9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus (DM) 2.1.1 Pengertian DM Menurut
American Diabetes Association (ADA), DM adalah kelompok
penyakit metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat gangguan sekresi insulin, penurunan kerja insulin, atau akibat dari keduanya. Diagnosis DM menurut ADA jika hasil pemeriksaan gula darah: 1) kadar gula darah sewaktu lebih atau sama dengan 200 mg/dl, 2) kadar gula puasa lebih atau sama dengan 126 mg/dl, 3) kadar gula darah lebih atau sama dengan 200 mg/dl pada 2 jam setelah beban glukosa 75 pada tes toleransi glukosa (ADA, 2011). DM merupakan penyakit kronik, progresif dengan karakteristik ketidak mampuan tubuh dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, yang menyebabkan peningkatan level gula darah (Black & Hawks,2009). DM adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin(Soegondo dkk,2011). DM merupakan penyakit yang heterogonik, baik karena manifestasinya maupun karena jenisnya.DM adalah sindrom yang disebabkan oleh terganggunya insulin di dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperglikemia yang disertai
9
Universitas Sumatera Utara
10
abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Inzucchi, 2004). DM adalah gangguan kesehatan yang berupa kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula(glukosa) darah akibat kekurangan ataupun resistensi insulin(Bustan, 2007). 2.1.2 Patogenesis DM Jika
DM
berlangsung
lama
akan
mengakibatkan
mikroangiopathy,
retinopathy, neuropathy, nephropathy. Semua hal di atas diakibatkan oleh 2 hal yaitu glikosilasi non enzimatik. Jika glukosa sangat tinggi kadarnya maka dapat berikatan dengan protein tanpa bantuan enzyme. Pertama-tama akan terbentuk senyawa schiff base dan reaksi reversibel. Tingkat selanjutnya membentuk senyawa tipe amadori yang lebih stabil tapi reversibel. Tingkat lanjut akan terbentuk AGE (advanced glycosilation end product) yang irreversibel. AGE menyebabkan(Permana, 2009): a. AGE berikatan dengan protein seperti kolagen menghasilkan ikatan silang (Cross linked) yang dapat memerangkap senyawa lain di pembuluh darah besar memerangkap LDL mamacu untuk masuk ke lamina interna dari pembuluh darah, akhirnya terjadi penumpukan kolesterol mempercepat atherogenesis dan di kapiler memerangkap albumin ke membran basement sehingga membran basement menebal. Pada peristiwa ini disebut diabetes mikroangiopathy. b. AGE berikatan dengan reseptor di banyak tipe sel seperti endotel, monosit, makrofag, limfosit, dan sel mesangial. Hal ini berefek beragam aktifitas biologis seperti emigrasi monosit, pelepasan sitokin dan growth faktor dari makrofag, peningkatan permeabilitas endotel, peningkatan aktifitas koagulasi melalui sel
Universitas Sumatera Utara
11
endotel dan makrofag, dan proliferasi dan sintesis dari matriks ekstraselular oleh fibroblas dan sel otot polos. Menurut Soegondo dkk (2011), patogenesis DM berbeda berdasarkan tipe penyakit yaitu: a. DM tipe 1 Insulin tidak ada dan hal ini disebabkan karena jenis penyakit ini ada reaksi autoimun. Pada individu yang rentan (susceptible) terhadap tipe 1, terdapat adanya ICA (Islet Cell Antibody) yang meningkat kadanya oleh karena beberapa faktor pencetus seperti infeksi virus, diantarnya virus cocksakie, rubella, CMV, herpes dan lain-lain, hingga timbul peradangan pada sel beta (insulitis) yang akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel beta. Pada insulitis yang diserang hanya sel beta, biasanya sel alfa dan delta tetap utuh. Pada studi populasi ditemukan adanya hubungan antara DM tipe 1 dengan HLA DR3 dan DR4. b. DM tipe 2 Patogenesis pada DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer, gangguan Hepatic Glucose Production (HGP), dan penurunan fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. 2.1.3 Patofisiologi DM Pada penderita DM, insufisiensi produksi insulin maupun penurunan kemampuan tubuh menggunakan insulin berakibat pada peningkatan kadar glukosa darah (hipergloikemia). Hiperglikemia yang terjadi dapat mencapai angka sampai 300–1200 mg/dl. Kelainan patofisiologi yang timbul pada DM merupakan akibat dari
Universitas Sumatera Utara
12
dua faktor utama, yakni kadar glukosa darah yang tinggi dan penurunan jumlah insulin efektif yang digunakan oleh sel(Daniels, 2012). Resistensi insulin mendasar kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Teknik clamp merupakan teknik yang ideal namun tidak praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan glukosa plasma puasa juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya dijumpai pada 10% sindom metabolic. Pengukuran Homeostasis Model Assesment (HOMA) dan Quantitaive Insulin Sensitivity Check Index (QUICK) dibuktikan berkorelasi erat dengan pemeriksaan standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin. Bila melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan jaringan adipose dan sistem kekebalan tubuh, maka pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan insulin (Sudoyo dkk, 2009).
Tidak adanya glukosa yang masuk kedalam sel mengakibatkan sel mengalami kurang energi untuk proses metabolisme selular. Hal ini kemudian diinterprestasikan oleh sel-sel tubuh sebagai kondisi kekurangan glukosa sehingga tubuh akan merespon dengan berbagai mekanisme yang bertujuan untuk menimbulkan kadar glukosa darah. Respon pertama adalah timbulnya sensasi lapar, penderita akan cenderung sering merasa lapar sebagai respon terhadap rendahnya intake glukosa oleh sel. Respon yang lain adalah peningkatan produksi glukosa tubuh melalui mekanisme lipolisis dan glukoneogenesis. Lemak dan protein jaringan akan dipecah menjadi glukosa. Jika hal ini terjadi secara berkepanjangan maka tubuh akan mengalami penurunan kadar protein dalam jaringan. Selain itu pemecahan lipid akan menghasilkan produk sampingan berupa benda keton yang bersifat asam. Kondisi ini dapat mengakibatkan ketosis dan ketoasidosis yang dapat mengancam jiwa (Daniels, 2012).
Universitas Sumatera Utara
13
Penurunan produksi insulin pada penderita DM, dapat mengakibatkan gangguan metabolisme yaitu terjadi penurunan transport glukosa ke dalam sel, peningkatan katabolisme protein otot dan lipolisis. Menurut Lewis (2000), karakteristik yang menunjukkan terjadinya gangguan atau perubahan pada fungsifungsi tubuh pasien DM dapat dilihat berdasarkan tipe penyakit yaitu: 1. DM tipe I (IDDM) Tipe I di karakteristikkan adanya destruksi(kerusakan) sel beta pankreas yang disebabkan respon aoutoimun dan infeksi virus mumps. Sehingga produksi hormon insulin tidak ada, yang berakibat terjadi penurunan transport glukosa ke dalam sel. Tidak adanya transport glukosa ke dalam sel akan mengakibatkan “starvation cell” yang akan merangsang sekresi hormon yang memiliki efek anti insulin yaitu glukagon, epinephrin, cortisol dan somatostatin. Hormon anti insulin dapat meningkatkan glukosa darah dengan berbagai mekanisme kerjanya masing-masing sehingga menimbulkan hiperglikemia, adanya benda keton yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik. DM tipe I cenderung mengalami komplikasi diabetik ketoasidosis bila dipicu adanya infeksi, trauma, pembedahan dan faktor yang memerlukan energi berlebihan. 2. DM tipe II (NIDDM) Tipe 2 merupakan tipe yang sering dijumpai yaitu sekitar 90 % dari jumlah penderita DM. Peningkatan kadar glukosa darah disebabkan karena penurunan responsibilitas jaringan terhadap insulin karena destruksi reseptor insulin, penurunan sekresi insulin. Peningkatan kadar glukosa darah karena tidak terjadi
Universitas Sumatera Utara
14
transport glukosa ke dalam sel. Sedangkan proses sintesis lemak dan sintesis protein masih tetap berjalan, sehingga sering penderita tipe 2 memiliki berat badan berlebihan(obesitas). Komplikasi akut dari tipe 2 yang umum yaitu terjadi hiperosmolar hiperglikemia non ketogenik (HHNK) tetapi bila mana mendapatkan stresor yang berlebihan, dapat juga mengalami DKA(Diabetic Ketoacidosis) meskipun sangat kecil kemungkinannya. Apabila penanganan DM tidak adekuat, maka penderita DM dapat mengalami komplikasi di berbagai sistem organ dan bersifat akut maupun kronik. Komplikasi akut
meliputi diabetik ketoasidosis(IDDM), hiperosmolar hiperglikemi non
ketogenik(NIDDM) dan komplikasi hipoglikemia karena efek terapi insulin. Komplikasi kronik meliputi mikroangiopati(nephropati, retinopati dan neuropati) dan makroangiopati(CAD, stroke, penyakit pembuluh darah perifer)(Lewis, 2000). 2.1.4 Klasifikasi DM Menurut Inzucchi (2004), DM dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu: a. DM tipe I (Insulin Dependen Diabetes Mellitus atau IDDM) DM Tipe I (IDDM) muncul pada saat pankreas tidak dapat atau kurang mampu memproduksi insulin sehingga insulin dalam tubuh kurang atau tidak ada sama sekali. Glukosa di dalam darah menumpuk karena tidak dapat diangkut ke dalam sel. DM tipe ini tergantung pada insulin, oleh karena itu penderita memerlukan suntikan insulin (Tandra, 2007).
Universitas Sumatera Utara
15
DM Tipe I (IDDM) merupakan suatu gangguan autoimun(autoimmune disorder) yang ditandai dengan kerusakan sel-sel beta Langerhans pankreas. Karena itu, DM jenis ini kebanyakan ditemukan pada anak usia muda, minimal sebelum usia 35 tahun. Sebaliknya, DM II akan kebanyakan menyerang usia lanjut, karena berhubungan dengan degenerasi atau
kerusakan organ dan faktor gaya hidup
(Bustan, 2007). Menurut Brunner & Suddarth DM Tipe I disebabkan oleh faktor genetik, di mana penderita DM mewarisi predisposisi/kecenderungan terhadap terjadinya DM Tipe I, biasanya ditemukan pada individu yang memiliki antigen H. Selain itu disebabkan oleh faktor imunologi, adanya respon autoimun yang abnormal, serta adanya kerusakan sel beta pankreas. b. DM tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus atau NIDDM). DM Tipe II (NIDDM) merupakan DM yang paling sering ditemukan di Indonesia. Penderita tipe ini biasanya ditemukan pada usia di atas 40 tahun disertai berat badan yang berlebih. Selain itu diabetes tipe II ini dipengaruhi oleh faktor genetik, keluarga, obesitas, diet tinggi lemak, serta kurang gerak badan (Nabil, 2009). Kemungkinan lain terjadinya DM adalah karena sel-sel jaringan tubuh tidak peka atau resisten terhadap insulin. Resistensi terhadap insulin pada DM tipe II ini terjadi karena turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan menghambat produksi oleh sel hati (Tandra, 2007). Menurut Nabil (2009), DM juga dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu: 1) Diabetes Gestational adalah jenis DM yang muncul pada saat ibu hamil. Hal
Universitas Sumatera Utara
16
ini terjadi karena pengaruh beberapa hormon pada ibu hamil menyebabkan resisten terhadap insulin. DM ini dapat ditemukan sekitar 2-5% dalam kehamilan. Umumnya gula darah kembali normal bila sudah melahirkan, tetapi risiko ibu terkena DM tipe II akan lebih besar. 2) Diabetes Sekunder adalah diabetes yang disebabkan oleh penyakit lain yang menyebabkan produksi insulin terganggu atau meningkatkan kadar gula darah meningkat. Penyakit yang dimaksud misalnya infeksi berat, radang pankreas, penggunaan kortikosteroid, obat anti hipertensi. 2.1.5 Epidemiologi DM DM yang terdapat diseluruh dunia 90% adalah jenis DM tipe 2. Di negara berkembang, peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia dan di Afrika, ini akibat trend urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan yang tidak sehat. DM lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial yang rendah. Beberapa hal yang dihubungkan dengan faktor risiko DM adalah obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya konsumsi sayur dan buah (Riskesdas, 2010). Pada tahun 2000, prevalensi DM diperkirakan 0,19% pada orang umur <20 th dan 8,6% pada orang umur >20 th. Pada lansia >65 th prevalensi DM adalah 20,1%. Prevalensi pada pria dan wanita sama, kecuali pada usia >60 th lebih tinggi pria dibandingkan wanita (Ritz dkk, 2000). World Health Organization (WHO) menyatakan pada tahun 2005 penderita DM mencapai 217 juta dan memperkirakan pada tahun 2030 mencapai 366 juta jiwa. Adanya globalisasi dan perubahan gaya hidup(diet tinggi lemak dan aktivitas fisik rendah) menyebabkan peningkatan
Universitas Sumatera Utara
17
kejadian overweight dan obesitas. Kedua hal tersebut diketahui merupakan faktor risiko DM tipe 2, sehingga dengan semakin banyaknya orang yang mengalami overweight atau obesitas, semakin banyak pula orang yang menderita DM (Aso, 2008). Kurang lebih sepertiga penderita DM tipe 1 dan seper enam penderita DM tipe 2 akan mengalami komplikasi nefropati diabetik. Sekali nefropati diabetik muncul, interval antara onset hingga terjadi kerusakan ginjal terminal bervariasi antara empat sampai sepuluh tahun, dan hal ini berlaku untuk DM tipe 1 maupun tipe 2. Meskipun saat ini DM tipe 2 merupakan penyebab terbanyak gagal ginjal di negara barat, banyak penderita penyakit ginjal dan DM tipe 2 tidak sampai pada gagal ginjal terminal karena terjadi kematian lebih dahulu yang disebabkan oleh kerusakan sistem kardiovaskuler. Mikroalbuminuria biasanya belum muncul pada pasien DM tipe 1 yang perjalanan penyakitnya kurang dari 5 tahun. Mikroalbuminuria baru muncul pada DM tipe 1 yang sudah terjadi selama 10-15 tahun (Ritz dkk, 2008). Selama lebih dari 50 tahun tampak kecenderungan kejadian nefropati diabetik pada DM mulai berubah. Pada DM tipe 1 kejadian nefropati diabetik cenderung menurun, sedangkan pada DM tipe 2 justru meningkat. Hal ini mungkin disebabkan karena meningkatnya jumlah penderita DM tipe 2 di dunia. Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas 2010) prevalensi DM nasional adalah 1,1 %, namun angka kejadian nefropati diabetik pada DM belum diketahui dengan pasti. Prevalensi DM tipe 1 di negara tropis seperti di Indonesia sangat jarang. Ini ada hubungannya dengan letak geografis di daerah khatulistiwa dimana semakin jauh
Universitas Sumatera Utara
18
letak suatu negara dari khatulistiwa makin tinggi prevalensi diabetes tipe 1. Sebaliknya, pravelensi DM tipe-1 di Eropa misalnya di negara-negara Skandinavia tertinggi di dunia. Disamping itu faktor lingkungan dan faktor genetik juga berperan. Untuk itu, maka di masa mendatang upaya pencegahan timbulnya DM tipe 1 bukanlah suatu hal yang mustahil (Bustan, 2007). Ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi penyakit DM komplikasi adalah : 1) Kadar Glukosa Darah Glukosa Darah dalam tubuh berfungsi sebagai sumber energi atau kalori. Glukosa dalam darah berasal dari penyerapan usus dari makanan yang mengandung zat tepung/ karbohidrat dari nasi, ubi, jagung, kentang dan lain-lain. Dan sebagian dari pemecahan simpanan energi dalam jaringan (glikogen). Menurut kriteria International Diabetes Federation (IDF), American Diabetes Association (ADA), dan Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), apabila gula darah pada saat puasa di atas 126 mg/dl atau dua jam sesudah makan di atas 200 mg/dl, berarti orang tersebut menderita DM. Komplikasi DM bisa timbul pada semua organ dan semua sistem tubuh, dari kepala sampai kaki. Ini tergantung cara menjaga gula darah agar selalu normal. Semakin buruk kontrol gula darah, semakin mudah terkena komplikasi. Sebaliknya, kontrol gula yang baik dapat mencegah/menghambat terjadinya komplikasi (Tandra, 2014). Pemeriksaan kadar glukosa darah yang dilakukan di laboratorium dengan metode oksidasi glukosa atau o-toluidin memberikan hasil yang lebih akurat. Oleh
Universitas Sumatera Utara
19
karena itu untuk menentukan diagnosa DM. Namun dengan adanya uji strip glukosa darah baik yang menggunakan glucometer maupun secara kasat mata, memungkinkan penderita melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah sendiri di rumah (Soegondo, 2011). Gula darah tinggi menyebabkan kerusakan bermacam-macam sistem dan organ tubuh. Bisa merusak mata, otak, rongga mulut, paru-paru, jantung, lambung, usus, hati, empedu, ginjal, kandung kemih, sistem saraf, serta anggota gerak. Termasuk menimbulkan impotensi dan luka yang tidak kunjung sembuh. Bagaimana terjadinya komplikasi seperti ini, semua berawal dari kerusakan pembuluh darah. Gula darah tinggi merusak dinding pembuluh darah, baik pembuluh darah berukuran besar (arteri) maupun paling kecil (kapiler) (Tandra, 2011). Statistik menunjukkan, ketika berobat ke dokter, dua sampai tiga dari lima pasien menderita satu atau beberapa komplikasi lantaran penyakit DM. Namun, dengan kontrol gula darah yang baik, komplikasi-komplikasi tersebut bisa dikalahkan, atau setidaknya dikurangi. Bahkan bila disiplin dan bersungguh-sungguh, komplikasi lain yang belum tibul bisa dicegah (Tandra, 2011). 2) Aktivitas Fisik/Olahraga Penelitian yang dilakukan di USA pada 21.217 dokter US selama 5 tahun(kohort study) menemukan bahwa kasus DM tipe 2 lebih tinggi pada kelompok yang melakukan aktivitas fisik kurang dari satu kali perminggu dibanding dengan kelompok yang melakukan olah raga 5 kali seminggu. Penelitian lain yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
20
selama 8 tahun pada 87.535 perawat wanita yang melakukan olah raga ditemukan penurunan risiko penyakit DM tipe 2 sebesar 3370 (Soegondo dkk,2011). Pada penderita DM tipe 1 derajat pengaturan kadar glukosa darah akibat olah raga sangat bervariasi antar individu. Pada penderita DM tipe 1 latihan jasmani akan menyulitkan pengaturan metabolik, hingga kendali gula darah bukan merupakan tujuan latihan. Tetapi latihan endurance ternyata terbukti akan memperbaiki fungsi endotel vaskuler. Pada DM tipe 2 olahraga berperan utama dalam pengaturan kadar glukosa darah. Masalah utama pada DM tipe 2 adalah kurangnya respon reseptor terhadap insulin (resistensi insulin). Karena adanya gangguan tersebut insulin tidak dapat membantu transfer glukosa ke dalam sel (Ernawati, 2013). Lamanya manfaat olahraga akan hilang bila berhenti 3 hari, hal ini menekankan pentingnya olahraga secara teratur dan berkesinambungan. Agar benarbenar bermanfaat olahraga dilakukan 3-4 kali dalam seminggu, berkesinambungan dan dalam jangka waktu yang panjang (Suharto, 2004). Olahraga selama 30-40 menit dapat meningkatkan pemasukan glukosa kedalam selsebesar 7-20 kali lipat dibandingkan tanpa olahraga yang tepat untuk DM adalah jalan, jogging, renang, bersepeda, aerobik (Soegondo dkk,2011) 3) Diet Penderita DM hendaknya membuat perubahan yang positif dalam diet untuk menghasilkan antara lain perbaikan kadar glukosa darah dan kadar lemak darah. Pada DM tipe 1 perlu ditetapkan perencanaan makan yang didasarkan pada asupan makan sehari-hari individu dan digunakan sebagai dasar untuk mengintegrasikan terapi
Universitas Sumatera Utara
21
insulin dengan pola makan. Pada penderita DM tipe 2, hendaknya memperbaiki kadar glikemik jangka pendek dan yang mempunyai potensi meningkatkan kontrol metabolik jangka lama. Perencanaan makan hendaknya dengan kandungan zat gizi yang cukup dan disertai pengurangan total lemak terutama lemak jenuh (Soegondo dkk,2011). Pada penderita DM tipe II terjadi obesitas(gemuk berlebihan) yang dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin(resistensi insulin). Obesitas bukan karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga cadangan gula darah yang disimpan didalam tubuh sangat berlebihan. Sekitar 80% pasien DM tipe II adalah mereka yang tergolong gemuk (Smeltzer & Bare, 2002). PERKENI merekomendasikan konsumsi serat sekitar 25 gram setiap 1000 kkal dalam 24 jam. Untuk usia≥51 tahun, disarankan untuk meng konsumsi 30 gram bagi laki-laki dan 21 gram bagi wanita setiap hari. Konsumsi yang dianjurkan oleh WHO adalah 24 gram atau 10-13 kalori per 1000 kalori Bagi penderita DM, The Canadian Diabetes Association merekomendasikan konsumsi serat sebanyak 25-30 gram sehari. Sedangkan The Diabetes of Australia dan The European Association for the Study of Diabetes mengatakan bahwa diet tinggi serat baik bagi penderita DM (Prihaningtyas, 2013). The American Cancer Society, The American Heart Association dan The American Diabetic Association menyarankan 25-35 g fiber/hari dari berbagai bahan makanan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Konsensus nasional pengelolaan
Universitas Sumatera Utara
22
DM di Indonesia menyarankan 20 - 25 g/hari bagi orang yang berisiko menderita DM (Soegondo dkk, 2011). Food and Drug Aministration (FDA) Amerika Serikat membatasi konsumsi gula maksimal 10 sendok teh atau 40 gram per hari. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) maksimal 12 sendok teh atau 48 gram perhari(Depkes RI,2009). Menurut Depkes RI(2005), ukuran saat mengukur sayuran adalah sudah matang tanpa kuah dalam keadaan basah, buah buahan dalam ukuran gram, kacangkacangan diukur dalam ukuran gram dan sudah siap saji, untuk melihat daftar kandungan serat perseratus gram (sayur-sayuran, buah -buahan dan kacang-kacangan) dapat dilihat pada table berikut. Tabet 2.1. Daftar Kandungan Serat per 100 Gram Sayur-sayuran, Buahbuahan Serta Produk OlahannYa Serat/ 100gr Bayam 0.8 Daun papaya 2,1 Daun singkong 1,2 Kangkung 1 Seledri 0,7 Selada 0,6 Tomat 1,2 Paprika 7,4 Cabai 0,3 Bawang putih 1,1 Sayuran
Buah Alpukat Anggur Apel Belimbing Jagung Jambu Biji Jeruk Bali Jeruk citrun Mangga Nenas
Serat/ 100gr 1,4 1,7 4,7 0,9 2,9 5,6 0,4 2 0,4 0,4
Kacang Kedelai Kacang tanah Kacang hijau Kedelai Kecap Tahu Susu kedelai Touge Kacang panjang Tempe
Serat/100 gr 4,9 2 4,1 2,5 0,6 0,1 0,1 0,7 3,2 1,4
Universitas Sumatera Utara
23
Tabel 2.1. (Lanjutan) Serat/ 100gr Bawang merah 0,6 Kentang 0,3 Lobak 0,7 Wortel 0,9 Brokoli 0,5 Kembang kol 0,9 Asparagus 0,6 Jamur 1,2 Terong 0,1 Sawi 2,0 Buncis 3,2 Nangka 1,4 Daun kelor 1,4 Sayuran
Buah Pepaya Pisang Semangka Sirsak Srikaya Stroberry Pear -
Serat/ 100gr 0,7 0,6 0,5 2 0,7 6,5 0,3 -
Kacang -
Serat/100 gr -
Sumber: Depkes,2005
Depkes RI, (2008), Konsumsi makanan yang tidak seimbang, tinggi gula dan rendah serat juga merupakan faktor resiko DM, perencanaan makanan yang dianjurkan seimbang dengan komposisi energi yang dihasilkan oleh karbohidrat, protein, dan lemak adalah 45-65% : 10-20% : 20-25%. Secara sederhana dapat diukur dengan food model atau makanan dalam piring. Dengan prinsipnya adalah makan yang teratur dalam jadwal, Jumlah dan Jenisnya (3J). Contoh ini dapat dilihat di puskesmas sedangkan contoh proporsi makanan dalam bentuk tabel dan piramida dapat dilihat bawah ini :
Universitas Sumatera Utara
24
Tabel 2.2. Daftar Gizi Seimbang Bahan Makanan Makanan Pokok
Kebutuhan Keterangan 1 Porsi 3-4 porsi - ¾ gelas sedang nasi (100 gr), atau - 1 gelas mie kering (50 gr), atau - 3 iris roti putih (70 gr) Lauk pauk Hewani 2-3 porsi - 1 potong sedang daging sapi (30 gr), atau - 1 butir telur ayam kampung (55 gr), atau - 1 ekor sedang ikan segar ( 40 gr) Lauk pauk nabati 2-3 porsi - 2 potong sedang tempe (50 gr), atau - 1 potong besar tahu (110 gr), atau - 2 sendok makan kacang tanah ( 15 gr) Sayur-sayuran 3-4 porsi - 1 gelas setelah dimasak dan ditiriskan (100gr) Buah- buahan 3-5 porsi - 1 buah kecil pisang ambon (50 gr), atau - 1 buah sedang jeruk garut(115 gr), atau - 1 potong besar pepaya ( 190 gr) Gula Pasir 2-3 porsi - 1 sendok makan Minyak 5-6 porsi - 1 sendok the Garam 1 porsi - 1 sendok the Air minum 2 liter - 8 gelas Sumber : Depkes RI, 2008 Faktor lain yang mempengaruhi tingginya gula darah adalah Indeks Glikemik yaitu ukuran kecepatan makanan diserap menjadi gula darah, semakin tinggi indeks glikemik suatu makanan, semakin cepat dampaknya terhadap kenaikan gula darah. Indeks glikemik di atas 70 termasuk tinggi, antara 56 sampai dengan 69 sedang dan 55 kebawah adalah rendah (Soegondo dkk, 2011).
Universitas Sumatera Utara
25
Tabel 2.3. Daftar Indeks Glikemik Beberapa Makanan Jenis Makanan Roti Gandum Putih Roti Gandum utuh Jagung Tortila Nasi Putih Nasi beras merah JagungManis Sphageti Bihun Keripik jagung Bubur gandum giling Bubur beras Pisang Mangga Semangka Kurma Selai strawberry Jus apel Jus jeruk Kentang rebus Kentang goreng Wortel rebus Wortel Ubi jalar rebus Labu rebus Talas Rebus Susu lemak Susu skim Es krim Yogurt Susu kedelai Kacang merah Kacang kedelai Coklat Popcorn Keripik kentang sort drinHsoda Kerupuk Madu
Indeks 75 ± 2 74 ± 2 46 ± 4 73 ± 4 68 ± 4 52 ± 5 49 ± 2 53 ± 7 81 ± 6 55 ± 2 78 ± 9 43 ± 3 59 ± 8 76 ± 4 42 ± 4 49 ± 3 4l ± 2 50 ± 2 78 ± 4 63 ± 5 39 ± 4 7l ± l 63 ± 6 64 ± 7 53 ± 2 39 ± 3 37 ± 4 5l ± 3 4l ± 2 34 ± 4 24 ± 4 16 ±1 40 ± 3 65 ± 5 56 ± 3 59 ± 3 87 ± 2 15 ± 4
Sumber:Ostman, 2001.
Selain GI dilihat juga Glycemic Load (GL) berbeda dengan GI, GL tidak hanya menilai seberapa cepat glukosa dari suatu makan memasuki peredaran darah
Universitas Sumatera Utara
26
tetapi juga menilai seberapa banyak glukosa yarig terkandung dari makanan tersebut sehingga GL lebih menilai secara keseluruhan (the whole package), semakin rendah GL semakin kecil suatu makanan yang disajikan memicu peningkatan gula darah secara berlebih, berikut parameter dari GL: Tinggi GL 20 atau lebih, sedang GL I l19 dan rendah GL l0 atau kurang (Ostman,200l). GL dapat dihitung dengan cara mengkalikan GI dengan jumlah karbohidrat yang terkandung dari suatu makanan lalu dibagi seratus, sebagai contoh kita ambil wortel, wortel sebanyak 50 gram memiliki kandungan 5,3 gram karbohidrat(telah diketahui di atas bahwa GI wortel adalah 7l), jadi nilai GL nya adalah: (71x 5.3):100 = 3,76 Jadi wortel yang dikatakan memiliki GI yang tinggi ternyata memiliki GL yang rendah (Thompson, 2006). Karbohidrat setiap gramnya menghasilkan 4 kalori, karbohidrat lebih banyak dikonsumsi sehari-hari sebagai bahan makanan pokok, satu porsi nasi setara dengan ¾ gelas atau 100 gram, 1 gram karbohidrat menghasilkan 4 kkal, kebutuhan kalori berbeda dilihat dari jenis kelamin dan usia, untuk wanita usia 40-45 tahun 2200 kkal, usia 46-59 tahun 2100 kkal, 60 tahun keatas 1850 kkal sedangkan untuk jenis kelamin pria usia 40-45 tahun sebanyak 2800 kkal, usia 46-59 tahun2500 kkal dan usia diatas 60 tahun 2200 kkal, sedangkan kebutuhan karbohidrat adalah 60-700/o dari energi total (Almatsier,2011).
Universitas Sumatera Utara
27
4) Kepatuhan Minum Obat Keberhasilan suatu pengobatan tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas pelayanan kesehatan, sikap dan keterampilan petugasnya, sikap dan pola hidup penderita beserta keluarganya, tetapi dipengaruhi juga oleh kepatuhan pasien terhadap pengobatannya. Hasil terapi tidak akan mencapai tingkat optimal tanpa adanya kesadaran dari pasien itu sendiri, bahkan dapat menyebabkan kegagalan terapi, serta dapat pula menimbulkan komplikasi yang sangat merugikan dan pada akhirnya dapat berakibat fatal (Hussar, 1995). Berbagai
penelitian
menunjukkan
bahwa
kepatuhan
penderita
pada
pengobatan penyakit yang bersifat kronis pada umumnya rendah. Penelitian yang melibatkan pasien berobat jalan menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien tidak minum obat sesuai dengan dosis yang seharusnya (Basuki, 2009). Menurut laporan WHO pada tahun 2003, kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50%, sedangkan di negara berkembang, jumlah tersebut bahkan lebih rendah (Asti, 2006). Banyak cara yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan kepatuhan pasien seperti memberikan obat dengan jadwal minum obat satu kali sehari, memberikan obat sesuai dengan kemampuan pasien untuk membelinya, tidak mengubah jenis obat dari yang biasanya dikonsumsi oleh pasien apabila tidak dibutuhkan. Selain itu juga bisa dengan memberikan alat bantu seperti kartu pengingat obat yang bisa ditandai apabila pasien sudah minum obat, memberikan
Universitas Sumatera Utara
28
dukungan kepada anggota keluarga untuk mengingatkan pasien minum obat, dan lain sebagainya (Rantucci, 2007). 2.1.6 Pencegahan Diabetes Mellitus Penderita
DM
dapat
mencegah
atau
paling
tidak
memperlambat
perkembangan komplikasi di atas dengan memantau dan mengendalikan empat faktor yaitu (Soegondo, 2011): a. Kontrol Kadar Gula Darah Pemeriksaan kadar glukosa darah yang dilakukan di laboratorium dengan metode oksidasi glukosa atau o-toluidin memberikan hasil yang lebih akurat. Oleh karena itu untuk menentukan diagnosa DM. Namun dengan adanya uji strip glukosa darah baik yang menggunakan glucometer maupun secara kasat mata, memungkinkan pasien melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah sendiri di rumah. b. Aktivitas / Olahraga Olahraga selama 30-40 menit dapat meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel sebesar 7-20 kali lipat dibandingkan tanpa olah raga. Olahraga yang tepat untuk DM adalah jalan, jogging, renang, dan bersepeda, aerobik (Soegondo dkk, 2011). c. Diet The American Cancer Society, The American Heart Association dan The American Diabetic Association menyarankan 25-35 g fiber/ hari dari berbagai bahan makanan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Konsensus nasional
Universitas Sumatera Utara
29
pengelolaan diabetes di Indonesia menyarankan 20 - 25 g/hari bagi orang yang berisiko menderita DM (Soegondo dkk, 2011) d. Kepatuhan Minum Obat Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pasien pada pengobatan penyakit yang bersifat kronis pada umumnya rendah. Penelitian yang melibatkan pasien berobat jalan menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien tidak minum obat sesuai dengan dosis yang seharusnya (Basuki, 2009). 2.2 Komplikasi DM Pada penderita DM, jika gula darah tidak terkontrol dengan baik beberapa tahun kemudian akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat DM yang timbul dapat berupa komplikasi akut dan kronis. 2.2.1 Komplikasi Akut Komplikasi akut adalah komplikasi yang muncul secara mendadak. Keadaan bisa fatal jika tidak segera ditangani yang Termasuk dalam kelompok ini adalah: a. Hipoglikemia (glukosa darah turun terlalu rendah) Menurut Fishbein dan Palumbo, hipoglikemia adalah suatu keadaan di mana konsentrasi atau kadar gula di dalam darah terlalu rendah (<60mg/dl), yang dapat terjadi pada pasien yang menerima suntikan insulin dan obat anti DM. Hipoglikemia ini terjadi jika pemberian dosis insulin atau obat anti DM tidak tepat, latihan fisik atau olahraga berlebihan, menunda jadwal makan setelah minum obat, serta kebiasaan konsumsi alkohol (Kronerberg, 2008).
Universitas Sumatera Utara
30
Pada saat mendapat suntikan penderita harus makan dengan kalori yang sesuai untuk mengimbangi efek insulin. Jadwal makan juga haruslah teratur, tiga kali makan utama dan selingan dua kali di antara makan utama, makan snack pada malam hari sangat penting karena makanan hanya dapat tahan hingga jam tiga pagi (Nabil,2009). Olahraga membakar glukosa dalam tubuh, tetapi perlu diperhatikan kesesuaian antara olahraga dengan dosis obat dan pola diet penderita. Latihan fisik dan olahraga berlebihan dapat menyebabkan hipoglikemia pada malam hari atau keesokan harinya disebut dengan delayed onset low blood sugar. Pengaruh alkohol bekerja dengan menghambat kemampuan hati untuk melepaskan glukosa, alkohol juga menghambat kerja hormon yang menaikkan glukosa darah serta meningkatkan efek insulin, dan dapat menyebabkan hipoglikemia berat (Tandra, 2007). Tanda dari gejala hipoglikemia dapat bervariasi tergantung penurunan kadar glukosa darah. Keluhan pada dasarnya dapat berupa keluhan pada otak, ini dikarenakan otak tidak mendapat kalori yang cukup sehingga mempengaruhi fungsi intelektual, antara lain sakit kepala, kurang konsentrasi, mata kabur, lelah, kejang hingga koma. Keluhan lain seperti lapar, nadi cepat, kejang atau koma. Keluhan akibat efek samping hormon lain yang berusaha menaikkan kadar glukosa darah, misalnya pucat, berkeringat, nadi cepat, berdebar, cemas serta rasa lapar (Tandra, 2007). b. Hiperosmolar Non-ketotik Pada keadaan tertentu gula darah dapat sedemikian tingginya sehingga darah menjadi kental. Dalam keadaan seperti ini dinamakan Hiperosmolar Non-Ketotik
Universitas Sumatera Utara
31
(HNOK), atau Diabetic Hiperosmolar Syndrome (DHS).Kadar glukosa darah dapat mencapai nilai 600mg/dl.Glukosa dapat menarik air keluar sel dan selanjutnya keluar bersama urin, dan tubuh mengalami dehidrasi. Penderita DM dalam keadaan ini menunjukkan gejala nafas cepat dan dalam, banyak kencing, sangat haus, lemah, kaki dan tulang kram, bingung, nadi cepat, kejang dan koma (Tandra, 2007). Hiperglikemia dapat terjadi jika masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului stress akut (Suryono, 2004). c. Ketoasidosis (terlalu banyak asam dalam darah) Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang tinggi dan kadar hormon yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak untuk sumber energi pemecahan lemak tersebut kemudian menghasilkan badan-badan keton di dalam darah (ketosis). Ketosis ini menyebabkan derajat keasaman (PH) dalam darah menurun (asidosis).Pada pasien dengan ketoasidosis diabetik umumnya memilki riwayat asupan kalori (makanan) yang berlebihan atau penghentian obat diabetes atau insulin.Gejala yang timbul dapat berupa kadar gula darah tinggi (>240 mg/dl). Terdapat keton dalam urin, buang air kecil banyak hingga dehidrasi, napas berbau aseton, lemas hingga koma (Nabil, 2009).
Universitas Sumatera Utara
32
2.2.2 Komplikasi Kronik Komplikasi kronik ini terjadi karena glukosa darah berada di atas normal berlangsung secara selama bertahun-tahun. Komplikasi timbul secara perlahan, kadang tidak diketahui, tetapi berangsur semakin berat dan membahayakan. Komplikasi kronik dapat berupa komplikasi makrovaskular diantaranya a. Kerusakan Saraf (Neuropati Diabetik) Baik pada penderita DM tipe I maupun pada penderita DM tipe II bisa terkena neuropati. Hal ini bisa terjadi setelah terkena DM dalam waktu yang lama, dengan glukosa darah tinggi yang tidak terkontrol. Dalam jangka lama, glukosa darah yang tinggi akan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makanan ke saraf menyebabkan terjadinya kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik. Saraf tidak dapat mengirim dan menghantarkan pesan-pesan rangsangan impuls saraf. Keluhan yang terjadi bervariasi, mungkin nyeri pada tangan dan kaki, gangguan pencernaan dan lain sebagainya (Tandra, 2007). Neuropati deabetik yang paling sering adalah neuropati perifer. Kerusakan ini mengenai saraf perifer yang biasanya terjadi di anggota gerak bawah yaitu kaki dan tungkai bawah (Tandra, 2007). Saraf yang telah rusak membuat penderita DM tidak dapat merasakan sensasi sakit, panas, dingin, pada tangan dan kaki.Gejala umum yang biasanya terjadi berupa rasa kebas (baal) dan kelemahan pada kaki dan tangan. Gejala dapat berlanjut dengan rasa tebal di kaki, tidak ada rasa nyeri pada kaki, penderita tidak dapat mengetahui adanya infeksi. Apabila terjadi goresan luka akan menyebabkan munculnya ulkus (borok) di kaki yang disebut dengan neuropatic
Universitas Sumatera Utara
33
ulcer. Bila tidak diobati akan menyebabkan infeksi dan kerusakan tulang yang memerlukan tindakan amputasi. Gangguan yang muncul setelahnya adalah gangguan pada pembuluh darah, sehingga aliran darah tidak mencukupi ke kaki dan tangan menyebabkan luka dan infeksi sukar sembuh (Nabil, 2009). Neuropati yang lain yang dapat terjadi adalah neuropati otonom, saraf yang rusak adalah saraf otonom yaitu saraf yang mengatur bagian tubuh yang tidak disadari misalnya denyut jantung, saluran cerna kandung kemih, alat kelamin dan kelenjar keringat. Saraf ini berhubungan dengan sum-sum tulang belakang dan otak. Neuropati otonom kardiovaskuler ditandai dengan denyut jantung yang cepat terutama pada saat tidur. Denyut nadi bisa juga berubah pada saat bernapas. Pada saat nafas denyut nadi jadi lebih lambat, saat mengeluarkan nafas denyut nadi menjadi lebih lambat (Tandra, 2007). Neuropati gastrointestinal terjadi pada saraf otonom lambung dan usus. Penyerapan makanan menjadi lambat yang menyebabkan kembung, rasa penuh walau baru makan sedikit, mual dan bahkan muntah. Masalah lambung pada penderita DM disebabkan oleh kerusakan saraf sehingga fungsi lambung untuk menghancurkan makanan menjadi lemah dan lambung menggelembung dan menyebabkan proses pengosongan lambung (Tjokroprawiro, 2007). Neuropati otonom genitourinarius menyerang organ genital dan saluran kemih. Termasuk gangguan ereksi, sukar mencapai organisme serta gangguan kemih. Pada penderita DM gangguan ereksi disebabkan oleh rusaknya urat saraf pada alat kelamin. Kesukaran pengosongan kandung kemih disebut dengan diabetic neurogenic
Universitas Sumatera Utara
34
bladder di mana bila kantung penuh tidak terasa, bila ingin berkemih juga tidak terasa. Neuropati otonom adalah jenis komplikasi yang lain yang ditandai dengan keringat yang abnormal. Pada lengan dan tungkai hanya ada sedikit keringat dan tubuh bagian tengah dan wajah berkeringat banyak. Neuropati otonom pada pupil mata, mengatur masuknya sinar ke dalam bola mata. Di tempat yang gelap pupil tetap kecil dan tidak membuka lebar walaupun berada di dalam ruangan gelap (Tandra, 2007). Sebagian besar komplikasi kaki diabetik mengakibatkan amputasi yang dimulai dengan pembentukan ulkus di kulit. Risiko amputasi ekstrimitas bawah 15-46 kali lebih tinggi pada penderita diabetik dibandingkan dengan orang yang tidak menderita DM. Komplikasi kaki diabetik adalah alasan yang paling sering terjadinya rawat inap pasien dengan prevalensi 25% dari seluruh rujukan DM di Amerika Serikat dan Inggris (Yumizone, 2008).
b. Mata (Retinopati) Penyakit DM dapat merusak mata dan menjadi penyebab kebutaan. Ada tiga macam disebabkan oleh DM yaitu retinopati, katarak, glukoma. Retinopati diabetik merupakan salah satu komplikasi yang serius. Diawali kerusakan pembuluh darah kapiler pada jaringan yang berfungsi sebagai sensor cahaya (retina). Gangguan pembuluh darah kapiler pada retina mata berupa melemahnya dinding pembuluh kapiler. Selanjutnya dinding pembuluh menggembung membentuk suatu struktur yang disebabkan mikroaneurisme, pembentukan mikroaneurisme akan diiringi dengan penyumbatan pembuluh kapiler (Nabil, 2009).
Universitas Sumatera Utara
35
Pada retinopati yang non-proliferatif (background retinopati) terjadi pembengkakan dan kelemahan retina. Retinopati proliferatif yang terjadi perdarahan retina serta terbentuk pembuluh darah merusak retina dan membuat mata kabur.Katarak adalah kelainan mata kedua pada penderita DM yang bisa mengakibatkan kebutaan. Lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar. Katarak tergantung pada usia, dan lamanya DM. Glaukoma adalah terjadinya peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf mata (Tandra, 2007). c. Jantung Penyakit DM dapat menyebabkan berbagai penyakit jantung dan pembuluh darah(kardiovaskuler) antara lain angina(nyeri dada), serangan jantung, tekanan darah tinggi, penyakit jantung.DM merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah yang mengakibatkan suplai darah berkurang dan tekanan darah meningkat. Keluhan sakit jantung sangat bervariasi, biasanya tidak ada keluhan, tetapi selanjutnya akan timbul gejala akibat penyumbatan antara lain sesak nafas, nyeri dada, rasa lelah, sakit kepala, detak jantung cepat dan tidak teratur, berkeringat banyak. Akan tetapi, kadang pada penderita DM disertai tanpa rasa nyeri. Hal ini disebabkan karena
saraf yang
mengantar rasa nyeri telah rusak (Tandra, 2007). d. Kerusakan Ginjal (Nefropati Diabetik) Nefropati diabetik adalah komplikasi pada ginjal yang dapat berakibat dengan gagal ginjal. Komplikasi ini ditemukan pada 35-45% penderita DM tipe I. Kerusakan
Universitas Sumatera Utara
36
saringan ginjal timbul akibat glukosa darah yang tinggi (umumnya di atas 200mg/dl) dan dipengaruhi oleh tekanan darah yang tinggi (Rindiastuti, 2007). Semakin lama terkena DM, pasien akan lebih mudah mengalami kerusakan ginjal. Pada awalnya terjadi peningkatan Glomerular Filtration Rate hingga 150ml/menit pada penderita DM. Apabila keadaan ini berlanjut bertahun-tahun akan ada sedikit protein yang keluar ke dalam urine. Keadaan ini disebut sebagai mikroalbuminuria yaitu keluarnya protein albumin dalam jumlah 30-300 mg dalam 24 jam. Selanjutnya akan menimbulkan makroalbuminuria atau keluarnya protein dalam jumlah banyak dalam urin(proteinuria) yang akan menjurus ke nefropati stadium lanjut atau end-stage renal disease (Tandra, 2007).
2.3 Gangren Salah satu masalah komplikasi kronis yang paling ditakuti adalah gangren, karena sering berakhir dengan kecacatan dan kematian. Masalah kaki diabetik menjadi masalah yang rumit terutama di Negara berkembang seperti di Indonesia karena beberapa hal yaitu 1) masih sedikit sekali orang yang berminat menggeluti kaki diabetik, 2) belum ada pendidikan khusus untuk mengelola kaki diabetik, 3) pengetahuan masyarakat masih rendah khusunya mengenai kaki diabetik , dan 4) besarnya biaya yang dibutuhkan dalam pengelolaan kaki diabetik (Ernawati, 2013).
Universitas Sumatera Utara
37
2.3.1 Definisi Gangren Gangren adalah istilah medis yang digunakan untuk
menggambarkan
kematian area tubuh. Ini terjadi ketika pasokan darah terpotong ke bagian yang terganggu sebagai akibat dari berbagai proses, seperti infeksi, pembuluh darah (berkaitan pembuluh darah), penyakit atau trauma, Gangren dapat melibatkan bagian manapun dari tubuh; situs yang paling umum termasuk jari kaki, jari, kaki, dan tangan (Nirwana, 2011). Ulkus diabetik adalah salah satu bentuk komplikasi kronik DM berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob (Tambunan, 2006). Kaki Diabetik adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat DM yang tidak terkendali dengan baik yang disebabkan olah gangguan pembuluh darah, gangguan persyarafan dan infeksi. Kaki Diabetik merupakan gambaran secara umum dari kelainan tungkai bawah secara menyeluruh pada penderita DM yang diawali dengan adanya lesi hingga terbentuknya ulkus yang sering disebut dengan ulkus kaki diabetik yang pada tahap selanjutnya dapat dikategorikan dalam gangren, yang pada penderita DM disebut dengan gangren diabetik (Misnadiarly, 2006).
Universitas Sumatera Utara
38
2.3.2 Klasifikasi Gangren Ada berbagai macam klasifikasi gangren, mulai dari klasifikasi oleh Edmonds dari King’s College Hospital London, klasifikasi Liverpool, klasifikasi wagner, klasifikasi texas, serta yang lebih banyak digunakan adalah yang dianjurkan oleh International Working Group On Diabetic Foot karena dapat menentukan kelainan apa yang lebih dominan, vascular, infeksi, neuropatik, sehingga arah pengelolaan dalam pengobatan dapat tertuju dengan baik. Klasifikasi menurut Wagner (Ernawati, 2013): Derajat 0 = tidak ada lesi luka, kulit utuh dan mungkin disertai kelainan bentuk kaki atau selulitis. Derajat 1 = ulkus superfisial dan terbatas di kulit Derajat 2 = ulkus dalam mengenai tendon, kapsula sendi atau fasia yang dalam tanpa akses Derajat 3 = ulkus yang dalam disertai abses, osteomyelitis atau sepsis sendi Derajat 4 = gangren yang terlokalisasi pada kaki bagian depan atau tumit Derajat 5 = gangren seluruh kaki dan sebagian tungkai bawah. 2.3.3 Jenis-jenis Gangren Jenis-jenis gangren menurut Nirwana (2011): a. Gangren
kering disebabkan oleh pengurangan aliran darah melalui arteri,
tampaknya secara bertahap dan berlangsung perlahan – lahan, pada kebanyakan orang, bagian yang sakit tidak menjadi terinfeksi, dalam jenis gangren, jaringan
Universitas Sumatera Utara
39
menjadi dingin dan hitam, mulai mengering, dan akhirnya Sloughs off. Ganggren kering sering terlihat pada orang dengan penyumbatan arteri ( Arterisklerosis ) akibat peningkatan kadar kolesterol, diabetes, merokok, dan faktor genetik dan lainnya. b. Gangren basah atau lembab berkembang sebagai komplikasi dari luka yang terinfeksi yang tidak diobati, pembengkakan akibat infeksi bakteri menyebabkan penghentian tiba-tiba aliran darah, penghentian aliran darah memfasilitasi invasi otot-otot oleh bakteri dan perkalian dari bakteri karena melawan penyakit sel ( sel darah putih ) tidak bias mencapai bagian yang sakit. c. Gangren Gas adalah Jenis gangren basah yang disebabkan oleh bakteri yang dikenal sebagai clostridia. Clostridia adalah jenis infeksi bakteri penyebab yang tumbuh hanya dalam ketiadaan oksigen, sebagai clostridia tumbuh, mereka memproduksi racun dan gas beracun, sehingga kondisi ini disebut gas gangren. 2.3.4 Penyebab Gangren Penyebab gangren menurut Nirwana (2011): a. Kondisi selanjutnya merupakan faktor risiko untuk pengembangan gangren; b. Cedera atau trauma, seperti cedera naksir, luka bakar berat, atau radang dingin; c. Penyakit yang mempengaruhi sirkulsi darah, seperti arterisklerosis, diabetes, merokok atau penyakit Nayraud. d. Infeksi luka.
Universitas Sumatera Utara
40
2.3.5 Gejala Gangren Menurut Nirwana (2011) gejala gangren dapat dibedakan berdasarkan jenisnya yaitu: a. Gangren Kering : 1) Daerah yang terkena menjadi dingin dan mati rasa. 2) Awalnya ,daerah yang terkena menjadi merah. 3) Kemudian , mengembangkan perubahan warna coklat. 4) Akhirnya, menjadi hitam dan keriput. b. Gangren Basah atau Lembab : 1) Daerah yang terkena menjadi bengkak dan meluruh 2) Menyakitkan 3) Daerah luka berdarah 4) Luka menghasilkan bau busuk 5) Luka menjadi hitam 6) Timbul demam. c. Gangren Gas 1) Luka terinfeksi. 2) Sebuah debit coklat atau merah atau berdarah dan cairan dari jaringan yang terkena. 3) Gas yang dihasilkan oleh clostridia dapat menghasilkan sensasi bergerak ketika daerah yang terkena ditekan.
Universitas Sumatera Utara
41
4) Terjadi pembengkakan. 5) Nyeri parah pada daerah yang terkena. 6) Timbul demam, denyut jantung meningkat dan bernafas cepat jika racun menyebar ke aliran darah.
2.4 Landasan Teori DM adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin(Soegondo dkk,2011). Faktor risiko yang berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler dibagi dalam 2 kategori, yaitu : dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang dapat dimodifikasi adalah: merokok, dislipidemia, hipertensi, DM, obesitas, faktor diet, faktor thrambogenic, rendahnya aktifitas fisik, dan konsumsi alkohol berlebihan. Sedang yang tidak dapat dimodifikasi yaitu adanya riwayat penyakit jantung, usia dan gender (Permana, 2009). Dalam penelitian ini, faktor risiko yang memengaruhi penyakit DM komplikasi gangren: a. Kontrol kadar gula darah Menurut Nabil (2009), pemantauan status metabolik penyandang DM merupakan hal yang sangat penting. Hasil pemantauan tersebut digunakan untuk menilai manfaat pengobatan dan sebagai pedoman penyesuaian diet, latihan jasmani, dan obat-obatan untuk mencapai kadar gula (glukosa) darah senormal mungkin, serta
Universitas Sumatera Utara
42
terhindar dari berbagai komplikasi. Status metabolik dapat dinilai dari beberapa parameter, seperti : a) Perasaan sehat secara subjektif b) Perubahan berat badan c) Kadar glukosa darah dan HbA1C/A1c d) Kadar glukosa urine dan keton urine e) Kadar lemak (lipid) darah Pemeriksaan glukosa darah secara berkala memang penting untuk dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan sasaran terapi diabetes dan melakukan penyesuaian dosis obat, bila sasaran belum tercapai. Namun pemeriksaan glukosa urine hanya dapat mendeteksi kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia), tetapi tidak dapat membedakan glukosa darah normal dan rendah (hipoglikemia). Hasil pemeriksaan sangat tergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat digunakan untuk menilai keberhasilan terapi (Nabil, 2009). Jumlah glukosa dalam darah tergantung kepada keseimbangan antara jumlah yang masuk dan yang keluar. Glukosa masuk ke dalam darah dari tiga macam sumber yaitu makanan yang mengandung hidratarang, glikogen dan sebagian asam amino dipecah oleh hepar untuk menghasilkan glukosa Kadar glukosa darah puasa (BCG) nuchter yang normal berkisar 3-5 mmol/l atau 80-120 mg/100 ml. Kadara ini akan meningkat mencapai nilai maksimal 8 mmol/l atau 200 mg/100 ml pada jam pertama setelah mengkonsumsi glukosa. Kenaikan kadar glukosa darah ini diubah oleh kerja
Universitas Sumatera Utara
43
insulin yang dihasilkan sebagai reaksi terhadap peningkatan kadar glukosa darah (Beck, 2011). Pemeriksaan kadar glukosa darah yang dilakukan di laboratorium dengan metode oksidasi glukosa atau o-toluidin memberikan hasil yang lebih akurat. Oleh karena itu untuk dianjurkan pemeriksaan menggunakan metode o-toluidin dalam mendiagnosa DM. Namun dengan adanya uji strip glukosa darah baik yang menggunakan glucometer maupun secara kasat mata, memungkinkan pasien melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah sendiri di rumah (Soegondo, 2011). Menurut Arisman (2010), pemeriksaan kadar gula darah diperlukan untuk menentukan jenis pengobatan serta modifikasi diet. Ada dua macam pemeriksaan untuk menilai ada/ tidaknya masalah pada glukosa darah seseorang : 1) Pertama, pemeriksaan gula darah secara langsung setelah berpuasa sepanjang malam.
Uji kadar gula darah puasa (Fasting blood glucose tes) merupakan
pemeriksaan baku emas (gold standard) untuk diagnosis DM. Seseorang didiagnosis DM manakala kadar gula darah puasanya, setelah dua kali pemeriksaan, tidak beranjak dari nilai di atas 140 mg/dl. 2) Kedua, penilaian kemampuan tubuh dalam menangani kelebihan gula seusai minum cairan berkadar glukosa tinggi
yang diperiksa dengan test toleransi
glukosa oral (Oral glucose tolerance test). Caranya, darah pasien yang telah berpuasa selama 10 jam (jangan lebih dari 16 jam) diambil untuk diperiksa. Tabel berikut memperlihatkan patokan kadar glukosa darah sewaktu puasa.
Universitas Sumatera Utara
44
Tabel 2.4. Patokan Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa untuk Menyaring dan Mendiagnosis DM
Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dL) Kadar glukosa darah puasa (mg/dL)
Plasma vena Darah kapiler Plasma vena Darah kapiler
Bukan < 100 < 90 < 100 < 90
Belum pasti 100-199 90-199 100-125 90-99
Pasti ≥200 ≥200 ≥126 ≥100
Segera setelah darah diperoleh, pasien diberi minuman yang mengandung 75 gram glukosa (1,75 g/kgBB) untuk anak-anak dan 100 g untuk wanita hamil). Darah pasien kemudian diambil lagi setelah ½, 1 . 2, 3 jam untuk diperiksa. Kadar gula darah ≤ 110 mg/dl dianggap sebagai respon gula darah normal. Gula darah puasa disimpulkan terganggu (impaired fasting glucose)jika hasil pemeriksaan menunjukkan pada kisaran angka ≥110 hingga ≤126 mg/dl. Jika hasil gula darah mencapai angka ≥140 sampai <200 mg/dl pada 2 jam postprandial, dilakukan sebagai toleransi glukosa terganggu(impaired glucose postpranadial). Pasien dipastikan mengidap DM seandainya kadar gula darah 2 jam post pranadial bernilai ≥200 mg/dl. b. Aktivitas fisik / olahraga Sebelum penderita DM mulai berolah raga, wajib menjalani serangkaian pemeriksaan fisik untuk menapis kemungkinan penyulit Mikro dan Makrovaskular, yang mungkin mengalami eksaserbasi akibat olah raga. Sistem organ yang harus dicermati ialah system kardiovaskular (tekanan darah serta tanda penyakit mikrovaskular dan makrovaskular), sistem saraf (neuropati), sistem Muskuloskeletal (sendi dan tungkai), mata(retinopati), ginjal(nefropati), Sistem gastrointestinal (paresis usus, diare).(Ernawati, 2003; Draznin MB, 2000).
Universitas Sumatera Utara
45
Untuk memastikan apakah gula darah berada dalam keadaan stabil sebaiknya para penderita DM memeriksakan diri 30 menit dan beberapa saat sebelum kegiatan dilangsungkan.Tujuan pemeriksaan ini ialah untuk menentukan apakah gula darah turun begitu cepat atau cukup stabil. Jika gula darah cepat sekali anjlok, harus ditambah kudapan sebelum melakukan kegiatan. Cara ini bermamfaat dan sangat membantu, terutama jika kegiatan akan dilangsungkan ketika insulin kerja panjang telah mencapai kadar puncak. DM harus didorong untuk menguji gula darah setiap 30–45 menit, mulai dari awal hingga akhir kegiatan. Panduan ini merupakan upaya pasien untuk memastikan pengaruh olah raga terhadap pengendalian gula darah(Arisman, 2010). Olahraga selama 30-40 menit dapat meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel sebesar 7-20 kali lipat dibandingkan tanpa olah raga. Olahraga yang tepat untuk DM adalah jalan, jogging, renang, dan bersepeda aerobik (Soegondo dkk, 2011). c. Diet Menurut Beck (2011), diet DM bagi penderita DM bertujuan untuk : 1) Memulihkan dan mempertahankan kadar gula glukosa darah dalam kisaran nilai yang normal sehingga mencegah terjadinya glikosuria beserta gejala-gejalanya. 2) Mengurangi besarnya perubahan kadar glukosa darah postprandial. Selain menormalisasi kadar glukosa darah, juga dapat mencegah terjadinya komplikasi lanjut yang mencakup penyakit mikrovaskuler.
Universitas Sumatera Utara
46
3) Memberikan
masukan
semua
jenis
nutrient
yang
memadai
sehingga
memungkinkan pertumbuhan normal dan perbaikan jaringan 4) Memulihkan dan mempertahankan berat badan yan normal. Diet DM dirancang berdasarkan jumlah kalori yang dibutuhkan serta kandungan karbohidrat (gram) dalam makanan yang tersedia. Bagi DM yang memerlukan insulin, diet mesti disusun bukan hanya berdasarkan jumlah kebutuhan akan kalori dan kandungan karbohidrat dalam makanan, tetapi juga berpedoman pada jenis insulin yang akan digunakan. Karena itu, onset, puncak, dan lama kerja insulin yang akan digunakan harus diketahui dan dimengerti. Waktu makan dan saat pemberian insulin mesti diterapkan setiap hari agar gula darah dapat terkendali secara efektif . Pemberian insulin tanpa diikuti pemberian glukosa (melalui makanan) akan membuahkan kondisi hipoglikemia, sementara pemberian glukosa tanpa insulin menyebabkan keadaan hiperglisemia. Berdasarkan catu energi yang dianjurkan PERKENI (2006) dalam Arisman (2010), kontribusi karbohidrat, lemak, dan protein sebagai pemasok energi untuk penderita DM berturut-turut 325 gram karbohidrat, 75 gram lemak, dan 44 gram protein. Adapun langkah-langkah penghitungan diet DM: 1. Susu, dikonsumsi 2 kali sehari (1 gelas susu = 9 gram karbohidrat dan 7 gram protein). 2. Buah, bias dikonsumsi tiap kali makanan utama dan kudapan (2 porsi, dan tiap 1 porsi = 10 gram karbohidrat). 3. Sayuran, dikonsumsi 2 kali (1 porsi setiap kali bersantap = 10 gram karbohidrat dan 3 gram protein).
Universitas Sumatera Utara
47
4. Nasi, dikonsumsi 5½kali (1 porsi = 40 gram karbohidrat dan 4 gram protein). 5. Minyak, dikonsumsi 5 porsi (1 porsi = 5 gram lemak). Petugas kesehatan menganjurkan semua pasien DM mengikuti beberapa nasehat diet yaitu: 1) Bagi pasien DM yang tidak memerlukan suntikan insulin tetap membutuhkan nasehat guna menjamin penggunaan insulin tubuh yang ada secara efisien. 2) Bagi pasien DM yang memerlukan suntikan insulin membutuhkan nasehat guna menjamin jadwal makan yang tepat dan jumlah hidratarang dalam makanan yang sesuai dengan aktivitas hormon insulin yang disuntikkan. 3) Bagi pasien DM yang obes perlu memperoleh nasehat diet untuk mengurangi berat badan (Beck, 2011).
Untuk mengetahui jenis-jenis diet pasien DM, Beck (2011) menggolongkan menjadi: 1. Diet Rendah Kalori Prioritas utama dalam mengatasi pasien diabetes yang obesitas adalah menuruntkan berat badan. Ada berbagai cara diet untuk menurunkan berat badan. Apabila penyakit diabetesnya ringan, setiap diet rendah kalori dapat digunakan asalkan mempunyai nilai gizi yang memadai dan memberikan landasan bagi diet selanjutnya untuk mempertahankan berat badan. Pasien diabetes yang kelebihan berat badan mula-mula harus dimotivasi dahulu sehingga mau menurunkan berat badannya. Pemantauan berat badan harus diperhatikan secara teratur.
Universitas Sumatera Utara
48
2. Diet Bebas Gula Jenis ini digunakan untuk pasien DM yang berusia lanjut dan tidak memerlukan suntikan insulin. Diet bebas gula diterapkan berdasarkan prinsip yaitu tidak memakan gula dan makanan yang mengandung gula dan mengkonsumsi makanan sumber hidratarang sebagai bagian dari keseluruhan hidangan secara teratur. Makanan bagi pasien DM harus mengandung hidratarang dalam bentuk pati dan dibagi menjadi beberapa bagian dengan interval yang teratur selama sehari. Pemberian hidratarang dalam bentuk pati secara teratur akan memberikan keseimbangan yang baik antara masukan hidratarang dan insulin yang tersedia. 3. Sistem Penukaran Hidratarang Sistem ini bertujuan untuk menghasilkan suatu metode pengaturan hidratarang yang tepat. Sistem penukaran hidratarang digunakan pada pasien DM yang mendapat suntikan atau obat-obat hipoglikemik oral dengan dosis tinggi. Diet ini lebih rumit diikuti, tetapi mempunyai kelebihan yaitu lebih fleksibel dan bervariasi ketimbang diet jenis bebas gula. Faktor yang harus diperhatikan untuk mengetahui jumlah satuan penukar (SP) hidratarang yang boleh diberikan kepada pasien DM selama sehari, yaitu kebutuhan total energi pasien dan persentase dari kebutuhan total energi yang harus disediakan dalam bentuk hidratarang. Kebutuhan total energi ditentukan setelah diet terakhir selesai dinilai. Biasanya 55% dari total energi yang disediakan untuk pasien DM. Jumlah SP hidratarang yang boleh diberikan kepada pasien DM memperlihatkan variasi yang luas. Sebagai contoh pasien DM yang overweight mungkin hanya
Universitas Sumatera Utara
49
diperbolehkan mendapatkan 12 SP (120 gram) hidratarang/ hari sedangkan untuk pasien DM dengan berat badan ideal boleh diberikan 30 SP(300 gram) hidratarang/ hari. Cara pembagian satuan penukar hidratarang dalam sehari tergantung kepada jenis terapi yang diberikan untuk seorang pasien DM. Tujuan pembagian ini adalah untuk mengimbangkan aktivitas insulin dengan makanan sehingga dapat mencegah keadaan hipoglikemia maupun hiperglikemia. Pasien DM yang diobati dengan slowacting insulin atau preparat hipoglikemik oral harus makan dengan pembagian hidratarang yang merata dalam sehari. Namun bagi pasien yang memperoleh terapi campuran insulin (fast acting insulin), sebagian besar hidratarang harus dimakan pada saat aktivitas insulin mencapai pundaknya. d. Kepatuhan Minum Obat Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan pasien pada pengobatan penyakit yang bersifat kronis pada umumnya rendah.Penelitian yang melibatkan pasien berobat jalan menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien tidak minum obat sesuai dengan dosis yang seharusnya (Basuki, 2009). Konsep hidup sehat H.L.Blum sampai saat ini masih relevan untuk diterapkan. Untuk menciptakan kondisi sehat diperlukan suatu keharmonisan dalam menjaga kesehatan tubuh. H.L Blum menjelaskan ada empat faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Keempat faktor tersebut merupakan faktor determinan timbulnya masalah kesehatan yaitu faktor perilaku/gaya hidup (life style), faktor
Universitas Sumatera Utara
50
lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), faktor pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan). Perilaku sehat manusia mempunyai kontribusi, yang apabila dianalisis lebih lanjut kontribusinya lebih besar, sebab disamping berpengaruh langsung terhadap pasien DM, juga berpengaruh tidak langsung melalui lingkungan terutama lingkungan buatan manusia, sosio, budaya, serta faktor pelayanan kesehatan atau fasilitas kesehatan di rumah sakit. Selanjutnya dapat digambarkan dengan kerangka teori menurut H.L Blum sebagai berikut: Keturunan
Pelayanan Kesehatan
Status
Lingkungan
Kesehatan
(Environment)
Perilaku (Behaviour) Gambar 2.1. Kerangka Teori Blum Sumber: Notoatmodjo, 2010
Universitas Sumatera Utara
51
2.5 Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori di atas, selanjutnya dapat digambarkan bagan kerangka konsep sebagai berikut: Variabel Independen
Variabel Dependen
Faktor Risiko : Pelayanan Kesehatan : - Kadar gula darah - Kepatuhan minum obat
Kasus DM Komplikasi Gangren
Perilaku : - Aktivitas fisik/olahraga - Diet
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara