BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Diabetes Melitus
2.1.1 Pengertian Diabetes melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut American Diabetes Association (ADA) DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelaianan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2011). Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit dengan gejala konsentrasi glukosa dalam darah yang meningkat (hiperglikemia) dan lama kelamaan dapat menimbulkan terjadinya komplikasi kronis pada mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (Soegondo, 2011). Jadi dapat disimpulkan Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang mengalami kelainan metabolisme yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia akibat terjadi gangguan pada produksi insulin, kerja insulin atau keduanya yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah. 2.1.2 Klasifikasi DM dibagi menjadi beberapa tipe yang berbeda, klasifikasi DM dibagi berdasarkan penyebab, perjalanan klinis dan terapinya. Menurut Smeltzer & Bare (2002), adapun klasifikasi yang paling utama DM dibagi menjadi DM tipe I dan
9
10
tipe II. DM tipe I terjadi jika pankreas hanya menghasilkan sedikit atau sama sekali tidak menghasilkan insulin, sehingga penderita selamanya tergantung insulin dari luar, umumnya terjadi pada penderita yang berusia kurang dari 30 tahun. DM tipe II terjadi pada keadaan pankreas tetap menghasilkan insulin, terkadang lebih tinggi dari normal, tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya. Biasanya terjadi pada usia diatas 30 tahun karena kadar gula darah meningkat secara ringan namun progresif setelah usia 50 tahun terutama pada orang yang tidak aktif dan mengalami obesitas. 2.1.3 Patofisiologi Insulin disekresikan oleh sel-sel beta yang merupakan salah satu dari empat tipe sel dalam pulau langerhans pankreas. Insulin merupakan hormon anabolik atau hormon untuk menyimpan kalori (storage hormone). Apabila sesorang makan makanan, sekresi insulin akan meningkat dan menggerakkan glukosa ke dalam sel-sel otot, hati serta lemak. Dalam sel-sel tersebut, insulin menimbulkan efek berikut ini : (1) menstimulasi penyimpanan glukosa dalam hati dan otot (dalam bentuk glikogen). (2) meningkatkan penyimpanan lemak dari makanan dalam jaringan adiposa. (3) mempercepat pengangkutan asam-asam amino (yang berasal dari protein makanan) ke dalam sel (Smeltzer & Bare, 2002). Insulin juga menghambat pemecehan glukosa, protein dan lemak yang disimpan. Selama masa “puasa” (antara jam-jam makan dan pada saat tidur malam), pankreas akan melepaskan secara terus menerus sejumlah kecil insulin bersama dengan hormon pankreas lain yang disebut glukogon (hormon ini disekresikan oleh sel-sel alfa pulau langerhans). Insulin dan glukagon secara
11
bersama-sama mempertahankan kadar glukosa yang konstan dalam darah dengan menstimulasi pelepasan glukosa dari hati. Pada mulanya, hati menghasilkan glukosa melalui pemecahan glikogen (glikogenolisis). Setelah 8 hingga 12 jam tanpa makanan, hati membentuk glukosa dari pemecahan zat-zat selain karbohidrat yang mencakup asam-asam amino (glukoneogenesis) (Smeltzer & Bare, 2002). a. DM tipe I Pada DM tipe I terjadi kerusakan sel beta pankreas atau penyakit-penyakit yang mengganggu produksi insulin. Infeksi virus atau kelainan autoimun dapat menyebabkan kerusakan sel beta pankreas pada banyak pasien DM tipe I, meskipun faktor herediter juga berperan penting untuk menentukan kerentanan sel-sel beta terhadap gangguan-gangguan tersebut. Pada beberapa kasus, kecenderungan faktor herediter dapat menyebabkan degenerasi sel beta, bahkan tanpa adanya infeksi virus atau kelainan autoimun. Onset DM tipe I biasanya dimulai pada umur sekitar 14 tahun di Amerika Serikat, dan oleh sebab itu, diabetes ini sering disebut diabetes melitus juvenilis. Diabetes tipe 1 dapat timbul tiba-tiba dalam waktu beberpa hari atau minggu dengan tiga gejala sisa yang utama : (1) naiknya kadar gula darah, (2) peningkatan penggunaan lemak sebagai sumber energi dan untuk pembentukan kolesterol oleh hati dan (3) berkurangnya protein dalam jaringan tubuh. Kurangnya Insulin mengurangai efisiensi penggunaan glukosa di perifer dan akan menambah produksi glukosa, sehingga glukosa plasma akan meningkat
12
menjadi 300 sampai 1200mg/100ml. Peningkatan kadar glukosa plasma selanjutnya menimbulkan berbagai pengaruh diseluruh tubuh (Guyton, 2006). b.
DM tipe II Pada Diabetes Melitus tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berikatan pada reseptor untuk memasukkan glukosa ke dalam sel. Pada penderita dengan Diabetes Melitus tipe II, meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel akibat terjadi penurunan kerja insulin yang tidak efektif, sehingga sel akan kekurangan glukosa. Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin (Corwin, 2009). Resistensi insulin pada diabetes melitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan (Brunner and Suddart, 2002). Ketidakefektifan insulin menyebabkan Glucose transporter (GLUT-4) yang merupakan senyawa asam amino yang terdapat didalam berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa tidak bisa bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel karena tidak adanya rangsangan dari insulin. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi Diabetes mellitus secara klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis Diabetes Melitus (Sudoyo,
13
2009). DM tipe II terjadi karena sebetulnya insulin tersedia, tetapi tidak bekerja dengan baik dimana insulin yang ada tidak mampu memasukkan glukosa dari peredaran darah untuk ke dalam sel-sel tubuh yang memerlukannya sehingga glukosa dalam darah tetap tinggi yang menyebabkan terjadinya hiperglikemia (Soegondo, 2011). 2.1.4 Manifestasi Klinis Jika kosentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar: akibatnya, glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia). Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan (Smeltzer & Bare, 2002). 2.1.5 Komplikasi Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikas-komplikasi vaskular jangka panjang (Price & Wilson, 2006). Keadaan yang termasuk komplikasi akut
14
dari DM adalah diabetic ketoacidosis (DKA) dan hiperglikemia hiperosmolar koma nonketotik (HHNK) (Price & Wilson, 2006). Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan kelainan pada pembuluh-pembuluh darah kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh darah sedang dan besar (makroangiopati). Makroangiopati diabetik mempunyai histopatologis
berupa aterosklerosis. Mikroangiopati merupakan lesi spesifik
diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik), dan saraf-saraf perifer (neuropati perifer diabetik) (Price & Wilson, 2006). Patogenesis kelainan vaskular pada penderita DM disebabkan karena adanya ketidakseimbangan metabolik maupun hormonal. Jaringan kardiovaskular, jaringan saraf, sel endotel pembuluh darah dan sel retina serta lensa memiliki kemampuan untuk memasukkan glukosa dari jaringan sekitar sel masuk ke dalam sel tanpa bantuan insulin (insulin independent), agar jaringan-jaringan penting tersebut mendapat cukup pasokan glukosa sebelum glukosa tersebut digunakan sebagai energi di otot atau di simpan sebagai cadangan lemak (Waspadiji, 2009 ). Lebih lanjut Waspadiji menjelaskan pada keaadan hiperglikemia kronik, tidak cukup terjadi down regulation dari sistem tranportasi glukosa yang tidak memerlukan insulin tersebut, sehingga glukosa dengan jumlah yang berlebih akan masuk kedalam sel, keadaan ini disebut dengan hiperglisolia. Hiperglisolia yang terus menerus terjadi dalam waktu yang lama akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut yang akan berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur
15
biokimiawi seperti jalur reduktase aldosa, jalur stress oksidatif sitoplasmik, jalur pleiotropik protein kinase C dan terbentuknya spesies glikolisasi lanjut intraseluler. 2.2 Diabetic Peripheral Neuropathy pada DM tipe II 2.2.1 Pengertian Peripheral Neuropathy (PN) atau neuropati perifer merupakan kerusakan saraf perifer, yang sering kali disebabkan oleh kondisi tertentu atau karena terkena pajanan patogen atau zat-zat toksik (Werner, 2013). Diabetic Peripheral Nerupathy
(DPN)
atau
yang
disebut
juga
dengan
distal
symmetric
polyneuropathy, merupakan suatu tanda dan atau gejala gangguan pada saraf perifer pada pasien DM setelah dipastikan tidak ada penyebab lain dari gangguan tersebut (Tanenberg, 2009). Menurut American Diabetes Association (ADA) DPN yang juga disebut dengan sensorimotor neuropathy, merupakan kerusakan pada saraf yang mengkibatkan gejala kesemutan, nyeri, mati rasa, atau kelemahan pada kaki dan tangan (ADA, 2013). Berdasarkan beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa diabetic peripheral neuropathy merupakan kerusakan saraf perifer pada pasien DM yang mengakibatkan gejala kesemutan, nyeri, mati rasa, atau kelemahan pada kaki dan tangan setelah dipastikan tidak ada penyebab lain. 2.2.2
Patofisiologi Proses terjadinya DPN bermula pada hiperglikemia kronis yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis Advance
16
Glycolsilation End products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi Protein Kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut mengakibatkan kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersamaan rendahnya mioinositol dalam sel terjadilah DPN yang berhubungan kuat dengan lama dan beratnya DM. (Subekti, 2009) a. Faktor Metabolik Hiperglikemia yang berkepanjangan mengakibatkan aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang merubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf melalu mekanisme yang belum jelas. Salah satu kemungkinannya adalah akibat akumulasi sorbitol dalam sel saraf menyebabkan keadaan hipertonik intraselular, sehingga mengakibatkan edema saraf. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Mioinositol adalah suatu beksikol siklik yang merupakan bahan utama membran fosfolipid dan merupakan komponen dari vitamin B. Mioinositol berperan dalam transmisi impuls, transport elektrolit dan sekresi peptida.
Penurunan mioinositol dan
akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan stress osmotik yang akan merusak mitokondria dan akan menstimulasi PKC. Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi NA-K-ATP-ase, sehingga kadar Na intraselular menjadi berlebihan, yang berakibat masuknya mioinositol kedalam sel menjadi terhambat sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf.
17
Reaksi jalur poliol ini juga menyebabkan turunnya persedian NADPH saraf yang merupakan kofaktor penting dalam metabolism oksidatif. Karena NADPH merupakan kofaktor penting untuk glutathion dan Nitric Oxide Synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut membatasi kemampuan saraf untuk megurangi radikal bebas dan penurunan produksi Nitric Oxide (NO). Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikemia kronis akan menyebabkan terbentuknya advance glycosilation end prodcuts (AGEs). AGEs bersifat toksik dan merusak semua protein tubuh termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan fungsi NO akan menurun, yang berakibat vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan bersama rendahnya mioinositol ke dalam saraf, terjadilah neuropati. b. Kelainan Mikrovaskuler Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang disebut Reactive Oxygen Species (ROS). Radikal bebas ini membuat kerusakan pada lapisan endotel vaskular dan menetralisasi NO, yang mengakibatkan terhalangnya
vasodilatasi
mikrovaskuler.
Akumulasi
ROS
juga
dapat
menyebabkan apoptosis dari neuron dan sel Schwann. Mekanisme kelainan mikrovaskuler tersebut dapat melalui penebalan membrana basalis; trombosis pada arteriol intraneural; peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas eritrosit; berkurangnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vaskuler; stasis aksonal; pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut.
18
2.2.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Faktor
risiko
yang
tidak
dapat
dimodifikasi
untuk
komplikasi
mikrovaskular pada penderita diabetes termasuk DPN adalah usia, dan lamanya terjangkit diabetes. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi untuk DPN termasuk hiperglikemia, hipertensi, merokok, dan penggunaan alkohol berat. Penelitian yang dilakukan The European Diabetes Prospective Complications Study, melaporkan bahwa perkembangan dari DPN sangat berkolerasi dengan durasi diabetes dan kontrol glikemik. (Tanenberg, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Amani (2010), yang meneliti tentang faktor risiko terjadinya DPN pada 70 pasien DM tipe II yang berkunjung di klinik diabetes di RS Dr. Soetomo Surabaya. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa pasien yang memiliki umur ≥ 50 tahun memiliki resiko lebih tinggi terjadinya DPN daripada pasien yang berumur dibawah 50 tahun. Penelitian ini juga menemukan bahwa lamanya menderita diabetes lebih dari 5 tahun merupakan faktor risiko yang tinggi terjadinya DPN. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Priyantono (2005), tentang faktor risiko yang berpengaruh terhadap timbulnya DPN pada DM tipe II, dari 88 responden 35 diantaranya mengalami DPN. Sedangkan dari 35 kasus DPN, sebanyak 23 kasus (65,7%) menderita DM selama 1-10 tahun dan hanya 3 kasus (8,6%) yang menderita DM lebih dari 20 tahun. Menurut Tanenberg (2009), pasien yang memiliki postur tubuh yang tinggi mudah terkena DPN karena mereka memiliki saraf perifer yang lebih panjang. Karena sebagian besar pria cenderung memiliki postur tubuh yang lebih tinggi
19
dari wanita, maka sebagian besar pasien DM tipe II yang berjenis kelamin lakilaki lebih banyak yang mengalami DPN daripada yang berjenis kelamin perempuan. Penelitian lain diluar negeri menunjukkan bahwa kadar gula darah yang tinggi pada pasien DM dapat menimbulkan kerusakan pada saraf. Studi yang dilakukan di klinik neurologi di University of Utah yang meneliti pasien yang datang ke klinik dengan keluhan neuropati perifer, ditemukan bahwa pasien yang memiliki keluhan neuropati dan tidak terdiagnosa DM tetapi memiliki kadar gula darah 2 jam post prandial (GDPP) ≥ 140 mg/dl (Ruhl, 2013). Penelitian serupa juga mengungkapkan bahwa 56% dari pasien dengan neuropati memiliki nilai pemeriksaan GDPP yang abnormal yaitu diatas 140-200 mg/dl (Singleton, 2001) 2.2.4
Manifestasi Klinis DPN sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf
ekstremitas bawah yang biasanya berawal dari jari-jari kaki. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan distribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas ke arah proximal. Segera setelah kerusakan saraf terjadi di kaki, kerusakan saraf akan terjadi di ekstremitas atas dengan penurunan sensori yang distribusinya mengikuti pola sarung tangan dan kaos kaki. Penurunan fungsi motorik tidak umum terjadi pada gejala awal dari DPN, meskipun pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada ekstremitas bawah menunjukkan atropi dari otot-otot kecil pada kaki sebagai gejala awal. Kelemahan otot cenderung terjadi pada perjalanan penyakit DPN lebih lanjut (Tesfaye, 2004).
20
Gejala nyeri seperti terbakar, dan paresthesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) terjadi di gejala awal pada 30% dari pasien DPN. Gejala-gejala nyeri dari DPN bukan merupakan indikator yang reliabel dari kerusakan saraf. Beberapa pasien dengan gejala nyeri yang berat terjadi sedikit defisit sensori, sedangkan pasien tanpa gejala nyeri yang memiliki gejala mati rasa atau kebas di kaki, menempatkan mereka pada risiko tinggi untuk terjadinya ulkus (Tesfaye, 2004). Nyeri dan insensitivitas adalah dua gejala klinis dari DPN. Gejala nyeri, yang termasuk rasa terbakar, parasthesia, hiperesthesia, dan alodinia (rangsang raba yang dapat menyebabkan rasa nyeri), dapat mengganggu kenyamanan pasien dan gejala tersebut memburuk pada malam hari. Nyeri dapat berkisar antara nyeri ringan hingga berat dan persisten. Pasien biasanya menggambarkan gejalanya seperti berjalan di atas pecahan kaca atau seperti tersetrum aliran listrik. Insensitivitas, atau kehilangan rasa nyeri dapat berujung pada DF, pasien dengan kehilangan sensasi di tangannya tidak dapat merasakan suhu dan sering secara tidak sengaja membakar diri mereka ketika memasak atau mensetrika, dan juga kesulitan untuk memegang benda-benda kecil. Pada pasien-pasien yang mengalami kehilangan sensasi di kaki sering mengalami luka tusuk, luka gesek dan luka bakar yang dapat terinfeksi dan/atau terjadi DF yang lebih lanjut akan berujung pada amputasi (Smeltzer & Bare, 2002; Tesfaye, 2004). Gambaran dan hal patologi mendasari DPN serupa pada DM tipe I dan tipe 2, akan tetapi serangan dari gejala DPN berbeda. Pada pasien DM tipe I tidak mungkin gejalanya berkembang dalam 5 tahun pertama menderita DM.
21
Sedangkan pada DM tipe II gejala dapat berkembang setiap saat dan sering terjadi sangat awal (Hunter, 2011). 2.2.5
Pengelolaan Strategi pengelolaan penderita DM dengan keluan DPN dibagi ke dalam
tiga bagian. Strategi pertama adalah diagnosis DPN sedini mungkin, diikuti strategi dengan kendali glikemik dan perawatan kaki sebaik-baiknya, dan strategi ketiga ditujukan pada pengendalian keluahan DPN/nyeri DPN setelah strategi kedua dilaksanakan. a. Perawatan Umum/Kaki Perawatan kaki dilakukan dengan menjaga kebersihan kulit kaki, hindari trauma kaki seperti menggunakan sepatu yang sempit serta mencegah trauma berulang pada neuropati kompresi. b. Pengendalian Kadar Glukosa Darah Berdasarkan perjalanan penyakitnya, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah pengendalian glukosa darah dan monitor HbA1C secara berkala. Selain itu pengendalian faktor metabolik lain seperti hemoglobin, albumin, dan lipid sebagai komponen tak terpisahkan juga perlu diperlukan. Berdasarkan tiga studi epidemiologi besar oleh DCCT, Kumamoto Study dan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) membukitkan bahwa dengan mengendalikan glukosa darah, komplikasi kronik diabetes termasuk neuropati dapat dikurangi. c. Terapi Medikamentosa Pedoman pengelolaan DPN dengan nyeri, yang dianjurkan ialah:
22
1.
NSAID (ibuprofen 600mg 4x/hari, sulindac 200mg 2x/hari)
2.
Antidepresan
trisiklik
(amitriptilin
50-150mg
malamhari,
imipramin
100mg/hari, nortriptilin 50-150mg malam hari, paroxetine 40mg/hari) 3.
Antikonvulsan (gabapentin 900mg 3x/hari, karbamacrepin 200mg 4x/hari)
4.
Antiaritimia (mexilletin 150-450mg/hari)
5.
Topikal:
capsaicin,
0,075%
4x/hari,
fluphenazine
1mg
3x/hari,
transcutaneous electrical nerve stimulatian. d. Edukasi Disadari bahwa perbaikan total sangat jarang terjadi, sehingga dengan kenyataan seperti itu, edukasi pasien menjadi sangat penting dalam pengelolaan nyeri ND. Target pengobatan dibuat serealistik mungkin sejak awal, dan hindari memberi pengharapan yang berlebihan. Perlu penjelasan akan bahaya dari penurunan atau hilangnya sensasi rasa di kaki, perlunya pemeriksaan kaki pada setiap pertemuan dengan dokter, dan pentingnya evaluasi secara teratur terhadap kemungkinan timbulnya neuropati pada pasien DM. 2.2.6
Cara Mengukur Diabetic Peripheral Neuropathy Cornbalth (2004), mengatakan ada beberapa cara dalam menilai dan
mendiagnosis DPN. a.
Reflex Testing. Pada pemeriksaan DPN yang paling umum dilakukan adalah memeriksa
refleks pergelangan kaki (ankle reflex testing) yang merupakan bagian yang paling sensitif ketika terjadi DPN tahap awal. Ankle reflex testing dilakukan pada kedua pergelangan kaki ketika pasien berada pada posisi duduk atau jongkok.
23
Pemeriksaan dilakukan dengan memukul lembut tendon achilles dengan palu refleks. Apabila tidak terjadi refleks, pemeriksaan dapat dilakukan ulang dengan pemukulan sedikit lebih kuat. Ada tidaknya refleks akan diberikan skor dengan rentang nol sampai empat, dengan interpretasinya yaitu nol (tidak ada refleks), satu (ada refleks, tapi menurun), dua (refleks normal), tiga (refleks meningkat), empat (refleks meningkat disertai dengan clonus). b. Superficial Pain Testing. Sensasi nyeri dapat diukur dengan pemeriksaan secara aman menggunakan pin steril. Pemeriksaan dilakukan pada daerah dorsal dan plantar pada masingmasing kaki. Pemeriksaan di lakukan sekali dengan memberikan stimulus pada satu bagian di kaki, dan pasien diminta untuk merasakan sensasi tersebut. Apakah terdapat sensasi, dan apakah terasa tajam atau tumpul. Hasilnya dari pemeriksaan ini berupa skor sesuai dengan respon klien. c. Light Touch Perception Sensasi sentuhan ringan dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti menggunakan jari, kapas, dan alat spesifik yang sudah terkalibrasi. Alat standar yang paling dikenal adalah Semnes-Weinstein 10-g monofilament, sebuah alat dengan filamen nilon tertempel pada sebuah pegangan yang terbuat dari plastik. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan tekanan yang lembut pada pegangannya untuk membengkokkan filamen nylon tersebut. Alat ini telah dikalibrasi untuk menyediakan tekanan tertentu yang diukur dalam satuan gram misalnya monofilamen 5,07 mm memberikan kekuatan 10-g (Cornbalth, 2004).
24
d. Vibration Testing Vibration testing merupakan metode lain untuk mengevaluasi fungsi saraf. Secara tradisional, persepsi getaran diukur dengan garpu tala 128-Hz, atau kurang, biasanya frekuensi yang digunakan adalah garpu tala 64-Hz atau 256-Hz. Meskipun vibration testing ini merupakan pemeriksaan yang subjektif untuk mengukur keparahan DPN, namun apabila tidak adanya sensasi getaran pada jari kaki secara signifikan berhubungan dengan perkembangan dari ulkus kaki e. Quantitative Sensory Testing Quantitative Sensory Testing (QST), merupakan metode evaluasi neurologis pada bagian sensori. QST berguna dalam mengkaji integritas axon yang membentuk sistem saraf perifer dan reseptor distalnya. QST ini sangat membantu dalam mendiagnosis dengan memungkinkan diferensiasi defisit relatif antara kecil (misalnya, suhu) dan besar (misalnya, getaran) diameter akson dan antara DPN dan mononeuropathy. QST diterima dengan baik karena sederhana, noninvasive, dan nonaversive. Ada dua jenis alat QST yaitu QST dengan stimuli panas, dan QST dengan impuls elektrik dalam frekuensi tertentu. Studi awal dari tahun 1970 menunjukkan bahwa pengujian untuk ambang batas termal mungkin mendeteksi DPN praklinis. Menurut Subcommittee on Therapeutics and Technology Assesment of the American Academy of Neurology pada tahun 2003 menyatakan bahwa QST adalah alat yang efektif dalam membuktikan abnormalitas sensori pada pasien dengan DPN. QST dapat mendokumentasikan perubahan dalam evaluasi longitudinal, akan tetapi tidak ada bukti bahwa kelainan yang dievaluasi dapat
25
berkembang menjadi neuropati klinis. Jadi, pemeriksaan dengan QST sebagai alat screening belum terbukti. f. Nerve Conduction Studies Nerve conduction studies sering digunakan untuk memeriksa kehadiran dan tingkat keparahan dari DPN. Alat ini bersifat sensitive, spesifik, reproducible dan standar digunakan. Pemeriksaan secara khusus di lakukan pada ekstremitas atas dan bawah pada saraf motorik dan sensorik. Salah satu bagian dari nerve conduction studies
adalah elektromiografi.
Hasil
dari pemeriksaan ini
menunjukkan abnormalitas konduksi saraf teradapat pada 29%-70% dari pasien DM tipe I dan 45%-60% dari DM tipe II. 2.3
Sensasi Proteksi
2.3.1 Pengertian Sensasi proteksi merupakan suatu kemampuan seseorang untuk merasakan stimulus atau nyeri sebagai suatu mekanisme perlindungan penting (Helms, 2012). Sensasi proteksi adalah kesadaran (seperti panas atau nyeri) karena stimulasi dari indera yang bertugas untuk melindungi tubuh atau salah satu bagiannya dari penyakit atau cedera (Leimkuehler, 2014). Berdasarkan beberapa pengertian diatas sensasi proteksi adalah suatu kemampuan seseorang dalam dalam merasakan stimulus seperti nyeri atau panas sebagai mekanisme perlindungan diri untuk menghindari stimulus tersebut.
26
2.3.2 Sensasi Proteksi Pada DM Dengan Diabetic Peripheral Neuropathy Nyeri memperingatkan kita untuk memindahkan kaki kita menjauh dari benda panas. Hal ini memberitahu kita apabila kita menginjak pada sepotong kaca dan kita perlu menjauhkan kaca tersebut dari kaki kita. Nyeri yang memberikan peringatan kepada kita kapan kita mematahkan tulang di kaki dan meminta untuk mendapatkan pengobatan. Penderita DM dengan DPN kekurangan umpan balik penting tersebut untuk mengetahui bila ada cedera pada kaki. Pada pasien dengan DPN Pasien DM dengan DPN dapat melukai atau mencederai kaki dan tidak menyadari hal ini karena mereka tidak merasakan sakit. Dampaknya dapat membahayakan, termasuk potensi kehilangan kaki atau amputasi kaki (Helms, 2012). 2.3.3 Cara Menilai Sensasi Proteksi DPN menyebabkan penurunan sensasi proteksi dan meningkatkan risiko ulserasi kaki. Dengan mengidentifikasi penurunan sensasi proteksi secara dini mencegah terjadinya diabetic foot. Pemeriksaan monofilament merupakan pemeriksan yang murah, dan mudah digunakan dalam menilai penurunan sensasi proteksi, dan telah direkomendasikan oleh beberapa pedoman praktik untuk mendeteksi DPN pada kaki normal. Monofilament, yang sering disebut dengan Semnes-Weinsten monofilament, merupakan suatu alat terkalibrasi yang terbuat dari sebuah benang nilon, diidentifikasi dengan nilai yang berkisar antara 1.65 – 6.65 yang menghasilkan tekanan apabila nilon dibengkokkan. Semakin tinggi nilai monofilamen akan semakin kaku dan lebih sulit untuk dibengkokkan.
27
Tiga monofilament yang sering digunakan untuk mendiagnosa DPN adalah 4.17, 5.07 dan 6.10. Kekuatan yang diperlukan unutk membengkokkan monofilamen ini adalah masing-masing 1, 10, dan 75 g. Untuk mendeteksi penurunan sensasi proteksi pada pasien DM, monofilamen 10g di tekan pada 10 area di masing-masing kaki kanan dan kiri. Kehilangan sensasi proteksi ditandai dengan ketidakmampuan pasien dalam merasakan monofilamen pada satu atau lebih area pemeriksaan di kaki. (Dros, 2009). 2.3.4 Cara Mengukur Sensasi Proteksi dengan Homemade Monofilament 10g Pemeriksaan dengan monofilament telah digunakan secara luas dan direkomendasikan oleh ADA untuk mendeteksi DPN dan juga direkomendasikan oleh The Consensus on the Diabetic Foot sebagai prosedur evaluasi untuk semua pasien DM untuk identifikasi dini pasien yang berisiko DF. Pemeriksaan dengan monofilamen dianggap
sebagai pilihan yang terbaik untuk mendeteksi DPN,
karena pemeriksaan ini merupakan sarana yang cepat, nyaman, dan murah untuk menilai DPN dan sangat berkorelasi dengan risiko cedera, ulserasi, dan amputasi (Katon, 2012; Diquino 2009). Berdasarkan jurnal Diabetic peripheral neuropathy: How reliable is a homemade 1-g monofilament for screening? dikatakan bahwa monofilament dapat dibuat sendiri (homemade) oleh dokter atau tenaga kesehatan. Monofilament dapat dibuat dengan menggunakan benang pancing yang berdiameter 0,02 inci, kemudian benang pancing dipotong dengan beberapa ukuran (4 cm memberikan tekanan 10 g, dan 8 cm memberikan tekanan 1 g) sebagai pengganti monofilamen
28
dalam mendeteksi dan mendiagnosis DPN. Pemeriksaan dengan monofilamen buatan sendiri ini sangat spesifik untuk DPN (Matthew, 2006). Prosedur pemeriksaan dengan menggunakan monofilamen : 1.
Pemeriksaan dilakukan pada tempat yang tenang dan nyaman.
2.
Posisikan pasien tidur terlentang atau duduk tanpa menggunakan alas kaki.
3.
Jelaskan pada pasien tentang tujuan, prosedur, dan lama pemeriksaan.
4.
Tunjukkan pada pasien monofilamen, dan tekankan pada lengan atau tangan pasien untuk mendemonstrasikan bagaimana rasa dari tekanan tersebut.
5.
Jelaskan kepada pasien bahwa pemeriksa akan menyentuh bagian bawah setiap kaki dengan monofilamen dan pemeriksa akan meminta pasien untuk memberitahunya dengan mengatakan 'Ya' setiap kali pasien merasakan monofilamen tersebut. Beritahu pasien bahwa pemeriksa akan meminta pasien untuk menutup mata sehingga mereka tidak melihat saat monofilamen menyentuh kaki mereka.
6.
Berikan pasien kesempatan untuk bertanya sebelum prosedur pemeriksaan dimulai.
7.
Instruksikan pasien untuk menutup matanya.
8.
Posisikan monofilamen tegak lurus pada kulit dan dengan gerakan halus lakukan penekenan dengan monofilamen pada satu area yang akan diuji. Lakukan tekanan yang cukup untuk menekuk monofilamen dan menahannya di tempat selama sekitar 1,5 detik.
9.
Tidak dianjurkan untuk menanyakan pasien “apakah anda merasakannya?”.
29
10. Jika pasien tidak mengatakan 'Ya' saat pemeriksa menyentuh titik atau lokasi pemeriksaan yang dilakukan, terus periksa titik lain pada satu kaki yang sama. Bila urutan pemeriksaan pada satu kaki telah selesai, uji kembali titik atau lokasi di mana pasien tidak merasa monofilamen tersebut. 11. Apabila pasien mengatakan “Tidak”, pemeriksa menafsirkan sementara bahwa pasien sebenarnya merasakan monofilamen tersebut. 12. Apabila pasien merasakan sentuhan dari monofilamen beri tanda positif (+) pada gambar kaki di lembar pengkajian. Jika pasien tidak merasakan monofilamen pada pengujian yang
diulang, maka hasilnya harus dicatat
sebagai abnormal untuk titik tersebut, dan catat sebagai tanda (-) pada area tersebut di lembar pengkajian. 13. Setelah pemeriksaan pada satu kaki selesai, lajutkan pemeriksan pada kaki yang lain dengan prosedur yang sama seperti diatas. 14. Hasil dari pemeriksaan akan diinterpretasikan berupa skor DPN yang diakumulasikan dari total nilai negatif (-) pada 20 area masing-masing kaki kiri dan dan kanan. 15. Catat hasil pemeriksaan pada lembar pengkajian. (Morgan, 2013; British Columbia Provincial Nursing Skin and Wound Committee, 2012; Diabetes Nursing Interest Group, 2004)
30
Gambar 1. Cara dan Area Penekanan Monofilamen Pemeriksaan monofilamen dilakukan pada 10 area di masing-masing kaki. Beberapa ahli mengungkapkan bahwa dari 10 area anatomi tersebut, hanya pemeriksaan pada empat area pada telapak kaki (ibu jari, metatarsal pertama, kedua dan ketiga) yang mengidentifikasi 90% dari pasien dengan penurunan sensasi di kaki (Singh, 2005). Sementara itu penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2006, dari 3830 penderita DM didapatkan 23,6% mengalami DF dan lokasi DF cenderung terjadi pada 10 area pemeriksaan monofilamen. Lokasi DF 50% berada pada ujung jari kaki, 30-40% pada metatarsal plantar pedis, 10-15% pada dorsum kaki, 5-10% pada tumit, dan 10% adalah ulkus multipel (Setyanto, 2009 dalam Suwandewi, 2012).
31
2.4 2.4.1
Masase pada Kaki DM Pengertian Masase adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan manipulasi
ilmiah tertentu, yang dilakukan oleh tangan praktisi pada tubuh pasien. Ini adalah cara untuk menciptakan energi dan merupakan metode alami untuk memulihkan cedera pada bagian tubuh yang lokal maupun general kembali ke keadaan normal (Hollis, 2009). Masase adalah penggunaan manipulasi otot secara lembut dan disadari, menggunakan getaran atau sedikit remasan untuk meningkatkan sensasi relaksasi (Brooker, 2008). Dalam bahasa Indonesia, masase dapat diartikan sebagai pijat atau urut. Selain itu masase dapat diartikan sebagai pijat yang telah disempurnakan dengan ilmu-ilmu tentang tubuh manusia atau gerakan-gerakan mekanis terhadap tubuh manusia dengan mempergunakan bermacam-macam bentuk pegangan atau teknik (Trisnowiyanto, 2012). Pengertian masase kaki atau pijat kaki adalah sebuah metode yang sederhana, murah dan efektif yang menerapkan tekanan dengan teknik-teknik tertentu pada kaki untuk mendapatkan beberapa manfaat (Ygoy, 2012). Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa masase kaki merupakan salah satu tehnik pemijatan yang menerapkan tekanan atau gerakan-gerakan mekanis dengan teknik tertentu yang diaplikasikan khususnya pada daerah kaki untuk mendapatkan beberapa manfaat.
32
2.4.2
Manfaat Masase Dalam beberapa kondisi, masase bisa menjadi cara yang ampuh untuk
mengembalikan tubuh yang sehat dan bugar. Salah satunya untuk mengusir pegalpegal. Masase juga memiliki beberapa macam manfaat bagi kesehatan, di antaranya : a. Masase mempengaruhi jaringan tubuh untuk memperluas kapiler dan kapiler cadangan, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan aliran darah ke jaringan dan organ, meningkatkan proses reduksi oksidasi, memfasilitasi jantung dan berkontribusi terhadap redistribusi darah dalam tubuh. b. Masase juga memberikan sedikit peningkatan jumlah trombosit, leukosit, eritrosit dan hemoglobin tanpa mengganggu keseimbangan asam-basa. c. Jika dilakukan secara tepat, masase dapat mempengaruhi sistem saraf perifer, meningkatkan rangsangan dan konduksi impuls saraf, melemahkan dan menghentikan rasa sakit dengan mempercepat proses pemulihan saraf yang cedera. d. Masase mempercepat aliran getah bening yang meningkatkan transpotasi nutrisi ke jaringan, mengurangi stasis pada sendi serta organ dan jaringan lain. e. Masase memiliki efek fisiologis yang beragam terhadap kulit dan fungsinya, seperti membersihkan saluran keringat, kelenjar sebaceous, meningkatkan fungsi sekresi, ekskresi dan pernapasan kulit. f. Masase bisa membuat otot menjadi fleksibel, meningkatkan fungsi kontraktil yang mempercepat keluarnya metabolit yang merupakan hasil dari metabolisme.
33
g. Masase membantu mengeluarkan cairan yang terdapat di dalam otot-otot dan memulihkan keadaan normalnya. h. Masase membantu memperbaiki sirkulasi dan menurunkan tekanan darah. Karena sirkulasinya membaik, maka pada gilirannya organ-organ yang ada di dalam tubuh akan berfungsi dan bekerja lebih baik (Hemawati, 2013). Sementara pada penderita diabetes, manfaat masase secara berkala dapat meningkatkan sirkulasi darah, meningkatkan penyerapan insulin oleh sel, membantu menurunkan kadar gula darah, menstimulasi saraf-saraf dan membantu mengurangi gejala neuropati (Rose, 2003; Ezzo et al, 2001; Mayo Clinic, 2013). 2.4.3
Cara-Cara Melakukan Masase Kaki Tourles (1998) menyatakan tata cara melakukan masase pada daerah kaki
adalah sebagai berikut: 1. Stroking. Merangsang sirkulasi dan mengahangatkan kaki. Pegang kaki pasien dengan kedua tangan, pada kaki bagian atas lakukan gerakan stroking yang panjang, perlahan dan tegas dengan kedua ibu jari. Gerakan dimulai dari ujung jari kaki dan tekan menjauh dari terapis menuju ke pergelangan kaki; dan kembali ke ujung jari kaki dengan gerakan stroking yang lebih ringan. Lakukan gerakan ini 3-5 kali.
Gambar 2. Gerakan Stroking
34
Lanjutkan dengan gerakan stroke pada kaki bagian bawah dengan kedua ibu jari, dimulai pada pangkal jari kaki dan bergerak melalui lengkungan kaki menuju ke tumit dan kembali lagi. Gunakan gerakan stroking yang panjang dan tegas, tekan dengan lembut telapak kaki dengan kedua ibu jari. Lakukan gerakan ini 3-5 kali. 2. Ankle Rotations. Longgarkan sendi dan relaksasikan kaki. Dengan satu tangan genggam kaki dibawah tumit, dibelakang pergelangan kaki untuk menahan kaki. Dengan tangan yang lain genggam punggung dan telapak kaki kemudian putar telapak kaki. Gerakan dilakukan masing-masing tiga kali pada masing-masing arah.
Gambar 3. Gerakan ankle rotations 3. Toe Pulls and Squeezes. Jari-jari kaki sangat sensitif ketika disentuh. Genggam telapak kaki dengan satu tangan. Pegang masing-masing jari kaki kemudian tarik dengan kuat dan perlahan, gerakan dilakukan secara bergantian pada masing-masing kaki. Kemudian pegang masing-masing jari kaki, sambil menekan geser jari anda ke ujung jari klien dan kembali lagi kepangkal. Kemudian ulangi, tetapi penekanan
35
lebih lembut dan putar ibu jari dan jari telunjuk tangan anda sambil digeser ke ujung jari kaki pasien. Ulangi kedua gerakan ini pada kaki lainnya.
Gambar 4. Gerakan toe pulls and squeezes 4. Toe slides. Pegang kaki pada bagian belakang pergelangan kaki. Dengan jari telunjuk pada tangan lainnya, sisipkan jari anda diantara jari-jari kaki pasien, lakukan gerakan maju mundur sebanyak tiga sampai lima kali
Gambar 5. Gerakan toe slides
36
5. Arch Press. Pegang kaki pasien seperti yang anda lakukan pada langkah ke empat. Dengan menggunakan pangkal telapak tangan anda, berikan tekanan pada lengkungan telapak kaki dimulai dari telapak kaki bagian tengah sampai ke tumit kaki pasien dan kemudian kembali lagi. Lakukan gerakan ini sebanyak lima kali.
Gambar 6. Gerakan arch press 6. Stroking. Lakukan gerakan yang sama pada poin pertama seperti yang sudah disebutkan diatas. Langkah ini sangat bagus untuk memulai dan mengakhiri kegiatan masase. Seluruh rangkaian gerakan ini mudah dilakukan oleh siapapun untuk memijat orang lain atau dirinya sendiri. 2.4.4
Program Pemberian Masase Kaki Lama sesi masase bervariasi tergantung dari tujuan setiap sesi dan pada
siapa dilakukan, sebagai contoh masase untuk tujuan pemeliharaan kesehatan secara umum biasanya dilakukan selama setengah sampai dengan setengah jam, dan biasanya masase dilakukan pada tempat Spa atau klinik massage (Cassar, 2004). Secara umum masase dapat diberikan secara mingguan atau bahkan harian.
37
Kurashova mengatakan frekuensi pemberian masase dua kali seminggu dapat memberikan manfaat bagi penderita DM (Ezzo et al, 2001). 2.4.5
Pengaruh Masase Kaki Terhadap Kaki DM Manipulasi dari masase berupa tekanan dan dorongan pada kulit, jaringan
dan fasia dapat mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah. Manipulasi masase di jaringan, kulit dan fasia dapat menimbulkan efek refleks pada otot di dinding arteriol. Selanjutnya manipulasi jaringan lunak melibatkan arteriol superfisial, hal ini dengan sendirinya mengaktifkan refleks kontraksi dari otot-otot dinding arteriol yang kemudian diikuti oleh dilatasi paralisis dari otot-otot involunter. Ketika dinding arteri paralisis sementara dan tidak dapat berkontraksi lebih lanjut maka terjadi vasodilatasi dan hiperemi. Penyebab lain yang dapat menyebabkan vasodilatasi dapat dicapai dengan penekanan melalui teknik masase. Teknik masase melibatkan penekanan yang diaplikasikan pada jaringan dan berlangsung selama beberapa detik, dan ketika tekanan dilepaskan maka terjadi refleks vasodilatasi pada pembuluh darah superfisial (Premkumar, 2004). Beberapa penulis mengatakan bahwa vasodilatasi di area somatik dapat terjadi sebagai respon refleks terhadap masase dan manipulasi jaringan lunak. Teori lebih lanjut mengatakan bahwa vasodilatasi terjadi melalui axon reflex. Ketika jaringan somatik superfisial di manipulasi, impuls berjalan dari saraf sensori menuju ke sistem saraf pusat (SSP). Sepanjang perjalanan jalur saraf ini mereka mengeluarkan cabang-cabang kecil yang mensuplai pembuluh darah yang berdekatan.
Stimulasi mechanoreceptors di kulit dan jaringan dangkal
menyebabkan impuls (potensial aksi) yang ditransmisikan terhadap cabang-
38
cabang kecil tersebut, selain perjalanan impuls menuju neuron sensorik. Sebuah vasospasme awal dalam pembuluh darah yang berdekatan diciptakan oleh potensial aksi, akan tetapi hal ini segera diikuti oleh vasodilatasi, sebagai respon adaptasi reseptor di otot pembuluh darah terhadap stimulus (Cassar, 2004) Vasodilatasi yang dihasilkan dari efek masase dapat meningkatkan sirkulasi darah dan dengan demikian, transportasi oksigen dan nutrisi ke jaringan meningkat serta dapat memfasilitasi pembuangan toksin-toksin yang dikeluarkan oleh jaringan yang cedera dan mempercepat penyembuhan jaringan yang cedera (Premkumar, 2004). Penelitian
yang berjudul Connective Tissue Reflex Massage for Type 2
Diabetic Patients with Peripheral Arterial Disease: Randomized Controlled Trial yang meneliti tentang kefektifan connective tissue massage terhadap peningkatan sirkulasi darah pada pasien DM tipe II dengan Peripheral Arterial Disease (PAD), menunjukkan bahwa connective tissue massage dapat memperbaiki sirkulasi darah pada ekstremitas bawah pada pasien DM tipe II dengan stadium PAD I atau II-a dan connective tissue massage dapat memperlambat progresi dari PAD. Penelitian lain tentang Syncardial Massage in Diabetic and Other Neuropathies Lower Extremitis meneliti tentang efek masase pada gejala neuropati pada penderita DM. Jenis masase yang digunakan adalah syncardial massage, yaitu teknik masase kaki yang menggunakan alat mekanik yaitu manset. Manset ditempatkan di sekitar paha pasien dan kemudian di sekitar betis. Manset akan mengembang dan mengempis ketika gelombang elektrokardiogram lewat di bawahnya. Hal ini diyakini bahwa tekanan yang diberikan oleh manset membantu
39
elastisitas arteri dalam memberikan kontraksi yang lebih lengkap sehingga aliran darah akan meningkat. Hasil penelitian menunjukkan efek dari masase dapat mengurangi gejala dari DPN. Masase dapat merangsang vasodilatasi dan merangsang sirkulasi darah yang lebih baik ke seluruh tubuh. Dengan terjadinya peningkatan sirkulasi
dapat
mengakibatkan perbaikan dari gejala DPN dan komplikasi diabetes lainnya (Cassar, 2004; Premkumar, 2004; Pandey, 2011). Berdasarkan bukti dari kedua penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa masase pada kaki penderita DM dapat melancarkan sirkulasi darah dan memperbaiki gejala dari DPN.