BAB 2 TINJAUAN TEORI Bab ini membahas mengenai teori dan kajian pustaka mengenai hal yang berkaitan dengan pusat perbelanjaan, sistem transportasi, pengaruh guna lahan terhadap pergerakan, kinerja jaringan jalan, dan manajemen lalu lintas. 2.1. Pusat Perbelanjaan Pada studi ini akan sering digunakan istilah pusat perbelanjaan, oleh karena itu diperlukan pemahaman mengenai makna pusat perbelanjaan. Pada bagian ini dibahas mengenai definisi pusat perbelanjaan termasuk di dalamnya hirarki pusat perbelanjaan dan tarikan kendaraan gedung pusat perbelanjaan. 2.1.1. Definisi Pusat Perbelanjaan Untuk lebih memahami istilah pusat perbelanjaan, maka dipaparkan beberapa definisi mengenai pusat perbelanjaan sebagai berikut: •
Dalam Laporan Akhir Analisa Pembangunan dan Keberadaan Pusat-pusat Perdagangan (Mall) di Kota Bandung (Bappeda Kota Bandung, 2002), pusat perbelanjaan diartikan sebagai pusat interaksi antara penjual yang menawarkan keragaman barang dagangan dan atau jasa yang saling melengkapi dan bersifat eceran, dilengkapi sarana hiburan dan rekreasi, dibangun secara komersial, dilengkapi dengan sarana-sarana penunjang, rancangan arsitektural bangunan satu massa, tata letak yang berorientasi ke dalam, adanya atrium/void, serta dikelola dalam satu manajemen.
•
Dalam Indonesia Shopping Centers (Andyono, 2006), dikemukakan bahwa pusat perbelanjaan adalah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasikan suatu pusat perbelanjaan yang pada intinya memiliki bentuk bangunan atau kumpulan berbagai bangunan di dalam satu lokasi. Di dalam satu pusat perbelanjaan tersebut berkumpul beragam toko yang semuanya dihubungkan antara satu dengan yang lain oleh jalur sirkulasi yang terbuka atau tertutup
15
16
dengan tujuan untuk mempermudah penggunanya pada saat mengunjungi satu toko dan berjalan ke toko yang lain dengan aman dan nyaman. •
Menurut International Council of Shopping Centre (ICSC) dalam The 4Rs of Asian Shopping Centre Managemet (Neo dan Wing, 2005), pusat perbelanjaan didefinisikan sebagai sekelompok lokasi usaha ritel dan usaha komersial lainnya yang direncanakan, dikembangkan, dimiliki dan dikelola sebagai satu properti tunggal.
•
Menurut Mardanus (1996), pusat perbelanjaan merupakan suatu fasilitas perdagangan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan akan barang (kegiatan membeli masyarakat) dan juga untuk maksud-maksud lain yang bersifat rekreatif, seperti kebutuhan akan perasaan aman, nyaman, dan stabil, kebutuhan yang berorientasikan pada peningkatan prestasi, gengsi, status kepercayaan diri, kebutuhan untuk mengetahui dan mengeksplorasi sesuatu kebutuhan akan keindahan, serta kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan dengan pengembangan diri. Kebutuhan akan barang ini meliputi barangbarang untuk kebutuhan sehari-hari, seperti bahan pangan dan pakaian, serta kebutuhan sekunder seperti peralatan rumah tangga dan dapur.
Pusat perbelanjaan dapat terbentuk melalui dua cara yaitu terencana dan tidak terencana. Jones (1990) menguraikan perbedaan antara pusat perbelanjaan terencana dan tidak terencana seperti yang terlihat pada Tabel II.1 berikut ini. TABEL II.1 PERBEDAAN ANTARA PUSAT PERBELANJAAN TERENCANA DAN TIDAK TERENCANA VARIABEL
TIDAK TERENCANA
TERENCANA
Ukuran Pasar
Fleksibel, berkembang (atau bahakan mati) berdasarkan area pelayanan dan kompetisi Aksesibilitas berkembang seiring dengan pertumbuhan pasar. Sistem transit menjadi penting dalam perkembangan.
Cenderung tetap melayani pasar tertentu
Lokasi
Ukuran Pusat Perbelanjaan
Bervariasi, tidak ada hubungan dengan ukuran pasar
Tingkat lalu lintas kendaraaan bermotor (kapasitas jalan) mempengaruhi ukuran dan skala pelayanan, dan biasanya terisolasi dari lalu lintas pejalan kaki. Memiliki bagunan besar beberapa diantaranya didominasi oleh ukuran plasa yang begitu besar
17
VARIABEL
TIDAK TERENCANA
TERENCANA
Biaya Penempatan
Turun seiring dengan jarak terhadap pusat persimpangan
Struktur Internal
Lalu lintas aktivitas perdagangan barang yang tinggi pada persimpangan yang bernilai tinggi
Kompetisi
Yang paling utama adalah antar toko sejenis.
Aspasial, tergantung pada ukuran toko dan kemampuan dalam membangkitkan lalu lintas. Diukur berdasarkan nilai penjualan kotor Biasanya bimodal, dengan koneksi antar penyewa utama. Parkir terkontrol dengan baik dan aksesibilitas direncanakan dengan baik. Dengan pusat perbelanjaan terencana lainnya
Sumber : Jones, 1990
2.1.2. Hirarki Pusat Perbelanjaan Adanya perbedaaan jangkauan pelayanan pusat perbelanjaan terhadap konsumen mengakibatkan timbulnya hirarki pelayanan pusat perbelanjaan. Pembagian hirarki tersebut antara lain: 1. Gossling dan Maitland (1976, dalam Rosyid, 2003), membagi pusat perbelanjaan menjadi: a. Neighborhood Centre, pusat perbelanjaan yang terletak di tengah-tengah perumahan dengan skala pelayanan antara 5.000 - 40.000 jiwa, dengan luas 2.700 - 9.000 m2. Pusat Perbelanjaan ini umumnya menjual kebutuhan sehari-hari. b. Community Centre, pelayanan meliputi wilayah berpenduduk 40.000 150.000 jiwa lebih dengan luas area 9.000 - 25.000 m2. Barang yang dijual biasanya berupa barang sandang, alat kecantikan, barang lux, barang elektronik, dan sebagainya c. Regional Centre, kemampuan pelayanannya meliputi seluruh wilayah kota dan daerah luar kota. Melayai 150.000 - 400.000 jiwa dengan luas area pelayanan 25.000 - 90.000 m2 dilengkapi dengan sarana rekreasi seperti bioskop, restoran, pusat jajan dan sebagainya. 2. Ken Jones dan Jim Simmons (1990), membagi pusat perbelanjaan menjadi 4 jenis berdasarkan luas lantai, jumlah penduduk yang dilayani, dan jenis penyewanya. Pembagian tersebut antara lain:
18
a. Neighborhood, dengan ukuran luas lantai 5.000 - 10.000 m2 yang melayani 10.000 - 40.000 jiwa, dengan jenis penyewanya adalah supermarket. b. Community, dengan dengan ukuran luas lantai 10.000 - 30.000 m2 yang melayani 40.000 - 150.000 jiwa, dengan jenis penyewanya adalah junior departement store. c. Regional, dengan ukuran luas lantai 30.000 - 50.000 m2 yang melayani 150.000 - 500.000 jiwa, dengan jenis penyewanya adalah major departement store. d. Super Regional, dengan ukuran luas lantai 50.000 - 70.000 m2 yang melayani penduduk di atas 500.000 jiwa, dengan jenis penyewanya adalah dua atau lebih departement store. 3. Lusch (1982), dalam Mixed-Use Development Handbook, membagi pusat perbelanjaan ke dalam 4 bagian jangkauan pelayanan sebagai berikut: TABEL II.2 HIRARKI PUSAT PERBELANJAAN MENURUT LUSCH SKALA PELAYANAN Skala Lingkungan Skala Distrik Skala Kota Skala Wilayah/Metropolitan
LUASAN (M2) 4.500 12.500 36.000 90.000
Sumber : Lusch (1982)
4. Rosmary D.F. Bromley & Colin J. Thomas (1993), mengelompokkan pusat perbelanjaan atas: a. Speciality Centre, ukuran luas lantai > 1.000 m2 b. Retail Parks ukuran luas lantai 5.000-20.000 m2 c. Intermediate Centre ukuran luas lantai 10.000-30.000 m2 d. Regional ukuran luas lantai >30.000 m2 5. Dinas Cipta Karya Pekerjaan Umum membagi pusat perbelanjaan ke dalam 3 kategori, seperti yang tertera pada Tabel II.3 berikut.
19
TABEL II.3 STANDAR PERENCANAAN KEBUTUHAN PUSAT PERBELANJAAN MENURUT DINAS CIPTA KARYA PEKERJAAN UMUM
HIRARKI PUSAT PERBELANJAAN
JUMLAH PENDUDUK (JIWA)
Pusat Perbelanjaan Lingkungan Pusat Perbelanjaan Pusat Perbelanjaan dan Niaga
30.000 120.000 480.000
LUAS TIAP UNIT BERDASARKAN KEPADATAN PENDUDUK (M2) < 100 100-250 250-500 > 500 JIWA/ JIWA/ JIWA/ JIWA/ HA HA HA HA 27.000 20.250 13.500 10.125 72.000 54.000 36.000 27.000 192.000 144.000 96.000 72.000
Sumber: Buku Pedoman Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Cipta Karya PU dalam Bapeda Kota Bandung, Analisa Pembangunan dan Keberadaan Pusat-pusat Perdagangan (Mall) di Kota Bandung, 2002.
6. Dinas Tata Kota DKI Jakarta membagi pusat perbelanjaan ke dalam 5 kategori, seperti yang tertera pada Tabel II.4 berikut. TABEL II.4 STANDAR PUSAT PERBELANJAAN DKI JAKARTA HIRARKI PUSAT PERBELANJAAN
JUMLAH PENDUDUK (JIWA)
Pusat Pertokoan Mini Pasar Lingkungan Pasar/Pertokoan Pusat Perbelanjaan/Pasar Pusat Perbelanjaan Utama
6.000 30.000 60.000 480.000 1.500.000
LUAS TIAP UNIT BERDASARKAN KEPADATAN PENDUDUK (M2) < 100 100-250 250-500 JIWA/HA JIWA/HA JIWA/HA 3.600 3.060 2.520 1.000 650 700 1.000 850 700 36.000 30.600 25.200 60.000 73.100 60.200
Sumber: Buku Pedoman Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota DTK DKI Jakarta dalam Bapeda Kota Bandung, Analisa Pembangunan dan Keberadaan Pusat-pusat Perdagangan (Mall) di Kota Bandung, 2002.
2.1.3. Tarikan Kendaraan Gedung Pusat Perbelanjaan Tarikan kendaraan yang ditimbulkan oleh kegiatan gedung pusat perbelanjaan semakin lama memberikan tambahan sumbangan volume kendaraan di koridor jalan yang menghubungkan gedung pusat perbelanjaan secara langsung. Untuk mengukur laju bangkitan lalu-Iintas gedung pusat perbelanjaan, satuan aktivitas yang biasa dipakai adalah luas lantai yang disewakan (ITE, 1992:23 dalam Rosyid, 2003). Luas lantai yang disewakan ini dapat menjadi ukuran dari tingkat aktivitas di dalam gedung. Bangkitan ini dihitung dengan cara membagi antara besar bangkitan lalu-
20
Iintas gedung pusat perbelanjaan dengan luas lantai yang disewakan. Begitu juga dengan laju tarikan kendaraannya. Laju bangkitan lalu-Iintas setiap gedung berbeda-beda. Hal ini diakibatkan oleh adanya faktor-faktor yang berkaitan dengan laju bangkitan (Brindle, 1984:118-119, kutipan dari ITE, 1976 dalam Rosyid, 2003), yaitu: 1. Ketersediaan lahan parkir Bangkitan
lalu-Iintas
gedung
pusat
perbelanjaan
berkaitan
dengan
ketersediaan lahan parkir gedung. Gedung pusat perbelanjaan yang lahan parkirnya relatif kecil dan terbatas tentunya membangkitkan lalu lintas yang relatif sedikit. 2. Kepadatan daerah perdagangan (density of trade area) Daerah perdagangan adalah daerah tempat dimana konsumen pusat perbelanjaan
diperkirakan
tinggal.
Kepadatan
daerah
perdagangan
menunjukkan jumlah konsumen, dan tingkat penghasilan konsumen yang menuju ke lokasi gedung. 3. Jenis penyewa (types of tenants) Jenis penyewa menunjukkan jenis barang yang dijual di pusat perbelanjaan. Jenis penyewa dalam gedung pusat perbelanjaan adalah gambaran jenis guna lahan secara lebih rinci. 4. Usia gedung Usia gedung berkaitan dengan bangkitan lalu lintasnya. Gedung yang usianya relatif muda membangkitkan lalu lintas lebih besar. Hal ini karena gedung pusat perbelanjaan juga berfungsi sebagai tempat rekreasi. Umumnya manusia menyukai hal-hal baru dalam berekreasi. Kemampuan gedung juga ikut mempengaruhi besarnya tarikan kendaraan yang ditimbulkan gedung pusat perbelanjaan (Carn, 1988), yakni: 1. Jarak dari gedung Jarak ini dapat berupa jarak fisik atau jarak waktu mengemudi penduduk untuk menuju lokasi gedung. Konsumen memilih pusat perbelanjaan yang jarak dari tempat tinggalnya relatif pendek. 2. Ukuran gedung
21
Ukuran ini adalah luas lantai gedung atau luas lantai yang disewakan. Gedung yang ukurannya relatif lebih luas memiliki jumlah dan ragam kegiatan penjualan barang relatif lebih banyak. Selain itu, gedung yang ukurannya luas dapat menampung konsumen relatif lebih banyak. 3. Usia gedung Menurut Carn, usia gedung mempengaruhi daya saing gedung. Hal ini berkaitan dengan masalah kenyamanan, dan hal-hal baru bagi rekreasi. 4. Aksesibilitas ke gedung Tingkat aksesibilitas menggambarkan kemudahan konsumen menuju gedung pusat perbelanjaan. Tingkat aksesibilitas ini ditunjukkan oleh kelas dan lebar jalan (kapasitas), dan tingkat kemacetan. Tingkat kemacetan dapat diukur dari rasio volume per kapasitas (V/C). Semakin V/C jalan mendekati 1, semakin tinggi tingkat kemacetannya. 5. Hambatan fisik dan psikologi Hambatan fisik misalnya berupa lintasan kereta api, terlampau banyak lampu lalu lintas, dan kualitas jalan yang buruk. Hambatan psikologi menyangkut masalah kenyamanan dan keamanan, misalnya kondisi lingkungan sekitar gedung dan kapasitas parkir. Laju tarikan kendaraan gedung pusat perbelanjaan akan memberikan nilai yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pengkajian terhadap penyebabpenyebab tarikan kendaraan gedung pusat perbelanjaan adalah sebagai berikut (studi yang dilakukan ITE dalam Rosyid, 2003): a. Luas lantai gedung menggunakan data luas lantai yang disewakan kemudian dikalikan dengan tingkat pengisian. b. Ketersediaan kapasitas parkir yang menggunakan data petak parkir yang disediakan oleh masing-masing gedung pusat perbelanjaan. c. Kepadatan di daerah perdagangan menggunakan data volume lalu lintas jalan yang menunjukkan jumlah pergerakan menuju lokasi gedung pusat perbelanjaan. d. Jenis penyewa tidak dibahas karena jumlah sampel gedung yang sedikit dan terdapat kesamaan jenis penyewa.
22
2.2. Sistem Tranportasi Transportasi adalah pergerakan orang dan/atau barang dari satu lokasi ke lokasi lain, dari satu pusat kegiatan ke pusat kegiatan lain. Transportasi bukan merupakan suatu tujuan akhir (ends), melainkan suatu turunan dari kebutuhan (derived demand) (Kusbiantoro, 2004). Kusbiantoro (2004) menjelaskan bahwa sistem tranportasi merupakan sebuah kesatuan yang terdiri dari beberapa sistem, yaitu: 1. Sistem Kegiatan, yaitu penduduk dengan kegiatannya, misalnya kawasan perumahan, kawasan pertokoan, wilayah perkotaan, Bandung Raya (Bandung Metropolitan Area), dan sebagainya (demand system); makin tinggi kuantitas dan kualitas penduduk dengan kegiatannya, makin tinggi pula pergerakan yang dihasilkan, baik dari segi jumlah (volume), frekuensi, jarak. Moda, maupun tingkat pemusatan temporal dan/atau spatial. 2. Sistem Jaringan, yaitu jaringan infrastruktur dan pelayanan trasnportasi yang menunjang pergerakan penduduk dengan kegiatannya, misalnya jaringan jalan, kereta api, angkutan kota, terminal udara, dan lain-lain (supply system); makin tinggi kuantitas dan kualitas jaringan infrastruktur serta pelayanan transportasi, makin tinggi pula kuantitas dan kualitas pergerakan yang dihasilkan. 3. Sistem Pergerakan, yaitu pergerakan orang dan/ atau barang berdasar besaran (volume), tujuan, lokasi asal-tujuan, waktu perjalanan, jarak/lama perjalanan, kecepatan, frekuensi, moda, dan sebagainya; makin tinggi kuantitas dan kualitas sistem pergerakan, makin tingi pula dampak yang ditimbulkan terhadap sistem kegiatan dan sistem jaringan. Selain itu, keterkaitan ketiga hal diatas dipengaruhi oleh keberadaan serta kesiapan Sistem Kelembagaan yang terdiri atas (Kusbiantoro, 2004): 1. Aspek Legal, yaitu kesiapan/ kesesuaian Undang-undang, Peraturan Pemerintah, kebijakan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), insentifdisinsentif, dan sebagainya.
23
2. Aspek Organisasi, yaitu kesiapan organisasi pemerintah/ dunia usaha/ masyarakat, kejelasan pembagian tugas, koordinasi antar organisasi, dan sebagainya. 3. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM), yakni kesiapan SDM (operator, user, nonuser, regulator, dan sebagainya). 4. Aspek Keuangan, yaitu kesiapan/ kesesuaian pendanaan, dan sebagainya. Selanjutnya sistem-sistem tersebut juga dipengaruhi oleh Sistem Lingkungan Internal dan Eksternal dengan dinamika perubahannya. Hal-hal yang termasuk ke dalam sistem lingkungan antara lain aspek ekonomi, sosial-budaya-politik, fisik, dan teknologi. Secara grafis, penjelasan mengenai sistem tranposrtasi di atas dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini.
GAMBAR 2.1 SISTEM TRANSPORTASI
Sumber: Kusbiantoro, 2004
24
2.3 Jaringan Jalan Dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan pasal 1 ayat (4) terdapat definisi jalan yang berbunyi “Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel” Sedangkan dalam UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, definisi jalan adalah “Jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum”, disebutkan pula bahwa “Jaringan transportasi jalan adalah serangkaian simpul dan atau ruang kegiatan yang dihubungkan oleh ruang lalu lintas sehingga membentuk suatu kesatuan sistem jaringan untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan”. 2.3.1
Klasifikasi Jalan
Pada UU No. 38 tahun 2004 pasal 7 dijelaskan bahwa sistem jaringan jalan terdiri atas: a. Sistem jaringan jalan primer, yaitu sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan. b. Sistem jaringan jalan sekunder, yaitu sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. Berdasarkan UU No. 38 tahun 2004 pasal 8, klasifikasi jaringan jalan berdasarkan fungsinya dikelompokkan menjadi: a. Jalan Arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
25
b. Jalan Kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan ratarata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi. c. Jalan Lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. d. Jalan Lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan terdapat 8 jenis jalan, yaitu jalan arteri primer, jalan kolektor primer, jalan lokal primer, jalan lingkungan primer, jalan arteri sekunder, jalan kolektor sekunder, jalan lokal sekunder, dan jalan lingkungan sekunder. Definisi dari masing-masing jenis jalan tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 34 Tahun 2006 pasal 10 dan 11 adalah: 1. Jalan arteri primer menghubungkan secara berdaya guna antarpusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah. 2. Jalan kolektor primer menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan wilayah, atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. 3. Jalan lokal primer menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan. 4. Jalan lingkungan primer menghubungkan antarpusat kegiatan di dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan. 5. Jalan arteri sekunder menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu, atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. 6. Jalan kolektor sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.
26
7. Jalan lokal sekunder menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. 8. Jalan lingkungan sekunder menghubungkan antarpersil dalam kawasan
perkotaan. Pada Peraturan Pemerintah RI No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan dijelaskan mengenai persyaratan teknis jalan yang terangkum dalam Tabel II.5 berikut ini. TABEL II.5 KLASIFIKASI JALAN BERDASARKAN FUNGSI JALAN KLASIFIKASI JALAN Jalan Arteri Primer
KECEPATAN MINIMAL
LEBAR BADAN JALAN MINIMAL
60 km/jam
11 meter
KARAKTERISTIK • • • •
Jalan Kolektor Primer
40 km/jam
9 meter
• • • •
Jalan Lokal Primer Jalan Lingkung an Primer
20 km/jam
7,5 meter
•
15 km/jam
6,5 meter
•
Jalan Arteri Sekunder
30 km/jam
•
11 meter
• • •
Mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal. Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi. Jalan arteri primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan pengembangan perkotaan tidak boleh terputus. Mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan. Persimpangan sebidang pada jalan kolektor primer dilakukan pengaturan tertentu. Jalan kolektor primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan pengembangan perkotaan tidak boleh terputus. Jalan lokal primer yang memasuki kawasan perdesaan tidak boleh terputus. Persyaratan teknis jalan lingkungan primer diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih. Jalan lingkungan primer yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan paling sedikit 3,5 meter. Mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata. Lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat. Persimpangan sebidang pada jalan arteri sekunder dilakukan pengaturan tertentu.
27
KLASIFIKASI JALAN Jalan Kolektor Sekunder
KECEPATAN MINIMAL
LEBAR BADAN JALAN MINIMAL
20 km/jam
9 meter
KARAKTERISTIK • • •
Jalan Lokal Sekunder Jalan Lingkung an Sekunder
10 km/jam
7,5 meter
10 km/jam
6,5 meter
Mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata. Pada jalan kolektor sekunder lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat. Persimpangan sebidang pada jalan kolektor sekunder dilakukan pengaturan tertentu.
•
Persyaratan teknis jalan lingkungan sekunder diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 atau lebih. • Jalan lingkungan sekunder yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan paling sedikit 3,5 meter. Sumber : Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2006 tentang Jalan
2.3.2
Kapasitas Jalan
Kapasitas jalan (MKJI, 1997) adalah jumlah lalu lintas kendaraan maksimum yang dapat ditampung pada ruas jalan selama kondisi tertentu (desain geometri, lingkungan, dan komposisi lalu lintas) yang dapat ditentukan dalam satuan masa penumpang (smp/jam). Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas jalan antara lain: •
Kondisi geometri. Faktor ini meliputi faktor penyesuaian dimensi geometri jalan terhadap geometrik standar jalan kota, yaitu: tipe jalan; lebar efektif lapisan keras yang termanfaatkan; lebar efektif bahu atau kerb jalan; lebar efektif median jalan; alignment jalan.
•
Kondisi lalu lintas. Faktor ini meliputi karakteristik kendaraan yang lewat, yaitu: faktor arah (perbandingan volume per arah dari jumlah dua arah arus pergerakan); gangguan samping dari badan jalan, termasuk banyaknya kendaraan umum yang berhenti di sepanjang jalan, jumlah pejalan kaki, akses keluar masuk.
•
Kondisi lingkungan. Faktor kondisi lingkungan yang berpengaruh adalah ukuran kota yang dinyatakan dalam jumlah penduduk kota.
28
Persamaan dasar untuk menentukan kapasitas adalah sebagai berikut (MKJI, 1997): C = C0 × FCW × FCSP × FCSF × FCCS Dimana: C
= Kapasitas (smp/jam)
C0
= Kapasitas Dasar (smp/jam)
FCW
= Faktor penyesuaian lebar jalan
FCSP
= Faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya untuk jalan tak terbagi)
FCSF
= Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/ kereb
FCCS
= Faktor penyesuaian ukuran kota
2.3.3
Rasio Volume per Kapasitas
Rasio volume per kapasitas (Volumer per Capacity Ratio/VCR) adalah perbandingan antara volume yang melintas dengan kapasitas pada suatu ruas jalan tertentu. Dari hasil perbandingan yang didapat selanjutnya akan digunakan untuk menentukan tingkat pelayanan jalan. 2.3.4
Tingkat Pelayanan Jalan
Tingkat pelayanan jalan atau level of service (LOS) adalah sebuah ukuran kualitatif yang menggambarkan kondisi operasional pada sebuah aliran lalu lintas dan persepsi mengenai hal itu dari pengendara dan/ atau penumpang (Khisty, 1990). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pelayanan jalan antara lain kecepatan dan lama perjalanan, kebebasan untuk bermanuver, gangguan lalu lintas, comfort and convenience, dan keselamatan (Khisty, 1990). Tingkat pelayanan jalan ditentukan dalam skala interval yang terdiri dari 6 tingkatan (Tamim, 2000). Tingkatan ini terdiri dari A,B,C,D,E, dan F. Dimana A merupakan tingkatan yang paling tinggi. Semakin tinggi volume lalu lintas pada ruas jalan tertentu, tingkat pelayanan jalannya akan semakin menurun. Standar pembagian tingkat pelayanan jalan dapat dilihat pada Tabel II.6 di bawah ini.
29
TABEL II.6 STANDAR TINGKAT PELAYANAN JALAN TINGKAT PELAYANAN JALAN
KECEPATAN RATA-RATA (KM/JAM)
V/C
A
≥ 50
≤ 0,40
B
≥ 40
≤ 0,58
C
≥ 32
≤ 0,80
D
≥ 27
≤ 0,90
E
≥ 24
≤ 1,00
F
<24
>1,00
DESKRIPSI ARUS Arus bebas bergerak (aliran lalu lintas bebas, tanpa hambatan), pengemudi bebas memilih kecepatan sesuai batas yang ditentukan. Arus stabil, tidak bebas (arus lalu lintas baik, kemungkinan terjadi perlambatan), kecepatan operasi mulai dibatasi, mulai ada hambatan dari kendaraan lain. Arus stabil, kecepatan terbatas (arus lalu lintas masih baik dan stabil dengan perlambatan yang dapat diterima), hambatan dari kendaraan lain makin besar. Arus mulai tidak stabil (mulai dirasakan gangguan dalam aliran, aliran mulai tidak baik), kecepatan operasi menurun realtif cepat akibat hambatan yang timbul. Arus yang tidak stabil, kadang macet (volume pelayanan berada pada kapasitas, aliran tidak stabil). Macet, antrian panjang (volume kendaraan melebihi kapasitas, aliran telah mengalami kemacetan).
Sumber: Tamim, 2000.
Hubungan secara umum antara kecepatan, tingkat pelayanan jalan, dan rasio volume terhadap kapasitas jalan dapat dilihat pada Gambar 2.2. GAMBAR 2.2 TINGKAT PELAYANAN JALAN Kecepatan Tingkat Pelayanan A
Tingkat Pelayanan B Tingkat Pelayanan C Tingkat Pelayanan D Tingkat Pelayanan E
Tingkat Pelayanan F
0
Rasio volume per kapasitas
Sumber: Morlok, 1991.
1.0
30
2.3.5
Satuan Kendaraan
Satuan kendaraan yang melalui ruas jalan memiliki jenis yang beragam. Oleh karena itu digunakan satuan mobil penumpang (smp) sebagai satuan ukuran. Angka konstanta yang dijadikan satuan ukuran mengacu pada MKJI, 1997. Angka konstanta yang digunakan dapat dilihat pada Tabel II.7. TABEL II.7 STANDAR KONVERSI VOLUME KENDARAAN JENIS KENDARAAN
STANDAR KONVERSI (SMP)
Light Vehicle
(mobil penumpang, minibus, pick up, truk kecil, dan jeep)
Heavy Vehicle
(bis dan truk besar)
Motor Cycle
(sepeda motor)
Unmotorized Vehicle
(gerobak, becak, sepeda)
1,00 1,20 0,25 0,10
Sumber: MKJI 1997
2.4 Pengelolaan Lalu Lintas Salah satu cara menangani persoalan lalu lintas dalam jangka waktu pendek yaitu dengan pengelolaan lalu lintas (traffic management). Manajemen lalu lintas adalah suatu teknik perencanaan transportasi yang sifatnya langsung penerapan di lapangan dan biasanya berjangka waktu tidak terialu lama atau dapat dikatakan jangka pendek. Hal ini menyangkut kondisi arus lalu lintas dan juga sarana penunjangnya baik pada saat sekarang maupun yang akan direncanakan. Tujuan pokok manajemen lalu lintas adalah memaksimalkan pemakaian sistem jalan yang ada dan meningkatkan keamanan jalan tanpa merusak kualitas lingkungan (Tamin, 2000). Adapun tujan dan sasaran dari manajemen lalu lintas adalah sebagai berikut (Tamin,2000): a. Tujuan 1. Mempertahankan dan/atau memperbaiki kualitas sistem transportasi 2. Meningkatkan efisiensi sistem transportasi yang ada. 3. Meminimalkan biaya untuk memperbaiki kualitas pelayanan dan mengefisienkan sistem transportasi yang ada.
31
4. Meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan akibat adanya fasilitas dan pelayanan transportasi yang ada. 5. Meminimalkan dampak negatif terhadap sistem sosial ekonomi akibat adanya pelayanan transportasi yang ada. b. Sasaran 1. Mengurangi waktu perjalanan untuk pergerakan orang dan barang pada sistem transportasi yang ada. 2. Mengurangi biaya perjalanan yang dibutuhkan untuk pergerakan orang dan barang dan meminimalkan biaya operasi dan kerugian terhadap sistem transportasi yang ada. 3. Meningkatkan kenyamanan dan ketepatan pada sistem transportasi yang ada. 4. Meningkatkan kapasitas pergerakan kendaraan dan orang dari sistem transportasi. 5. Mengurangi tingkat kebisingan, getaran, dan tingkat polusi udara akibat sistem transportasi yang ada. 6. Menyediakan pelayanan yang memadai untuk menanggung perjalanan. 7. Meningkatkan keuntungan dan meminimalkan kerugian yang disebabkan adanya perbaikan sistem transportasi. 8. Mengoptimalkan kualitas pelayanan transportasi sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. 9. Meminimalkan pemindahan/pembongkaran pemukiman, pertokoan, dan fungsi sosial lainnya akibat perbaikan sistem transportasi. Ada beberapa rangkaian tindakan yang umumnya dilakukan dalam manajemen lalu lintas (pengelolaan lalu lintas) yang dapat dikelompokkan pada usaha-usaha sebagai berikut (LPP-ITB, 1987 dalam Tamin, 2000): 1. Tindakan untuk meningkatkan daya guna ruang jalan (road space), meliputi: a. Pengaturan sistem lalu-lintas searah b. Pemasangan lampu lalu-lintas (traffic light) c. Kanalisasi lalu lintas (pulau lalu lintas, rambu lalu lintas) d. Pemisahan jalur lambat dengan jalur cepat
32
e. Penyediaan fasilitas untuk pejalan kaki (side walk, foothpath) dan pedagang kaki lima f. Pengaturan lalu lintas lokal, menerus, dan regional g. Penataan tempat bongkar muat barang h. Penataan lokasi pedagang kaki lima i.
Pengecualian berlakunya tanda-tanda lalu lintas tertentu bagi kendaraan umum dan penataan tempat pemberhentian angkutan umum dan pangkalan.
2. Tindakan mengurangi arus lalu lintas pada jam-jam puncak, meliputi: a. Penataan jadwal waktu kerja atau sekolah b. Kebijaksanaan pengenaan biaya parkir yang lebih tinggi pada jam-jam puncak c. Pembatasan parkir dan bongkar muat pada jam-jam puncak 3. Pengelolaan sistem perparkiran, meliputi peraturan perparkiran (tempat parkir khusus, taman parkir, dan sebagainya) 4. Peningkatan pelayanan umum, meliputi: a. Penataan lokasi perhentian (shelter) b. Penataan terminal c. Peningkatan keamanan d. Pengaturan rute e. Integrasi antar pelayanan berbagai angkutan umum f. Kebijaksanaan tarif angkutan umum Pengelolaan lalu lintas (traffic management) lebih ditujukan untuk penanganan masalah transportasi yang mendesak, seperti kemacetan pada suatu ruas jalan yang disebabkan oleh gangguan-gangguan yang timbul sepanjang ruas jalan tersebut oleh karenanya sering disebut sebagai penanganan persoalan lalu lintas jangka pendek. Melalui pengelolaan lalu lintas akan diusahakan meminimumkan gangguan-gangguan lalu lintas melalui pengaturan/penataan terhadap sumber gangguan. Usulan penanganan dengan pengelolaan lalu lintas membutuhkan biaya investasi yang rendah, sehingga sangat membantu mengurangi pembiayaan bagi pemerintah pusat maupun daerah.
33
2.5 Pemetaaan Penelitian Sejenis Dalam bab ini dipaparkan mengenai penelitian-penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya di pusat-pusat perbelanjaan lain, baik yang ada di Kota Bandung maupun di luar Kota Bandung. Pusat-pusat perbelanjaan tersebut antara lain Bandung Supermal (BSM) – Bandung, Istana Plaza (IP) – Bandung, dan Ekalokasari Plaza – Bogor. 2.5.1
Bandung Supermal (BSM) – Bandung
Penelitian di Bandung Supermal – Bandung ini dilakukan oleh Akbar Ali, ST pada tahun 2004. Penelitian ini menyimpulkan bahwa keberadaan Bandung Supermal telah menyebabkan penurunan kinerja jaringan Jalan Gatot Subroto yang meliputi terjadinya peningkatan volume kendaraan, peningkatan nilai VCR dan menurunnya tingkat pelayanan Jalan Gatot Subroto. Dalam penelitian ini pengumpulan data yang dilakukan menggunakan metode traffic counting yang dilakukan pada Hari Senin, Hari Jumat, dan Hari Minggu dari jam 09.00 sampai 21.00 setiap harinya. Penghitungan kendaraan yang dilakukan terbagi menjadi dua, yaitu kendaraan yang melewati ruas Jalan Gatot Subroto dan kendaraan yang keluar/masuk Bandung Supermal. Penelitian ini merekomendasikan dua hal, yaitu pertama pengelolaan lalu lintas yang meliputi penataan pedagang kaki lima, penataan parkir, penempatan tempat perhentian angkutan umum, pembangunan fasilitas untuk pejalan kaki dan pengendalian pada persimpangan; dan kedua adalah peningkatan jalan dalam bentuk pelebaran jalan. 2.5.2
Istana Plaza (IP) – Bandung
Penelitian di Istana Plaza – Bandung ini dilakukan oleh Nurrohman W., ST pada tahun 2004. Penelitian ini menyimpulkan bahwa keberadaan Istana Plaza telah menyebabkan penurunan kinerja jaringan Jalan Pasirkaliki dan Jalan Pajajaran yang
34
meliputi terjadinya peningkatan volume kendaraan, peningkatan nilai VCR dan menurunnya tingkat pelayanan di kedua ruas jalan tersebut.. Dalam penelitian ini pengumpulan data yang dilakukan menggunakan metode traffic counting yang dilakukan pada Hari Senin, Hari Jumat, dan Hari Sabtu dari jam 10.00 sampai 22.00 setiap harinya. Penghitungan kendaraan yang dilakukan terbagi menjadi dua, yaitu kendaraan yang melewati kedua ruas studi (Jalan Pasirkaliki dan Jalan Pajajaran) dan kendaraan yang keluar/masuk Istana Plaza. Penelitian ini merekomendasikan dua hal, yaitu pertama pengelolaan lalu lintas yang meliputi penataan pedagang kaki lima, penataan parkir, penempatan tempat perhentian angkutan umum, pembangunan fasilitas untuk pejalan kaki dan pengendalian pada persimpangan; dan kedua adalah peningkatan jalan dalam bentuk pelebaran jalan. 2.5.3
Ekalokasari Plaza – Bogor
Penelitian di Ekalokasari Plaza – Bogor ini dilakukan oleh Putrianti Tunggadewi, ST pada tahun 2006. Penelitian ini menyimpulkan bahwa keberadaan Ekalokasari Plaza telah menyebabkan penurunan kinerja jaringan Jalan Pajajaran, Jalan Raya Tajur, dan Jalan Siliwangi yang meliputi terjadinya peningkatan volume kendaraan, peningkatan nilai VCR dan menurunnya tingkat pelayanan di ketiga ruas jalan tersebut.. Dalam penelitian ini pengumpulan data yang dilakukan menggunakan metode traffic counting yang dilakukan pada Hari Senin, Hari Jumat, dan Hari Minggu dan pada jamjam puncak tertentu setiap harinya. Penghitungan kendaraan yang dilakukan terbagi menjadi dua, yaitu kendaraan yang melewati ketiga ruas studi (Jalan Pajajaran, Jalan Raya Tajur, dan Jalan Siliwangi) dan kendaraan yang keluar/masuk Ekalokari Plaza. Penelitian ini merekomendasikan dua hal, yaitu pertama pengelolaan lalu lintas yang meliputi penataan pedagang kaki lima, penataan parkir, penempatan tempat perhentian angkutan umum, pembangunan fasilitas untuk pejalan kaki dan
35
pengendalian pada persimpangan; dan kedua adalah peningkatan jalan dalam bentuk pelebaran jalan.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pusat perbelanjaan Paris Van Java termasuk ke dalam kategori yang memiliki skala pelayanan regional. Dalam lingkup sistem transportasi, pusat perbelanjaan Paris Van Java ini adalah sebuah sistem kegiatan yang berpengaruh terhadap perubahan sistem pergerakan di kawasan tersebut dan dengan adanya perubahan sistem pergerakan akan menyebabkan perubahan kualitas dan kuantitas sistem jaringan yang menunjangnya. Dalam kasus ini, sistem jaringan yang dimaksud adalah jaringan jalan di sekitar pusat perbelanjaan Paris Van Java sehingga seluruh aspek yang berkaitan dengan jaringan jalan tersebut perlu dikaji. Pada akhirnya, dibutuhkan manajemen lalu lintas yang tepat sebagai sebuah tindakan terhadap perubahan yang terjadi akibat keberadaan pusat perbelanjaan Paris Van Java ini.
Setelah dipaparkan mengenai dasar-dasar teori yang digunakan dalam studi ini, maka selanjutnya dijelaskan gambaran umum wilayah studi yang meliputi gambaran Kota Bandung dan kawasan pusat perbelanjaan Paris Van Java. Penjelasan tersebut terdapat pada bab selanjutnya.
36