BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Kerangka Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak ter sebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya. Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya,
5
sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya. Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia
adalah
Undang-Undang
No.
8
Tahun
1983
berikut
perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, UndangUndang No. 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009.
2.1.1.1
Definisi PKP (Pengusaha Kena Pajak) Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Orang Pribadi atau Badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan Barang Kena Pajak (BKP) , mengimpor Barang Kena Pajak (BKP), mengekspor Barang Kena Pajak (BKP), melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha Jasa Kena Pajak (JKP), atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean. Untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) bagi Orang Pribadi atau Badan harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) dengan ketentuan : 1. Setiap Orang Pribadi atau Badan harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila Peredaran usaha atau Omzet dalam 1 (satu) tahun lebih dari Rp.600.000.000,-.
6
2.
Bagi Orang Pribadi atau Badan yang mempunyai Peredaran usaha
atau Omzet dalam 1 (satu) tahun tidak lebih dari Rp.600.000.000,-. dapat mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan disebut Pengusaha Kecil Kena Pajak. 3. Dalam hal Orang Pribadi atau Badan telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2.1.2. Fungsi Pajak Pajak mempunyai dua fungsi utama yaitu : 1 . Fungsi budgetair Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah ubtuk membiayai pengeluaran – pengeluarannya. 2 . Fungsi mengatur ( regulerend ) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
2.1.3. Pengelompokan Pajak Pajak dapat dikelompokan ke dalam kelompok 1. Menurut golongannya a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul itu sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
7
Contoh : Pajak penghasilan b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
2. Menurut sifatnya a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya,dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang bepangkal pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
3. Menurut lembaga pemungutannya a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas :
8
a) Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. b) Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak Berikut ini akan dijabarkan mengenai sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia : A.
Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya : 1.
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri
2.
Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
B.
Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya : 1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus.
9
2. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. C.
With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan Wajib Pajak yang bersangkutan). Untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya : Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak lain selain fiskus dan Wajib Pajak.
2.2. Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) 2.2.1 Sejarah Perkembangan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai sebenarnya sudah
lama dikenal
walaupun dalam berbagai nama. Ditinjau dari sejarahnya pajak penjualan telah diterapkan di Eropa pada abad pertengahan, seperti di Belanda, Spanyol, Jerman, Prancis, dan Lain-lain. Perancis sebagai negara pertama yang mengadopsi Pajak Pertamban Nilai ( Value Added Tax – VAT ) tahun 1954 pada tingkat pedagang yang besar yang akhirnya diperluas sampai pada penyerahan barang yang dilakukan pada tingkat pedagang eceran. Vietnam sebagai negara di lingkungan asia pertama kali menerapkan VAT pada tahun 1973. Lalu diikuti oleh negara Korea pada tahun 1977, Cina pada tahun 1984, dan Indonesia pada awal April 1985 yang bersamaan dengan negara Turki dan negara Asia lainnya menyusul yaitu negara India pada tahun 1986 dan Filipina pada tahun 1988. 10
2.2.2. Kelebihan dan Kekurangan Pajak Petambahan Nilai Kelebihan PPN : a.
Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda.
b.
Netral dalam perdagangan lokal dan internasional.
c.
PPN atas perolehan berang modal dapat diperoleh kembali pada bulan perolehan,
d.
Ditinjau dari besar pendapatan Negara, PPN mendapa predikat sebagai money maker. Karena konsumen selaku pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya.
Kelemahan PPN : a.
Biaya administrasi relative tinggi bila dibandingkan dengan pajak tidak langsung lainnya, baik di pihgak administrasi pajak maupun di pihak wajib pajak.
b.
Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul.
c.
PPN sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak.
d.
PPN menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh administrasi pajak terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakaknya.
2.2.3. Objek Pajak Pertambahan Nilai PPN dikenakan atas : 1. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah :
11
a. Barang Berwujud yang diserahkan merupakan BKP. b. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud. c. Penyerahan dilakukan di dalam Derah Pabean. d. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. 2. Impor BKP. 3. Penyerahan JKP yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah : a. Jasa yang diserahkan merupakan JKP b. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean c. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya 4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daeraah Pabean. 5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 6. Ekspor Bkp oleh Pengusaha Kena Pajak. 7. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. 8. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak unutk diperjualbelikan (bukan inventory) oleh PKP, sepanjang Pajak Masukan yang dibatar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan.
12
2.2.4 Subjek Pajak Pertambahan Nilai Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai berikut : a. Pengusaha PKP b. Pengusaha NON PKP c. Memperhatikan Objek PPN & mekanisme pemungutan Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir denagn UU No. 42 Tahun 2009 diatur bahwa Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah sebagai berikut : 1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha 2. Impor Barang Kena Pajak 3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha 4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean 5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean 6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak 7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
13
2.2.5 Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas : a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan. 2.2.6 Ketentuan Umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1A tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Kena dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dijelaskan mengenai beberapa pengertian yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai antara lain : 1.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat
14
tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya
berlaku
Undang-Undang
yang
mengatur
mengenai
kepabeanan. 2.
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3.
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
4.
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
5.
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan UndangUndang ini. 7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak. 8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
15
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 11. Ekspor
Barang
Kena
Pajak
Berwujud
adalah
setiap
kegiatan
mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean. 12. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 13. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam
kegiatan
usaha
atau
pekerjaannya
menghasilkan
barang,
mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. 14. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. 15. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena
16
Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 16. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. 17. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak. 18. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
17
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Pasal 11 (1) dan (2), Terutangnya pajak terjadi pada saat: a. penyerahan Barang Kena Pajak; b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e; atau f. ekspor Barang Kena Pajak. Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
18
2.2.7 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai terpilih sebagai pengganti Pajak Penjualan karena memliki beberapa karakteristik positif. Adapun karakteristik tersebut adalah sebagai berikut : a) Pajak Tidak Langsung dan Pajak Objektif PPN adalah pajak tidak langsung, artinya beban pajak dilimpahkan kepada pihak lain. Sehingga pemikul beban pajak (WP) dan penyetor pajak ke DJP (pemungut) adalah pihak yang dapat berbeda. PPN tergolong sebagai pajak yang obyektif, karena penekanannya mula-mula kepada obyeknya terlebih dahulu, baru kemudian kepada subyeknya. Siapapun subyeknya (masyarakat yang mampu maupun yang kurang mampu), akan dikenakan PPN, selama mereka mengonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, di dalam daerah pabean. b) Multi Stage Levy namun Non Commulative PPN bersifat multi stage levy, artinya dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi. Mulai dari pertama kali setelah diproduksi, hingga sampai ke tangan konsumen akhir. Sifat non kumulatif dari Pajak Pertambahan Nilai terletak pada mekanisme pemungutannya yang dikenakan pada Nilai Tambah (Added Value) dari Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak dan tidak diperhitungkan di akhir tahun. Diharapkan dengan sifat seperti ini akan mengurangi hasrat para Wajib Pajak untuk menghindari bahkan menyelundupkan Pajak Pertambahan Nilai yang menjadi kewajibannya.
19
c) Penghitungan PPN terutang untuk dibayar ke kas negara menggunakan indirect subtraction method Yaitu PPN dikenakan bedasarkan atas pertambahan nilai (added value) dari barang yang dihasilkan atau diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). d) Merupakan Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri sehingga memiliki kedudukan netral PPN dikenakan untuk berbagai konsumsi BKP di daerah pabean tanpa terkecuali. e) Menerapkan tarif tunggal (single rate) Tarif Pajak PPN adalah 10 %. Namun bisa juga melalui berbagai pertimbangan dan keluarnya PP, tarif diubah antara 5-15 %. f) Termasuk tipe konsumsi (Consumption Type VAT) Pada VAT type ini, seluruh pengeluaran atas pembelian produk, termasuk barang modal, dapat menjadi pengurang terhadap penerimaan.
2.2.8 Jasa Kena Pajak dan Pengecualiannya Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan
atau perbuatan hukum yang menyebabkan
suatau barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia unutk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan unutk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Pengecualian JKP. Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh UU PPN. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN
20
ditetapkan dengan PP didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut : a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, b. Jasa di bidang pelayanan sosial, c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko, d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, e. Jasa di bidang keagamaan, f. Jasa di bidang pendidikan, g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang tidak dikenakan pajak totonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti : Pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara CumaCuma. h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan, seperti : penyiaran radio dan televisi yang dilakuakn oleh instansi pemerintah atau swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial. i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan diair, seperti : jasa angkutan umum di darat, di laut, di danau, dan di sungai yang dilakukan oleh Pemerintah atau swasta. j. Jasa di bidang tenaga kerja, k. Jasa di bidang perhotelan, l. Jasa disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jasa-jasa yang dilaksanakan oleh
21
instansi pemerintah, seperti : pemberian Izin Mendirikan Bangunan, Pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
2.2.9 Penyerahan Barang dan Jasa Kena Pajak 1. Penyerahan hak atas BKP kerna suatu perjanjian; 2. Pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing; 3. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang; 4. Pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma atas BKP; 5. Persedianan BKP dan aktifa yang menurut tujuan semula tidak unutk diperjual belikan, yang masih tersisa kepada pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas peroleh aktifa tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan; 6. Penyerahan BKP dari pusat kecabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang; 7. Penyerahan BKP secara konsinyasi. Catatan : 1. Pemakaian sendiri adalah pemakaian unutk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. 2. Pemberian cuma-cuma adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang-barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
22
Sedangkan penyerahan barang yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah : 1. Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang. 2. Penyerahan BKP unutk jaminan piutang. 3. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang dalam hal Pengusaha Kena Pajak memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang. Penyerahan Jasa Kena Pajak : Apabila dirinci, pengertian penyerahan jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan/perbuatan hukum : a) Yang menyebabkan suatu barang/fasilitas/kemudahan kas tersedia : 1) Untuk
dipakai
pihak
lain
dengan
maksud
memperoleh
penggantian sebagai imbalan, 2) Untuk dipakai pihak lain tanpa ada maksud memperoleh imbalan (pemberian jasa kena pajak dengan cuma-cuma), 3) Untuk kepentingan sendiri (pemakaian sendiri jasa kena pajak) b) Yang dilakukan atas dasar pesanan unutk menghasilkan barang karena pesanan/permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
2.2.10 Peraturan Baru Tentang Prosedur Pembuatan Faktur Pajak Dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran sebagaimana diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Faktur Pajak mempunyai peran yang sangat strategis. Berbagai upaya penyempurnaan sistem telah dilakukan oleh DJP. Salah satu upaya untuk
23
menghindari terjadinya segala bentuk penyalahgunaan Faktur Pajak dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, peraturan tentang Faktur Pajak kembali mengalami perubahan. Diharapkan juga, Pelayanan dan kenyamanan kepada seluruh Pengusaha Kena Pajak akan meningkat. Kebijakan ini merupakan langkah lanjutan, setelah program registrasi ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP), dalam rangka meningkatkan tertib administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tanggal 22 November 2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak yang akan berlaku efektif untuk penerbitan Faktur Pajak mulai tanggal 1 April 2013. Dalam peraturan tersebut, penomoran Faktur Pajak tidak lagi dilakukan sendiri oleh PKP, tetapi dikendalikan oleh DJP melalui pemberian nomor seri Faktur Pajak yang ditentukan bentuk dan tatacaranya oleh DJP. Untuk mendapatkan nomor seri Faktur Pajak, PKP perlu mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar. Surat pemberitahuan kode aktivasi akan dikirimkan melalui pos ke alamat PKP, sedangkan password akan dikirimkan lewat email. Setelah mendapat kode aktivasi dan password, kemudian PKP mengajukan surat permintaan nomor seri Faktur Pajak ke Kantor Pelayanan Pajaka (KPP) tempat PKP terdaftar untuk kebutuhan 3 (tiga) bulan. Selanjutnya, PKP akan
24
mendapatkan surat pemberitahuan nomor seri Faktur Pajak untuk digunakan dalam penomoran Faktur Pajak. Berkenaan dengan peraturan baru ini, PKP perlu memastikan bahwa alamat yang terdaftar adalah alamat yang sesuai dengan kondisi nyata
PKP. Hal ini dimaksudkan agar pada
pengiriman surat
pemberitahuan kode aktivasi dapat diterima oleh PKP. Apabila terdapat perbedaan antara alamat yang sebenarnya dengan alamat yang tercantum dalam Surat Pengukuhan PKP, maka PKP harus segera melakukan update alamat ke KPP tempat PKP terdaftar. PKP perlu juga mempersiapkan alamat surat elektronik (email) untuk korespondensi pemberitahuan email dan surat pemberitahuan kode aktivasi/surat pemberitahuan penolakan kode aktivasi yang Kembali Pos (kempos). Ketentuan-ketentuan baru yang diatur dalam Peraturan tersebut adalah : 1. Kode dan nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 16 (enam belas) digit yaitu : 2(dua) digit kode transaksi, 1 (satu) digit kode status, dan 13 (tiga belas) digit nomor seri Faktur Pajak; 2. Nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh DJP melalui permohonan dengan instrumen pengaman berupa kode aktivasi dan password; 3. Identitas Penjual dan Pembeli, terutama alamat harus diisi dengan alamt sebenarnya atau sesungguhnya; 4. Jenis Barang Kena Pajak atau Jasa kena Pajak harus diisi dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya; 5. Pemberitahuan PKP/pejabat/pegawai penandatangan Faktur Pajak, harus dilampiri dengan fotokopi kartu identitas yang sah dan dilegalisasi pejabat yang berwenang;
25
6. PKP yang tidak menggunakan nomor seri Faktur Pajak dari DJP atau menggunakan nomor seri Faktur Pajak ganda akan menyebabkan Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak tidak lengkap; 7. Faktur Pajak tidak lengkap akan menyebabkan PKP pembeli tidak dapat mengkreditkan sebagai Pajak Masukan dan PKP Penjual dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2.2.11 Ketentuan Umum Pajak Pertambahan Nilai Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1A tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Kena dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dijelaskan mengenai beberapa pengertian yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai antara lain : 1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempattempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan. 2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud. 3. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
26
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak. 5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. 6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan UndangUndang ini. 7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak. 8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean. 10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean. 12. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
27
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi,
dana
pensiun,
persekutuan,
perkumpulan,
yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 13. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor
barang,
mengekspor
barang,
melakukan
usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. 14. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. 15. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 16. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. 17. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang
28
Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak. 18. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Pasal 11 (1) dan (2), Terutangnya pajak terjadi pada saat: a. penyerahan Barang Kena Pajak; b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d;
29
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e; atau f. ekspor Barang Kena Pajak. Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
2.2.12 Tarif Pajak Pertambahan Nilai 1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). 2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas: a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan c. ekspor Jasa Kena Pajak. 3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.2.13 Pengkreditan Pajak Masukan Prinsip dasar pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2009 adalah sebagai berikut : 1. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
30
2. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan. 3. Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9). 4. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. 5. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak. 6. Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. 7. Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
31
8. Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada butir 2 dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai. 9. Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada butir 8 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 10. Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi. 11. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. 12. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
butir
11,
dapat dihitung
dengan
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
32
menggunakan
pedoman
13. Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaiman dimaksud pada butir 12, kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada butir 11, dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaiman dimaksud butir 12 dan butir 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pengkreditan Pajak Masukan tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk : a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan; d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemnfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; e. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; f. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
33
g. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak; h. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai,
yang
ditemukan
pada
waktu
dilakukan
pemeriksaan; dan i. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada butir 2.
2.2.14 Tata Cara Pembayaran Pajak PPN : Cara membayar pajak PPN : 1. PPn yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak.
2. PPN yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/ disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
3. PPN atas impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor.
34
4. PPN yang pemungutannya dilakukan oleh: a. Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat tanggal 7 (tujuh) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN atas impor, harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
2.2.15 Kelebihan dan Kekurangan PER 24/PJ/2012 : Kelebihan dari PER 24/PJ/2012 : PKP akan lebih transparan dalam penerbitan nomor seri faktur pajak, dan faktur pajak fiktif pun bisa terhindar. Kekurangan PER 24/PJ/2012 : 1. Program eSPT belum bisa untuk mengakomodir perubahannya (terutama Faktur Pajak Pengganti) 2. Waktu yang kurang efisien dengan adanya waktu yang akan terbuang banyak untuk bolak-balik ke Kantor Pajak perihal permintaan nomor seri Faktur Pajak Dalam Per-24/PJ/2012, di samping menambahkan ketentuan pemberian kode aktivasi, password, dan nomor Faktur Pajak terdapat juga ketentuan baru yang merubah ketentuan dalam Per-13/PJ/2010. 35
Perbedaan tersebut antara lain : 1. Kode cabang dalam penomoran Faktur Pajak Dalam ketentuan lama : ada Dalam ketentuan baru : tidak ada 2. Nomor urut Faktur Pajak Pengganti Dalam ketentuan lama : nomor urut terakhir yang belum digunakan Dalam ketentuan baru : sama dengan nomor urut Faktur Pajak yang diganti 3. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Dalam ketentuan lama : Diisi dengan jumlah Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin dikurangi dengan Potongan Harga dan Uang Muka yang telah diterima Dalam ketentuan baru : Diisi dengan jumlah Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin dikurangi dengan Potongan Harga dan Uang Muka yang telah diterima atau diisi dengan DPP Nilai Lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. 4. Kode Transaksi Penyerahan ke Pemungut PPN Dalam ketentuan lama : Hanya 02 dan 03 Dalam ketentuan baru : 02, 03, 07, dan 08 5. Tanda tangan Faktur Pajak Dalam ketentuan lama : Cap tanda tangan tidak diperkenankan dibubuhkan pada Faktur Pajak Dalam ketentuan baru : Cap tanda tangan atau scan tanda tangan tidak diperkenankan dibubuhkan pada Faktur Pajak.
36
2.2.16 Sanksi Administrasi Berupa Denda Karena Tidak Lapor atau Terlambat Lapor SPT Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) *) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi. Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia; b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia; d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia; e. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi; 37
g. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau h. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
2.3
Metodologi Penelitian
2.3.1 Pendekatan Penelitian Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan (metode) kualitatif, yang bersifat deskriptis. Pendekatan kualitatif menurut Miles dan Huberman dalam Moleong (2001:5) merupakan suatu pendekatan yang berusaha menafsirkan makna suatu peristiwa sebagai interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu. Penelitian bersifat deskriptif dapat diartikan sebagai proses pemecahan masalah yang diselidiki dengan melukiskan keadaan subyek dan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yangtampak sebagaimana adanya. Alasan
pemilihan
metode
penelitian
ini,
karena
melalui
pendekatan kualitatif tersebut dapat melakukan pemecahan masalah yang diselidiki secara mendalam (dept observation) dengan melukiskan keadaan subyek dan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. Penggunaan metode kualitatif yang bersifat deskriptif,
karena
tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi sangat komplek dan luas yang meliputi analisis dan interpretasi tentang
38
data tersebut, selain itu semua yang dikumpulkan memungkinkan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti.
39
2.3.2 Tehnik Pengumpulan Data Adapun tehnik pengumpulan data dan informasi yang lengkap dan akurat sejalan dengan tujuan penelitian, maka digunakan cara memperoleh data dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Observasi Tehnik pengumpulan data melalui observasi yaitu melakukan pengamatan dan cara-cara yang menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung. Observasi ini dilakukan patisipant observasition untuk mengamati secara langsung di lapangan. Adapun pengamatan dilakukan dengan cara mengamati,
melihat
dan
memperhatikan
dengan
melakukan
pencatatan yang sistematis terhadap gejala yang diteliti. Dalam pelaksanaannya digunakan observasi partisipatif, yaitu peneliti melihat dan mengamati langsung terhadap objek yang diteliti. 2. Wawancara Wawancara merupakan salah satu cara memperoleh data dalam penelitian yaitu peneliti melakukan wawancara atau tanya jawab secara betatap muka langsung dengan informan. Wawancara merupakan alat pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur dan mendalam (indepth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara dan apabila ada jawaban yang kurang jeias dapat ditanyakan kembali kepada informan.
40
Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini sebanyak 18 orang yang ditentukan secara gabungan antara aksidentil dan purposive. Aksidentil yaitu informan yang ditentukan secara tiba-tiba yang langsung diketemukan pada saat dilakukan pengamatan (observasi) sebanyak 10 orang.
Purposive
yaitu
informan
yang
ditentukan
atas
mempertimbangkan kriteria informan itu sendiri yaitu pejabat Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Lhokseumawe) sebanyak 8 orang, sebagaimana tertera dalam daftar lampiran II. Seterusnya, data primer dan sekunder yang diperoleh dikembangkan dengan menyatukan hasil wawancara dari berbagai sumber untuk ditarik suatu kesimpulan. 3. Dokumentasi/Kepustakaan Data sekunder dan primer diperoleh melalui kajian kepustakaan yaitu dengan cara mempelajari buku-buku referensi, surat kabar, poto, laporan dinas, silabus untuk mendapatkan teori-teori dan hasil wawancara dengan informan tentang kebijakan pemerintah dalam memberdayakan gelandangan dan pengemis Data dan informasi serta keteranganketerangan yang diperoleh melalui literatur, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah.
41