BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kitin Nama kitin berasal dari bahas Yunani yaitu chiton, pertama kali diberikan oleh Odier pada tahun 1923, yang artinya sampul atau baju. Kitin merupakan polisakarida linear yang mengandung N-asetil-D-glukosamina yang terikat β, dimana pada hidrolisis akan menghasilkan 2-amino-2-deoksi-D-glukosa. Rumus umumnya adalah (C 8 H 13 O 5 N) n . Secara kimiawi kitin merupakan polimer (1,4)-2asetamido-2-deoksi-β-D-glukosamin (Marganof, 2002). Kitin merupakan salah satu material penyusun eksoskleton dari serangga dan golongan crustaseae yang dapat diuraikan dengan enzim kitinase (Ogawa et.al, 2004). Zat ini ditemukan di banyak tempat di seluruh dunia. Zat kitin adalah komponen utama dari dinding sel jamur, serta mulut bangsa chepalopoda, termasuk cumi-cumi dan gurita (mulut bangsa cumi-cumi ini mirip dengan paruh burung nuri yang miring, dan mulut ini sangat keras). Kitin merupakan senyawa organik yang berwarna putih, keras, dan tidak elastis. Kitin dapat diperoleh dari kulit sotong, kulit udang, kulit kepiting dan cangkang blangkas. Kulit udang mengandung protein (25% - 40%), kitin (15% - 20%), dan kalsium karbonat (45% - 50%). Kulit kepiting mengandung protein (15,6% - 32,2%), dan kalsium karbonat (53,7% 78,4%). Pada umumnya isolasi kitin dilakukan dari kulit udang dan kepiting karena mudah diperoleh dan memiliki kandungan kitin yang cukup banyak. (Marganof, 2002). Menurut metode Alimuniar dan Zainuddin (2004), bahan seperti kulit udang terlebih dahulu dicuci bersih, kemudian direndam dengan NaOH selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan pencucian hingga pH netral. Kemuudian dilakukan perendaman HCl 2 M selama 24 jam. Setelah itu dicuci dengan air suling hingga pH netral. Selanjutnya kitin yang dihasilkan dikeringkan pada suhu kamar.
4
Universitas Sumatera Utara
5
Menurut Widodo (2005), kitin mempunyai kadar nitrogen tidak lebih dari 70% dan memiliki kelarutan yang sangat rendah di dalam air dan pelarut-pelarut lainnya. Selain itu, karena reaktivitas kimianya yang rendah maka pengolahan kitin sangat sulit dan terbatas. Tabel 2.1. Karakteristik kitin No.
Parameter
Ciri-ciri
1
Ukuran partikel
Serpihan sampai serbuk
2
Kadar air (%)
≤ 10.0
3
Kadar abu (%)
≤ 2,0
4
N- deasetilasi (%)
≥ 15,0
5
Kelarutan dalam
6
Air
Tidak larut
Asam encer
Tidak larut
Pelarut organik
Tidak larut
LiCl 2 /dimetil asetamida
Sebagian larut
Enzim pemecah
Lisozim dan kitinase
Sumber : Purwaningsih, (1994)
2.2 Kitosan Kitosan atau β-1,4,2-amino-2-deoksi-D-glukosa merupakan turunan dari kitin melalui proses deasetilasi dengan menggunakan basa kuat pada temperatur yang cukup tinggi. Nama kitosan diberikan oleh Hoppe-Seiler pada tahun 1994 yang membuat kitosan dengan cara merefluks kitin dalam larutan KOH pada suhu 180oC tanpa terjadi pemutusan rantai polimernya (Muzzarelli, 1977). Berbagai metode digunakan untuk menyediakan kitosan dengan derajat deasetilasi tertentu. Pada metode Alimuniar dan Zainuddin (2004), pembuatan kitosan dilakukan dengan merendam kitin dalam larutan NaOH 40% dan dibiarkan
Universitas Sumatera Utara
6
selama 6 hari. Kemudian disaring dan dicuci sampai pH netral. Kitosan yang diperoleh dikeringkan pada suhu kamar. Kitosan adalah padatan amorf putih yang bersifat tidak larut dalam air tetapi sedikit larut dalam HCl, HNO 3 , H 3 PO 4 , dan di samping itu, kitosan juga bersifat polielektrolit sehingga dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Dengan demikian, kitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan industri kesehatan daripada kitin (Marganof, 2002). Kitosan telah digunakan di berbagai bidang industri seperti industri makanan aditif, kosmetik, material pertanian, dan untuk antibakterial. Kitosan juga sering digunakan sebagai adsorben pada ion logam dan spesies organik. Hal ini disebabkan oleh adanya gugus amino dan gugus hidroksil dari rantai kitosan yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk berkoordinasi dan bereaksi (Juang, 2002). Atom nitrogen pada gugus amina menyediakan pasangan elektron bebas yang dapat bereaksi dengan kation logam. Pada pH asam, gugus amina terprotonasi sehingga meningkatkan kelarutan kitosan yang bersifat tidak larut dalam pelarut alkali dan pada pH netral (Bernkop dkk, 2004). Tabel 2.2. Karakteristik kitosan No. 1 2 3 4 5 6
Parameter Ciri-ciri Ukuran partikel Serpihan sampai serbuk Kadar air (%) 10 Kadar abu (%) 2 Derajat deasetilasi (%) 70 Warna larutan Jernih Viskositas (cps) 20 Rendah 200 – 799 Medium 800 – 2000 Tinggi 2000 Ekstra tinggi Sumber : Purwaningsih, (1994)
Universitas Sumatera Utara
7
Beberapa aplikasi dan fungsi kitosan adalah sebagai berikut : a. Pengolahan limbah, kitosan berfungsi sebagai bahan koagulasi/flokulasi untuk limbah cair, penghilang ion-ion logam dari limbah b. Bidang pertanian, kitosan berfungsi sebagai bahan antimikrobial dan sebagai pupuk c. Industri tekstil, kitosan berfungsi sebagai serat tekstil, meningkatkan ketahanan warna d. Bidang bioteknologi, kitosan berfungsi sebagai bahan immobilasi enzim e. Kosmetik, kitosan berfungsi untuk rambut dan kulit f. Bidang fotografi, kitosan berfungsi untuk melindungi film dari kerusakan g. Bidang biomedis, berfungsi untuk mempercepat penyembuhan luka, bahan campuran obat, menurunkan kadar kolesterol Sifat kationik, sifat biologi dan sifat kimia larutan kitosan adalah sebagai berikut : 1. Sifat kationik a. Jumlah muatan positif tinggi : satu muatan per unit gugus glukosamin, jika banyak material bermuatan negatif (seperti protein) maka muatan positif kitosan berinteraksi kuat dengan permukaan negatif. b. Flokulan yang baik : gugus NH 3 + berinteraksi dengan muatan negatif dari koloid c. Mengikat ion-ion logam ( Fe, Cu, Cd, Hg, Pb, Cr, Ni, dll ) 2. Sifat biologi a. Dapat terdegradasi secara alami b. Polimer alami c. Nontoksik 3. Sifat kimia a. Linear poliamin ( poli D-glukosamin ) yang memiliki gugus amino yanng baik untuk reaksi kimia dan pembentukan garam dengan asam
Universitas Sumatera Utara
8
b. Gugus amino yang reaktif c. Gugus hidroksil yang reaktiif ( C 3 -OH,
C 6 -OH ) yang dapat
membentuk senyawa turunannya Parameter dasar yang dapat digunakan untuk karakterisasi kitosan adalah derajat deasetilasi, berat molekul polimer, dan sifat kristalnya. Parameter ini mempengaruhi sifat fisika-kimianya. Derajat deasetilasi pada kebanyakan kitosan biasanya lebih rendah dari 95%. Produk dengan deasetilasi yang cukup tinggi lebih diminati untuk aplikasi biomedis. Untuk memperoleh hasil yang diinginkan, parameter ini dapat dimodifikasi. Derajat deasetilasi dapat diturunkan dengan reasetilasi sedangkan berat molekul melalui depolimerisasi menggunakan asam. 2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan ion logam oleh kitosan Pada kitosan ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses penyerapan ion logam, di antaranya : a) Berat molekul dan derajat deasetilasi kitosan Berat molekul dan derajat deasetilasi memainkan peranan yang penting dalam proses kelarutan dan penyerapan. Kitosan merupakan hasil dari deasetilasi kitin, yaitu proses pergantian gugus amida menjadi amina. Derajat deasetilasi kitin dan kitosan dapat diperoleh dari spektra FTIR masing-masing senyawa (Khan dkk, 2002) Pertambahan nilai derajat deasetilasi menyebabkan bertambahnya jumlah gugus amina bebas sehingga menurunkan berat molekulnya. Dengan bertambahnya gugus amina bebas maka bertambah juga tempat untuk berkoordinasi dan bereaksi (Milot dkk, 1998) b) Ukuran kitosan Kitosan biasanya dihasilkan dalam bentuk kepingan atau serbuk. Kedua bentuk ini mudah hancur dan mengembang menyebabkan kapasitas serapan
Universitas Sumatera Utara
9
dan kuantitas serapan menurun sehingga tidak stabil dalam larutan berair (Rorrer, 1999) Kitosan dalam bentuk larutan atau gel dapat meningkatkan kapasitas serapannya. Kitosan yang telah dimodifikasi dengan magnetik nanopartikel juga dapat meninngkatkan kapasitas serapannya. Erdawati (2008), telah meneliti penyerapan kitosan magnetik nanopartikel terhadap logam Ni (II) meningkat dari 86,95 mg/gram oleh kitosan menjadi 477,8 mg/gram. c) pH Kitosan Kapasitas serapan kitosan terhadap ion logam menurun jika pH diturunkan. Hal ini terjadi akibat adanya persaingan ion hidronium dan gugus amina dalam penyerapan ion logam. d) Temperatur Mckay dkk (1989) telah melakukan penelitian dengan menggunakan serbuk kitosan untuk menyerap ion logam Cu2+, Hg2+, Ni2+, dan Zn2+ secara isoterm dan pemanasan pada temperatur 25 – 60oC pada pH netral. Hasil yang diperoleh yaitu terjadinya penurunan kapasitas penyerapan dengan pertambahan temperatur. e) Waktu Penyerapan Pengaruh waktu optimum terhadap proses penyerapan ion logam sangat besar terhadap kadar serapan. Quian dkk (2000) melaporkan bahwa dengan waktu 8 menit didapati hasil proses penyerapan ion logam Se (VI) sebanyak 95%.
2.4 Magnetik Nanopartikel Perkembangan mengenai teknologi nano dalam sintesis magnetik nanopartikel yang sesuai dan mempunyai banyak fungsi telah maju. Nanopartikel mempunyai luas permukaan yang besar terhadap perbandingan volume. Karakteristik nanopartikel umumnya dilakukan dengan teknik mikroskop elektron (TEM, SEM),
Universitas Sumatera Utara
10
mikroskop atomik (AFM), penghamburana cahaya dinamik (DLS), X-ray mikroskop fotoelektron (XPS) dan bubuk X-ray diftaktometri (XRD) (Anisa dkk, 2003). Fe 3 O 4 merupakan magnetik nanopartikel yang telah digunakan sesuai denngan sifat spesifiknya yaitu superparamagnetik, tidak beracun, dan ukurannya yang kecil. Fe 3 O 4 dihasilkan dari endapan campuran FeCl 2 .4H 2 O dan FeCl 3 .6H 2 O dalam suasana basa (dengan kehadiran NH 4 Cl), reaksinya menurut Dung (2009) adalah sebagai berikut : FeCl 2 .4H 2 O + FeCl 3 .6H 2 O + 8 NH 4 OH → Fe 3 O 4 + 8NH 4 Cl + 20H 2 O Magnetik nanopartikel digunakan untuk melapisi beberapa surfaktan untuk anti penggumpalan yang diakibatkan oleh interaksi dipol magnet antar partikel. Magnetik nanopartikel biasanya terdiri dari pusat magnet dan cangkang polimer yang mempunyai gugus fungsi yang aktif dan istimewa untuk berbagai aplikasi. Aplikasi yang paling terkenal dari teknologi magnetik yaitu kromatografi bioafinitas, penanggulangan limbah air, penghentian enzim aatau biomolekul lain, dan preparasi uji imunilogi. 2.5 Adsorpsi Adsorpsi adalah proses akumulasi substansi di permukaan antara dua fase yang terjadi secara fisika dan kimia, atau proses terserapnya molekul-molekul pada permukaan eksternal atau internal suatu padatan. Akumulasi yang terjadi dapat berlangsung pada proses cair-cair, cair-padat dan padat-padat. Adsorben adalah bahan padat dengan luas permuakaan dalam yang besar. Permukaan yang luas ini terbentuk karena banyaknya pori yang halus pada padatan tersebut. Adsorben dapat berbentuk granulat (ukuran butiran sebesar beberapa mm) atau bentuk serbuk sesuai dengan tujuan penggunaannya. Beberapa bahan yang dapat digunakan sebagai adsorben di antaranya yaitu : karbon aktif, silika gel, dan zeolit (McCabe dkk, 1999).
Universitas Sumatera Utara
11
Adsorpsi yang terjadi karena adanya gaya tarik dari permukaan adsorban dan energi kinetik molekul adsorbat, dapat berupa adsorpsi fisika, adsorpsi kimia dan adsorpsi isoterm. Pada adsorpsi fisika terjadi gaya van der waals antara molekul adsorbat dan adsorben untuk berikatan. Hal ini terjadi akibat perbedaan energi gaya tarik elektrostatik sehingga adsorpsi fisika merupakan reversibel. Sedangkan adsorpsi kimia merupakan interaksi antara elektron-elektron pada permukaan adsorben dengan
molekul-molekul
adsorbat
membentuk
ikatan
yanng
lebih
kuat
dibandingkan dengan adsorpsi fisika dimana prosesnya berlangsung secara irreversibel. Proses adsorpsi berlangsung dalam 3 tahap yaitu : pergerakan molekul-molekul adsorbat menuju permukaan adsorben, penyebaran molekul-molekul adsorbat ke dalam rongga-rongga adsorben, dan penarikan molekul-molekul adsorbat oleh permukaan aktif membentuk ikatan yang sangat cepat. 2.6 Interaksi Logam dengan Kitin dan kitosan Folsom (1986 dalam Melani (2010)) mengemukakan bahwa interaksi antara ion logam dengan ligan pada umumnya berasal dari alam, berlangsung melalui proses pertukaran kation, yang secara garis besar dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu : 1. Interaksi pertukaran kation cepat melibatkan ion Na, K, Mg, Ca, Li, Cs, Rb, Sr dan Ba. Kation-kation ini cenderung membentuk kompleks dengan ligan oksigen menghasilkan senyawa kompleks yang relatif stabil sehingga ligan mengalami pertukaran yang cepat di air. 2. Interaksi pertukaran kation menengah melibatkan ion Mn(II), Fe(II), Co(II), Ni(II), Cu(II), dan Pb(II). Kation-kation ini menunjukkan afinitas kuat dengan ligan yang mengandung O, N, dan S dan di dalam sistem perairan logam ini membentuk senyawa kompleks yang stabil sehingga tidak ditemukan dalam ion bebas.
Universitas Sumatera Utara
12
3. Interaksi pertukaran kation lamabat yang melibatkan ion logam Cu(II), Cr(III), Ti(II), Cd(II), Ag(I), Hg(II). Kation kation ini memiliki afinitas yang kuat dengan ligan yang mengandung N dan S. Kemampuan kitin dan kitosan untuk mengadakan interaksi dengan ion logam disebabkan senyawa tersebut mengandung gugus fungsional utama yaitu amida dan amina. Amida merupakan gugus aktif yang mempunyai ikatan rangkap parsial sebagai akibat adanya ikatan rangkap pada gugus karbonilnya, sedangkan gugus aktif amina tidak memiliki ikatan rangkap. Kitin dan kitosan memiliki kemampuan mengikat ion-ion logam karena elektron nitrogen yang terdapat dalam gugus-gugus amino tersubstitusi dapat memantapkan ikatan dengan ion-ion logam transisi. Interaksi kitosan dengan ion logam terjadi karena proses pengkompleksan dimana penukaran ion, penyerapan dan pengkhelatan terjadi selama proses berlangsung. Kitosan menunjukkan afinitas yang tinggi pada logam transisi golongan tiga, begitu pula pada logam yang bukan golongan alkali dengan konsentrasi rendah (Muzzarelli, 1977). 2.7 Spektrofotometri Serapan atom (SSA) 2.7.1. Prinsip kerja alat Larutan sampel diaspirasikan ke suatu nyala dan unsur-unsur di dalam sampel diubah menjadi uap atom sehingga nyala mengandung atom unsur-unsur yang dianalisis. Beberapa di antara atom akan tereksitasi secara termal oleh nyala, tetapi kebanyakan atom tetap tinggal sebagai atom netral dalam keadaan dasar (ground state). Ato-atom dalam keadaan dasar ini kemudian menyerap radiasi yang diberikan oleh sumber radiasi yang terbuat dari unsur-unsur yang bersangkutan. Panjang gelombang yang dihasilkan oleh sumber radiasi adalah sama dengan panjang gelombang yang diadsorpsi oleh atom dalam nyala. Adsorpsi ini mengikuti hukum Lambert-Beer yakni absorbansi berbanding lurus dengan panjang nyala yang dilalui sinar dan konsentrasi uap atom dalam nyala. Kedua variabel ini sulit
Universitas Sumatera Utara
13
untuk ditentukan tetapi panjanng nyala dapat dibuat konstan sehingga absorbansi hanya berbanding langsung dengan konsentrasi anallit dalam larutan sampel. 2.7.2. Teknik-teknik Analisis a.
Metode Kurva kalibrasi Dalam metode ini dibuat suatu seri larutan standar dengan berbagai konsentrasi
dan absorbansi dari larutan tersebut diukkur dengan SSA. Langkah selanjutnya adalah membuat grafik antara konsentrasi dengan absorbansi yang akan merupakan garis lurus melewati titik nol. Konsentrasi larutan sampel dapat dicari setelah absorbansi larutan sampel diukkur dan diintrapolasikan ke dalam kurva yang diperoleh dengan menggunakan program regresi linear pada kurva kalibrasi. b. Metode Adisi Standar Metode ini dipakai secara luas karena mampu meminimalkan kesalahan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan (matriks) sampel dan standar. Dalam metode ini dua atau lebih sejumlah volume tertentu dari sampel dipindahkan ke dalam labu takar, satu larutan diencerkan sampai volume tertentu, kemudian diukur absorbansinya tanpa ditambah dengan zat standar, sedangkan larutan yang lain sebelum diukur absorbansinya ditambah terlebih dahulu dengan sejumlah tertentu larutan standar dan diencerkan seperti pada larutan yang pertama. Menurut hukum Lambert-Beer akan berlaku hal-hal berikut : Ax = K Cx
............................................... (1)
A t = K (C s + C x )
..................................................(2)
Dimana : K=ab C x = konsentrasi zat sampel C s = konsentrasi zat standar yang ditambahkan ke larutan sampel A x = absorbansi zat sampel A t = absorbansi zat sampel ditambah zat standar
Universitas Sumatera Utara
14
Jika kedua persamaan di atas digabung akan diperoleh : C x = C s [A x / (A t – A x )]
.....................................(3)
Konsentrasi zat dalam sampel (C x ) dapat dihitung dengan mengukur A x dan A t dengan spektrofotometer. Jika dibuat suatu seri penambahan zat standar dapat pula dibuat suatu grafik antara A t vs C s , garis lurus yang diperoleh diekstrapolasikan ke A t = 0, sehingga diperoleh : C x = C s [A x / (0 – A x )]
.......................................(4)
C x = C s [A x / (– A x )]
.......................................(5)
Cx = - Cs
.......................................(6)
2.7.3. Komponen-komponen SSA a.
Sumber Radiasi Sebagai sumber radiasi berupa lampu katoda berongga, pada lampu berongga
ini digunakan lampu berlapis logam yang sama dengan logam yang akan dianalisis, karena lampu ini mempunyai tinngkat energi sama dengan atom logam yang akan dianalisis maka akan mengabsorbsi panjang gelombang dari lampu katoda berongga. Sesudah atom logam mengabsorpsi panjang gelombang maka akan tereksitasi tidak stabil dan akan kembali pada keadaan dasar sambil memancarkan radiasi kembali. b. Atomisasi Atomisasi dapat dilakukan dengan nyala api. Fungsi pokok nyala api adalah untuk mengubah unsur logam yang akan dianalisis menjadi atom-atom bebas yang masih dlam keadaan dasarnya. c.
Monokromator Monokromator dalam instrumentasi SSA berfungsi untuk meneruskan panjang
gelombang emisi dari lampu katoda berongga yang diadsorpsi paling kuat oleh atom-atom di dalam nyala api dan menahan garis-garis emisi lain dari lampu katoda berongga yang tidak digunakan untuk analisis.
Universitas Sumatera Utara
15
d. Detektor Berfungsi sebagai pengolah sinar radiasi menjadi sinyal-sinyal listrik. e. Amplifier Berfungsi sebagai penguat sinyal listrik yanng dihasilkan oleh detektor. f. Rekorder Berfungsi untuk menampilkan bentuk sinyal listrik menjadi satuan yang dapat dibaca.
Sumber radiasi
recorder
atomisasi
monokromator
amplifier
detektor
Gambar 2.1. Diagram sederhana dari spektrofotometer Serapan Atom (SSA)
Universitas Sumatera Utara