BAB 23 PERBAIKAN IKLIM KETENAGAKERJAAN
Situasi ketenagakerjaan di Indonesia masih ditandai dengan tingginya tingkat pengangguran terbuka dan masih lambatnya daya serap tenaga kerja di lapangan kerja formal. Jumlah setengah pengangguran yang cukup besar juga mencerminkan lapangan kerja pada sektor yang digelutinya menjadi kurang produktif yang menyebabkan mereka berpendapatan rendah. Rendahnya produktivitas dan pendapatan menjadi sumber utama yang menyebabkan mereka sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan (near poor). Untuk itu upaya menciptakan lapangan kerja baru menjadi prioritas utama pemerintah. Jalan terbaik untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi tidak lain adalah dengan meningkatkan iklim investasi dan memperbaiki daya saing Indonesia di pasar internasional, termasuk memperbaiki iklim ketenagakerjaan.
I.
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Kondisi ketenagakerjaan yang dihadapi dalam tahun 2006 masih mengalami banyak permasalahan. Jumlah pengangguran terbuka pada Februari 2006 mencapai 11,1 juta orang, atau bertambah sebanyak 250 ribu orang dibandingkan jumlah penganggur terbuka
pada Februari 2005 dengan tingkat pengangguran sebesar 10,3 persen. Dengan kondisi seperti ini, tingkat pengangguran terbuka meningkat menjadi 10,4 persen pada Februari 2006, seperti keadaan pada Februari 2005 sebesar 10,3 persen. Sementara itu, jumlah angkatan kerja pada Februari 2006 mencapai 106,3 juta orang, terdapat penambahan sekitar 500 ribu orang dibandingkan pada Februari 2005, sebesar 105,8 juta orang. Namun demikian, bila dibandingkan dengan bulan November 2005, tingkat pengangguran terbuka sudah menurun dari 11,2% pada bulan November 2005 menjadi 10,4% pada bulan Februari 2006. Pengangguran terbuka di Indonesia juga masih diwarnai oleh besarnya kelompok usia muda dan berpendidikan sangat rendah. Sampai dengan Februari tahun 2006 pengangguran terbuka pada kelompok usia muda (15 – 24 tahun) berjumlah 6,9 juta orang atau 61,8 persen dari jumlah pengangguran terbuka (11,1 juta orang). Sementara itu dari tingkat pendidikan yang ditamatkan sebagian besar berpendidikan Sekolah Tingkat Pertama (SMTP) ke bawah yaitu sebesar 6,4 juta orang atau 57,5 persen. Sebagian besar berada di daerah perkotaan yaitu sebesar 5,8 juta orang atau sekitar 52,4 persen. Namun demikian terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah pengangguran terbuka di daerah perdesaan selama kurun waktu 3 tahun terakhir ini. Jika pada tahun 2004 jumlah pengangguran terbuka di daerah perdesaan sebesar 4,8 juta orang, maka pada tahun 2006 (bulan Februari) menjadi 5,3 juta orang. Hampir 50 persen pengangguran terbuka tersebut, berada di Pulau Jawa, yaitu di propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur masing-masing sebesar 2,5 juta orang, 1,4 juta orang, dan 1,5 juta orang pada tahun 2006. Kondisi ini juga perlu mendapatkan perhatian yang serius mengingat daya dukung perekonomian dan sumber daya alam juga semakin terbatas di pulau Jawa. Di samping permasalahan pengangguran terbuka, pekerja yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu juga masih menjadi permasalahan karena jumlahnya terus meningkat. Pada Agustus 2004 sebesar 29,8 persen meningkat menjadi 31,2 persen pada Februari 2005, dan 31,4 persen pada Februari 2006. Situasi ini mencerminkan lapangan kerja pada sektor yang digelutinya menjadi kurang produktif yang menyebabkan mereka juga berpendapatan rendah. Rendahnya 23 - 2
produktivitas dan pendapatan menjadi sumber utama yang menyebabkan mereka sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan (near poor). Lapangan kerja formal yang sempat mengalami perkembangan kurang menggembirakan antara tahun 2000–2003, saat ini telah mulai menunjukkan peningkatan meskipun sangat sedikit. Tahun 2004, terdapat 28,4 juta atau 30,3 persen pekerja yang bekerja pada kegiatan ekonomi formal, telah meningkat menjadi 28,6 juta atau 30,2 persen pada Februari 2005 dan menjadi 28,8 juta orang atau 30,2 persen pada Februari 2006. Sedangkan lapangan kerja informal jumlahnya juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2004 lapangan kerja informal sebanyak 65,3 juta orang atau 69,7 persen, maka pada bulan Februari 2005 telah mencapai 66,3 juta orang atau 69,8 persen. Kondisi pada Februari 2005 dengan Februari 2006 juga tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar lapangan kerja yang ada di Indonesia masih didominasi oleh lapangan kerja informal yang kurang produktif. Meskipun demikian lapangan kerja informal tetap menjadi tumpuan bagi sebagian besar penduduk untuk memperoleh mata pencahariannya. Sementara itu lapangan kerja formal yang semakin terbatas tidak mampu menyerap angkatan kerja yang jumlahnya terus bertambah. Ketimpangan pasar kerja yang digambarkan oleh masih besarnya pekerja informal menunjukkan bahwa perekonomian nasional masih belum mampu mengoptimalkan sumber daya yang ada bagi peningkatan produktivitas nasional. Besarnya jumlah pekerja informal juga menjadi perhatian khusus dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, dan papan serta peningkatan kesejahteraan dan perlindungan sosial. Dari sisi kualitas tenaga kerja, tingkat pendidikan pekerja sebagian besar berada pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan SD ke bawah, yaitu sebesar 52,9 juta orang atau hampir 60 persen dari jumlah pekerja pada Februari 2006. Lemahnya kemampuan yang dicerminkan dari rendahnya tingkat pendidikan pekerja Indonesia dirasakan sebagai salah satu hambatan utama bagi investor. Rendahnya keahlian ini akan mempersempit ruang bagi kebijakan untuk meningkatkan struktur produksinya. Kondisi ini dalam jangka 23 - 3
panjang tampaknya tidak banyak mengalami perubahan. Struktur pekerja ke depan masih akan didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah. Ketersediaan kondisi pekerja tersebut, menjadikan hambatan utama dalam upaya untuk meningkatkan daya saing nasional yang relatif masih tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara terutama di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan peringkat daya saing dunia yang disusun oleh Institute for Management Development (IMD) dalam laporannya di World Competitiveness Yearbook 2006, Indonesia berada pada posisi ke 60 dari 61 negara. Dengan posisi ini Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan sesama negara di kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Philipina, dan Thailand. Kondisi ini mencerminkan upaya untuk terus menerus memperbaiki sistem pendidikan dan pelatihan bagi pekerja yang berpendidikan rendah. Masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang standardisasi dan sertifikasi profesi pada masingmasing sektor juga menimbulkan kerancuan pelaksanaan standardisasi dan sertifikasi profesi secara nasional. Pembentukan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2004 dan pengukuhan Ketua dan Anggotanya pada tahun 2005 diharapkan dapat menjembatani perbedaan yang ada sehingga dapat terciptanya pengakuan dan komitmen bersama diantara stakeholder terhadap standardisasi dan sertifikasi tenaga kerja. Berkaitan dengan penyelenggaraan, penempatan, dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, Pemerintah terus menerus melakukan perbaikan dan penyempurnaan mekanisme penempatan. Aspek perlindungan TKI telah menjadi perhatian yang terus ditingkatkan agar TKI dapat merasa aman dan nyaman untuk bekerja di luar negeri. Selain itu perlindungan bagi TKI yang kembali dari bekerja ke luar negeri juga mendapatkan perhatian yang sungguhsungguh agar terhindar dari berbagai pungutan pada saat kepulangan TKI ke tanah air. Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negaranegara penerima TKI juga terus dikembangkan agar tercipta saling pengertian dan menguntungkan dikedua belah pihak. Meningkatnya tekanan biaya hidup yang dialami pekerja, menyebabkan tuntutan akan kenaikan upah minimum masih merupakan persoalan. Kenaikan upah minimum yang tinggi yang 23 - 4
terjadi akhir-akhir ini di seluruh Indonesia disebabkan oleh sejumlah kelemahan dalam proses penetapan upah minimum diantaranya, ketergantungan yang besar terhadap indeks kebutuhan hidup minimum. Disadari bahwa sejak diberlakukannya otonomi daerah, penetapan indeks masih belum tepat dan masih diperlukan kehatihatian karena belum adanya pedoman mengenai bagaimana menggunakan kriteria lain dalam penetapan upah minimum, serta rendahnya partisipasi para stakeholder utamanya dalam poses penetapan upah. Besarnya potensi perbedaan pendapat serta timbulnya perselisihan antara pemberi kerja dan penerima kerja dalam kerangka hubungan industrial juga menjadi perhatian utama. Terjadinya konflik dan penolakan dari serikat pekerja terhadap rencana revisi UndangUndang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi salah satu contoh belum adanya persamaan pendapat. Di samping itu, perselisihan hubungan industrial yang mengakibatkan pertentangan antara pemberi kerja dengan penerima kerja karena sering terjadinya perselisihan mengenai hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan kecenderungannya semakin meningkat. Dengan jumlah pengangguran yang demikian besar dan terus meningkat, sebagian besar bekerja pada lapangan kerja informal, sebagian besar memiliki tingkat pendidikan rendah, serta umumnya masih berusia muda, maka upaya perumusan kebijakan untuk memperluas kesempatan kerja yang telah ditempuh dalam tahun 2005 terus dilanjutkan dan harus diutamakan di tahun 2006. Penciptaan pasar kerja yang lebih luwes akan mendorong perluasan kesempatan kerja pada industri padat pekerja. Dengan besarnya jumlah angkatan kerja di Indonesia, industri padat pekerja sangat dibutuhkan. Kebijakan pasar kerja yang dibuat harus mempermudah orang untuk melakukan kegiatan ekonomi termasuk kemudahan bagi tenaga kerja untuk dapat berpindah pekerjaan dari pekerjaan yang kurang produktif ke pekerjaan yang lebih tinggi produktivitasnya. Pemecahan permasalahan ketenagakerjaan masih menghadapi tantangan cukup berat. Terdapat sekurang-kurangnya 5 (lima) tantangan utama dalam memperbaiki iklim ketenagakerjaan pada tahun 2006, yaitu: 23 - 5
1)
Melanjutkan kebijakan penciptaan pasar kerja yang lebih luwes.
2)
Menyempurnakan pola hubungan industrial agar tercipta hubungan industrial yang harmonis, adil, terbuka, dan demokratis.
3)
Menyempurnakan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja.
4)
Melanjutkan penyempurnaan mekanisme penempatan dan perlindungan tenaga kerja ke luar negeri.
5)
Melanjutkan penyempurnaan berbagai upaya kesempatan kerja yang dilakukan oleh Pemerintah.
II.
LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI
penciptaan
Dengan memperhatikan permasalahan tersebut di atas, Pemerintah terus berupaya mendorong terciptanya lapangan kerja ke arah industri padat pekerja, industri menengah dan kecil, serta industri yang berorientasi ekspor. Untuk itu perbaikan iklim ketenagakerjaan melalui penerapan kebijakan pasar kerja yang luwes terus dilanjutkan. Kebijakan pasar kerja yang luwes akan mendorong kesempatan kerja pada industri padat pekerja dengan tetap mempertimbangkan perlindungan tenaga kerja tanpa menghambat upaya pertumbuhan kesempatan kerja. Berkaitan dengan itu, diupayakan untuk memperkuat hubungan antara pemberi kerja dan pekerja dalam rangka menciptakan hubungan industrial yang harmonis, menyempurnakan penyelenggaraan pelatihan kerja serta meningkatkan kompetensi melalui sertifikasi tenaga kerja, menyempurnakan mekanisme penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri, dan menyempurnakan berbagai upaya penciptaan kesempatan kerja yang dilakukan oleh Pemerintah. Adapun langkah-langkah kebijakan ini ditempuh dengan: Pertama, menciptakan dan memperluas kesempatan kerja, yang terdiri atas (1) menyempurnakan aturan main yang berkaitan dengan rekrutmen dan outsourcing, pengupahan, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perlindungan pekerja yang berlebihan; (2) melanjutkan
23 - 6
penyempurnaan kegiatan pendukung pasar kerja dalam rangka mempertemukan pengguna dan pencari kerja, termasuk mendorong terbentuknya informasi pasar kerja dan bursa kerja; (3) menyempurnakan berbagai program yang berkaitan dengan kebijakan migrasi tenaga kerja; (4) menyempurnakan penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri sesuai dengan amanat UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri; (5) memberikan fasilitasi dan dukugan yang diperlukan agar pekerja informal secara bertahap dapat berpindah ke lapangan kerja formal; (6) menyempurnakan dan memperbaharui program-program perluasan kesempatan kerja yang dilakukan oleh Pemerintah; dan (7) mengkoordinasikan penyusunan rencana tenaga kerja dan informasi pasar kerja. Kedua, meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, yang terdiri atas (1) melaksanakan program-program pelatihan kerja berbasis kompetensi (competency based training) dalam rangka peningkatan kualitas dan daya saing tenaga kerja; (2) mengembangkan standar kompetensi kerja dan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja; (3) memperkuat kelembagaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP); (4) memfasilitasi pelaksanaan uji kompetensi yang terbuka bagi tenaga kerja; (5) meningkatkan profesionalisme tenaga kepelatihan dan instruktur pelatihan kerja; dan (6) meningkatkan sarana dan prasarana lembaga pelatihan kerja, baik Pemerintah, swasta, maupun perusahaan termasuk meningkatkan relevansi dan kualitas lembaga pelatihan kerja. Ketiga, memberikan perlindungan dan mengembangkan lembaga tenaga kerja, yang terdiri atas (1) melaksanakan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; (2) memberikan pemahaman dan penyamaan persepsi atas peraturan/kebijakan ketenagakerjaan; (3) mendorong penyelesaian secara bipartit, yaitu negosiasi langsung antara pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha; (4) meningkatkan pengawasan, perlindungan dan penegakkan hukum terhadap aturan yang berlaku; (5) menyelesaikan permasalahan industrial secara adil, konsisten, dan transparan; (6) menyusun, mengembangkan, dan menyebarluaskan standard dan pedoman keselamatan dan kesehatan kerja (K3), hygiene perusahaan, dan lingkungan kerja; (7) melaksanakan rencana aksi 23 - 7
nasional (RAN) penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; dan (8) memberikan perlindungan kepada pekerja. Dalam rangka perluasan dan pengembangan kesempatan kerja, dilakukan: 1)
Penyempurnaan berbagai peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan dalam rangka mendukung perbaikan iklim investasi, antara lain dilaksanakan melalui dialog tripartit antara pengusaha, serikat pekerja dan Pemerintah).
2)
Penyempurnaan mendasar berbagai program kesempatan kerja yang dilakukan oleh Pemerintah.
3)
Penyelenggaraan pameran bursa kerja (Job Fair 2005) yang melibatkan 203 perusahaan dengan jumlah lowongan/jabatan yang tersedia sebanyak 14.000 lowongan/jabatan dengan jumlah pencari kerja yang datang dalam pameran tersebut sebanyak 72.809 orang, dan pelaksanaan Job Fair sampai bulan Juni 2006 yang diikuti oleh 78 perusahaan dengan jumlah pencari kerja sebanyak 7.615 orang, serta pengembangan bursa kerja on line dan informasi pasar kerja di 10 provinsi (36 lokasi).
4)
Penyederhanaan prosedur pemberian visa dan ijin tinggal bagi tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia melalui penerbitan ijin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA) oleh Depnakertrans sesuai Permenakertrans Nomor: PER-07/MEN/III/2006 dengan mempercepat proses pemberian IMTA dari sebelumnya 7 hari kerja menjadi 4 hari kerja; dan penyempurnaan penerbitan kartu ijin tinggal terbatas (KITAS) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor: 38/2005 yang memuat ketentuan pemberian ijin tinggal terbatas dari 1 tahun menjadi paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang paling banyak dua kali berturut-turut.
5)
Pemberian ijin mempekerjakan TKA yang terdiri dari ijin yang diterbitkan sebanyak 103.506 TKA, dan ijin yang masih berlaku sebanyak 50.903 TKA.
6)
Penyempurnaan mekanisme penempatan dan perlindungan TKI antara lain melalui penyederhanaan birokrasi pelayanan
23 - 8
perluasan
penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, yang semula dari 21 tahap menjadi 11 tahap. 7)
Penempatan TKI ke luar negeri dari tahun 2005 sampai dengan Juni 2006 sebanyak 727.416 orang yang diperkirakan mampu memberikan remitansi sebesar US$ 4,73 miliar.
8)
Pelaksanaan pembinaan bagi TKI purna, antara lain melalui bimbingan wirausaha baru, pengembangan usaha dan pendampingan serta membangun akses kredit usaha kecil dan menengah (UKM) dari perbankan dan akses terhadap programprogram instansi pemerintah lainnya.
9)
Penempatan tenaga kerja antar kerja antar daerah (AKAD) dan antar kerja lokal (AKL) sebanyak 50.016 orang; penempatan tenaga kerja antar kerja khusus (AKSUS) sebanyak 885 orang.
10)
Uji coba pemberdayaan tenaga kerja melalui pola subsidi yang bertujuan untuk menyusun model alternatif pembinaan terhadap penganggur dalam rangka mendorong terbentuknya wirausahawan baru yang mandiri dan memperkuat usaha kecil dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin yang diikuti oleh 300 orang peserta.
11)
Melakukan sosialisasi berbagai kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi pengangguran, dipusatkan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, melalui kegiatan program aksi padat karya, tenaga kerja mandiri (TKM), tenaga kerja sukarela (TKS), dan teknologi tepat guna (TTG) di 57 kabupaten/kota di 20 provinsi.
12)
Pemberdayaan tenaga kerja antara lain melalui kegiatan tenaga kerja pemuda mandiri professional (TKPMP) sebanyak 780 orang, pemberdayaan TKS sebanyak 1.066 orang, pemberdayaan TKM sebanyak 852 orang, pemberdayaan wirausaha baru (WUB) sebanyak 1.632 orang, dan pemberdayaan TTG sebanyak 2.700 orang, pemberdayaan usaha ekonomi produktif yang menyerap tenaga kerja sebanyak 610 orang, di samping itu dilaksanakan perluasan kerja sistem padat karya produktif bagi penganggur dan setengah penganggur sebanyak 34.069 orang atau 1.935.940 hari orang kerja (HOK). 23 - 9
Dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja dilakukan (1) pengembangan dan penetapan standar kompetensi kerja melalui kegiatan penyusunan standar kompetensi kerja sebanyak 23 Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI); (2) pembentukan asosiasi profesi sebanyak 38 asosiasi dan lembaga sertifikasi profesi (LSP) sebanyak 13 lembaga, termasuk pemberian lisensi kepada 8 (delapan) LSP sebagai pelaksana uji kompetensi tenaga kerja; (3) percepatan proses sertifikasi dengan diterbitkannya Surat Keputusan Ketua BNSP Nomor: KEP.18/BNSP/IV/2006 tentang Batas Waktu Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kerja dan Lisensi LSP; (4) percepatan proses akreditasi dengan diterbitkannya Surat Keputusan Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja (LA-LPK) Nomor: KEP.07/LA-LPK/IV/2006 tentang Pedoman Umum Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja; (5) terbentuknya Lembaga Produktivitas Nasional (LPN) dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2005; (6) promosi produktivitas melalui multy country supporting program tentang productivity improvement for government services dan promosi produktivitas melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik; (7) pemetaan lembaga pelatihan dan produktivitas di seluruh Indonesia pada 162 Balai Latihan Kerja/Loka Latihan Kerja/Balai Besar (BLK/KLK/BB), 18 Balai Pelayanan Produktivitas Daerah (BPPD), dan 6 Balai Latihan Transmigrasi; (8) pelatihan institusional bagi 22.658 orang dan pelatihan non institusional (Mobile Training Unit) bagi 29.244 orang di BLK; (9) pemagangan di dalam negeri sebanyak 2.455 orang dan pemagangan di luar negeri, terutama di negara Jepang sebanyak 1.402 orang; (10) pelatihan teknisi sebanyak 1.350 orang; (11) peningkatan profesionalisme instruktur dan tenaga kepelatihan sebanyak 214 orang; (12) pelatihan peningkatan produktivitas sebanyak 4.690 orang dan pengembangan kelembagaan produktivitas sebanyak 1.698 orang; (13) pencanangan klinik pelatihan keliling dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa di provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah sebanyak 100 paket pelatihan dan akan menghasilkan tenaga kerja terampil di bidang bangunan sebanyak 1.920 orang; dan (14) peningkatan sarana dan prasarana di beberapa BLK untuk memperkuat pelaksanaan pelatihan berbasis kompetensi. Dalam rangka memberikan perlindungan pekerja serta mengembangkan dan memperkuat lembaga tenaga kerja dilakukan (1) 23 - 10
peningkatan intensitas dialog sosial, baik melalui forum tripartit maupun bipartit; (2) penyederhanaan proses pengesahan peraturan perusahaan dari sebelumnya memerlukan waktu 14 hari kerja menjadi 7 hari kerja dan proses pendaftaran perjanjian kerja bersama (PKB) dari sebelumnya memerlukan waktu 7 hari kerja menjadi 6 hari kerja dalam rangka upaya pelaksanaan INPRES Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi bidang ketenagakerjaan; (3) mendorong penyelesaian berbagai perselisihan antara pengusaha dan serikat pekerja melalui forum bipartit; (4) reformasi di bidang hubungan industrial, khususnya dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pemberlakuan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dan pembangunan pengadilan hubungan industrial serta perangkat operasionalnya; (5) penyelesaian kasus PHI sebanyak 263 kasus; (6) penanganan kasus pemogokan kerja sebanyak 3.725 kasus; (7) seleksi dan pembekalan hakim adhoc sebanyak 55 orang, mediator sebanyak 973 orang, konsiliator sebanyak 122 orang, dan arbiter sebanyak 39 orang, serta pembekalan hakim karir sebanyak 100 orang; (8) penambahan personil pengawas ketenagakerjaan sebanyak 523 orang melalui diklat klasikal dan diklat jarak jauh dalam rangka peningkatan pengawasan, perlindungan dan penegakkan hukum; (9) pembinaan lembaga keselamatan dan kesehatan kerja (lembaga K3) di 134 perusahaan; (10) sertifikasi kompetensi personil keselamatan dan kesehatan kerja sebanyak 28.488 orang; (11) pelaksanaan rencana aksi nasional (RAN) penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, antara lain dengan menggalang kepedulian para pemangku kepentingan dan penetapan zona bebas pekerja anak di Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai ”pilot”; (12) pembinaan syarat-syarat kerja dan peningkatan kesejahteraan pekerja; (13) kepesertaan pekerja pada jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) sampai dengan bulan Juni 2006 sebanyak 20.612.772 orang di 102.821 perusahaan; dan (14) penetapan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja.
23 - 11
III.
TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Upaya perbaikan iklim ketenagakerjaan yang telah dilaksanakan melalui penerapan kebijakan pasar kerja yang luwes terus dilanjutkan agar tercipta kesempatan kerja formal seluas-luasnya. Penerapan kebijakan ini perlu dukungan dan upaya dari berbagai pihak, baik pemerintah, dunia usaha/pengusaha, serikat pekerja, maupun masyarakat luas. Dukungan dan upaya dari berbagai pihak tersebut diharapkan dapat mendorong terwujudnya iklim usaha antara lain dengan memperbaiki kebijakan iklim investasi. Kebijakan ini diharapkan dapat mempercepat perkembangan sektor riil dan peningkatan ekspor. Oleh karena itu, prioritas peningkatan kesempatan kerja, investasi dan ekspor dalam Rencana Kerja Pemerintah mendatang akan tetap menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Sasaran pembangunan yang akan dicapai dalam prioritas tersebut antara lain adalah menurunnya angka pengangguran terbuka, meningkatnya investasi, tumbuhnya industri pengolahan, dan meningkatnya ekspor. Untuk itu, upaya perbaikan iklim investasi dan berusaha yang antara lain ditempuh melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan penanaman modal dan penyederhanaan prosedur dan peningkatan pelayanan penanaman modal, baik di tingkat pusat maupun daerah terus dilanjutkan. Di samping itu, juga terus diupayakan peningkatan ekspor non migas, perluasan negara tujuan dan produk ekspor serta upaya untuk mempercepat tumbuh dan berkembangnya sektor riil melalui peningkatan produktivitas dan akses (UKM) kepada sumberdaya produktif. Agar rencana kerja Pemerintah mendatang dapat terselenggara dengan baik sesuai dengan prioritas pembangunan nasional maka kebijakan yang akan ditempuh adalah: (1) melanjutkan kebijakan penciptaan pasar kerja yang lebih luwes; (2) meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui pelatihan berbasis kompetensi; (3) mendorong terciptanya hubungan industrial yang harmonis dengan dukungan institusi dan mekanisme penyelesaian hubungan industrial yang cepat, adil, dan murah; (4) mengupayakan agar upah pekerja merupakan hasil perundingan bipartit; (5) memperbaiki iklim investasi dan berusaha; (6) melanjutkan kebijakan untuk mengurangi biaya transaksi dan praktik ekonomi biaya tinggi; (7) meningkatkan ekspor 23 - 12
non migas, memperluas negara tujuan dan produk ekspor; (8) meningkatkan intensitas pariwisata; (9) meningkatkan produktivitas dan akses UKM kepada sumberdaya produktif; (10) mempercepat pelaksanaan reformasi birokrasi; (11) melanjutkan kebijakan untuk meningkatkan kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi dunia usaha, termasuk UKM; (12) mengembangkan diversifikasi ekonomi dan infrastruktur perdesaan; dan (13) mempercepat pembangunan infrastruktur.
23 - 13