Bab 2 Landasan Teori
2.1 Konsep Persahabatan Secara Umum Secara umum, persahabatan mengacu pada hubungan dyadic yang dekat dengan beberapa teman ( Hetherington & Parke, 1999 : 64 ). Esensi dari persahabatan sendiri menurut Hartup dalam Hetherington & Parke ( 1999 : 64 ), adalah saling timbal balik dan komitmen antara orang – orang yang memiliki kedudukan yang kurang lebih setara. Berk ( 2000 : 54 ) menyatakan persahabatan sebagai hubungan timbalbalik yang meliputi pertemanan, kegiatan berbagi, kemampuan untuk memahami pikiran dan perasaan, serta adanya perhatian dan hiburan satu sama lain pada saat dibutuhkan. Definisi lain tentang persahabatan diberikan oleh Argyle dan Henderson dalam Kartono ( 1996 : 54 ), menurut mereka persahabatan meliputi orang-orang yang saling menyukai, menyenangi kehadirannya satu sama lain, memiliki kesamaan minat dan kegiatan saling membantu dan memahami, saling mempercayai, menimbulkan rasa nyaman, dan saling menyediakan dukungan emosional. Menurut Rubin ( 2004 : 326-356 ), persahabatan adalah multidimensi dalam sifat dan melayani manusia dalam berbagai cara ( seperti kesenangan, harapan, dan ketakutan, menyediakan afeksi, dukungan, dan keamanana emosi ). Persahabatan adalah hubungan dimana dua orang menghabiskan waktu bersama, berinteraksi dalam berbagai situasi, dan menyediaakan dukungan emosional ( Baron dan Bryne ( 2006 ). Menurut Rawlin dalam Tillmann-Healy ( 2003 : 731 ), teman dekat didefinisikan sebagai seseorang untuk berbicara, untuk bergantung dan menyandarkan diri untuk
mendapatkan pertolongan, dukungan, kepedulian dan bersenang-senang dalam melakukan sesuatu. Menurut Weiss dalam Tillmann-Healy ( 2003 : 729-749 ), teman itu datang dan berkumpul bersama karena adanya kesenangan, rasa akan kebersamaan dan afiliasi emosional. Menurut Rubin dalam Tillmann-Healy ( 2004 : 326 ) berpendapat pada teman, kita mencari trust (kepercayaan), kejujuran, hormat, komitmen, keamanan, dukungan, kedermawanan, kesetiaan, kebersamaan, keteguhan, pengertian, dan penerimaan. Hubungan persahabatan akan berkembang dengan maksimal apabila masingmasing – masing pihak saling terbuka dalam menyampaikan komunikasi antar satu dengan yang lainnya. Untuk mengembangkan hubungan persahabatan maka individu-individu dapat melakukan proses keterbukaan atau intimasi dalam sebuah hubungan ( social penetration ). Dalam hubungan social penetration, komunikasi bergerak dari hubungan yang tidak intim, tidak dekat menjadi intim, dekat dan lebih mengenal satu dengan yang lainnya. Semakin terbuka komunikasi yang terjalin, maka semakin erat pula hubungan yang terbentuk. Persahabatan dimulai dengan sebuah hubungan nyata yang didasarkan pada kegiatan yang menyenangkan, yang berkembang menjadi hubungan yang lebih abstrak, yang didasarkan pada perhatian timbal-balik dan kepuasaan psikologis. Damon dalam Bert ( 2000 : 54 ), mengemukakan tiga tahap dalam persahabatan anak hingga mencapai remaja yang meliputi : a. Persahabatan sebagai teman bermain ( handy playmate ) Anak – anak prasekolah memandang sahabat sebagai orang yang menyukai mereka, orang dengan siapa mereka menghabiskan waktu untuk bermain dan berbagi mainan. Karena persahabatan dipandang secara nyata, berkaitan dengan
kegiatan bermain dan tukar-menukar material, maka anak-anak prasekolah memandang persahabatan sebagai sesuatu yang mudah untuk dibangun namun biasanya juga tidak bertahan lama. Persahabatan dapat berakhir ketika salah seorang dari mereka menolak untuk berbagi, memukul, atau tidak bersedia untuk bermain. Pada masa ini, mulai ada sedikit pemahaman tentang watak atau kepribadian sahabatnya. b. Persahabatan sebagai saling percaya dan saling bantu Pada masa ini, persahabatan tidak lagi hanya ditandai oleh adanya keterikatan dalam kegiatan yang serupa, tetapi sudah merupakan suatu hubungan yang disetujui bersama. Anak saling menyukai kualitas pribadi sahabatnya dan respon terhadap kebutuhan dan keinginan satu sama lain. Seperti berespon terhadap kebutuhan sahabat, berbagi minat, dan memiliki sifat-sifat yang diinginkan pada perlakuan baik yang menunjukan bahwa masing-masing pihak menjadi pendukung bagi yang lain. c. Persahabatan sebagai intimacy dan kesetiaan Memasuki usia remaja awal, persahabatan memiliki kedalaman yang lebih besar. Remaja menekankan dua karakteristik
utama dalam persahabatan mereka.
Pertama dan terpenting adalah intimacy. Persahabatan dinilai berkaitan dengan adanya saling pengertian dan berbagi pikiran, perasaan, dan rahasia lain. Remaja mencari kedekatan psikologi dan pengertian timbal-balik dari sahabatnya. Pertumbuhan intimacy pada masa remaja berhubungan dengan komitmen yang lebih dalam antara sahabat. Komitmen berkaitan dengan kemampuan untuk memelihara kepercayaan dan menahan untuk tidak menceritakan rahasia sahabat. Seperti yang telah dijelaskan sahabat menjadi pendukung terutama pada saat-saat yang sulit. Menjalin persahabatan yang erat sangatlah penting. Oleh karena itu
dalam penelitian ini penulis akan membahas hubungan dan makna persahabatan itu.
2.2 Fungsi Persahabatan Persahabatan sangat membantu remaja dalam kehidupannya. Dengan adanya persahabatan, seorang remaja akan memperoleh teman untuk bergaul sehingga membuat remaja tersebut mengembangkan keterampilan sosial, konsep diri, dan harga diri yang dimilikinya serta akan memperoleh dukungan secara emosional bila remaja tersebut mengalami suatu masalah dalam kehidupannya ( Dariyo , 2002 : 701 ). Selain itu, Gottman dan Parker dalam Santrock ( 2003 : 227 ) mengemukakan enam fungsi persahabatan pada remaja yang lainnya, yaitu : 1. Kebersamaan ( companionship ) Dengan adanya persahabatan ini, remaja memiliki seorang teman yang akrab bagi individu yang lain yang bersedia melakukan aktivitas dan menghabiskan waktu bersama. 2. Stimulasi kompetensi ( stimulation ) Pada dasarnya dengan adanya persahabatan akan memberi rangsangan kepada
seseorang
untuk
mengembangkan
potensi
dirinya
kerena
memperoleh kesempatan dalam situasi sosial. Artinya, melalui persahabatan, seseorang memperoleh informasi yang menarik, penting, dan memacu potensi, bakat ataupun minat agar berkembang dengan baik ( Dariyo, 2004 : 130 ). 3. Dukungan Fisik Dengan adanya kehadiran fisik seseorang atau beberapa teman, akan menumbuhkan perasaan berarti ( berharga ) bagi seseorang yang sedang
menghadapi suatu masalah. Kehadiran secara fisik menunjukkan kerelaan untuk meluangkan atau menyediakan waktu, tenaga ataupun pertolongan. 4. Dukungan Ego ( ego support ) Persahabatan menyediakan harapan atas dukungan, dorongan, dan umpan balik yang dapat membantu remaja untuk mempertahankan kesan atas dirinya sebagai individu yang mampu, menarik, dan berharga. 5. Perbandingan Sosial Dengan adanya persahabatan, para remaja dapat membandingkan dirinya dengan teman-temannya dalam kehidupan sosial. Serta dengan adanya teman sebagai cermin dalam kehidupan sosialnya, remaja dapat belajar dan meningkatkan kemampuan dirinya. 6. Keakraban atau Perhatian Persahabatan memberikan hubungan yang hangat, dekat, dan saling percaya dengan individu yang lain, hubungan yang berkaitan dengan pengungkapan diri sendiri. Selain memiliki fungsi yang berdampak positif bagi remaja, seperti adanya pemberian support, perhatian, dan melatih pembukaan diri, persahabatan juga dapat memberikan dampak negatif
bagi perkembangan remaja salah satunya adalah
penolakan atau tidak diperhatikan oleh teman sebaya dapat mengakibatkan para remaja merasa kesepian ( loneliness ) ( Santrock, 2003 : 220 ).
2.3 Makna “Kelompok” Menurut Chie Nakane Orang Jepang biasanya berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang sama ketika ia beraktivitas sehari-hari. Kalau ia masih dalam lingkungan sekolah atau kuliah, kelompok interaksinya hanya berasal dari kelompok sekolahnya atau tempat
kuliahnya saja. Itu pun terjadi jika mereka mempunyai suatu kesamaan. Begitu juga dalam dunia bisnis atau kerja. Sangat jarang orang Jepang memperkenalkan orang lain yang di luar dari kelompoknya itu sebagai “kelompok saya”. Karena dalam kelompoknya ini memiliki tingkat keintiman yang tinggi, sampai-sampai kelompok ini menjadi keluarga kedua bagi mereka yang bergabung dalam kelompok ini, dan biasanya memiliki tingkat kesetiaan dan kepercayaan yang tinggi. Kelompok ini bisa terjalin atas dasar sebuah hubungan persahabatan ( Nakane, 1991 : 125 ). Nakane ( 1991 : 126 ), menyatakan dalam buku yang berjudul Japanese Society bahwa orang Jepang sangat bergantung dan berharap kepada sahabat-sahabatnya. Tidak ada garis-garis batas yang jelas antara tanggung jawab seseorang dengan tanggung jawab orang lain. Sehingga dalam sebuah percakapan orang Jepang yang sederhana sering ditemukan percakapan seperti berikut : “Aku memahami perasaanmu. Serakan hal itu kepadaku, akan kukerjakan sebaik-baiknya ”. Ciri khas lain dalam hubungan persahabatan di Jepang adalah bahwa kelompok sahabatnya akan selalu membela sahabatnya yang tanpa sengaja melakukan kesalahan. Bahkan dalam hal-hal serius, sekalipun sesunggungnya tidak ada alasan yang masuk akal untuk dapat mempertanggung jawabkan tindakan atau perbuatan itu, kelompoknya akan tetap melindungi dengan kekuasaan yang mereka miliki dan mereka tidak segan-segan untuk mencari alasan untuk membenarkannya. Mereka memihak kepadanya secara gigih belum tentu karena ia benar, tetapi semata-mata atas dasar bahwa ia termasuk kelompok mereka ( Nakane, 1991 :127 ).
2.4 Konsep Psikologi Remaja Jepang Jika membicarakan masalah mengenai remaja, adalah hal yang umum bagi seluruh masyarakat terlepas dari ras dan agama akan mengidentifikasikan masa
remaja sebagai masa transisi atau puber. Masalah - masalah yang diangkat tidak lepas dari pencarian identitas diri, hal ini juga dialami oleh para remaja Jepang. Remaja Jepang merupakan remaja yang selalu mengikuti budaya pop dan tren. Serta banyak pula dari mereka yang mengikuti suatu kelompok masyarakat tertentu. Salah satu sebab mengapa banyak remaja Jepang sangat mengikuti arus perkembangan tren, tidak lain karena mereka masih belum mengetahui jati diri mereka. Terlepas dari ras, dan suku bangsa, kondisi yang melanda para remaja ini pada dasarnya adalah sama, yaitu mencoba untuk mencari identitas diri dalam masyarakat. Sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Marcia dan Nielsen ( 1997 : 146 ), kondisi dimana para remaja yang masih terbawa arus dan belum tahu harus mengarah kemana disebut dengan diffusend identity, dan remaja yang berjuang dalam pencarian jati diri disebut moratorium. Kondisi para remaja Jepang yang sebagian besar masih mencari jati diri atau moratorium ditegaskan kembali oleh Takeuchi ( 2004 : 61 ) yang menyatakan : 青年期はモラトリアムを脱し、職業選択から自律性擭得と自我同一性 達成に至る大きな発達的移行期である。青年は職業選択作業を遂行す る途上で自己の同一性に「山会う」発達過程をたどる。しかし、昨今 雇用状況 はその時間的猶予を青年に許容できなくなってしまった観 が強い。 Terjemahan : Remaja seharusnya keluar dari status moratoriumnnya, dan melangkah menuju tahap dimana mereka dapat mencapai otonomi mereka sendiri dan masuk kedalam perkembangan transisi berikutnya termasuk bertugas menemukan pekerjaan atau menemukan jalan menuju karir yang diinginkan. Namun saat ini ( di Jepang ), keadaan ekonomi memaksa untuk memperpanjang waktu target pekerja dikarenakan karakter remaja yang kuat.
Banyak faktor yang menyebabkan para remaja di Jepang menolak untuk ikut berperan dalam perkembangan ekonomi pemerintah. Sebagai contoh, semakin banyaknya para remaja di Jepang yang hanya ingin bekerja sambilan dan tidak ingin
ikut mengambil peranan dalam masyarakat. Pada intinya, dasar dari masalah para remaja di Jepang yang tidak ingin berperan dalam pemerintah adalah masalah komunikasi. Hal ini dinyatakan oleh Takashi ( 2008 : 170 ) yang telah mengadakan penelitian mengenai pencarian identitas dalam remaja Jepang, menyatakan : 議論の回避を高く示す青年はマイデンティディ達成得点が低く、職業 決定におけるモラトリアムの得点が高かった。逆に議論による立場の 明確化を高く示す青年は模索の得点が高かった。 Terjemahan : Menghindari pembicaraan atau komunikasi memiliki efek negatif terhadap status nilai acheived identity, dan mempunyai efek positif terhadap status nilai moratorium. Pembicara atau komunikasi untuk mencari jalan keluar memiliki kolersai positif dengan nilai acheived identity. Seperti yang disebutkan di atas, yang terpenting bagi penyelesaian masalah mengenai remaja adalah komunikasi. Remaja yang masih rentan terhadap perubahan cenderung lebih sensitif terhadap hal yang menyangkut jati dirinya. Remaja, terlepas dimana ia tumbuh dan ras apakah individu tersebut, permasalahan yang menyangkut remaja tetaplah sama, yaitu pencarian jati diri dan identitas. Sedangkan menurut Turner dan Helms ( 1995 : 3 ), masa remaja berasal dari bahasa latin “ adolescence ”, yang berarti “ tumbuh kearah kematangan ”. Rice ( 1990 : 30 ), mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Persahabatan memang memegang peranan penting dalam masa remaja. Dibandingkan dengan jenis interaksi yang lain, persahabatan bersifat lebih mendalam dan meliputi perasaan yang lebih intens, lebih jujur, dan terbuka, serta kurang ditunjukan untuk mendapatkan popularitas ( Berndt, Douvan dan Adelson dalam Newcombe ( 1996 : 24 ).
2.5 Teori Penokohan Drama pada dasarnya menggunakan manusia dengan segala persoalannya sebagai objek kajian. Menurut Semi ( 1988 : 23 ), penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Sedangkan menurut Wallek dan Warren adalah cara yang paling sederhana untuk menggambarkan watak seorang tokoh ialah dengan memberikan sesuatu dimana setiap penamaan adalah semacam menghidupkan, menjiwai, dan mengindividualisasikan. Menurut Nurgiyantoro ( 2002 : 166 ), menyatakan bahwa : Penokohan dan karakteristik juga disamakan artinya yaitu menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita; pelukisan gambaran yang jelas teknik perwujudan dan pengembangan tentang tokoh yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Sedangkan istilah tokoh menurut Nurgiyantoro ( 2002 : 165 ), menjelaskan bahwa : Istilah “tokoh ” adalah menunjuk pada orangnya atau perilaku ceritanya dan istilah tokoh cerita. Dapat juga dikatakan sebagai orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa dilakukan dalam tindakan. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, dan moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. ( Nurgiyantoro, 2002 : 167 ). Masih menurut Nurgiyantoro ( 2002 : 176 ), menjelaskan bahwa, seorang tokoh dapat dibagi dalam beberapa kategori yaitu : 1. Dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada yang disebut tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama tergolong penting karena dimunculkan secara terus-menerus sehingga terasa mendominasi seluruh rangkaian cerita. Adapun tokoh yang muncul sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itupun dalam porsi yang relative singkat, maka ia disebut dengan tokoh tambahan.
2. Berdasarkan fungsi tokoh di dalam cerita dapat dibedakan tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral disebut juga sebagai tokoh protagonis karena ia memegang pimpinan dalam sebuah cerita. Sedangkan yang disebut dengan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukkannya dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat menunjang atau mendukung tokoh utama. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata ( verbal ) dan tingkah laku lainnya ( non – verbal ). 1. Metode Verbal ( melalui dialog atau percakapan ) Menurut Mido ( 1994 : 27 ), menyatakan bahwa karakter tokoh dapat ditampilkan melalui percakapa-percakapan antara tokoh satu dengan tokoh yang lainnya dan apa yang dikatakan seseorang dapat menunjukan siapa dia sebenarnya. Menurut Nurgiyantoro ( 2002 : 201 ), percakapan yang dilakukan oleh tokoh cerita dimaksudkan untuk menggambarkan sikap tokoh yang bersangkutan. Tidak semua percakapan menunjukan sikap tokoh. Namun percakapan yang efektif dan baik adalah yang menunjukan sifat atau watak dari tokoh pelaku. Dalam keadaan yang wajar, dialog atau percakapan harus berlangsung dengan baik, tidak dibuat-buat dan tanpa menyembunyikan maksud atau tujuan yang sebenarnya agar dapat menetapkan watak seseorang ( Mido, 1994 : 30 ). Dengan adanya dialog-dialog yang dikemukakan pengarang, pembaca dapat mengetahui sejauh mana moralitas, mentalitas, pemikiran, dan watak tokohnya ( Fananie, 2000 : 90 ). 2. Metode non verbal ( Melaui deskripsi perbuatan )
Menurut Mido ( 1994 : 28 ), metode non-verbal adalah menggambarkan watak atau karakter tokoh cerita dengan cara mendeskripsi tindakan-tindatakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang tokoh cerita. Non-verbal juga merupakan
cara
penyampaian
info
tanpa
menggunakan
bahasa.
Cara
penyampaian ini sampai kepada kita melalui saluran yang terlihat, yang termasuk perilaku ekspresif, seperti ekspresi wajah, isyarat, postur dan penampilan. Selain itu untuk menunjukan unsur-unsur karakter seorang tokoh, metode ini adalah metode yang paling efektif. Menurut Soegiyoharto ( 2007 ), senyum merupakan salah satu isyarat non-verbal atau gesture manusia dalam berkomunikasi. Penelitian yang dilakukan Leonard, Voeller, dan Kaldaum ( 1999 ), menunjukan di dalam setiap senyuman terjadi peningkatan pesan positif yang komunikatif.
2.6 Teknik Montase Menurut Humprey ( 2005 : 50 ), dijelaskan bahwa teknik montase adalah salah satu teknik mendasar dari sinema. Teknik montase itu sendiri berasal dari perfilman, yang memiliki arti memotong-motong, memilih-milih, serta menyambung-nyambung gambar sehingga menjadi kesatuan yang utuh. Teknik montase didalam bidang perfilman digunakan untuk memperlihatkan antara hubungan atau asosiasi gagasan. Sehingga pada dasarnya, teknik montase mengambil sebuah kegiatan yang terdapat pada sebuah film, menggabunggabungkan, membentuk kesatuan yang utuh sehingga mampu dimengerti oleh orang umum. Teknik montase juga seringkali dugunakan untuk menciptakan suasana. Teknik ini juga digunakan dalam penyajian percakapan karena pikiran-pikiran yang susulmenyusul. Teknik montase pun bisa menyajikan kesibukan latar seperti hiruk pikuk kota atau suatu kekalutan.