BAB 2 TINJAUAN TEORITIS
2.1. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak Undang – Undang pajak, sebagai bagian dari hukum yang mengikat warga Negara merupakan elemen penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Saat ini, pajak merupakan kontributor yang paling besar dari APBN dan memiliki peran
sangat
besar
bagi
kelangsungan
pembangunan
bangsa
ini.
Untuk
meningkatkan penerimaan pajak, diperlukan perangkat hukum yang mengatur “Perpajakan” terhadap rakyat. Prinsip yang utama adalah adanya keadilan pengenaan pajak. Keadilan akan tercapai jika adanya kepastian Undang – Undang Pajak. 2.1.1 Pengertian Pajak Penambahan wawasan tentang pengertian pajak dikemukakan beberapa pengertian pajak antara lain : 1. Definisi pajak dikemukakan oleh Rochmat Soemitro (Resmi, 2009:1). Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang – undang (yang
dapat
dipaksakan)
dengan
tidak
mendapat
jasa
timbal balik
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
6
7
Definisi tersebut kemudian disempurnakan, menjadi : Pajak adalah perlaihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus” – nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. 2. Definisi pajak menurut S. I Djajadiningrat (Munawir, 1992:3). “Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaaan kepada negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan – peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum”. Dari definisi – definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang ciri – ciri yang melekat pada pengertian pajak sebagai berikut : a. Pajak dipungut oleh negara (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) berdasarkan dengan kekuatan undang –
undang serta aturan
pelaksanaannya. b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra – prestasi individual oleh pemerintah (tidak ada hubungan langsung antara jumlah pembayaran pajak dengan kontra – prestasi secara individual). c. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran pembayaran pemerintah, yang bila dari pemasukkannya masih terdapat “surplus” dipergunakan untuk membiayai “public investment”, sehingga tujuan yang utama dari pemungutan pajak adalah sebagai sumber keuangan negara (budgetair).
8
d. Pajak dipungut disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang.
2.1.2 Fungsi Pajak Fungsi pajak secara umum terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan negara) dan fungsi regularend (pengatur). (Resmi, 2009 : 3) 1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Pajak mempunyai funsgsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber
penerimaan
pembangunan.
untuk
membiayai
Sebagai sumber
pengeluaran
keuangan
negara,
baik
rutin
pemerintah
maupun berupaya
memasukkan uang sebanyak – banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui
penyempurnaan
peraturan
berbagai
jenis
pajak
seperti Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi Bangunan (PBB), dan lain – lain. 2. Fungsi Regularend (Pengatur) Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang bidang social dan ekonomi, serta mencapai tujuan – tujuan tertentu diluar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur adalah : a. Pajak tinggi dikenakan terhadap barang – barang mewah. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat transaksi jual beli barang mewah.
9
b. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan. c. Tarif pajak ekspor sebesar 0% : agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa negara. d. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu seperti industri semen, industri rokok, industri baja dan lain – lain. e. Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi, untuk mendorong perkembangan koperasi di indonesia. f.
Pemberlakuan
tax
holiday,
untuk
menarik
investor
asing
agar
menanamkan modalnya di indonesia.
2.2. Subjek Pajak dan Non Subjek Pajak 2.2.1 Subjek Pajak 1.
Orang Pribadi Dalam pasal 2 UU PPh subyek pajak orang pribadi dibagi menjadi Subyek
Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subyek Pajak Luar Negeri (SPLN). a. Subyek Pajak Dalam Negeri (SPDN) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam 1 tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
10
b. Subyek Pajak Luar Negeri (SPLN) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di indonesia. 2.
Badan Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha, meliputi : perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
yayasan,
organisasi massa,
organisasi politik,
atau organisasi
lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan BUT. BUT (Bentuk Usaha Tetap) mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas berupa tanah dan gedung termasuk mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di indonesia tidak dianggap mempunyai BUT di indonesia apabila orang pribadi dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di indonesia menggunakan agen, broker atau perantara
11
yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut bertindak sepenuhnya menjalankan perusahaannya sendiri. Secara detail, yang termasuk BUT : a. Tempat kedudukan b. Cabang perusahaan c. Kantor perwalian d. Gedung kantor e. Pabrik f.
Bengkel
g. Gudang h. Ruang untuk promosi dan penjualan i.
Pertambangan dan penggalian sumber alam
j.
Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
k. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan l.
Proyek konstruksi, instalasi atau proyek perakitan
m. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan. n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas. o. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di indonesia.
12
p. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalakan kegiatan usaha melalui internet. 3.
Warisan yang Belum Terbagi a. Pengertian subjek pajak untuk warisan yang belum terbagi sebagai kesatuan menggantikan yang berhak : 1) Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai SPDN. 2) Warisan yang belum terbagi ini dianggap sebagai SPDN dalam pengertian UU PPh mengikuti status pewaris. Untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajibannya perpajakannya beralih kepada ahli waris. 3) Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oelh orang pribadi sebagai SPLN yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di indonesia. Warisan seperti ini tidak diaanggap sebagi Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas pajak penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya sebagai kesatuan menggantikan yang berhak. b. Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai terbagi.
13
2.2.2 Non Subjek Pajak Sesuai dengan Pasal 3 UU PPh, yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU PPh (lihat penjelasan diatas) adalah : 1. Pejabat perwakilan diplomatik, konsulat atau pejabat lain dari negara asing dan orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama – sama mereka, dengan syarat bukan warga negara indonesia dan di indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 2. Pejabat
perwakilan
organisasi
internasional
yang
ditetapkan
dengan
Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari indonesia.
2.3. Objek Pajak Berdasarkan
UU
PPh
Pasal 4
penghasilan yang dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21 adalah : 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,
uang
pensiun,
atau
imbalan dalam bentuk
lainnya,
kecuali
ditentukan dalam UU PPh. Pengecualian ini diatur dalam Pasal 4 ayat 3 di UU PPh termasuk memori penjelasannya (lihat Non Objek PPh Orang Pribadi, khususnya penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
14
yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kind) dari Wajib Pajak atau Pemerintah). 2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan 3. Laba usaha 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan atau badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan. c. Keuntungan likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, persekutuan, dan
badan
lainnya,
pemecahan,
atau
pengambilalihan
usaha,
atau
bantuan,
atau
reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun. d. Keuntungan sumbangan,
karena
pengalihan
kecualai yang
harta
berupa
hibah,
diberikan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil. e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta sebagian seluruh hak penambangan tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan penambangan. 5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya, dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
15
6. Bunga
termasuk
premium,
diskonto,
dan
imbalan
karena
jaminan
pengembalian karena utang. 7. Deviden, deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 8. Royalti. 9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. 11. Keuntungan karena pembebasan utang. 12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing. 13. Tambahan kekayaan neto berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. 14. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva 15. Premi asuransi. 16. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha/pekerjaan bebas. 17. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah. 18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU KUP. 19. Surplus bank indonesia.
2.4. Pemotong Pajak Dalam Pasal 21 UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 jo PER.31/PJ./2009 jo PER.57/PJ./2009, ditegaskan bahwa Pemotong PPh Pasal 21 atau disebut Pemotong Pajak terdiri dari :
16
1. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat atau cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai. 2. Bendahara pemegang
atau kas
pemegang pada
kas
Pemerintah
pemerintah,
termasuk
Pusat termasuk
bendahara
atau
institusi TNI/POLRI,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemrintah, lembaga – lembaga negar lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan. 3. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan – badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua. 4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar : a. Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi degan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
17
b. Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri. c. Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang. 5. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
2.5. Pengurang Penghasilan 2.5.1 Prinsip Taxable dan Deductible Prinsip Taxable dan Deductible merupakan prinsip yang lazim dipakai dalam perencanaan pajak, yang pada umumnya mengubah biaya yang tidak boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan atau sebaliknya mengubah penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang tidak objek pajak,
dengan
konsekuensi
terjadinya
perubahan
pajak
terutang
akibat
pengubahan tersebut. (Zain, 2008:75).
2.5.2 Deductible Expense Pengurang yang dibolehkan dari penghasilan bruto adalah sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2008. Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
18
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk: 1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: a. Biaya pembelian bahan; b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus,
gratifikasi,
dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang; c. Bunga, sewa, dan royalti; d. Biaya perjalanan; e. Biaya pengolahan limbah; f.
Premi asuransi;
g. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan; h. Biaya administrasi; dan i.
Pajak kecuali pajak penghasilan;
2. Penyusutan
atas
pengeluaran
untuk
memperoleh
harta
berwujud
dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 dan pasal 11a; 3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan;
19
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; 5. Kerugian selisih kurs mata uang asing; 6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di indonesia; 7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;\ 8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat: a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; b. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada direktorat jenderal pajak; dan c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau instansi perjanjian
pemerintah tertulis
yang
menangani
mengenai
piutang
penghapusan
negara;
atau
piutang/pembebasan
adanya utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; d. Syarat sebagaimana dimaksud
pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf k ; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan; 9. Sumbangan
dalam
rangka
penanggulangan
ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah;
bencana
nasional
yang
20
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di indonesia yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah; 11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah. 12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah; dan 13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah.
2.5.3 Non Deductible Expense Untuk menentukan besarnya PKP bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dengan biaya – biaya sesuai dengan Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2008. Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan: 1. Pembagian
laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; 3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali : a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
21
b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh badan penyelenggara jaminan sosial; c. Cadangan penjaminan untuk lembaga penjamin simpanan; d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan f.
Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya
diatur
dengan
atau
berdasarkan
peraturan
menteri
asuransi jiwa,
asuransi
keuangan; 4. Premi asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan,
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan; 5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan; 6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
22
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah; 8. Pajak penghasilan; 9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; 10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; 11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di bidang perpajakan
2.6. Pajak dan Pengambilan Keputusan Ditinjau dari segi perpajakan alternatif tersebut, pada umumnya menyangkut masalah keuntungan dan biaya. Sebagian besar dari tindakan yang diambil dalam rangka perpajakan dapat dikategorikan sebagai keuntungan pajak (tax benefit) atau biaya pajak (tax cost). Alternatif yang dipilih adalah alternatif yang beban pajaknya yang paling efisien yang harus dibayar, akan tetapi lebih cenderung
23
bagaimana memaksimalkan penghasilan setelah pajak (after – tax profit). Perbedaan ini adalah penting sebab para pengambil keputusan hendaknya memutuskan masalah yang menyangkut biaya setelah pajak (after – tax profit) dan keuntungan setelah pajak (after – tax profit) secara bersamaan tanpa mengabaikan
masalah
keputusan
memenuhi
kewajiban
perpajakan.
(Zain,
2008:71)
2.6.1 Pemberian Natura Biaya penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyedia makanan dan minuman bagi seluruh pegawai. Merupakan biaya fiskal yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilannya. Aspek pajak yang muncul akibat koreksi fiskal terhadap
pemberian dalam bentuk
natura dan kenikmatan tersebut harus
dipperhitungkan perusahaan. Pengambil keputusan tidak memperhatikan adanya koreksi fiskal atas perhitungan yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri dan hanya memperhitungkan
penghasilan
setelah
pajak
komersial dan
pada akhirnya
berpengaruh pula terhadap kegiatan perusahaan termasuk perencanaan investasi dan / atau pembagian laba. (Zain, 2008:71)
24
2.7. Perhitungan PPh 21 2.7.1 Tarif pajak Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan mulai tahun 2009, tarif pasal 17 ayat (1) huruf a yang berlaku adalah sebagai berikut: Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) UU PPh adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) UU
PPh,
kecuali ditetapkan lain dengan peraturan pemerintah.
Petunjuk
pelaksanaan pph pasal 21 tersebut diatur di dalam peraturan dirjen pajak No PER31/PJ./2009 jo PER-57/PJ./2009. Tarif umum PPh pasal 21, Sebagaimana diatur dalam pasal 17 UU PPh, adalah sebagai berikut : a. Wajib Pajak Orang Pribadi Tabel II.1 Tarif WPOP Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif
Sampai dengan Rp. 50.000.000
5%
Di atas Rp.50.000.000 s.d Rp. 250.000.000
15%
Di atas Rp.250.000.000 s.d Rp.500.000.000
25%
Di atas 500.000.000
30%
(Sumber : UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan)
25
b. Wajib Pajak Badan 1) Tarif tunggal sebesar 28% untuk tahun pajak 2009 2) Mulai tahun 2010 diturunkan menjadi 25% (Sumber : UU Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan)
2.7.2 Menghitung Pajak Penghasilan Waluyo (2010:204) cara perhitungan pajak
penghasilan pasal 21 pada
prinsipnya sama dengan cara perhitungan pajak penghasilan pada umumnya. Beberapa tahapan dan istilah berikut ini perlu dipahami dengan baik : 1. Penghasilan Bruto Yang dimaksud dengan penghasilan bruto disini adalah seluruh penghasilan yang diterima oleh wajib pajak sebelum dikurangi dengan pengurangan yang diperkenankan oleh UU yang berupa : Biaya Jabatan, Uang Pensiun, Dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). 2. Penghasilan neto Yang dimaksud dengan penghasilan neto adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan tunjangan hari tua. Diatur sebagai berikut : 1. Biaya jabatan, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang besarnya 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi – tingginya Rp.6.000.000 (enam juta rupiah) setahun atau Rp.500.000 (lima ratus ribu rupiah) sebulan,
sedangkan iuran pensiun
ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto, dengan setinngi – tingginya
26
Rp.2.400.000,- setahun atau Rp.200.000,- sebulan berdasarkan PMK Nomor 252/PMK.03/2008. 2. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan atau badan penyelenggara tabungan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiunyang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan. 3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan Penghasilan Kena Pajak (PKP) WP Orang Pribadi a. Penghasilan Kena Pajak untuk WP Orang Pribadi Untuk mendapatkan besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah dengan cara mengurangi penghasilan neto dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). b. PTKP untuk WP Orang Pribadi Sesuai dengan pasal 6 ayat (3) UU PPh, kepada orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa PTKP, menurut pasal 7 UU PPh, PTKP per tahun diberikan Paling sedikit sebesar. 1) Rp. 15.840.000 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri wajib pajak orang pribadi 2) Rp. 1.320.000 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk wajib pajak yang kawin 3) Rp. 1.320.000 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
27
garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender. Besarnya PTKP untuk pegawai yang baru datang dan menetap di indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan. Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus adalah anak kandung dan orang tua kandung. Keluarga semenda dalam garis keturunan lurus adalah mertua dan anak tiri. 3. PTKP Karyawati Kawin Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku sebagai berikut : 1) Bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untukdirinya sendiri, 2) Bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat serendah – rendahnya kecamatan yang menyatakan suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuks status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
28
2.8. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan Pajak Perhitungan pajak terutang (final) merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu : 1. Variabel ketentuan peraturan perundang – undangan pajak (Tax Law) 2. Variabel fakta (Facts) 3. Variabel proses administrasi dan kadang – kadang juga proses pengadilan Dari ketiga variabel tersebut, sedikit sekali perhatian terhadap peranan kritis dari suatu fakta dan betapa pentingnya peranan suatu fakta dalam menentukan setiap sen utang pajak. Pada umumnya fakta dapat dimodifikasi, dan apabila orang atau badan tersebut bijaksana untuk dapat mengerti kapan dan bagaimana memodifikasi fakta, hal ini berarti bahwa orang atau badan tersebut akan dapat mengefisiensikan pembayaran pajak yang cukup berarti, melalui beberapa alternatif – altenatif penstrukturan lebih dulu fakta tersebut. (Zain, 2008:75)
2.8.1 Memaksimalkan Pengecualian – pengecualian (Maximizing Exclusion) “memaksimalkan pengecualian – pengecualian” (maximizing exclusions) adalah penanaman dalam surat – surat berharga ke dalam deposito berjangka (sebelum perubahan terakhir, bunga deposito dikenakan PPh). Oleh karena deviden merupakan penghasilan yang dapat dikenakan pajak, sedangkan bunga deposito ditangguhkan pengenaan pajaknya, maka dengan pemindahan
tersebut
penghasilan kena pajaknya menurun, yang dengan sendirinya akan menurunkan pula beban pajaknya dengan catatan bahwa harus pula dilihat, mana di antara kedua
penanaman
tersebut
yang
lebih
menguntungkan
dengan
cara
29
membandingkan penghasilan setelah dikurangi pajak
penghasilan, masing –
masing cara tersebut. (Zain, 2008:81)
2.8.2 Pemecahan Satu Perusahaan Menjadi Beberapa Perusahaan Kesimpulan, bahwa makin tinggi penghasilan kena pajak, maka tarif rata – ratanya makin mendekati tarif marjinalnya, dan hal ini berati pula bahwa tarif tersebut akan lebih menyempitkan rangsangna untuk membagi perusahaan ke dalam perusahaan – perusahaan yang lebih kecil gua meminimalkan beban pajaknya. Kesimpulan sebagai berikut : 1. Satu perusahaan yang dipecah menjadi dua perusahan akan menghasilkan perbedaan (3,89% x Penghasilan Kena Pajak). 2. Satu perusahaan yang dipecah menjadi tiga perusahan akan menghasilkan perbedaan (7,78% x Penghasilan Kena Pajak). 3. Satu
perusahaan
yang
dipecah
menjadi
empat
perusahan
akan
menghasilkan perbedaan (11,67% x Penghasilan Kena Pajak).
2.8.3 Memaksimalkan Pengurangan (Maximizing Deductions) Menyangkut biaya yagn dikenal sebagai “memaksimalkan pengurangan – pengurangan” (maximizing deductions), ialah pengalihan pemberian dalam bentuk natura (fringe benefit atau payment in kind) ke bentuk tunjangan – tunjangan yang dapat dikurangkan sebagai biaya sesuai prinsip dapat dipajaki (taxable) dan dapat dikurangkan (deductible) yang dianut ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan. (Zain, 2008:87)
30
2.9. Perencanaan Pajak 2.9.1 Manajemen Pajak Suandy (2011:6) menyatakan bahwa upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui manajemen pajak. Namun perlu diingat bahwa legalitas manajemen pajak tergantung dari instrumen yang dipakai. Legalitas baru dapat diketahui secara pasti setelah ada putusan pengadilan. Secara umum manajemen pajak didefinisikan sebagai berikut : Manajemen Pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan (Sophar Lumbantoruan, 1996). Tujuan manajemen pajak dapat dibagi menjadi dua sebagai berikut : 1. Menerapkan peraturan perpajakan secara benar. 2. Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya. Tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi – fungsi manajemen yang terdiri atas : 1. Perencanaan Pajak (Tax Planning) Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya
penekanan
perencanaan
meminimumkan kewajiban pajak.
pajak
(tax
planning)
adalah
untuk
31
2. Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (Tax Implementation) Manajemen pajak tidak dimaksudkan untuk melanggar peraturan jika dalam pelaksanaannya menyimpang dari peraturan yang berlaku, maka praktik tersebut telah menyimpang dari tujuan manajemen pajak. Untuk mencapai tujuan manajemen pajak ada dua hal yang perlu dikuasai dan dilaksanakan, antara lain sebagai berikut : a. Memahami ketentuan peraturan perpajakan Dengan mempelajari peraturan perpajakan seperti undang – undang, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Dirjen Pajak, dan Surat Edaran Dirjen Pajak dapat diketahui peluang – peluang yang dimanfaatkan untuk menghemat beban pajak. b. Menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat Pembukuan merupakan sarana yang sangat penting dalam penyajian informasi keuangan
perusahaan yang disajikan dalam bentuk laporan
keuangan dan menjadi dasar dalam menghitung besarnya jumlah pajak terutang. 3. Pengendalian Pajak (Tax Control) Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi kewajiban persyaratan formal maupun material.
32
2.9.2 Motivasi Tax Planning Suandy (2011:10) motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak umumnya bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu ; 1. Kebijakan Perpajakan (Tax Policy) Merupakan alternative dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam system perpajakan. Dari berbagai aspek kebijakan pajak, terdapat faktor – faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak. a. Jenis Pajak yang akan Dipungut Dalam perpajakan modern terdapat berbagai jenis pajak yang harus menjadi pertimbangan utama, baik berupa pajak langsung maupun pajak yang tidak langsung dan cukai sebagai berikut. 1) Pajak Penghasilan Badan dan Orang Pribadi. 2) Pajak atas keuntungan modal (capital gains). 3) Withholding tax atas gaji, deviden, sewa, bunga, royalty dan lain – lain. 4) Pajak atas impor, ekspor, serta bea masuk. 5) Pajak atas undian / hadiah. 6) Bea materai. 7) Capital transfer taxes/transfer duties. 8) Lisensi usaha dan pajak perdagangan lainnya
33
b. Subjek Pajak Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem klasik dimana ada pemisahan antara badan usaha dengan pribadi pemiliknya (pemegang
saham)
yang
akan
menimbulkan
pajak
berganda.
Adanya
perbedaan perlakuan perpajakan atas pembayaran deviden badan usaha kepada pemegang saham perorangan dan kepada pemegang saham berbentuk badan usaha menyebabkan timbulnya usaha untuk merencanakan pajak dengan baik agar beban pajak rendah sehingga sumber daya perusahaan bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang lain. c. Objek Pajak Adanya perlakuan perpajakan yang berbeda atas objek pajak yang secara ekonomis hakikatnya sama, akan menimbulkan usaha perencanaan pajak agar beban pajaknya rendah. Karena objek pajak merupakan basis perhitungan (tax bases) besarnay pajak, maka untuk optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen
akan
merencanakan
pajak
yang tidak
lebih (karena bias
mengurangi optimalisasi alokasi sumber daya) dan tidak kurang (agar tidak harus membayar sanksi yang berate pemborosan dana). d. Tarif Pajak Adanya penerapan scheduler taxation tarif yang diterapkan di Indonesia mengakibatkan seorang perencana pajak berusaha sedapat mungkin agar dikenakan tarif yang paling rendah (low bracket).
34
e. Prosedur Pembayaran Pajak Sistem self – assesmnet dan sistem pembayaran mengharuskan perencana pajak untuk merencanakan pajaknya dengan baik. Saat sistem pemungutan withholding tax di Indonesia makin ditingkatkan penerapannya. Hal ini disamping
menganggu
arus
kas
perusahaan
kelebihan pembayaran atas pemungutan
juga
bias
mengakibatkan
pendahuluan tersebut, padahal untuk
memperoleh restitusi atas kelebihan tersebut diperlukan waktu dan biaya. 2. Undang – Undang Perpajakan (Tax Law) Kenyataan menunjukkan bahwa di mana pun tidak ada undang – undang yang mengatur setiap permasalahan yang secara sempurna. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya
selalu
diikuti oleh
ketentuan
–
ketentuan lain (Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputusan Dirjen Pajak). Tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan dengan undang – undang itu sendiri karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat kebijakan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya. Akibatnya terbuka celah (loopholes) bagi wajib pajak untuk menganalisis kesempatan tersebut dengan cermat untuk perencanaan pajak yang baik. 3. Administrasi Perpajakan (Tax Administration) Secara
umum motivasi dilakukannya
perencanaan
pajak
adalah untuk
memaksimalkan laba setelah pajak (after tax return), karena pajak ikut mempengaruhi perusahaan
pengambilan
untuk
keputusan
melakukan
atas
suatu
tindakan
investasi melalui analisis
dalam operasi
yang
cermat
dan
pemanfaatan peluang atau kesempatan yang ada dalam ketentuan peraturan yang
35
sengaja dibuat oleh pemerintah, untuk memberikan perlakuan yang berbeda atas objek yang secara ekonomi hakikatnya sama (karena pemerintah mempunyai tujuan lain tertentu) dengan memanfaatkan antara lain sebagai berikut. a. Perbedaan tarif pajak (tax rates). b. Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak (tax bases). c. Loopholes, shelters, dan havens.
2.9.3
Tahapan Tax Planning Suandy (2011:13) menyatakan agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai
dengan yang diharapkan, maka rencana itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap – tahap berikut ini : 1. Menganalisis informasi yang ada Tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang harus ditanggung. Penting juga untuk memperhitungkan kemungkinan besarnay penghasilan dari suatu proyek dan pengeluaran – pengeluaran lain di luar pajak yang mungkin terjadi. Untuk itu, seorang manajer perpajakan harus memerhatikan faktor – faktor baik internal maupun eksternal, yaitu : a. Fakta yang relevan b. Faktor pajak c. Faktor nonpajak lainnya
36
2. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak. Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau lebih atas tindakan – tindakan berikut. a. Pemilihan bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional. Pada hampir semua sistem perpajakan internasional, paling tidak ada dua negara yang ditentukan lebih dahulu. Dari sudut pandang perpajakan, proses perencanaan tidak bisa berada diluar dari tahapan pemilihan transaksi, operasi, dan hubungan yang paling menguntungkan. b. Pemilihan negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau menjadi residen negara tersebut. Dalam pembentukan anak perusahaa, faktor pajak dan nonpajak harus dibandingkan secara lebih luas. Mungkin diperlukan pula perhitungan pajak penjualan atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN secara umum adalah atas konsumsi yang dikenakan sehubungan dengan : a. Penyerahan barang b. Sewa atau jasa c. Impor barang 3. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak. Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil dari seluruh perencanaan strategis perusahaan, dilakukan evaluasi untuk
oleh karena itu perrlu
melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu
perencanaan pajak terhadap beban pajak, perbedaan laba kotor, dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternative perencanaan. Variabel –
37
variabel tersebut akan dihitung seakurat mungkin dengan hipotesis sebagai berikut. a. Bagaimana jika rencana tersebut tidak dilaksanakan b. Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan dan berhasil dengan baik c. Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan tetapi gagal 4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak. Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan pajak baik atau tidak, tentu harus dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat. Dengan demikian, keputusan yang terbaik atas suatu perencanaan pajak harus sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan operasi. Perbandingan berbagai rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai bentuk perencanaan pajak yang diinginkan. Kadang suatu rencana harus diubah mengingat adanya perubahan peraturan / perundang – undangan. 5. Memutakhirkan rencana pajak (Barry Spitz, 1983). Pemutakhiran dari suatu rencana adalah konsekuensi yang perlu dilakukan sebagaimana dilakukan oleh masyarakat yang dinamis. Dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan datang maupun situasi yang terjadi saat ini, seorang manajer akan mampu mengurangi akibat yang merugikan dari adanya perubahan, dan pada saat yang bersamaan mampu mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial.
38
2.9.4 Strategi yang Digunakan Untuk Mengefisiensikan Beban PPh Badan Suandy (2009:121) strategi yang dapat digunakan untuk mengefisiensikan beban PPh Badan : 1. Pemilihan alternatif dasar pembukuan, basis kas atau basis akrual. 2. Pengelolaan transaksi yang berkaitan dengan pemberian kesejahteraan kepada karyawan. 3. Pemilihan metode penilaian persediaan. 4. Pemilihan sumber dana dalam pengadaan aset tetap. 5. Pemilihan metode penyusutan aset tetap dan amortisasi aset tidak berwujud. 6. Transaksi yang berkaitan dengan pemungutan pajak (withholding tax). 7. Optimalisasi pengkreditan pajak yang telah dibayar. 8. Permohonan penurunan pembayaran angsuran masa (PPh Pasal 25 bulanan). 9. Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 25 dan Pasal 23. 10. Rekonsiliasi SPT 11. Penyertaan modal pada perseroan terbatas dalam negeri.
2.10. Metode Penyusutan Metode Penyusutan Aktiva Tetap sesuai dengan pasal 11 UU PPh. Metode penyusutan aktiva tetap yang diperbolehkan pada prinsipnya ada dua metode yaitu : metode saldo menurun atau metode garis lurus. Ketentuan penggunaan dua metode tersebut adalah sebagai berikut :
39
1. Terhadap aktiva yang termasuk kelompok I s.d IV, wajib pajak diperkenankan untuk memilih antara metode garis lurus (straight line method) atau metode saldo menurun (decline balance method). 2. Terhadap aktiva kelompok bangunan, wajib pajak harus menerapkan metode garis lurus. 3. Penggunaan metode penyusutan harus dilakukakan secara taat asas. 4. Masa manfaat dan tarif penyusutan aktiva untuk masing – masing kelompok telah ditetapkan sebagai berikut : Tabel II.2 Tarif Penyusutan Kelompok Harta Berwujud Non Bangunan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Bangunan Permanen Non Permanen
Masa Manfaat
Tarif Garis Lurus
Tarif Saldo Menurun
4 Tahun 8 Tahun 16 Tahun 20 Tahun
25% 12,5% 6,25% 5%
50% 25% 12,5% 10%
20 Tahun 10 Tahun
5% 10%
-
2.11. Fasilitas Perpajakan bagi UMKM Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00
(lima
puluh
miliar
rupiah)
mendapat
fasilitas
berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh pesen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian perederan bruto sampai Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus rupiah). Dengan adanya fasilitas pajak bagi badan
40
usaha UMKM diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan khususnya dalam aspek perekonomian.
2.12. Perlakuan PPh Pasal 25 bagi UMKM dan Koperasi Menurut Surat Edaran Nomor SE – 66/ PJ/ 2010 menetapkan beberapa hal mengenai pasal 31E UU PPh No 36 Tahun 2008 terkait dengan fasilitas pajak bagi UMKM yang terdiri dari : 1. Berdasarkan Pasal 31E ayat (1) Undang – Undang Pajak Penghasilan, diatur bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh pesen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian perederan bruto sampai Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus rupiah). 2. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan hal – hal sebagai berikut : a. Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UndangUndang Pajak Penghasilan dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut. b. Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang
41
diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang – Undang Pajak Penghasilan. c. Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang – Undang Pajak Penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi : 1) Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final; 2) Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan 3) Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak. d. Fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sepanjang akumulasi peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas tidak melebihi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri wajib mengikuti ketentuan fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.