BAB 2 TINJAUAN TEORITIS
1. Pengetahuan 1.1 Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman, juga bisa didapat dari informasi yang disampaikan osleh guru, orang tua, teman, buku, dan surat kabar. Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu : Tahu (know), memahami (Comprehension), Aplikasi (Aplication), Analisis (Analysis), Sintesis (Synthesis), Evaluasi (Evaluation) (Notoatmodjo, 2005).
1.2 Cara Memperoleh Pengetahuan Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek peneliti atau responden. Pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat diukur dan disesuaikan dengan tingkatan tersebut (Notoatmodjo, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2. Peran Perawat 2.1 Definisi Peran Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu system. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil (Barbara, 2010).
2.2 Peran Perawat Kesehatan Peran perawat sangat dibutuhkan untuk membantu pasien dalam menunjang kesehatan dan pemulihannya. Peran perawat terdiri dari pemberi asuhan, pendidik, pembela, kolaborasi, konsultan dan pembaharu. Berikut ini uraian mengenai peran perawat yaitu, : 1. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dapat dilakukan perawat dengan mempertahankan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui
pemberian
pelayanan
keperawatan
dengan
menggunakan
proses
keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dievaluasi tingkat perkembangannya (Potter & Perry, 2010). 2. Peran perawat sebagai pembela dilakukan perawat dalam membantu pasien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan
Universitas Sumatera Utara
atau informasi khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien (Mubarak, 2005). 3. Peran perawat sebagai pendidik dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan (Mubarak, 2005). 4. Peran
perawat
sebagai
koordinator
dilaksanakan
dengan
mengarahkan,
merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan pasien (Mubarak, 2005). 5. Peran perawat sebagai kolaborator dilakukan dengan bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi, dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya (Mubarak, 2005). 6. Peran perawat sebagai konsultan adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan pasien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan (Mubarak, 2005). 7. Peran perawat sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perbaruan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan (Mubarak, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Peran Perawat sebagai pendidik 2.3.1 Pengertian Pendidik Peran pendidik ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan. Menurut Kozier (2010), proses pendidik mempunyai 4 komponen yaitu: 1. Pengkajian Hal ini sejalan dengan proses keperawatan dalam fase pengkajian seorang perawat mengkaji kebutuhan pembelajaran bagi pasien dan kesiapan untuk belajar. Pengkajian tersebut juga mempertimbangkan karakteristik klien yang dapat mempengaruhi proses belajar misalnya kesiapan untuk belajar, motivasi belajar, serta tingkat interpretasi dan pemahaman klien. Kebutuhan belajar berubah seiring perubahan status kesehatan klien, oleh karena itu perawat harus terus mengkaji kondisi mereka. 2. Perencanaan Selama perencanaan perawat membuat tujuan khusus dan strategi pengajaran. Melibatkan klien dalam proses perencanaan akan mendukung terciptanya rencana yang bermakna serta dapat merangsang motivasi klien. 3. Pelaksanaan Selama pelaksanaan perawat menerapkan strategi pengajaran dan perawat perlu bersikap fleksibel dalam mengimplementasikan setiap rencana karena rencana tersebut mungkin perlu direvisi.
Universitas Sumatera Utara
4. Evaluasi Evaluasi merupakan suatu proses final dan berkelanjutan ketika klien, perawat dan individu pendukung menilai apa yang telah dipelajari. 2.4. Peran Perawat Sebagai Pembela 2.4.1 Pengertian Pembela Pembela adalah proses pembelaan yang dilakukan untuk mendukung atau memberikan argumentasi bagi kebutuhan orang lain atau bertindak sebagai pembela pasien dalam praktik keperawatan. Pembela adalah seseorang yang membela perkara orang lain. Defenisi lain menekankan pembela sebagai pendukung dan pelindung dari hal-hal yang merugikan pasien, sumber informasi tentang status kesehatan pasien, penolong dalam mengidentifikasi kebutuhan, pilihan-pilihan, keinginan dan penolong pasien dalam membuat keputusan yang dibutuhkan dalam pengobatan pasien. Oleh karena itu pembela merupakan konsep yang penting dalam praktik keperawatan, peran perawat sebagai pembela disini harus bertanggung jawab untuk melindungi hak pasien mereka dari adanya penipuan atau penyimpangan (Kozier, 2010). Nelson (1988, dalam Creasia & Parker, 2001) menjelaskan bahwa konsep pembela memiliki 3 pengertian, yaitu:
a. Model perlindungan terhadap hak Model ini menekankan pada perawat untuk melindungi hak klien agar tidak ada tindakan tenaga kesehatan yang akan merugikan pasien selama dirawat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menginformasikan kepada pasien tentang semua hak yang
Universitas Sumatera Utara
dimilikinya, memastikan pasien memahami hak yang dimilikinya, melaporkan pelanggaran terhadap hak pasien dan mencegah pelanggaran hak pasien. b. Model pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai yang dianut pasien Model ini menekankan pada perawat untuk menyerahkan segala keputusan tentang perawatan yang akan dijalankan oleh pasien kepada pasien itu sendiri, sesuai dengan nilai-nilai yang dianut pasien. Perawat tidak diperbolehkan memaksakan nilainilai pribadinya untuk membuat keputusan pada pasien, melainkan hanya membantu pasien mengeksplorasi keuntungan dan kerugian dari semua alternatif pilihan atau keputusan. c. Model penghargaan terhadap orang lain Model ini menekankan pada perawat untuk menghargai pasien sebagai manusia yang unik. Perawat harus menyadari bahwa sebagai manusia yang unik, pasien memiliki kebutuhan yang berbeda-beda satu sama lain. Perawat harus mempunyai semua yang terbaik bagi pasien sesuai dengan kebutuhannya saat itu. Definisi umum pembela menekankan pentingnya hak-hak pasien dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini, peran perawat pembela menolong pasien sebagai makhluk yang memiliki otonomi untuk mengambil keputusan sendiri, yang sesuai dengan keinginan pasien dan bukan karena pengaruh dari perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Pendidikan dan dukungan kepada pasien diberikan sesuai kebutuhan dan pilihannya. Perawat diharapkan mampu mengidentifikasi dan mengerti keinginan pasien dan memastikan bahwa keinginan tersebut merupakan keputusan yang terbaik dari pasien. Jadi, dapat disimpulkan bahwa peran pembela perawat adalah dasar dari semua
Universitas Sumatera Utara
peran perawat untuk memberikan asuhan keperawatan dan dukungan terhadap pasien, dengan melindungi hak pasien dan bertindak atas nama pasien.
2.4.2 Nilai-nilai dasar yang harus dimiliki oleh perawat sebagai pembela Menurut Kozier (2010), untuk menjalankan peran perawat sebagai pembela pasien, perawat harus memiliki nilai-nilai dasar, yaitu : 1. Pasien adalah makhluk holistik dan otonom yang mempunyai hak untuk menentukan pilihan dan mengambil keputusan. 2. Pasien berhak untuk mempunyai hubungan perawat-pasien yang didasarkan atas dasar saling menghargai, percaya, bekerja sama dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan masalah kesehatan dan kebutuhan perawatan kesehatan dan saling bebas dalam berpikir dan berperasaan. 3. Perawat bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pasien telah mengetahui cara memelihara kesehatannya.
Menurut Kozier (2010), selain harus memiliki nilai-nilai dasar di atas perawat harus memiliki sikap yang baik agar perannya sebagai pembela pasien lebih efektif, beberapa sikap yang harus dimiliki perawat, adalah : 1. Bersikap asertif berarti mampu memandang masalah pasien dari sudut pandang yang positif. 2. Mengakui bahwa hak-hak dan kepentingan pasien dan keluarga lebih utama walaupun ada konflik dengan tenaga kesehatan yang lain.
Universitas Sumatera Utara
3. Sadar bahwa konflik dapat terjadi sehingga membutuhkan konsultasi konfrontasi atau negosiasi antara perawat dan bagian administrasi atau antara perawat dan dokter. 4.
Dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain.
5. Tahu bahwa peran pembela membutuhkan tindakan yang plitis, seperti melaporkan kebutuhan perawatan kesehatan pasien kepada pemerintah/pejabat terkait yang memiliki wewenang/otoritas.
2.4.3
Peran perawat sebagai pembela dalam informed consent Nelson (1988, dalam Creasia & Parker, 2001) menjelaskan bahwa peran perawat
sebagai pembela dalam pemberian informed consent adalah: 1. Sebagai pendukung pasien dalam proses pembuatan keputusan, dengan cara : memastikan informasi yang diberikan pada pasien dipahami dan berguna bagi pasien dalam pengambilan keputusan, memberikan berbagai alternatif pilihan disertai penjelasan keuntungan dan kerugian dari setiap keputusan, dan menerima semua keputusan pasien. 2. Sebagai mediator (penghubung) antara pasien dan orang-orang disekeliling pasien, dengan cara : mengatur pelayanan keperawatan yang dibutuhkan pasien dengan tenaga kesehatan lain, mengklarifikasi komunikasi antara pasien, keluarga, dan tenaga kesehatan lain agar setiap individu memiliki pemahaman yang sama, dan menjelaskan kepada pasien peran tenaga kesehatan yang merawatnya.
Universitas Sumatera Utara
3. Sebagai orang yang bertindak atas nama pasien dengan cara : memberikan lingkungan yang sesuai dengan kondisi pasien, melindungi pasien dari tindakan yang dapat merugikan pasien, dan memenuhi semua kebutuhan pasien selama dalam perawatan.
3. Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) 3.1 Pengertian Informed Consent Dalam terjemahan bahasa Indonesia informed consent adalah persetujuan tindakan medis. Informed artinya telah diberitahukan, telah disampaikan atau telah diinformasikan. Consent berasal dari bahasa latin consentio yang artinya persetujuan, izin, memberi izin (wewenang) kepada seseorang untuk melakukan suatu tindakan medis. Dengan demikian informed consent adalah suatu izin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan secara bebas, sadar dan rasional, setelah mendapatkan informasi dari dokter dan yang sudah dimengerti pasien (Achadiat, 2006). Menurut Black (2004) pengertian Informed Consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan, seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap tentang resiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan (Potter & Perry, 2010). Menurut Achadiat (2006) ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medik (informed consent) yaitu: 1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied Consent), yaitu bisa dalam keadaan normal (biasa) atau darurat (emergency). Dalam keadaan normal bentuk informed consent diberikan pada tindakan yang sudah biasa dilakukan atau sudah diketahui
Universitas Sumatera Utara
umum oleh petugas kesehatan, seperti melakukan penyuntikan dan pengukuran tekanan darah. 2. Dinyatakan (Expressed Consent), yaitu persetujuan dinyatakan secara lisan atau tertulis. Persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan medis yang tidak mengandung resiko tinggi seperti pencabutan kuku, sedangkan persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan pada tindakan medis yang mengandung resiko tinggi seperti tindakan pembedahan dan operasi
perlu surat pernyataan dari
pasien/keluarga.
3.2 Tata laksana Persetujuan Tindakan Medis Pada umumnya, keharusan adanya Informed Consent secara tertulis yang ditandatangani oleh pasien sebelum dilakukannya tindakan medik tertentu, dilakukan di sarana kesehatan yaitu di Rumah Sakit atau klinik, karena informed consent berhubungan dengan pendokumentasian ke dalam catatan medik (Medical Record). Hal ini disebabkan, Rumah sakit atau klinik tempat dilakukannya tindakan medik tersebut, selain harus memenuhi standar pelayanan Rumah sakit juga harus memenuhi standar pelayanan medik sesuai dengan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan No. 436/MENKES/SK/VI/1993 Tentang Berlakunya Standar Pelayanan di Rumah Sakit. Dengan demikian, rumah sakit turut bertanggung jawab apabila tidak dipenuhinya persyaratan informed consent (Achadiat, 2006). Dalam informed consent informasi tentang pembedahan harus disampaikan pada klien. Hal-hal yang memerlukan pentingnya informed consent yaitu kasus-kasus
Universitas Sumatera Utara
yang menyangkut pembedahan/operasi, kasus-kasus yang menggunakan bahan kimia berbahaya dan kasus-kasus eksperimen, hal ini sangat diperlukan peran perawat sebagai advokasi untuk memfasilitasi pasien dalam mendapatkan informasi yang jelas tentang tindakan yang harus dilakukan kepada klien (PERMENKES No. 585/1989 Bab III). Menginformasikan klien tentang risiko dan alternatif prosedur bedah dan mendokumentasikan informed consent adalah tanggung jawab dokter bedah. Menjamin tersedianya persetujuan sebelum pembedahan adalah tanggung jawab perawat. Perawat juga bertanggung jawab menunda pembedahan jika menurutnya klien belum memahami rencana intervensi pembedahan, sampai konsultasi dengan dokter berakhir dan klien memahaminya, serta menjamin bahwa persetujuan tindakan yang akan dilakukan telah diperoleh oleh klien (Gruendemann, 2005). 3.3 Unsur-Unsur dalam Informed Consent 3.3.1 Informasi Bagian yang terpenting dalam Informed Consent adalah mengenai informasi atau penjelasan yang perlu disampaikan kepada pasien/keluarga, yaitu informasi mengenai apa yang harus disampaikan, kapan disampaikan (when), siapa yang harus menyampaikan (who) dan informasi yang mana (which) yang perlu disampaikan (Achadiat, 2007). Dalam Permenkes No. 585/MENKES/PER/IX/1989 menyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/keluarga diminta atau tidak diminta. Informasi harus diberikan sebelum dilakukannya suatu
Universitas Sumatera Utara
tindakan operasi atau yang bersifat invasif, baik yang berupa diagnostik maupun terapeutik. Menurut Guwandi (1993), informasi yang harus diberikan sebelum operasi oleh dokter kepada pasien atau keluarga adalah yang berkenaan dengan: 1. Tindakan operasi apa yang hendak dilakuakn 2. Manfaat dilakukan operasi tersebut 3. Resiko pada operasi tersebut 4. Alternatif apa yang ada (kalau ada dan juga kalau mungkin dilakukan) 5. Akibat jika operasi tidak dilakukan Yang harus memberikan informasi adalah dokter ahli bedah yang akan melakukan operasi tersebut. Informasi harus diberikan dalam bahasa yang sederhana yang dapat dimengerti oleh pasien, sehingga pasien mempunyai gambaran yang jelas untuk memutuskan tindakan yang akan dipilihnya (Guwandi, 1993). Kewajiban untuk memberikan informasi ini tidak dapat didelegasikan, misalnya kepada perawat, karena yang bertanggung jawab adalah dokter itu sendiri. Tugas seorang perawat dalam kaitan informed consent adalah memeriksa, mengecek sebelum operasi dilakukan, apakah sudah ada formulir informed consent yang dibubuhi tanda tangan pasien serta perawat juga sebagai saksi bahwa pasien menandatangani formulir informed consent (Guwandi, 1993).
3.3.2 Persetujuan
Universitas Sumatera Utara
Inti dari persetujuan adalah persetujuan harus didapat sesudah pasien mendapat informasi yang adekuat. Berpedoman pada PERMENKES No. 585 Tahun 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik maka yang menandatangani perjanjian adalah pasien sendiri yang sudah dewasa (di atas 21 Tahun/sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental (PERMENKES No. 585/MENKES/PER/IX/1989). Untuk pasien di bawah umur 21 tahun, dan pasien penderita gangguan jiwa yang menandatangani adalah orang tua/wali/keluarga terdekat. Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar, atau pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medis berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan medis segera, maka tidak diperlukan persetujuan dari siapapun (PERMENKES N0. 585/MENKES/PER/IX/1989). Tindakan medis yang diambil oleh dokter tanpa persetujuan pasien terlebih dahulu, meski untuk kepentingan pasien tetap tidak dapat dibenarkan secara Etika Kedokteran dan Hukum. Namun terhadap ketentuan tersebut terdapat pengecualian, yaitu dalam keadaan gawat darurat dan terjadinya tindakan segera. Dalam keadaankeadaan seperti ini dokter dapat melakukan tindakan medis tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu (Guwandi, 1993). 3.4 Peraturan Informed Consent Sesuai
dengan
surat
keputusan
PERMENKES
No.
585/MENKES/PER/IX/1989, tentang informed consent inti dari peraturan tersebut adalah: (1) Harus mendapat persetujuan pasien untuk melakukan semua tindakan medis baik secara tertulis maupun secara lisan, setelah mendapatkan informasi yang
Universitas Sumatera Utara
adekuat dan informasi yang disampaikan sesuai dengan tingkat pendidikan serta situasi dan kondisi pasien; (2) Setiap tindakan medis yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis; (3) Informasi tentang tindakan medis/operasi harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi baik diminta, maupun tidak diminta, informasi tersebut harus selengkap-lengkapnya; (4) Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang telah berumur 21 tahun atau sudah menikah dalam keadaan sadar dan sehat mental; (5) Pasien di bawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua/wali, persetujuan diberikan oleh keluarga; (6) Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh orang tua/wali; (7) Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tindakan medis, juga rumah sakit/klinik yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara