9 BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Budaya Pop Storey (2003) mengungkapkan bahwa budaya merupakan perkembangan intelektual, spiritual, estetis; pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu; dan, karya dan praktik intelektual, terutama aktivitas artistik. Dengan demikian, ruang lingkup budaya dapat meliputi aktivitas seni, sastra, pendidikan, hiburan, olah raga, organisasi, wilayah, orientasi seksual, politik, etnis dan upacara/ritus religiusnya, serta aktivitas artistik budaya pop, seperti puisi, novel, balet, opera, dan lukisan. Kata pertama yang dibahas dalam budaya Pop adalah populer. William memaknai istilah populer sebagai berikut : banyak disukai orang, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang (Storey, 2003: 10). Sedangkan definisi budaya pop, dapat diterangkan sebagai berikut : 1. Budaya Pop merupakan budaya yang menyenangkan dan disukai banyak orang. Contoh, buku novel atau larisnya album single R&B. Definisi budaya pop dengan demikian harus mencakup dimensi kuantitatif, apakah suatu budaya itu dikonsumsi oleh banyak orang.
Pop-nya budaya populer menjadi sebuah
prasyarat. 2. Definisi kedua budaya Pop adalah budaya sub standar, yaitu kategori residual (sisa) untuk mengakomodasi praktek budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Budaya tinggi merupakan kreasi hasil kreativitas individu, berkualitas, bernilai luhur, terhormat dan dimiliki oleh golongan elit, seperti para
10 seniman, kaum intelektual dan kritikus yang menilai tinggi rendahnya karya budaya. Sedangkan budaya pop adalah budaya komersial (memiliki nilai jual) dampak dari produksi massal. Contohnya : Pers pop
Pers berkualitas
Sinema pop
Sinema berkualitas
Hiburan pop
Seni/budaya
3. Budaya pop merupakan budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi oleh massa untuk dikonsumsi massa. Budaya ini dikonsumsi tanpa pertimbangan apakah budaya tersebut dapat diterima di dalam masyarakat atau tidak. Budaya pop dianggap sebagai dunia impian kolektif. 4. Budaya pop berasal dari pemikiran postmodernisme. Hal ini berarti pemikiran tersebut tidak lagi mengakui adanya perbedaan antara budaya tinggi dan budaya pop dan menegaskan bahwa semua budaya adalah budaya komersial. (Storey, 2003 : 10-16) Menurut Bestor dalam Powers dan Kato (1989) budaya populer merupakan sesuatu yang berubah, setelah disukai dan banyak dikonsumsi ia akan segera berubah menjadi budaya tinggi. Contohnya Sumo dan drama Kabuki pada zaman dahulu merupakan budaya populer di kalangan rakyat jelata, namun kini menjadi budaya seni Jepang yang tinggi. 2.2 Budaya Anak Muda (Youth Culture) Nur (2003:1) menuliskan pengertian Budaya anak muda dan perkotaan (Youth Culture and Urban), yaitu budaya yang dinikmati untuk bersenang-senang diantara teman sebaya, dengan menekankan pada penampilan dan gaya, di kalangan remaja atau kaum muda perkotaan. Budaya anak muda erat kaitannya dengan trend. Trend menurut
11 New Oxford English Dictionary (2001), adalah; A general direction in which something is developing changing’. Artinya suatu arah yang umum dimana sesuatu berkembang atau berubah. Trend di populerkan atau diperkenalkan oleh trendsetter, yaitu orangorang yang tampil di publik seperti penyanyi, artis, presenter, model, dan salesgirl. Ciri-ciri umum budaya anak muda menurut Penguin Dictionary of Sociology edisi 2000 dalam Nur (2003) : 1. Budaya bersenang-senang 2. Hubungan lebih ditekankan pada hubungan teman sebaya daripada keluarga 3. Kelompok kaum muda yang tertarik kepada gaya, seperti pemilihan pakaian yang berbeda, musik, bahasa pergaulan, dan penampilan diri
2.3 Konsumerisme Pengertian konsumerisme menurut Wikipedia Free Encyclopedia (2005) adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh menyamakan kebahagiaan pribadi dengan membeli barang untuk dimiliki. Marx dalam Barker (2004) yang berargumentasi bahwa ekonomi kapitalis memimpin ke arah pemujaan terhadap barang-barang dan jasa, dan kenaikan
dari
kualitas barang dan jasa difokuskan pada harga barang dan jasa itu di pasar. Di banyak konteks yang kritis istilah ini digunakan untuk menjelaskan kecenderungan dari orangorang untuk mengidentifikasi produk atau jasa yang mereka konsumsi, terutama yang memiliki merek dagang terkenal dan perbandingan nilai tambah yang jelas, contohnya mobil yang mahal, permata yang mahal. Ini merupakan istilah merendahkan yang banyak disangkal oleh orang-orang, yang memiliki sedikit banyak rasionalisasi atau
12 alasan yang spesifik untuk konsumsi diluar daripada gagasan yang mereka sebut sebagai “konsumsi” (Storey, 2003 ). Menurut Miles dalam Wikipedia Free Encyclopedia (2005)suatu kultur yang mengandung tingkat konsumerisme yang tinggi disebut sebagai budaya konsumtif, yaitu dorongan yang kuat untuk membeli suatu barang yang bukan merupakan kebutuhan primer demi mempertahankan prestise atau sekedar mengikuti trend mode. Istilah dan konsep dari "konsumsi berlebihan" muncul pada abad 20 melalui tulisan seorang ahli ekonomi Thorstein Veblen. Istilah ini menjelaskan tentang pernyataan yang tidak logis dan kondisi yang kacau dari perilaku ekonomi. Konsumerisme merupakan wujud ekonomi yang terus menerus pada pembelian barang dan jasa, dengan perhatian kecil terhadap kebutuhan yang sesungguhnya, kualitas,
produk asli atau konsekwensi
lingkungan terhadap pembuatan dan penjualan. Materialisme adalah salah satu hasil akhir dari konsumerisme. Konsumerisme menyebabkan setiap orang itu melawan dirinya sendiri terhadap permintaan yang tidak pernah berakhir untuk pencapaian barang-barang material atau dunia khayalan yang muncul dan membuat dunia khayalan itu menjadi nyata dengan membeli barang-barang tersebut, seperti : training berat badan, diet center, bedah plastik, make up, fashionable dan sebagainya merupakan suatu contoh dimana orang-orang mengubah diri mereka menjadi alat konsumsi manusia. Dalam kaitannya dengan prilaku simbolik, Nur (2003:20) menyatakan konsumsi dilakukan karena barang tersebut mempunyai makna bagi konsumennya, jadi barangbarang konsumsi merupakan simbol, karena mempunyai nilai atau makna yang diberikan oleh orang yang mengkonsumsinya baik sebagai pemenuhan kebutuhan maupun kesan prestise jika mengkonsumsinya.
13 2.4 Fashion Nur (2003) mengungkapkan Fashion merupakan salah satu hasil budaya pop yang erat kaitannya dengan trend budaya anak muda. Fashion mempunyai beberapa fungsi budaya, diantaranya : 1. Fungsi Komunikasi menurut Veblen (1999), digunakan untuk berkomunikasi dan untuk mendapatkan posisi dan status sosial ekonomi dengan mengkonsumsi label dan merk ternama. 2. Irving Goffman mengutip definisi yang dikemukakan oleh Polhelmus (1996) yang menyatakan fashion berfungsi sebagai media ekspresi, yaitu komunikasi secara visual melalui fashion jauh lebih kuat dibanding dengan komunikasi verbal. 3. Menurut Simmel (1998) fashion digunakan oleh remaja sebagai simbol untuk mengungkapkan identitas dirinya. Remaja Jepang selalu berbelanja, mereka menghabiskan banyak sekali pengeluaran pada pakaian dan make up. Fashion merupakan hal yang paling penting, karena mereka ingin menonjol supaya diperhatikan, dan sebagian ingin memberontak melawan cara-cara formal dan tradisional dalam melakukan sesuatu hal di Jepang. Menurut Polhemus dalam Yuniya Kawamura (2004) Fashion merupakan sesuatu yang bersifat kontemporer dan bentuknya sangat kompleks, bisa mencakup mode berpakaian, make up, sepatu, tas, dan lain sebagainya. Fashion Jepang telah menjadi inspirasi bagi banyak desainer profesional di Barat. Dimulai dari Kenzo Takada yang terkenal di Paris pda tahun 1970 dan diikuti oleh Issey Miyake, Hanae Mosri, Yohji Yamamoto dan Rei Kawakubo.
14 Kawamura (2004) menyatakan bahwa Fashion yang dikenakan oleh orang Jepang di jalan-jalan, bukan dirancang oleh desainer profesinal Jepang yang telah mendunia, tetapi diperkenalkan oleh para remaja dan pengaruh budaya pop. Mereka menjadi pengaruh utama dalam mengontrol perkembangan fashion, dan tanpa disadari sebuah sistem baru fashion mulai ditetapkan secara langsung dan tidak langsung oleh penggemar fashion tersebut, sekaligus merupakan perancang, market, dan distributor mode. Konsumer fashion lahir dari jalan, dengan demikian budaya jalanan merupakan dasar fenomena fashion Tokyo saat ini. Fashion tersebut disebut sebagai Japanese street fashion (fashion jalanan orang Jepang), yaitu mode pakaian yang dikenakan oleh orang awam yang umumnya banyak ditemukan di jalan-jalan di Jepang . Kawamura (2004) mengambil data primer yang berasal dari studi etnografy di dua pusat fashion terbesar di Tokyo, yaitu Harajuku dan Shibuya, dimana budaya jalan atau sub budaya ditemukan dan dimana fashion jalanan terakhir muncul. Terdapat dua fenomena utama yang menjadi sumber kehidupan fashion jalanan di Jepang, yaitu Departemen store Shibuya 109 dan salesgirl yang sangat populer di Departemen store Shibuya 109. Semua profesional fashion Jepang mengetahui bahwa ‘Kawaii’ adalah kata kunci untuk menarik remaja Jepang. Kawaii muncul sebagai budaya pop Jepang pada tahun 1980-an. Kata ini sering terdengar di setiap lantai toko-toko Shibuya 109 yang diteriakkan oleh para remaja. Yamane dalam Kinshella (1995) mengartikan Kawaii berarti imut, yang sangat mendekati anak-anak yang biasanya menggambarkan perilaku sosial dan penampilan fisik yang manis, dicintai, lugu, murni, sederhana, asli, lembut, lemah, dan tidak berpengalaman.
Aoyagi dalam Nur (2003) menyatakan asal kata
Kawaii muncul dalam bentuk puisi dan cerita pra-modern yang berasal dari kata
15 kawayushi atau kawayurashii. Kata Kawaii berafiliasi pada otome, gadis kecil yang manis, atau yamato-nadeshiko (gadis Jepang) yang muncul di majalah, buku, ataupun iklan pada akhir abad ke 19. Menurut Kawamura (2004), bagi gadis remaja Jepang menjadi Kawaii adalah penting karena mereka percaya bahwa para pria kebanyakan mencari gadis imut dibandingkan gadis seksi. Kawaii merupakan landasan dari segala sesuatu yang modern. Kawaii hanya berupa perasaan yang timbul dari reaksi saat kita melihat sesuatu yang menarik. Untuk itulah mereka meletakkan desainer sebagai seorang sales, untuk menemukan, mempromosikan, dan menilai Kawaii itu sendiri.
2.5 Kogyaru コギャル Istilah Kogyaru berasal dari kata Ko dan Gyaru, kō 「高」 yang disingkat dari kata kōkō 「高校」dalam bahasa Jepang yang berarti SMU dan gyaru 「ギャル」 dari kata girl dalam bahasa Inggris yang berarti gadis. Istilah Kogyaru yang ditemukan dalam artikel dan majalah-majalah berupa Kogal, sedangkan dalam pelafalan lisan di Jepang disebut Kogyaru. (Whitehead, 1998) Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan citra dari gadis SMU yang mengenakan sailorfuku atau seragam pelaut, sepatu hitam dan kaus kaki panjang dan longgar yang berwarna putih. Namun kini definisi tersebut mengalami pergeseran makna, pada sejumlah artikel yang menuliskan kata ko yang berarti kecil 「子」 dan gyaru (girl) dibaca gyaru yang berarti kekasih atau gadis yang bila diterjemahkan Kogyaru berarti “kekasih kecil” atau “gadis kecil” (Kogal, 2005).
16
Kamei (2005) menyatakan bahwa: ギャルは 1970 年代当時、ニューファッションに身を包んだ女性の総称か ら始まる。1990 年にコギャルと言う言葉で呼ばれることが多かったが、 現在では単にギャルと呼ぶ, コギャルファッションをした 20 代前半の女 性を言う。 Istilah Gyaru muncul pada tahun 1970 sebagai fashion baru bagi gadis remaja. Tahun 1990 istilah Kogyaru mulai banyak disebut. Saat ini pengucapannya disederhanakan menjadi Gyaru dan pada pertengahan abad 20 disebut sebagai Fashion Kogyaru oleh remaja putri. Kogyaru tidak jauh berbeda dari gadis remaja pada umumnya. Dapat dilihat dari penampilan Kogyaru yang sedikit menyolok dengan selera yang unik dalam fashion, musik, dan aktivitas sosial. Di luar seragam sekolah mereka dapat dikenali dengan fashion trendy seperti sepatu boot (Atsuzoko), rok pendek, make-up yang berlebihan, pewarnaan rambut (Chapatsu), kulit gelap buatan, desain aksesoris, tas mahal, dan handphone dan berkumpul di sekitar stasiun, tempat-tempat karaoke, toko makanan frenchies, dan departemen store. (Kogal, 2005). Mereka sangat meyukai merk-merk terkenal seperti Channel dan Louis Vuitton, dan hampir semua fashion mereka memiliki merk-merk nomor satu tersebut. Kogyaru tidak pernah puas dengan merk-merk yang telah mereka miliki dan terus mencari merk-merk baru yang sedang trendy. Pusat kebudayaan dan aktivitas Kogyaru ini bisa ditemukan di sekitar distrik Shibuya, ikebukuro, atau di sekitar Harajuku, tempat mereka bisa menemukan karaoke murah, fast food, barang-barang bermerk, dan keramaian. Mereka biasanya berbelanja, berkumpul, dan menghabiskan uang mereka di pusat fashion ini, khususnya departemen store yang bernama Shibuya 109 (Ichimarukyu) yang terletak di Shibuya. Departemen store ini sangat populer di kalangan anak-anak muda terutama yang berumur belasan
17 tahun, dan dikenal sebagai asal dari cabang kebudayaan Kogyaru. Namun sepanjang musim panas, aktivitas para Kogyaru ini jarang ditemukan di sana, karena mereka lebih suka menghabiskan musim panas dengan berjemur di pantai.
http://en.wikipedia.org/wiki/shibuya Nur (2003:60) mengatakan bahwa Kogyaru dikenal sebagai siswi SMU yang tidak menyukai sekolah, tidak disiplin, menyenangi kebebasan, melanggar peraturan sekolah, seperti mewarnai rambut, memendekkan rok, menindik badan mereka dan bolos
18 sekolah untuk bekerja. Namun tidak berarti mereka memiliki latar belakang keluarga yang buruk atau ekonomi keluarga yang tidak mencukupi. Survei yang dilakukan oleh Mahasiswa Universitas Chuo, Tokyo pada tahun 1999 di kawasan Shibuya terhadap 100 orang responden yang berpakaian ala Kogyaru yang berusia sekitar 17-19 tahun, dan sisanya berusia 20-22 tahun mengatakan pada AERA bahwa mereka akan tamat dari Kogyaru setelah berusia lebih dari 20 tahun, dan apabila mereka masih mengenakan fashion Kogyaru setelah berusia diatas 20 tahun maka akan terlihat bodoh. 1. Fashion Kogyaru
コギャルファッション
Kogyaru berusaha menunjukkan penampilan khusus untuk menyatakan identitas sub kebudayaan mereka melalui fashion dan menciptakan suatu fashion baru yang dinamakan Kogyaru Fashion, yaitu istilah fashion gadis remaja Jepang yang menggambarkan sosok Kogyaru, fashion disini dapat berupa sailorfuku dengan loose socknya, atau penampilan Kawaii dan trendy, biasanya berupa tank-top dengan rok atau celana yang super pendek dengan corak yang mencolok dan sepatu berhak tinggi yang dikenal dengan Atsuzoko. Kadang-kadang dilengkapi dengan ban pinggang, jaket kulit dan scarf yang bermerk dan gaya. Dandanan yang mencolok dengan make-up tebal, kuku yang dicat warna-warni, parfum serta aksesoris di hampir seluruh tubuh seperti anting-anting, gelang, kalung, cincin, aksesoris rambut, baju, kacamata,dll. Ciri-ciri umum Fashion Kogyaru menurut Wikipedia encyclopedia (2005): 1.
Sailorfuku atau seragam pelaut
Kogyaru biasanya mengenakan seragam sejenis seragam angkatan laut (sailorfuku) dengan rok mini pendek di atas lutut. Warna dan model tergantung SMU.
19
2.
Loose Sock ルーズソックス
Loose sock adalah sejenis kaos kaki longgar yang terkenal di Jepang, yang mulai populer di Jepang pada tahun 1995, bentuknya lebar, panjang (mencapai lutut) dan sengaja dibuat mencuat ke bawah hingga tulang kering seperti penghangat kaki. Loose sock berwarna putih adalah paling digemari dikalangan remaja dan biasanya dikenakan dengan sepatu berwarna hitam. Harganya bisa mencapai kira-kira 1000-2000 yen. Loose sock biasanya dikenakan dengan seragam sekolah wanita, namun kemudian Loose sock mulai menjadi trend fashion di kalangan gadis remaja wanita di luar sekolah maupun kampus, khususnya para Kogyaru pada akhir 1990. Salah seorang Kogyaru mengatakan bahwa Loose sock sangat bergaya dan bisa membuat kaki terlihat panjang.
20
3. Atsuzoko 厚底 Atsuzoko berasal dari kata atsu yang berarti tebal dan zoko atau soko yang berarti sol atau hak sepatu, jadi atsuzoko dapat diartikan sebagai hak sepatu yang tebal. Atsuzoko disini merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut sepatu ber hak tinggi yang mencapai 25-30 sentimeter. Atsuzoko muncul diperkirakan muncul di Jepang pada tahun 1996, dan banyak dipakai di kalangan Kogyaru dengan penampilan tanpa seragam sekolah, karena dianggap trendy dan dapat menutup kekurangan tinggi badan serta membuat bentuk kaki terlihat lebih panjang.
4. Chapatsu 茶髪 Chapatsu adalah warna rambut yang sedang populer dikalangan Kogyaru yaitu rambut yang di warnai pirang kecoklatan. Chapatsu dibuat dengan cara bleaching, yaitu
21 memutihkan warna rambut asli, ataupun pewarnaan (dyeing). Chapatsu muncul pada awal tahun 90-an. Awalnya Chapatsu hanya terkenal di kalangan anak-anak perempuan sekolah lanjutan, namun kini mulai terkenal luas baik kaum wanita muda maupun lakilaki dan warnanya bermacam-macam yang biasanya disesuaikan dengan model dan warna baju. 5. Dan untuk melengkapi selera berpenampilan mereka, para Kogyaru ini juga mengkonsumsi tas-tas dan jam tangan bermerk seperti Gucci, Louis Vutton yang sangat mahal dan terkenal. Ditambah lagi dengan ponsel-ponsel terbaru dan canggih yang mendukung lifestyle mereka. Demikianlah Kogyaru lahir dari budaya pop dan sebagai salah satu produk budaya pop yang muncul sebagai sub budaya Jepang yang unik dan modern. Para Kogyaru juga sangat menyukai musik, klub sosial dan hiburan seperti wajarnya hubungan gadis remaja, sehingga ada akhir pekan seusai sekolah, para Kogyaru sangat suka berkumpul dan pergi ke tempat-tempat karaoke, bar, pub, salon-salon kecantikan, restoran-restoran mahal, atau menonton konser artis idola mereka. Pengeluaran yang dikeluarkan oleh Kogyaru setiap bulan bisa mencapai 100.000 yen lebih. Salah seorang Kogyaru mengatakan bahwa fashion atau Kogyaru fashion dapat membentuk identitas diri mereka sehingga mereka merasa wajar bila diperbudak oleh fashion itu (Nagamine, Azusa, Oniki and Ogawa, 1999) 2. Definisisi Kerja dan Motivasi Kogyaru Bach (2004) mengatakan bahwa pengertian kerja mendekati pemahaman universal di dalam perkembangan ekonomi. Sesungguhya orang-orang hidup di luar dari penghidupan, memaksakan suatu keinginan untuk melakukan pekerjaan yang berarti. Dan kebanyakan dari mereka mencari jalan untuk menciptakan arti tersebut dengan
22 gambaran pribadi. Bagi beberapa orang, arti dari pekerjaan adalah untuk mendukung kesenangan lifestyle. Kenyataan mengatakan, setidaknya setiap konsep tersebut
memiliki sedikit
kebenaran. Dan masing-masing dari mereka tak memenuhi dasar dari arti pekerjaan, karena masing-masing mereka memahami kerja sebagai suatu nilai yang sekunder di mana masalah hasil
lebih berarti dari pekerjaan itu sendiri. Tidak ada yang salah
dengan menikmati kesenangan lifestyle, tetapi kerja bukan untuk itu. Mendapatkan dan menikmati hasil pasti akan terpuaskan namun masih kehilangan
keseluruhan
arti
disamping hasil itu. Statistik Jepang (2003) mendata pola pekerja Jepang bervariasi, proporsi pekerja paruh waktu, pengiriman pekerja sementara dan pekerja tidak tetap lainnya meningkat sejak tahun 1995. Pembagian jenis pekerjaan merupakan ini akibat dari perubahan nilai pekerjaan dan para pekerja cenderung memilih pekerjaan yang tidak tetap (non-regular), khususnya para remaja. Bagi para remaja yang berusia belasan hingga duapuluh tahun, yang tidak meneruskan sekolah atau bekerja secara full-time memilih bekerja santai dengan bekerja paruh waktu (freeter) yang disebut sebagai “Furiitaa” dalam bahasa Jepang. Futiitaa ini banyak dilakukan oleh para remaja di Jepang yang meyukai pekerjaan santai tanpa menyita waktu dan dan pikiran. (statistik Jepang, 2003). Gadis remaja seperti Kogyaru banyak melakukan kerja freeter guna mendukung lifestyle mereka, meskipun beberapa dari mereka ada yang bergantung pada latar belakang orang tua yang kaya (parasit single). Freeter secara estimologi berasal dari kata free dan tā (taimu) atau time (waktu). Istilah Freeter digunakan untuk menyebut orang-orang yang tidak bekerja atau bekerja
23 paruh waktu dengan ketrampilan dan upah yang rendah, yang berusia sekitar 13-34 tahun, tidak termasuk ibu rumah tangga. Jumlah jam kerja freeta tidak tetap dan jenisnya beragam dan tidak spesifik, mereka biasanya bekerja untuk mengisi waktu luang (Freeta, 2003). Pengertian Freeter berbeda dengan pāto atau arubaito (part-time). Kittredge (2002) meuliskan Arubaito secara estimologi berasal dari kata arbeiter dari bahasa Jerman yang artinya pekerja dan ta dari taimu yang artinya waktu (time). Istilah ini muncul di Jepang pada tahun 1954 pada iklan lowongan salesgirl di sebuah departemen store. Jumlah jam kerja Arubaito adalah 35 jam per minggu. Parasit single adalah istilah dalam bahasa Inggris untuk orang-orang yang tinggal dengan orang tua mereka hingga usia 30 tahun, untuk menikmati hidup yang bebas dan nyaman. Orang-orang ini biasanya tidak bekerja dan menerima penghasilan dari orang tua mereka (Parasit single, 2005). Jumlah remaja wanita bekerja sangatlah tinggi, hal ini dapat kita lihat pada daftar tabel dibawah ini :
24 Sumber :statistic Bureau, MPHPT. 2003 Persentase tertinggi yang ditunjukkan oleh kurva M pada tahun 2003 menunjukkan bahwa pada usia 15-19 tahun para gadis remaja mulai memasuki lapangan pekerjaan dan jumlahnya semakin meningkat. Nagy (1991:204) mengungkapkan 3 alasan dasar untuk menjelaskan kenaikan jumlah pekerja wanita : karena kebutuhan ekonomi, bangkitnya kesadaran wanita, dan karena tersedianya lapangan pekerjaan. Alasan ekonomi adalah yang terbanyak. Para wanita bekerja demi memenuhi kebutuhan lifestyle mereka dan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
2.6 Enjokōsai
援助交際
Enjokōsai muncul di Jepang pada tahun 1995 yang merupakan masa stagnasi ekonomi dan berakhirnya masa bubble ekonomi yang merupakan salah satu fenomena yang paling buruk di masyarakat Jepang. Gadis-gadis yang terbiasa dengan kehidupan konsumerisme pada kemakmuran ekonomi sebelumnya terpaksa bekerja untuk membiayai budaya lifestyle mereka dengan menawarkan kencan untuk mendapatkan uang (Smyth, 2004). Kuronuma (1998) mengatakan bahwa : 「援助交際」を考える際も非常に大切なキーワード「断絶」と言うこと である。売春をする少女たちは「切れている」し、買春する男たちも 「切れている」のだ。まず、売春をする少女たちは家族と切れている。 と言っても表面ではつながっている子も多い。このような実態を明らか にしたのは、本書の功績である。昔の売春のように、父親は酒ばかり飲 んで家族を顧みないとか、母親がかけおちして家を出てしまったとか、 そんなのではない。援助交際をする少女たちは「家族の幸せお願って
25 る」し、フツーの家のフツーの子である。しかし、彼女たちは「切れ て」いるのだ。学校でも、もちろん切れている。そこで「仲間」を求め て町に出てくる。仲間たちとは何となくつながっている。 (Kuronuma, 1998:251-252) Kata kunci yang sangat penting saat berpikir tentang Enjokōsai pun adalah yang dikatakan dengan GAP (perbedaan pola pikir, dsb). Yaitu pola pikir yang mempengaruhi para gadis untuk menjual seks dan para pria yang membeli seks. Pertama-tama, alasan gadis-gadis menjual diri dipengaruhi oleh keluarga selain itu banyak juga gadis remaja yang menginginkan penampilan. Kenyataan seperti itu menunjukkan pada konteks pelayanan (pelayanan terhadap tuntutan fashion). Latar belakang Enjokōsai tidak hanya disebabkan oleh ayah yang mabukmabukkan dan mengabaikan keluarga, ibu yang marah lalu meninggalkan rumah. Gadis remaja melakukan Enjokōsai memang sangat mengharapkan sebuah keluarga yang bahagia, keluarga pada umumnya dan seperti anak pada umunya. Tetapi dengan terlibatnya gadis remaja di dalam Enjokōsai otomatis mereka juga keluar dari sekolah. Dari sini mereka meninggalkan lingkungan mereka dan pergi mencari sosialisasi baru. (Kuronuma, 1998:251-252) Weston (2004) mengatakan Enjokōsai merupakan salah satu produk yang perlu dicurigai dalam kehidupan seks orang-orang Jepang modern, yang diterjemahkan secara harafiah sebagai bantuan pergaulan (enjo : bantuan; kōsai : pergaulan). Dalam skenario ini gadis-gadis usia muda, atau remaja SMU atau SMP yang berusia sekitar 14-18 tahun, bertemu dengan pria yang lebih tua dan melakukan kencan dengan mereka untuk mendapatkan hadiah-hadiah yang mahal atau uang untuk membeli barang-barang tersebut. Kencan tersebut bisa berupa apa saja, dari jalan-jalan di taman, ngobrol sambil minum-minum, makan malam dan seks. Di dalam Enjokōsai terdapat kondisi dimana para pria yang melarikan diri dan menolak membayar ajakan kencan yang telah mereka lakukan karena alasan ekonomi. Keadaan ini disebut sebagai Yarinige, yaitu suatu istilah dalam bahasa Jepang yang menggambarkan penolakan kaum pria Jepang untuk membayar pelayanan yang telah diberikan oleh seorang Kogyaru. Dari Yarinige ini kemudian muncullah Oyajigari,
26
yaitu istilah dalam bahasa Jepang untuk skenario yang dibuat oleh Kogyaru, dengan mengatur pertemuannya dengan pria yang lebih tua dan membawa pria-pria tersebut ke dalam situasi dimana teman-temannya bisa merampok mereka. Oyaji gari merupakan respon Kogyaru terhadap Yarinige (Herbert, 2004). Weston (2004) menyebutkan 2 faktor terjadinya Enjokōsai, yaitu : 1. Para pria yang menyukai gadis-gadis sekolahan yang Kawaii dan bersedia membayar mereka untuk kencan disebut dengan istilah Lolita Complex atau yang disingkat Lolikon, hal inilah penyebab utama terbentuknya pasar untuk praktek Enjokōsai tersebut. Meluasnya seksualisasi dari gadis-gadis sekolahan dan seragam sekolah mereka (sailorfuku) ada dimana serta telah memiliki akar kebudayaan yang dalam. Kecendrungan para pria tua ini terlibat dalam Enjokōsai adalah berawal dari istilah ‘tamaranai’, yaitu secara harafiah dapat diterjemahkan sebagai ‘an uncontrollable attraction’ atau ketertarikan yang tidak terkontrol. Ini merupakan alasan kaum pria Jepang yang berusia 50-an akan ketertarikan mereka terhadap gadis Jepang yang berusia 15 tahunan. Tamaranai disini juga bisa muncul akibat kurangnya perhatian dari istri-istri mereka, karena faktor jam kerja lembur di Jepang. Untuk itulah mereka mencari gadis-gadis remaja Jepang yang juga memberikan respon timbal balik dari alasan yang sama terhadap ayah mereka. 2. Berasal dari Kogyaru sendiri. Yang terlibat dalam Enjokosai kebanyakan berasal dari keluarga menengah, mereka tidak menjual diri mereka untuk menyambung
27 kebutuhan hidup tetapi untuk membiayai kesenangan mereka dalam berbelanja (konsumerisme). Fukutomi (2002) mengatakan bahwa, "Many teen-age girls involved in prostitution have family problems. They tend to be unable to exercise self-restraint, act impulsively and feel lonely. Many of them either have few chances to talk with their parents or are overprotected by their parents. The looser their relations with their parents, the less reluctant they are to prostitute themselves. However, they are victims in a way and men who buy them are to blame." (Fukutomi, 2002) "Banyak gadis remaja terlibat dalam prostitusi memiliki masalah di dalam keluarganya. Mereka cenderung tidak mampu menahan hawa nafsu, bertindak sesuai dorongan hati dan merasa kesepian. Banyak di antara mereka yang hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk berbicara dengan orang tua mereka atau terlalu dikekang oleh orang tua mereka. Mereka yang kehilangan hubungan dengan orang tua, semakin sedikit keseganan mereka untuk melacurkan diri. Bagaimanapun, mereka adalah korban dan orang-orang yang membeli mereka pantas disalahkan." (Fukutomi, 2002) Aktivitas Enjokōsai bermula dari suatu klub yang disebut club dating yang biasanya disingkat oleh para Kogyaru menjadi detokura, yaitu istilah lain Club dating yang merupakan istilah bagi suatu klub gadis remaja Jepang yang terlibat dalam Enjokōsai, di dalam klub ini para Kogyaru saling berinteraksi satu sama lain dan saling bertukar informasi serta pengalaman. Dari detokura muncullah suatu klub baru yang sangat terkenal dalam istilah Enjokōsai, yaitu telephone club atau terekura dalam singkatan bahasa Jepang. Interaksi yang terjadi di dalam klub ini menggunakan alat bantu telepon selular yang sangat berpengaruh besar untuk berhubungan di dalam Enjokōsai antara Kogyaru dan dan para kliennya. (Enjo kōsai, 2005) Para Oyaji atau yang sering disebut Lolita complex (Lolikon) yang ingin mengencani gadis-gadis remaja dapat mendatangi klub-klub ini dengan membayar uang masuk sebesar 5000 yen, atau mengunjungi toko burasera untuk mencari para Kogyaru yang kawaii. Dari sini mereka saling berkenalan, bertukar nomor telepon, dan menuju
28 tempat-tempat karaoke, bar atau departemen store untuk berkencan dan kadang-kadang berakhir di ‘Love Hotel’. Love Hotel adalah istilah bagi hotel-hotel yang digunakan untuk melakukan hubungan seks. (Kuronuma, 1998) Weston (2004) mengatakan oleh karena gadis-gadis yang menawarkan diri mereka dan para pria yang membayar, demikianlah Enjokōsai berada pada puncak dua mode pemikiran yang secara mendalam tertanam di dalam kesadaran kolektif Jepang modern adalah titik dimana pemujaan terhadap seksual itu bertemu dengan paham konsumerisme dan mereka saling melengkapi satu sama lain.