fair di 12 lokasi yang menyerap 24.000 pencari kerja serta membangun bursa kerja dalam jaringan (on-line) di 25 lokasi provinsi/kabupaten/kota; (4) penempatan tenaga kerja melalui mekanisme antarkerja antardaerah/antarkerja lokal/khusus (akad/aksus) sampai dengan Juni 2007 sebanyak 62.584 orang; pembentukan 10 lembaga penempatan tenaga kerja swasta; subsidi program melalui pembekalan kewirausahaan tahun 2006 sebanyak 429.668 orang; dan kegiatan Grameen Bank sebanyak 2.560 orang; (5) pengembangan pelayanan pengguna tenaga kerja asing dengan fasilitas on-line system di Kawasan Ekonomi Khusus Investasi Pulau Batam, Bintan, dan Karimun bekerja sama dengan Bank BNI; (6) penerbitan izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA) tahun 2006 sebanyak 38.069 orang, sementara sampai dengan bulan Juni 2007 sebanyak 15.003 orang; dan (7) penyederhanaan prosedur pemberian visa dan izin tinggal bagi investor/TKA melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-07/Men/III/2006 dalam upaya mempercepat proses pemberian IMTA dari sebelumnya, 7 hari kerja, menjadi 4 hari kerja dan pemberian kewenangan perpanjangan IMTA kepada daerah. Sementara itu, terkait dengan penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, telah dilakukan (1) pelaksanaan kegiatan sebagai tindak lanjut Instruksi Presiden 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang antara lain adalah 23 - 7
menyederhanakan birokrasi pelayanan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dari 21 tahap menjadi 11 tahap, meningkatkan kompetensi calon TKI dari non-skilled menjadi skilled labor, membentuk tim antardepartemen dalam rangka pengembangan pasar kerja internasional, melakukan pendaftaran ulang terhadap 447 Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), menerbitkan SIPPTKI bagi 370 PPTKIS, dan mencabut izin 104 PPTKIS karena tidak memenuhi persyaratan; (2) penempatan TKI ke luar negeri tahun 2006 sebanyak 611.836 orang, dengan rincian 294.904 orang di Kawasan Asia Pasifik dan 316.932 orang di Kawasan Timur Tengah, sedangkan pada tahun 2007 telah ditempatkan TKI sebanyak 465.297 orang; dan (3) pengembangan sistem dan uji coba bagi 200 kartu tenaga kerja luar negeri yang berbentuk Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (Smart Card). Dalam rangka peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja telah dilakukan hal berikut ini: (1) penerbitan sertifikasi kompetensi personel keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sebanyak 33.371 orang serta pemberian lisensi kepada delapan lembaga sertifikasi profesi (LSP) sebagai pelaksana uji kompetensi; (2) pelaksanaan berbagai pelatihan untuk sekitar 43.357 orang yang terdiri atas pelatihan institusional sebanyak 31.680 orang dan noninstitusional/mobile training unit (MTU) sebanyak 1.158 orang, dan pelatihan berbasis kompetensi sebanyak 518 orang; (3) penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) masing-masing sebanyak 26 SKKNI pada tahun 2006 dan 33 SKKNI pada tahun 2007; (4) pelatihan pemagangan di dalam negeri sebanyak 618 orang dan pelatihan pemagangan di luar negeri (IMM) sebanyak 786 orang, pemulangan pemagangan luar negeri (IMM) sebanyak 1.745 orang, dan pemberangkatan pemagangan luar negeri (IMM) sebanyak 1.901 orang; (5) pelatihan peningkatan produktivitas sebanyak 2.431 orang, pelatihan 192 orang teknisi, dan pelatihan kewirausahaan sebanyak 582 orang; (6) pengiriman kontingen ke ASEAN Skill Competition (ASC) VI di Brunei Darussalam yang berhasil meraih 6 medali emas, 2 medali perak, dan 2 medali perunggu, serta 2 diploma of excellent; (7) pelatihan instruktur/pelatih sebanyak 488 orang, bimbingan teknis tenaga pelatihan sebanyak 100 orang, dan pelatihan training of trainers sebanyak 395 orang; (8) pelatihan berbasis masyarakat untuk 254 23 - 8
orang, pelatihan 1.901 orang tenaga kerja terampil bidang bangunan dan pelatihan ketransmigrasian sebanyak 480 orang; (9) peningkatan sarana dan prasarana pelatihan berbasis kompetensi di 19 balai latihan kerja/Lembaga Latihan Kerja Unit Pelaksana Teknis Pusat (UPTP) dan 43 BLK/LLK Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD); (10) pengembangan MTU di 24 BLK dan Balatrans, serta peningkatan peralatan pelatihan Competency-Based Training (CBT) di 18 BLK UPTD; (11) pengukuhan Ketua dan Anggota Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP); serta (12) pengembangan 9 BLK sebagai tempat uji kompetensi (TUK). Dalam rangka perlindungan dan pengembangan lembaga tenaga kerja telah dilakukan: (1) pembentukan 31 Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia dan telah diresmikan secara keseluruhan di Padang pada tanggal 14 Januari 2006 oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; (2) pengangkatan 159 orang hakim ad-hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung RI dengan Keputusan Presiden Nomor 31/M/Tahun 2006 tanggal 6 Maret 2006; (3) penyusunan 9.177 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Nasional dan 36.785 Peraturan Perusahaan (PP) Nasional; (4) pembentukan 2.565 lembaga kerja sama (LKS) bipartit pada tahun 2006 sehingga sampai saat ini jumlahnya terakumulasi menjadi 10.431 LKS bipartit; (5) peningkatan kemampuan pegawai teknis hubungan industrial dan human resources development (HRD) perusahaan mengenai penyusunan struktur dan skala upah yang diikuti 98 orang; (6) penambahan personel pengawas ketenagakerjaan sebanyak 92 orang dan pegawai penyidik pegawai negeri sipil sebanyak 30 orang; (7) pemerintah telah menyusun dua rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Pasal 156 ayat (5) dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, khususnya pasal 6 ayat (2) dalam kerangka regulasi; kedua RPP tersebut adalah RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon Pekerja/Buruh yang di-PHK dan RPP tentang Pencadangan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); saat ini kedua RPP masih dalam proses pembahasan; (8) sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan tentang pengawasan, jaminan sosial, perselisihan 23 - 9
hubungan industrial, keselamatan dan kesehatan kerja di 33 provinsi; (9) bimbingan teknis bagi 598 pegawai teknis hubungan industrial dan Bimtek Pengawasan Ketenagakerjaan sebanyak 11 kali yang diikuti 330 orang; (10) penanganan jumlah kasus perselisihan hubungan industrial selama tahun 2006-2007 pada 33 provinsi sebanyak 210 kasus, sedangkan kasus PHK pada periode yang sama sebanyak 176 dengan jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 82.983 orang; (11) pembinaan lembaga kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang terdiri dari 238 perusahaan jasa K3 dan 3.071 perusahaan P2K3; (12) pembinaan personel K3 yang terdiri dari 712 orang di tingkat ahli K3 dan 4.111 orang di tingkat operator; (13) Sertifikasi Kompetensi Personel Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebanyak 28.448 orang; serta (14) pembentukan Zona Bebas Pekerja Anak di Kabupaten Kutai Kartanegara, pencegahan 10.245 anak untuk bekerja pada pekerjaan terburuk, dan penarikan pekerja anak dari pekerjaan terburuk.
III.
Tindak Lanjut yang Diperlukan
Beberapa tindak lanjut dari arah kebijakan untuk memperbaiki iklim ketenagakerjaan adalah sebagai berikut: 1.
Penyelesaian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perhitungan uang pesangon pekerja yang di-PHK dan pengaturan tentang kompensasi PHK;
2.
Penyempurnaan sistem dan mekanisme penempatan TKI ke luar negeri agar TKI memperoleh kemudahan, biaya yang relatif murah, dan bebas pungutan yang tidak resmi, sehingga TKI yang ingin bekerja di luar negeri dapat merasa nyaman dan aman;
3.
Pengkonsolidasian program-program perluasan kesempatan kerja dalam rangka mensinergikan berbagai program APBN dan mengoptimalkan penggunaan dana yang terkait dengan kegiatan-kegiatan yang dapat memperluas kesempatan kerja;
4.
Peningkatan fungsi dan kinerja lembaga pelatihan yang dikelola pemerintah secara bertahap, khususnya perbaikan sarana dan prasarana, peningkatan profesionalisme tenaga
23 - 10
pelatih/instruktur dan peningkatan kualitas materi pelatihan, agar lembaga pelatihan dapat memberikan perbaikan kualitas dan kompetensi tenaga kerja; 5.
Penyempurnaan mekanisme untuk memperkuat proses negosiasi antara pekerja dan pemberi kerja, sehingga dapat dihasilkan negosiasi yang saling memberi manfaat, khususnya dalam hal pengupahan, kondisi kerja dan syarat kerja;
6.
Peningkatan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja yang selama ini masih harus diperbaiki, termasuk pengawasan terhadap perusahaan yang mempekerjakan pekerja anak. Selain itu jumlah pegawai pengawas ketenagakerjaan yang masih sangat terbatas kuantitas dan kualitasnya akan ditingkatkan.
23 - 11