BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sikap
Allport dalam Bordens & Horowitz (2009) menjelaskan sikap sebagai kesiapan kondisi mental dan saraf yang merupakan hasil pengalamanpengalaman personal dan turut memengaruhi dinamika respon individu terhadap berbagai objek dan situasi yang dihadapi. Definisi tersebut mengandung tiga unsur penting yaitu 1. Sebagai kesiapan kondisi mental, sikap bersifat pribadi dan hanya dapat diketahui oleh individu yang memiliki sikap tersebut. 2. Pembentukan sikap melalui proses pembelajaran atas pengalaman dan pengaruh-pengaruh lingkungan, seperti orangtua, teman maupun agen sosialisasi lainnya. 3. Sikap memengaruhi dinamika respon individu terhadap berbagai objek dan situasi yang dihadapi, mengisyaratkan sikap mendorong individu untuk berperilaku positif maupun negatif terhadap objek dan situasi. Tidak hanya memengaruhi dinamika respon individu, McGuire, Ostrom, Zanna & Rempel menjelaskan sikap sebagai representasi kognitif yang mencakup evaluasi individu terhadap objek-objek baik diri sendiri, individu lain, pemikiran, perilaku, peristiwa, atau gagasan (Smith & Mackie, 2000). Dalam Haddock & Maio (2010), Eagly & Chaiken mengemukakan sikap sebagai kecenderungan psikologis yang diekspresikan melalui evaluasi terhadap entitas tertentu berupa tingkat suka hingga tidak suka. Sebagai entitas tunggal, sikap memiliki tiga komponen yang dikenal dengan konsep ABC (Oskamp & Schultz, 2005; Haddock & Maio, 2010) yaitu
1. Affective (afeksi), menjelaskan perasaan atau emosi individu terhadap objek sikap. 2. Behavioral
(perilaku),
menjelaskan
kecenderungan
tindakan
individu
terhadap objek sikap yang berasal dari pengalaman sebelumnya. 3. Cognitive (kognisi), mencakup keyakinan, pemikiran, ide, dan atribusi individu yang berkaitan dengan objek sikap. Simpulan yang ditarik Haddock & Maio (2005), komponen afeksi dan kognisi memegang peranan paling penting dalam pembentukan sikap. Berbeda dengan komponen afeksi dan kognisi, perilaku sebagai komponen sikap yang dapat diamati seringkali menjadi perdebatan para ahli terkait konsistensinya dengan sikap individu. Dalam Oskamp & Schultz (2005) tercatat perdebatan mengenai konsistensi antara sikap dan perilaku individu telah berlangsung sejak tahun 1943. Perdebatan mengenai konsistensi antara sikap dan perilaku individu akan dibahas pada sub-sub bab 2.1.1.
2.1.1. Keterkaitan Sikap dan Perilaku
Isu-isu mengenai keterkaitan sikap dan perilaku pada umumnya dapat dicermati dalam dua hal (Holland, Verplanken, & Knippenberg; 2002). Pertama, konsistensi sikap dan perilaku individu. Kedua, rangkaian perilaku individu terhadap suatu objek yang membentuk sikap individu tersebut. De Fleur & Westie dalam Oskamp & Schultz (2005) menjelaskan keterkaitan kedua isu tersebut melalui proses laten. Sikap menjadi variabel pengantara (intervening variable) dalam proses laten, yang menjelaskan hubungan antara stimulus peristiwa atau fenomena sosial dengan respon perilaku tertentu. Proses kognisi, afeksi, dan perilaku yang membentuk sikap membantu memahami respon individu terhadap fenomena sosial baik respon kognisi, afeksi, maupun perilaku.
Gambar 2.1 Proses Laten Sumber: Oskamp, S., & Schultz, P. W. (2005). Attitudes and opinions (3rd ed.). USA: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Proses laten memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya perilaku dapat membentuk sikap dan sikap dapat memengaruhi perilaku. Holland, Verplanken, & Knippenberg (2002) memperkaya konsep proses laten melalui penelitiannya.
Hasil
penelitian
Holland,
Verplanken,
&
Knippenberg
menunjukkan kekuatan sikap individu memengaruhi interaksi antara sikap dengan perilaku. Sikap yang kuat memrediksi perilaku dan berkesesuaian dengan perilaku. Sebaliknya, sikap yang lemah ditandai oleh sifatnya yang mudah berubah dan dibentuk kembali melalui kecenderungan perilaku individu. Penelitian Holland, Verplanken, & Knippenberg
mengindikasikan sikap tidak
selalu berkesesuaian dengan perilaku. Pada tahun 1934, La Piere telah membuktikan sikap tidak selalu berkesesuaian dengan perilaku individu (Sarwono dkk., 2009). La Piere melakukan penelitian mengenai sikap pengelola restoran dan hotel di Amerika Serikat terhadap pasangan suku China. Penelitian La Piere menunjukkan dari 128 tempat, 92% restoran dan 91% hotel menyatakan sikap tidak akan melayani tamu bersuku China. Bertolak belakang dengan hasil
pengukuran sikap, pasangan bersuku China yang mendatangi 184 hotel dan 66 hotel hanya mengalami satu kali penolakan. Literatur dan kajian ilmiah menunjukkan sikap dapat memrediksi perilaku, tetapi juga tidak selalu berkesesuaian dengan perilaku. Terkait dengan kemungkinan sikap yang tidak berkesesuaian dengan perilaku individu, Campbell dalam Oskamp & Schultz (2005) turut menekankan pentingnya faktor situational thresholds. Situational thresholds dimaknakan sebagai tingkat kemungkinan terjadinya pernyataan-pernyataan dalam instrumen pengukuran sikap. Sikap yang tidak konsisten dengan perilaku individu karena perbedaan dalam situational thresholds, oleh Campbell disebut sebagai pseudo inconsistency (Oskamp & Schultz, 2005). Guna
mendapatkan
pemahaman
yang
komprehensif
mengenai
keterkaitan sikap dan perilaku, Fishbein & Ajzen dalam Oskamp & Schultz (2005) memperkenalkan Teori Perilaku Beralasan (Theory of Reasoned Action) yang telah digunakan secara luas. Berdasarkan Teori Perilaku Beralasan, niat individu menjadi penentu utama dalam berperilaku. Niat individu ditentukan oleh faktor sikap dan faktor normatif, yang diuraikan menjadi empat poin yaitu 1. Keyakinan individu mengenai konsekuensi dari perilaku. 2. Evaluasi individu terhadap konsekuensi dari perilaku. 3. Keyakinan normatif individu berkaitan dengan harapan individu lain. 4. Motivasi individu untuk mengikuti harapan individu lain. Informasi tambahan dalam Changing Minds (2011), individu cenderung menyelaraskan perilaku dengan sikap yang dimiliki apabila sikap dan perilaku dibatasi pada keadaan spesifik, didasarkan pada pengalaman pribadi, serta tergolong sikap dan keyakinan yang kuat.
2.2 Praktik Khitan Perempuan
Praktik khitan perempuan telah dilakukan pada masa Firaun (Goldstein, Meston, Davis, & Traish; 2006). Walaupun banyak dilakukan di negara Islam, kemunculan praktik khitan perempuan diketahui tidak secara khusus memiliki kaitan dengan agama karena dilakukan berabad-abad sebelum datangnya masa Islam. Pada waktu-waktu kemudian ketika praktik khitan perempuan seringkali disandingkan dengan agama terutama agama Samawi yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam,
lebih
dikarenakan
agama
berperan
sebagai
media
penyebaran
pelaksanaan praktik khitan perempuan. Pada tahun 1991, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengintroduksi penggunaan istilah female genital mutilation (FGM) atau mutilasi genitalia perempuan (MGP) sebagai pengganti istilah praktik khitan perempuan (Amriel, 2010). Secara implisit, penggunaan kata “mutilasi” mengandung penekanan bahwa praktik khitan perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Publikasi WHO pada tahun 2010 menyebutkan FGM mencakup segala bentuk prosedur yang menyertakan pembuangan sebagian maupun seluruh bagian luar alat kelamin perempuan dan/atau pencederaan atas organ genital perempuan untuk alasan budaya maupun alasan-alasan non-medis lainnya. Prosedur praktik khitan perempuan biasanya dilakukan pada anak bayi hingga anak berusia 15 tahun dan kadang-kadang pada wanita dewasa (WHO, 2010). Hingga tahun 2010, WHO melaporkan sekitar 100-140 juta perempuan yang tersebar di seluruh dunia, hidup dengan menanggung konsekuensi dari pelaksanaan praktik khitan perempuan.
2.2.1 Klasifikasi Praktik Khitan Perempuan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2008 membagi prosedur praktik khitan perempuan ke dalam empat klasifikasi: 1. Tipe I – Clitoridectomy. Pembuangan sebagian maupun keseluruhan klitoris dan/atau tudung klitoris. Terdapat dua variasi Tipe I. Tipe Ia, pembuangan dilakukan sebatas pada tudung klitoris. Tipe Ib mencakup pembuangan tudung klitoris beserta klitoris.
Gambar 2.2 Alat Kelamin Perempuan – non-FGM Sumber: http://www.middle-east-info.org/league/somalia/fgmpictures.htm
Gambar 2.3 Tipe I – Clitoridectomy Sumber: http://www.middle-east-info.org/league/somalia/fgmpictures.htm
2. Tipe II – Excision. Pembuangan sebagian maupun keseluruhan klitoris dan labia minora, baik dengan maupun tanpa pengirisan labia majora. Tipe II memiliki tiga variasi. Variasi pertama, Tipe IIa, pembuangan dilakukan sebatas pada labia minora. Variasi kedua, Tipe IIb mencakup pembuangan sebagian maupun keseluruhan klitoris dan labia minora. Variasi ketiga, Tipe IIc mencakup pembuangan sebagian maupun keseluruhan klitoris, labia minora, dan labia majora.
Gambar 2.4 Tipe II – Excision Sumber: http://www. middle-east-info.org/league/somalia/fgmpictures.htm
3. Tipe III – Infibulation. Prosedur penyempitan lubang vagina dengan memotong labia minora dan/atau labia majora, baik dengan maupun tanpa pengirisan klitoris. Tipe IIIa membuang labia minora dan Tipe IIIb membuang labia majora. Tipe III merupakan prosedur terekstrim dalam praktik khitan perempuan. Pemerintah Kenya (2011) melaporkan Tipe III turut andil sebesar 15% dari semua prosedur praktik khitan perempuan di Afrika.
Gambar 2.5 Tipe III – Infibulation Sumber: http://www. middle-east-info.org/league/somalia/fgmpictures.htm
4. Tipe IV – Unclassified. Semua prosedur praktik khitan perempuan selain Tipe I, II, dan III, mencakup penusukan, penggoresan, pengirisan, dan pembakaran jaringan kelamin yang membahayakan alat kelamin perempuan dengan tujuan nonmedis.
2.2.2 Etiologi Praktik Khitan Perempuan
Pada tahun 2010, UNICEF menguraikan lima alasan utama di balik pelaksanaan praktik khitan perempuan. Alasan pertama, pertimbangan seksual. Praktik khitan perempuan berfungsi mengendalikan maupun mengurangi hasrat seksual perempuan. Seperti yang dijelaskan Rahman, Poerwandari, & Marlita (2010), dalam budaya patriarki, praktik khitan perempuan dilakukan dengan
keyakinan agar perempuan tidak genit dan hiperseks. Alasan kedua, pertimbangan sosial. Praktik khitan perempuan merupakan inisiasi kedewasaan seorang perempuan dan bentuk integrasi sosial dengan tujuan pemeliharaan kohesi sosial dalam masyarakat. Alasan ketiga, pertimbangan kebersihan dan estetika. Praktik khitan perempuan dilakukan karena alat kelamin perempuan diyakini sebagai bagian yang kotor dan tidak sedap dipandang. Alasan keempat, pertimbangan kesehatan. Praktik khitan perempuan diyakini dapat meningkatkan kesuburan dan kelangsungan hidup anak. Alasan kelima, pertimbangan agama. Praktik khitan perempuan dipandang sebagai indikasi yang menunjukkan ketaatan pada agama. United Nations Population Fund (2011) menambahkan bahwa faktor sosial ekonomi turut mendasari pelaksanaan praktik khitan perempuan yaitu sebagai prasyarat perempuan untuk menikah. Perempuan yang tidak disunat dianggap kotor dan membahayakan kesehatan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Selain itu, praktik khitan perempuan juga merupakan sumber pendapatan utama dari pelaku praktik tersebut. Ditinjau dari sudut pandang Psikoanalisa, Lax melihat adanya indikasi motif rasa takut yang tidak disadari pada kaum laki-laki terhadap seksualitas perempuan, yang mendorong munculnya kebutuhan untuk menekan tingkat seksualitas perempuan dengan praktik khitan perempuan (Whitehorn, Ayonrinde, & Maingay; 2002).
2.2.3 Dampak Praktik Khitan Perempuan
Pelaksanaan praktik khitan perempuan memunculkan dampak fisik maupun psikis. Berdasarkan laporan WHO (2010), komplikasi langsung terhadap fisik berupa rasa sakit yang parah, pendarahan, tetanus, infeksi bakteri,
guncangan, pengeluaran urin yang tidak lancar, dan luka yang terbuka pada alat kelamin perempuan. Demam, infeksi saluran kemih, dan septicaemia juga berpotensi muncul setelah seorang perempuan menjalani praktik khitan perempuan (UNFPA, 2011). Pada kenyataannya, komplikasi yang muncul tidak hanya jangka pendek, tetapi terdapat konsekuensi jangka panjang, di antaranya potensi munculnya kista, ketidaksuburan, peningkatan resiko komplikasi dan kematian bayi yang baru dilahirkan, serta resiko peningkatan frekuensi penjahitan alat kelamin bagi perempuan yang menjalani prosedur praktik khitan perempuan Tipe III (WHO, 2011). Konsekuensi jangka panjang ini sekaligus mengisyaratkan kekeliruan pertimbangan kesehatan yang mendasari pelaksanaan praktik khitan perempuan. Menurut UNICEF (2010), konsekuensi lainnya yang perlu diperhatikan termasuk konsekuensi karena tidak sterilnya sarana dan prasarana yang digunakan selama proses pelaksanaan praktik khitan perempuan yaitu munculnya bisul bernanah, hubungan seksual yang menyakitkan, peningkatan kerentanan terhadap HIV/AIDS, hepatitis, serta menstruasi yang diikuti rasa nyeri berlebihan. Fokus yang dipusatkan pada komplikasi fisik ditambah dengan minimnya kajian mengenai dampak psikologis praktik khitan perempuan, seringkali menyebabkan pengaruh-pengaruh terhadap psikis perempuan yang menjalani praktik khitan perempuan terabaikan. Lax dalam Whitehorn, Ayonrinde, & Maingay (2002) menjelaskan konsekuensi psikis yang diakibatkan praktik khitan perempuan yaitu hilangnya rasa percaya terhadap orang lain, menurunnya kesejahteraan secara jasmani, guncangan pasca trauma, dan depresi. Elchalal dkk. pada tahun 1997 turut memaparkan potensi munculnya gangguan seperti Gangguan Stress Pasca Trauma (Post-Traumatic Stress Disorder), kecemasan dan depresi, hingga masalah psikoseksual. Pada akhirnya, perempuan yang menjalani praktik khitan perempuan pun rentan menderita gangguan fobia. Rasa
takut yang tidak dapat diekspresikan membangkitkan kembali pengalaman traumatis terhadap praktik khitan perempuan (Kontoyannis & Katsetos; 2010). Temuan berbeda dijelaskan Black & Debelle (1995) yaitu pada komunitas yang menerima praktik khitan perempuan, konsekuensi psikis yang diterima lebih minim pada perempuan yang menjalani praktik khitan perempuan. Status direndahkan pada perempuan yang tidak menjalani praktik khitan perempuan justru dipandang lebih negatif dibanding trauma yang diakibatkan praktik khitan perempuan (Whitehorn, Ayonrinde, & Maingay; 2002).
2.2.4 Praktik Khitan Perempuan di Indonesia
Penelitian Population Council pada tahun 2003 terhadap masyarakat Padang, Padang Pariaman, Serang, Sumenep, Kutai Kertanegara, Gorontalo, Makassar, dan Bone menunjukkan praktik khitan perempuan dilakukan oleh dukun bayi, juru sunat, hingga petugas kesehatan. Hasil penelitian Population Council menunjukkan 28% prosedur praktik khitan perempuan hanya bersifat simbolik,
sedangkan
71%
prosedur
praktik
khitan
perempuan
bersifat
membahayakan, mencakup 49% pengirisan dan 22% pemotongan jaringan kelamin perempuan. Dari penelitian yang dilakukan Population Council tersebut diketahui bahwa praktik khitan perempuan dilakukan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan dan tanpa manfaat kesehatan maupun dalil agama yang jelas. Tidak ditemukan komplikasi langsung pada fisik maupun psikis responden perempuan yang menjalani praktik khitan perempuan. Meskipun demikian, hasil observasi
langsung
terhadap
praktik
khitan
perempuan
di
Indonesia
memperlihatkan adanya rasa sakit berlebihan pada ¾ dari keseluruhan kasus yang diamati selama proses pemotongan berlangsung.
Penelitian terbaru mengenai praktik khitan perempuan di Indonesia oleh Uddin dkk. (2010) menunjukkan 91,2 % anak perempuan dikhitan pada umur kurang dari 1 tahun. Dibandingkan dengan penelitian Budiharsana pada tahun 2003, Uddin dkk. melihat jumlah anak perempuan yang dikhitan pada umur kurang dari 1 tahun mengalami peningkatan hingga dua kali lipat pada tahun 2010. Berkaitan dengan tipe praktik khitan perempuan yang berlangsung di Indonesia, penelitian Uddin dkk. (2010) menunjukkan 44% praktik khitan perempuan
melibatkan
pemotongan
genital.
Persentase
praktik
khitan
perempuan yang melibatkan pemotongan genital pada tahun 2010 menurun dibandingkan pada tahun 2003 yang menunjukkan angka 65%. Ditinjau dari dampak praktik khitan perempuan, Uddin dkk. (2010) melaporkan sebesar 45,5% dari total responden mengalami pendarahan, 45,5% lainnya mengalami trauma psikis, dan 9% mengalami infeksi. Dampak praktik khitan perempuan bukanlah tidak mungkin terjadi. Pasalnya, Yayasan LKiS Pusat Kajian dan Transformasi Sosial (2011) turut menyatakan bahwa praktik khitan perempuan tidak dikenal dalam dunia medis. Meskipun tidak dikenal dalam dunia medis, tempat yang memberikan pelayanan praktik khitan perempuan terbanyak adalah rumah sakit yaitu sebesar 65% (Uddin dkk., 2010).
2.3 Sikap terhadap Praktik Khitan Perempuan
Di Indonesia, penelitian mengenai sikap terhadap praktik khitan perempuan tergolong sangat minim. Penelitian yang dilakukan sebagian besar berkenaan dengan prosedur praktik khitan perempuan. Berbeda dengan di Indonesia, penelitian mengenai sikap terhadap praktik khitan perempuan banyak dilakukan di negara-negara Afrika. Penelitian Freymeyer & Johnson (2007) menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara status khitan perempuan
perempuan di Nigeria dengan sikap terhadap praktik khitan perempuan. Masyarakat turut memengaruhi sikap terhadap praktik khitan perempuan. Perempuan yang tidak dikhitan dan merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang tidak menerapkan praktik khitan perempuan cenderung menolak pelaksanaan praktik khitan perempuan. Sebaliknya, perempuan yang dikhitan dan merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang memandang praktik khitan perempuan sebagai bentuk konvensi sosial akan menerima pelaksanaan praktik khitan perempuan. Hayford & Trinitapoli (2011) melalui penelitiannya di Burkina Faso turut mendukung pentingnya pengaruh identitas kolektif dibandingkan identitas individual, dalam menyikapi pelaksanaan praktik khitan perempuan. Berkaitan dengan identitas kolektif, keputusan pelaksanaan praktik khitan perempuan mengandung makna simbolik yaitu menunjukkan kedewasaan dan keanggotaan dalam kelompok masyarakat. Secara spesifik, makna simbolik telah bercampur dengan identitas keagamaan khususnya agama Islam. Di antara agama yang dianalisa, agama Islam memiliki doktrin formal yang kuat untuk mendukung pelaksanaan praktik khitan perempuan. Perempuan beragama Islam yang menjadi sampel penelitian paling banyak menginformasikan perlunya praktik khitan perempuan dalam agama mereka. Penelitian berbeda dilakukan oleh Githiora (2010) terhadap imigran perempuan Afrika yang menetap di Amerika. Amerika telah menetapkan hukum pelarangan terhadap praktik khitan perempuan. Bagi imigran perempuan Afrika, praktik khitan perempuan merupakan praktik kebudayaan yang dilakukan turun temurun oleh anggota kelompok. Kondisi yang bertolak belakang tersebut menimbulkan persinggungan antara hukum Amerika dan budaya induk imigran perempuan Afrika. Identitas kolektif yang kuat mendorong imigran perempuan
Afrika cenderung membawa anak perempuan mereka kembali ke Afrika guna melaksanakan praktik khitan perempuan.
2.4 Pandangan Islam tentang Perempuan
Guna mendapatkan pemahaman yang lebih baik dalam mengulas pandangan Islam tentang perempuan, terlebih dahulu peneliti membahas dua istilah yaitu seks dan jender. Seks merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasar pada karakteristik biologis, sedangkan jender melihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari perspektif pengalaman psikis yang berlangsung (Lahey, 2007). Sebagai contoh, berbeda dengan laki-laki, perempuan memiliki rahim sehingga mengemban tugas mulia untuk melahirkan, sebuah perbedaan yang ditinjau dari perspektif seks. Beralih ke perspektif jender, perbedaan dilihat dari peran jender yang dilakoni individu. Misal, seorang ayah mencari nafkah di luar rumah memiliki peran jender sebagai laki-laki, tetapi ketika di rumah, ayah membantu istri menjaga anak sehingga peran jender ayah berubah menjadi perempuan, meskipun secara biologis, ayah tetap seorang laki-laki. Dalam memahami perempuan dari sudut pandang agama Islam, pemahaman yang tepat dapat diperoleh dengan mengkritisi makna relasi seksual dan relasi jender dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Berdasarkan kajian Umar (2010), istilah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang merepresentasikan perbedaan secara biologis seringkali dipahami sebagai hal yang sama dengan istilah yang menunjuk perbedaan konsep jender. Alhasil, terbentuk kondisi yang lebih menonjolkan kaum laki-laki dibandingkan kaum perempuan, yang sebenarnya telah bercampur dengan produk budaya masyarakat. Dicermati dengan seksama, Al-Qur’an memperlihatkan kesetaraan derajat dan martabat antara laki-laki dan
perempuan. Walaupun setara, terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan baik secara seksual maupun jender.
Janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan yang dianugerahkan Allah terhadap sebahagian kamu atas sebahagian yang lain. Laki-laki mempunyai hak atas apa yang diusahakannya dan perempuan juga mempunyai hak atas apa yang diusahakannya. (Q. s. al-Nisa/4: 32)
Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan berfirman: Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan,…. (Q. s. al-‘Imran/3: 195)
Dengan tetap memperhatikan kesetaraan, laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan. Seolah tersirat laki-laki lebih tinggi derajatnya dibanding perempuan, tetapi makna yang terkandung sebenarnya, laki-laki menjadi pemimpin karena berkewajiban melindungi dan menafkahi perempuan.
Laki-laki adalah pelindung bagi perempuan, oleh karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q. s. alNisa/4: 34)
Dan
para
perempuan
mempunyai
hak
yang
seimbang
dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Dan laki-laki mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q. s. al-Baqarah/2: 228)
2.5 Pandangan Islam tentang Praktik Khitan Perempuan
Praktik khitan perempuan di dalam agama Islam memiliki istilah tersendiri yaitu khifadh. Menariknya, pemaknaan khifadh sangat berbeda dengan khitan. Khitan identik dengan makna pemotongan, sedangkan dalam Muhammad (2010), “khifadh, secara literal berarti mengurangi (to reduce), menyederhanakan (minimize), mengambil sedikit (akhdz al yasir/take easy), dan pelan (lower)”. Penggunaan istilah khifadh mencerminkan kehendak agama Islam untuk mengubah penekanan praktik khitan perempuan ke dalam bentuk yang lebih ringan yaitu hanya menggoreskan atau menorehkan. Perbedaan dalam memahami khifadh kemudian muncul karena tidak adanya ketegasan baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits mengenai kewajiban pelaksanaan khifadh. Umar (2001) menjelaskan bahwa sebagian ulama mengatakan khifadh bersifat wajib, tetapi sebagian lagi mengatakan khifadh adalah sunnah, bahkan mubah sehingga tidak mencapai kesepakatan dalam pelaksanaan khifadh. Dalam Al-Qur’an, tidak ada ayat yang secara khusus menyinggung khifadh. Penelusuran lebih jauh, terdapat hadits berkenaan dengan khifadh yaitu
1. Sabda Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah. Lima perkara yang merupakan fitrah manusia: 1. Khitan, 2. Istihdad (mencukur bulu pada sekitar kemaluan), 3. Mencukur bulu ketiak, 4. Menggunting kuku, dan 5. Memendekkan kumis.
2. Sabda Nabi yang diriwayatkan Ibnu Abidin dalam al Durr al Mukhtar. Ketahuilah bahwa khitan adalah sunnah bagi laki-laki dan perempuan.
3. Ummu ‘Atiyyah Dari al-Dahhak diceritakan bahwa di kota Madinah terdapat seorang perempuan tukang khitan yang bernama Ummu ‘Atiyyah, lalu Rasulullah SAW memperingatkannya dengan bersabda: Wahai Ummu ‘Atiyyah, khitanilah,
tapi
jangan
berlebihan
(ketika
memotong),
karena
sesungguhnya hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih disukai oleh suami.
4. Sabda Nabi yang diriwayatkan Zaid ibn Abi Habib Sesungguhnya Abu Hasan ibn Abi al-Hasan menanyakan tentang khitan kepada Rasulullah, lalu Nabi menjawab: “untuk laki-laki merupakan ajaran (sunnah) dan bagi perempuan merupakan anjuran mulia”.
Dalam Muhammad (2010), Dr. Wahbah al Zuhaili, seorang faqih kontemporer terkemuka dari Siria, meringkas tiga pendapat mengenai khifadh. Pertama, menurut pandangan mayoritas mazhab Hanafi dan Maliki, khitan bagi laki-laki, yakni memotong kulit yang menutupi ujung penis adalah sunnah muakkadah
(sangat
dianjurkan)
dan
khifadh
adalah
makrumah
(suatu
kehormatan) yakni menggores sedikit kulit bagian atas pada vagina perempuan dan disunatkan tidak berlebihan, agar tetap merasakan kenikmatan hubungan seksualnya. Kedua, mazhab Syafi’I berpendapat khitan wajib baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ketiga, Imam Ahmad berpendapat khitan adalah wajib bagi laki-laki dan suatu kehormatan bagi perempuan.
2.6 Kerangk ka Berfikir
Kontrov versi lemahnya penegak kan HAM di Indonesia.
Perhatian n khusus untuk kekerasa an terhadap perempuan n dengan pembentukan K Komnas Perrempuan pad da tahun 199 98.
Benttuk kekerasa an terhadap perempuan dibagi dalam m tiga ranah h, yaitu al, publik, da an negara. persona
Peng ggunaan istiilah female genital g mutila ation mengin ndikasikan praktik p klitorid dektomi dipa andang seba agai salah sa atu bentuk kkekerasan te erhadap perem mpuan (WHO O, 2010).
Praktikk klitoridekto omi di Indone esia seringk kali disanding gkan dengan n agama terutam ma agama Is slam, tetapi dilakukan d tan npa pengeta ahuan meng genai dalil agama.
Berkkenaan deng gan sikap terhadap prak ktik klitoridekktomi, perlu adanya a deskrip psi mendalam m mengenai sikap tokoh h agama Isla am sebagai figur f yang dipanda ang lebih ah hli dalam dalil agama Isla am dan mem miliki kekuatan dalam uhi pola pikirr masyaraka at. memengaru