Bab 2 Landasan Teori
2.1 Etos Kerja Masyarakat Jepang Secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘tempat hidup’. Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama muncul pula istilah ethikos yang berarti ‘teori kehidupan’, yang kemudian menjadi ‘etika’. Dalam bahaa Inggris etos dapat diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara lain starting point, to appear, disposition hingga disimpulkan sebagai character. Dalam bahasa Indonesia kita dapat menerjemahkannya sebagai sifat dasar, atau disposisi watak. Menurut Shimada dalam Atikah (2008:14) mengemukakan pengertian kerja dari sudut pandang etika sebagai berikut, 職業とは生計継持野ために何らかの報酬を 得ることを目指す、継続的な人間活動である Artinya kerja adalah kegiatan umat manusia yang bersifat berkesinambungan yang dilakukan demi mendapatkan imbalan (upah) untuk kelangsungan hidup. Mempertahankan kelangsungan hidup adalah kebutuhan lahiriah atau fisik yang merupakan dasar utama, dan hal ini adalah dasar dari dilakukannya kerja atau kegiatan kerja akan tetapi dalam kenyataannya kebutuhan manusia bermacammacam, apabila kebutuhan yang bersifat lahiriah telah terpenuhi, berturut-turut muncul keinginan-keinginan lain dalam kehidupan tersebut. Dibalik kegiatan kerja yang dilakukan oleh seseorang pasti ada motivasi yang membuat orang tersebut
melakukan kegiatan kerja. Motivasi atau penggerak yang membuat seseorang melakukan kerja ada bermacam-macam jenisnya. Menurut Shimada dalam Atikah (2008:15) yang menjadi penyebab orang bekerja adalah karena adanya bermacam-macam pribadi manusia dengan tuntutan yang juga berbeda. Salah satu contohnya yaitu kebutuhan untuk mewujudkan diri yaitu perwujudan ciri khas manusia, kebudayaan, pengembangan keberadaan masyarakat. Kehidupan rohani, kehidupan yang mementingkan nilai-nilai ketentraman. Agar kegiatan-kegiatan kerja dapat berjalan sesuai dengan fungsinya maka dibutuhkan aturan –aturan tertentu yang dikemukakan oleh Shimada (2008:18):
Kerja adalah kegiatan yang bersifat sosial, sebagai panggilan hidup yang merupakan selain kegiatan manusia yang berkelanjutan untuk mendapatkan imbalan demi kelangsungan hidup juga merupakan suatu yang berhubungan dengan aturan-aturan sosial yang melingkupinya yang mengatur kegiatan manusia tersebut. Aturan aturan itu adalah “etika kerja”.
Etos kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral. Jika seseorang, suatu organisasi atau suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan perilaku kerja mereka yang khas. Contohnya saja, bila individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehiupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah.
Etos kerja juga merupakan pondasi dari sukses sejati dan otentik. Pandangan ini dipengaruhi oleh kajiannya terhadap studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penulisan-penulisan manajemen dua puluh tahun belakangan ini yang semuanya bermuara pada satu simpulan utama, bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Sebagian orang menyebutkan perilaku kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan dan budaya kerja. Sinamo (2005:25) Lebih memilih menggunakan istilah etos karena menemukan bahwa kata etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari sebuah organisasi atau komunitas tetapi juga mencakup motivasi yang menggerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, dan standar-standar. Melalui beberapa pengertian di atas baik secara etimologis maupun praktis etos kerja merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya.
2.2 Konsep Ie
Ie yang berarti keluarga menjadi kerangka utama dalam setiap perusahaan. Dengan semangat kekeluargaan, sering kali karyawan dengan suka rela bekerja melebihi dari waktu jam kerja mereka dikarenakan loyalitas mereka yang begitu besar bagi perusahaan (Okimoto, 1988:134).
Kesetiaan seseorang pekerja akan sangat dihargai oleh perusahaan. Syamsaimun (1992:25), mengatakan bahwa demi untuk kesetiaan pula perusahaan rela mengeluarkan pengeluaran cukup besar untuk menjaga kesetiaan setiap pekerja dengan membuat macam-macam atribut seperti filsafat, lagu perusahaan, lencana dan pertemuan serta jamuan pada saat penerimaan karyawan baru. Menurut Widyahartono (1994:20) perusahaan menciptakan sistem-sistem manajemen yang dapat mengikat kreatifitas pekerja demi tercapainya kesuksesan perusahaan dengan cara mempekerjakan pegawai seumur hidup senioritas 上下関係, (Jyooge kankei ) gaji berdasarkan senioritas 年功上列 制度 (Nenkoujyouseido)dan serikat buruh 労度組合 (Roudo Kumiai). Dengan demikian mereka sebagai pegawai akan mengerahkan tenaganya semampu mungkin demi perusahaan. Hubungan manusiawi ini, menurut Widyahartono (1994:20), merupakan suatu kata yang menggambarkan sistem dari bekerja seumur hidup (life time employment), sistem senioritas menurut usia kerja dan serikat kerja yang mengabdi kepada perusahaan (enterprise based unions).
Sistem manajemen dalam perusahaan Jepang ; 1. Senioritas 上下関係 (Jyouge kankei) Hampir di semua sistem di perusahaan Jepang menganut sistem senioritas, karena Jepang menganut sistem paternalistik. Kesetiaan pekerja pada manajemen paternalistik diperteguh dengan berbagai macam fasilitas, pelayanan-pelayanan yang disediakan oleh perusahaan untuk para karyawan sebgai penghasilan tambahan,
disamping upah berupa uang. Sistem senioritas terlihat jelas pada kenaikan tingkat dan pemberian gaji berdasarkan dengan lamanya ia bekerja pada perusahaan itu.
The seniority ranking system where promotions and pay are determined by the length of service to the company. The system played an important role at the time of japan’s high economic growth period ( Hiroyki,2009:191) Kedudukan sistem senioritas dimana promosi dan gaji ditentukan oleh lamanya pelayanan untuk perusahaan. Sistem ini memainkan peran penting pada waktu pertumbuhan tinggi ekonomi Jepang.
2. Bekerja seumur hidup 終身雇用制度 (Shuushinkoyou seido)
Kehidupan masyarakat Jepang dengan standar hidup yang tinggi, penerapan teknologi maju, dan globalisasi, menuntut mereka untuk menjalani pendidikan sampai tingkat tertentu agar bisa mengimbangi standar hidup mereka itu sendiri dan mampu mengikuti arus perkembangan zaman. Disamping itu, kecenderungan untuk menilai seseorang melalui latar belakang pendidikannya sudah berakar kuat pada masyarakat Jepang. Secara ekonomis dapat mengandalkan latar pendidikannya sebagai modal dan pendapatannya di masa depan (NHK Kokusai Kyouzu Keizei,1995:177). Menurut badan perencanaan ekonomi yang didirikan pada bulan juni tahun 1992, pengeluaran untuk pendidikan bagi keluarga yang memiliki anak usia sd mencapai 8,3% dari anggaran belanja keluarga, 10,3% bagi keluarga yang mempunyai anak usia smp, 11,8% bagi keluarga yang mempunyai anak yang duduk di bangku sma dan 15% bagi keluarga yang anaknya telah duduk di bangku perguruan tinggi.
Biaya lainnya yang dianggap lebih berat dari biaya pendidikan yaitu biaya yang dikeluarkan untuk cicilan rumah. Pada tahun 1993, keluarga yang memiliki rumah sendiri di seluruh Jepang, jumlahnya sekitar 60%, dan sangat susah untuk memiliki rumah sendiri di kota besar seperti tokyo, karena harganya sangat tinggi. hal ini sesuai dengan kehidupan orang Jepang dalam Hyou To Gurafu De Miru Shakaika Shiryoushuu (1998: 214). Karena tuntutan hidup orang Jepang yang sangat tinggi, kebutuhan hidup yang harus dicukupi oleh orang Jepang dan loyalitas yang dimiliki oleh seorang pekerja dapat dijadikan landasan tinggi dan lamanya jam kerja di Jepang. Karou (2001:2425) mengatakan bahwa pelaksanaan jam kerja di Jepang dipengaruhi dan didorong oleh pandagan orang Jepang terhadap kerja, termasuk didalamnya system bekerja seumur hidup 終身雇用 (shuushin koyou). Perusahaan biasanya berusaha untuk mengurangi biaya lembur (overtime expenses) agar mampu bersaing dengan kompetitor lainnya. Dalam hal ini, posisi pekerja sangat tidak menguntungkan , mereka dituntut untuk bekerja keras tapi tidak memperoleh bayaran atas kerja kerasnya itu. Disamping itu, kesadaran berkelompok dan juga loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan membuat perusahaan biasa menuntut pekerjaannya untuk lembur berjam-jam. Meskipun peraturan mengenai lembur harus disepakati melalui perjanjian sarikat buruh dengan perusahaan, tapi lembur yang mereka kerjakan biasanya jauh melebihi angka tersebut. Para pekerja hampir tidak bisa berbuat apa-apa karena adanya ancaman pemutusan hubungan kerja dan juga tersisihkan dari kelompok. Melihat kondisi ini, sistem shuushinkoyou yang diterapkan oleh kebanyakan perusahaan di Jepang telah menempatkan seorang pekerja pada posisi yang sangat lemah. Hal ini sesuai dengan perusahaan Jepang dalam NHK Kokusai Kyouzou Keizai Project (1995:99).
2.3 Orientasi Kelompok Masyarakat Jepang (Teori Shuudan shugi) Orang Jepang ketika berinteraksi dengan sesamanya di dalam berbagai kegiatan kelompok menunjukkan sikap keberadaannya dalam kelompok. Mereka berusaha keras menjalankan tugas sebagai tugas dan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya dalam melakukan kegiatan agar mereka memperoleh hasil yang menguntungkan bagi kelompoknya (Shimara,1989:21). Kegiatan tersebut dilandasi oleh orientasi kelompok yang mampu mewujudkan keseimbangan 安定 (antei) dalam mengatur kehidupan sosial masyarakatnya, karena orang Jepang dalam melakukan kegiatan-kegiatan kelompok menunjukkan sikap konsisten dalam mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan kelompok atau masyarakatnya. Hal ini terlihat pada orang Jepang masa kini (Hamaguchi, 1994:5660). Menurut Kawamoto dalam Atikah. Kerangka berpikir orang Jepang terhadap kerja kelompok yang didasari kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok dalam suatu kehidupan sosial masyarakat yang diikat oleh kehidupan bekerja sama di dalam satu kesatuan kehidupan kelompok atau masyarakat . Di dalam orientasi kelompok, tingkah laku individu dikontrol oleh masyarakatnya melalui kegiatan kelompok. Mereka sudah menyadari hak dan kewajibannya. Mereka merasa adalah kewajibannya untuk bertindak sesuai dengan kemauan kelompok dan tidak menonjolkan diri sendiri. Setiap individu melakukan kegiatan atau aktivitas yang dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Mereka melakukannya sebagai dorongan-dorongan atas keinginan untuk membangun suatu kehidupan sosial menuju kemajuan dan perkembangan masyarakatnya (Fukutake, 1994:15). Seperti halnya kehidupan sosial masyarakat petani sebelum Perang Dunia II, kesetiaan yang tertanam pada mereka 点尾(teno) sebagai rajanya telah meningkatkan
nilai kesadaran stratifikasi, rasa memiliki 装束間(shouzokukan) dan rasa kebersatuan pada diri orang Jepang pada masa itu. Hal ini diijelaskan oleh Madubrangti dalam Atikah (2008: 15) yaitu:
Walaupun dikatakan bahwa masyarakat Jepang masa kini sudah berubah dan tidak lagi memiliki nilai budaya seperti yang dimiliki oleh orang-orang dari generasi terdahulunya, kehidupan berkelompok yang didasari dengan nilai budaya tersebut masih berkembang dan tumbuh dilingkungan masyarakat Jepang hingga kini. Hal ini dapat dilihat dalam organisasi sekiolah melalui kehidupan anak dalam menjalani sekolah di Jepang. Guru sekolah mengajarkan kebutuhan dan kepentingan yang sudah menjadi kebutuhan dalam masyarakatnya.
Dijelaskan juga dalam Madubrangti oleh Atikah (2008:15). Kesadaran stratifikasi dalam kehidupan berkelompok pada masyarakat Jepang menciptakan kerukunan bersama sebagai harmoni kelompok yang melahirkan rasa saling memiliki dan rasa kebersatuan sesuai dengan status dan peran dalam kelompok. Kesadaran stratifikasi, rasa memiliki, dan rasa kebersatuan ini menjadi nilai budaya masyarakat Jepang yang lahir dari pembinaan, pendidikan, atau pelatihan. Nilai ini ditanamkan pada anak mereka karena anak adalah generasi penerus masyarakatnya. Dari contoh-contoh di atas, hal tersebut menunjukkan bahwa ada kebiasaankebiasaan yang dilakukan oleh orang Jepang untuk diteruskan kepada anak-anaknya agar mereka mematuhi pola-pola yang dijadikan pedoman menyeluruh bagi kehidupan masyarakat Jepang yang menjadi kebudayaannya. Nilai-nilai tersebut diajarkan secara ketat oleh orangtuanya. Pada akhirnya nilai-nilai ini menjadi bagian dari kehidupan sosial mereka karena mereka melakukan tugas dan kewajibannya dengan sikap loyalitas yang tinggi.
Kehidupan masyarakat Jepang ini semakin berkembang dan berubah menjadi masyarakat
industri
dan
kini
memasuki
masyarakat
teknologi
canggih.
Perkembangan dan perubahan yang terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang dibangun oleh satu kesatuan konsep kerja kelompok dalam mengatur kehidupan sosialnya sebagai kerangka berpikirnya, yaitu orientasi kelompok. Dalam 集団思考 (2002:56-57). Dalam sistem bekerja sama dalam kelompok pada masayarakat Jepang, tempat kerja merupakan satu kesatuan unit keluarga. Kesatuan unit keluarga sebagai tempat kerja ini dibentuk oleh orang-orang yang sebelumnya tidak memiliki suatu keterampilan atau keahlian dan mereka bekerja sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing di dalam kelompok yang mengikatnya. Tugas dan kewajiban ini dilakukan dengan sikap loyal sebagai pengetahuan dan pengalamannya. Setiap anggota dalam kelompok dengan sendirinya mempunyai keinginan yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan kelompoknya atau mensuksekan kelompoknya. (Hamaguchi, 1994:19). Menurut Yamamoto dalam Atikah (2008:25) mengatakan perusahaan adalah komunitas seorang pekerja, sedangkan rumah hanyalah sebagai tempat ia tidur. Perusahaan tidak dianggap semata-mata sebagai satu organisasi dimana seorang terikat dengannya melalui kontrak, tetapi dianggap sebagai tempat dimana seorang pekerja merupakan bagian darinya bahkan dianggap sebagai miliknya. Sebagai contoh, orang Jepang selalu memperkenalkan dirinya kepada orang lain, dengan terlebih dahulu menyebutkan tempat dimana ia bekerja, bukan posisi dia bekerja. Seorang pekerja akan berhati-hati terhadap perkataannya dan tidak akan mengatakan sesuatu yang dapat memperburuk image perusahaan tempat ia bekerja. Apabila ia sakit, maka perusahaan akan berusaha untuk menutupi dan tidak akan
membocorkannya kepada rekan bisnis dari perusahaan lainnya karena hal ini bisa membuat perusahaan kelihatan buruk (perusahaan adalah sinonim dengan pekerja). Bila klien mencarinya, maka perusahaan akan mengatakan bahwa pegawai yang sakit itu sedang keluar atau sedang dalam perjalanan bisnis (Hasegawa, 1998: 167). Sebagai satu keluarga, perusahaan tidak hanya memperhatikan pekerjanya saja ,tapi juga keluarga pekerja tersebut. Perusahaan menjamin kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan menyediakan berbagai fasilitas dan tentu saja hal ini menguntungkan bagi perusahaan itu sendiri. Dengan adanya jaminan ini, pekerja akan mendahulukan kepentingan perusahaan, mereka ‘rela’ untuk bekerja ekstra meskipun tidak sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati sebelum mulai bekerja. Mereka terbiasa untuk bekerja melebihi jam kerja yang telah diatur oleh undang-undang yang sah, lagipula pekerja yang pulang tepat pada waktunya tanpa lembur akan merasa seolah-olah itu menunjukkan kurangnya loyalitas mereka terhadap kelompok (perusahaan) dan ia pun akan terkucilkan. Kondisi inilah yang memungkinkan timbulnya サ ー ア ビ ス 残 業 (saabisu zangyou), yaitu seseorang bekerja melebihi jam kerja yang telah disepakati melalui kontrak, tapi ia tidak memeperoleh bayaran sesuai dengan lembur yang telah dilakukannya (Rahmah, 2001:33). Pegawai-pegawai Jepang berusaha keras untuk mengembangkan “group” perusahaannya dan bersaing dengan “group” yang lain. Oleh karena perusahaan “ingroup” dianggap selalu memberikan rasa aman, maka bagi tenaga kerja Jepang keluar dari satu kelompok dan masuk ke dalam kelompok yang lain tidak selalu mudah. Selain dari segi teknis, melalui beberapa pendidikan mereka betul-betul dipersiapkan untuk menjadi anggota “keluarga besar” perusahaan, dan kelak mereka akan dengan bangga menunjukkan identitas dirinya sebagai pegawai perusahaannya.
Bila seorang Jepang ditanya tentang dirinya, umumnya hanya akan menjawab “bekerja di Kawasaki atau di Matsushita” atau nama perusahaan lainnya. Tidak perduli apakah dia menjabat sebagai presiden direktur atau hanya pesuruh. Bagi kebanyakan pegawai Jepang, perusahaan adalah arti hidupnya yang paling utama. Menurut Vogel (1995:27) kalau di negara-negara Barat dalam mengejar kebebasan masyarakatnya menomorsatukam egoisme dan kepentingan diri, maka di Jepang orang-orang Jepang dalam mencari kebebasan juga lebih suka membuat organisasi besar menjadi sesuatu yang disukai. Di sinilah dapat ditarik manfaat bahwa mulai dari masa kanak-kanak sudah diajarkan nilai-nilai hidup berkelompok. Dalam menempa nilai-nilai hidup berkelompok ini prestasi dan kemampuan individual secara optimal dianggap sebagai sudah semestinya dijadikan pegangan masing-masing. Masyarakat Jepang di satu pihak adalah sangat mengutamakan struktur hierarki vertikal tetapi juga secara horisontal sangat konsentris yang berarti bahwa orang Jepang kuat sekali keterikatannya pada kelompok dimana ia berada saat itu. Pada umumnya setiap orang cenderung ingin melakukan suatu kegiatan yang dapat menunjukkan suatu prestasi yang lebih baik dari prsetasi sebelumnya. Untuk itu mereka bekerja keras mengatasi kekurangan-kekurangan dan kelemahankelemahan yang ada pada dirinya. Contohnya, apabila ia tidak berhasil melaksanakan tugasnya, ia segera mengatakan “すみませんでした” (sumimasendeshita) (maaf) kepada kelompok kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa suatu pekerjaan tidak diperlukan hanya untuk kepentingan diri sendiri, tetapi diperlukan juga untuk kepentingan orang lain atau kelompok, walaupun pekerjaan itu adalah pekerjaan yang dilakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Keberhasilan yang dikerjakan berdasarkan kemampuan individu menunjukkan keberhasilan untuk kepentingan
bersama, sehingga ada kecenderungan bahwa kalau seseorang mengalami kegagalan, ia akan larut kedalam kegagalannya (Madubrangti, 2004:68). Orang Jepang menyadari bahwa ada sikap yang tidak muncul, yang tersembunyi pada dirinya dalam menjalani suatu kegiatan yang kooperatif, seperti kemarahan, kekesalan, dan kesengsaraan batin. Namun kebudayaan orientasi kelompok sudah tertanam pada masyarakat Jepang, sehingga pada waktu seseorang atau kelompok melakukan tugas. Mereka masing-masing menunjukkan usaha bekerja keras untuk mencapai keberhasilan yang ditekuninya. Dalam kerja atau kegiatan kelompok, keberhasilan yang dilakukan oleh individu merupakan prestasi hasil kerja kelompok.
2.4 Konsep Karoushi Secara harafiah karoushi mempunyai arti 過 (ka) terlalu 労 (rou) bekerja 死 (shi) mati, jadi karoushi adalah kematian yang disebabkan karena terlalu banyak bekerja. Karoushi adalah istilah sosio-medis yang digunakan terutama pada aplikasi untuk kompensasi pekerja, terutama dalam kasus-kasus penyakit cardio-vascular disebabkan oleh beban kerja yang berlebihan dan stres kerja. Dr Tetsunojo Uehata, yang menciptakan kata karoushi, telah mendefinisikan sebagai "sebuah cacat tetap atau kematian yang disebabkan oleh memburuknya tekanan darah tinggi atau arteriosklerosis menyebabkan penyakit pembuluh darah di otak, seperti pendarahan otak, perdarahan dan otak subarachnoidal miokard, dan gagal jantung akut dan mycardial miokard yang disebabkan oleh kondisi seperti penyakit jantung iskemik”. (Uehata, 1990:98).
Kebiasaan kerja 12 jam sehari tentu saja telah melanggar ketentuan jam kerja yang telah ditentukan di dalam Roudou Kinjouho (UU Standar Perburuhan). Kenyataannya, kebiasaan kerja 12 jam sehari ini terus berlangsung dan akhirnya secara tidak tertulis, kebiasaan ini dimaklumi dan diperbolehkan, sampai akhirnya menganggu ritme kerja yang normal atau yang seharusnya. Kebiasaan kerja yang seperti ini mengakibatkan kelelahan yang akhirnya terjadi kerusakan fatal pada pekerja (pekerja menderita penyakit karena kelelahan bekerja, bahkan sampai menyebabkan kematian) dalam End of work (2001:186). Penelitian yang dilakukan oleh Departmen Tenaga Kerja Jepang pada tahun 1987 menunjukkan bahwa keluargalah yang paling khawatir jika suami atau anak mereka akhirnya jatuh menjadi korban karoushi seperti yang dinyatakan NHK (2001:44). Para ibu atau istri biasanya membuat jadwal harian kepulangan suami atau anak mereka. Salah satu penelpon layanan karoushi 110 mengatakan bahwa cuma itu yang bisa ia lakukan melihat kondisi anaknya yang sekarang. Anaknya bekerja tiap hari, termasuk hari minggu. Seminggu sekali ia tidak pulang dan menginap di hotel kapsul, ia tidak lagi membaca buku kesukaannya, tidak berbicara pada anggota keluarga lainnya, bila ada waktu luang hal yang paling ia inginkan adalah tidur. Begitu khawatirnya, ibu itu merasa setiap pagi ia harus mengantar anaknya pergi ke medan perang.
Karoushi biasanya menimpa para pekerja pria yang kecanduan kerja pada usia produktif 20-59. Mereka dianggap lebih rentan sebagai korban karoushi. Berdasarkan studi terhadap 196.775 orang pekerja usia pertengahan di Jepang, antara tahun 1989-1995 rata-rata korban karoushi pertahunnya adalah 21, 9 % per 100.000 orang pada pria dan 5.7% per 100.000 orang pada wanita. Dalam pengertian karoushi, terdapat dua unsur utama yang dapat dikatakan sebagai syarat bahwa kematian seseorang dapat dikategorikan ke dalam karoushi.
Dua unsur penting yang perlu diketahui agar keluarga atau orang yang mempunyai hubungan dengan korban karoushi dapat mengajukan klaim atau tuntutan terhadap pihak atau perusahaan yang bersangkutan. Pemerintah dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja Jepang menentukan kategori karoushi ini dan berusaha mempercepat jalannya proses tuntutan karena banyak perusahaan yang menolak untuk memenuhi tuntutan yang diajukan kepada mereka, yaitu 1. Jenis penyakit yang diderita oleh korban karoushi termasuk di dalamnya stress, penyakit mental lainnya yang disebabkan oleh kerja. Penyakit otak, jantung, dan pembuluh darah. Para dokter di Jepang mendefinisikan karoushi sebagai kematian yang disebabkan oleh memburuknya sirkulasi darah seperti pendarahan otak, pecahnya selaput darah, penyumbatan darah ke otak dan ke jantung dan lain-lain. Yang disebabkan oleh beban kerja dengan frekwensi tinggi. 2. Frekwensi jam kerja korban sebelum ia meninggal. Departemen Tenaga Kerja Jepang menyatakan, frekwensi jam kerja yang dapat dikatakan sebagai penyebab karoushi, adalah jika korban terkait dengan pekerjaannya selama 24 jam terus menerus tepat sebelum kematiannya, atau jika ia bekerja sekurang-kurangnya 16 jam sehari selama seminggu, tepat sebelum hari kematiannya. Ini berarti korban telah bekerja sekurangkurangnya 2 kali lipat dari jam kerja yang seharusnya selama 1 minggu sebelum ia meninggal atau 3 kali lipat dari jam kerja yang seharusnya tepat pada hari sebelum ia meninggal. Menurut Richard Wokutch dalam Sookhan Ho (2002:32) mengatakan bahwa masyarakat Jepang menganggap bahwa karoushi, tidak hanya disebabkan oleh situasi
kerja, seperti tuntutan untuk menyelesaikan kerja secara cepat dan kerja dengan frekwensi jam kerja yang tinggi, tetapi juga disebabkan oleh faktor lainnya yang dapat dikatakan sebagai faktor tidak langsung seperti lamanya waktu yang ditempuh dari rumah ke tempat kerja, tempat tinggal yang sempit, tidur dan olahraga yang tidak cukup, kebiasaan minum-minuman dan lain-lain. Paul Fritz Patrick mengatakan karoushi adalah kematian mendadak yang dipicu oleh tanda-tanda fisik maupun mental yang disebabkan oleh kerja. Sebagai pemenuhan syarat pengajuan tuntutan, ketentuan frekwensi jam kerja ini sangat ketat. Bila korban karoushi mendapat satu hari libur selama masa seminggu sebelum ia meninggal, padahal pada 6 hari lainnya ia telah bekerja 2 kali lipat dari jam kerja yang telah ditentukan, maka keluarga korban tidak akan memperoleh kompensasi dari tuntutan yang diajukannya, kecuali jika mereka mampu membuktikan secara medis bahwa kematian korban adalah akibat kerja yang berlebihan.
2.5 Konsep Onjoo Shugi
Di Jepang unit kekerabatan ie/kazoku mengandung sistem aturan, yaitu yang menyangkut patrilineal. Unit kekerabatan juga memiliki sistem nilai yaitu amae, on, giri, maupun ninjo, sedangkan unit korporasi mengandung pengertian adanya usaha untuk menjaga nama baik keluarga maupun usaha. Di Jepang juga terdapat stratifikasi, stratifikasi tersebut didasari oleh kekayaan atas lahan pertanian yang dimilikinya. Apabila subordinat di lingkungan tuan tanah tersebut tidak memiliki
hubungan kekeluargaan maka status tuan tanah tersebut menjadi oyakata atau parent status. Di Jepang yang menduduki stratum teratas adalah tuan tanah yang bertindak sebagai honke, sedangkan yang memiliki status sebagai bunke-bunke nya yaitu petani pemilik tanah yaneg memiliki lahan yang tidak terlalu luas dan juga honke-honke kecil yang memiliki tanah terbatas. Honke-honke ini dengan kata lain memiliki status sebagai branch family atau kokata. Hubungan kerja antara oyakata dan kokata tidak saja dalam hubungan yang menyangkut lahan pertanian, sewa menyewa tanah, atau irigasi. Didalam keadaan sulit pun oyakata pun akan selalu memberikan bantuan kepada kokata, baik yang menyangkut bantuan keuangan serta hadiah-hadiah lainnya, sebaliknya kebaikan yang telah diberikan oleh oyakata dianggap sebagai hutang yang harus dibayar kembali, baik dalam bentuk membantu pekerjaan-pekerjaan oyakata di lahan pertanian, membantu oyakata secara sukarela di dalam rumah oyakata. Mekanisme inilah yang kemudian menimbulkan onjooshugi (keakraban) dan shuudan shugi (kebersamaan).
Hubungan antara oyakata dan kokata juga terdapat di dalam kegiatan pekerjaan. Jumlah kesetiaan, pengabdian dan kerja keras yang ditunjukkan oleh mayoritas karyawan Jepang dalam proporsi langsung dengan sistem paternalisme, onjoo shugi, sistem manajemen perusahaan. Semakin paternalistik perusahaan, karyawan akan bekerja lebih keras, lebih berdedikasi, dan cenderung loyal. Paternalisme gaya Jepang berarti atasan bertanggung jawab penuh atas kehidupan dan kesejahteraan seluruh karyawan dan harus bersedia untuk pergi jauh-jauh untuk seorang karyawan ketika diperlukan.
Tingkat paternalisme di perusahaan Jepang sangat bervariasi, beberapa dari mereka
benar-benar
mempraktekkan
tanggung
jawab.
Contohnya
manajer
menghabiskan banyak waktu berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial yang melibatkan staf mereka,contohnya pada acara kelahiran, pernikahan, pemakaman dan seterusnya. Karena tugas seorang pimpinan bukan hanya menjadi pemimpin di tempat kerja tetapi harus memberikan contoh yang baik kepada bawahannya. Dan bila ditinjau dari segi nilai yang dianut, biasanya pemimpin paternalistik lebih mengutamakan kebersamaan serta adanya perlakuan yang sama kepada semua anggota kelompoknya. Sedangkan bila ditinjau dari sikap yang dianut, bahwa pemimpin harus mengetahui segala seluk beluk kehidupan organisasional, sehingga yang terjadi adalah adanya pemusatan pengambilan keputusan dalam diri pemimpin dan bawahan hanya sebagai pelaksana saja