Bab 2 Landasan Teori
2.1
Teori Penokohan Penokohan merupakan satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita.
Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, akan tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema (Fananie, 2000:86). Penokohan menurut Nurgiyantoro (2002:165) merupakan pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan sekaligus menyarankan pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh pada sebuah cerita. Istilah penokohan mengandung dua aspek, yaitu isi dan bentuk. Tokoh, watak, dan segala emosi termasuk dalam aspek isi, sedangkan teknik perwujudannya dalam suatu karya fiksi adalah aspek bentuk. Oleh karena itu, penokohan memiliki arti yang lebih luas bila dibandingkan dengan tokoh dan perwatakan. Penokohan mencakup siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sangup memberikan gambaran yang jelas kepada para penikmatnya. Masih menurut Nurgiyantoro, percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat dari tokoh yang bersangkutan. Bentuk percakapan dalam sebuah karya fiksi umumnya cukup banyak, baik percakapan yang pendek maupun yang panjang. Namun tidak semua percakapan mencerminkan watak tokoh tersebut. Percakapan yang baik, efektif, dan fungsional adalah yang menunjukkan perkembangan plot sekaligus mencerminkan sifat dan watak tokoh pelakunya.
7
Nurgiyantoro menyatakan jika teknik percakapan dimaksudkan untuk menunjuk pada tingkah laku verbal yang berupa kata dan ucapan para tokoh, maka teknik tingkah laku mengarah pada tindakan yang bersifat non-verbal atau fisik. Apa yang dilakukan tokoh dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dapat dipandang sebagai penunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kedirian tokoh tersebut (2002:203). Nurgiyantoro juga menjelaskan bahwa dalam sebuah karya fiksi, istilah ‘tokoh’ menunjuk pada orang atau pelaku cerita (2002:165). Penokohan dan karakterisasi pemainnya sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Tokoh cerita (character), menurut Abrams (1981:20), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan melalui tindakan. Daiches (1948:352) menyebutkan bahwa karakter pelaku cerita fiksi dapat muncul dari sejumlah peristiwa dan bagaimana reaksi tokoh tersebut pada peristiwa yang dihadapi. Sedangkan yang dimaksud dengan tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam karya fiksi yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenakan kejadiannya, dan sangat menentukan perkembangan plot selanjutnya. Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh yang dimunculkan beberapa kali dalam cerita atau dapat dikatakan bahwa porsi kemunculannya dalam cerita tersebut lebih sedikit dibandingkan tokoh utama. Tokoh utama berfungsi sebagai penunjang sebuah cerita namun tidak mendominasi seperti peranan tokoh utama (Nurgiyantoro, 2002:177).
8
2.2
Teori Keluarga Keluarga menurut Osada dalam Prayogo (2007:18-19) adalah sebagai berikut : 家族は「夫婦を中心とし、親子、兄弟などの近親を血緑者を構成員 とする。互情と信頼の性で結ばれた小集団である」という定義であ る。
Terjemahan: Definisi dari keluarga adalah suami istri sebagai pusat, anggota kerabat dekat yang mempunyai hubungan darah adalah orangtua dan anak, kakak adik dan lain-lain. Anggota tersebut saling mengasihi satu sama lain dan mempunyai ikatan kepercayaan yang mengikat. Suparlan dalam Tobing (2006:1) mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil masyarakat dan merupakan pranata sosial yang sangat penting bagi kehidupan sosial setiap masyarakat. Keluarga juga merupakan suatu satuan kerabatan dan satuan tempat tinggal. Suatu keluarga dapat ditandai dengan adanya kerjasama ekonomi antar anggota keluarga. Definisi keluarga Jepang menurut Kiyomi dalam Soelistyowati (2003:18) adalah sebagai berikut : 家族とは夫婦関係を基礎として、親子、兄弟など近親者をする、感 情裔虫合いに支えられた、第一次的福祉追求の集団である。 Terjemahan : Suatu kelompok yang membentuk hubungan saudara dekat yang penting seperti kakak-adik dan orangtua-anak dengan suami-istri sebagai dasar dan dengan didukung oleh rasa kesatuan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan. Orangtua dapat mempengaruhi perkembangan anak-anaknya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pelaku orangtua sebagai model yang dapat diamati oleh anak-anaknya. Hal ini disebabkan oleh pengalaman masa lalu dan kepribadian orangtua sehingga secara tidak sadar mempengaruhi penerapan pola asuh
9
pada anaknya. Pola asuh yang diterapkan orangtua pada tiap keluarga berbeda satu sama lainnya. Perbedaan ini bergantung pada pandangan hidup, pendidikan, status sosial, dan karakteristik yang ada pada diri masing-masing orangtua (Kail, 2001:395). Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman, respek, dan keinginan untuk menumbuhkembangkan anak yang dicintainya (Yusuf, 2007:38). Yusuf (2007:41) juga mengatakan bahwa bimbingan kedua orangtua sangat berperan penting dalam memberikan pemahaman atau wawasan tentang dirinya (anak) dan lingkungannya, dan juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupan. Oleh karena itu, sangat penting bagi orangtua untuk menerapkan pola asuh dan menjalankan fungsi-fungsinya sebagai orangtua secara tepat dan sesuai kebutuhan pada anak. Kesalahan dalam menerapkan pola asuh akan berakibat buruk pada perkembangan anak (Yusuf, 2007:43-44). Hawari (1996:179) juga menambahkan bahwa di dalam sebuah keluarga yang tidak harmonis adalah keluarga dengan struktur tidak lengkap. Ketidaklengkapan struktur keluarga ini disebabkan kematian, perceraian, perpisahan ataupun karena pertengkaran ayah dan ibu, sehingga mengganggu hubungan interpersonal antar anggota keluarga. Oleh karena itu, keluarga yang mengalami seperti ini disebut dengan disharmonis atau disfungsi dalam keluarga. Keadaan keluarga yang tidak harmonis, tidak stabil atau berantakan (broken home) merupakan faktor penentu bagi berkembangnya kepribadian anak yang tidak sehat. Berdasarkan beberapa penelitian, ditemukan bahwa hubungan interpersonal dalam
10
keluarga yang tidak sehat telah memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap sakit mental seseorang (Yusuf, 2007:44).
2.3
Teori Psikoanalisis Sigmund Freud Sigmund Freud, atau yang biasa disebut dengan Bapak Psikoanalisis, dilahirkan
di Moravia pada tanggal 6 Mei 1856 dan meninggal di London pada tanggal 23 September 1939. Selama hampir delapan puluh tahun Freud tinggal di Wina dan baru meninggalkan kota ketika Nazi menaklukan Austria. Sebagai anak muda, Freud bercitacita ingin menjadi ahli ilmu pengetahuan dan dengan keinginan itu pada tahun 1873 ia masuk fakultas kedokteran di Universitas Wina, dan tamat pada tahun 1881. Perhatian khusus Freud pada neurologi mendorongnya mengadakan spesialisasi dalam perawatan orang-orang yang menderita gangguan syaraf (Suryabrata, 2011:122). Freud dikenal dengan ucapannya, “Anak adalah ayah dari seorang laki-laki” yang berarti bahwa pengalaman-pengalaman hidup yang terjadi di masa awal kehidupan seseorang memainkan peran penting dalam pembentukan kepribadian (Halgin dan Whitbourne, 2010:144). Menurut Freud dalam Halgin dan Whitbourne (2010:144), bahwa gangguan pada pikiran memunculkan perilaku yang aneh dan eksotis dan menggejala. Perilaku dan gejala-gejala ini dapat diteliti dan dijelaskan secara ilmiah. Istilah psikoanalisis diidentifikasikan dengan teori orisinal dan pendekatan terapi yang dikemukakan Freud. Teori Freud dalam Suryabrata (2011:124) mengenai kepribadian dapat dibagi menjadi struktur, dinamika, dan perkembangan kepribadian.
11
2.3.1
Struktur Kepribadian Menurut Freud dalam Suryabrata (2011:124-125) kepribadian terdiri atas tiga
system atau aspek, yaitu id, ego, dan superego. Ketiga aspek tersebut memiliki fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dan dinamika sendiri-sendiri, namun ketiganya berhubungan dengan rapat sehingga sukar (tidak mungkin) untuk memisah-misahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia. A.
Id Freud dalam Suryabrata (2011:125) mengatakan bahwa id adalah aspek biologis
dan merupakan system yang original di dalam kepribadian. Id berisikan hal-hal yang dibawa sejak lahir (unsur-unsur biologis), dan id merupakan energi psikis yang menggerakkan ego dan superego. B.
Ego Freud dalam Suryabrata (2011:126) mengatakan bahwa ego merupakan aspek
psikologis dalam kepribadian. Ego dapat pula dipandang sebagai aspek eksekutif kepribadian. Peran utamanya adalah menjadi perantara antara kebutuhan-kebutuhan instinktif dengan keadaan lingkungan, demi kepentingan organisme. Jadi ego bergerak secara objektif, bukan subjektif. Menurut Freud dalam Bertens (2005:33), ego terbentuk dengan diferensiasi dari id karena kontaknya dengan dunia luar. Aktivitasnya bersifat sadar, prasadar, maupun tidak sadar. Untuk sebagian besar ego bersifat sadar biasa disebut dengan persepsi lahiriah, persepsi batin, dan proses-proses intelektual. Contoh aktivitas ego yang bersifat prasadar dapat dikemukakan fungsi ingatan. Aktivitas tak sadar ego dijalankan dengan mekanisme-mekanisme pertahanan atau Defence Mechanisms.
12
C.
Superego Menurut Freud, superego adalah aspek sosiologis atau aspek moral kepribadian,
merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan atau diajarkan orang tua kepada anak-anaknya, berupa perintah atau larangan. Fungsi pokoknya adalah menentukan apakah sesuatu benar atau salah, pantas atau tidak pantas, susila atau asusila, sehingga pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral yang berlaku di masyarakat (Suryabrata, 2011:127). Superego merupakan dasar moral hati nurani manusia. Aktivitas superego menyatakan diri dalam konflik dengan ego yang dirasakan dalam emosi-emosi seperti rasa bersalah, rasa menyesal, dan lain sebagainya. Sikap-sikap seperti observasi diri dan kriktik berasal dari superego (Bertens, 2005:33).
2.3.2
Dinamika Kepribadian
A.
Instink Menurut Freud dalam Suryabrata (2011:129), instink adalah sumber perangsang
yang dibawa sejak lahir, keinginan adalah perangsang psikologis, sedangkan kebutuhan adalah perangsang jasmani. B.
Kecemasan atau Ketakutan Menurut Freud dalam Suryabrata (2011:138-139), dinamika kepribadian
sebagian besar dikuasai oleh keharusan untuk memuaskan kebutuhan dengan cara berhubungan dengan obyek-obyek dari dunia luar. Lingkungan mempunyai kekuatan untuk memberikan kepuasan dan mereduksikan tegangan maupun menimbulkan sakit dan meningkatkan tegangan; dapat menyenangkan maupun mengganggu. Reaksi
13
individu terhadap ancaman ketidaksenangan dan pengrusakan yang belum dihadapinya ialah menjadi cemas atau takut. Fungsi kecemasan atau ketakutan ialah untuk memperingatkan orang akan datangnya bahaya, sebagai isyarat bagi ego, bahwa apabila tidak dilakukan tindakantindakan yang tepat, bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan. Kecemasan juga merupakan pendorong seperti halnya lapar dan seks. Perbedaannya, kalau lapar dan seks itu adalah keadaan dari dalam, maka kecemasan dan ketakutan itu asalnya disebabkan oleh sebab-sebab dari luar. Apabila kecemasan itu timbul, maka akan mendorong orang untuk melakukan sesuatu supaya ketegangan dapat direduksikan atau dihilangkan (Suryabrata, 2011:139-140). Freud dalam Suryabrata (2011:140) mengatakan bahwa kecemasan atau ketakutan yang tidak dapat dikuasai dengan tindakan-tindakan yang efektif disebut ketakutan traumatis. Ketakutan yang demikian itu akan membawa individu kepada ketidakberdayaan yang infantil. Apabila ego tidak dapat menguasai kecemasan dengan jalan dan cara yang rasional, maka dia akan menghadapinya dengan jalan yang tidak realistis. Inilah yang disebut dengan mekanisme pertahanan ego.
2.3.3
Perkembangan Kepribadian Menurut Freud dalam Suryabrata (2011:141) kepribadian itu berkembang dalam
hubungan dengan empat macam sumber tegangan pokok, yaitu: A.
Identifikasi Definisi dari identifikasi adalah sebagai metode yang dipergunakan orang dalam
menghadapi orang lain dan membuatnya menjadi bagian dari kepribadiannya sendiri. Tiap masa mempunyai tokoh-tokoh identifikasi yang khas. Pada umumnya, identifikasi
14
ini berlangsung tanpa disadari; jarang dilakukan dengan sadar. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa seseorang tidak perlu mengidentifikasikan diri dengan semua hal yang ada pada orang lain tempat dia mengidentifikasikan itu, akan tetapi biasanya dia memilih hal-hal yang dalam anggapannya akan dapat menolongnya mencapai suatu maksud (Suryabrata, 2011:142). B.
Pemindahan Obyek Apabila obyek pilihan suatu instink yang asli tidak dapat dicapai karena
rintangan, baik rintangan dari dalam maupun dari luar, maka terbentuklah pemindahan obyek yang baru. Selama proses pemindahan itu sumber dan tujuan instink tetap, hanya obyeknya yang berubah-ubah. Sebagai akibat dari bermacam-macam pemindahan obyek itu, maka terjadilah penumpukan tegangan, yang kemudian bertindak sebagai alasan yang tetap (kekuatan pendorong yang tetap) bagi tingkah laku. C.
Mekanisme Pertahanan Menurut Freud dalam Bertens (2005:34), ego merupakan asal-usul mekanisme
pertahanan. Kecemasan dapat dipandang sebagai tanda bahaya – setengah biologis, setengah psikologis – yang mengerahkan mekanisme ini. Ego bukan saja mengalami kecemasan, tetapi juga secara aktif dapat membangkitkan kecemasan agar mekanisme pertahanan dijalankan. Jadi, ego bukan saja merupakan tempat berlangsungnya kecemasan, melainkan juga pelaku kecemasan. Sigmund Freud dalam Suryabrata (2011:144) mengatakan bahwa karena tekanan kecemasan ataupun ketakutan yang berlebihan, maka ego kadang-kadang terpaksa mengambil cara yang ekstrem untuk menghilangkan atau mereduksikan tegangan. Caracara yang demikian itu disebut mekanisme pertahanan. Bentuk-bentuk pokok mekanisme pertahanan itu adalah:
15
1.
Penekanan atau represi Penekanan terjadi apabila suatu pemilihan obyek dipaksa ke luar dari kesadaran
oleh rintangan; misalnya ingatan yang mengganggu mungkin tercegah untuk menjadi sadar, atau orang mungkin tidak melihat sesuatu yang terletak di daerah pandangannya karena pengamatan mengenai hal itu tertekan (Suryabrata, 2011:145). 2.
Proyeksi Proyeksi seringkali mempunyai tujuan rangkap, yaitu pertama mengurangi
tegangan dengan cara mengganti obyek dengan obyek lain yang kurang berbahaya, dan kedua memungkinkan orang menyatakan impuls-impulsnya dengan alasan (sebenarnya pura-pura) mempertahankan diri terhadap musuhnya (Suryabrata, 2011:146). 3.
Pembentukan reaksi Pembentukan
reaksi
adalah
penggantian
impuls
atau
perasaan
yang
menimbulkan ketakutan atau kecemasan dengan lawannya di dalam kesadaran. Misalnya benci diganti dengan cinta. Perasaan asli yang dimiliki individu (impulsive) masih tetap ada, tetapi ditutupi dengan sesuatu yang tidak menyebabkan ketakutan. Biasanya pembentukan reaksi ditandai oleh sifat-sifat yang berlebihan; bentuk-bentuk yang ekstrem dari suatu tingkah laku biasanya menunjukkan pembentukkan reaksi (Suryabrata, 2011:147). 4.
Fiksasi dan regresi Pada perkembangan yang normal, kepribadian akan melewati fase-fase yang
sedikit banyak sudah tetap dari lahir sampai mencapai kedewasaan. Akan tetapi tiap langkah baru di dalam perkembangan mengandung atau membawa sejumlah frustasi dan ketakutan; apabila hal ini menjadi terlalu besar, maka perkembangan yang normal mungkin terganggu, untuk sementara atau untuk seterusnya. Orang yang mendapat
16
pengalaman traumatis kembali pada fase perkembangan yang lebih awal, yaitu fase perkembangan yang telah ditinggalkan atau dilewatinya. Fiksasi dan regresi inilah yang menyebabkan ketidaksamaan dalam perkembangan kepribadian (Suryabrata, 2011:147148). D.
Fase-fase Perkembangan Freud dalam Suryabrata (2011:148-153),berpendapat bahwa anak sampai kira-
kira umur lima tahun melewati fase-fase yang terdiferensiasikan secara dinamis, kemudian sampai umur dua belas atau tiga belas tahun mengalami fase latent, yaitu dinamika menjadi lebih stabil. Dengan datangnya masa remaja maka dinamika itu meletus lagi, dan selanjutnya semakin tenang saat individu tersebut semakin dewasa. Bagi Freud, masa sampai umur dua puluh tahun adalah masa yang menentukan bagi pembentukan kepribadian.
2.4
Teori Gangguan Kepribadian Pengertian gangguan kepribadian menurut Larsen dan Buss (2005:607) adalah
sebagai berikut : Personality disorder is an enduring pattern of experience and behavior that differs greatly from the expectations of the individual’s culture. Traits are patterns of experiencing, thinking about, and interacting with oneself and the world. Traits are observed in a wide range of social and personal situations. A personality disorder is usually manifest in more than one of the following areas: in how people think, in how they feel, in how they get along with others, or in their ability to control their own behavior. The pattern is rigid and is displayed across a variety of situations, leading to distress or problems in important areas in life, such as at work or in relationships. Terjemahan : Gangguan kepribadian adalah suatu bentuk perilaku kebiasaan yang sangat jauh berbeda dengan kebiasaan seseorang pada umumnya. Perbedaan bentuk karakter penderita gangguan kepribadian dapat dilihat dari cara mereka
17
memandang sesuatu, cara mereka berfikir, dan cara mereka berinteraksi dengan orang lain. Karakter gangguan kepribadian tercermin dalam banyak aspek di kehidupan sosial maupun kehidupan kepribadian penderitanya. Gangguan kepribadian biasanya muncul dalam salah satu aspek berikut: dalam bagaimana mereka berpikir, dalam bagaimana mereka merasakan sesuatu, dalam bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain dan dalam kemampuan mereka mengendalikan kebiasaan mereka. Bentuknya jelas dan terlihat di sepanjang situasi yang berbeda-beda, yang menyebabkan stress dan banyak permasalahan dalam aspek penting kehidupan, seperti dalam pekerjaan dan hubungan antar sesama. Gangguan kepribadian (personality disorder) berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV - Text Revision, meliputi sebuah pola maladaptif dari pengalaman batin dan perilaku yang bertahan lama, kembali ke masa remaja dan masa dewasa yang termanifestasi dari area kognisi, pengaruh, fungsi interpersonal, dan pengendalian impuls. Gangguan kepribadian menunjukkan berbagai macam dan pola perilaku yang kompleks. Ekspresi setiap gangguan psikologis memiliki sedikit perbedaan, masalah yang dialami oleh penderita gangguan kepribadian terjadi setiap hari pada saat melakukan interaksi dengan orang lain. Masalah mereka meliputi ketergantungan yang berlebihan, ketakutan yang berlebihan akan keintiman, rasa khawatir yang berlebihan, perilaku yang meledak-ledak, atau amarah yang tidak terkontrol (Halgin dan Whitbourne, 2010:82).
2.4.1
Gangguan Kepribadian Antisocial Menurut Millon dalam Halgin dan Whitbourne (2010:84), istilah psikopat atau
sosiopat merupakan istilah yang biasanya digunakan kepada orang yang memiliki sifatsifat dari gangguan kepribadian antisosial. Gangguan kepribadian tersebut dianggap sebagai bentuk dari kemarahan dengan menunjukkan perilaku impulsif dan bahkan merusak, sembari mempertahankan pemikiran yang rasional. Gangguan kepribadian ini
18
dulu disebut sebagai moral insanity. Gangguan kepribadian antisosial (antisocial personality disorder) dicirikan dengan kurangnya rasa hormat akan moral sosial dan aturan yang ada (Halgin dan Whitbourne, 2010:84). Menurut Hare dan Neumann dalam Halgin dan Whitbourne (2010:85), sifat utama kepribadian psikopat mencakup kefasihan dalam berkomunikasi dan penampilan luar yang menarik, rasa penghargaan diri yang sangat besar, kecenderungan menyampaikan kebohongan, kurang empati terhadap orang lain, tidak ada penyesalan dan keinginan untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Sifat dari gaya hidup antisosial meliputi impulsif, suatu sifat yang membawa kepada gaya hidup yang tidak menentu, kenakalan remaja, masalah perilaku dimasa muda, tidak memiliki tujuan jangka panjang, dan selalu membutuhkan rangsangan. Menurut Salekin dalam Halgin dan Whitbourne (2010:85), para psikopat adalah orang-orang yang cerdas dalam kemampuan verbal dan menggunakan kecerdasan mereka untuk masalah praktis. Kriteria dari gangguan kepribadian antisocial meliputi rasa tidak hormat yang mendarah daging terhadap orang lain yang ditunjukkan melalui tindakan tersebut sebagai ketidaktaatan hukum, ketidakjujuran, dan impulsif. Orang yang mengalami gangguan tersebut dapat bertindak semaunya, agresif, dan sembarangan tanpa menunjukkan penyesalan. Kadang kala, mereka dapat berpura-pura menyesal guna membebaskan diri dari situasi yang sulit. Selain terlihat agresif dari sisi luar, mereka juga akan berkata dengan lembut untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan menunjukkan dirinya mau menerima semua perkataan (Halgin dan Whitbourne, 2010:85-86). Menurut Caspi dalam Halgin dan Whitbourne (2010:87), karakteristik yang bermasalah pada gangguan kepribadian antisosial bersifat menetap. Artinya, masalah
19
mereka dimulai pada masa kanak-kanak yang terus berlanjut sampai masa dewasa. Seorang anak kecil yang tidak terkontrol (impulsif, tidak bisa diam, dan mudah bingung) kemungkinan akan mendapat kriteria diagnostik untuk gangguan kepribadian antisosial dan akan terlibat masalah kejahatan ketika dewasa. Menurut hipotesis Lykken (1995) dalam Halgin dan Whitbourne (2010:89), bahwa psikopat tidak dapat merasa ketakutan atau kecemasan yang terus berlangsung untuk mendapatkan dukungan. Menurut Bernstein dalam Halgin dan Whitbourne (2010:89), hipotesis ketidaktakutan telah berkembang menjadi pernyataan umum yang disebut hipotesis penyesuaian respons yang menyatakan bahwa psikopat tidak dapat memproses informasi yang tidak sesuai dengan tujuan utama mereka. Hipotesis tersebut akan menjelaskan banyak aspek dari inti kepribadian psikopat seperti ketidakmampuan memikirkan kebutuhan orang lain pada saat terfokus dengan kebutuhan pribadinya. Hal tersebut juga dapat menjelaskan tidak adanya penyesalan ketika menyakiti korban. Berdasarkan perspektif sosiokultural, pada gangguan kepribadian antisosial terfokus pada faktor keluarga, lingkungan awal, dan pengalaman sosialisasi yang dapat membuat orang mengembangkan gaya hidup psikopat (Halgin dan Whitbourne, 2010:89). Seorang psikolog Washington University, Lee Robins dalam Halgin dan Whitbourne (2010:90), mengasumsikan bahwa anak-anak korban perceraian akan mengembangkan masalah karena kurangnya disiplin, bukan karena perceraiannya tetapi ketidakharmonisan orang tua yang mendahului perkembangan anak tersebut terhadap perilaku antisosial. Dalam penelitian Robin mengenai efek pengasuhan anak yang berbeda, ketidakdisiplinan akan menjadi yang masalah yang utama. Ketika orang tua mengombang-ambingkan mereka dengan kekerasan yang tidak berdasar dan kelalaian
20
fatal, mereka akan memberikan pesan yang membingungkan kepada anak tentang apa yang baik dan apa yang salah, atau apa yang dapat diterima dan apa yang tidak. Hubungan antara kekerasan pada masa kanak-kanak dan perkembangan gangguan kepribadian antisosial telah menjadi fokus utama beberapa penelitian penting. Bahwa pengalaman penderitaan pada masa kanak-kanak memainkan peran utama dalam memengaruhi kecenderungan mereka menjadi orang dewasa yang antisosial. Kekerasan fisik selama masa kanak-kanak dapat membawa anak tersebut kepada gangguan kepribadian antisosial. Dalam menyimpulkan penelitian mengenai dampak pengalaman hidup dalam perkembangan tingkah laku psikopat, Lykken (2000) melihat banyak orang tua dari individu sosiopat terlihat seperti orang yang banyak beban, tidak kompeten, dan juga sosiopatik (Halgin dan Whitbourne, 2010:90). Karakteristik atau ciri-ciri dari seorang penderita Antisocial Personality Disorder adalah tindakan penyerangan yang berulang-ulang sebagai penyebab masuk penjara, ketidakjujuran seperti berbohong, pemalsuan identitas, dan menipu orang lain demi keuntungan pribadi, impulsif dan gagal dalam membuat rencana masa depan, cepat marah dan agresif, misalnya perkelahian atau penyerangan, selalu tidak bertanggung jawab seperti berulang kali gagal dalam melakukan pekerjaan, dan kurang akan rasa penyesalan seperti tidak meyukai dan memperlakukan orang lain dengan buruk (Halgin dan Whitbourne, 2010:86).
2.4.2
Gangguan Kepribadian Borderline Menurut Burgmer dalam Halgin dan Whitbourne (2010:91), gangguan
kepribadian borderline (borderline personality disorder) dicirikan dengan sebuah pola ketidakstabilan secara keseluruhan, paling banyak termanifestasi dalam hubungan, mood,
21
dan rasa terhadap identitas diri. Menurut Southwick dalam Halgin dan Whitbourne (2010:92), seseorang dengan gangguan kepribadian borderline sering kali mengalami sebuah jenis depresi yang berbeda yang dicirikan dengan perasaan akan kekosongan dan berbagai emosi negatif. Menurut Munich dalam Halgin dan Whitbourne (2010:92-93), orang-orang dengan gangguan kepribadian borderline sering bingung dengan identitas (identity) mereka, atau konsep mengenai diri mereka. Kebingungan identitas mungkin mencapai suatu keadaan ketika mereka tidak dapat membedakan batasan antara diri mereka sendiri dan orang lain. Menurut Kemperman dalam Halgin dan Whitbourne (2010:93), bahwa keekstreman perasaan terhadap pengalaman dari orang dengan gangguan kepribadian borderline dapat mendorong mereka secara tiba-tiba untuk berpikiran mengenai bunuh diri dan tindakan menyakiti diri sendiri. Perilaku tersebut atau parasuicide dianggap sebagai isyarat untuk mendapatkan perhatian keluarga, kekasih, atau ahli. Perilaku seperti itu kadang-kadang dilakukan untuk mengetahui apakah mereka benar-benar hidup atau tidak, salah satu hal yang menjadi sumber ketidakyakinan individu tersebut. Beberapa orang dengan gangguan ini tidak merasakan kesakitan pada saat menyayat tubuhnya sendiri. Individu tersebut tampaknya mengalami sebuah tipe lanjutan dari gangguan kepribadian borderline yang meliputi khususnya simtom akut dari depresi, kecemasan, impulsif, dan disosiasi; banyak dalam kelompok yang sangat beresiko ini memiliki kisah kekerasan dimasa kanak-kanak. Menurut Kelly dalam Halgin dan Whitbourne (2010:93), risiko bunuh diri sangat tinggi khususnya bagi orang-orang dengan kemampuan penanganan masalah yang lemah yang melihat kemungkinan bunuh diri sebagai satu-satunya cara untuk keluar dari situasi
22
yang sulit, dan juga berisiko tinggi bagi orang dengan gangguan kepribadian borderline yang kurang baik dalam melakukan penyesuaian sosial. Menurut Figueroa dan Silk dalam Halgin dan Whitbourne (2010:94), bahwa merusak diri sendiri dan perilaku impulsif dari orang dengan gangguan tersebut, dikombinasikan dengan distres yang mereka alami karena kecenderungan untuk bertindak melampaui batas terhadap peristiwa hidup, dapat menimbulkan karakteristik gangguan kepribadian borderline. Berdasarkan perspektif psikologis, menurut Bradley dalam Halgin dan Whitbourne (2010:96), pengalaman negatif yang ekstrem dalam keluarga adalah hal yang umum dalam riwayat hidup masa kanak-kanak orang dewasa dengan gangguan kepribadian borderline. Tiga klasifikasi variabel telah muncul sebagai prediktor yang terutama
meyakinkan untuk perkembangan gangguan kepribadian borderline:
lingkungan keluarga pada masa kanak-kanak yang tidak kondusif, psikopatologi orangtua, dan kekerasan semasa kanak-kanak. Karakteristik dari seorang penderita Borderline Personality Disorder adalah usaha yang histeris untuk menghindari pengabaian yang nyata ataupun sekedar imajinasi, pola menetap dari hubungan interpersonal yang selalu berubah-ubah dan intens yang dicirikan dengan perubahan antara meneladani dan mendevaluasi, gangguan identitas atau citra diri dan rasa terhadap diri yang berubah-ubah, impulsif setidaknya dalam dua area seperti pengeluaran uang, seks, penyalahgunaan obat-obatan, dan menyetir sembarangan, perilaku bunuh diri yang berulang, gerak tubuh, ancaman, atau perilaku memutilasi diri sendiri, ketidakstabilan emosi, seperti episode kesedihan yang intens, mudah marah, atau kecemasan, biasanya bertahan selama beberapa jam atau terkadang beberapa hari, perasaan kesepian yang kronis, kemarahan yang intens dan tidak jelas,
23
atau kesulitan menahan amarah, dan sesekali berpikiran paranoid yang terkait dengan stress yang dialaminya (Halgin dan Whitbourne, 2010:92).
2.4.3
Gangguan Kepribadian Dependent Individu dengan gangguan kepribadian dependen (dependent personality
disorder) sangat tergantung dengan orang lain (Halgin dan Whitbourne, 2010:111). Menurut West dan Sheldon dalam Halgin dan Whitbourne (2010:111), teori psikodinamika biasanya memandang individu dengan gangguan kepribadian dependen mengalami regresi atau fiksasi pada tahap oral karena orangtua yang melalaikan kebutuhan anak untuk bergantung pada mereka. Para teoretikus relasi objek memandang individu seperti itu merasa tidak aman untuk terlekat, dan merasakan ketakutan akan diabaikan yang permanen. Menurut Livesley dalam Halgin dan Whitbourne (2010:111), seorang individu dengan gangguan kepribadian dependent sangat bergantung pada orang lain dan memiliki faktor ketergantungan yang tinggi. Karena rendahnya harga diri mereka, mereka bersandar kepada orang lain untuk mendapatkan arahan dan dukungan. Pengertian rendah diri dalam situs Belajar Psikologi (2012) adalah perasaan menganggap diri sendiri terlalu rendah. Seseorang yang rendah diri berarti menganggap diri sendiri tidak memiliki kemampuan yang berarti. Menurut Baker dalam Halgin dan Whitbourne (2010:111) yang konsisten dengan teori tersebut, para peneliti yang menggunakan Family Environment Scale telah menemukan bahwa keluarga dari orang dengan ganguan kepribadian dependen cenderung memiliki tingkat yang tinggi pada faktor kontrol, namun rendah pada faktor kemandirian.
24
Seorang
individu
dengan
gangguan
kepribadian
dependent
cenderung
melemparkan diri mereka sepenuh hati dalam suatu hubungan, sehingga menjadi hancur ketika hubungan tersebut berakhir. Ketergantungan yang ekstrem tersebut menyebabkan mereka segera mencari hubungan lain untuk mengisi kekosongan yang mereka rasakan. Bagi mereka, solusi yang utama adalah menemukan orang lain yang akan merawat mereka dan membebaskan mereka dari kewajiban untuk membuat keputusan sendiri. Setelah sampai pada solusi tersebut, mereka tidak akan berani berperilaku secara asertif yang dapat mengancam kenyamanan hubungan yang dimilikinya (Halgin dan Whitbourne, 2010:111-112). Pengertian asertif dalam situs Kompasiana (2011), bahwa perilaku asertif mencakup ekspresi, pikiran, perasaan, dan keyakinan secara langsung, jujur, dan pantas dengan menghargai hak-hak orang lain. Sebaliknya, (perilaku) agresif merupakan ekspresi diri yang ditandai dengan melanggar hak-hak orang lain dan merendahkan orang lain dalam upaya mencapai tujuan pribadi. Menurut Millon dalam Halgin dan Whitbourne (2010:112), bahwa tidak seperti kebanyakan gangguan kepribadian lainnya, terdapat lebih banyak optimisme mengenai treatmen orang dengan gangguan kepribadian bergantung. Mayoritas orang dengan kondisi tersebut termotivasi untuk berubah. Karakteristik atau ciri-ciri dari penderita Dependent Personality Disorder dalam Halgin dan Whitbourne (2010:112) adalah kesulitan membuat keputusan sehari-hari tanpa nasihat dan kepastian, kebutuhan terhadap orang lain untuk mengambil alih tanggung
jawab
sebagian
besar
area
kehidupan,
kesulitan
mengekspresikan
ketidaksetujuan dengan orang lain karena takut kehilangan dukungan atau penerimaan, kesulitan memulai suatu tugas atau proyek karena renadahnya kepercayaan diri dalam
25
hal penilaian atau kemampuan, kecenderungan untuk mendapatkan dukungan dan pemeliharaan dari orang lain, hingga tingkatan ketika ia bersedia melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan, merasa tidak nyaman atau tidak mampu ketika sendirian karena merasa takut tidak mampu merawat orang lain, mencari hubungan lain sebagai sumber harapan dan dukungan segera setelah suatu hubungan berakhir, terjebak dalam ketakutan untuk ditinggalkan dan harus mengurus dirinya sendiri.
26