2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes melitus Diabetes melitus adalah penyakit gangguan metabolik yang telah lama dikenal dalam peradaban manusia. Georg Ebers seorang ahli Mesir kuno pada tahun 1862 mendapati suatu lembaran (papirus) dalam kuburan di Thebes tentang catatan adanya penyakit ini pada masyarakat Mesir kuno (± 1550 SM). Araeus pada abad pertengahan memberi gambaran bahwa tubuh penyandang penyakit ini menyusut menjadi air seni dan menyebutnya dengan istilah diabetes, sementara itu Willis dalam pengamatannya mendapati bahwa air seni penyandang penyakit ini terasa manis dan kondisi ini disebutnya dengan istilah melitus. Saat ini bila seseorang sering mengeluarkan air seni dan air seninya mengandung glukosa maka dapat dinyatakan orang tersebut menderita diabetes melitus (Pushparaj et al. 2001). Diabetes melitus merupakan sindrom multifaktorial metabolik yang dicirikan oleh adanya hiperglikemia sebagai akibat gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau kombinasinya. Gejala umumnya adalah poliuria (sering kencing), polidipsia (rasa haus yang terus-menerus), kehilangan berat badan dan kadangkadang polifagia (perasaan lapar yang berlebih). Kriteria diagnosis diabetes melitus dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus HbA 1C ≥ 6,5 % Gula darah puasa ≥ 126 mg/dL Puasa: tidak mengkonsumsi sumber kalori paling tidak selama 8 jam 3. Gula darah 2 jam ≥ 200 mg/dL pada uji toleransi gula secara oral Tes toleransi glukosa oral (TTGO) yaitu pengujian 75 g glukosa anhidrat yang dilarutkan dalam air 4. Gejala diabetes dengan konsentrasi glukosa darah ≥ 200 mg/dL Gejala diabetes: poliuria, polidipsia, kehilangan berat badan 1. 2.
Sumber : American Diabetes Association (2011). Berdasarkan klasifikasinya, diabetes melitus dapat terbagi menjadi empat, yaitu diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes tipe lain, dan diabetes saat hamil. Klasifikasi etiologis diabetes melitus dapat dilihat pada Tabel 2.
6 Tabel 2. Klasifikasi Etiologis Diabetes Melitus I.
II.
III.
IV.
Diabetes melitus tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya mengarah pada defisiensi insulin absolut) A. melalui proses imun B. Idiopatik Diabetes melitus tipe 2 (bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin) Diabetes melitus tipe lain A. Defek genetik fungsi sel beta: Kromosom 12, HNF-1α (MODY3); Kromosom 7, glukokinase (MODY2); Kromosom 20, HNF-4α (MODY1); Kromosom 13, insulin promoter faktor1 (IPF-1; MODY4); Kromosom 17, HNF-1β (MODY5); Kromosom 2, NeuroD1 (MODY6); DNA mitokondria; lainnya B. Defek genetik kerja insulin Insulin resisten tipe A, Leprechaunism, Sindrom Rabson-Mendenhall, Diabetes lipoatropik, lainnya C. Penyakit eksokrin pankreas Pankreatitis, Trauma/prankreatektomi, Neoplasia, Cystic fibrosis, Hemochromatosis, Pankreatopati fibrokalkulus, lainnya D. Endokrinopati Akromegali, Sindrom Cushing, Glukagonoma, Stomatostatinoma, Feokromositoma, Hipertiroidism, Aldosteronoma, lainnya E. Karena obat/zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, tiazid, glukokortikoid, hormon tiroid, interferon γ, dilantin, agonis β-adrenergik, diazosida, lainnya F. Infeksi : Rubella kongenital, cytomegalovirus, lainnya G. Imunologi: sindrom “stiff-man” dan antibodi anti reseptor insulin H. Sindrom genetik lain: sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram, atasia Friedreich, Huntington’s chorea, sindrom LawrenceMoon-Btedl, Myotonic dystrophy, porphyria, sindrom Pruder-Willi, lainnya Diabetes melitus Kehamilan
Sumber : American Diabetes Association (2011). Individu yang menderita diabetes tipe 1 sangat membutuhkan insulin dari luar tubuh selama hidupnya guna menghindarkan ketoasidosis. Hal itu terjadi karena individu tersebut mengalami defisiensi insulin absolut yang diakibatkan oleh proses autoimun terhadap sel β pankreasnya. Kerusakan ini terjadi karena adanya suatu stimulus dari luar atau determinan genetik yang memungkinkan sel β pankreas dikenali sebagai benda asing. Pulau Langerhans selanjutnya diinfiltrasi oleh sel T teraktivasi yang mengarah pada pengrusakan sel β pankreas dan akhirnya menjadi insulitis (Champe dan Harvey, 1994). Hiperglikemia dan ketoasidosis merupakan ciri utama bagi orang yang mengalami diabetes tipe 1. Hiperglikemia disebabkan oleh peningkatan produksi glukosa hati diiringi dengan penurunan pemanfaatan glukosa oleh jaringan perifer. Ketosis merupakan hasil peningkatan mobilisasi asam lemak dari jaringan lemak
7 dan peningkatan sintesis 3-hidroksibutirat dan asetoasetat oleh hati. Perubahan metabolik ini terjadi sebagai akibat defisiensi insulin dan berlebihnya glukagon dalam darah (Brody, 1999). Diabetes tipe 2 merupakan bentuk diabetes yang paling banyak diderita oleh masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Empat ciri gangguan metabolik pada orang yang menderita diabetes melitus tipe 2 antara lain: kegemukan, kegagalan kerja insulin, disfungsi sekresi insulin dan peningkatan pembentukan glukosa endogen (Weyer et al, 1999). Etiologi terjadinya diabetes melitus tipe 2 berawal dari faktor gen dan lingkungan (gaya hidup serta diet). Faktor tersebut dapat mengakibatkan adanya resistensi insulin. Dalam kondisi fungsi sel β pankreas normal, hiperinsulinemia akibat resistensi insulin dapat dikompensasi hingga kadar glukosa darah tetap normal. Tetapi bila fungsi sel β pankreas tidak normal, sekresi insulin akan menurun lalu terjadi hiperglikemia dan berlanjut menjadi diabetes melitus tipe 2 (Waspadji, 2003). Penyandang diabetes melitus tipe 2 seringkali terkait dengan resistensi insulin, yaitu suatu keadaan di mana kandungan insulinnya cukup banyak namun efek fisiologisnya rendah
(Lebovitz, 1999).
Resistensi insulin dapat terjadi
karena berbagai hal seperti kegagalan dalam transduksi signal, kisaran insulin yang abnormal, atau reseptor insulin yang gagal memberikan signal untuk mentranslokasikan transporter glukosa dari sitoplasma ke membran sel (Champe dan Harvey, 1994). Penyandang diabetes melitus tipe 2 kebanyakan menderita kegemukan. Kegemukan dapat diakibatkan oleh dua faktor, yaitu faktor gen dan lingkungan. Faktor gen thrifty dapat mengakibatkan peningkatan penyimpanan lemak dan menurunkan ambilan glukosa, sedangkan penyebab kegemukan akibat faktor lingkungan dapat berupa gaya hidup santai dan makan makanan dalam jumlah dan frekuensi yang banyak. Penyandang kegemukan dapat mengalami hiperinsulinemia. Hal ini terjadi karena adanya kompensasi sel β pankreas untuk mensekresi insulin secara berlebih akibat glukosa darah yang berada dalam peredaran darah masih tinggi. Walau demikian glukosa yang masuk dalam sel tetap tidak banyak. Bila
8 berlangsung lama, sel akan mengalami kekurangan glukosa sebagai sumber energinya. Guna memenuhi zat tersebut, sel melakukan glukoneogenesis. Glukoneogenesis pada jaringan lemak selain menghasilkan glukosa juga asam lemak. Bila keadaan ini terus berlanjut mengakibatkan kandungan asam lemak bebas dalam darah meningkat. Tingginya asam lemak bebas dalam darah dapat mengakibatkan penurunan ambilan glukosa oleh otot, meningkatkan produksi glukosa pada hati, dan dapat menghambat sekresi insulin oleh sel β pankreas. Penghambatan sekresi insulin oleh asam lemak bebas pada awalnya dapat dikompensasi, namun bila terus berlanjut sel β pankreas juga akan mengalami gangguan sekresi insulin. Sementara itu tingginya produksi glukosa hati dan rendahnya ambilan glukosa oleh otot akan mengakibatkan resistensi insulin. Keadaan ini bila berlangsung lama dan seiring rendahnya sekresi insulin menimbulkan kejadian hiperglikemik (Proietto et al., 1999; LeRoith dan Zick, 2001; Cefalu, 2001). Efek kegemukan terhadap patogenesis diabetes tipe 2 dapat dilihat pada Gambar 1. Faktor genetik / lingkungan
Konsumsi kalori berlebih
Hiperinsulinemia
Peningkatan Asam Lemak Bebas & Trigliserida, serta penumpukan lemak
Sel Lemak
Otot
Hati
Resistensi insulin
Resistensi insulin makin meningkat
Diabetes tipe 2
Sel β
Kompensasi sel β
Perubahan ekspresi & pensignalan gen
Penurunan sekresi insulin
Gambar 1. Efek kegemukan terhadap patogenesis diabetes melitus tipe 2 (Prentki et al., 2002)
9 2.2 Stres Oksidatif Radikal bebas adalah atom atau molekul yang elektron terluarnya tidak berpasangan, hingga menjadikannya tidak stabil dan sangat reaktif. Pada kondisi tubuh normal, radikal bebas diproduksi untuk membunuh mikroorganisme dan menghancurkan sel kanker (Nadler and Natarajan, 2000). Dalam tubuh, radikal bebas dibentuk di membran sel dan organel seperti mitokondria, peroksisom, retikulum endoplasmik dan sitosol melalui reaksi-reaksi enzimatik fisiologis dalam proses metabolisme (Madhavi et al., 1996). Radikal bebas dapat berkaitan pada atom oksigen dan nitrogen. Radikal bebas yang berkaitan dengan atom oksigen antara lain anion superoksida, hidrogen peroksida, hidroksil radikal, peroksil, dan alkoksil, sedang yang berkaitan dengan atom nitrogen adalah nitrit oksida, nitrogen dioksida, dan peroksinitrit (Fang et al., 2002). Anion superoksida adalah bentuk tereduksi molekul oksigen yang dibentuk melalui penerimaan satu elektron. Anion superoksida adalah radikal bebas pertama kali yang dibentuk dari sistem pemindahan elektron pada mitokondria. Hidrogen peroksida dibentuk melalui reaksi dismutasi anion superoksida oleh superoksida dismutase. Radikal ini bersifat sangat mudah berdifusi, namun merupakan radikal bebas paling tidak reaktif. Hidroksil radikal adalah radikal bebas yang paling reaktif. Radikal ini dibentuk melalui pemecahan ikatan kovalen hidrogen dan oksigen saat radiasi sel, homolytic fission, reaksi Fenton dan reaksi Haber Weiss. Radikal peroksil dan alkoksil dibentuk melalui dekomposisi alkil peroksida, iradiasi sinar ultra violet, dan homolisis peroksida. Nitrit oksida adalah radikal bebas dengan elektron tidak berpasangan tunggal. Radikal ini dibentuk dari L-arginin oleh NO sintase dan bukan termasuk radikal bebas reaktif. Nitrogen dioksida dibentuk dari reaksi radikal peroksil dan nitrit oksida dan merupakan radikal bebas yang mampu memulai peroksidasi lemak. Peroksinitrit adalah radikal bebas yang dibentuk dari reaksi nitrit oksida dan anion superoksida. Radikal ini berkemampuan merusak jaringan dan mengoksidasi LDL (Lee et al., 2004). Radikal bebas oksigen dalam tubuh berperan dalam proses fisiologis seperti transduksi signal, transkripsi gen, pengaturan aktivitas guanilat siklase,
10 sedang radikal nitrogen berperan dalam proses relaksasi dan proliferasi sel otot halus, adesi sel darah putih, agregasi platelet, angiogenesis, trombosis, tekanan pembuluh
darah,
hemodinamis,
serta
pada
syaraf
berperan
sebagai
neurotransmiter (Halliwell and Gutteridge, 1999, Droge, 2002). Radikal bebas juga dapat bertindak sebagai oksidan terhadap enzim yang mengandung logam, radikal bebas, dan spesies reaktif lainnya yang dapat mengakibatkan oksidasi pada biomolekul hingga mengarah pada kerusakan sel, penyakit degeneratif, hingga kematian (Fridovich, 1999; McCord, 2000). Stres oksidatif adalah suatu keadaan di mana kandungan oksidan atau radikal bebas dalam tubuh lebih banyak dibanding antioksidannya (BonnefontRousselot et al, 2000). Menurut Jakus (2000), Bonnefont-Rousselot et al. (2000), Maritim et al. (2003), Martin-Gallan et al, (2003), dan DeMattia et al. (2003) stres oksidatif dapat dialami penyandang diabetes akibat autooksidasi glukosa, induksi dan aktivasi enzim-enzim lipoksigenase, aktivasi glikasi, dan penurunan aktivitas antioksidan enzim. Saat hiperglikemik, glukosa yang berbentuk enediol mudah mengalami autooksidasi dalam suatu reaksi transisi yang diperantarai logam menjadi anion radikal enediol. Radikal ini selanjutnya diubah menjadi ketoaldehid yang dapat menghasilkan anion superoksida. Radikal ini selanjutnya berubah menjadi hidrogen peroksida dan akhirnya menjadi radikal hidroksil. Radikal hidroksil yang dihasilkan
melalui
autooksidasi
glukosa
secara
spesifik
menunjukkan
pengrusakan terhadap protein. Kondisi hiperglikemik dapat meningkatkan aktivitas dan ekspresi enzimenzim lipoksigenase. Enzim lipoksigenase dapat mengoksidasi LDL dengan mekanisme pengoksidasian asam arakidonat dan linoleat. Produk peroksidasi asam arakidonat disebut isoprostan. Isoprostan jenis 8-epi-prostaglandin (PG) F 2α menunjukkan peningkatan pada penyandang diabetes. Aktivasi enzim ini juga dapat membentuk anion superoksida (Natarajan et al., 1996; Davi et al., 1999). Saat keadaan hiperglikemia asam amino bebas dari protein dapat bereaksi dengan gula pereduksi (glukosa) melalui proses yang disebut glikasi atau reaksi Maillard. Reaksi ini diawali oleh reaksi kondensasi gula reduksi dengan asam amino bebas untuk membentuk basa Schiff. Melalui pengaturan ulang basa ini
11 akan membentuk produk Amadori. Produk ini selanjutnya terdegradasi dengan kehilangan RNH 2 menjadi α-dikarbonil (deoksiglukoson). Senyawa ini lebih reaktif dibanding gula asal dalam kemampuannya bereaksi dengan asam amino dan interaksi ini membentuk produk akhir yang disebut advanced Maillard products atau advanced glycation end products (AGEs). AGEs ini dapat membentuk anion superoksida (Yim et al., 1995; Meng et al., 1998). Pembentukan radikal bebas tubuh yang berlebih saat diabetes melitus dapat memicu penurunan kadar antioksidan enzimatik tubuh serta mengubah keseimbangan oksidan dan antioksidan tubuh. Stres oksidatif pada diabetes melitus terjadi akibat pembentukan spesies oksigen reaktif secara berlebih dan penurunan antioksidan enzimatik secara drastis (Jakus, 2000, Evans et al. 2002). Mekanisme pertahanan antioksidan enzim aktivitasnya akan mengalami penurunan saat tubuh mengalami hiperglikemia. Antioksidan ini tidak dapat bereaksi secara berantai saat hiperglikemia, hingga aktivitasnyapun menurun. Penurunan aktivitas antioksidan ini dapat juga diakibatkan oleh terhambatnya pertumbuhan sel endotelium oleh kondisi hiperglikemik. Sel endotelium yang rusak tidak dapat menghasilkan antioksidan enzim secara normal (Kashiwagi et al. 1999). Stres oksidatif yang berlebihan akan menimbulkan kematian sel. Mekanismenya dapat melalui nekrosis atau apoptosis. Nekrosis adalah proses kematian sel atau jaringan yang terjadi secara tiba-tiba atau setelah terjadi pajanan radikal bebas pada sel atau jaringan tersebut. Nekrosis dapat mengakibatkan sel mengalami kehilangan intergritas mitokondria, membran plasma, membran peroksisom, dan lisosom, pembengkakan sel dan rupture, kerusakan dan lisis sel (Halliwell and Gutteridge, 1999). Apoptosis adalah suatu proses kematian sel secara fisiologis yang dilakukan melalui suatu mekanisme rangkaian sel yang terprogram secara genetik. Apoptosis dapat dipicu oleh stres oksidatif, di samping karena adanya kerusakan DNA dan tiadanya faktor-faktor untuk kelangsungan hidup. Sel-sel yang mengalami apoptosis menunjukkan bahwa sitoplasmanya mengalami stres oksidatif. Sel yang mengalami apoptosis tidak menimbulkan kerusakan pada sel di
12 sekitarnya, karena sel tersebut tidak melakukan proses penglepasan intraselular ke ekstraselular (Sesikeran et al., 2002).
2.2.1 Stres Oksidatif dan Kerusakan Sel Stres oksidatif menurut Halliwell dan Gutteridge (1999) dapat merusak sel dengan cara mengganggu metabolisme kalsium, fragmentasi DNA, merusak bentuk dan keutuhan sel. Kandungan ion kalsium intraselular dipertahankan sangat rendah oleh enzim Ca2+ ATPase dan ion channel Ca2+. Kandungan ini akan meningkat secara perlahan untuk menghasilkan sinyal metabolik sebagai respons terhadap beberapa hormon. Radikal bebas dapat mengganggu atau merusak aktivitas enzim Ca2+ ATPase yang mengandung gugus sulfhidril (-SH). Enzim ini di dalam sel berfungsi sebagai pengendali konsentrasi ion Ca2+ dalam sel. Dengan adanya radikal bebas, aktivitas enzim ini menjadi inaktif hingga pengendalian konsentrasi Ca2+ terganggu. Ion Ca2+ yang berada di dalam mitokondria dan retikulum endoplasmik akan mengalami efluks ke dalam sitosol namun ion ini tidak bisa keluar dari sel. Akibatnya kadar Ca2+ sitosol meningkat dan dapat meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang tergantung pada konsentrasi Ca2+ yaitu: protease, fosfolipase dan endonuklease. Ion channel Ca2+ adalah suatu protein yang berfungsi menjaga kadar Ca2+ dalam intraselular tetap rendah. Saat sel mengalami stres oksidatif, komponen protein channel ini menjadi berubah atau rusak hingga kadar Ca2+ dalam sel dapat menjadi meningkat. Tingginya kadar Ca2+ dalam sel dapat mengaktifkan enzimenzim yang tergantung pada Ca2+ seperti fosfolipase, endonuklease, dan protease. Teraktivasinya enzim tersebut dapat merusak integritas sitoplasma sehingga sel akan mengalami kematian. Kerusakan sel dapat juga diakibatkan oleh terfragmentasinya DNA sel. Hal ini terjadi karena rantai utama DNA dipotong endonuklease yang teraktivitasi oleh tingginya kadar Ca2+. Fragmentasi juga dapat diakibatkan oleh reaksi antara radikal hidroksil (OH*) dengan DNA yang berikatan dengan Fe2+. Ion Fe2+ ini didapat dalam sel ketika sel mengalami stres oksidatif. Fragmentasi DNA yang berlebihan baik karena enzim endonuklease maupun radikal hidroksil dapat mengaktifkan enzim poli (ADP-ribosa) sintetase. Jika banyak untaian DNA yang
13 rusak, enzim ini akan menggunakan NAD+ sebagai substrat dalam jumlah besar sehingga metabolisme sel terganggu dan bahkan terhenti hingga sel menjadi mati. Sitoskeleton, molekul adesi, dan penghubung antar sel merupakan komponen protein yang memiliki gugus thiol (-SH). Komponen ini dalam sel berfungsi sebagai penentu bentuk dan keutuhan sel. Apabila gugus ini teroksidasi oleh radikal bebas maka akan menimbulkan kerusakan dan lepasnya sel endotelium dari sel tetangganya atau dari matriks ekstraselular. Matriks ekstraselular sel terdiri dari komponen protein yang berupa serabut dan cairan viscous. Komponen ini berinteraksi dengan sel endotelium untuk mengatur perlekatan, migrasi, dan proliferasi sel endotelium. Apabila komponen ini teroksidasi oleh radikal bebas berakibat sel mengalami kerusakan dan terjadi penglepasan sel endotelium. Sedangkan membran basalis sebagai tempat perlekatan sel endotelium yang terdiri dari protein serabut kolagen dengan adanya radikal bebas akan mengalami kekakuan hingga sel endotelium pun terlepas. Oksidasi radikal bebas terhadap gugus tiol juga dapat mengakibatkan blebbing (pelepuhan) yaitu perubahan bentuk sel endotelium menjadi lebih bulat. Jika proses pelepuhan lebih parah, tonjolan sel akan mengalami rupture dan terbentuk lubang pada membran sehingga sel akan mati. Selain akibat oksidasi terhadap gugus tiol pelepuhan juga dapat diakibatkan oleh enzim protease yang teraktivasi oleh tingginya kadar Ca2+ dalam sitoplasma.
2.2.2 Stres Oksidatif dan Membran Sel Komponen utama penyusun membran sel adalah lemak dan protein. Kedua komponen ini menurut Halliwell dan Gutteridge (1999) dalam kondisi stres oksidatif akan mengalami kerusakan hingga sel menjadi mati. Kerusakan ini dipicu adanya reaksi oksidasi oleh radikal bebas. Asam lemak rantai panjang tak jenuh dari fosfolipid membran sel sangat peka terhadap keberadaan radikal bebas hingga mengalami peroksidasi. Peroksidasi lemak pada membran sel ini dapat mengakibatkan membran mengalami perubahan permeabilitas. Radikal bebas yang bersifat reaktif dapat menarik atom hidrogen asam lemak tidak jenuh rantai panjang dari membran sel. Senyawa karbon yang atom hidrogennya dikurangi memiliki elektron yang tidak berpasangan dan menjadi
14 radikal bebas. Radikal hidroksil merupakan salah satu radikal bebas yang dapat mengawali peroksidasi lemak. C-H + OH*
C* + H 2 O
Ketika radikal C* terbentuk pada bagian hidrofob membran sel, akan memudahkan terjadi reaksi antara radikal ini dengan O 2 yang terlarut dalam membran. Lipid* + O 2
Lipid-O 2 * (radikal peroksil)
Radikal peroksil yang terbentuk ini bersifat sangat reaktif dan dapat mengoksidasi rantai asam lemak panjang tidak jenuh lainnya yang berdekatan. Lipid-O 2 * + Lipid-H
Lipid-O 2 H + Lipid*
Reaksi-reaksi di atas akan berulang kembali dan keseluruhan proses tersebut bersambung dalam reaksi berantai radikal bebas hingga sel menjadi rusak dan mati. Protein juga merupakan komponen penyusun membran sel. Komponen ini berada di bagian dalam dan luar membran. Radikal bebas dapat merusak komponen ini melalui reaksinya dengan asam amino penyusun protein yang mengandung gugus sulfhidril (-SH). Pembentukan ikatan disulfida akibat reaksi ini akan menimbulkan ikatan antar molekul protein secara silang hingga protein mengalami agregasi atau depolarisasi. Akibatnya protein menjadi kaku dan kehilangan fungsi sebagai kanal ion maupun pompa ion. Hilangnya fungsi ini memudahkan sel menjadi rusak dan mati.
2.2.3 Sistem Proteksi terhadap Radikal Bebas Terbentuknya radikal bebas tidak akan menyebabkan kerusakan atau mengganggu proses fisiologis tubuh apabila sistem proteksi enzimatik dalam sel (Free radical scavenger) dan sistem proteksi non-enzimatik (antioksidan) cukup untuk menghambat terjadinya reaksi propagasi radikal bebas dan dapat mendetoksifikasi radikal bebas yang terbentuk. Mekanisme penghambatan aktivitas radikal bebas oleh antioksidan menurut Widodo et al. (1995) dapat berupa: 1. bekerja sebagai pengganti enzim antioksidan yang telah habis, 2. bekerja dengan mengintervensi reaksi radikal bebas, dan 3. mematahkan reaksi rantai pada reaksi radikal bebas. Sementara itu
15 Lee et al. (2004) menjelaskan bahwa antioksidan mampu mencegah kereaktifan radikal bebas melalui tiga mekanisme: 1. pendonoran hidrogen, 2. pengkelasian logam, dan 3. quencher oksigen singlet. Antioksidan-antioksidan pendonor hidrogen berperan menurunkan kereaktifan radikal bebas dengan memberikan hidrogennya pada radikal bebas. Antioksidan jenis pengkelat logam dapat mencegah pemercepatan tahap pemulaan oksidasi lemak, pembentukan oksigen tunggal, radikal alkoksil, radikal peroksil, dan radikal hidroksil dengan pembentukan ion kompleks dan senyawa koordinasi dengan logam. Antioksidan quencher oksigen singlet berkemampuan mencegah pembentukan produk teroksidasi melalui perubahan oksigen singlet menjadi oksigen triplet dengan pemindahan energi atau muatan tanpa pembentukan produk antara atau terlibat dalam pembentukan produk antara. Enzim-enzim
antioksidan
seperti
Superoxide
dismutase
(SOD),
Glutathione peroxidase (GSH-Px) dan Catalase (CAT) berperan sebagai pertahanan antar sel dalam tubuh.
Enzim-enzim ini mampu menurunkan
kereaktifan radikal bebas melalui pendekomposisian spesies oksigen reaktif. SOD mengubah radikal superoksida menjadi hidrogen peroksida, GSH-Px mereduksi hidrogen peroksida menjadi air dan katalase mendetoksifikasi hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen (Jakus, 2000, Nadler and Natarajan, 2000, Nedeljkovic et al., 2003). Secara ringkas sistem detoksifikasi radikal bebas oleh enzim antioksidan dapat dilihat pada Gambar 2. eO2
O2 -
O2 -
O2
O2 -
H2 O2
H+
O2 .
OH
H2 O
SOD H2 O + O2 CAT
2H 2 O GSH-Px
Gambar 2. Sistem detoksifikasi radikal bebas oleh enzim antioksidan
Sistem proteksi non enzimatik terhadap radikal bebas dapat meliputi vitamin C, vitamin E, karotenoid, dan polifenol. Vitamin C dapat bertindak
16 sebagai antioksidan dengan cara menyumbangkan atom hidrogennya ke radikal bebas dan quenching oksigen singlet. Vitamin E dapat bertindak sebagai antioksidan melalui pendonoran atom hidrogen dari gugus hidroksil pada cincin kromanol dan scavenger radikal bebas. Karotenoid bertindak sebagai antioksidan karena kemampuannya sebagai quencher terhadap radikal bebas. Sementara itu polifenol dapat bersifat sebagai antioksidan karena kemampuannya mendonorkan atom hidrogen, scavenger radikal bebas, dan pengkelat ion logam (Desphande et al., 1996; Lee et al., 2004). Polifenol dapat bersifat sebagai antioksidan dijelaskan oleh Rice-Evans et al. (1997) karena senyawa ini mempunyai sifat pereduksi yakni agen pendonor atau
penyumbang
hidrogen.
Lebih
lanjut
ditegaskan
bahwa
aktivitas
antioksidannya sangat ditentukan oleh: reaktivitasnya sebagai agen pendonor hidrogen (kaitannya dengan potensial reduksi), reaktivitasnya dengan antioksidan yang lain, potensial transisi pengkelat logam, dan kemampuannya untuk menstabilisasi dan mendelokalisasi elektron tak berpasangan. Polifenol mempunyai struktur kimia yang ideal dalam kaitannya sebagai scavenger radikal. Hal ini dapat dilihat dari uji interaksi, laju konstanta reaksi, dan stabilitas radikal polifenol dengan radikal hidroksil (OH*), azida (N 3 *), anion superoksida (*O 2 -), dan lipid peroksil (LOO*) dibanding vitamin E dan C. Potensi polifenol sebagai antioksidan dapat juga diamati dari kecenderungan senyawa ini untuk mengkelat logam terutama besi dan tembaga, sehingga dapat menghambat pembentukan radikal bebas yang dikatalis oleh logam (Rice-Evans et al., 1997).
2.3 Sel Endotelium 2.3.1 Struktur dan Fungsi Sel endotelium adalah selapis sel epitel yang berbentuk poligonal dan berasal dari mesoderm. Sel ini terletak di bagian intima pembuluh darah dan melekat pada membran basalis. Sel endotelium mempunyai sebuah inti dengan panjang 5-25 µm dan tebal 3 µm. Sel ini memanjang seiring dengan aliran darah. Pada hubungan antar sel endotelium terdapat bagian yang overlapping untuk membantu perlekatan pada pembuluh darah. Pada kondisi fisiologis sel ini merupakan pembatas intima dan media pembuluh darah dari pengaruh fisik
17 komponen darah. Pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg, sel ini meliputi area seluas 700 m2 dengan berat 11,5 kg (Haller, 1997). Sel endotelium merupakan bagian yang sangat penting tidak saja sebagai sistem pembatas namun juga sebagai tempat beberapa reseptor dan angiogenesis. Sel ini juga berfungsi menghasilkan berbagai mediator yang berperan terhadap viskositas, kontraktilitas pembuluh darah, proliferasi sel otot polos dan interaksi elemen darah dengan dinding pembuluh darah. Sel endotelium yang sehat akan bersifat anti adesi dan anti trombosis serta berperan terhadap mengalirnya (fluiditas) aliran darah (Nystrom, 2005). Fungsi sel endotelium tersebut dapat berlangsung karena adanya substansi yang disekresikan oleh sel endotelium ke darah dan otot halus. Substansi itu ada dua golongan besar yaitu Endothelium Derived Relaxing Factors (EDRF) yang terdiri atas NO (nitrit oksida), prostasiklin (PGI 2 ), dan faktor relaksasi hiperpolarisasi, dan Endothelium Derived Contracting Factors (EDCF) yang terdiri atas endotelin-I (ET-I), tromboksan A, prostaglandin, dan angiotensin II (Haller 1997). Interaksi sel endotelium dan darah tidak hanya melibatkan interaksi komponen darah dengan sel, namun juga berperan terhadap aliran darah. Hal ini menjadikan sel endotelium bertanggung jawab terhadap pengaturan secara akut dan adaptasi secara kronis pembuluh darah. Pengaturan pembuluh darah secara akut sel endotelium ditandai dengan dihasilkannya faktor-faktor vasodilator, seperti nitrit oksida (NO), endothelium derived hyperpolarization factor (EDHF) dan prostaglandin (PGI 2 /PGE 2 ). Sel ini juga mampu menginduksi vasokonstriktor yaitu endothelin-1 (ET-1) (deVriese et al. 2000). NO adalah senyawa yang dihasilkan sel endotelium yang berperan dalam pengaturan pembuluh darah. NO dihasilkan melalui aktivitas NO sintase (NOS) yang
menginduksi
vasodilatasi,
peningkatan
aliran
darah,
hipotensi,
penghambatan agregasi dan adesi platelet, dan penurun proliferasi otot polos. NO dihasilkan eNOS dikenal sebagai senyawa aktif yang berperan dalam pencegahan aterosklerosis (Schmitt and Dirsch, 2009). NO dihasilkan melalui pengubahan L-arginin oleh NOS menjadi L-sitrulin dengan keberadaan oksigen dan kofaktor. Kofaktor yang terlibat dalam reaksi
18 tersebut antara lain: calmodulin, tetrahidrobiopterin (BH4), NADPH tereduksi, heme, FAD, dan FMN. Peningkatan konsentrasi Ca2+, fosforilasi Ser1177/1179 dari fosfatidilinositol-3 (PI-3) kinase dan Ser/Thr protein kinase Akt dapat mengaktifkan NOS. Produksi NO sangat tergantung pada ketersediaan L-arginin. L-Arginin di dalam sel dihasilkan dari L-sitrulin melalui aktivitas arginosuksinat sintase dan arginosuksinat liase (deVriese et al. 2000). NO dilepaskan dari sel endotelium dalam merespons keberadaan senyawa kimia (asetilkolin [ACh], bradikinin [BK] atau ionofor Ca2+) dan tekanan fisik (tegangan geser, aliran darah) yang menghasilan vasodilatasi, menurunkan tekanan pembuluh darah, tekanan darah, menghambat agregasi dan adesi platelet, menghambat adesi dan migrasi leukosit, dan menurunkan proliferasi otot polos hingga pada akhirnya mencegah aterosklerosis. Fungsi NO ini dimediasi oleh cyclic-Guanylate Monophosophate (cGMP) yang disintesis soluble guanylyl cyclase, yaitu suatu enzim yang mengandung heme (deVriese et al. 2000). Produksi NO dalam pembuluh darah sangat tergantung pada aktivitas eNOS. Enzim ini dapat diregulasi oleh senyawa aktif, seperti polifenol, dalam beberapa mekanisme, yaitu: (1) ekspresi gen eNOS, melalui mekanisme epigenetik, yaitu metilasi promoter eNOS dan deasetilasi histon, (2) modifikasi post translasi, fosforilasi eNOS adalah mekanisme utama dalam regulasi aktivitas eNOS, seperti terfosforilasinya Ser1177 akan meningkatkan aktivitas eNOS melalui masuknya elektron dalam enzim. Fosforilasi ini dikatalisis oleh protein kinase B (Akt), (3) interaksi protein-protein, calmodulin (CaM) adalah protein yang pertama kali diketahui berinteraksi dengan eNOS. Interaksi ini akan meningkatkan masuknya elektron dalam enzim dan selanjutnya meningkatkan aktivitas eNOS, (4) ketersediaan substrat, L-arginin adalah substrat utama bagi eNOS untuk menghasilkan NO. L-arginin dapat dihasilkan melalui daur ulang Lsitrulin melalui aktivitas arginosuksinat sintase, (5) inaktivasi NO oleh anion superoksida dan aktivitas eNOS yang tidak normal, anion superoksida mempunyai reaktivitas yang tinggi terhadap NO, sehingga ketersediaan NO menjadi rendah. Aktivitas eNOS yang tidak normal akan menghasilkan anion superoksida (Schmitt and Dirsch, 2009).
19 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa polifenol pada anggur, teh hijau dan hitam, cokelat, kedelai, dan buah delima dapat meningkatkan modulasi eNOS untuk menghasilkan NO. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa polifenol dapat meningkatkan ketersediaan NO melalui peningkatan ekspresi eNOS, peningkatan ikatan CaM terhadap eNOS, peningkatan konsentrasi Ca2+ yang mendorong pada fosforilasi eNOS pada Ser1177 melalui lintassan fosfatidilinositol3-kinase (PI-3K)/Akt, dan menurunkan kadar anion superoksida.
2.3.2 Disfungsi Sel Endotelium Sel endotelium
pada
pembuluh
darah
mudah
mengalami
stres
hemodinamis yaitu tekanan akibat aliran, tekanan, dan viskositas darah. Apabila kondisi hemodinamis berubah, seperti hiperglikemia, maka fungsi sel endotelium sebagai pengendali perlintasan larutan, makromolekul ataupun sel darah ke dalam pembuluh darah akan berubah pula. Stres hemodinamis yang ringan dan sesaat masih memungkinkan sel endotelium tidak kehilangan fungsi utamanya melalui reendotelisasi, namun bila berlangsung lama dan berat sel endotelium akan kehilangan fungsinya (Drenckhahn and Ness, 1997). Sel endotelium dapat menghasilkan granul membran protein 140 kDA (GMP-140) yang dapat mengikat neutrofil dan monosit, sehingga bila sel endotelium teraktivasi dengan cepat terjadi translokasi neutrofil dan monosit ke dalam membran. Setelah monosit menempel pada endotelium, segera monosit melanjutkan migrasinya ke lapisan intima. Proses migrasi monosit sangat berkaitan dengan adanya monocyte chemoatractant protein-1 (MCP-1) yang dihasilkan oleh sel endotelium, otot polos dan makrofag. Masuknya monosit ke dalam dinding
arteri merupakan
hal
yang
berguna dalam
membantu
menghilangkan endapan yang terbentuk. Pembersihan dilakukan oleh sel makrofag yang berasal dari modifikasi monosit. Namun bila prosesnya berjalan kronis, maka proses pengambilan monosit oleh lapisan endotelium arteri ini dapat merusak (Ross, 1999, Nystrom, 2005). Disfungsi endotelium adalah suatu keadaan di mana produksi faktor vasodilator tidak seimbang dengan faktor vasokontriksi. Faktor vasodilator antara lain nitrit oksida, prostasiklin dan endothelial derived hyperpolarizing factor
20 (EDHF) dan faktor vasokontriksi adalah endotel-1, angiotensin II dan prostaglandin. Ketidak-seimbangan kedua faktor ini akan mengarah pada kondisi pro-aterogenesis (Eckel et al., 2002, Suryadipraja, 2003, Fonseca et al., 2004, Nystrom, 2005). Disfungsi sel endotelium dapat disebabkan oleh kerusakan morfologi atau struktur sebagai akibat terjadinya disintegrasi sel dan gangguan fungsi walau sel tidak mengalami disintegrasi. Kerusakan struktur dapat terjadi akibat aktivitas beberapa enzim proteolitik yang menyebabkan pecahnya matriks molekul adesi dan akibatnya sel endotelium menjadi terlepas. Terjadinya disfungsi endotelium merupakan awal pembentukan plak ateroma yang ditandai dengan meningkatnya adesi monosit pada endotelium arteri yang dipicu oleh intracellular adhesion molecul-1 (ICAM-1) yang juga akan menarik neutrofil dan monosit. Sel endotelium saat kondisi hiperglikemia atau diabetes dapat rusak karena adanya faktor-faktor sirkulasi seperti tingginya asam lemak bebas, lipoprotein, turunan glikasi dan oksidasi (Eckel et al., 2002, Nystrom, 2005). Sel endotelium pada kondisi hiperglikemik akan mengalami disfungsi akibat
peningkatan
permeabilitas
dan
penurunan
vasorelaksan.
Kondisi
hiperglikemik dapat memicu pengaktifan protein kinase C (PKC) yang berada dalam sitoplasma sel endotelium. Teraktivasinya enzim ini akan mengaktifkan interaksi aktin dan miosin hingga terjadi permeabilitas atau kontraksi sel (Haller, 1997). Sowers and Lester (1999) menjelaskan bahwa saat hiperglikemia produksi vasorelaksan menurun hingga sel endotelium mengalami kontraksi. Ada beberapa mekanisme penyebab disfungsi sel endotelium pada diabetes melitus, yaitu: penurunan produksi satu di antara EDRF, peningkatan inaktivasi EDRF, kegagalan difusi EDRF ke sel otot polos, penurunan respons otot polos terhadap EDRF dan peningkatan endhothelium-derived contracting factor (EDCF). Mekanisme disfungsi sel endotelium pada kondisi diabetes melitus secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 3.
21
Gambar 3. Mekanisme disfungsi sel endotelium akibat diabetes (deVriese et al. 2000) Gambar 3 menunjukkan keadaan hiperglikemia dapat mengakibatkan keadaan disfungsi sel endotelium. Ada enam faktor yang menyebabkan kondisi ini muncul saat diabetes melitus. Pertama, hiperglikemik mengakibatkan perubahan konformasi membran sel endotelium dan reseptor, sehingga sel endotelium kurang sensitif terhadap keberadaan agonis. Kedua, hiperglikemik menurunkan produksi EDRF dan meningkatkan produksi EDCF yang berakibat pembuluh darah dominan mengalami kontraksi. Ketiga, hiperglikemik menghambat difusi EDHF sehingga efflux K+ terhambat dan konsentrasi Ca2+ menjadi tinggi yang berakibat pembuluh darah menjadi tegang. Keempat, hiperglikemik menghambat kerja ion K+ channel yang mengakibatkan konsentrasi K+ dalam sitosol otot polos tetap tinggi dan berakibat otot polos tegang. Kelima, anion superoksida yang dihasilkan kondisi hiperglikemia berinteraksi dengan PGI 2 dan berakibat bioaktivitasnya untuk
vasorelaksasi
menurun.
Keenam,
hiperglikemik
meningkatkan
vasoconstriction substances, seperti turunan prostaglandin yang berakibat pembuluh darah mengalami konstraksi (deVriese et al. 2000). Disfungsi sel endotelium dapat juga diakibatkan oleh degradasi NO dan stres oksidatif. NO yang disintesis melalui NOS atau dari donor NO secara non enzimatis akan diinaktivasi secara cepat melalui oksidasi menjadi nitrit atau nitrat. Ketidakcukupan BH 4 juga berperan pada terjadinya disfungsi ini, karena aktivitas NOS menjadi tidak normal
yang berakibat menghasilkan anion superoksida
22 menggantikan NO. Anion superoksida dapat bereaksi dengan NO membentuk peroksinitrit, yaitu salah satu spesies oksigen reaktif yang sangat toksik. Radikal ini dapat secara efektif dibersihkan oleh SOD dan katalase. 2.4 Florotanin Polifenol adalah salah satu fitokimia yang banyak tersebar di alam ini dan ada sekitar 8000 strukturnya yang telah diketahui. Mulai dari yang berupa fenol sederhana hingga tanin yang berberat molekul lebih dari 30 kDa. Senyawa ini bila dikonsumsi dapat mencegah penyakit akibat radikal bebas. Senyawa ini mampu menurunkan kejadian penyakit tersebut karena sifatnya yang mudah mendonorkan atom hidrogennya pada radikal bebas (King, 1999; Chung et al., 1998; Lee et al., 2004). Tanin adalah salah satu polifenol yang banyak terkandung dalam tanaman. Senyawa ini terdiri dari tanin terkondensasi, tanin terhidrolisis dan florotanin. Tanin terkondensasi disusun oleh oligomer dan polimer flavonols, sedang tanin hidrolisat tersusun oleh asam galat dan elagat. Tanin terhidrolisis dalam pangan manusia hampir dapat dikatakan jarang dijumpai dibanding tanin terkondensasi (Cheynier, 1999; Chung et al. 1998, Quideau et al., 2011). Florotanin adalah sejenis tanin yang berbeda dengan tanin yang terdapat pada tanaman darat. Tanin ini terdapat pada rumput laut coklat. Senyawa ini dalam rumput laut coklat dapat mencapai 25 % berat kering. Tanin ini tersusun atas polimerisasi floroglusinol (1,3,5-trihidroksibensen). Berdasar stuktur ikatan antar floroglusinol, florotanin dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu: 1. florotanin yang terbentuk dengan ikatan eter, 2. florotanin yang terbentuk dengan ikatan fenil, 3. florotanin yang terbentuk dengan ikatan eter dan fenil, dan 4. florotanin yang terbentuk dengan ikatan dibenzodioksin. (Singh and Bharate, 2006). Rumus bangun floroglusinol dan turunannya dapat dilihat pada Gambar 4.
23 OH
OH
OH
OH
OH
OH
HO
HO
OH O
HO
OH
HO
HO
OH
Bifuhalol
OH
Difukol
O
HO
OH HO O
Floroglusinol
HO
HO
HO
O
OH
OH
OH
O
OH
OH
HO
Eckol
Fukofloretol
Gambar 4. Rumus bangun floroglusinol dan turunannya Florotanin dalam rumput laut coklat terdapat dalam organel sel yang disebut physodes. Organel ini terdapat dalam sitoplasma dan berbentuk lingkaran atau elips. Organel ini mudah berpindah-pindah dan mampu memantulkan cahaya. Saat physodes bergerak dan berfusi ke dalam membran sel, florotanin akan disekresikan ke membran sel. Florotanin yang tersekresi itu selanjutnya akan membentuk ikatan kompleks dengan asam alginat. Asam alginat adalah salah satu komponen utama membran sel rumput laut coklat selain alginat dan fukan (Ogino C, 1962; Shibata et al. 2004; Koivikko et al., 2005). Florotanin merupakan senyawa yang berwarna coklat kekuning-kuningan. Senyawa ini akan terlihat coklat gelap bila ditempatkan di udara bebas dan memberikan warna merah bila direaksikan dengan asam klorida. Senyawa ini bersifat higroskopis, pereduksi kuat dan mudah larut dalam pelarut polar (Ogino C, 1962; Pavia et al., 2002). Kelarutan florotanin dalam berbagai pelarut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kelarutan florotanin dalam berbagai pelarut No. 1. 2. 3. 4. 5.
Pelarut Air Metanol Etanol Kloroform Eter
Polaritas (P’)
Kelarutan
10,2 5,1 4,3 4,1 2,8
Larut Larut Larut Tidak larut Tidak larut
Sumber: Ogino C (1962) Beberapa peneliti telah berhasil mengekstrak dan mengisolasi florotanin dari beberapa spesies rumput laut coklat. Nagayama et al. (2002) telah mengekstraksi florotanin dari Eisenia bicyclis. Tepung rumput laut coklat ini diekstrak dengan metanol (1:3;b/v) dalam erlenmeyer sambil digoyang dengan
24 kecepatan 90 rpm selama 48 jam. Selanjutnya disaring dan dipekatkan dengan rotavapor. Ekstrak pekat selanjutnya ditambah metanol 240 mL, kloroform 480 mL, dan air bebas ion 180 mL. Setelah penambahan pelarut polar dan non-polar tersebut, lapisan bagian atasnya dipisahkan dan diekstrak dengan etil asetat 300 mL 2 kali. Ekstrak ini selanjutnya dipekatkan dengan rotavapor dan dinyatakan sebagai florotanin kasar. Sementara itu Wei et al. (2003) telah mendapatkan florotanin berberat molekul besar dari S. kjelmanianum. Rumput laut ini yang telah ditepungkan diekstrak dengan etanol 85% (1:2; b/v) sambil digoyang selama semalam di dalam ruang gelap. Selanjutnya disaring untuk mendapatkan larutan coklat gelap. Larutan selanjutnya dipekatkan dengan rotavapor dan pekatan yang dihasilkan dicuci kloroform 3 kali dan dilanjutkan dengan eter 3 kali. Lapisan aqueous didialisis dengan akuabides selama semalam dalam ruang gelap bersuhu 4oC. Selama dialisis akuabides diganti 3 kali. Dialisat selanjutnya dipekatkan dengan rotavapor. Dialisat pekat selanjutnya dielusi dalam kromatografi kolom dengan toluen, aseton, dan aseton-metanol (1:2; v/v). Eluat aseton-metanol dinyatakan sebagai florotanin berberat molekul besar. Okada et al. (2004) telah mengisolasi turunan florotanin yaitu eckol dan dieckol dari Eisenia kurome. Rumput laut coklat ini sebelumnya direfluks metanol (1:18;b/v) selama 3 jam dan 3 kali. Setelah metanol diuapkan, ekstrak selanjutnya difraksinasi dalam kolom kromatografi dengan eluen air, metanol, aseton, dan etil asetat. Fraksi metanol difraksinasi lagi dengan metanol aquoeus, metanol, dan aseton untuk menghasilkan fraksi 1-10. Fraksi 4 selanjutnya difraksinasi dengan metanol untuk mendapatkan fraksi 11-14. Fraksi 13 selanjutnya dielusi dengan nbutanol-n-propanol-H 2 O (4:1:5; v/v/v) untuk menghasilkan fraksi 15-23. Akhirnya fraksi 21 teridentifikasi sebagai dieckol dan fraksi 22 sebagai eckol. Berdasarkan pada strukturnya florotanin dapat berfungsi sebagai antioksidan. Beberapa penelitian menunjukkan senyawa ini mampu menunjukkan aktivitasnya sebagai antioksidan. Yan et al. (1998) mendapati bahwa aktivitas scavenger florotanin yang didapat dari S. kjelmanianum lebih kuat dibanding vitamin E. Sementara itu Lim et al. (2002) mendapatkan bahwa florotanin yang diperoleh dari S. siliquastrum mampu menghambat aktivitas anion superoksida
25 dan hidroksil radikal, sedang Kang et al. (2004) menunjukkan bahwa florotanin dari rumput laut coklat spesies Ecklonia stolonifera mampu menghambat pembentukan spesies oksigen reaktif. Lebih lanjut Mori et al. (2003) menunjukkan bahwa florotanin yang didapat dari rumput laut coklat mampu menghambat peroksidasi lemak. Hal serupa dilaporkan oleh Wei et al. (2003) bahwa florotanin dari S. kjelmanianum yang berberat molekul besar juga mampu menghambat peroksidasi lemak. Okada et al. (2004) menyatakan florotanin yang didapat dari Eisenia bicyclis potensial untuk mencegah terjadinya komplikasi diabetes yakni dengan menghambat pembentukan Advanced Glycation End Products (AGEs) yaitu suatu radikal bebas yang dibentuk saat kondisi tubuh mengalami hiperglikemia atau diabetes. Mekanisme aktivitas antioksidan florotanin dapat berupa donor hidrogen (proton), pengkelat logam dan peningkat aktivitas antioksidan enzim. Beberapa peneliti telah menunjukkan aktivitas tersebut antara lain: Nakai et al. (2006) memperlihatkan florotanin mempunyai kemampuan membersihkan anion superoksida lima kali lebih kuat dibanding katekin dan kekuatannya ini sangat tergantung pada oligomerisasi penyusun florotanin, Ahn et al. (2007) menunjukkan florotanin E. cava adalah senyawa kaya elektron yang cenderung memasuki reaksi donasi elektron yang sangat efisien, Rastian et al. (2007) memperlihatkan struktur dan keberadaan gugus hidroksil florotanin berperan dalam fungsinya sebagai senyawa antioksidan. Ye et al. (2009) memperlihatkan florotanin dari S. pallidum dapat berfungsi sebagai antioksidan karena kemampuannya dalam mendonorkan protonnya dan Li et al. (2009) menyatakan jumlah gugus hidroksil pada florotanin adalah yang paling bertanggung jawab terhadap efektivitas aktivitas penurunan reaktivitas radikal bebas. Santoso et al. (2004) memperlihatkan ekstrak metanol S. polycystum mampu menghambat oksidasi minyak ikan yang diinduksi Fe2+ dengan kapasitas pengikatan pada logam tersebut sekitar 60%, hal ini dimungkinkan karena banyaknya gugus hidroksil yang terdapat pada florotanin. Florotanin S. pallidum menunjukkan aktivitas antioksidan dengan menghambat permulaan oksidasi lemak melalui pembentukan ion kompleks terhadap ion Fe2+ (Ye et al., 2009). Sementara itu Lee at al. (2010b) menyatakan florotanin dapat meningkatkan
26 aktivitas antioksidan enzim dengan terlebih dahulu menurunkan aktivitas radikal bebas hingga gugus sulfhidril asam amino enzim tidak teroksidasi. Kang et al. (2006) berpendapat florotanin dapat melindungi fungsi antioksidan enzim akibat radikal bebas dengan meningkatkan fosforilasi ERK.