BAB 2 2.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
FISIOLOGI NYERI Defenisi nyeri menurut International Association for the Study of Pain
(IASP) sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang jelas, cenderung rusak, atau sesuatu yang tergambarkan seperti yang dialami. Defenisi di atas menjelaskan adanya hubungan pengaruh obyektif (aspek fisiologi dari nyeri) dan subyektif (aspek komponen emosi dan kejiwaan). Pengaruh subyektif erat kaitannya dengan pendidikan, budaya, makna situasi dan aktifitas kognitif, sehingga nyeri merupakan hasil belajar serta pengalaman sejak dimulainya kehidupan. Individualisme rasa nyeri ini sulit dinilai secara obyektif, walaupun dokter telah melakukan observasi atau menggunakan alat monitor. Baku emas untuk mengetahui seseorang berada dalam kondisi nyeri ataupun tidak adalah dengan menanyakannya langsung19,20,21,26. Berdasarkan asalnya nyeri dibagi dua, yaitu nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik yang berasal dari kulit disebut nyeri superfisial, sedangkan nyeri yang berasal dari otot rangka, tulang, sendi atau jaringan ikat disebut nyeri dalam. Nyeri superfisial cirinya tajam, lokasinya jelas, dan cepat hilang bila stimulasi dihentikan. Sedangkan nyeri dalam cirinya terasa tumpul, sulit dilokasi, dan cenderung menyebar ke sekitarnya. Nyeri visera bisa juga disebabkan oleh penarikan yang kuat dari organ-organ dalam abdomen, demikian juga karena spasme atau kontraksi yang kuat dari organ visera yang menimbulkan nyeri terutama bila disertai dengan aliran darah yang tidak adekuat 20,21.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan lamanya nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus nosiseptif dan koneksi sentral yang terlibat serta sistem saraf autonomik berdasarkan regionya karena perlakuan atau proses penyakit atau fungsi abnormal dari otot atau visera. Biasanya nyeri ini mudah dideteksi, lokasinya jelas, dan sebatas kerusakan jaringan20,21. Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap dialami lebih 3 bulan atau 6 bulan dari sejak mulai dirasakan nyeri. Defenisi yang lain mengatakan nyeri kronik adalah nyeri yang dialami selama waktu yang seharusnya perlukaan mengalami penyembuhan. Yang termasuk nyeri kronik adalah nyeri persisten yaitu nyeri yang menetap untuk waktu yang lama atau nyeri rekuren yaitu nyeri yang kambuh dengan interval tertentu20,21. Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan, pertama karena pembedahan itu sendiri, menyebabkan rangsang nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya respon inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara lain adalah prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P, lekotrein dimana zat-zat tersebut berperan pada proses transduksi dari nyeri20,22,23,26. 2.2
MEKANISME NYERI Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan
jaringan. Nyeri pada umumnya dapat dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu: nyeri adaptif dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif berperan serta dalam proses bertahan hidup dengan melindungi organisme dari cedera berkepanjangan dan membantu proses pemulihan. Sebaliknya, nyeri maladaptif merupakan bentuk patologis dari sistem saraf26. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksious yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, talamus, dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistim nosiseptif akan
Universitas Sumatera Utara
bergeser fungsinya, dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak 19,26. Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksious atau noksious ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi 26. Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang adaptif namun demikian pada kasus-kasus cedera elektif (misalnya: pembedahan), cedera karena trauma, atau rheumatoid arthritis, penatalaksanaan yang aktif harus dilakukan. Tujuan terapi
adalah
menormalkan
sensitivitas
nyeri.
Nyeri
maladaptif
tidak
berhubungan dengan adanya stimulus noksious atau penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai respon kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi abnormal sistim saraf (nyeri fungsional) 26. Berbagai mekanisme yang mendasari munculnya nyeri telah ditemukan, mekanisme tersebut adalah: nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Pada kasus nyeri nosiseptif terdapat proses transduksi, transmisi, dan persepsi. Transduksi merupakan konversi stimulus noksious termal, mekanik, atau kimia menjadi aktivitas listrik pada akhiran serabut sensorik nosiseptif. Proses ini diperantarai oleh reseptor ion channel yang spesifik. Konduksi merupakan perjalanan aksi potensial dari akhiran saraf perifer ke sepanjang akson menuju akhiran nosiseptor di sistem saraf pusat. Transmisi merupakan bentuk transfer sinaptik dari satu neuron ke neuron lainnya. Kerusakan jaringan akan memacu pelepasan zat-zat kimiawi (mediator inflamasi) yang menimbulkan reaksi inflamasi yang diteruskan sebagai sinyal ke otak. Sinyal nyeri dalam bentuk impuls listrik akan dihantarkan oleh serabut saraf nosiseptor tidak bermielin (serabut C dan δ) yang bersinaps dengan neuron di kornu dorsalis
Universitas Sumatera Utara
medulla spinalis. Sinyal kemudian diteruskan melalui traktus spinotalamikus ke korteks serebri, dimana nyeri dipersepsi, dilokalisir, dan diintepretasikan 26. 2.2.1
Sensitisasi perifer Cidera dan inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan
lingkungan kimiawi pada akhiran nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosin trifosfat dan ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine, dan growth factor. Beberapa komponen tersebut di atas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators), dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsang berikutnya (nociceptor sensitizers). Sebagai contoh: adenosin trifosfat dilepaskan oleh sel yang cidera dan merangsang reseptor purin P2x3, dan mengaktifkan nosiseptor. Secara berututan prostaglandin E2 (sebuah bentuk prostanoid) dan nerve growth factor berikatan pada reseptor prostaglandin E dan tirosin kinase A, menyebabkan sensitisasi pada terminal nosiseptor tanpa langsung menimbulkan aktivitas nosiseptor. Bradikinin akan mengaktifkan dan mensensitisasi nosiseptor dengan berikatan pada reseptor B2 yang hanya terjadi setelah cidera ataupun inflamasi 26. Pembentukan prostanoid pada tempat cidera merupakan komponen utama reaksi inflamasi. Prostanoid terbentuk dari asam arakidonat dari membran fosfolipid
oleh
fosfolipase
A2.
Cyclooxygenase-2
(COX-2)
berperan
mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin H, yang kemudian dikonversi menjadi spesies prostanoid yang spesifik, misalnya prostaglandin E2. Cyclooxygenase-2 (COX-2) dipicu oleh interleukin 1-β dan tumor necrosis factor-α, yang keduanya terbentuk beberapa jam setelah permulaan inflamasi, sehingga obat anti inflamasi yang selektif menghambat COX-2 tidak efektif pada nyeri nosiseptif atau inflamasi yang berlangsung cepat 26. Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Aktivasi adenil siklase oleh prostaglandin E
Universitas Sumatera Utara
akan meningkatkan kadar adenosine monofosfatsiklik, dan mengaktifkan protein kinase A. Protein kinase A dan protein kinase C akan menfosforilasi asam amino serine dan threonin. Fosforilasi akan menyebabkan perubahan aktivitas reseptor dan ion channel yang dramatik 26. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitasi akan muncul secara bersamaan
(prostaglandin
E2,
nerve
growth
factor,
dan
bradikinin),
penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang, dan berperan besar dalam meningkatkan sensitivitas nyeri di tempat cidera atau inflamasi 26.
Gambar 1. Sensitisasi yang menyebabkan hiperalgesia dan allodinia
Keterangan: stimulus noksious dapat menyebabkan sensitisasi respon sistem saraf terhadap stimulus berikutnya. Respon nyeri yang normal ditunjukkan oleh kurva sebelah kanan. Pada cedera jaringan, kurva tersebut akan bergeser ke kiri, sehingga stimulus noksious dirasakan lebih nyeri (hiperalgesia), dan stimulus non noksious juga dirasakan sebagai nyeri (allodinia).
2.2.2
Sensitisasi sentral Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di
sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cedera.
Universitas Sumatera Utara
Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sinaptik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medula spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent) 26. Secara umum proses sensitisasi sentral serupa dengan sensitisasi perifer. Diawali dengan aktivasi kinase intraseluler, memacu fosforilasi saluran ion dan reseptor, dan terjadi perubahan fenotip neuron. Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang massif ke dalam medulla spinalis, ini akan menjadikan jaringan saraf di dalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi ini menyebabkan munculnya nyeri akibat stimulus non noksious (misalnya: nyeri akibat sentuhan ringan), dan daerah yang jauh dari jaringan cedera juga menjadi sensitif rangsangan nyeri (hiperalgesia sekunder) 26. Sensitisasi sentral membutuhkan aktivitas nosiseptor yang singkat dengan intensitas yang tinggi, misalnya: irisan kulit dengan skalpel. Sensitisasi sentral dapat juga terjadi akibat sensitisasi nosiseptor akibat inflamasi, dan aktivitas ektopik spontan akibat cidera saraf. Sensitisasi sentral merupakan urutan kejadian di kornu dorsalis yang diawali dengan pelepasan transmiter dari nosiseptor, perubahan densitas reseptor sinaptik, perubahan ambang, yang kesemuanya meningkatkan transmisi nyeri. Salah satu reseptor yang berperan utama dalam perubahan ini adalah reseptor N-Methyl D-Aspartat (NMDA). Selama proses sensitisasi sentral, reseptor ini akan mengalami fosforilasi, dan meningkatkan kepekaannya terhadap glutamat. Respon berlebih pada glutamat ditandai oleh hilangnya blokade ion Mg2+ dan terjadi pembukaan ion channel yang lebih lama. Eksitabilitas membran dapat diaktifkan baik oleh input yang di bawah (subtreshold), dan respon berlebih pada input di atas ambang (supratreshold). Fenomena ini menyebabkan munculnya nyeri pada rangsang yang di bawah
Universitas Sumatera Utara
ambang (allodinia), dan respon nyeri berlebih akibat rangsang nyeri (hiperalgesia), serta perluasan sensitivitas area yang tidak cedera (hiperalgesia sekunder) 26.
2.3
NOSISEPTOR Kata ”nociception” yang berasal dari kata noci (bahasa latin untuk trauma
atau luka), digunakan untuk menggambarkan hanya respon neural terhadap trauma atau stimulus noxious. Nosiseptor adalah reseptor nyeri yang ada di seluruh tubuh, letaknya terutama pada permukaan kulit, kapsula sendi, di dalam periosteum, serta di sekitar dinding pembuluh darah, ujung dari nosiseptor berada di dorsal horn dari medulla spinalis. Organ dalam juga mempunyai nosiseptor hanya saja jumlahnya lebih sedikit. Reseptor nyeri berupa ujung syaraf bebas dengan permukaan reseptor yang luas, sehingga kadang-kadang sulit untuk menentukan sumber nyeri secara tepat.25,27 Nosiseptor sangat sensitif terhadap rangsangan noksius seperti suhu yang sangat ekstrem, kerusakan mekanik, bahan-bahan kimia terutama yang keluar akibat kerusakan sel. Stimuli yang sangat kuat dari ketiganya dapat menimbulkan nyeri. Stimuli pada dendrit nosiseptor menyebabkan depolarisasi, dan juga rangsangan tersebut mencapai akson dan melewati ambang potensial, maka stimulus akan diteruskan hingga mencapai susunan saraf pusat.25,26 2.4
PERJALANAN NYERI Ada empat proses yang terjadi pada suatu nosiseptif yaitu transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi. 1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung syaraf. Rangsang ini dapat berupa stimuli fisik, kimia, ataupun panas. Ciri khas dari nosiseptor adalah tidak mengalami adaptasi25-28.
Universitas Sumatera Utara
2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi tadi melalui saraf sensorik. Impuls ini akan dibawa oleh serabut syaraf A Delta (mechanothermal receptor) dan serabut C (C-polymodal nociceptor) sebagai neuron pertama (dari perifer menuju kornu dorsalis medula spinalis). Pada kornu dorsalis ini, neuron pertama tersebut akan menyilang garis tengah dan naik melalui traktus spinotalamikus kontralateral menuju talamus, yang disebut sebagai neuron kedua. Pada neuron kedua inilah terjadi sensitisasi sentral. Neuron kedua ini kembali bersinaps di talamus dengan neuron ketiga yang memproyeksikan stimulus nyeri melalui kapsula interna dan korona radiata menuju girus postcentralis korteks serebri25-28. 3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang dan merupakan bagian yang penting dari nyeri. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi dapat berupa augmentasi (peningkatan), ataupun inhibisi (penghambatan) yang merupakan bagian dari descending neural tracts. Pada proses ini opioid endogen (beta-endorphins dan enkephalins) dan eksogen mempunyai peran untuk mengatasi nyeri dengan secara tidak langsung menghambat keluar masuknya kalsium dan potassium. 25-28. 4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut 25-28.
2.5
SISTEM DESCENDING Sistem descending tampaknya memiliki tiga komponen yang saling terkait
secara fungsional utama: sistem opioid, noradrenergik, dan serotonergik.29
Universitas Sumatera Utara
2.5.1
Sistem opioid Sistem opioid terlibat dalam analgesia. Prekursor opioid (yaitu,
proopiomelanocortin, proenkephalin, dan prodynorphin) dan peptida masingmasing (beta-endorphin, bertemu-dan leu-enkephalin, dan prodynorphin) yang ada dalam amigdala, hipotalamus, raphe magnus, dan dorsal horn.29 2.5.2
Sistem noradrenergik Neuron noradrenergik mempunyai jalur dari locus caeruleus dan
kelompok-kelompok sel noradrenergik lainnya di medulla dan pons. Jalur ini ditemukan di funiculus dorsolateral. Stimulasi daerah ini menghasilkan analgesia, seperti halnya administrasi (langsung atau intratekal) suatu agonis alfa 2-reseptor seperti klonidin ataupun deksmedetomidin.29 2.5.3
Sistem serotonergik Banyak neuron pada raphe magnus yang diketahui mengandung serotonin
(5-hydoxytryptamine atau 5-HT), dan mereka mengirimkan jalur untuk medulla spinalis melalui funiculus dorsolateral. Penghambatan farmakologis, atau lesi, dari raphe magnus dapat mengurangi efek morfin, dan pemberian 5-HT ke medulla spinalis akan menghasilkan efek analgesia.29 2.5.4
Komponen dari Analgesia Descending Sel nosiseptif di dorsal horn dapat diaktifkan atau dihambat dengan
stimulasi periaquaductal gray (PAG). Beberapa jenis neuron yang terlibat dalam pengendalian informasi nosiseptif berada di raphe magnus, sel-sel ini dinamakan sel “on” dan “off “. Sel “on” akan aktif sebelum penarikan kembali refleks nosifensif. Sel-sel ini dirangsang oleh input nosiseptif, akan tereksitasi oleh stimulasi dan dihambat oleh morfin. Sel memfasilitasi transmisi nosiseptif di dorsal horn. Sel “off” akan berhenti sebelum penarikan kembali refleks nosifensif.29 Sel-sel ini dihambat oleh rangsangan noksius, akan tereksitasi oleh stimulasi elektrik dan morfin. Telah diterangkan bahwa opioid bertindak untuk
Universitas Sumatera Utara
menghambat penghambatan interneuron (GABAergic) yang bekerja pada sel “on” dan “ off “ , dengan cara ini, menghasilkan efek eksitatori dari sel-sel. Selsel ini menghambat transmisi nosiseptif di dorsal horn.29 2.5.5
Proyeksi ke Dorsal Horn Serabut saraf yang aslinya berasal dari inti yang terlibat dalam modulasi
nyeri berakhir pada dorsal horn mayoritasnya di lamina I dan II dan di lamina lain, termasuk IV, V, VI, dan X.29 2.6
ANALGESIA PREEMPTIF Analgesia preemptif dimulai dengan analgesia sebelum onset dari
rangsangan melukai untuk mencegah sensitisasi sentral dan membatasi pengalaman nyeri selanjutnya. Analgesia preemptif mencegah kaskade neural awal yang dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan menghilangkan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan melukai 30,31,32. Pembedahan mungkin merupakan aplikasi klinis dimana teknik analgesia preemptif menjadi sangat efektif karena onset rangsangan yang kuat dapat diketahui . Oleh karena itu, potensi sensitisasi sentral muncul bahkan pada pasien tidak sadar yang tampak tidak respon secara klinis terhadap rangsangan pembedahan.32,33 2.7
ANALGESIA PREVENTIF Pada tahun 1994 Kissin menambahkan istilah “analgesia preventif” pada
“analgesia preemptif” dan menggunakan istilah “analgesia preemptif” hanya terbatas pada efek karena sensitisasi oleh bagian dari analgesia preventif yang dimulai sebelum pembedahan dan tidak termasuk waktu paska pembedahan. Jadi analgesia preventif adalah pemberian obat analgesia sebelum operasi dan dilanjutkan setelah operasi selesai. Katz membandingkan keluaran dari penelitian dengan pendekatan yang dirancang untuk membuktikan pencegahan hipersensitif dari nyeri. Dia melaporkan bahwa cara PRE melawan NO (analgesia preventif) menghasilkan efek yang positif lebih sering dibandingkan cara PRE lawan POST
Universitas Sumatera Utara
(analgesia preemptif) dan secara umum, efek dengan cara PRE lawan NO terdapat jarak yang lebih besar. Hal ini menggambarkan bahwa pencegahan yang menyeluruh terhadap sensitisasi (tidak hanya disebabkan oleh luka karena sayatan tetapi juga karena trauma inflamasi) memiliki nilai klinis yang lebih baik33.
Gambar 2 Skematik preemptif analgesik dengan penekanan pada pencegahan sensitisasi sistem saraf selama perioperatif.
Tipe nyeri tanpa intervensi ditunjukkan pada gambar A, dimana tergambar nyeri saat awal pembedahan dan selanjutnya berkembang menjadi hipersensitifiti. Gambar 2-B, analgesia diberikan setelah sensitisasi dapat menurunkan nyeri sedikit tetapi tidak memiliki keuntungan jangka panjang. Pada gambar 2-C, analgesia diberikan sebelum pembedahan membatasi nyeri dari mulai rangsangan dan menurunkan hipersensitifiti selanjutnya. Yang paling efektif adalah gambar 2-D.
Universitas Sumatera Utara
2.8
MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK Obat analgesia dibagi dalam 2 golongan utama, yaitu yang bekerja di
perifer dan yang bekerja di sentral. Golongan obat AINS bekerja di perifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Pada golongan analgetik opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medula spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmiter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi. Dari beberapa mekanisme kerja opioid maka dapat diketahui bahwa opioid bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid di midbrain dan mengaktifkan sistem descending, bekerja pada reseptor opioid di transmisi second-order untuk menghambat sinyal nyeri dari sistem ascending, mengaktifkan reseptor opioid terminal sentral serat C di medulla spinalis untuk menghambat keluarnya neurotransmiter nyeri, mengaktifkan reseptor nyeri di perifer untuk menginhibisi aktivasi dari nosiseptor yang juga menghambat sel yang menghasilkan efek inflamasi1. 2.9
FARMAKOLOGI OBAT AINS Obat analgesik antipiretik serta AINS merupakan suatu kelompok obat
yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walapun demikian obat-obat ini ternyata memiliki persamaan dalam efek terapi dan efek samping. Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efeknya berdasarkan pada penghambatan biosintesis prostaglandin (PG)14,35. 2.10 PERANAN PROSTAGLANDIN Di antara mediator-mediator reaksi lokal ini ditemukan prostaglandin. Semuanya diawali dengan degradasi fosfolipid membran sel menjadi asam arakhidonat, yang diperantarai oleh ensim fosfolipase A2. Tahap pertama ini dihambat oleh kortikosteroid27.
Universitas Sumatera Utara
Sejak terbentuk asam arakhidonat terjadi dua jalur proses metabolisme : 1. Cara metabolisme melalui siklooksigenase yang berakhir dengan pembentukan prostaglandin, zat ini kemudian dilepaskan dan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi: edema, menimbulkan rasa nyeri lokal, kemerahan (eritema) lokal. Selain itu meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap rangsang nyeri (nosiseptif) 27. 2. Cara metabolisme melalui lipo-oksigenase yang berakhir dengan terbentuknya leukotrien. Leukotrien meningkatkan daya kemotaktik polinuklear dan menghasilkan radikal bebas dengan akibat terjadinya lesi 27
.
2.11 ENZIM CYCLOOXYGENASE (COX) Enzim Cyclooxygenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakidonat. PG memediasi sejumlah besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi pelindung lapisan lambung, mempertahankan perfusi renal, dan aggregasi platelet. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin. Hal ini menghasilkan kedua efek, baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan 2 isoenzim, yang ubiquitously dan constitutive diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat di mukosa lambung, parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti aggregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Keberadaan COX-2 bisa difasilitasi beberapa proses onkogenik, termasuk invasi tumor, angiogenesis dan metastase. Regulasi COX-2 yang transien di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi sentral 14,35.
Universitas Sumatera Utara
Kerusakan akibat insisi Kerusakan saraf inflamasi NSAID Pelepasan mediator
Algogen
Sitokoin, neurokin
Kontrol dari peptide, reseptor dll
Eksitasi sensori neuron
Lokal anastesi
Pelepasan transmiter di kornu dorsalis
Eksitasi transmisi neuron
Opioid
Perangsangan saraf spinal
NYERI Gambar 3. Tempat kerja obat analgetik27
Obat AINS menghambat siklooksigenase, tanpa menghambat proses lipooksigenese dan
menginduksi peningkatan ambilan asam arakhidonat yang
dilepaskan oleh membran polinuklear, dengan tujuan mengurangi fraksi-fraksi utama yang dapat dimetabolisme oleh enzim lipooksigenase 27.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
MEMBRAN FOSFOLIPID (-) Fosfolipase A2
Kortikosteroid ASAM ARAKHIDONAT
Enzim siklooksigenase
Enzim lipooksigenase
(-) AINS
PGE2 Ket
Prostasiklin (+)
= memperkuat,
Tromboksan A2 (-)
Leukotrien
= penghambatan
Gambar 4. Pengaruh AINS dan Kortikosteroid25
2.12 KETOROLAK Ketorolak adalah suatu OAINS yang menunjukkan efek analgesia yang potensi tetapi hanya memiliki aktifitas antiinflamasi yang moderat bila diberi secara intramuscular atau intravena. Obat ini dipakai sebagai analgesia paska pembedahan baik sebagai obat tunggal (kurang nyeri pada pasien rawat jalan) maupun suplemen dengan opioid. Ketorolak mempotensiasi aksi antinociceptif dari opioid. Hal yang berlawanan efek analgesia opioid tergantung dosis, ketorolak dan obat AINS lain menimbulkan efek pada analgesia paska
Universitas Sumatera Utara
pembedahan. Ketorolak merupakan struktur alfa pengganti dari asam arilasetik, dimana secara struktural kimia berhubungan dengan indometasin 7,8,9,12,36. Penggunaan ketorolak sebagai obat analgesia tunggal intraoperatif dihubungkan dengan meningkatnya insiden bergeraknya pasien pada saat sayatan. Ketorolak 30 mg IM menghasilkan analgesia yang sebanding dengan 10 mg morfin atau 100 mg petidin8. Keuntungan ketorolak sewaktu induksi adalah tidak adanya depresi pada kardiovaskuler maupun pernafasan. Tidak seperti opioid, ketorolak sedikit atau tidak mempengaruhi saluran empedu7,9,36. 2.12.1 Farmakokinetik Setelah injeksi intramuscular, maksimum plasma konsentrasi tercapai pada 30 sampai 60 menit, dan waktu paruh eliminasi sekitar 6-8 jam. Mula kerjanya adalah 10 menit. Efek puncak dicapai dalam 2-3 jam. Bioavailibilitas dari ketorolak dilaporkan sekitar 81-100 %. Metabolisme berkonjugasi dengan asam glukoronik dan para hidroksilasi di hati. Obat dan hasil metabolitnya akan dikeluarkan melalui urin. Ikatan dengan protein melebihi 99 % dan bersihan obat ini menurun dibandingkan opioid. Bersihan menurun sebanding dengan bertambahnya usia pasien, dan dosis lebih kecil pada pasien yang lebih muda 34. 2.12.2 Farmakodinamik Bekerja di jalur siklooksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang kemudian menghambat sintesis dari prostaglandin dan menghasilkan efek analgesia. a. Efek analgesia Pada percobaan di beberapa hewan animal, mempunyai efek analgesia 200-800 kali lebih poten dibandingkan dengan aspirin, indometasin, naproksen dan fenil butazon. b. Efek anti inflamasi
Universitas Sumatera Utara
Mempunyai anti inflamasi yang kurang dibandingkan dengan efek analgesinya.
Efek
antiinflamasinya
hampir
sama
dengan
indometasin. c. Efek pada fungsi platelet dan hemostasik Ketorolak menghambat asam arakhidonat dan kolagen mencetuskan agregasi platelet. Tidak ada interaksi dengan heparin dan menimbulkan efek pada waktu trombin dan waktu protrombin. d. Efek pada mukosa gastrointestinal Tergantung
pada
dosis
untuk
menimbulkan
erosi
mukosa
gastrointestinal 36. 2.12.3 Efek Samping Masa perdarahan dapat meningkat pada pemberian ketorolak intravena dosis tunggal pada pasien yang mendapat anestesi spinal (blok setinggi Th 6) tetapi tidak pada pasien yang di anestesi umum. Perbedaan respon ini disebabkan reflek status hiperkoagulasi yang dihasilkan respon neuroendokrin karena stres pembedahan selama anestesi umum dibandingkan anestesi spinal36. Bronkospasme yang mengancam nyawa dapat terjadi setelah pemberian ketorolak pada pasien nasal poliposis, asma, dan sensitif dengan aspirin. Toleransi silang antara aspirin dengan obat AINS lain sering terjadi. Ketorolak sedikit menyebabkan keracunan pada ginjal dengan keseimbangan cairan yang adekuat dipertahankan dan fungsi ginjal tidak tergantung pada prostaglandin ginjal. Pasien dengan gagal jantung kongesti, hipovolemia, atau sirosis hepatis melepaskan substansi vasoaktif, dimana prostaglandin merupakan kunci dari pencegahan konstruksi arteri di ginjal, yang bisa menurunkan aliran darah ke ginjal. Peningkatan enzim transaminase hati bisa terjadi pada pasien yang diterapi dengan ketorolak. Iritasi gastrointestinal dan perforasi, mual, sedasi, dan edema perifer dapat menyertai pemberian obat AINS. Pemberian berulang melalui
Universitas Sumatera Utara
intramuscular dapat menimbulkan somnolen sekitar 7 %, nyeri pada tempat suntikan sekitar 2 %, berkeringat sekitar 1 %, sakit kepala, dan pruritus 7,8,12,36.
Gambar 5. Rumus Bangun Ketorolak
2.13 FENTANYL PATCH Fentanil merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang bekerja terutama pada reseptor µ dengan sedikit berpengaruh pada reseptor δ dan κ. Fentanil merupakan opioid yang poten, mempunyai potensi analgesia 100-300 kali efek morfin. Bersifat lipofilik yang memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat. Sistem transdermal menghantarkan fentanil, dari reservoir dengan jumlah yang hampir konstan per unit waktu. Perbedaan konsentrasi yang timbul antara larutan jenuh obat
di dalam reservoir dan
konsentrasi yang rendah di dalam kulit mendorong pelepasan obat fentanil bergerak ke arah konsentrasi yang lebih rendah dengan kecepatan yang ditentukan oleh membran pelepas kopolimer dan difusi fentanil melalui lapisan kulit. Meskipun kecepatan aktual penghantaran fentanil ke kulit berbeda selama periode pemakaian 72 jam, tiap sistim dilabel dengan fluks nominal yang mencerminkan jumlah rata-rata obat yang dihantarkan ke sirkulasi sistemik melalui kulit12,37,38,39. Metabolit utama dari fentanil adalah norfentanil, sedangkan metabolit minornya adalah hidroksipropionil-fentanil dan hidroksipropionil-norfentanil, yang tidak mempunyai aktivitas farmakologi. Sejumlah kecil alkohol yang
Universitas Sumatera Utara
tergabung dalam sistem peningkatan kecepatan fluks obat melalui membran kopolimer yang membatasi kecepatan dan meningkatkan permeabilitas kulit terhadap fentanil 12,37,38,39.
2.13.1 Komponen dan Struktur Sistim Jumlah fentanil yang dilepas dari tiap sistim per jam sebanding dengan luas permukaan ( 25 μg/jam per 10 cm2 ). Komposisi per unit area dari seluruh ukuran sistim adalah identik. Tiap sistim juga mengandung 0,1 mL alkohol USP per 10 cm 2, 37,38. Tabel 2.13-1. Dosis dan ukuran Fentanyl Patch
Dosis *(μg/jam) 12** 25 50 75 100
Ukuran (cm2) 5 10 20 30 40
Kadar fentanyl (mg) 1,25 2,5 5 7,5 10
* kecepatan penghantaran nominal per jam
** kecepatan penghantaran nominal adalah 12,5 μg/jam.36
Fentanyl patch merupakan sebuah unit rectangular transparan yang terdiri dari satu lapisan protektif dan empat lapisan fungsional. Dimulai dari permukaan terluar kearah permukaan yang berbatasan dengan kulit. Fentanyl patch yang ada di pasaran ada 2 jenis, yaitu dengan reservoir dan dengan matriks 36.
Gambar 6. Skematis Fentanyl Patch35,36
Universitas Sumatera Utara
Lapisan film polyester panahan : 1. Membran kopolimer etilen-vinil asetat yang mengatur kecepatan penghantaran fentanil pada permukaan kulit. 2. Fentanil yang mengandung perekat silikon. 3. Lapisan protektif yang menutupi lapisan adesif 37,38. Fentanyl patch dengan matriks, mengandung glikol dipropilen yang bergabung
dengan
poliakrilat.
Lebih
kecil,
tipis
dan
fleksibel
yang
memungkinkan pemakaiannya lebih nyaman, dan kemungkinan terjadinya kebocoran obat dan keracunan lebih kecil 36,37. 2.13.2 Farmakokinetik Fentanyl Patch Setelah penempelan sistim fentanyl patch, konsentrasi fentanil serum akan meningkat mencapai 12-18 jam sampai tercapai tahap plateu. Bila sistim ini dibiarkan tertinggal menempel, konsentrasi fentanil hanya akan meningkat sedikit setelah 24 jam. Setelah pelepasan sistim, konsentrasi fentanil akan menurun perlahan, dengan waktu paruh terminal mencapai 15-21 jam 2, 37,38. 2.13.3 Farmakodinamik Fentanyl Patch Opioid memediasi 3 reseptornya, µ, β, dan δ, dengan reseptor µ dibagi menjadi 2 yaitu µ1 dan µ2. Aktivasi dari setiap reseptor akan memberikan efek analgesik supraspinal dan spinal, menurunkan motilitas gastrointestinal, sedasi dan depresi pernafasan. Fentanil mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptor µ, dan rendah pada δ dan β. Sifat analgesi dari fentanil 75 sampai 100 kali dari morfin, perbedaan ini kemungkinan karena sifat lipofilik dari fentanil yang memungkinkan lebih cepat melewati sawar darah otak 37.
Universitas Sumatera Utara
2.14 LAPAROTOMI Merupakan istilah yang digunakan untuk tindakan operasi yang membuka kavum abdomen. Istilah diperkenalkan oleh Thomas Bryant, seorang ahli bedah yang berasal dari Inggris. Berasal dari bahasa Yunani, “lapara” yang artinya jaringan lunak yang berada antara tulang iga dan tulang panggul. Sedangkan “tomi” adalah tindakan insisi pada atau memotong pada bagian tersebut. Tindakan laparotomi bisa merupakan tindakan untuk mendiagnosa ataupun sebagai tindakan untuk menghilangkan gangguan yang menjadi dasar tindakan laparotomi 39. 2.15 INSTRUMEN PENGUKUR NYERI Alat pengukur derajat nyeri yang paling sering digunakan adalah Verbal Descriptor/Rater Scale (VDS/VRS), Numerical Rating Scale (NRS), dan Visual Analogue Scale (VAS) dikemukakan pada tahun 1948 oleh Keele, didasarkan pada 3-5 tingkat nyeri numerik yang menggambarkan kata “tidak nyeri”, “nyeri sedikit” (slight), “nyeri ringan”, “nyeri sedang”, “nyeri berat”. Sementara itu Downie dkk pada tahun 1978 menggambarkan NRS sebagai garis horizontal atau vertikal yang ujung-ujungnya diberi nilai “0” menandakan tidak ada nyeri dan “10” menandakan nyeri yang berat 40. NRS sering dipakai oleh peneliti sebagai alat ukur tunggal maupun bersama-sama dengan VDS. Alat ukur VAS dikembangkan 70 tahun lalu dan mungkin saat ini menjadi yang paling luas digunakan untuk mengukur nyeri. Skala ini berupa garis lurus, biasanya panjangnya 100 mm, atau kadang-kadang 150 dan 160 mm. Ujung kiri garis ini melambangkan “tidak ada nyeri sama sekali” dan ujung kanannya melambangkan “nyeri yang tak tertahankan”. Pasien diminta untuk menandai satu titik pada garis itu yang menggambarkan tingkat nyeri yang dia rasakan. Intensitas nyeri ini diukur dari ujung garis yang paling kiri sampai tanda yang ditunjuk pasien, biasanya menggunakan satuan militer. Tingkat nyeri ini lalu dicatat sebagai nomor antara 0 sampai 100. Selain posisi horizontal, VAS juga dapat diposisikan vertikal, dan hasilnya tetap valid. Pada
Universitas Sumatera Utara
umumnya VAS mudah digunakan, namun pada periode paska bedah VAS agak sulit untuk digunakan karena efek zat anestesia, mual dan penglihatan kabur
40
.
Dalam kajian pustakanya Coll dkk merekomendasikan VAS sebagai alat ukur nyeri paska bedah, bahkan untuk operasi rawat sehari (day surgery). Rekomendasi ini dikeluarkan mengingat alat ini telah digunakan secara luas, kualitasnya secara metodologis baik dan penggunaannya mudah, hanya menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi persoalan 41. Willianson dkk melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan memberikan kesimpulan antara lain : VAS secara statistik paling kuat strukturnya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio, perlu dicatat bahwa data VAS tidak selalu terdistribusi normal dan pasien tidak selalu menggunakan seluruh area skala, penggunaan VAS berulang dapat bervariasi sebanyak 20%, tingkat kesalahan penggunaan VAS dapat dikurangi dengan penjelasan yang baik kepada pasien, pasien dengan keterbatasan kognitif lebih sulit melaporkan rasa nyerinya, termasuk pula lebih sulit menggunakan VAS sebagai alat ukurnya, orang tua dan anak-anak yang kurang memiliki kemampuan abstrak lebih menyukai alat ukur verbal dari pada VAS.40,41,42 Nilai VAS antara 0 sampai 40 (skala 0-100) dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai 5-44 berat. Nilai VAS 50 atau lebih membuat pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesik penyelamat (rescue analgetic).41,42,43 Perubahan nilai VAS juga turut mempengaruhi kepuasan pasien. Penurunan nilai VAS kira-kira 10 (skala 0-100) atau 15% dirasakan sebagai “nyeri menurun sedikit”. Penurunan 20-30 atau rasio 33% dianggap sebagai penurunan nyeri secara bermakna bagi pasien. Penurunan VAS hingga 66% dianggap sebagai penghilangan nyeri yang substansial.42,43
Universitas Sumatera Utara
2.16 KERANGKA KONSEP
Pembedahan
Luka operasi (sel yang cedera merangsang nosiseptor)
Perifer
Sentral
Inflamasi
NSAID Ketorolak
OPIOID Fentanyl patch
Nyeri setelah pembedahan
Efek samping
Nilai VAS
Gambar 7. Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara