BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Koping 2.1.1. Pengertian Koping Koping merupakan suatu tindakan mengubah kognitif dan usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal dan eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Koping membutuhkan usaha yang diperoleh lewat proses belajar. Koping dipandang sebagai usaha untuk menguasai situasi tertekan, namun bukan secara keseluruhaan (Lazarus dan Folkman, 1984). 2.1.2. Mekanisme Koping Mekanisme koping merupakan usaha yang dilakukan individu untuk menanggulangi stres yang dihadapi (Stuart & Laria, 2005). Menurut Keliat (1999) mekanis koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situasi yang mengancam. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) bahwa mekanisme koping merupakan suatu perubahan yang konstan dari usaha kognitif dan tingkah laku untuk menata tuntutan internal maupun eksternal yang dinilai sebagai yang membebani atau melebihi sumber daya individu. Menurut Kelliat (1999), mekanisme koping ada dua, yaitu koping adaptif dan maladaptif. Mekanisme koping adaptif adalah suatu usaha yang dilakukan individu
Universitas Sumatera Utara
dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stresor atau tekanan yang bersifat positif, rasional dan konstruktif. Sementara, mekanisme koping maladaptif suatu usaha yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stresor atau tekanan yang bersifat negatif, merugikan, destruktif dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Koping dapat dikaji dari berbagi aspek, diantaranya adalah aspek fisiologis dan psikologis. Reaksi fisiologis yakni tanda dan gejala atau manifestasi tubuh terhadap stres, seperti : pupil melebar, keringat meningkat, denyut nadi meningkat, kulit dingin, tekanan darah meningkat, mulut kering, gula darah meningkat, frekuensi dan kedalaman pernafasan meningkat, reaksi fisiologis merupakan indikasi klien dalam keadaan stres. Reaksi psikososial dapat dikaji dari berbagai reaksi pasien yang terkait dengan aspek psikososial yakni reaksi orientasi tugas dan mekanisme pertahanan diri. Reaksi orientasi tugas yakni berorientasi terhadap tindakan untuk memenuhui tuntutan dari situasi stres secara realistis dapat berupa konstruktif dan destruktif, seperti perilaku menyerang (agresif) biasanya untuk menghilangkan atau mengatasi rintangan untuk memuaskan kebutuhan, perilaku menarik diri digunakan untuk menghilangkan sumber ancaman baik secara fisik atau psikologis, dan perilaku kompromi digunakan untuk merubah tujuan atau memuaskan aspek kebutuhan pribadi seseorang. Sementara, mekanisme pertahanan diri sering disebut sebagai pertahanan mental, adapun contoh mekanisme pertahanan diri seperti; (a). Kompensasi merupakan proses dimana seseorang memperbaiki penurunan citra diri dengan tegas menonjolkan
Universitas Sumatera Utara
kelebihan yang dimiliki dirinya; (b). Denial/ menyangkal, merupakan perilaku penolakan terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan; (c). Displacement, mengalihkan emosi yang semula ditujukan pada seseorang atau benda lain yang biasanya netral atau sedikit mengancam dirinya; (d). Identifikasi merupakan proses dimana seseorang menjadi orang yang dikagumi, berupaya dengan meniru perilaku, pikiran dan selera orang tersebut; (e). Intelektualisasi merupakan menggunakan logika berlebihan untuk menghindari pengalaman yang menggangu perasaannya, dan (f). Supresi merupakan menekan konflik, implus-implus yang tidak dapat diterima secara sadar. Individu tidak memikirkan hal-hal yang kurang menyenangkan bagi dirinya. 2.1.3. Jenis Mekanisme Koping. Usaha yang dilakukan dalam mengatasi stres dengan mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Koping ini ditujukan untuk mengurangi demands dari situasi yang penuh dengan stres. a)
Problem focused coping : (1) Confrontatif coping : mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi dan pengambilan resiko; (2). Seeking social support : Usaha untuk mendapat kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain; (3). Planful problem solving
: Usaha untuk mengubah keadaan yang
dianggap menekan dengan cara hati-hati, bertahap dan analitis.
Universitas Sumatera Utara
b)
Emotional Focused Coping, Usaha mengatasi stres dengan mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang ditimbulkan oleh sesuatu yang dianggap penuh tekanan. Emotional focused coping ditujukan untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi stres. Strategi yang digunakan (1). Self-control : Usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapai situasi yang menekan; (2). Distancing : Usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, menghindari seolah-olah tidak terjadi permasalahan, menciptakan pandangan yang positif. (3). Positive reaprisial : Usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya bersipat religius. (4). Acepting responsibility : Usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk menjadi lebih baik. (5). Escape/avoidance : usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut dan menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok dan obat-obatan. Menurut Wong, Reker dan Peacock (2006), ada enam (6) jenis–jenis
mekanisme koping yang dilakukan oleh individu adalah a.
Berorientasi pada situasi Melibatkan strategi yang berfokus pada pemecahan masalah yang ada dengan
mengubah situasi, baik dengan usaha sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Seperti, bergantung pada tindakan atau bantuan langsung seseorang untuk
Universitas Sumatera Utara
memecahkan suatu masalah, mengubah situasi yang ada dengan bantuan orang lain untuk memecahkan masalah, dan melibatkan praktisi sosial. Kemampuan sosial dan dukungan sosial merupakan bagian dari koping berorientasi pada situasi yang merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku sesuai dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat yang meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional yang diberikan kepada individu dari dukungan orang tua, keluarga, teman dan lingkungan masyarakat sekitarnya (Lazarus, dan Folman, 1984). Mekanisme koping adaptif sesuai dengan situasi, masalah dan stres yang terjadi. Koping penderita diabetes dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah penerimaan penderita terhadap penyakitnya, pengalaman keluarga terhadap perawatan anggota dengan penyakit diabetes, dan persepsi penderita terhadap penatalaksanaan penyakitnya (Malacara, et al., 2011). Pada individu yang optimis, akan lebih berfokus pada pemecahan masalah dalam menghadapi stres, berfokus pada strategi koping yang adaptif, invidivu tidak menyalahkan diri sendiri, tidak lari dari masalah dan tidak berfokus pada hal-hal yang negatif (Wrosch & Scheier, 2003). b.
Berorientasi pada Pencegahan Berorientasi pada pencegahan merupakan perbaikan dari dalam diri atau
usaha yang dilakukan dengan meningkatkan kemampuan diri untuk menjadi lebih siap terhadap permasalahan yang ada di masa depan, dan perbaikan dari luar diri. Usaha yang dilakukan seseorang untuk memperbaiki kondisi atau jaringan untuk menjadi lebih siap.
Universitas Sumatera Utara
Kemampuan memecahkan masalah berdasarkan koping berorientasi pada pencegahan merupakan kemampuan individu untuk mencari sumber informasi, mengidentifikasi masalah yang bertujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan dan kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang akan dicapai, dan akhirnya melakukan rencana dengan tindakan yang tepat (Lazarus, dan Folman, 1984). c.
Berorientasi pada Agama Berfokus pada Tuhan untuk menyelasaikan suatu permasalahan baik yang ada
maupun yang belum terjadi. Seperti, menyelesaikan masalah dengan mendekatkan diri pada Tuhan dan mencari solusi dengan bantuan pemuka agama. Pada saat mengalami stres, individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya, dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat menerima keadaan sakit yang dialami penderita khususnya jika penyakit tersebut membutuhkan proses penyembuhan yang lama dengan hasil yang belum pasti. Menurut Mcsherry (2006) bahwa kebutuhan religius merupakan syarat yang utama dalam diri individu, jika seorang individu mampu mengidentifikasi dan memenuhi persyaratan, maka dapat bermakna dalam kehidupan serta harapan dalam hidup juga tidak terancam. Oleh karena itu, setiap masalah yang timbul akan dikaitkan dengan religius, hidup keagamaan memberikan kekuatan jiwa bagi setiap individu dalam mengahadapi cobaan hidup, dan menimbulkan sikap rela menerima kenyataan bahwa Tuhan menakdirkannya (Hamid, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Jake Lawson dalam Rohmah & Wahyuni (2012) bahwa penderita diabetes yang berusaha realistis mengenai apa yang dapat atau tidak dapat dilakukan, berusaha untuk realistis mengenai apa yang menjadi atau tidak menjadi tugas atau tanggung jawab untuk diperbaiki, dirubah, atau dikontrol. Menyerahkan kepercayaan kepada Tuhan, dan meyakini bahwa Tuhan lebih kuat dan dapat mengontrol apa yang tidak dapat dikontrol oleh manusia. d.
Berorientasi pada Eksistensi Berorientasi pada eksistensi merupakan penerimaan yang berarti menerima
dengan rasional dan filosofis. Makna eksistensial yang berarti menemukan makna atau tujuan (Wong, Reker & Peacock, 2006). Menurut Smith (2000) eksistensi merupakan suatu kondisi dimana individu dengan kemampuannya dapat menemukan makna dalam kehidupannya. Makna merupakan pemenuhan atas nilai-nilai batiniah yang utama dalam menjalankan kehidupan, adapun nilai-nilai yang dimaksud adalah sikap menghormati sesama dan bekerja sama secara harmonis demi kebaikan bersama. e.
Berorientasi pada Restrukturisasi Berorientasi pada kognitif restrukturisasi merupakan perubahan perhatian
seseorang dan sikap dalam menanggapi masalah sesuai dengan pikiran yang ada dan restrukturisasi perilaku yaitu perubahan perilaku seseorang dalam menanggapi masalah atau situasi yang tidak dapat diubah atau sesuai perilaku sendiri. Sikap penderita diabetes melitus tehadap penyakit yang dideritanya dapat meningkat cukup berarti setelah pemberian intervensi pendidikan kesehatan yang
Universitas Sumatera Utara
berpengaruh pada program untuk menjalankan terapi diet. Penderita diabetes melitus pada saat berinteraksi dengan orang lain selalu ada mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku terhadap dirinya. Pandangan dan perasaan seseorang sangat dipengaruhi oleh ingatannya pada masa lalu, tentang apa yang diketahui dan kesannya terhadap apa yang sedang dihadapi saat ini. Pengalaman seseorang pada masa lalu membawa sikap dan perilaku terbuka dan tertutup terhadap dorongan diri orang lain. Berdasarkan hasil penelitian Kosti (2012) bahwa pendidikan positif yang diberikan pada penderita diabetes akan mempengaruhi hasil dari penyakit. Bahkan, melalui pendidikan penderita dapat: a) mengoptimalkan kontrol metabolik termasuk self-monitoring glukosa darah atau urin, praktek diet, penggunaan obat, b) meringankan gejala penyakit atau dapat mengurangi keadaan darurat dan pemburukan penyakit terkait, c) mencegah dan menangani komplikasi seperti komplikasi mikro dan makro-vaskular, d) menerapkan sikap yang lebih positif terhadap penyakit, dan e) menjaga hubungan dokter-pasien dan rencana perawatan termasuk followup.. Sebaliknya, kegagalan mengikuti pendidikan maka penderita bertanggung jawab atas dirinya untuk melakukan perawatan ulang, komplikasi penyakit dan kualitas hidup yang buruk. Dalam hal ini penderita tidak mematuhi modifikasi gaya hidup yang disarankan oleh para profesional keperawatan atau tidak mematuhi pedoman medis yang dianjurkan.
Universitas Sumatera Utara
f.
Berorientasi pada Emosi Berorientasi pada emosi yaitu berfokus pada peraturan reaksi emosional
seseorang tanpa mengubah situasi atau memecahkan masalah, seperti menjauhkan diri dari salah satu masalah yang ada dengan penolakan, berfikir bijak untuk menjauhkan keinginan atau fantasi yang realistis, ekspresi mengungkapkan perasaan untuk melepaskan ketegangan, menyalahkan perilaku diri sendiri untuk setiap masalah, mencari dukungan sosial atau mencari bantuan orang lain dan aktif melakukan suatu kegiatan/latihan untuk mencapai pengurangan dari ketegangan (Wong, Reker, &Peacock, 2006). Menurut Stuart dan Laria (2005) jenis–jenis mekanisme koping yang berpusat pada emosi adalah (1). Denial/menolak masalah dengan mengatakan hal tersebut tidak terjadi pada dirinya. (2). Rasionalisasi yakni menggunakan alasan yang dapat diterima oleh orang lain untuk menutupi ketidaknyamanan dirinya. Dengan rasionalisasi individu tidak membenarkan yang kita lakukan, tetapi juga sudah merasa selayaknya berbuat demikian secara adil. (3). Kompensasi yakni menunjukkan tingkah laku dengan menutupi ketidakmampuan dengan menonjolkan sifat yang baik, karena frustasi dalam suatu bidang maka mencari kepuasaan secara berlebihan dalam bidang lain. Kompensasi muncul karena adanya perasaan tidak mampu. (4). Represi yakni dengan melupakan masa-masa yang tidak menyenangkan dari ingatan dan hanya mengingat waktu-waktu yang menyenangkan. (5). Sublimasi yakni mengekspresikan atau menyalurkan perasaan, bakat atau kemampuan dengan sikap positif. (6). Identifikasi yakni meniru cara berfikir, ide dan tingkah laku orang lain,
Universitas Sumatera Utara
(7). Regresi yakni sikap seseorang yang kembali kemasa lalu atau bersikap seperti anak kecil, (8). Proyeksi yakni menyalahkan orang lain atas kesulitannya sendiri atau melampiaskan masalahnya keorang lain, (9). Konversi yakni mentransfer reaksi psikologis ke gejala fisik. 2.1.4. Mekanisme Koping Pada Penderita Diabetes Menurut ADA dalam Fisher et al., (2009) bahwa manajemen diri penderita diabetes salah satunya adalah masalah psikososial karena kesejahteraan emosional mempengaruhi tingkat kepatuhan yang positif terhadap penyakit diabetes. Dimana ketika ketidakpatuhan penderita diabetes terhadap penatalaksanaan diabetes dapat menyebabkan masalah psikososial seperti stres, depresi, dan gangguan kognitif. Berdasarkan hasil penelitian Pretorius (2010) bahwa koping adaptif maupun maladaptif
merupakan
salah
satu
faktor
prediktor
terhadap
kepatuhan
penatalaksanaan diabetes bagi penderita diabetes dalam meningkatkan kualitas hidup, oleh sebab itu penderita diabetes meningkatkan keyakinan dan pandangan optimis terhadap penyakitnya. Sedangkan menurut Malacara (2011) bahwa stres yang muncul pada penderita diabetes disebabkan penolakan terhadap penggunaan mekanisme koping pada awal-awal terdiagnosis penyakit diabetes, pada penderita diabetes dapat menghambat kepatuhan penderita terhadap penatalaksanaan diabetes, yang menyebabkan penderita diabetes beresiko terhadap komplikasi. Asumsi peneliti berdasarkan uraian diatas bahwa pemecahahan masalah merupakan salah satu usaha yang terdapat pada diri penderita diabetes melitus yang memiliki peranan penting dalam penanganan masalah stres akibat dari penyakit yang
Universitas Sumatera Utara
dideritanya. Stres yang muncul pada penderita diabetes melitus tidak teratasi, maka menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat, dan bila glukosa darah terus meningkat dapat menyebabkan komplikasi.
2.2. Diabetes Melitus 2.2.1.Pengertian Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia). Kadar glukosa darah tinggi disebabkan jumlah hormon insulin kurang atau jumlah insulin cukup bahkan kadang– kadang lebih, tetapi kurang efektif (Waspadji et al., 2007). Diabetes merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa darah (hiperglikemik). Pada penderita diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, atau pankreas menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini dapat menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti ketoasidosis dan sindrom hiperglikemik hiperosmolar nekrotik (Smeltzer & Bare, 2002). 2.2.2. Klasifikasi Diabetes Melitus Berdasarkan sebab yang mendasari terjadinya penyakit diabetes, maka diabetes dibagi menjadi beberapa golongan atau tipe. Dengan mengetahui tipe-tipe diabetes,
Universitas Sumatera Utara
diharapkan penderita dapat memahami penatalaksanaan diabetes. Adapun tipetipe diabetes diantaranya adalah : a.
Diabetes Melitus tipe 1 Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan
absolut insulin. Tipe diabetes ini disebut sebagai diabetes melitus dependen insulin (NIDDM) hal ini karena individu harus mendapat insulin pengganti. Diabetes tipe 1 biasanya ditemui pada individu yang tidak obesitas dan usia kurang dari 30 tahun. Penyebab diabetes tipe 1 terjadi akibat destruksi otoimun sel-sel beta pulau langerhans. Biasanya individu cenderung memiliki faktor genetik yang disebabkan karena adanya faktor pemicu dari lingkungan yang menginisiasi proses autoimun. Karakteristik diabetes tipe 1 adalah kadar glukosa normal sebelum penyakit muncul. Pada saat diagonosa ditegakkan, pankreas tidak atau sedikit mengeluarkan insulin dan lebih 80% sel beta pankreas telah dihancurkan. Kadar glukosa darah meningkat karena tanpa insulin glukosa tidak dapat masuk ke sel. b.
Diabetes tipe 2 Diabetes melitus tipe 2 disebabkan karena intensitivitas seluler terhadap insulin
yang menyebabkan hiperglikemia. Selain itu terjadi defek sekresi insulin ketidakmampuan pankreas untuk menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal. Meskipun kadar insulin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal, jumlah insulin tetap rendah sehingga kadar glukosa plasma meningkat. Insulin tetap dihasilkan oleh sel–sel beta pankreas,
Universitas Sumatera Utara
maka diabetes tipe 2 disebut diabetes tidak tergantung insulin NIDDM (non insulin dependent diabetes mellitus). Penyebab diabetes tipe 2 berkaitan dengan obesitas, diperkirakan bahwa terdapat sifat genetik yang menyebabkan pankreas mengeluarkan insulin yang berbeda, atau meyebabkan reseptor insulin atau perantara kedua tidak dapat berespon secara adekuat terhadap insulin. Rangsangan
berkepanjangan
atas
reseptor–reseptor
tersebut
dapat
menyebabkan penurunan jumlah reseptor insulin yang terdapat di sel tubuh. Penurunan ini disebut downregulation. Individu yang menderita diabetes tipe 2 menghasilkan autoantibodi insulin yang berikatan dengan reseptor insulin, menghambat akses insulin ke reseptor, tetapi tidak merangsang aktivitas pembawa karir. Karakteristik diabetes tipe 2 tetap menghasilkan insulin, tetapi sering terjadi keterlamabatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin yang dihasilkan. Hal ini cenderung parah seiring dengan pertambahan usia pasien. Selain itu, sel–sel tubuh terutama sel otot dan adipose memperlihatkan resistensi terhadap insulin yang bersirkulasi dalam darah, akibatnya pembawa glukosa yang ada didalam sel tidak adekuat untuk digunakan oleh sel. Sel kekurangan glukosa, hati memulai proses glukoneogenesis yang selanjutnya akan meningkatkan kadar glokosa darah serta menstimulasi penguraian simpanan trigliserida, protein dan glikogen untuk menghasilkan bahan bakar alternatif, sehingga meningkatkan zat– zat didalam darah. c.
Diabetes Gestasional Diabetes gestasional adalah diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang
sebelumnya tidak mengidap diabetes. Penyebab diabetes gestasional berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
peningkatan kebutuhan energi, kadar estrogen serta hormon pertumbuhan yang terus menerus tinggi selama kehamilan. Hormon pertumbuhan dan estrogen menstimulasi pelepasan insulin yang berlebihan mengakibatkan penurunan responsivitas seluler. Hormon pertumbuhan juga memiliki beberapa efek antiinsulin. Diabetes gestasional dapat menimbulkan efek negatif pada kehamilan dengan meningkatkan risiko malformasi kongenental, lahir mati, dan bayi bertubuh besar untuk masa kehamilan, yang dapat menyebabkan masalah selama persalinan. Hasil obstetrik yang baik tergantung pada pengendalian glikemik maternal yang baik serta berat badan sebelum kehamilan. Wanita yang mengalami diabetes gestasional ditangani dengan pengaturan diet, pemberian insulin, atau keduanya sesuai dengan kebutuhan. 2.2.3. Gejala – Gejala Diabetes Melitus Langkah–langkah untuk menegakan diagnosis diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa umumnya bila ada keluhan khas diabetes seperti poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, dan pemeriksaan glukosa darah sewaktu≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM, hasil pemeriksaan glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl digunakan sebagai patokan diagnosis DM. Keluhan lain yang ditemukan pada penderita diabetes adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada pasien wanita. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup untuk
Universitas Sumatera Utara
menegakkan
diagnosis
DM,
diperlukan
kepastian
lebih
lanjut
dengan
mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain atau dari hasi tes toleransi glukosa darah oral (TTGO) kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200 mg/dl (Soegondo, et al., 2009). Tabel. 2.1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring DM
Kadar
Bukan DM
Belum pasti DM
DM
Plasma vena
<100
100 – 199
≥200
Darah Kapiler
<90
90 – 199
≥200
Plasma vena
<100
100 – 125
≥126
<90
90 – 99
≥100
glukosa darah sewaktu (mg/dl) Kadar glukosa darah puasa Darah Kapiler (mg.dl)
2.2.4. Komplikasi Diabetes Melitus Hiperglikemia pada penderita diabetes menyebabkan berbagai komplikasi yang dapat melibatkan semua sistem tubuh, komplikasi yang dapat terjadi pada penderita diabetes, diantaranya adalah :
Universitas Sumatera Utara
a.
Komplikasi Akut Tiga komplikasi akut diabetes yang berhubungan dengan gangguan
keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek, ketiga komplikasi tersebut adalah 1)
Hipoglikemia Hipoglikemia (glukosa darah yang abnormal atau rendah), terjadi jika
glukosa darah turun dibawah 50 hingga 60 mg/dl. Keadaan ini dapat terjadi pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang berlebihan (Smeltzer & Bare, 2002). 2)
Ketoasidosis Diabetik Ketoasidosis merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari perjalanan
penyakit diabetes. Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Tiga gambaran klinis pada diabetes ketoasidosis adalah dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. Ketosis dan asidosis merupakan ciri khas diabetes ketoasidosis menimbulkan gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah, dan nyeri abdomen. Napas pasien berbau aseton (bau manis seperti buah) sebagai akibat dari meningkatnya kadar badan aseton. Selain itu, hiperventilasi menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi asidosis untuk melawan efek dari pembentukan badan keton.
Universitas Sumatera Utara
3)
Koma Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketosis Koma hiperglikemik hiperosmolar non ketosis merupakan keadaan yang
didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran (Smeltzer & Bare, 2002). Walaupun tidak rentan mengalami ketosis, penderita diabetes tipe 2 dapat mengalami hiperglikemia berat dengan kadar glukosa darah lebih dari 300 mg/dl. Kadar hiperglikemia ini menyebabkan osmolalitas plasma, yang dalam keadaan normal dikontrol ketat pada rentang 275–295 mOsmL/L, jika meningkat melebihi 310 mOsm/L menyebabkan pengeluaran urin yang berlebihan, rasa haus yang hebat, defisit kalium yang parah, dan pada sekitar 15 sampai 20% pasien mengalami koma dan kematian (Corwin, 2009). b.
Komplikasi Kronis
1.
Makroangiopati terdiri dari (1). Pembuluh darah jantung, (2). Pembuluh darah tepi, Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermittent claudicatio, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul, (3). Pembuluh darah otak
2.
Mikroangiopati terdiri dari (1). Retinopati diabetik : Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati, (2). Nefropati diabetik : Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati
Universitas Sumatera Utara
dan pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kg BB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati. 3.
Neuropati yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari (Perkeni, 2006).
2.2.5. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Diabetes melitus jika tidak dikelola dengan baik dapat mengakibatkan terjadinya berbagi penyulit menahun, seperti penyakit serobro vaskuler, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah tungkai, ginjal dan saraf. Jika kadar glukosa dapat selalu dikendalikan maka penyakit menahun dapat dicegah atau dihambat. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha untuk memperbaiki kelainan metabolik yang terjadi pada diabetes (Waspadji et al., 2009). Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah normal tanpa terjadi hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien.
Ada lima komponen dalam penatalaksanaan DM menurut
Perkeni (2006), yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a.
Diet Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak yang sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut karbohidrat 45-60%, protein 10-12% dan lemak 20-25%. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur stres akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman. Untuk kepentingan klinik praktis dan untuk penentuan jumlah kalori dengan menggunakan rumus Broca yaitu : BB idaman = (TB-100)-10%. Berat badan kurang :<90% BB idaman, Berat badan normal : 90-110% BB idaman, Berat badan lebih : 110-120 BB idaman, dan Gemuk : > 120% BB idaman. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%) serta 2-3 porsi (makanan ringan 10-15%). Pembagian porsi tersebut disesuaikan dengan kebiasaan pasien untuk kepatuhan pengaturan makanan yang baik. Untuk pasien DM yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya (Soegondo, et al., 2007). Kepatuhan jangka panjang terhadap perencanaan makan merupakan salah satu aspek yang menimbulkan tantangan dalam penatalaksanaan diabetes. Bagi pasien obesitas, tindakan membatasi kalori yang moderat lebih realistis. Bagi pasien yang yang berat badannya sudah turun, upaya untuk mempertahankan berat badan sering lebih sulit. Untuk membantu pasien ini dalam mengikutsertakan kebiasaan diet yang baru ke dalam hidupnya, maka
Universitas Sumatera Utara
keikutsertakan kebiasaan diet yang baru dalam terapi perilaku, dukungan kelompok dan penyuluhan gizi yang berkelanjutan sangat dianjurkan (Smeltzer & Bare, 2002). Pola hidup sehat pada penderita diabetes melitus perlu dijaga dalam (a) perencanaan makan dengan menjaga asupan makan yang seimbang yaitu diet diabetes melitus untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal, mencegah komplikasi akut dan kronik dengan memperhatikan 3 J yaitu jumlah kalori yang dibutuhkan, jadwal makan yang harus diikuti dan jenis makanan yang harus diperhatikan, mengkonsumsi aneka ragam makanan agar terpenuhi kecukupan sumber zat tenaga (beras, jagung, tepung), zat pembangun (kacangkacangan, tempe, tahu) dan zat pengatur (sayuran dan buah-buahan). Selain itu membatasi konsumsi lemak, minyak dan santan yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri dan penyakit jantung koroner (Soegondo, et al., 2009). b.
Olah raga Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya
menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko kardivaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga (Smeltzer & Bare, 2002). Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai CRIPE (continous, rhythmical, interval,
Universitas Sumatera Utara
progressive, endurance training). Sedapat mungkin mencapai sasaran 75-85% denyut nadi maksimal, disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyertanya, olahraga yang disarankan adalah olah raga ringan seperti berjalan kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan cepat selama 20 menit dan olahraga berat misalnya jogging (Soegondo, et al., 2007). c.
Farmakologi Pada diabetes tipe 1, tubuh kehilangan kemampuan untuk memproduksi
insulin, dengan demikian insulin eksogenus harus diberikan dalam jumlah tak terbatas. Pada diabetes tipe 2, insulin diberikan sebagai terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya. Penyuntikan insulin sering dilakukan dua kali per hari untuk mengendalikan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan dan pada malam hari, karena dosis insulin yang diperlukan masing-masing pasien ditentukan oleh kadar glukosa dalam darah, maka pemantauan glukosa darah yang akurat sangat penting. Pemantauan mandiri kadar glukosa darah telah menjadi dasar dalam memberikan terapi insulin. d.
Perawatan Kaki Masalah kaki pada penderita diabetes melitus merupakan salah satu komplikasi
yang sering terjadi pada penderita diabetes, kaki diabetes yang tidak dirawat dengan benar, lebih mudah mengalami luka dan cepat berkembang menjadi ulkus, dan dapat
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan ganggren dan amputasi. Dari semua amputasi tungkai bawah, 4070% berkaitan dengan perawatan kaki pada penderita diabetes (Waspadji, et al, 2007). Menurut Soegondo, et al., (2009) bahwa perawatan kaki yang perlu dilakukan pada penderita diabetes melitus, terdiri dari pemeriksaan kaki seharihari dan perawatan kaki sehari-hari, yaitu 1)
Pemeriksaan kaki sehari-hari yakni periksa bagian atas atau punggung, telapak, sisi-sisi kaki dan sela-sela jari. Untuk melihat telapak kaki, tekuk kaki (bila sulit, gunakan cermin atau minta bantuan orang lain untuk melihat bagian bawah kaki) dan untuk memeriksa kaki yaitu periksa ada kulit retak atau melepuh dan periksa ada luka dan tanda infeksi seperti bengkak, kemerahan, hangat, nyeri, darah atau cairan lain yang keluar dari darah.
2)
Perawatan kaki sehari-hari yakni (1). Bersihkan kaki setiap hari pada waktu mandi dengan air bersih dan sabun mandi, bila perlu gosok kaki dengan sikat lembut dan bersih, terutama sela jari kaki ketiga-keempat dan keempat-kelima; (2). Berikan pelembab pada daerah kaki yang kering agar kulit tidak menjadi retak, tetapi jangan berikan pelembab pada sela-sela jari, karena akan menjadi lembab dan menimbulkan tumbuhnya jamur; (4). Gunting kuku kaki mengikuti bentuk normal jari kaki, tidak terlalu pendek atau dekat dengan kulit, kemudian kikir kuku agar tidak tajam. Bila kuku keras dan sulit dipotong, maka rendam kaki dengan air hangat (37º) selama 5 menit, bersihkan dengan sikat kuku. Bersihkan kuku setiap hari pada waktu mandi; (5). Gunakan sepatu atau sandal untuk melindungi kaki agar tidak terjadi luka, jangan gunakan sandal jepit
Universitas Sumatera Utara
karena dapat menyebabkan luka disela jari pertama dan kedua. Syarat sepatu untuk kaki penderita diabetes adalah ukuran sepatu lebih dalam, panjang sepatu ½ inchi lebih panjang dari jari-jari kaki terpanjang saat berdiri, ujung sepatu lebih lebar, tinggi tumit kurang dari 2 inchi, bagian bawah sepatu tidak kasar dan licin, terbuat dari bahan karet dan ruang dalam sepatu longgar, sesuai bentuk kaki; (6). Periksa sepatu sebelum dipakai, ada kerikil atau benda-benda tajam seperti jarum atau duri. Lepas sepatu setiap 4-6 jam, serta gerakan pergelangan dan jari-jari kaki agar sirkulasi darah tetap baik terutama pada pemakaian sepatu baru. e.
Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) Pemantauan kendali glikemik pada penderita diabetes merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari pengelolaan DM. hasil pemantauan digunakan untuk menilai manfaat pengobatan dan sebagai penyesuaian diet, olah raga, dan obatobatan untuk mencapai kadar glukosa darah senormal mungkin, terhindar dari keadaan hiperglikemia dan hipoglikemia (Waspadji, et al., 2007). Pemantauan glukosa darah mandiri saat ini telah dilakukan lebih dari 40% penderita diabetes, indikasi dilakukan PGDM pada kondisi (a). mencapai dan memelihara kendali glikemi; (b). mencegah dan mendeteksi hipoglikemia; (c). mencegah hiperglikemia berat; (d). menyesuaikan dengan perubahan gaya hidup: memberikan informasi kepada penderita DM mengenai kendali glikemik, sehingga penderita dapat menyesuaikan diet dan pengobatan; (e). menentukan kebutuhan untuk memulai terapi insulin pada penderita DM (Soegondo, et al., 2009 ).
Universitas Sumatera Utara
Memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan diantara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic (Perkeni, 2006). 2.2.6. Tingkat Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus Kepatuhan atau adherence merupakan sejauh mana penderita mampu mengikuti pengobatan (WHO, 2001). Menurut Sackett (1997) dalam Niven (2013) kepatuhan merupakan sejauh mana perilaku penderita sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Kepatuhan didefinisikan sebagai Aktif, sukarela, dan kolaboratif keterlibatan penderita dalam program pengobatan untuk menghasilkan hasil terapi. Ketidakpatuhan merupakan penderita tidak mengikuti instruksi tujuan pengobatan, karena penderita melupakan begitu saja atau penderita salah memahami instruksi yang diberikan oleh petugas kesehatan (Delamarte, 2006). Kepatuhan terhadap penatalaksanaan mencerminkan perilaku penderita dalam mempertahankan kesehatan, seperti mencari pengobatan, modifikasi gaya hidup, pengelolaan diri terhadap diabetes, menepati jadwal konsultasi ke dokter, menjaga diet yang sehat, dan cukup melakukan aktivitas fisik (WHO, 2003). Kepatuhan pengobatan merupakan perilaku perawatan diri yang dominan bagi penderita diabetes,
Universitas Sumatera Utara
baik diabetes tipe 1 maupun diabetes tipe 2 yang dapat meningkatkan resiko komplikasi yang serius seperti penyakit jantung, retinopati, neuropati, dan nefropati (Safren, et al., 2008). Indikator kompleksitas dari suatu penatalaksanaan diabetes adalah frekuensi pengobatan yang harus dilakukan oleh penderita, misalnya frekuensi minum obat dalam sehari dimana penderita akan lebih patuh pada dosis yang diberikan satu kali sehari daripada dosis yang diberikan lebih sering, misalnya tiga kali sehari. Lamanya penyakit akan memberikan efek negatif terhadap kepatuhan penderita. Makin lama penderita mengidap penyakit diabetes, makin kecil penderita tersebut patuh pada penatalaksanaan diabetes (BPOM, 2006 ). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan pederita terhadap penatalaksanaan diabetes yaitu akses kesehatan, dukungan pelayanan kesehatan terhadap penanganan mereka, dan stigma positif penderita terhadap penyakitnya (WHO, 2001). Kepatuhan perawatan terhadap diabetes melitus dalam hal ini penderita harus melaksanakan program perawatan diabetes melitus seperti melakukan hidup sehat, melakukan pengobatan secara rutin, aturan pengobatan yang ditetapkan, mengikuti jadwal pemeriksaan dan rekomendasi hasil instruksi (Delamarte, 2006). Indikator tingkat kepatuhan penderita diabetes, jika mereka melaksanakan penatalaksanaan diabetes seperti pemakaian insulin : tidak mengurangi dosis dan tidak terlalu banyak pemberian dosis insulin, tidak menunda waktu makan dan kontrol gula darah secara mandiri. Diet : makan cemilan diantara jam makan malam dan tidur malam dan tidak merubah diet. Dalam hal pendidikan kesehatan : untuk
Universitas Sumatera Utara
mengikuti anjuran dari tenaga kesehatan seperti pola makan teratur, pemberian insulin dengan tepat, latihan aktivitas 30-60 menit seperti jalan kaki, joging dan yoga, kontrol glukosa darah secara rutin dan perawatan kaki. Penatalaksanaan diabetes yang terakhir adalah latihan fisik : melakukan olah raga 3-5x/minggu dan menjaga berat badan ideal (Smetlzer & Bare, 2002). Masalah tingkat kepatuhan terhadap penatalaksanaan diabetes pada penderita diabetes sering terjadi, hal ini disebabkan penderita diabetes frustasi terhadap perubahan pola hidup dan kesulitan untuk mengontrol glukosa darah (Delamarta, 2006). Individu gagal dalam melaksanakan kepatuhan disebabkan karena kepribadian mereka yang tidak mau bekerjasama, faktor budaya yang mempengaruhi mereka sehingga tingkah laku mereka kurang kondusif untuk mematuhi pengobatan (DiMatteo, 2005). Berbagai jenis metode telah dipelajari untuk meningkatkan aspek kepatuhan penderita terhadap rekomendasi penatalaksanaan diabetes. Banyak intervensi digunakan yang telah diterapkan secara umum untuk penderita diabetes tanpa membeda-bedakan, tetapi dari penderita diabetes dalam jumlah sedikit keberhasilan sering tercapai (DiMatteo, 2005). Berdasarkan hasil penelitian Pretorius
(2010) bahwa 50% dari penderita diabetes tidak patuh terhadap
penatalaksanaan diabetes hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti tingkat pendidikan yang rendah, biaya pengobatan, instruksi yang tidak jelas terhadap pengobatan, stigma negatif terhadap penyakitnya dan stres ketika dirinya didiagnosis menderita diabetes.
Universitas Sumatera Utara
Stres pada penderita diabetes disebabkan karena mereka menyangkal atau tidak menerima ketika mengetahui dirinya terdiagnosis diabetes melitus, dan sulit untuk penderita menjalani kehidupan sebagai penyandang diabetes, bahkan ada beberapa penderita diabetes yang memerlukan waktu lama untuk menerima dirinya sebagai penderita diabetes, sehingga mereka menolak untuk menjalani terapi diabetes, dan menyebabkan kadar glukosa darah tidak terkendali (Soegondo, et al., 2009). Stresor penyebab stres pada penderita diabetes terkait dengan tiga aspek penatalaksanaan diabetes yaitu tinggi tingkat ketidakpatuhan penderita dalam menjalani diet dan katakutan penderita akan jarum suntik insulin dan monitor glukosa darah sendiri (Delamarte, 2006). Ketika stresor penyebab stres pada penderita diabetes adalah penyakitnya, maka penderita diabetes harus mampu menghilangkan kondisi yang mereka alami, sehingga mereka membutuhkan cara untuk membuat kondisi mereka dapat dikelola. Koping merupakan proses yang komplek dimana stresor penyebab stres yang terjadi pada penderita diabetes harus segera diatasi dan berpengaruh pada metabolisme dan psikososial (Fisher, 2009). Kepatuhan terhadap penatalaksanaan diabetes merupakan komponen penting untuk mengurangi resiko terjadinya komplikasi diabetes, kepatuhan yang dianjurkan untuk penderita diabetes diantaranya adalah penggunaan obat seperti insulin dan oral hipoglikemik, diet sehat dan olah raga, self monitoring glukosa darah, dan perawatan kaki. Stres yang terjadi pada penderita diabetes berkaitan dengan ketidakpatuhan penderita dalam penatalaksanaan diabetes (Gonzales, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme koping adaptif pada penderita diabetes berperan penting terhadap upaya meningkatkan kepatuhan penderita terhadap penatalaksanaan diabetes, kontrol glikemik dan komplikasi makroangiopati (Turan, 2002). Berdasarkan hasil penelitian Hidayat (2013) bahwa menggunakan koping yang adaptif dapat mengurangi terjadinya stres, tetapi tidak semua individu mampu menggunakan koping yang adaptif dalam menghadapi stres. Pada penderita diabetes dengan menggunakan koping yang adaptif berdampak pada kepatuhan penderita dalam menjalani penatalaksanaan diabetes. Berdasarkan hasil penelitian Malacara, et al., (2011) bahwa koping adaptif dapat meningkatkan kepatuhan terhadap penatalaksanaan diabetes, dimana penderita berusaha untuk mencari dukungan baik keluarga maupun sosial, dan mematuhi penatalaksanaan diabetes melitus. Sedangan penderita diabetes yang menghindari penggunaan koping dapat menghambat kepatuhan terhadap penatalaksanaan diabetes, terutama terjadi diawal diagnosis diabetes. 2.2.7. Usaha Meningkatkan Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus a.
Pendidikan Menurut Stein (1986) dalam Niven (2013) bahwa pendidikan merupakan
suatu kegiatan atau usaha manusia dalam meningkatkan kepribadian atau proses perubahan perilaku menuju kedewasaan dan penyempurnaan kehidupan manusia dengan mengembangkan potensi kehidupannya. Domain pendidikan dapat diukur:
Universitas Sumatera Utara
(a).
Pengetahuan terhadap pendidikan yang diberikan (knowledge). Pengetahuan penderita yang rendah tentang pengobatan dapat menimbulkan
kesadaran yang rendah yang akan berdampak dan berpengaruh pada penderita dalam mengikuti cara pengobatan, kedisiplinan pemeriksaan yang akibatnya dapat terjadi komplikasi berlanjut. Upaya pendidikan kesehatan pada penderita diabetes melitus dapat meningkatkan pengetahuan tentang penyakit yang dideritanya, pendidikan kesehatan yang efektif pada penderita diabetes melitus merupakan dasar dari kontrol metabolisme yang baik, dimana dapat meningkatkan hasil klinis dengan jalan meningkatkan pengertian dan kemampuan pengelolaan penyakit diabetes melitus. Pengetahuan diet diabetes melitus merupakan pengetahuan penderita diabetes melitus mengenai diet diabetes melitus yang terdiri dari kebutuhan kalori, daftar bahan makanan pengganti, pola diet dan olah raga. Dengan penderita melitus mempunyai pengetahuan diet diabetes melitus maka dapat memperbaiki keadaan sesuai dengan penyakit yang dideritanya. (b). Sikap atau tanggapan terhadap materi pendidikan yang diberikan (attitude). Kepatuhan penderita diabetes melitus dalam melaksanakan program penatalaksanaan DM dapat ditingkatkan dengan mengikuti cara sehat yang berkaitan dengan nasehat, aturan pengobatan yang ditetapkan, mengikuti jadwal pemeriksaan dan rekomendasi hasil penyelidikan. b.
Perubahan Model Terapi Masalah kepatuhan penatalaksaan diabetes sering terjadi pada penderita
diabetes, menyebabkan kontrol glukosa darah sulit dicapai, ketidakpatuhan penderita
Universitas Sumatera Utara
terhadap penatalaksanaan diabetes dapat menyebabkan resiko terjadinya komplikasi (WHO, 2001). Ketepatan dalam memberikan informasi secara jelas tentang program–program pengobatan secara sederhana, sehingga penderita dapat mematuhi komponen-komponen program pengobatan secara jelas dan kompleks. Contoh pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien, seperti membuat instruksi yang jelas dan mudah dipahami oleh penderita diabetes melitus, memberikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan informasi yang lain, dan ketika pelayanan kesehatan memberikan informasi medis dengan menggunakan bahasa umum (non medis) (Niven, 2013). c.
Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan dengan Pasien Pemberian pelayanan untuk diabetes bervariasi, dari perawatan secara
intensif yang diberikan oleh tim kesehatan, sehingga penderita diabetes akan menerima multidisiplin perawatan rawat jalan dari pelayanan kesehatan primer. Akan tetapi, masalah biaya pelayanan merupakan hambatan yang besar bagi penderita yang mendapat pelayanan rawat jalan dari klinik umum. Selain itu, kesulitan untuk mendapatkan
akses pelayanan juga berhubungan dengan
buruknya kontrol metabolik (BPOM, 2006). Meningkatnya interaksi tenaga kesehatan melalui komunikasi dengan penderita, merupakan suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada penderita setelah memperoleh informasi. Penderita membutuhkan penjelasan tentang kondisinya, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.
Universitas Sumatera Utara
Informasi yang diperoleh penderita dapat membantu
untuk lebih memahami
kondisi mereka dan tindakan pengobatan yang sedang mereka jalani (Niven, 2013). Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan adalah tim pelayanan kesehatan dengan penderita, oleh sebab itu tim pelayanan kesehatan memiliki kemampuan untuk meningkatkan pengetahuan penderita, mempermudah penderita untuk mengakses pelayanan kesehatan, dan menerapkan protokol intervensi yang mendukung self management (WHO, 2001). Salah satu penyebab ketidakpatuhan individu terhadap penatalaksanaan diabetes adalah komunikasi verbal yang tidak efektif antara penderita dengan petugas kesehatan, seperti petugas kesehatan sering menyampaikan informasi dengan istilah yang tidak dapat dipahami oleh penderita. Perbedaan bahasa, tingkat pendidikan, latar belakang budaya atau kelas sosial, penyampaian informasi yang tidak lengkap juga dapat menyebabkan masalah komunikasi antara penderita dengan petugas kesehatan (DiMatteo, 2005). Berdasakan hasil penelitian BPOM, (2006) dinyatakan bahwa hal-hal yang perlu dipahami dalam meningkatkan tingkat kepatuhan penderita dalam menjalani penatalasanaan diabetes adalah a. Penderita memerlukan dukungan, bukan untuk disalahkan b. Konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap penatalaksanaan jangka panjang adalah tidak tercapainya tujuan terapi dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan c. Peningkatan kepatuhan penderita dapat meningkatkan keamanan penggunaan obat.
Universitas Sumatera Utara
d. Kepatuhan merupakan faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai efektifitas suatu sistem kesehatan. e. Memperbaiki kepatuhan dapat merupakan intervensi terbaik dalam penanganan secara efektif suatu penyakit kronis f. Sistem kesehatan harus terus berkembang agar selalu dapat menghadapi berbagai tantangan baru g. Diperlukan pendekatan secara multidisiplin dalam menyelesaikan masalah ketidakpatuhan 2.3. Teori Keperawatan Callista Roy
Roy mengemukakan bahwa manusia sebagai sebuah sistem yang terbuka dan adaptif yang akan berespon terhadap kejadian atau perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan, respon yang ditimbulkan berupa adaptif maupun maldaptif, sesuai dengan mekanisme koping yang digunakan dalam menghadapi stresor. Roy menjelaskan bahwa manusia dapat digambarkan secara holistik (bio, psiko, sosial) sebagai satu kesatuan yang mempunyai input, kontrol, proses feedback dan output.
1)
Input (Stimulus), manusia sebagai suatu sistem dapat menyesuaikan diri dengan menerima masukan dari lingkungan luar dan lingkungan dalam diri individu itu sendiri.
2)
Mekanisme koping, tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
Universitas Sumatera Utara
diri. Ada dua (2) macam mekanisme koping yaitu (a). mekanisme koping bawaan, yaitu ditentukan oleh sifat genetik yang dimiliki. (b). mekanisme koping yang dipelajari, yaitu dikembangkan melalui strategi pembelajaran atau pengalaman-pengalaman yang ditemui selama menjalani kehidupan. Ada dua (2) respon adaptasi yaitu (a). respon adaptif adalah keseluruhan yang meningkatkan integritas dalam batasan yang sesuai dengan tujuan “human system”. (b). respon maladaptif yaitu segala sesuatu yang tidak memberikan konstribusi yang sesuai dengan tujuan “human system” 3)
Output, respon-respon yang adaptif mempertahankan atau meningkatkan integritas, sedangkan respon maladaptif dapat mengganggu integritas. Melalui proses feedback, respon-respon itu selanjutnya akan menjadi input (masukan) kembali pada manusia sebagai sistem. Koping yang tidak konstruktif atau tidak efektif berdampak terhadap respon sakit (maladaptif). Jika pasien masuk zona maladaptif maka pasien mempunyai masalah keperawatan adaptasi.
4)
Subsistem Regulator dan Kognator, subsistem regulator merupakan gambaran respon yang berkaitan dengan perubahan pada sistem saraf, kimia tubuh, dan organ endokrin yang merupakan mekanisme kerja utama yang berespon dan beradaptasi terhadap lingkungan. Sedangkan subsistem kognator merupakan gambaran respon yang kaitannya dengan perubahan kognitif dan emosi, termasuk didalamnya persepsi, proses informasi, pembelajaran, membuat alasan dan emosional. Respon-respon subsitem tersebut dapat dilihat pada
Universitas Sumatera Utara
empat perubahan yang ada pada manusia sebagai sistem adaptif yaitu : fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
Input
-Stimuli -Level Adaptasi
Proses Kontrol
Mekanisme Koping Regulator Kognator
Efektor
- Fungsi fisiologis - Konsep diri - Fungsi peran - interdepende
Out Put
Respon - Adaptif - Inefektif
Umpan Balik
Gambar 2.1. Model Konsep Adaptasi Roy
Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa manusia sebagai adaptif yang selalu mendapatkan input sebagai proses kontrol. Proses kontrol merupakan mekanisme koping yang terdiri dari regulator dan kognator, yang akan menghasil respon koping adaptif.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka teori penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Mekanisme koping (Wong, Reker, & Peacock, 2006) :
Penyakit Diabetes Melitus
− Berorientasi Situasi − Berorientasi Pencegahan − Berorientasi Agama − Berorientasi Eksistensi − Berorientasi Restrukturisasi − Berorientasi Emosi
Adaptif Kepatuhan : − Exercise − Farmakologi − Perawatan Kaki − Pemantauan glukosa darah mandiri
Patuh
Maladaptif
Tidak Patuh
Gambar 2.2. Kerangka Teori Dalam penelitian ini menggunakan teori mekanisme koping yang dikembangkan oleh Wong, Reker & Peacocok (2006) disebut COAP (Coping Orientation and Prototypes) terdiri dari 6 (enam) aspek yaitu situasi, pencegahan, agama, eksistensi, restrukturisasi dan emosi. COAP merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur usaha koping individu, dengan menggunakan 6 (enam) aspek orientasi. COAP telah digunakan dalam penelitian (Antonovsky, 1992) untuk membedakan koping mahasiswa dalam menghadapi pengangguran dan paparan HIV/AIDS, dalam studi lain COAP digunakan dalam penelitian Marcoen (2000) dalam Wong (2006) tentang penggunaan koping diusia tua menemukan bahwa para peserta memanfaatkan koping yang berorientasi pada eksistensi diri dan keagamaan.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Kerangka Konsep Penelitian Kerangka konsep penelitian ini gambaran dari sintesa teori mekanisme koping individu terhadap tingkat kepatuhan penatalaksanaan diabetes pada penderita diabetes melitus. Mekanisme koping individu dalam penelitian ini merupakan variabel independent dan tingkat kepatuhan penatalaksanaan diabetes sebagai variabel dependent. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan terdapat hubungan antara mekanisme koping individu terhadap tingkat kepatuhan penatalaksanaan diatebetes pada pasien diabetes mellitus. Keterkaitan antar variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.3. yaitu: Variabel Independen
Mekanisme Koping Individu (Wong, Reker dan Peacock, 2006) -
Variabel Dependen
Tingkat Kepatuhan Penatalaksanaan Penderita DM
Berorientasi pada situasi Berorientasi pada pencegahan Berorientasi pada emosi Berorientasi pada agama Berorientasi pada eksistensi Berorientasi pada restrukturisasi
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara