BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pengertian Penilaian Teori penilaian sosial judgemen teory memberikan perhatian pada bagaimana orang memberikan penilaian mengenai segala informasi atau pernyataan yang didengarnya. Teori penilaian sosial disusun berdasarkan penelitian Muzafer sheriff yang berupaya memperkirakan bagaimana orang menilai pesan dan penilaian yang dibuat tersebut dapat mempengaruhi sistem kepercayaan yang sudah dimiliki sebelumnya (Morissan, 2010). Penilaian adalah alih bahasa dari istilah assessmen. Menurut Buana (2005) penilaian dapat didefenisikan sebagai kegiatan menentukan nilai suatu objek, seperti baik- buruk, efektif tidak efektif. Berhasil-tidak berhasil, dan semacamnya sesuai criteria atau tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya. Penilailan adalah merupakan kegiatan untuk mengetahui apakah suatu program yang telah dilaksanakan telah berhasil dan efisien. Menurut Sudijono (2005), penilaian berarti menilai sesuatu, sedangkan menilai itu mengandung arti : mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri dan berpegang pada ukuran baik atau buruk, sehat atau sakit, pandai atau bodoh dan sebagainya. Menurut Buana (2005) ada empat unsur pokok penilaian yaitu : objek yang dinilai, criteria tolak ukur, data tentang objek yang akan dinilai, dan pertimbangan keputusan.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Remaja 2.2.1. Pengertian Remaja Menurut WHO anak diakatakan remaja bila telah mencapai umur 10-18 tahun.Masa remaja menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) seorang bapak pelopor psikologi perkembangan remaja, dianggap sebagai masa topan-badai dan stress (strom & stress), karena mereka telah mmiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Jika terarah dengan baik maka ia akan menjadi seorang individu yang memiliki tanggung jawab, tetpi jika tida terbimbing, maka akan menjadi seseorang yang tida memiliki masa depan yang baik. Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”. Menurut Hurlock(1999) Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget yang menyatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Santrock mengartikan masa remaja (adolescence) sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Masa
Universitas Sumatera Utara
remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 20 tahun(Santrock, 2003). Perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berfikir abstrak sampai pada kemandirian. Semakin banyak ahli perkembangan yang menggambarkan remaja sebagai masa remaja awal dan akhir. Masa remaja awal kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencangkup kebanyakan perubahan pubertas. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Pada saat anak mulai remaja, dimana anak merasa tidak lagi di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama. 2.2.2. Tahapan Perkembangan Remaja dan Ciri-cirinya Hurlock(1999) mengemukakan bahwa seperti halnya semua periode penting selama rentang kehidupan, masa remaja juga mempunyai ciri-ciri yang membedakan dengan periode lain. Menurut Hurlock, masa remaja merupakan suatu periode yang sangat penting karena akan terjadi serangkaian perubahan. Pada masa remaja, akan terjadi perkembangan fisik yang cepat dengan disertai juga oleh perkembangan mental, terutama pada masa awal remaja.Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental untuk membentuk sikap, nilai, dan minat baru.
Universitas Sumatera Utara
Peralihan tidak berarti terputus atau berubah terhadap apa yang terjadi sebelumnya, melainkan peraliahan dari satu tahapperkembangan ketahap berikutnya. Artinya,apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang akan terjadi sekarang dan berikutnya.Bila masa kanak-kanak beralih kemasa dewasa, anak-anak harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan. Hurlock(1999) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan, dimana dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Begitu juga dengan remaja, remaja akan mengalami ketidakjelasan dan keraguan terhadap perannya. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Masa remaja adalah masa perubahan. Ada empat perubahan yang sama yang hampir bersifat universal dialami oleh semua remaja. Pertama adalah meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial, sehingga remaja akan mengalami masalah baru. Ketiga, dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai akan ikut berubah. Apa yang pada masa kanak kanak dianggap penting, maka pada masa remaja bisa saja sesuatu yang tidak penting itu berubah menjadi penting. Misalnya, penampilan. Keempat, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap
Universitas Sumatera Utara
perubahan. Remaja menginginkan kebebasan, tetapi takut untuk bertanggungjawab akan akibat yang ditimbulkan. Remaja juga merupakan usia bermasalah. Dikatakan sebagai usia bermasalah karena pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anakanak sebagian diselesaikan oleh orang dewasa yang ada di sekitarnya, misalnya guru atau orangtua. Hal ini mengakibatkan remaja tidak terbiasa memecahkan masalahnya sendiri. Kedua, remaja merasa dirinya mandiri, sehingga remaja ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan orang lain, dalam hal ini orangtua dan guru. Masa remaja juga dicirikan dengan adanya pencarian identitas. Masa remaja dikatakan juga sebagai masa yang tidak realistik, karena remaja cenderung memandang kehidupan dari kaca matanya sendiri. Remaja melihat dirinya sendiri maupun orang lain seperti yang diinginkan dan bukan apa adanya. Hal ini menimbulkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari masa awal remaja. Hurlock
(1999)
menyatakan
bahwa
perkembangan
remaja
merupakan proses untuk mencapai kematangan, baik secara fisik, mental, emosi maupun sosial. Pada masa remaja terjadi perkembangan fisik yang meliputi pertumbuhan yang pesat pada kerangka tubuh, organ-organ internal, otot-otot, pertumbuhan berat badan, tinggi badan dan terjadinya tanda-tanda kelamin primer dan sekunder dan mulai berfungsinya kelenjar-kelenjar kelamin.
Universitas Sumatera Utara
Remaja juga mengalami perkembangan psikis yang meliputi aspek-aspek intelektual, bakat dan emosi.pandangan bertambah luas karena
perhatian
perkembangan.
remaja
Kemampuan
pada
ilmu
mental
pengetahuan yang
mengalami
menyangkut
aspek
intelektualnya berkembang dan kini mampu mengadakan generalisasi dan berpikir abstrak. Pertumbuhan mental remaja yang menyangkut kemampuan kognitif juga terus berkembang. baik secara kualitatif maupun kuantitatif, selama tahun-tahun masa remaja. Perolehan tersebut dikatakan
kuantitatif
dalam
pengertian
bahwa
remaja
mampu
menyelesaikan tugas-tugas intelektual dengan lebih mudah, lebih cepat dan efisien dibanding ketika masih kanak-kanak. Dikatakan kualitatif dalam arti bahwa perubahan yang bermakna terjadi juga dalam proses mental dasar yang digunakan untuk mendefinisikan dan menalar pemasalahan. Berdasarkan pernyataan di atas maka disimpulkan bahwa remaja mengalami perkembangan baik dari segi fisik maupun segi intelektual, emosi dan sosial, seperti adanya perubahan hubungan dengan orangtua ataupun orang lain, selain itu remaja juga harus dapat menjadi individu yang mandiri karena memang tugas paling mendasar dari remaja adalah mencapai kemandirian agar remaja dapat merencanakan kegiatankegiatannya. Perkembangan positif pada remaja akan membentuk kepribadian remaja ke arah yang positif dan sebaliknya perkembangan negatif akan membentuk kepribadian diri remaja yang negatif pula
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Perkembangan Kognitif Remaja Kognitif dalam konteks ilmu psikologi sering didefenisikan secara luas mengenai kemampuan berpikir dan mengamati, suatu perilaku yang mengakibatkan seseorang memperoleh pengertian atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengertian. Salah satu tugas perkembangan remaja yang harus dilaluinya adalah mampu berpikir secara lebih dewasa dan rasional, serta memiliki pertimbangan yang lebih matang dalam menyelesaikan masalah. Dengan kata lain remaja harus memiliki kemampuan intelektual serta konsepsi yang dibutuhkan untuk menjadi masyarakat yang baik (Soetjiningsih, 2004). Perubahan yang terjadi dimana pada masa anak-anak cara berpikirnya masih preoperasional dan konkrit operasional. Akan tetapi pada masa remaja perkembangan kognitif menuju pada level yang paling tinggi yaitu formal operasional ( Piaget dalam Ariani, 2006 ). Cara berpikir remaja tidak terlepas dari kehidupan emosinya yang naik turun . Penentangan dan pemberontakan yang ditunjukkan denganselalu melancarkan banyak kritik, bersikap menentang peraturan sekolah, maupun dirumah menjadi suatu ciri mulai meningkatnya kemampuan berpikir dengan sudut pandang yang mulai meluas pada remaja.
Universitas Sumatera Utara
Kemampuan kognitif manusia berkembang secara bertahap Pieget (dalam Soetjiningsih, 2004) membaginya dalam beberapa stadium, stadium sensori motorik (umur 0-18 bulan), stadium pra opersional (umur 18- 7 tahun), stadium operasional konkrit (umur 7-11 tahun, stadium operasional formal (mulai 11 tahun). Tahap formal operations adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal. Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2003). Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya. Dengan kemampuan tersebut maka remaja semakin yakin akan kemampuannya dalam mengambil keputusan sendiri dan tidak lagi terlalu
Universitas Sumatera Utara
tergantung pada kepada orang lain (Murniati & Beatrix, 2000) yang sering mengakibatkan
konflik
remaja
dengan
sekolah,
orangtua
atau
lingkungannya. Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001). Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain” . 2.3. Pola Asuh Keluarga 2.3.1. Pengertian Pola Asuh Keluarga Pendidikan anak dalam keluarga merupakan awal dan pusat bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi dewasa, dengan demikian menjadi hak dan kewajiban orangtua sebagai penanggung jawab yang utama dalam mendidik anak-anaknya. Tugas
Universitas Sumatera Utara
orang tua adalah melengkapi anak dengan memberikan pengawasan yang dapat membantu anak agar dapat menghadapi kehidupan dengan sukses. Pengasuhan menurut Porwadarminta (dalam Amal, 2005) adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin, atau mengelola. Pengasuhan yang dimaksud disini adalah mengasuh anak. Menurut Darajat (dalam amal, 2005) mengasuh anak maksudnya adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minumnya, pakaiannya, dan keberhasilannya dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan pengertian diatas dapat dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah kepemimpinan, bimbingan, yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya. Pola asuh adalah cara yang digunakan keluarga dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan tersebut antara lain pengetahuan, nilai moral, dan standart perilaku yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti (Mussen, 1994). Tujuan mengasuh anak adalah memberikan pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan remaja agar mampu bermasyarakat. orangtua menanamkan nilai-nilai kepada anak-anaknya untuk membantu mereka membangun kompetensi dan kedamaian. Mereka menanamkan kejujuran, kerja keras, menghormati diri sendiri, memiliki perasaan kasih sayang, dan bertanggung jawab. Dengan latihan dan kedewasaan,
Universitas Sumatera Utara
karakterkarakter tersebut menjadi bagian utuh kehidupan anak-anak (Edwards, 2006). 2.3.2. Tipe Pola Asuh Keluarga Orangtua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu diantaranya ialah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh anak, orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada dilingkungannya. Disamping itu, keluarga
diwarnai
oleh
sikap-sikap
tertentu
dalam memilihara,
membimbing putra- putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anak-anaknya yang berbeda-beda, karena keluarga memiliki pola asuh tertentu. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh keluarga petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh keluarga berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh keluarga yang berpendidikan tinggi (Tarmudji, 2009) . Beberapa pendapat mengenai tipe pola asuh keluarga diantaranya sebagai berikut: Tipe pola asuh menurut Baumrind (dalam santrock, 2003) terdiri dari tiga tipe yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Pola Asuh Authoritarian (Otoriter) Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan ketat, seringkali memaksa anak untuk berprilaku seperti dirinya (orangtua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita-cerita, bertukar pikiran dengan orangtua, orangtua malah menganggap bahwa semua sikapnya yang dilakukan sudah benar sehingga tidak perlu anak dimintai pertimbangan atas semua keputusan yang menyangkut permasalahan anak-anaknya(Santrock, 2003). Pola asuh otoriter cenderung untuk menentukan peraturan tanpa berdiskusi dengan anak-anak mereka terlebih dahulu. Mereka tidak mempertimbangkan harapan-harapan dan kehendak hati anakanak mereka. Petunjuk atau keputusan dari orangtua dicukupkan dengan kalimat ”karena aku bilang begitu”. keluarga otoriter menuntut keteraturan, sikap yang sesuai dengan ketentuan masyarakat dan menekankan kepatuhan kepada otoritas. Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2003) pola asuh authoritarian (otoriter) adalah bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan orangtua atau kontrol yang ditujukan pada anak untuk mendapatkan ketaatan dan kepatuhan.
Universitas Sumatera Utara
Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang kaku,diktator, dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orangtua tanpa banyak alasan. Perilaku orangtua dalam berinteraksi dengan anak bercirikan tegas, suka menghukum, anak dipaksa untuk patuh terhadap aturan-aturan yang diberikan oleh orang tua tanpa merasa perlu menjelaskan pada anak apa guna dan alasan dibalik aturan tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anak. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang tua. Karena menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan melaksanakan tugas dan kewajibannya. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006). Menurut Yusniah (2008) ciri – ciri
pola asuh otoriter
adalah sebagai berikut : 1) anak harus mematuhi peraturan – peraturan orang tua dan tidak boleh membantah, 2) orang tua cenderung mencari kesalahan – kesalahan anak dan kemudian menghukumnya, 3) orang tua cenderung memberikan perintah dan
Universitas Sumatera Utara
larangan kepada anak, 4) jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak dianggap pembangkang, 5) orang tua cenderung
memaksakan
disiplin,
6)
orang
tua
cenderung
memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana, 7) tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak. Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk terhadap anak, anak akan merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif, selalu tegang, cenderung ragu, dan tidak mampu menyelesaikan masalah, kemampuan komunikasinya buruk, akibat seringnya mendapat hukuman dari orang tua. Anak menjadi tidak disiplin dan nakal dengan pola asuh seperti ini anak diharuskan untuk berdisiplin Karena semua keputusan dan peraturan ada ditangan orangtua. Jadi
dapat
disimpulkan
bahwa
pola
asuh
otoriter
menunjukkan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anaknya ditandai dengan hubungan orangtua dengan anak yang tidak hangat, kaku, orangtua lebih suka memaksa kehendak, mereka menentukan peraturan tanpa diskusi dengan anak, dan anak sering diberi hukuman sebaliknya jarang mendapat pujian. 2. Pola Asuh Authortative (Demokratis) Pola asuh authoritative adalah pola asuh yang bercirikan adanya hak, dan kewajiban, orang tua dan anak adalah sama dalam
Universitas Sumatera Utara
arti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab dan menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdisiplin. Pola asuh demokratis mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orangtua bersikap hangat dan bersikap membesarkan hati remaja (Sim, 2000). Pengasuhan autoritatif berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang kompeten. Menurut Shochib (dalam Yuniarti, 2003) orangtua yang menerapkan pola asuh authoritative banyak memberikan kesempatan pada anak untuk membuat keputusan secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik, mendukung anak untuk memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai kepuasan sedikit menggunakan hukuman badan untuk mengembangkan disiplin. Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang ditandai dengan pengakuan orangtua terhadap kemampuan anak-anaknya, dan kemudian anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orangtua. Dalam pola asuh seperti ini orangtua memberikan sedikit kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang dikehendaki dan apa yang diinginkan yang terbaik bagi dirinya, anak diperhatikan dan didengarkan saat anak berbicara, dan bila berpendapat orangtua memberikan kesempatan untuk mendengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan
Universitas Sumatera Utara
terutama
yang
menyangkut
dengan
kehidupan
anak
itu
sendiri(Kuczynski & Lollis, 2002). Menurut Yusniah (2008) ciri – ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut; 1) menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan – alasan yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak, 2) memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik agar ditinggalkan, 3) memberikan bimbingan dengan penuh pengertian, 4) dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga, 5) dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak serta sesama keluarga. Menurut Park & Locke (dalam Lestari, 2006) teori sistem keluarga menjelaskan bahwa penting didalam sosialisasi seorang anak tidak hanya eratnya hubungan keluarga, tetapi keseluruhan kombinasi dari tingkah laku tersebut. Orangtua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu fungsinya mengasuh putra- putrinya. Dalam mengasuh anak, orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada dilingkungannya. 3. Pola Asuh Permisif Menurut Baumrin Pola asuh keluarga permissive tidak memberikan struktur dan batasan-batasan yang tepat bagi anak-anak mereka. Pola asuh permissive merupakan bentuk pengasuhan dimana
Universitas Sumatera Utara
orang tua memberikan kebebasan sebanyak mungkin pada anak untuk mengatur dirinya. Anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua. Pola asuh ini memandang anak sebagai seorang pribadi dan mendorong mereka untuk tidak berdisiplin dan anak diperbolehkan untuk mengatur tingkah lakunya sendiri. Dengan pola asuh seperti ini anak mendapat kebebasan sebanyak mungkin dari keluarganya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Pelaksanaan pola asuh permisif atau dikenal dengan pola asuh serba membiarkan adalah orang tua yang bersikap mengalah, menuruti semua keinginan, dan melindungi secara berlebihan serta memberikan atau memenuhi semua keinginan anak. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak. Pola asuh permissive memuat hubungan antara anak dan orangtua penuh dengan kasih sayang, tetapi membuat anak menjadi agresife dan suka menurutkan kata hatinya. Secara lebih luas, kelemahan orangtua dan tidak konsistennya disiplin yang diterapkan membuat anak-anak tidak terkendali, tidak patuh, dant ingkah laku agresif diluar lingkungan keluarga. Menurut Baumrind
peran keterlibatan keluarga penting
sekali dalam pengembangan baik kemampuan peran secara sosial
Universitas Sumatera Utara
maupun kognitif pada anak.Menurut Hetherington clingempeel (dalam, lestari 2006) Pola asuh permissive cederung menjadikan anak tidak mampu bersosialisasi, tidak bertanggung jawab, tidak dewasa, terasing dari keluarga mereka, dan menunjukkan gangguan dalam perkembanagan kognitif, prestasi, dan keunggulan disekolah. Pola asuh ini membuat remaja meghabiskan waktu diluar rumah dengan teman. Orangtua permissive adalah orangtua yang kaku dan berfokus pada kebutuhan mereka sendiri. Terutama pada saat anak menjadi lebih dewasa, orangtua gagal mengawasi mereka, apa yang sedang mereka lakukan atau siapa teman-teman mereka. Baumrind
menggambarkan 2 jenis keluarga yang
permessive antara lain: 1. Keluaraga permisif lunak (memanjakan) Pola asuh permisif memanjakan (permissive-indulgent parenting) adalah suatu pola dimana orangtua sangat terlibat dengan remaja tetapi
sedikit
sekali
menuntut
atau
mengendalikan
mereka.
Pengasuhan permisif memanjakan berkaitan dengan ketidak cakapan sosial remaja, terutama kurangnya pengendalian diri. Orangtua permisif lunak bisa hangat, bersifat ngemong, dan responsif, tetapi mereka menggunakan sedikit sekali struktur dan bimbingan. Karena orangtua dengan tipe ini cenderung mempercayai bahwa ekspresi bebas dari keinginan hati dan harapan sangatlah penting bagi
Universitas Sumatera Utara
perkembangan psikologis, mereka sedikit sekali tuntutan kepada anakanak mereka untuk menjadi matang dan bersikap mandiri. Anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua tipe ini biasanya menjadi anak-anak yang ”manja”. Mereka cenderung tidak cocok dengan orang dewasa lainnya, mereka sangat menuntut, kurang percaya diri, dan kurang bisa mengandalikan diri. Mereka tidak menetapkan tujuan atau menikmati kegiatan yang mengandung tanggung jawab. Mereka bisa menjadi senang dan bersikap baik selama segala sesuatu berjalan sesuai dengan keinginan mereka, tetapi mudah frustasi jika keinginan mereka tidak terpenuhi. 2. Keluaraga yang lepas tangan (tidak peduli) Gaya pengasuhan permisif tidak peduli (permissive-indifferet parenting) adalah suatu pola dimana keluarga sangat tidak ikut campur . dalam kehidupan remaja. Hal ini berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri. keluarga semacam ini gagal memberikan bimbingan dan dukungan emosional yang cukup bagi anak-anak mereka. keluarga yang tidak peduli bisa saja memulai dengan mencintai dan tegas, tetapi dalam perjalanannya mereka menjadi kewalahan menghadapi seringnya respons negatif dari anggota keluarga yang lain. Mereka mencoba menghindari konflik dengan bertahap menarik diri dari kehidupan emosional anak mereka. Seakan-akan orangtua yang lepas tangan mengatakan kepada diri
Universitas Sumatera Utara
mereka sendiri, ”apapun yang kulakukan, semuanya tidak berhasil. Jika aku baik kepada anak ini, juga tidak akan berhasil. Jika aku coba untuk memaksa anak ini untuk mengerajakan apa yang aku inginkan, anakmu menolak dan semua menjadi lebih buruk lagi”. Huffman (dalam Ali, 2004) mengemukakan tiga jenis pola asuh orangtua, yaitu: 1. Pola asuh bina kasih (induction) Pola asuh bina kasih adalah pola asuh yang diterapkan keluarga dalam mendidik senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap setiap keputusan dan perlakuan yang diambil bagi anggota keluarganya. 2. Pola asuh unjuk kuasa (power asertion) Pola asuh unjuk kuasa adalah pola asuh yang diterapkan orangtua terhadap anaknya dengan senantiasa memaksakan kehendaknya untuk dipatuhi
oleh
anak
meskipun
sebenarnya
anak
tidak
dapat
menerimanya. 3. Pola asuh lepas kasih (love withdrawal) Pola asuh yang diterapkan keluarga dalam mendidik anggota keluarganya dengan cara menarik sementara cinta kasihnya ketika anak tidak menjalankan apa yang dikehendaki orangtuanya, tetapi jika anak sudah mau melaksanakan apa yang dikehendaki orangtuanya maka cinta kasihnya itu dikembalikan seperti sediakalanya. Dalam konteks pengembangan kepribadian remaja, termasuk di dalamnya
Universitas Sumatera Utara
pengembangan hubungan sosial, pola asuh yang disarankan oleh Hoffman untuk menerapkan adalah pola asuh bina kasih. 2.3.3. faktor yang mempengaruhi pola asuh Menurut Mussen (1994) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua, yaitu sebagai berikut: a. Jenis kelamin Orang tua pada umumnya cenderung lebih keras terhadap anak wanita dibandingkan terhadap anak laki-laki b. Ketegangan orangtua Pola asuh seseorang bisa berubah ketika merasakan ketegangan ekstra. Orangtua yang demokratis kadang bersikap keras atau lunak setelah melewati hari-hari yang melelahkan orangtua bisa selalu bersikap konsisten. Peristiwa sehari-hari dapat mempengaruhi orangtua dengan berbagai cara. c. Pengaruh cara orangtua dibesarkan Para orang dewasa cenderung membesarkan anak-anak mereka dengan cara yang sama seperti mereka dibesarkan oleh orangtua mereka. Namun, kadang-kadang orangtua membesarkan anak dengan cara yang sama sekali berbeda dibandingkan dengan waktu mereka dibesarkan. Mempelajari tipe pola asuh demokratis mungkin akan sulit jika orangtua dahulu dibesarkan dengan tipe permisif atau otoriter, tetapi
Universitas Sumatera Utara
dengan latihan dan komitmen, para orangtua dapat mempelajari tugastugas yang secara canggung. Dengan komitmen dan latihan tugastugas berat dapat terselesaikan. d. Lingkungan tempat tinggal Lingkungan tempat tinggal suatu keluarga akan mempengaruhi cara orangtua dalam menerapkan pola asuh. Hal ini bisa dilihat bila suatu keluarga tinggal di kota besar, maka orangtua kemungkinan akan banyak mengkontrol karena merasa khawatir, misalnya melarang anak untuk pergi kemana-mana sendirian. Hal ini sangat jauh berbeda jika suatu keluarga tinggal di suatu pedesaan, maka orangtua kemungkinan tidak begitu khawatir jika anak-anaknya pergi kemana mana sendirian. e. Sub kultur budaya Budaya
disuatu
lingkungan
tempat
keluarga
menetap
akan
mempengaruhi pola asuh orangtua. Hal ini dapat dilihat bahwa banyak orangtua di Amerika Serikat yang memperkenankan anak-anak mereka untuk mepertanyakan tindakan orangtua dan mengambil bagian dalam argumen tentang aturan dan standar moral. f. Status sosial ekonomi Keluarga dari status sosial yang berbeda mempunyai pandangan yang berbeda tentang cara mengasuh anak yang tepat dan dapat diterima, sebagai contoh: ibu dari kelas menengah kebawah lebih menentang
Universitas Sumatera Utara
ketidak sopanan anak dibanding ibu dari kelas menengah keatas. Begitupun juga dengan orangtua dari kelas buruh lebih menghargai penyesuaian dengan standar eksternal, sementara orangtua dari kelas menengah lebih menekankan pada penyesuaian dengan standar perilaku yang sudah terinternalisasi. Jadi dari ketiga jenis pola asuh yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif. Pola asuh orangtua yang biasa diandalkan adalah pola asuh orangtua demokratis karena orangtua dalam memberikan pujian, hukuman dan berkomunikasi dengan anak-anak mereka akan turut mempengaruhi terbentuknya kemampuan berpenyesuaian yang baik dalam lingkungannya. Sebagai faktor pola asuh demokratis orangtua merupakan kekuatan yang penting dan sumber utama dalam pengembangan kemampuan sosial anak. 2.4. Keluarga 2.4.1. pengertian keluarga Keluarga merupakan bagian dari manusia yang setiap hari selalu berhubungan dengan kita. Keluarga menurut Friedman (1998) adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu yang mempunyai peran maasingmasing yang merupakan bagian keluarga. Menurut UUD No. 10 tahun keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suamiistri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dengan anaknya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam keluarga terdapat ikatan perkawinan dan hubungan darah yang tinggal bersama dalam satu atap (serumah) dengan peran masingmasing
serta keterikatan emosional, seperti yang tertulis dalam
peraturan pemerintahan (PP) No. 21 tahun 1994 bahwa keluarga dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah. Menurut duvall dan logan (1986) keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga. Allender dan Spradley ( dalam Ariani, 2006) mengemukakan bahwa struktur keluarga terdiri dari dua kategori umum yaitu keluarga tradisional seperti keluarga inti, keluarga besar, keluarga suami istri tanpa anak, janda/duda (single parent), keluarga usia lanjut, dan non tradisional seperti homoseksualitas, keluarga yang mempunyai anak tetapi tidak menikah, dan hidup bersama tanpa menikah. David (1992) mengkategorikan keluarga berdasarkan pengertian sebagai berikut : 1. Keluarga seimbang Keluarga yang ditandai dengan keharmonisan hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan anak. Dalam keluarga ini orang tua bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Setiap
Universitas Sumatera Utara
anggota keluarga saling menghormati dan saling memberi tanpa harus diminta. Anak-anak measa aman, walaupun tidak selalu disadari. Dianatara keluarga saling mendengarkan jika bicara bersama, melalui teladan dan dorongan orangtua. Setiap masalah dihadapi dan diupayakan untuk dipecahkan bersama. 2. Keluarga kuasa Keluarga ini lebih menekankan kekuasaan daripada relasi. Pada keluarga ini, anak merasa seakan-akan ayah dan ibu mempunyai buku peraturan, ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak pernah habis. Orang tua bertindak sebagai bos dan pengawas tertinggi. Anggota keluarga terutama anak-anak tidak memiliki kesempatan atau peluang agar dirinya didengarkan. 3. Keluarga protektif Keluarga ini lebih menekankan pada tugas dan saling menyadari perasaan satu sama lain. Dalam keluarga ini ketidakcocokan sangat dihindari karena lebih menyukai suasana kedamaian. 4. Keluarga kacau Keluarga ini kurang teratur dan selalu timbul konflik. Orangtua kurang peka terhadap kebutuhan anak-anak. Anak sering diabaikan dan diperlakukan secara kejam karena kesenjangan antara anak dan orang tua. Orangtua sering bersikap kasar terhadap anak. Hampir sepanjang waktu mereka dimarahi atau ditekan.
Universitas Sumatera Utara
5. Keluarga simbotis Keluarga simbotis dicirikan oleh orientasi dan perhatian keluarga yang kuat bahkan hampir seluruhnya terpusat pada anak-anak. Keluarga ini berlebihan dalam relasi. Orangtua sering merasa terancam karena meletakkan diri sepenuhnya pada anak-anak, dengan alasan “demi keselamatan”
.
orangtua
banyak
menghabiskan
waktu
untuk
memikirkan dan memenuhi keinginan anak. 2.4.2. Karakteristik keluarga Karakteristik
keluarga
dapat
dikembangkan
berdasarkan
pendidikan orang tua, penghasilan orang tua, dan tipe keluarga. Orangtua yang memiliki pendidikan tinggi cenderung akan memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik. Hal ini disebabkan bapak akan mendapatkan informasi yang lebih banyak sehingga dalam memberikan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan dan permasalahan remaja akan lebih baik pula ( Harlock, 1999). Informasi yang didapatkan oleh bapak dari Pendidikan formal, akan memperkaya wawasan bapak terkait dengan pengasuhan dan upaya mengantisipasi perilaku remaja. Disamping itu, dilihat dari peran formal bapak sebagai pencari nafkah dengan pendidikan formal yang memadai memberikan peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak jg semakin terbuka ( Mcmurray, 2003, dalam Ariani, 2006). Bapak dalam keluarga memilki peran formal sebagai pencari nafkah dan peran informal sebagai pelindung keluarga, pendorong, dan
Universitas Sumatera Utara
pengambil keputusan. Dalam budaya indonesia peran bapak masih dominan dalam berbagai segi kehidupan dan pengambil kepurusan. Keputusan-keputusan yang diambil berkaitan dengan pengasuhan yang dibeikan pada remaja masih banyak ditentukan oleh bapak. Keputusan akan semakin baik apabila bapak memilki wawasan dan pendidikan yang memadai ( Ariani, 2006). Demikian juga pendidikan yang tinggi pada ibu,
ibu sangat
mempengaruhi perilaku remaja, ibu yang berpendidikan tinggi memiliki kemampuan kognitif yang lebih tinggi dan mendapatkan informasi yang lebih baik, sehingga mampu memberikan keputusan yang terkait dengan masalah remaja ( Harlock, 1999 ). Ibu sebagai pilar rumah tangga tentu memiliki peran formal yaitu sebagai ibu runah tangga dan juga sebagai pengasuh anak. Mendidik dan mengasuh anak bukanlah suatu hal yang mudah, mengingat anak-anak terutama remaja memiliki keunikan masingmasing. Dalam proses pembimbingan dan pengasuhan anak, dibutuhkan strategi dan kiat-kiat cermat sehingga remaja akan tumbuh dan berkembang secara optimal ( Harlock, 1999). Kiat-kiat dan strategi yang cermat membutuhkan kemampuan kognitif dan wawasan yang baik. Selain peran formal, ibu juga memiliki peran informal dimana seorang ibu harus mampu sebagai manajer keuangan keluarga sehingga stabilitas ekonomi keluarga dapat terjamin.
Universitas Sumatera Utara
Pendidikan yang tinggi pada ibu, juga memiliki peluang bagi ibu untuk mendapatkan pekerjaan. Ibu yang bekerja pada umumnya memiliki pendidikan yang lebih baik, sehingga kualitas pengasuhan juga lebih baik, meskipun dalam segi kuantitas frekuensi keberadaan didalam rumah lebih sedikit dibandingkan ibu yang tidak bekerja ( Ariani, 2006).
Universitas Sumatera Utara