BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Komunikasi Terapeutik 1.1
Pengertian Komunikasi Terapeutik Komunikasi terapeutik merupakan respon spesifik yang mendorong
ekspresi perasaan dan ide, serta menyampaikan penerimaan dan penghargaan. Dibutuhkan latihan berulang-ulang sehingga semakin terampil dan nyaman dalam mengerjakannya karena kepuasan besar akan timbul dari keberhasilan membentuk hubungan terapeutik dan pencapaian hasil klien yang diinginkan (Potter & Perry, 2009). 1.2
Tujuan Komunikasi Terapeutik Menurut
Suryani
(2006)
komunikasi
terapeutik
bertujuan
untuk
mengembangkan pribadi klien kearah yang lebih positif atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi: (1) Realisasi diri, penerimaan diri, peningkatan kesadaran, dan penghargaan diri; (2) Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial dan saling bergantung dengan orang lain dan mandiri; (3) Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan yang realistis; (4) Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri. 1.3
Prinsip Dasar komunikasi Terapeutik Menurut Nurhasanah (2010) prinsip komunikasi terdiri dari beberapa,
yaitu: (1)Hubungan perawat dengan klien adalah hubungan terapeutik yang saling menguntungkan; (2)Keterbukaan, empati, sifat mendukung, sikap positif, dan
Universitas Sumatera Utara
kesetaraan; (3)Kualitas hubungan perawat dengan klien ditentukan oleh bagaimana perawat mendefinisikan dirinya sebagai manusia (human); (4)Perawat menggunakan dirinya dengan teknik pendekatan yang khusus untuk memberi pengertian dan mengubah perilaku klien; (5) Perawat harus menghargai keunikan klien karena perawat memahami perasaan dan perilaku klien dengan melihat latar belakang; (6) Komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri pemberi maupun penerima pesan; (7) Trustharus dicapai terlebih dahulu sebelum identifikasi masalah dan alternative problem solving; (8)Trust adalah kunci dari komunikasi terapeutik. 1.4
Karakteristik Komunikasi Terapeutik Menurut Arwani (2003) karakteristik komunikasi terapeutik adalah (1)
Keikhalasan (genuineness) seorang perawat yang menyadari tentang nilai, sikap dan perasaan yang dimiliki klien. Perawat menunjukkan rasa ikhlas dan tidak akan menolak segala bentuk perasaan negatif yang dipunyai klien bahkan ia akan berusaha berinteraksi dengan klien; (2) Empati (emphaty) perawat terhadap perasaan yang dialami klien; (3) Kehangatan (warmth) perawat dimana tercipta hubungan yang saling membantu (helping relationship) dan memberi kesempatan klien untuk menceritakan keadaan dan nilai yang dianutnya secara bebas. 1.5
Teknik Komunikasi Terapeutik Perawat dapat menyampaikan komunikasi terapeutik terhadap klien
dengan mempergunakan teknik komunikasi terapeutik seperti yang di sebutkan Stuart dan Sundeen ( dalam Dalami, Dahlia, Rochimah 2009) adalah :
Universitas Sumatera Utara
a. Mendengarkan (Listening) Dengan mendengar perawat mengetahui perasaan klien. Beri kesempatan lebih banyak pada klien untuk bicara. Perawat harus menjadi pendengar yang aktif. b. Pertanyaan terbuka (Broad Opening) Teknik ini memberi kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya sesuai kehendak klien tanpa membatasi. c. Mengulang (Restarting) Mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien. Gunanya untuk menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat mengikuti pembicaraan klien. d. Klarifikasi Bila perawat ragu, tidak mendengar, tidak jelas atau klien berhenti karena malu mengemukakan informasi atau informasi yang diperoleh tidak lengkap. e. Refleksi Reaksi perawat dan klien selama berlangsungnya komunikasi. Teknik refleksi ini berguna untuk mengetahui dan menerima ide dan perasaan, mengoreksi, dan memberi keterangan lebih jelas. f. Membagi persepsi Meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan dan pikirkan. Dengan cara ini perawat dapat meminta umpan balik dan memberi informasi.
Universitas Sumatera Utara
g. Identifikasi Tema Latar belakang masalah yang dialami klien yang muncul selama percakapan. Gunanya untuk meningkatkan pengertian dan mengeksplorasi masalah yang penting. h. Diam (Silent) Tujuannya memberi kesempatan berpikir dan memotivasi klien untuk bicara ketika diberi pertanyaan. Pada klien yang menarik diri, teknik diam berarti perawat menerima klien. i. Informing Memberi informasi dan fakta untuk pendidikan kesehatan. j. Saran Memberi alternatif ide untuk pemecahan masalah. Tepat dipakai pada fase kerja dan tidak tepat pada fase awal hubungan. 1.6
Fase-Fase Komunikasi Terapeutik Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Dalami dkk., 2009) fase komunikasi
terapeutik dibagi 4 yaitu: (1) Pra interaksi dimulai sebelum kontak pertama dengan klien, perawat mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutannya, sehingga kesadaran dan kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan klien dapat dipertanggungjawabkan. Tugas tambahan pada fase ini adalah mendapatkan informasi tentang klien dan menentukan kontak pertama; (2) Perkenalan atau orientasi dimulai saat bertemu dengan klien. Hal utama yang perlu dikaji adalah alasan klien meminta pertolongan yang akan mempengaruhi terbinanya hubungan perawat-klien. Tugas perawat adalah mengeksplorasi
Universitas Sumatera Utara
pikiran, perasaan, perbuatan klien dan mengidentifikasi masalah
serta
merumuskan tujuan bersama klien; (3) Fase kerja dimulai ketika perawat mengeksplorasi stressor dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, pikiran, perasaan dan perbuatan klien.Perawat membantu klien mengatasi kecemasan, meningkatkan kemandirian dan tanggung jawab diri sendiri; (4) Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dan klien dimana perawat mengevaluasi pencapaian tujuan dan perasaan klien setelah berinteraksi. 1.7
Teknik Komunikasi Terapeutik yang Kurang Tepat Menurut Nurhasanah (2010) teknik komunikasi terapeutik yang kurang
tepat yaitu: (1) Memberi jaminan dengan hasil yang belum pasti untuk maksud menenangkan; (2) Memberikan penilaian terhadap nilai-nilai yang dianut klien; (3) Memberi komentar klise yang terlalu umum; (4) Memberi saran yang tidak tepat kepada klien sehingga ketika saran tidak mampu mengatasi masalah maka klien akan menyalahkan perawat; (5) Mengubah pokok pembicaraan sehingga berorientasi kepada perawat; (6) Defensif sehingga menghambat klien dalam mengungkapkan perasaanya. 1.8
Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan
a. Pengkajian yang terdiri dari : menentukan kemampuan seseorang dalam proses informasi, mengevaluasi data tentang status mental pasien untuk menentukan batas intervensi, mengevaluasi kemampuan klien dalam berkomunikasi secara verbal, mengobservasi apa yang terjadi pada klien tersebut saat ini, mengidentifikasi tingkat perkembangan klien, mengkaji
Universitas Sumatera Utara
tingkat kecemasan klien sehingga dapat mengantisipasi intervensi yang dibutuhkan (Mubarak dkk., 2007 dalam Nurhasanah, 2010). b. Diagnosa yang terdiri dari : analisa tertulis dari penemuan pengkajian, sesi perencanaan tim kesehatan, diskusi dengan klien dan keluarga untuk menentukan metode implementasi, membuat rujukan. c. Rencana Tujuan yang terdiri dari : rencana asuhan tertulis, membantu klien memenuhi kebutuhan sendiri, membantu klien agar dapat menerima pengalaman yang pernah dirasakan, meningkatkan harga diri klien, meningkatkan dukungan, perawat dan klien sepakat untuk berkomunikasi secara terbuka, implementasi, memperkenalkan diri kepada klien, memulai interaksi dengan klien, membantu klien menggambarkan pengalaman pribadinya, mengajurkan klien mengungkapkan perasaan kebutuhannya, menggunakan komunikasi untuk meningkatkan harga diri klien. d. Implementasi yang terdiri dari : memperkenalkan diri kepada klien, memulai interaksi dengan klien, membantu klien untuk dapat menggambarkan pengalaman
pribadinya,
menganjurkan
kepada
klien
untuk
dapat
mengungkapkan perasaan kebutuhannya, menggunakan komunikasi untk dapat mengungkapkan kebutuhannya. e. Evaluasi yang terdiri dari : mengembangkan kemampuan dalam memenuhi kebutuhannya dan komunikasi lebih terbuka, jelas, berfokus pada masalah (Purwanto dkk., 1994 dalam Nurhasanah, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2. Konsep Persalinan Seksio Sesarea 2.1
Pengertian Seksio Sesarea Persalinan adalah proses ketika janin, plasenta, dan membran dikeluarkan
melalui jalan lahir. Ketika ibu tidak mampu melahirkan tanpa bantuan medis atau bedah maka metode alternatif yang digunakan adalah persalinan dengan seksio sesarea.Seksio sesarea adalah prosedur operatif yang dilakukan dibawah anastesi sehingga janin, plasenta, dan ketuban dilahirkan melalui insisi dinding abdomen dan uterus (Myles, 2009).Sedangkan menurut Cuningham dkk.(2009) seksio sesarea adalah kelahiran janin melalui insisi dinding abdomen dan dinding uterus. 2.2
Indikasi Seksio Sesarea Menurut Oxorn (2003) indikasi seksio sesarea pada ibu yaitu : (1) Distosia
(panggul sempit) terjadi ketika ketidakseimbangan dimana panggul memiliki ukuran yang lebih kecil dibanding ukuran bayi; (2) Pembedahan sebelumnya pada uterus dimana terdapat kebiasaan ketika prosedur sesarea dikerjakan maka pada persalinan selanjutnya harus diakhiri dengan cara yang sama; (3) Perdarahan hebat dengan indikasi plasenta previamaka diperlukan tindakan seksio sesarea untuk menyelamatkan bayi dan ibu; (4) Toxemia gravidarum dapat menyebabkan pengakhiran kehamilan sebelum waktunya. Jika serviks belum matang dan induksi sukar terlaksana maka dikerjakan dengan seksio sesarea; (5) Indikasi fetal terjadi ketika gawat janin yang ditunjukkan denyut jantung yang tidak stabil dan bradikardia berat; (6) selain itu, terdapat indikasi sosial ketika peningkatan permintaan pasien walaupun tidak ada masalah atau kesulitan melakukan persalinan normal.
Universitas Sumatera Utara
2.3
Kontra Indikasi Seksio Sesarea Seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan atau keselamatan ibu dan
janin. Oleh sebab itu, seksio sesarea tidak boleh dilakukan dalam keadaan berikut ini: (1) Janin sudah mati dalam kandungan atau berada dalam keadaan jelek sehingga kemungkinan hidup kecil; (2) Terjadi infeksi yang luas pada jalan lahir dan fasilitas untuk caesarea extraperitoneal tidak tersedia: (3) Dokter bedah tidak berpengalaman atau tidak tersedia tenaga asisten yang memadai (Oxorn, 2003). 2.4
Mortalitas dan Morbiditas Sesudah Seksio Sesarea Resiko kematian ibu yang menyertai seksio sesarea adalah 26 kali lebih
besar daripada kelahiran pervaginam, peningkatan risiko kematian ibu pada pembedahannya sendiri sebanyak 10 x lipat. Dengan begitu penggunaan seksio sesarea untuk melindungi bayi dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi ibu. Sebab-sebab kematian ibu adalah perdarahan, infeksi, anastesi, emboli paruparu, toxemia gravidarum.Morbiditas terjadi dalam 2 hari dari 10 hari pertama postpartum, diluar 24 jam pertama. Morbiditas lebih sering terjadi setelah seksio sesarea daripada setelah kelahiran normal, insidensinya antara 15%-20% (Oxorn, 2003). 2.5
Evidence Based Prosedur Seksio Sesarea Rekomendasi teknik yang tepat dan telah terbukti memiliki komplikasi
paling kecil sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas operasi seksio sesarea. Terdapat beberapa teknik yang disarankan berdasarkan penelitian, yaitu: (1) Pembersihan kulit pada persalinan seksio sesarea. Berdasarkan penelitian terhadap 100 wanita secara acak pemberian parachlorometaxylenol selam 5 menit
Universitas Sumatera Utara
dan povidon iodin 7,5% dan larutan povidon iodin 10% tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap luka pasca operasi. Oleh karena itu, penggunaan larutan iodin saja dianggap mencukupi pada pembersihan kulit; (2) Insisi kulit untuk persalinan seksio sesarea. Berdasarkan penelitian yang diikuti 411 wanita dalam 2 penelitian acak menunjukkan bahwa insisi transversal lebih direkomendasikan dibanding insisi secara vertikal karena nyeri paska yang lebih ringan dan efek kosmetik yang lebih baik (Rasjidi, 2009). 2.6
Kebutuhan Ibu Selama Persalinan Sama seperti kebutuhan dasar manusia menurut Maslow, Ibu selama
proses persalinan juga memiliki kebutuhan khusus yang harus diperhatikan oleh seorang perawat, yaitu: (1) Kebutuhan fisiologis terdiri dari oksigen, makan dan minum, istrahat selama tidak ada his, kebersihan badan, BAB dan BAK, pertolongan persalinan yang standar, penjahitan perineum bila perlu; (2) Kebutuhan rasa aman terdiri dari memilih tempat dan penolong persalinan, informasi tentang proses persalinan, posisi tidur yang dikehendaki ibu, pendampingan oleh keluarga, pantauan selama persalinan, dan intervensi yang diperlukan; (3) Kebutuhan dicintai dan mencintai terdiri dari pendampingan, kontak fisik (sentuhan ringan), massase untuk mengurangi rasa sakit, berbicara dengan suara lemah lembut serta sopan; (4) Kebutuhan harga diri terdiri dari merawat dan menyusui bayinya sendiri, privasi ibu, pelayanan bersifat empati dan simpati, informasi untuk setiap tindakan, pujian untuk hal positif (5) Kebutuhan aktualisasi diri terdiri dari memilih tempat persalinan, pendampingan, bounding
Universitas Sumatera Utara
and attachment, ucapan selamat atas kelahiran anaknya (Sumarah, 2008 dalam Diah, 2012).
3. Konsep Kecemasan 3.1
Pengertian Kecemasan Cemas merupakan perasaan takut atau gelisah yang tidak nyaman dan
sumber perasaan ini bisa diketahui maupun tidak dan timbul dengan intensitas yang berbeda (Sheldon, 2009). Kecemasan berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya.Respon psikologi karena pembedahan berkisar dari cemas ringan, sedang, berat, panik, tergantung dari masing-masing individu (Efendy, 2005 dalam Zuchra, 2012). 3.2
Karakteristik Kecemasan Sindrom kecemasan sangat bervariasi tergantung dengan tingkat
kecemasan yang dialami seseorang dimana manifestasi gejalanya terdiri atas kategori : (1) Gejala fisiologis adalah peningkatan frekuensi nadi, tekanan darah, nafas, diaphoresis, gemetaran, mual, kadang sampai muntah. Sering BAK atau BAB, kadang sampai diare, insomnia, kelelahan dan kelemahan, kemerahan atau pucat pada wajah, mulut kering, nyeri khususnya didada, pinggang, leher, pingsan, pusing, dan rasa panas dingin; (2) Gejala emosional adalah individu mengatakan merasa ketakutan dan ketidakberdayaan, gugup, kehilangan proyeksi diri, tegang, tidak dapat rileks. Individu juga memperhatikan peka terhadap rangsangan, tidak sabar, mudah marah dan menangis, cenderung menyalahkan orang lain, mengkritik diri sendiri dan orang lain, menarik diri, kurang inisiatif,
Universitas Sumatera Utara
dan mengutuk diri sendiri; (3) Gejala kognitif adalah tidak mampu berkonsentrasi, kurangnya orientasi lingkungan, pelupa, termenung, orientasi pada masa lalu dari saat ini dan yang akan datang, memblok pikiran dan ketidakmampuan untuk mengingat, dan perhatian yang berlebihan (Capernito, 1998 dalam Kusumawati, 2010). 3.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan, yaitu: (1) Tingkat
pengetahuan adalah hasil ‘tahu’ manusia, yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sedangkan kecemasan adalah respon manusia yang dapat dipelajari, sebagai ketidaktahuan menjadi faktor penunjang terjadinya kecemasan. Pengalaman terhadap sesuatu yang pernah dialami seseorang juga akan mengubah pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat non formal dan sering dibawa dalam situasi yang pernah terjadi pada dirinya; (2) Tingkat pendidikan yang rendah akan menyebabkan seseorang mudah mengalami stress. Stress dan kecemasan yang terjadi pada pendidikan yang rendah disebabkan kurangnya informasi yang didapatkan oleh orang tersebut; (3) Umur yang lebih muda akan mudah mengalami stress dan kecemasan yang lebih tinggi dari pada yang berusia tua (Notoadmojo, 2003 dalam Dachi, 2013). 3.4 Tingkat Kecemasan Menurut Stuart dan Sundeen (1998) ada 4 tingkat kecemasan yang dialami oleh individu yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a.
Kecemasan Ringan Berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan sehari-hari, individu akan berhati-hati dan waspada serta lahan persepsi meluas, belajar menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas, respon cemas ringan seperti sesekali bernafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar, lapang persepsi meluas, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif, tidak dapat duduk dengan tenang, dan tremor halus pada tangan.
b.
Kecemasan Sedang Pada tingkat ini lahan persepsi pada masalah menurun, individu lebih terfokus pada hal-hal penting pada saat itu dan mengesampingkan hal lain. Respon cemas sedang seperti sering menarik nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, gelisah, lapang pandang menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur.
c.
Kecemasan Berat Lapangan persepsi individu sangat sempit, seseorang cenderung hanya memikirkan hal kecil saja dan mengabaikan hal yang penting, tidak
mampu
memikirkan hal yang berat lagi dan membutuhkan lebih banyak pengarahan/tuntunan.Responnya meliputi napas pendek, nadi, dan tekanan darah meningkat, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur, ketegangan, lapang persepsi sangat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah, blocking, verbalisasi, dan perasaan ancaman meningkat.
Universitas Sumatera Utara
d.
Panik Lahan persepsi individu terganggu, sehingga tidak dapat mengendalikan diri dan tidak dapat melakukan apa-apa, walaupun tidak diberi pengarahan. Respon panik seperti nafas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, lapang persepsi sangat sempit, tidak dapat berfikir logis, agitasi, mengamuk, marah, ketakutan, berteriak-teriak, kehilangan kendali dan persepsi kacau.
Respon adaptif
Ringan
Respon maladaptif
Sedang
Berat
Panik
Skema 2.1 Rentang cemas
3.5
Respon Perilaku Cemas Secara langsung kecemasan dapat diekspresikan melalui respon fisiologis
dan psikologis secara tidak langsung melalui pengembangan mekanisme koping, sebagai pertahanan melawan kecemasan (Suliswati, 2009). Respon kecemasan yaitu: (1) Respon fisiologis adalah dengan mengaktifkan sistem syaraf otonom. Sistem syaraf simpatis akan mengaktivasi proses-proses tubuh, sedangkan sistem saraf parasimpatis akan meminimalkan respon tubuh; (2) Respon psikologis dapat mempengaruhi aspek interpersonal dan personal. Kecemasan tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan gerak refleks. Cemas dapat membuat individu menarik diri dan menurunkan keterlibatan dengan orang lain; (3) Respon
Universitas Sumatera Utara
kognitifdapat mempengaruhi berpikir baik, proses berfikir maupun isi fikir. Diantaranya adalah tidak mampu memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya lapangan persepsi, dan bingung; (4) Respon afektif akan menyebabkan klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan. 3.6
Pengukuran Tingkat Kecemasan Berdasarkan skala pengukuran tingkat kecemasan Hamilton Anxiety
Rating Scale(HARS) terdapat 14 kelompok gejala tingkat kecemasan dengan masing-masing kelompok gejala diberi penilaian antara 0-4 dengan penilaian sebagai berikut: Penilaian : Nilai 0 : Tidak ada (tidak ada gejala) Nilai 1 : Ringan (satu dari gejala yang ada) Nilai 2 : Sedang (separuh dari gejala yang ada) Nilai 3 : Berat (lebih dari separuh gejala yang ada) Nilai 4 :Panik (semua gejala ada) Score : <14
: Tidak ada kecemasan
14-20 : Kecemasan ringan 21-27 : Kecemasan sedang 28-41 : Kecemasan berat 42-56 : Panik Adapun hal-hal yang dinilai dalam alat ukur Hamiltong Anxiety Rating Scale (HARS) adalah sebagai berikut: (1) Perasaan cemas terdiri dari firasat buruk, rasa
Universitas Sumatera Utara
takut, lekas marah, cemas; (2) Ketegangan terdiri darimerasa tegang, lelah, mudah terkejut, mudah menangis, gelisah, tidak bisa rileks; (3) Ketakutan terdiri dari takut gelap, pada orang asing, keramaian, di tinggal sendiri, pada binatang, pada keramaian lalu lintas; (4) Gangguan tidur terdiri dari sulit tidur, tidur tidak pulas, tidur tidak puas dan merasa pegal-pegal pada waktu bangun, mimpi buruk dimalam hari; (5) Gangguan kecerdasan terdiri dari konsentrasi dan daya ingat lemah; (6) Perasaan depresi terdiri dari kehilangan minat, tertekan, bangun lebih awal, terasa melayang-layang, berkurangnya kesenangan pada hobi; (7) Gejala somatik terdiri dari nyeri dan sakit, kejang, kaku, sentakan tiba-tiba pada otot, gigi gemelutuk, suara gemetar, otot berbunyi; (8) Gejala sensorik terdiri dari telinga berdenging, penglihatan kabur, rasa panas dingin, perasaan ditusuk; (9) Gejala kardiovaskular terdiri dari jantung berdetak, nyeri dada, berdebar-debar, lemas seperti mau pingsan, detak jantung menghilang; (10) Gejala pernapasan terdiri dari rasa tertekan didada, perasaan tercekik, sering menarik napas panjang, sesak; (11) Gejala gastrointestinal terdiri dari sulit menelan, mual, muntah, berat badan menurun, gangguan pencernaan, nyeri lambung, perut melilit, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar di perut, rasa penuh atau kembung, konstipasi; (12) Gejala urogenitalia terdiri dari sering kencing, menstruasi tidak teratur, tidak haid, ejakulasi dini, kehilangan libido, impotensi; (13) Gejala autonom terdiri dari mulut kering, muka pucat, muka merah, keringatan, pusing, tegang, kepala terasa berat, kepala terasa sakit; (14) Tingkah laku ( sikap ) pada wawancara terdiri dari gelisah, tidak tenang, napas pendek dan cepat, muka merah, jari gemetar, kerut kening, muka tegang, otot tegang.
Universitas Sumatera Utara
3.7
Kecemasan Pada Ibu Bersalin Menurut Bobak (2000), kecemasan pada bersalin yaitu mengenai keadaan
jalan lahir dan bayi yang akan dilahirkan. Dalam hal ini, dukungan sosial sangat diperlukan dalam upaya memberikan rasa aman dan ketenangan pada pasangan suami istri khususnya primigravida. Dukungan ini bisa berupa motivasi dari orang terdekat atau keluarga yang memiliki pengetahuan atau pengalaman dalam persalinan. Ibu bersalin mengekspresikan kecemasan selama kehamilannya sampai proses persalinan yang akan dihadapinya dan itu menyebabkan stressor. Respon individu menghadapi stressor berupa rasa cemas dan saat-saat cemas sebenarnya ditentukan oleh koping yaitu upaya berorientasi dan intra fisik untuk mengelola lingkungan dan kebutuhan internal maupun konflik mengenai hal tersebut. Ibu bersalin bisa menghadapi konflik internal antara ketakutan terhadap persalinan, ingin mengetahui dan segera memeluk bayi yang baru saja dilahirkan. Pengetahuan ibu tentang persalinan merupakan faktor predisposisi yang kuat terhadap stabilitas kondisi psikologis. Seorang ibu tidak mengerti masalah persalinan tentunya akan merasa cemas, tetapi seorang ibu yang mengerti tentang persalinan akan lebih tenang dalam menjalani masa-masa kelahiran.
Universitas Sumatera Utara