Bab 2 Landasan Teori
2.1 Teori Penokohan Tokoh dalam sebuah cerita memegang peran yang penting untuk menceritakan sebuah cerita. Seperti yang dikatakan Ishihara (2009: 42) bahwa seorang pahlawan dalam sebuah novel tidaklah harus seorang pahlawan tetapi sebagai salah satu karakter yang disebut karakter utama. Jadi boleh dikatakan bahwa jika tidak ada tokoh maka sebuah cerita tidak dapat diceritakan, karena tokoh dalam sebuah cerita berperan sebagai pelaku dan pembawa cerita. Tokoh dalam cerita tentu mempunyai karakter dan sifat-sifat sesuai dengan cerita yang dimainkan, tokoh juga mempunyai posisi dalam sebuah cerita tergantung dimana ia ditempatkan, hal inilah yang disebut dengan penokohan. Jadi secara garis besar, istilah tokoh menunjuk pada orangnya atau pelaku ceritanya. Sedangkan penokohan berarti lebih luas daripada tokoh, hal ini juga sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, seperti yang dikatakan Jones dalam Nurgiyantoro (2007: 165) bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Stanton dalam Nurgiyantoro (2007: 165) mengungkapkan bahwa penggunaan istilah ’karakter’ (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa inggris mengarah pada dua arti yang berbeda, yaitu tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2007: 165), tokoh cerita (character) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu naratif atau drama yang oleh pembaca
8
disimpulkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dengan demikian, istilah ’penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ’tokoh’ dan ’perwatakan’ sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan serta pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca atau penonton. Nurgiyantoro (2002: 173) mengungkapkan mengenai tokoh dan tema dimana sebagai unsur utama sebuah karya fiksi, tokoh dan tema juga saling berhubungan erat. Apabila sebuah tokoh dimasukkan ke dalam sebuah tema tertentu yang tidak relean, maka tokoh itu tidak akan bisa disampaikan kepada penonton. Jika dipaksakan, maka akan terjadi keanehan dalam sebuah cerita yang membuat kisanya terasa janggal dan tidak bisa diterima masyarakat. Oleh sebab itu, biasanya penulis akan memilih karkter yang sesuai dengan temanya. Nurgiyantoro (2007: 177) juga mengungkapkan bahwa tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan kedalam jenis penamaan berdasarkan dari sudut dimana penamaan itu dilakukan. Misalnya saja pembedaan antara tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam kaitannya dengan keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh tersebut tak sama. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terusmenerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Tokoh ini disebut sebagai tokoh utama cerita (central charter atau main character). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan
9
dengan tokoh-tokoh lain, tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Dalam pembagiannya, tokoh memiliki banyak bagiannya, namun pada dasarnya setiap drama akan memiliki tokoh utama, tokoh pembantu, tokoh antagonis dan tokoh protagonis. Tokoh-tokoh ini yang akan saling beradu secara emosional sehingga menimbulkan perasaan ikut terhanyut ke dalamnya, yang membuktikan bahwa tokoh tersebut terasa relevan dengan penonton.
2.1.1 Teknik Cakapan Menurut Nurgiyantoro (2007: 201) dalam sebuah karya drama atau film, seorang tokoh tidak hanya digambarkan dengan karakter yang ia punya saja tetapi kita juga bisa mengenal lebih dalam tentang karakter seorang tokoh berdasarkan tutur kata dan gaya bahasa yang ia lakukan. Teknik ini mengajarkan kita untuk mengetahui watak tokoh berdasarkan dialog yang ada dalam suatu karya. Isi dialog itulah yang menuntun kita pada karakter tokoh.
2.1.2 Teknik Tingkah Laku Jika teknik cakapan lebih membahas tentang hal verbal dari suatu tokoh maka teknik tingkah laku akan lebih membahas tentang tindakan yang bersifat non verbal. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku dipandang menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat dan sikap yang mencerminkan sikap-sikap tokoh tersebut (Nurgiyantoro, 2007: 203).
10
2.2 Konsep Remaja Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 12 sampai 21 tahun. Masa remaja diawali oleh datangnya pubertas, yaitu proses bertahap yang mengubah kondisi fisik dan psikologis seorang anak menjadi seorang dewasa. Menurut Santrock (2003:26), saat ini banyak ahli perkembangan yang mengambarkan remaja menjadi dua bagian. Bagian pertama disebut masa remaja awal yang kira-kira dimulai pada umur 12 tahun dan pada masa ini, banyak perubahan tentang pubertas yang terjadi. Bagian kedua disebut masa remaja akhir yang kira-kira dimulai setelah berusia 15 tahun. Minat pada karir, pacaran dan eksplorasi identitas seringkali lebih nyata terlihat pada masa ini. Selain itu Santrock (2003:31) menjelaskan tentang sebuah istilah yang disebut masa pemuda. Masa pemuda adalah sebuah istilah dari Kenneth Kenniston untuk masa peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa yang merupakan masa ketidakpastian ekonomi dan pribadi. Masa ini bisa berlangsung antara 2 sampai 8 tahun, atau bahkan bisa lebih lama lagi. Ada banyak teori menjelaskan tentang psikologi remaja. Salah satunya adalah teori tingkah laku dan belajar sosial. Teori tingkah laku atau yang disebut behaviorisme merupakan suatu teori yang diungkapkan oleh B.F.Skinner. Menurut Skinner dalam Santrock (2003:52), perkembangan adalah tingkah laku. Karena perkembangan yang dipelajari dan seringkali berubah tergantung dari pengalaman yang didapatkan dilingkungannya. Maka dengan mengatur kembali apa yang sudah dipelajari dalam lingkungannya akan membawa dampak besar dalam perkembangan dirinya. Selain itu, teori belajar sosial yang diungkapkan oleh Albert Bandura juga ada kaitannya dengan teori tingkah laku tersebut. Menurut Santrock (2003:52) teori
11
belajar sosial adalah pandangan psikolog yang menekankan tingkah laku, lingkungan dan kognisi sebagai faktor utama dalam perkembangan. Menurut Bandura, ketika seorang belajar untuk mengobservasi tingkah laku, pikiran dan perasaan orang lain maka secara tidak sengaja maka ia pun akan melakukan hal yang sama. Jadi secara garis besar, observasi merupakan suatu bagian yang penting dari perkembangan.
2.2.1 Konsep Remaja Jepang Remaja Jepang sama seperti remaja pada umumnya dimana mereka masih dalam tahap pencarian jati diri. Remaja yang masih berjuang untuk mencari jati diri disebut moratorium. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Takeuchi (2004:61), sebagai berikut: 青年期はモラトリアムを脱し、職業選択から自律性獲得と自我同一性 達成に至る大きな発達的移行期である。青年は職業選択作業を遂行す る途上で自己の同一性に「出会う」発達過程をたど。 Terjemahan: Remaja seharusnya keluar dari status moratoriumnya, dan melangkah menuju tahap dimana mereka dapat mencapai otonomi mereka sendiri dan masuk kedalam perkembangan transisi berikutnya termasuk bertugas menemukan pekerjaan atau menemukan jalan menuju karir yang diinginkan. Selain itu, salah satu perbedaan yang menonjol antara remaja jepang dengan remaja pada umumnya adalah menyangkut masalah kebebasan. Contohnya seperti remaja di Amerika yang menjadi dewasa dengan cara hidup bebas mandiri dan meninggalkan rumah orang tuanya. Tetapi di Jepang sebaliknya, menjadi dewasa bukan berarti harus meninggalkan rumah orang tua.
2.3 Konsep Kenakalan Remaja Istilah kenakalan remaja menurut Santrock (2003:519) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial (misalnya bersikap berlebihan di sekolah) hingga tindakan kriminal. Dari hal tersebut dapat 12
disimpulkan bahwa seorang remaja melakukan tindakan yang diterima secara sosial dikarenakan mereka ingin membuat masyarakat tidak memandang rendahnya. Dia pun merasa bahwa dia berhak untuk dihargai dan dihormati selayaknya orang dewasa. Dryfoos dalam Santrock (2003:519) membedakan kenakalan remaja untuk alasan hukum menjadi dua bagian, yaitu a. Pelanggaran indeks adalah tindak kriminal seperti perampokan, tindak penyerangan, perkosaan, dan pembunuhan. b. Pelanggaran status adalah tindakan seperti melarikan diri, membolos, minum minuman keras dibawah usia yang diperbolehkan, seks bebas, dan anak yang tidak dapat dikendalikan. Selain itu Gunarsa (2010:19-22) juga membedakan kenakalan remaja menjadi dua bagian, yaitu a. Kenakalan yang bersifat a-moral dan a-sosial dan tidak diatur dalam undangundang sehingga sulit untuk digolongkan sebagai pelanggaran hukum, contohnya: -
membohong
-
membolos
-
kabur dari rumah
-
pergi sendiri atau berkelompok tanpa tujuan sehingga mudah menimbulkan perbuatan iseng yang negatif
-
memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain
-
bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk
-
berpesta pora semalaman tanpa adanya pengawasan
-
membaca buku porno dan kebiasaan menggunakan bahasa yang tidak sopan
13
-
pelacuran
-
berpakaian tidak pantas dan minum-minuman keras atau memakai obat-obat terlarang
-
menyontek
b. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku, contohnya: -
perjudian
-
pencurian
-
penggelapan barang
-
penipuan dan pemalsuan
-
pembunuhan
-
pelanggaran tata susila
-
penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian seseorang
Selain klasifikasi hukum, banyak tingkah laku yang dianggap merupakan suatu kenakalan yang dimasukkan dalam penggolongan tingkah laku abnormal. Santrock (2003:519-522) menjelaskan adanya suatu istilah yang disebut gangguan tingkah laku. Gangguan tingkah laku (conduct disorder) adalah istilah diagnosa psikiatri yang digunakan apabila sejumlah tingkah laku seperti membolos, melarikan diri, melakukan pembakaran, bersikap kejam kepada binatang, membobol dan masuk tanpa izin, perkelahian yang berlebihan, dan lain-lain muncul dalam kurun waktu 6 bulan. Bila tiga atau lebih tingkah laku tersebut muncul sebelum usia 15 tahun dan anak atau remaja tersebut dianggap tidak dapat diatur atau diluar kendali, diagnosis klinisnya adalah gangguan tingkah laku. Apabila tingkah laku yang lebih lanjut membuat seorang remaja melakukan perbuatan ilegal, maka masyarakat akan menganggapnya sebagai pelaku kenakalan. Pemakaian obat-obatan terlarang yang saat ini sudah terjadi semenjak remaja juga
14
merupakan suatu kenakalan remaja. Karena dengan menggunakan obat-obat terlarang maka akan memicu remaja tersebut berbuat suatu tindakan ilegal. Menurut Santrock (2003:522-528) ada beberapa alasan yang menjadi pemicu kenakalan tersebut terjadi, yaitu: a. Identitas peran yang gagal didapatkan oleh seorang remaja sehingga ia melakukan kenakalan tersebut. b. Seorang remaja yang gagal untuk mengembangkan kontrol yang esensial yang sudah dimiliki oleh orang lain dalam proses pertumbuhan menjadikan ia gagal untuk mengontrol dirinya sendiri. c. Adanya tingkah laku antisosial yang didapat sejak usia dini merupakan dampak yang serius dengan kenakalan yang dilakukan saat remaja nanti. d. Harapan orang tua dan orang-orang disekelilingnya terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah yang tinggi menjadikan seorang remaja terkadang melawan dengan keinginan orang tuanya. Kebanyakan pelaku kenakalan merupakan remaja dengan nilai pendidikan yang rendah dan kemampuan verbal yang juga kurang. e. Pengaruh orang tua terhadap anaknya juga memberikan peran yang besar terhadap perkembangan anaknya. Apabila orang tua jarang memperhatikan anaknya, maka besar kemungkinan si anak melakukan kenakalan di luar. f. Pengaruh teman sebaya merupakan peran yang besar juga. Memiliki temanteman yang juga melakukan tindakan kenakalan akan meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kejahatan juga. g. Status sosial yang rendah juga memiliki peranan yang penting untuk pemicu kenakalan terjadi.
15
h. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal pun memberikan dampak yang besar terhadap perkembangan seorang remaja. Ada banyak teori tentang kenakalan remaja. Salah satunya adalah teori asosiasi diferensial. Teori asosiasi diferensial adalah teori yang dikemukan oleh Edward H. Sutherland. Menurutnya penyimpangan bersumber pada pergaulan yang berbeda. Kejahatan seperti pada perilaku pada umumnya merupakan sesuatu yang dipelajari (Maryati, 2001: 122). Teori Sutherland sebenarnya lebih komplek daripada ini, tetapi pada dasarnya ia mengatakan bahwa penyimpangan adalah sesuatu yang dipelajari. Sutherland menekankan bahwa kelompok-kelompok dimana kita bergaul memberikan kita pesan mengenai penyimpangan. Kita dapat menerima pesan yang bertentangan tetapi pada akhirnya kita akan memilih salah satunya. Hasil akhirnya adalah suatu ketidak seimbangan yang menyebabkan kita melakukan suatu hal menyimpang (Henslin, 2007: 152). Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku kenakalan adalah perilaku yang dipelajari secara negatif, berarti perilaku kenakalan bukanlah sesuatu yang diwariskan. Kenakalan ini dipelajari berdasarkan interaksi dengan orang lain, khususnya dengan orang-orang terdekat seperti orang tua dan saudara sekandung. Apabila seorang remaja mempunyai interaksi negatif antar saudara sekandungnya maka pengaruh negatif pun akan ada dalam perkembangan remaja tersebut. Selain itu proses kenakalan dipelajari dari kelompok pertemanan yang sudah akrab. Apabila perilaku menyimpang remaja dapat dipelajari maka yang dipelajari meliputi teknik melakukannya, motif atau dorangan serta alasan pembenar terhadap sikapnya. Proses mempelajari perilaku menyimpang yang dilakukan remaja menyangkut seluruh mekanisme yang lazim terjadi dalam proses belajar. Terdapat stimulus-
16
stimulus seperti: keluarga yang kacau, depresi, dianggap berani oleh teman dan sebagainya merupakan sejumlah eleman yang memperkuat respon. Jadi secara garis besar kenakalan yang dilakukan seorang remaja masih merupakan hal wajar dalam batasan tertentu.
2.3.1 Konsep Kenakalan Remaja Jepang Kenakalan remaja pun banyak terjadi di Jepang. Menurut Foljanty-Jost (2003: 214) ada bermacam-macam jenis kenakalan remaja, seperti: a. Ijime (penindasan kepada orang lain) b. Membolos c. Pelacuran d. Penggunaan obat-obatan terlarang e. Tindak kekerasan kepada orang lain f. Pembunuhan g. Pemerkosaan h. Bousouzoku (sebutan untuk geng kendaraan bermotor) i. Pencurian, termasuk pencurian kendaraan dan pencurian di toko j. Merokok k. Minum minuman keras l. Menonton video atau film berbau pornografi m. Penipuan Hal ini diungkapkan juga oleh Ogino (2005: 25-27) bahwa kenakalan di Jepang dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: a. Kriminalitas remaja adalah remaja yang berusia 14 tahun keatas tetapi kurang dari 20 tahun yang melakukan kriminalitas, termasuk di dalamnya yang tidak
17
hanya mendapatkan hukuman pidana tetapi seluruh kejahatan yang hukumannya merupakan tindak pidana. Seperti pembunuhan, pencurian, tindak kekerasan, perampokkan, dan lain-lain b. Remaja berusia di bawah 14 tahun dengan tuduhan berkelakuan buruk, yaitu remaja yang berusia di bawah 14 tahun yang melakukan tindak kejahatan. Tetapi karena usianya maka mereka tidak dikenai hukuman pidana. Mereka hanya dimasukkan ke pusat rehabilitasi anak. c. Kejahatan yang cenderung dilakukan remaja adalah remaja yang memiliki “kejahatan yang cenderung dilakukan” yang tidak merupakan kejahatan menurut hukum pidana, tetapi yang cenderung dianggap melakukan tindak pidana atau pelanggaran hukum pidana yang akan membentuk kepribadian mereka di masa depan. Contohnya: pergi dari rumah tanpa alasan yang jelas, berkomunikasi dengan orang yang melakukan kriminalitas, pergi ke tempattempat untuk orang dewasa, memiliki kecenderungan ke arah tindakan yang merugikan moralitas sendiri atau orang lain seperti berulang kali melecehkan gadis muda atau terlibat dalam hubungan seksual yang tidak sah, dan lain-lain. Menurut Yoder ada banyak penyebab kenakalan tersebut terjadi, antara lain: a. masalah yang terjadi antara orang tua dan remaja. Menurut Yoder (2004: 3) kenakalan banyak terjadi di struktrur keluarga yang lemah, remaja-remaja itu banyak ditemukan berasal dari keluarga yang kurang disiplin, kurangnya pengawasan dari orang tua dan kurangnya komunikasi antar orang tua dan anak. Orang tua modern yang terlalu membatasi masalah sosial anaknya sehingga mengakibatkan si anak membuat lingkungan pergaulan sendiri yan memiliki level rendah.
18
b. Masalah pendidikan dan akademik. Hood dalam Yoder (2004: 4) menjelaskan hal ini sebagai tekanan yang didapatkan orang muda untuk memberikan yang terbaik di pendidikan yang mereka tempuh. Laporan tentang tingkat kenakalan remaja yang sangat tinggi terjadi kepada mereka yang mengalami masalah di sekolah. Seperti mereka yang mendapatkan hasil nilai akademik yang rendah dan mereka yang gagal untuk menyelesaikan pendidikan sekolahnya. c. Penggunaan obat-obatan terlarang di kalangan anak muda sebagai jalan keluar dari tekanan yang dirasakan anak muda. d. Masalah pertemanan di sekolah dan lingkungan sekitarnya. Menurut Yoder (2004: 37-38), biasanya remaja yang memiliki latar belakang sosial keluarga dan nilai akademik yang sama akan menjadi bagian dari grup yang sama. Langkah pertama dari remaja untuk melakukan sesuatu yang sesuai atau tidak dengan aturan yang ada akan dimulai dari mereka duduk di bangku SMP. Mereka akan mulai membentuk suatu kelompok yang akan berlanjut terus menerus sampai mereka lulus. Biasanya akan diberikan aturan dalam kelompok tersebut. Anggota yang tidak menuruti aturan tersebut akan dijauhkan dan apabila lebih parah mereka akan melakukan ijime kepada teman mereka sendiri. e. Perbedaan status sosial yang terjadi dalam lingkungan tempat tinggal mereka.
2.4 Teknik Montase Istilah montase berasal dari perfilman yang berarti memotong-motong, memilahmilah, serta menyambung-nyambung gambar sehingga menjadi kesatuan yang utuh.
19
Teknik montase di dalam bidang perfilman digunakan untuk memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan. Sehingga pada dasarnya, teknik montase mengambil sebuah kegiatan yang terdapat pada sebuah film, menggabungkannya dan membentuk kesatuan yang utuh sehingga mampu dimengerti oleh orang umum. Teknik montase juga sering digunakan untuk menciptakan suasana melalui serangkaian impresi dan observasi yang diatur secara tepat. Teknik ini digunakan dalam penyajian eka cakap dalaman karena pikiran-pikiran yang susul-menyusul di dalamnya kadang kala tidak selalu berada dalam urutan logis, seperti kebingungan dan kekesalan yang mungkin timbul dalam diri penonton dalam merasakan kekacauan dalam diri tokoh. Teknik montase pun bisa menyajikan kesibukan latar atau suatu kekalutan. Melalui teknik ini dapat direkam sikap kaotis yang menguasai kehidupan kota besar yang dirasakan oleh penghuninya (Minderop 2005: 153).
20