Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Second Language Sesuai dengan tema penelitian yang penulis ambil, yaitu penggunaan metode tertentu untuk memperoleh kemampuan bahasa kedua atau second language, maka penulis akan menjelaskan tentang second language itu sendiri. Menurut Saville-Troike (2006: 4), “a second language is typically an official or socially dominant language needed for education, employment, and other basic purposes. It is often acquired by minority group members or immigrants who speak another language natively.” Artinya, bahasa kedua adalah bahasa dominan yang diperlukan secara resmi atau secara sosial untuk tujuan pendidikan, pekerjaan, dan tujuan dasar lainnya. Bahasa kedua biasanya dikuasai oleh kelompok minoritas atau para imigran yang dengan fasih menguasai bahasa lainnya. Terdapat perbedaan definisi antara bahasa kedua dengan bahasa asing (foreign language). Bahasa asing tidak termasuk ke dalam konteks bahasa yang harus secepatnya dipelajari oleh pembelajar, tetetapi mungkin diperlukan untuk, misalnya, bepergian ke negara lain, atau terlibat dalam kegiatan komunikasi sosial (Saville-Troike, 2006: 4). 2.1.1 Second Language Acquisition Bersamaan dengan adanya second language, maka terdapat pula adanya proses akuisisi bahasa kedua atau Second Language Acquisition. Definisinya adalah sebagai berikut. 8
Saville-Troike (2006: 2): Second Language Acquisition (SLA) refers both to the study of individuals and groups who are learning a language subsequent to learning their first one as young children, and to the process of learning that language. The additional language is called a second language (L2), even though it may actually be the third, fourth, or tenth to be acquired. It is also commonly called a target language (TL), which refers to any language that is the aim or goal of learning. The scope of SLA includes informal L2 learning that takes place in naturalistic contexts, formal L2 learning that takes place in classrooms, and L2 learning that involves a mixture of these settings and circumstances. Saville-Troike menyatakan bahwa Second Language Acquisition (SLA) mengacu kepada individu-individu dan kelompok-kelompok yang sedang belajar sebuah bahasa setelah bahasa pertama mereka sejak kecil, dan juga mengacu kepada proses belajarnya. Bahasa tambahan tersebut disebut dengan bahasa kedua (second language / L2), walaupun bisa saja sebenarnya itu adalah bahasa ketiga, keempat, atau kesepuluh mereka. Biasanya, L2 juga disebut sebagai target language (TL), yang mengacu kepada bahasa yang menjadi tujuan pembelajaran. Lingkup dari SLA terdiri dari pembelajaran L2 informal yang terjadi secara alami, dan pembelajaran L2 formal yang terjadi di dalam kelas dan juga terjadi pada campuran berbagai macam situasi. Contoh dari pembelajaran secara informal misalnya seperti pada imigran Jepang yang datang ke Amerika Serikat. Di sana mereka secara alami mempelajari Bahasa Inggris tanpa instruksi tertentu. Pembelajaran formal misalnya yang terjadi pada seorang Rusia yang menghadiri kelas Bahasa Mandarin. Kombinasi antara formal dan informal, misalnya seperti yang terjadi pada mahasiswa asal Indonesia yang belajar Bahasa Jepang di universitas di Jepang, serta belajar Bahasa Jepang dalam interaksinya dengan orangorang Jepang di sekitar kampusnya. Aplikasi SLA dalam bidang akademik, menurut Saville-Troike (2006: 136), mengkhususkan pembelajar L2 untuk menguasai bahasa dalam bidang tertentu. Tujuan dari pengaplikasian SLA pada bidang akademik adalah untuk mempelajari sebuah pelajaran, sebagai alat untuk melakukan penelitian bidang tertentu, dan juga untuk 9
menghadiri sebuah kelas yang diadakan dalam bahasa asing. Prioritas pembelajaran dalam kompetensi akademik, adalah membaca, disusul menyimak atau mendengarkan, lalu menulis dan berbicara. Hal ini sesuai dengan proses sebenarnya pembelajaran SLA yang penulis terima selama menerima pendidikan di Universitas Bina Nusantara, yakni kemampuan membaca buku teks dan kemampuan mendengarkan dosen berbicara didahulukan, setelah itu penulis diberi tugas menulis dan terakhir mempresentasikan hasil kerja tersebut. 2.2 Konsep Pengajaran Bahasa Asing Sebelum masuk ke metode pengajaran bahasa asing, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan definisi bahasa asing. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang akan disingkat dengan KBBI (1997: 77), bahasa asing adalah bahasa milik bangsa lain yang dikuasai, biasanya melalui pendidikan formal dan yang secara sosiokultural tidak dianggap sebagai bahasa sendiri. Sedangkan definisi pengajaran masih menurut KBBI (1997: 15),
adalah proses, pembuatan, cara, segala sesuatu mengenai mengajar.
Sehingga, pengajaran bahasa asing adalah proses mengajarkan, membimbing seseorang dalam mempelajari sesuatu yang kurang dipahami. Dalam penelitian ini, hal yang kurang dipahami tersebut adalah Bahasa Jepang. Terdapat beberapa pendekatan khusus dalam proses belajar-mengajar, yaitu pendekatan behavioristik, humanistik, dan kognitif. Menurut Djiwandono (2002: 149), pendekatan kognitif melihat belajar sebagai sesuatu yang aktif. Mereka berinisiatif mencari pengalaman untuk belajar, mencari informasi untuk menyelesaikan masalah, mengatur kembali, dan mengorganisasi apa yang telah mereka ketahui untuk mencapai 10
pencapaian yang baru. Kemudian, menurut Bransford dalam Djiwandono (2002: 150) tentang teori kognitif, yang penting adalah bagaimana orang belajar, mengerti, dan mengingat informasi. Jadi, pembelajar tidak hanya pasif dalam kegiatan belajar mengajar, tetetapi ikut aktif dan berperan serta dalam proses kegiatan belajar mengajar, dan dengan melihat hal tersebut, mereka bisa mengidentifikasikan sesuatu. Selain itu, menurut Sunarsih (2012: 36), di dalam konsep pengajaran bahasa asing terdapat empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan atau menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek bahasa tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Pada penelitian ini, penulis memfokuskan pada keterampilan bahasa yakni menyimak. Tarigan (2008: 2) mengatakan, keterampilan atau kemampuan menyimak merupakan keterampilan menangkap bunyi-bunyi yang diucap atau dibacakan oleh orang lain dan diubah menjadi bentuk makna untuk dievaluasi. Penulis mengambil kesimpulan bahwa keterampilan menyimak adalah memahami makna komunikasi yang disampaikan oleh pembicara melalui bahasa lisan. Dalam proses meningkatkan keterampilan menyimak, terdapat beberapa metode. Maka dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah shadowing. 2.3 Konsep Student Centered Learning Pada poin 2.2 di atas, disebutkan bahwa strategi kognitif melihat belajar sebagai sesuatu yang aktif. Pembelajar berinisiatif mencari pengalaman untuk belajar. Jadi, poros dari proses pembelajaran kognitif ini adalah pembelajar, dan bukan pengajar. Oleh karena itu, kemudian dikenal istilah Student Centered Learning atau yang biasa disingkat dengan SCL. Collins dan O’Brien dalam Froyd (2009: 1) mengemukakan 11
definisi dari SCL (yang diistilahkan oleh mereka dengan “Student-centered Instruction”) sebagai berikut. Collins dan O’Brien dalam Froyd (2009: 1): Student-centered Instruction [SCI] is an instructional approach in which students influence the content, activities, materials, and pace of learning. This learning model places the student (learner) in the center of the learning process. The instructor provides students with opportunities to learn independently and from one another and coaches them in the skills they need to do so effectively. Student-centered Instruction [SCI] merupakan sebuah pendekatan instruksional yakni murid-murid memberikan pengaruh terhadap isi, aktivitas, materi, dan laju pembelajaran. Model pembelajaran ini menempatkan murid (pembelajar) di tengah-tengah proses pembelajaran. Instruktur menyediakan murid-murid kesempatan untuk belajar secara mandiri, satu sama lain dan melatih mereka kemampuan yang harus mereka pelajari, secara efektif.
Shadowing yang diterapkan dalam penelitian ini, termasuk ke dalam cara belajar dengan konsep SCL tersebut. Shadowing menjadikan pembelajar sebagai poros dari proses pembelajaran, yang mengharuskan pembelajar mengikuti alur pembicaraan dari audio yang diputarkan sampai dia bisa untuk mengikutinya. Shadowing, dalam hubungannya dengan SCL, memberikan kebebasan kepada pembelajar untuk menguasai materi-materi tertentu yang diajarkan dengan tujuan meningkatkan kemampuan mendengarkan. Menurut Collins dan O’Brien dalam Froyd (2009: 1), implementasi SCL yang benar akan meningkatkan motivasi belajar, ingatan yang lebih baik, pengertian yang lebih dalam, dan sikap positif akan subjek yang diajarkan.
12
2.4 Metode Shadowing Berkaitan dengan konsep SCL, berikut penulis jabarkan beberapa definisi tentang shadowing. Japan Foundation (2008: 63): 「シャドーイング」とは、録音の音声を「影(= shadow)」のよ うに追いかけながら再生することで、通訳のトレーニングの1つとして 長く行われてきた方法です。現在は、言語教育でも広く行われるように なり、日本語学習用の教材も作られています。この「シャドーイング」 を聴解の「後作業」で行うことも効果があると思われます。 Shadowing adalah kegiatan mengikuti dan mengulang kembali suatu suara dari sebuah rekaman, dan merupakan salah satu cara yang telah lama diaplikasikan sebagai salah satu cara melatih penerjemahan lisan. Saat ini, shadowing telah berkembang luas di dalam pendidikan bahasa, dan untuk keperluan pembelajaran Bahasa Jepang bahkan telah dibuat materi pelajaran untuk shadowing. Shadowing, dianggap efektif ketika diletakkan di bagian kegiatan penutup pada proses pembelajaran menyimak.
Shadowing telah banyak dijadikan bahan pembelajaran menyimak. Selain itu, shadowing
ternyata dapat menjadi metode latihan untuk memperindah pelafalan.
Kemudian menurut Karasawa (2010: 209), shadowing merujuk kepada cara latihan berupa mendengarkan suatu suara, dan sebisa mungkin tanpa memberikan jeda, kita mengikuti suara tersebut seperti bayangan, dan merupakan cara yang banyak digunakan untuk mendidik seorang interpreter. Seorang interpreter dituntut untuk dapat menanggapi dengan cepat suatu kalimat di mana terdapat info penting di dalamnya, dan kemudian dia harus bereaksi terhadap situasi tersebut. Dari sini sudah terlihat jelas, bahwa kemampuan mendengarkan merupakan aspek penting dalam berbahasa. Namun dalam prakteknya, shadowing sering dianggap hanya sebuah kegiatan pasif, yakni 13
pembelajar hanya mengikuti kalimat yang didengarkan dan selama dia bisa mengikutinya, maka tercapailah akhir dari penggunaan metode shadowing. Akan tetetapi, Tamai dalam Karasawa (2010: 209), mengatakan bahwa shadowing bukanlah mekanisme pengulangan kata-kata seperti halnya burung beo, namun merupakan sebuah kegiatan yang sangat kuat nilai kognitifnya karena pembelajar harus mengikuti perkataan si pembicara, mengucapkannya lagi dengan jelas, dan dalam bersamaan si pembelajar juga harus mendengarkan. Berkaitan dengan nilai kognitif pada shadowing, maka penulis akan menjabarkan jenis-jenis metode shadowing. Menurut Murphey dalam Hamada (2012: 5), metode shadowing diperinci sebagai berikut: Tabel 2.4.1 Pembagian Prosedur Shadowing Menurut Murphey Prosedur
Complete Shadowing
Definisi
Pendengar mengulangi (to shadow) semua yang dikatakan oleh pembicara. Pendengar memilih hanya beberapa kata
Selective Shadowing
dan frase tertentu untuk kemudian diulangi. Selective
Interactive Shadowing
shadowing
yang
ditambah
dengan komentar dari pendengar itu
14
sendiri untuk membuatnya terlihat natural.
Kemudian, menurut Kadota dan Tamai dalam Hamada (2012: 5), metode ini dibagi lagi menjadi: Tabel 2.4.2 Pembagian Prosedur Shadowing Menurut Kadota dan Tamai Prosedur
Definisi Pendengar melakukan shadow dengan berfokus bukan kepada pengucapan
Mumbling mereka sendiri, namun kepada suarasuara yang tengah mereka dengarkan. Pendengar melakukan shadow terhadap audio yang mereka dengarkan , sambil Synchronized Reading membaca naskah, dengan menirukan setiap bunyi dan intonasi. Pendengar mencoba melakukan shadow Prosody Shadowing
seperti dalam synchronized reading, namun tanpa naskah apapun.
Content Shadowing
Pendengar melakukan shadow sekaligus
15
memahami isi dari audio yang mereka dengarkan.
Selain itu, shadowing menurut Kurata dalam Hamada (2012: 5) adalah sebagai berikut. Tabel 2.4.3 Pembagian Prosedur Shadowing Menurut Kurata Prosedur
Definisi Mendengarkan suara yang masuk, lalu
Full Shadowing
mencoba mengulanginya sesegera mungkin. Pembicara dengan sengaja memberikan jeda per frase dalam materi shadowing-
Slash Shadowing
nya, untuk memberikan waktu kepada pendengar agar bisa mengenali kata-kata yang didengarkan. Full shadowing yang dilakukan di dalam
Silent Shadowing kepala (berbicara dalam hati).
Part Shadowing
Pendengar memilih kata-kata terakhir saja, atau kata-kata yang tidak dimengerti saja,
16
dan melakukan shadow hanya terhadap kata-kata tersebut. Pendengar menambahkan komentar Part Shadowing + Comment masing-masing. Part Shadowing + Question
Pendengar menambahkan pertanyaan.
Hamada sendiri dalam penelitiannya menggunakan empat tipe shadowing, yaitu silent shadowing, mumbling, synchronized reading, dan prosody shadowing yang kemudian menjadi dasar metode yang digunakan dalam penelitian penulis. 2.5 Strategi Pembelajaran Sebuah strategi mutlak diperlukan dalam kegiatan belajar-mengajar dan juga dalam pembelajaran bahasa asing yang mendukung metode pembelajaran yang diterapkan oleh pembelajar bahasa asing. Menurut Sanjaya (2006: 103), mengajar dalam standar konteks pendidikan tidak hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, akan tetetapi dimaknai juga sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa belajar. Proses seperti ini sering diistilahkan dengan “pembelajaran”. Walaupun istilah yang digunakan adalah pembelajaran, bukan berarti peran guru sebagai pengajar menjadi hilang. Dalam konteks pembelajaran, istilah tersebut sama sekali tidak berarti memperbesar peranan siswa di satu pihak dan memperkecil peranan guru di pihak lain. Hal ini dikarenakan istilah “mengajar-belajar” memiliki makna yang sama. Mengajar adalah suatu aktivitas yang membuat siswa belajar. 17
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Oxford (1995: 16), strategi belajarmengajar terbagi menjadi dua, yaitu strategi langsung dan tidak langsung yang di dalamnya terbagi lagi menjadi beberapa strategi. Berikut bagan yang menyatakan strategi tersebut. Gambar 2.5.1 Bagan Strategi Pembelajaran Menurut Oxford
記憶ストラテジー(memori)
直接ストラテジー
認知ストラテジー(kognitif)
Strategi Langsung 補償ストラテジー(kompensatif)
学習ストラテジー Strategi Pembelajaran
メタ記憶ストラテジー (Pengukur Pengakuan) 間接ストラテジー Strategi Tidak Langsung
情意ストラテジー (Emosi) 社会的ストラテジー (Sosial/Masyarakat) 18
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan strategi pembelajaran secara langsung, dengan sub-strategi berupa strategi kognitif berdasarkan kecocokan antara pengertian shadowing dengan pengertian dari strategi pembelajaran langsung dan kognitif. Oleh karena itu, penulis akan membahas lebih dalam mengenai strategi tersebut. Roy Kellen dalam Sanjaya (2006: 126) mengatakan bahwa strategi pembelajaran langsung adalah strategi bahan pelajaran yang diberikan kepada siswa, disajikan dalam bentuk jadi dan siswa dituntut untuk menguasai bahan tersebut. Dikatakan ‘langsung’, karena materi disajikan begitu saja kepada siswa sehingga siswa tidak dituntut untuk mengolahnya. Kewajiban siswa adalah menguasainya secara penuh. Kemudian, Oxford (1995: 20) membagi strategi pembelajaran menjadi sebagai berikut:
19
Gambar 2.5.2 Bagan Strategi Pembelajaran Langsung Menurut Oxford Membuat rangkaian kecerdasan Menghubungkan dengan gambar dan suara Strategi Memori
Pengulangan dan memeriksa ulang Pemindahan gerakan
Latihan
Mendapat dan mengirim hasil informasi Strategi Kognitif Analisis dan penarikan kesimpulan
Membuat struktur input dan output
Membuat alasan secara intelektual
Strategi Kompensatif
Mengatasi keterbatasan berbicara dan menulis
20
Berdasarkan bagan di atas, maka menurut Oxford (1995: 43) pengertian strategi kognitif atau 認知ストラテジー (Ninchi Sutorateji) adalah sebagai berikut. Oxford (1995: 43): 認知ストラテジーは、練習をする(practicing)、情報内容を受け取 ったり(receiving)、送ったるする(sending)、分析したり(analyzing)、推論 したり(reasoning)する、インプットとアウトプットのための構造をつく る(creating)ことである。この四つのストラテジーの頭文字を取ると、頭 字語PRACができる。なぜなら、認知ストラテジーは言語学習にとっ てPRACtical(実際的)なものであるからだ。 Strategi kognitif adalah strategi yakni kita melakukan latihan, menerima dan mengirim pesan, membuat alasan, dan membuat struktur input dan output. Apabila keempat hal tersebut telah dipenuhi, maka strategi kognitif dapat terlaksana. Karena bagi pembelajar bahasa asing, strategi kognitif ini adalah sebuah latihan yang dapat dipraktekkan.
Berdasarkan definisi di atas, Oxford (1995: 22) membagi strategi kognitif ini ke dalam beberapa bagian sebagai berikut. Strategi Kognitif: A. Latihan 1. Repetisi (pengulangan) 2. Latihan dengan suara dan tulisan 3. Memakai ekspresi yang tepat untuk mengingat pola kalimat 4. Membuat kombinasi yang baru 5. Latihan di dalam kondisi yang sebenarnya
21
B. Mendapat dan mengirim informasi 1. Menerima maksud atau pengertian dengan cepat 2. Menggunakan bermacam-macam data untuk mendapat dan mengirim isi informasi C. Melakukan analisis dan menarik kesimpulan 1. Menarik kesimpulan dengan cara pemotongan atau peringkasan 2. Menganalisis ekspresi 3. Membandingkan bahasa sambil menganalisis 4. Menerjemahkan 5. Melakukan transfer bahasa ibu D. Membuat struktur untuk input dan output 1. Membuat catatan 2. Membuat ringkasan 3. Membuat penegasan
22