BAB 23 PERBAIKAN IKLIM KETENAGAKERJAAN
I.
Permasalahan yang Dihadapi
Kondisi ketenagakerjaan dalam kurun waktu Februari 2005—Februari 2008 menunjukkan perkembangan yang semakin membaik. Jumlah kesempatan kerja yang tercipta telah mengalami peningkatan. Pada Februari 2005 jumlah penduduk yang bekerja mencapai 94,95 juta orang. Jumlah ini meningkat, 7,10 juta menjadi sekitar 102,05 juta orang pada Februari 2008. Dari jumlah tersebut, kesempatan kerja di sektor industri manufaktur meningkat sekitar 790.000 orang. Kesempatan kerja baru yang tercipta telah menurunkan angka pengangguran terbuka. Pada Februari 2005 jumlah penganggur terbuka sebanyak 10,85 juta orang atau 10,26 persen dari angkatan kerja. Namun, kondisi ini membaik pada tahuntahun berikutnya. Pada Februari 2008, jumlah penganggur terbuka menjadi 9,43 juta atau 8,46 persen dari angkatan kerja. Dengan demikian, dalam kurun waktu tersebut, jumlah penganggur terbuka telah berkurang 1,42 juta orang.
Tabel 23.1 Perkembangan Jumlah Angkatan Kerja, Pekerja, Pengangguran Terbuka, dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), Februari 2005-Februari 2008 Tahun
Februari 2005
Angkatan Kerja (juta orang) Jumlah Perubahan 105,80
Pekerja (juta orang) Jumlah Perubahan 94,95
Pengangguran Terbuka (juta orang) Jumlah Perubahan 10,85
TPT
10,26%
November 2005
105,86
0,06
93,96
-0,99
11,90
1,05
Februari 2006
106,28
0,42
95,18
1,22
11,10
-0,79
11,24% 10,45%
Agustus 2006
106,39
0,11
95,46
0,28
10,93
-0,17
10,28%
Februari 2007
108,13
1,74
97,58
2,13
10,55
-0,38
9,75%
Agustus 2007 Februari 2008
109,94 111,48
1,81 1,54
99,93 102,05
2,35 2,12
10,01 9,43
-0,54 -0,58
9,11% 8,46%
Perkembangan tingkat pengangguran terbuka menurut tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan pada Februari 2005 memperlihatkan bahwa angkatan kerja lulusan sekolah menengah umum (SMU) memiliki tingkat pengangguran terbuka tertinggi yaitu sebesar 18,82 persen, untuk sekolah menengah kejuruan (SMK) 16,38 persen, diploma 12,93 persen, dan universitas sebesar 11,46 persen. Pada Agustus 2007, tingkat pengangguran terbuka untuk SMK adalah yang tertinggi, yaitu sebesar 21,00 persen, sedangkan SMU 16,57 persen, diploma 13,26 persen, dan universitas 13,61 persen. Dilihat dari status pekerjaan, pada Februari 2008 sebesar 30,87 persen orang yang bekerja atau sekitar 31,50 juta orang bekerja di lapangan kerja formal. Pekerja formal ini adalah mereka yang berusaha dengan dibantu buruh tetap dan buruh/karyawan. Persentase ini tidak banyak berbeda jika dibandingkan dengan kondisi pada Februari 2005 (30,17 persen). Sebagian besar tenaga kerja menggantungkan hidupnya pada lapangan kerja informal yang kurang memberikan jaminan sosial yang memadai. Jika dilihat dari jenis kelamin pekerja, pada Februari 2008 terdapat sekitar 33,17 persen tenaga kerja perempuan dengan status pekerja keluarga informal. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah tenaga kerja perempuan meningkat pesat, yaitu sekitar 4,48 juta orang antara Februari 2005—Februari 2008, mereka umumnya bekerja di
23 - 2
lapangan kerja informal. Lapangan pekerjaan informal masih menjadi tumpuan bagi angkatan kerja, khususnya mereka yang berpendidikan rendah. Sebagian besar penganggur terbuka tergolong penganggur usia muda (15—24 tahun). Jumlah penganggur usia muda pada Agustus 2007 mencapai 5,66 juta orang atau 56,54 persen dari jumlah penganggur terbuka. Dari jumlah tersebut, 50,92 persennya merupakan penganggur terdidik dengan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) ke atas. Sertifikat kompetensi sebagai suatu penghargaan yang seharusnya dimiliki oleh pekerja belum banyak diakui oleh pengguna tenaga kerja. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kerja yang berkualitas masih merupakan tantangan ke depan agar angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja mempunyai kompetensi yang tinggi dan sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Pelaksanaan hubungan industrial yang baik mulai berkembang di era demokrasi yang terus diperjuangkan oleh pekerja, meskipun beberapa hal masih mengalami persoalan, seperti tuntutan para pekerja untuk memperoleh peningkatan kesejahteraan dan perbaikan kondisi kerja yang memadai. Di sisi lain, para pengusaha mengharapkan produktivitas yang tinggi dari pekerja. Perbedaan kepentingan ini sering menimbulkan ketegangan antara pekerja dan pemberi kerja. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia di dalam negeri mendorong sebagian angkatan kerja untuk bekerja ke luar negeri. Namun, proses penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri masih menghadapi berbagai kendala. Penyederhanaan dan desentralisasi pelayanan penempatan TKI yang belum optimal menyebabkan masih adanya permasalahan berkaitan dengan kelengkapan dokumen yang harus dipenuhi TKI. Pengurusan paspor dengan pengaman biometrik dalam waktu singkat masih mengalami kendala. Permasalahan lain seperti gaji yang tidak dipenuhi, kondisi tempat kerja yang tidak sesuai dengan kontrak, dan permasalahan pidana seperti kasus-kasus penganiayaan masih sering terjadi. Dari sisi pembiayaan, fasilitasi kredit bagi TKI juga masih sangat terbatas.
23 - 3
II.
Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Pemecahan masalah pengangguran perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan institusi yang kuat dalam menjabarkan, termasuk di dalamnya adalah membangun mekanisme yang mampu memastikan bahwa pelaksanaan dari berbagai kebijakan penciptaan lapangan kerja benar-benar terjabarkan dengan baik, termasuk oleh daerah. Daerahdaerah yang merupakan kantung-kantung pengangguran perlu didorong untuk menciptakan lapangan kerja, baik melalui investasi maupun keselarasan antara APBN dan APBD untuk mendorong kegiatan ekonomi dan menciptakan kesempatan kerja. Dengan memperhatikan kondisi permasalahan ketenagakerjaan tersebut, Pemerintah terus melakukan perbaikan iklim ketenagakerjaan. Iklim ketenagakerjaan yang semakin baik merupakan salah satu upaya untuk mendorong iklim investasi. Dengan demikian, investasi dapat tumbuh dan membuka kesempatan kerja baru bagi masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan perbaikan iklim ketenagakerjaan, kebijakan yang ditempuh adalah sebagai berikut: Pertama, kebijakan pasar kerja yang lebih luwes terus diupayakan melalui penyempurnaan dan perbaikan peraturan ketenagakerjaan, peningkatan fungsi lembaga bipartit dalam pelaksanaan negosiasi hubungan industrial agar suasana yang seimbang dalam perundingan antara pekerja dan pemberi kerja dapat tercipta. Kedua, dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja memasuki pasar kerja, kualitas dan produktivitas tenaga kerja ditingkatkan antara lain dengan mengembangkan standar kompetensi kerja dan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja, menyelenggarakan pelatihan kerja berbasis kompetensi, dan meningkatkan keterampilan para penganggur.
23 - 4
Ketiga, dalam rangka memberikan akses pekerjaan kepada para penganggur, program pemerintah yang dapat menciptakan kesempatan kerja terus disempurnakan, serta didukung oleh pengembangan pusat-pusat pelayanan informasi ketenagakerjaan melalui bursa kerja on-line (BKOL). Bagi tenaga kerja yang ingin bekerja ke luar negeri, pemerintah terus menyempurnakan sistem dan mekanisme penempatan dan perlindungan TKI. Langkah kebijakan yang ditempuh dilaksanakan melalui program ketenagakerjaan, yaitu, sebagai berikut, Pertama, Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja, adalah dengan: (1) menyempurnakan peraturan ketenagakerjaan; (2) meng konsolidasikan program penciptaan kesempatan kerja; (3) mengembangkan pusat pelayanan informasi ketenagakerjaan; (4) meningkatkan pelayanan TKI ke luar negeri dengan murah, mudah, dan cepat; (5) melakukan kerja sama pembangunan sistem informasi terpadu pasar kerja luar negeri; dan (6) meningkatkan fungsi perwakilan RI dalam perlindungan TKI ke luar negeri. Kedua, Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja, adalah dengan: (1) meningkatkan program pelatihan berbasis kompetensi; (2) meningkatkan fungsi dan revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) menjadi lembaga pelatihan berbasis kompetensi; (3) meningkatkan profesionalisme tenaga kepelatihan dan instruktur BLK; (4) meningkatkan dan memperbaiki sarana dan prasarana BLK; (5) menyelenggarakan program pelatihan pemagangan dalam negeri dan luar negeri; (6) memfasilitasi lembaga pendidikan dan pelatihan kerja; (7) menyusun dan mengembangkan standar kompetensi kerja nasional; (8) mengharmonisasikan regulasi standardisasi dan sertifikasi kompetensi; (9) mempercepat pengakuan/rekognisi sertifikat kompetensi tenaga kerja; (10) menguatkan kelembagaan BNSP; dan (11) mengembangkan kelembagaan produktivitas dan pelatihan kewirausahaan. Ketiga, Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Tenaga Kerja dilakukan dengan: (1) mendorong pelaksanaan
23 - 5
negosiasi bipartit antara serikat pekerja dan pemberi kerja; (2) meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga pengawas hubungan industrial; (3) menyeberluaskan pemahaman dan penyamaan persepsi tentang peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan; (4) meningkatkan pengawasan, perlindungan dan penegakan hukum serta keselamatan dan kesehatan kerja; (5) membina syarat kerja dan kesejahteraan pekerja; (6) mengembangkan jaminan sosial tenaga kerja; dan (7) mengurangi pekerja anak dalam rangka menunjang program keluarga harapan (PKH). Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Kegiatan yang dilakukan antara lain dengan kegiatan sebagai berikut. (1)
Penyederhanaan prosedur pemberian visa dan izin tinggal bagi investor/tenaga kerja asing dalam upaya mempercepat proses pemberian izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA) dari sebelumnya 4 hari kerja menjadi 3 hari kerja dan pemberian kewenangan perpanjangan IMTA kepada daerah;
(2)
Pemberdayaan masyarakat, khususnya penganggur dan setengah penganggur melalui pemberian peluang pekerjaan kepada lebih dari 1,0 juta orang penganggur/setengah penganggur. Kegiatan yang dilakukan antara lain: (a) pembangunan infrastruktur skala kecil di beberapa kabupaten/kota, daerah tertinggal, dan lokasi musibah bencana alam serta kantong-kantong pengangguran dan kemiskinan melalui kegiatan padat karya produktif; (b) penerapan teknologi tepat guna untuk membantu usaha skala mikro/kecil/perorangan; (c) pembinaan wirausaha baru; dan (d) pendampingan usaha mandiri;
(3)
Penyelenggaraan job fair dengan menempatkan tenaga kerja lebih dari 100.000 orang dan penyelenggaraan bursa kerja di daerah dengan menempatkan pekerja di perusahaan dan penempatan ke beberapa daerah yang membutuhkan lebih
23 - 6
dari 1,0 juta orang, serta penempatan tenaga kerja penyandang cacat lebih dari 3.000 orang. Untuk memfasilitasi TKI ke luar negeri, langkah-langkah yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. (1)
Penempatan TKI ke luar negeri untuk pekerja lebih dari 2,0 juta orang. Penempatan di kawasan Asia Pasifik sekitar 1,0 juta orang, kawasan Timur Tengah dan Afrika lebih dari 900.000, dan kawasan Eropa dan Amerika sekitar 200.000;
(2)
Fasilitasi penyelesaian permasalahan TKI melalui advokasi dan pembinaan. Kasus yang sudah diselesaikan sekitar 80 persen;
(3)
Pelayanan penempatan melalui job fair di 12 lokasi serta membangun bursa kerja online di 25 lokasi provinsi/kabupaten/kota untuk mengakses peluang kerja ke luar negeri;
(4)
Pendaftaran ulang perusahaan pelaksana penempatan TKI swasta sebanyak 447 perusahaan, penerbitan kembali surat izin penempatan bagi 370 perusahaan, dan mencabut izin perusahaan penempatan TKI yang tidak memenuhi syarat sebanyak 104 perusahaan;
(5)
Pembentukan atase ketenagakerjaan untuk 6 atase ketenagakerjaan yaitu di Malaysia, Hongkong, Riyadh, Jeddah, Abu Dhabi, dan Kuwait; dan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan negara Yordania, Kuwait, Qatar, dan Syria.
Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja. dilakukan antara lain dengan kegiatan sebagai. (1)
Pelatihan kerja bagi 184.548 orang, meliputi pelatihan berbasis kompetensi 25.130 orang, berbasis lokal 71.289 orang, subsidi program 69.129 orang, pemagangan dalam
23 - 7
negeri 6.949 orang, pemagangan luar negeri 7.130 orang, dan kewirausahaan 4.615 orang. Sekitar 147.393 orang atau 80 persen dari peserta pelatihan dapat terserap di berbagai sektor/dunia usaha, (2)
Revitalisasi BLK menjadi lembaga pelatihan berbasis kompetensi secara bertahap dilakukan dengan mengembangkan sarana dan prasarana pelatihan, peremajaan peralatan pelatihan, pendidikan dan pelatihan instruktur, pengembangan standar kompetensi kerja nasional, dan peningkatan kualitas manajemen BLK. Salah satu hasil terpenting revitalisasi BLK adalah fasilitasi peralatan tempat uji kompetensi (TUK) untuk 7 kejuruan di 6 BLK,
(3)
Pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan profesionalisme instruktur sebanyak 3.064 orang,
(4)
Rehabilitasi sarana fisik 5 BLK unit pelaksana teknis daerah, dan pembangunan BLK baru di beberapa provinsi, yaitu Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Sulawesi Tengah,
(5)
Penetapan 80 Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) mencakup sektor pertanian dan perikanan (11 SKKNI), minyak dan gas (migas) dan listrik (16 SKKNI), industri manufaktur (10 SKKNI), pariwisata (4 SKKNI), keuangan perbankan (9 SKKNI), perhubungan dan telekomunikasi (7 SKKNI), kesehatan (3 SKKNI), konstruksi (1 SKKNI), dan jasa lainnya (19 SKKNI),
(6)
Penguatan kelembagaan BNSP, antara lain dengan pelatihan asesor lisensi, asesor kompetensi, dan master assesor masing-masing sebanyak 177 orang, 2.973 orang dan 124 orang, serta pembentukan 27 lembaga sertifikasi profesi (LSP) berlisensi,
23 - 8
(7)
Pengembangan kelembagaan produktivitas melalui kegiatan pengembangan kelembagaan produktivitas bagi 123 perusahaan, serta pembinaan dan pemberian penghargaan Paramakarya Produktivitas bagi 4 perusahaan kecil dan 5 perusahaan menengah yang berkinerja terbaik.
Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Tenaga Kerja. dilakukan antara lain dengan kegiatan sebagai berikut. (1)
Dialog sosial melalui berbagai media atau forum tripartit antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah, serta mendorong harmonisasi antara pekerja dan pengusaha melalui forum bipartit,
(2)
Penyederhanaan proses pengesahan peraturan perusahaan dari 14 hari kerja menjadi 7 hari kerja dan proses pendaftaran perjanjian kerja bersama (PKB) dari 7 hari kerja menjadi 6 hari kerja dalam rangka upaya pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi Bidang Ketenagakerjaan,
(3)
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan tentang pengawasan, jaminan sosial, perselisihan hubungan industrial, keselamatan dan kesehatan kerja di 33 provinsi,
(4)
Pekerja dan perusahaan yang menjadi peserta jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) pada tahun 2007 berjumlah 7.941.017 pekerja peserta aktif, 15.788.933 pekerja nonaktif, 90.967 perusahaan aktif, dan 68.516 perusahaan non-aktif. Sampai dengan triwulan I tahun 2008 terdapat 306.416 pekerja dan 3.465 perusahaan yang menjadi peserta baru Jamsostek. Jangkauan perlindungan Jamsostek juga diperluas dari semula hanya bagi tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerja menjadi tenaga kerja luar hubungan kerja. Pada tahun 2007 jumlah peserta Program Jamsostek
23 - 9
Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja sebesar 148.266 peserta dan kemudian meningkat 9.253 peserta pada tahun 2008 menjadi 157.519 peserta. (5)
Pembentukan 31 pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di seluruh Indonesia dan telah diresmikan secara keseluruhan di Padang pada tanggal 14 Januari 2006 oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
(6)
Pengangkatan 159 orang hakim ad-hoc pada pengadilan hubungan industrial dan Mahkamah Agung RI dengan Keputusan Presiden Nomor 31/M/Tahun 2006 tanggal 6 Maret 2006, pengangkatan 1.021 mediator, 230 konsiliator dan 60 arbitrer untuk membantu menyelesaikan perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan,
(7)
Pembentukan peraturan perusahaan (PP) dan PKB yang sampai bulan Mei 2008 jumlahnya mencapai 39.603 unit PP dan 10.087 unit PKB,
(8)
Peningkatan kemampuan pegawai teknis hubungan industrial dan human resources development (HRD) perusahaan mengenai penyusunan struktur dan skala upah yang diikuti 98 orang,
(9)
Pembentukan 10.822 unit lembaga kerja sama (LKS) bipartit pada tahun 2007 dan jumlah tersebut meningkat 352 unit menjadi 11.234 unit LKS pada tahun 2008,
(10)
Penanganan jumlah kasus perselisihan hubungan industrial selama Januari—Mei 2008 mencapai 432 kasus. Jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 1.533 orang. Dari 432 kasus tersebut, 271 kasus diselesaikan secara bipartit, 141 kasus secara mediasi, dan 20 kasus melalui pengadilan hubungan industrial,
23 - 10
(11)
Penambahan personel pengawas ketenagakerjaan sebanyak 780 orang sehingga menjadi 1.952 pengawas ketenagakerjaan dan penambahan pegawai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) sebanyak 60 orang sehingga menjadi 535 orang PPNS sampai bulan Juni 2008,
(12)
Pembinaan lembaga kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang terdiri 372 perusahaan jasa K3 dan 3.071 perusahaan panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja (P2K3), personel K3 yang terdiri atas 712 orang di tingkat ahli K3 dan 4.111 orang di tingkat operator, sertifikasi kompetensi personel keselamatan dan kesehatan kerja sebanyak 33.371 orang, pelatihan ahli kesehatan dan keselamatan kerja (K3) sebanyak 2.083 orang, dan pelatihan operator K3 sebanyak 2.076 orang,
(13)
Pemberian penghargaan kepada perusahaan yang mempunyai kecelakaan nihil (zero accident) berjumlah 979 perusahaan,
(14)
Pembentukan zona bebas pekerja anak di Kabupaten Kutai Kartanegara, pencegahan 10.245 anak untuk bekerja pada pekerjaan terburuk, dan penarikan pekerja anak dari pekerjaan terburuk,
(15)
Perluasan pembentukan komite aksi dan rencana aksi penghapusan bentuk-bentuk pekerja terburuk untuk anak di 23 provinsi dan 78 kabupaten/kota, untuk mencegah anak yang bekerja pada pekerjaan terburuk bagi 29.863 anak.
III.
Tindak Lanjut yang Diperlukan
Beberapa kegiatan yang diprioritaskan untuk dilaksanakan tahun 2009 antara lain sebagai berikut. (1)
memfasilitasi proses negosiasi bipartit dengan mendorong perundingan antara pekerja dan pemberi kerja dalam posisi yang seimbang;
23 - 11
(2)
meningkatkan informasi pasar kerja melalui fasilitasi kegiatan pendukung pasar kerja untuk memperkuat kelembagaan pasar kerja dengan menata sistem dan mekanisme informasi pasar kerja dan bursa kerja serta pengembangan dan pemberdayaan bursa kerja yang sudah ada;
(3)
mengembangkan program pemagangan bagi penganggur usia muda khususnya lulusan SLTA ke atas, dengan memadukan antara konsep pelatihan dan penempatan di perusahaan, disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan yang akan menjadi tempat magang;
(4)
memfasilitasi proses penyusunan dan penetapan standar kompetensi tenaga kerja Indonesia, pelaksanaan uji kompetensi yang terbuka bagi semua tenaga kerja, termasuk meningkatkan kinerja lembaga pelatihan kerja, serta meningkatkan profesionalisme tenaga kepelatihan, dan instruktur pelatihan kerja;
(5)
meningkatkan pemahaman dan kesadaran pengusaha dan pekerja mengenai pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja untuk mengurangi terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja;
(6)
meng konsolidasikan program pemerintah (APBN) yang dapat menciptakan kesempatan kerja lebih luas;
(7)
memberikan pekerjaan bagi penganggur dan setengah penganggur melalui kegiatan padat karya produktif, berupa kegiatan infrastruktur sederhana skala kecil, khususnya di daerah perdesaan.
Khusus untuk pekerja yang akan bekerja ke luar negeri difasilitasi dengan: (1)
23 - 12
memperbaiki pelaksanaan rekrutmen dengan meningkatkan
pelayanan pengurusan dokumen persyaratan yang diperlukan. Penyesuaian antara pembuatan paspor TKI dan kebijakan administrasi kependudukan akan diupayakan. Optimalisasi pusat pelayanan sampai dengan tingkat kecamatan akan terus ditingkatkan dengan memberikan peran kepada daerah dalam proses rekrutmen; (2)
meningkatkan perlindungan di luar negeri dengan melakukan kerja sama bilateral dengan negara tempat TKI dan mengoptimalkan perwakilan-perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, termasuk peran atase ketenagakerjaan dan memfasilitasi bantuan hukum bagi TKI yang mengalami permasalahan pidana;
(3)
mengupayakan pembiayaan TKI untuk memperoleh kredit, memperbaiki pengiriman remitansi dan asuransi. Hal-hal yang akan dilakukan antara lain dengan, (a) memfasilitasi kesepakatan kerja sama antara perbankan nasional dan pengguna jasa TKI dalam hal pembayaran angsuran kredit TKI; (b) berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam pemberian insentif kepada perbankan untuk mengembangkan produk pelayanan remitansi; dan (c) menciptakan transparansi prosedur pemilihan perusahaan asuransi yang menjadi penyedia jasa asuransi TKI.
23 - 13