BAB 2 TINNJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan remaja dalam penerapan kedisiplinan dan mengajarkan nilai atau norma serta memberikan kasih sayang dan perhatian agar sikap dan perilaku orang tua dapat dijadikan panutan bagi anaknya (Edwards, 2006). Pola asuh orang tua dapat berupa suatu tata cara atau perbuatan (ibu/bapak atau wali), dalam menjaga, mendidik serta merawat anaknya, dalam lingkungan sosial yang dimiliki oleh seorang remaja, pola asuh orang tua akan turut menentukan terbentuknya sikap dan watak pada remaja dalam menjalani hidupnya menurut Papalia, Olds & Feldman (2008). Desmita
(2007), pola asuh orang tua dapat
membantu remaja untuk mengembangkan diri yang berupa upaya orang tua dalam menata lingkungan fisik, lingkungan sosial, internal dan eksternal, pendidikan internal dan eksternal, dialog dengan anak-anaknya, suasana psikologis, sosiobudaya, perilaku yang ditampilkan saat terjadinya pertemuan dengan remaja, kontrol terhadap perilaku para remaja, dan menentukan nilai-nilai moral sebagai dasar berperilaku dan yang diupayakan kepada remaja. Berdasarkan pendapat para ahli di atas kesimpulan mengenai pola asuh orang tua adalah interaksi yang dilakukan oleh orang tua kepada remaja dalam menerapkan kedisiplinan, mengasuh, memberikan arahan, peraturan, dan memberikan kasih sayang untuk membentuk sikap dan karakter seorang remaja dalam menjalani kehidupan sosialnya.
7
8
2.1.2 Tipe-tipe Pola Asuh Orang Tua Menurut Baumrind (1972., dalam Santrock, 2007) pola asuh orang tua dibagi menjadi empat, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, pola asuh permisif dan pola asuh penelantar. Menurut Baumrind (1972., dalam Santrock, 2007) terdapat empat tipe-tipe pola asuh orang tua yaitu: a.
Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis adalah memprioritaskan kepentingan remaja akan tetapi
tidak ragu-ragu dalam mengendalikan remaja. Orang tua dengan pola asuh ini memeiliki sikap rasional, selalu mendasari tindakan berdasarkan pemikiran yang dimiliki. Orang tua yang demokratis memandang hak dan kewajiban yang dimiliki oleh remaja ataupun orang tua adalah sama, bersikap rasional dan selalu mendasari tindakannya pada rasio pemikiran. Menurut Baumrind (1972., dalam Santrock, 2007) terdapat ciri-ciri sikap yang di terapkan pola asuh orang tua demokratis, yaitu: a) Orang tua memandang anak sebagai suatu yang realists dan tidak menuntut hal yang berlebihan sesuai dengan kemampuan anak b) Orang tua memberikan kebebasan pada remaja untuk melakukan tindakan yang disukai c) Menunjukkan respon terhadap bakat yang dimiliki remaja. d) Mendorong remaja untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan. e) Memberikan pengertian mengenai hal baik dan hal buruk. f) Menghargai keberhasilan yang telah diraih remaja. Papalia, Olds & Feldman (2008) mengemukakan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis memperlihatkan ciri-ciri adanya kesempatan remaja untuk berpendapat mengapa ia melanggar peraturan sebelum hukuman dijatuhkan, hukuman diberikan kepada perilaku salah, dan memberi pujian ataupun hadiah kepada perilaku yang benar. Kesimpulan dari pendapat para tokoh di atas, pola asuh demokratis adalah orang tua yang mendidik remaja dengan kebebasan namun tetap memberikan arahan dan peraturan yang sesuai tanpa memaksakan kehendaknya untuk melakukan suatu hal dan memberikan kesempatan kepada remaja untuk mengutarakan pendapatnya.
9
b. Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter merupakan kebalikan dari pola asuh demokratis yaitu menetapkan aturan-aturan yang jelas kepada remaja, dimana terdapat unsur ancaman. Bentuk pola asuh ini menekan pada pengawasan orang tua atau kontrol yang ditunjukkan pada remaja agar menjadi remaja yang penurut dan selalu menaati peraturan dari orang tua. Jadi orang tua yang otoriter memiliki kekuasaan tertinggi sehingga remaja harus menuruti segala perintah yang ditetapkan. Menurut Baumrind (1972., dalam Santrock, 2007) terdapat ciri-ciri sikap yang di terapkan pola asuh orang tua otoriter, yaitu: a) Orang tua memberikan hukuman secara fisik. b) Orang tua cenderung bersikap memaksakan kehendak atau mengharuskan remaja menuruti perintahnya tanpa diskusi terlebih dahulu c) Bersikap kaku. d) Orang tua cenderung emosional dan bersikap menolak. Papalia, Olds & Feldman (2008) mengemukakan bahwa orang tua yang mendidik remaja menggunakan pola asuh otoriter menerapkan peraturan yang ketat, tidak adanya kesempatan untuk mengemukakan pendapat, remaja harus mematuhi segala peraturan yang dibuat oleh orang tua, berorientasi pada hukuman (fisik maupun verbal), dan orang tua jarang memberikan hadiah ataupun pujian. Menurut beberapa ahli tersebut, pola asuh otoriter adalah orang tua yang menetapkan peraturan keras terhadap remaja tanpa mempertimbangkan kebahagiaan dan kebebasan berperilaku maupun berpendapat. Remaja harus mengikuti semua peraturan yang telah ditetapkan, dan memberikan hukuman jika remaja tidak menuruti peraturan orang tuanya. c. Pola asuh Permisif Pola asuh permisif merupakan suatu bentuk pengasuhan dimana orang tua memberikan kebebasan sebanyak mungkin kepada remaja untuk mengatur dirinya, remaja tidak dituntut untuk bertanggung jawab dan tidak banyak kontrol oleh orang tua. Menurut Baumrind (1972., dalam Santrock, 2007) terdapat ciri-ciri sikap yang di terapkan pola asuh orang tua permisif, yaitu:
10
a) Orang tua tidak menegur atau memperingatkan remaja apabila remaja sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. b) Orang tua memberikan kebebasan kepada remaja untuk menyatakan dorongan atau keinginannya. c) Orang tua tidak pernah menegur atau tidak berani menegur perilaku remaja, meskipun perilaku tersebut sudah keterlaluan atau diluar batas kewajaran. Papalia, Olds & Feldman (2008)
mengemukakan bahwa orang tua yang
menerapkan pola asuh permisif cenderung memberikan remaja kebebasan penuh tanpa adanya aturan ataupun gagasan dalam perilaku yang ditunjukkan oleh anak, tidak diberikannya hadiah maupun pujian ketika anak memperlihatkan perilaku yang baik dalam lingkungan sosialnya serta remaja tidak diberikan hukuman ketika melakukan kesalahan dalam berperilaku di lingkungan sosialnya. Kesimpulan dari pendapat tokoh di atas, pola asuh permisif adalah pola asuh yang sangat memberikan kebebasan kepada remaja. Pola asuh ini cenderung bersifat mengabaikan, dan tidak perduli terhadap perkembangan remaja yang seharusnya mendapatkan kasih sayang. Remaja tidak dituntut untuk mematuhi sejumlah peraturan dan bahkan tidak diberikan arahan ketika mereka melakukan kesalahan. d. Pola Asuh Penelantar Pola asuh ini biasanya remaja dan orang tua tidak banyak berinteraksi, orang tua dengan tipe ini pada biasanya memberikan waktu maupun biaya yang tidak banyak dengan anak. Waktu yang dimiliki orang tua tidak diberikan kepada anak, begitu juga dengan biaya yang terlalu sedikit diberikan kepada anak. Pola asuh tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis. Menurut Baumrind (1972., dalam Santrock, 2007)
terdapat ciri-ciri sikap yang di terapkan pola asuh orang tua
penelantar, yaitu: a) Orang tua lebih mementingkan kepentingan pribadi seperti terlalu sibuk, tidak peduli bahkan tidak mengetahui remaja sedang berada dimana ataupun sedang berada bersama siapa, dan lain sebagainya. b) Orang tua membiarkan remaja berkembang sendiri baik fisik maupun psikis tanpa adanya bimbingan yang baik dari orang tua.
11
Papalia, Olds & Feldman (2008), pola asuh penelantar adalah di mana orang tua lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri, perkembangan kepribadian remaja terabaikan, dan orang tua tidak mengetahui apa dan bagaimana kegiatan remaja sehari-harinya. Kesimpulannya adalah pola asuh penelantar merupakan pola asuh dimana orang tua cenderung mengabaikan perkembangan remaja secara fisik maupun psikis, bahkan orang tua lebih mementingkan kepentingannya sendiri tanpa peduli akan perkembangan remaja dan mengetahui apa saja yang telah dilakukan dan dialami oleh remaja.
2.1.3 Dampak Pola Asuh Orang Tua Menurut Baumrind (1972., dalam Santrock, 2007) masing-masing pola asuh yang diberikan orang tua kepada remaja akan memberikan dampak yang berbeda pula terhadap remaja dan bertingkah laku. Karakterisik remaja sesuai dengan masing-masing pola asuh orang tua adalah sebagai berikut: a) Pola asuh otoriter Remaja yang mendapatkan pola pengasuhan otoriter akan memiliki kepribadian yang sangat sensitive, penakut, sangat mudah untuk merasakan sedih dan tertekan, lebih suka menghabiskan waktu diluar rumah, membenci orang tua dan sering merasakan ketakutan. Dariyo (2004) menyebutkan bahwa remaja yang dididik dalam pola asuh otoriter, cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang semu. b) Pola asuh demokratis Remaja yang diasuh dengan pola asuh demokratis ini akan menghasilkan remaja yang memiliki rasa harga diri yang tinggi, keingintahuan yang besar, merasa puas dengan apa yang telah dia dapatkan atau lakukan, memiliki kreatifitas yang baik, cerdas, memiliki kepercayaan pada orang tua sehingga akan lebih terbuka kepada orang tua serta menghormati maupun menghargai orang tua, tidak dapat stress dan depresi dengan mudah, memiliki prestasi dan teman yang banyak di lingkungannya (Baumrind 1972., dalam Santrock, 2007). Dariyo (2004) bahwa pola asuh demokratis ini, juga memiliki sisi yang negative terhadap remaja, yaitu remaja cenderung selalu berpatokan pada orang tua karena semua hal yang
12
dilakukan harus dipertimbangkan dengan orang tua. Di samping memiliki sisi positif dari remaja, terdapat juga sisi negatifnya, di mana remaja cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, karena segala sesuatu itu harus dipertimbangkan oleh remaja kepada orang tua. c) Pola asuh permisif Remaja yang mendapatkan pola asuh seperti ini akan berkembang menjadi remaja yang kurang perhatian, remaja tidak disiplin, tidak hormat, tidak sensitif, agresif dan umumnya remaja menentang kemauan orang tua, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, control diri buruk, dan kurang menghargai orang lain (Baumrind, 1972., dalam Santrock, 2007). Dariyo (2004) juga menambahkan bahwa pola asuh permisif yang diterapkan orang tua, dapat menjadikan remaja kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Namun bila remaja mampu menggunakan kebebasan secara bertanggung jawab, maka dapat menjadi seorang yang mandiri, kreatif, dan mampu mewujudkan aktualitasnya. d) Pola asuh penelantar Remaja yang mendapatkan pola pengasuhan penelantar akan memiliki karakteristik remaja yang moody, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, harga diri rendah, sering bolos dan bermasalah dengan teman (Baumrind, 1972., dalam Santrock, 2007). Dariyo (2004) menambahkan pada remaja dengan pola asuh penelantar kecenderungan perilaku negatif sering kali mengarah pada perilaku negatif orang dewasa seperti merokok, minum-minuman beralkohol, seks bebas atau melacur dan tidak jarang terlibat tindakan kriminal.
2.2 Kecemasan 2.2.1 Pengertian Kecemasan Kecemasan adalah merasakan perasaan yang tidak menentu disertai rasa takut akibat tidak didukung oleh situasi. Kecemasan adalah akibat dari emosi yang tidak berdasarkan objek yang jelas dan hanya dirasakan secara subjektif untuk mengkomnikasikan dengan lingkungan (Suliswati, 2005). Kecemasan terjadi secara bertahap dan perlahan-lahan meningkat, dimana hal tersebut ditandai dengan berkurangnya kemampuan remaja untuk mengontrol dan menguasai situasi yang
13
dihadapinya. Wiramihardja (2012) berpendapat kecemasan merupakan aspek subjektif dari emosi remaja karena melibatkan faktor perasaan yang tidak menyenangkan yang sifatnya subjektif dan timbul karena menghadapi tegangan, ancaman kegagalan, perasaan tidak aman dan konflik dan biasanya remaja tidak menyadari dengan jelas apa yang menyebabkan ia mengalami kecemasan. Kecemasan merupakan suatu respons yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan dapat menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman (Rathus & Nevid, 2005., dalam Ririn, Asmidir & Marjohan, 2013). Kesimpulannya, kecemasan adalah rasa takut yang tidak memiliki alasan yang jelas dan nyata, perasaan cemas didukung oleh situasi sosial yang dirasakan secara subjektif terhadap lingkungan yang diduga akan memberikan ancaman terhadap diri sendiri.
2.2.2 Pengertian Kecemasan Komunikasi Menurut Burgoon dan Ruffner (1978., dalam Rosna, 2005), kecemasan komunikasi adalah dimana remaja merasakan perasaan yang tidak menentu tidak memiliki arah dan tidak memiliki keberdayaan sehingga membuat remaja merasakan ketakutan, gemetar, mengeluarkan banyak keringat dan tidak dapat berkata-kata saat berhadapan dengan teman baru, guru atau dosen, serta orang penting maupun orang yang baru dikenal. Philip (1979., dalam Soonthornsawad , 2009) berpendapat bahwa kecemasan komunikasi adalah perasaan takut untuk ikut berpartisipasi dalam komunikasi lisan pada situasi tertentu. Individu yang merasakan kekhawatiran ketika melakukan hubungan komunikasi dengan orang lain maupun orang banyak berarti merasakan kecemasan komunikasi (McCroskey 1971,. dalam Soonthornsawad, 2009). Powell dan Powell (2010) menjelaskan kecemasan komunikasi sebagai tingkat ketakutan individu yang diasosiasikan dengan situasi komunikasi, baik komunikasi yang nyata ataupun komunikasi yang akan dilakukan individu dengan orang lain maupun dengan orang banyak. Menurut Hudaniah dan Dayakisni (2006), kecemasan komunikasi adalah merasakan suatu yang tidak nyaman atas kehadiran individu lain yang secara bersamaan menimbulkan perasaan malu, merasakan kejanggalan/kekakuan, timbulnya hambatan untuk berbicara dan cenderung menghindari interaksi sosial.
14
Berbicara dapat menimbulkan kecemasan karena setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia memiliki kecenderungan terjadinya kecemasan. Kecemasan biasanya direfleksikan lewat kata-kata berupa keluhan dan menunjukkan sikap pesimis. Menurut Freud (1926., dalam Urban, 2007), apa yang sedang terjadi di dalam diri memiliki sebuah cara untuk tergelincir keluar secara verbal. Remaja yang mengalami kecemasan komunikasi akan merasakan adanya perubahan psikis dan fisiologis. Perubahan psikis yang dialami remaja yang sedang cemas ditandai dengan rasa ketakutan, khawatir dan tegang terhadap perubahan fisiologis yang terjadi ketika cemas yaitu denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah yang meningkat (Lazarus, 1979., dalam Wulandari, 2004).
2.2.3 Dimensi Kecemasan Komunikasi Menurut Burgoon dan Ruffner (1978., dalam Fathunnisa, 2012) terdapat dimensi yang terdapat dalam kecemasan komunikasi, yaitu: 1. Unwillingness atau ketidaksediaan untuk berkomunikasi yang ditandai oleh: a. Kecemasan; melakukan komunikasi karena tidak menginginkan adanya interaksi dengan orang lain. b.
Introversi; orientasi kedalam terhadap diri sendiri, rendahnya partisipasi dalam melakukan interaksi terhadap orang lain.
c.
Rendahnya frekuensi partisipasi dalam berbagai situasi komunikasi.
2. Avoiding atau penghindaran dari partisipasi karena pengalaman komunikasi yang tidak menyenangkan dengan indikasi: a. Kecemasan; akan terjadi keadaan yang tidak menyenangkan dalam komunikasi yang akan dilakukan dengan orang lain. b. Kurangnya pengenalan situasi komunikasi yang mempengaruhi intimasi dan empati. 3. Control atau rendahnya pengendalian terhadap situasi komunikasi, yang terjadi karena: a. Faktor lingkungan yang belum pernah ditemui sebelumnya b. Ketidakmampuan menyelesaikan diri dengan remaja yang berbeda c. Reaksi lawan bicara yang menimbulkan rasa tidak nyaman
15
2.2.4 Penyebab Kecemasan Komunikasi Menurut Powell dan Powell (2010), faktor yang mempengaruhi munculnya kecemasan komunikasi yaitu :
1. Genetika Faktor genetik dimana penampilan fisik dan bentuk tubuh dapan menimbulkan ketakukan dalam bersosialisasi dan menyebabkan kecemasan komunikasi. 2. Skill Acquisitio Ketika individu tidak dapat mengembangkan keterampilannya dalam berinteraksi seperti penggunaan bahasa, kepekaan terhadap komunikasi non verbal, keterampilan dalam mengatur interaksi dengan individu lainnya maka akan cenderung menimbulkan kecemasan komunikasi. 3. Modelling Kecemasan komunikasi akan muncul ketika individu melihat kecemasan yang ditunjukkan oleh orang lain saat berinteraksi dan kemudian individu tersebut mengimitasinya sehingga kecemasan komunikasi muncul ketika ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. 4. Reinforcement Penguatan untuk melakukan komunikasi mempengaruhi kecemasan komunikasi. ketika individu mendapatkan penguatan positif terhadap komunikasi yang dilakukannya, maka tidak akan menimbilkan kecemasan komunilasi. Namun, apabila individu diberikan penguatan negatif ketika melakukan komunikasi dan tidak didorong untuk melakukan komunikasi, maka akan menimbulkan kecemasan komunikasi dalam dirinya. Dalam kaitannya dengan jenis kelamin, Myers (1983., dalam Sudardjo & Purnamaningsih, 2005) mengatakan bahwa perempuan memiliki tingkat kecemasan
16
yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki karena laki-laki lebih aktif, sedangkan perempuan dikenal lebih sensitif. Menurut Morris (1983., dalam Sudardjo & Purnamaningsih, 2005) sifat sensitif yang dimiliki perempuan membuat dirinya lebih mudah untuk merasa khawatir akan kemungkinan yang akan terjadi dalam berkomunikasi. Sudardjo dan Purnamaningsih (2005) mengungkapkan salah satu kemungkinan besar yang menyebabkan remaja merasa cemas dalam berinteraksi dan berkomunikasi adalah adanya kecemasan akan menerima tanggapan negatif dari lingkungannya. Rakhmat (1986., dalam Sudardjo & Purnamaningsih, 2005) mengatakan bila remaja merasa rendah diri, akan mengalami kesulitan dalam melakukan komunikasi untuk mengeluarkan pendapat ataupun gagasan yang ia miliki kepada orang yang dihormatinya dan takut berbicara karena takut orang lain menyalahkannya. Seperti yang dikemukan oleh Rakhmat (2007) bahwa orang yang mengalami kecemasan komunikasi akan sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi, hal ini karena ia takut orang lain akan mengejeknya atau menyalahkannya. Lebih lanjut, Hudaniah dan Dayakisni (2006) menyatakan bahwa secara umum kecemasan komunikasi merupakan timbulnya ketakutan kognitif syaraf fisiologis akibat serta pengalaman secara subjektif yang memunculkan ketegangan dan perasaan tidak nyaman. Munculnya perasaan yang membuat remaja tidak merasa nyaman atas kehadiran orang lain yang disertai dengan ketakutan, perasaan malu dengan kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial. Penelitian Wrench, Brogan, McCroskey dan Jowi (2005) mendapatkan hasil bahwa individu akan merasakan ketegangan yang lebih tinggi pada saat berinteraksi dengan orang yang baru dikenal dibandingkan dengan individu yang telah lama dikenal. Kecemasan komunikasi merupakan salah satu ketakutan terbesar yang dialami oleh manusia yang bisa muncul karena kurangnya rasa percaya diri (Borneo, 2013). Menurut Hoolbrook (2002., dalam Borneo, 2013) kecemasan komunikasi sebagai suatu ketakutan yang di alami oleh remaja secara nyata baik dalam berinteraksi secara remaja maupun secara kelompok. Horwitz (2002., dalam Borneo, 2013) juga berpendapat bahwa kecemasan komunikasi menyangkut fobia sosial yang ditandai dengan perasaan takut akan kritikan dan dinilai tidak baik oleh orang lain.
17
Kesimpulan dari penjelasan di atas mengenai kecemasan komunikasi adalah perasaan tidak nyaman yang dirasakan oleh remaja ketika melakukan interaksi yang dilakukan karena adanya kehadiran orang lain dan kemudian menimbukan rasa malu yang menjadikan seorang remaja menghindari situasi berinteraksi dengan orang lain.
2.3 Remaja Pertengahan 2.3.1 Perngetian Remaja Pertengahan Menurut Papalia, Olds & Feldman (2008) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa transisi antara anak anak menuju dewasa yang dumulai pasa usia yang dimulai pada saat usia 12 atau 13 tahun dan berakhir antara usia dua puluh tahun, yaitu: remaja awal (12-14 tahun) , remaja pertengahan (15-18 tahun), dan remaja akhir (19-21 tahun). Remaja pertengahan adalah masa dimana individu cenderung belum memiliki tempat yang jelas dan biasa disebut masa mencari jati diri, remaja yang masih memperlihatkan perilaku yang bersifat kekanak-kanakan dimana remaja tersebut mulai menyadari bahwa terdapat unsur baru dari kepribadian dan perubahan fisik sendiri (Ali & Asrori, 2009). Menurut Papalia, Olds & Feldman (2008) mengatakan ciri khas remaja tengah antara lain: memliki menemukan identitas diri, memiliki keinginan untuk berkencan, memiliki perasaan cinta yang mendalam, memperluas pemikiran secara abstrak dan menghayal mengenai aktivitas seksual. Crain (2007 ) menyatakan ciriciri tertentu dari remaja pertengahan yaitu: masa remaja merupakan masa penting dalam perkembangan, masa remaja merupakan fase perubahan diri, masa remaja sebagai periode bermasalah, masa remaja sebagai periode mencari identitas diri yang sesuai, masa remaja sebagai usia dimana remaja memiliki ketakutan dan masa remaja sebagai peralihan masa dari anak-anak menuju dewasa. Kesimpulannya remaja pertengahan adalah dimana remaja
mengalami
perkembangan fisik dan perkembangan psikisnya. Secara fisik dan bertindak mereka bukanlah seorang anak, tetapi mereka bukanlah seorang dewasa yang telah matang. Masa pencarian identitas diri dengan sosialisasi yang lebih luas dan berkembang. Remaja berfikir lebih abstrak dibandingkan dengan anak-anak dan juga lebih idealis dalam berfikir.
18
2.3.2 Tugas Perkembangan Remaja Tugas perkembangan merupakan suatu tugas perkembangan seorang individu dalam menjalani kehidupannya, yang apabila tugas perkembangannya telah berhasil tercapai akan menimbulkan kesenangan dan kesuksesan dalam dirinya, namun apabila gagal maka akan menimbulkan perasaan tidak bahagia terhadap individu tersebut, akan menemukan penolakan oleh masyarakat dan kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya (Hurlock 1994., dalam Fathunnisa, 2012) Menurut Fuhrmann (1990., dalam Retnowati, 2012) terdapat beberapa tugastugas perkembangan remaja yang harus diselesaikan pada masa perkembangan remaja, yaitu: mencapai hubungan yang baik dengan teman lawan jenis maupun sesama jenis, berhasil mencapai peran maskulin atau feminim yang baik, mempergunakan keadaan fisik yang berubah dengan baik, mencapai kemandirian secara emosional melalui orang dewasa, memiliki kepastian ekonomi untuk melanjutkan hidupnya, menemukan pekerjaan yang sesuai, mempersiapkan diri untuk dapat menjalani hubungan pernikahan, mengembangkan kemampuan diri untuk mencapai aturan yang baik sebagai warga negara, memperlihatkan perilaku yang bertanggung jawab dan memperoleh informasi mengenai nilai dan moral dalam lingkungan. Papalia, Olds & Feldman (2008) berpendapat tugas perkembangan remaja yaitu: dapat menerima keadaan fisik yang dimilikinya, dapat memahami peran seksual sebagai pria atau wanita, dapat membina hubungan yang positif dengan kelompok yang berlawananan
jenis, mencapai kemandirian emosional,
memenuhi kemandirian secara ekonomi, mengembangkan konsep-konsep diri agar dapat menjadi masyarakat yang memiliki tingkat intelektual yang baik, memahami nilai-nilai yang dimiliki oleh orang tua atau orang dewasa lainnya, mengembangkan kemampuan dengan tanggung jawab yang seharusnya ada dalam dunia kerja, mempersiapkan
diri
untuk
berperan
dalam
pernikahan,
memahami
dan
mempersiapkan segala hal ketika dalam rumah tangga. Menurut William (2007) tugas perkembangan remaja adalah menerima keadaan fisik yang dimiliki serta keunikannya, mencapai kemandirian emosional dengan melihat figur orang yang lebih dewasa atau figur-figur yang mempunyai otoritas, menemukan role model yang sesuai dan diinginkan oleh remaja, mengembangkan kemampuan komunikasi dengan lingkungan dan mencari hal positif dalam bergaul dengan teman, baik secara individu maupun kelompok serta menerima dirinya. Hal senada juga di ungkapkan
19
oleh Zulkifli (2005) mengenai tugas perkembangan remaja adalah; bergaul dengan teman sejenis maupun lawan jenis, mencapai peranan yang sesuai sebagai pria atau wanita, menerima keadaan fisik yang dimiliki, mempersiapkan diri untuk memasuki lapangan kerja, serta memilih seseorang untuk memasuki perkawinan. Kesimpulannya tugas perkembangan remaja adalah perilaku maupun sikap yang ditunjukkan kepada lingkungan dengan menunjukkan sikap yang sesuai dengan nilai dan norma. Perubahan yang terjadi pada fisik maupun psikologisnya menuntut anak untuk dapat menyesuaikan diri dalam lingkungan dan tantangan hidup yang ada dihadapannya. 2.4 Kerangka Berfikir
REMAJA
POLA ASUH 1. Demokratis 2. Otoriter 3. Permisif 4. Penelantar
KECEMASAN KOMUNIKASI: 1. Unwillingness / ketidaksediaan 2. Avoiding / penghindaran 3. Control / pengendalian
Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku yang diterapkan pada remaja bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dirasakan oleh remaja, dari segi negatif maupun positif. Pola asuh yang ditanamkan tiap keluarga berbeda, hal ini tergantung pandangan dari tiap orang tua (Santrock, 2007). Menurut Santrock (2007) pola asuh otoriter hanya mengenal hukuman dan pujian dalam berinteraksi dengan remaja. Pujian akan diberikan mana kala remaja melakukan sesuai dengan keinginan orang tua. Sedangkan hukuman akan diberikan manakala remaja tidak melakukan sesuai dengan keinginan orang tua (Segeruo, 2004). Dari hasil penelitian Kusumawardhani dan Widayanti (2011) dapat
20
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh dengan kecemasan terhadap anak panti asuhan. Oleh karena itu cara pengasuhan dan pola asuh yang baik oleh pengasuh dapat mengurangi kecemasan komunikasi. Penerapan pola asuh otoriter biasanya dapat menimbulkan gangguan kecemasan pada remaja, pola asuh tersebut akan membuat remaja tidak memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah karena remaja tersebut tidak diberikan atau memiliki kesempatan untuk mengutarakan pendapat ataupun keinginannya dalam menghadapi dan memutuskan suatu permasalahan yang dihadapinya sehingga remaja tidak terbiasa dan mengetahui bagaimana harus menentukan sikap dan menjadi pribadi yang penuh dengan keragu-raguan dan kecemasan yang kemudian menjadi kecemasan komunikasi (Rohali, 2012) Rohali (2012 ) menyatakan orang tua yang mengasuh anaknya dengan permisif akan menghasilkan anak yang memiliki pengendalian diri yang negatif. Mereka akan memiliki sedikit teman, bersifat memanjakan diri dan tidak pernah belajar mematuhi peraturan dan ketentuan. Pola pengasuhan yang
berbeda akankah berdampak atau berhubungan
dengan kecemasan komunikasi remaja karena kecemasan terjadi secara bertahap dan perlahan-lahan meningkat, dimana hal tersebut ditandai dengan berkurangnya kemampuan remaja untuk mengontrol dan menguasai situasi yang dihadapinya.
2.5 Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka di atas hipotesis penelitian yang dapat di ajukan adalah hubungan antara pola asuh orang tua dengan tingkat kecemasan komunikasi pada remaja. Pola asuh demokratris memiliki hubungan negatif yang signifikan yang dapat menjadikan seorang remaja memiliki tingkat kecemasan komunikasi yang tinggi. Sebaliknya, pola asuh otoriter memiliki nilai yang positif yang signifikan untuk menjadikan seorang remaja memiliki tingkat kecemasan komunikasi yang tinggi. Pola asuh permisif memiliki hubungan yang signifikan untuk menjadikan remaja memiliki tingkat kecemasan komunikasi yang tinggi. Pola asuh penelantar juga memiliki hubungan yang signifikan untuk menjadikan remaja memiliki tingkat kecemasan komunikasi yang tinggi.