Bab 2 Landasan Teori
2.1 Teori Tokoh Penokohan merupakan suatu bagian terpenting dalam membangun sebuah cerita. Penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan tokoh dalam cerita, dan bagaimana penempatannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas tentang tokoh yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya narasi atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti apa yang diekspresikan dalam ucapan maupun dilakukan dalam tindakan. Tokoh hanyalah ciptaan pengarang. Akan tetapi seorang tokoh haruslah merupakan tokoh yang hidup secara wajar, sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam sebuah cerita. Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam sebuah cerita. Dapat dikatakan pula porsi kehadiran tokoh tambahan lebih sedikit daripada tokoh utama. Fungsi tokoh tambahan adalah untuk menunjang sebuah cerita, akan tetapi tidak mendominasi seperti peranan tokoh utama (Nurgiyantoro, 2002:176). Tokoh-tokoh tersebut tidak hanya saja berfungsi memainkan cerita, tetapi juga untuk menyampaikan ide, plot, dan tema dari suatu karya nasrai (Fenanie, 2002:86)
Ishihara (2009:42) menuturkan penokohan sebagai berikut : [
] [
]
Terjemahan: “Hero” bagaimanapun tidak bisa dikatakan berpenampilan menarik kecuali mempunyai perkataan yang bargaung dengan baik. Pada awalnya artinya adalah “eiyuu” (hero), tetapi dealam novel dan drama juga berarti “pemeran utama” dalam skenario. Bila lelaki disebut “hero”, bila perempuan disebut “heroine”.
Terjemahan :
Sekarang, tidak hanya (tokoh utama) yang disebut orang baik, tetapi kami sebagai mana benar pastinya hanya kemungkinan perasaan sendiri (orang yang membuat novel), mengerti dari maksud tujuan peran itu dan perpaduan cerita bacaan yang berkelanjutan. Dan sebenarnya ini hanya sebutan di dunia novel saja, kata yang lain dan bersamaan, hanya sebagai tanda yang pernah Anda lupakan. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa pesan, amanat, moral yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2002:167) Nurgiyantoro juga mengutarakan bahwa, seorang tokoh dapat dibagi ke dalam 2 kategori, yaitu : 1.
Berdasarkan segi peranan dan pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada yang disebut tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama tergolong penting karena dimunculkan terus-menerus, sehingga terasa mendominasi seluruh rangkaian cerita. Adapun tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam porsi yang relatif singkat, disebut dengan tokoh tambahan.
2.
Berdasarkan fungsi tokoh dalam sebuah cerita, ada yang disebut tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral disebut juga tokoh pentagonis, karena memegang pimpinan dalam sebuah cerita. Sedangkan yang disebut dengan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam sebuah cerita, tetapi kehadirannya sangat menunjang tokoh utama.
Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan dilakukan berdasarkan katakata (verbal) dan tingkah laku (non verbal) 1. Metode verbal (melalui dialog atau percakapan) Karakter tokoh dalam sebuah cerita dapat ditampilkan melalui percakapanpercakapan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnya. Menurut Nurgiyantoro (2002:201) percakapan yang dilakukan tokoh dalam sebuah cerita bertujuan untuk menggambarkan sifat tokoh yang bersangkutan. Tidak semua percakapan menunjukkan sikap tokoh dalam sebuah cerita. Akan tetapi percakapan yang efektif dan baik, menunjukkan sifat atau watak dari tokoh pelakunya. 2. Metode non verbal (melalui deskripsi perbuatan) Metode non verbal dilakukan dengan menggambarkan watak atau karakter tokoh dalam sebuah cerita dengan mendeskripsikan perbuatan yang dilakukan oleh tokoh yang bersangkutan. Metode non verbal juga merupakan cara penyampaian pesan atau informasi tanpa menggunakan bahasa. Cara penyampaian ini sampai kepada kita melalui perilaku ekspresif, seperti ekspresi wajah, isyarat, postur, dan penampilan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dunia fiksi, maka tokoh dalam cerita harus bersikap dan bertindak sesuai dengan perwatakan yang disandangnya (Nurgiyantoro, 2002:167).
2.2 Teori Humanisme Manusia dalam hubungan sehari-harinya senantiasa melakukan hubungan antara satu dengan yang lain. Dalam hubungan seperti itu, manusia membentuk masyarakat, berkembang saling mempengaruhi, saling membantu, dan saling mencintai, bahkan saling bersaing. Hubungan kejiwaan di antara manusia ini disebut dengan human relations (Soepardjo : 1999). Dalam human relations ini terdapat moral dan etika untuk berbuat baik, yang merupakan dasar dari humanisme. Menurut Abidin (2002:26-27), humanisme merupakan suatu aliran dalam filsafat yang menempatkan manusia sebagai makhluk tertinggi dengan menjunjung nilainilai kemanusiaan yang bertujuan menghidupkan rasa kemanusiaan dan sesuatu yang bersifat kemanusiaan. Sedangkan orang yang mendambakan dan memperjuagnkan hidup yang lebih baik berdasar asas kemanusiaan disebut dengan humanis. Humanisme merupakan aliran dalam filsafat yang memandang manusia itu bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri, dan dengan kekuatan sendiri mampu mengembangkan diri. Pandangan ini adalah pandangan humanistis atau humanimse. Humanisme berasal dari kata humanus dan mempunyai akar kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti bersifat manusiawi sesuai dengan kodrat manusia (Syariati, 1996:39). Istilah humanisme memiliki suatu nada yang simpatik. Istilah ini menampilkan suatu dunia yang penuh dengan konsep-konsep dan nilai-nilai penting seperti : martabat manusia, nilai-nilai kemanusiaan, hak azazi manusia, dan sebagainya. Pentingnya menghargai dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang meliputi segala aspek kehidupan merupakan prinsip seorang humanis (Syariati, 1996:40). Dasar dari humanisme adalah moral yang ada dalam setiap manusia dan etika dalam setiap hubungan antar manusia untuk berbuat baik. Moral dan etika memiliki
kekuatan yang luar biasa untuk menuntun manusia dalam hidup kesehariannya. Ia mengajarkan apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan dan dihindarkan, ia juga mengajarkan apa yang menjadi hak dan kewajiban kita (Syariati, 1996:40). Syariati (1996:41) mengutarakan bahwa dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, maka sikap dan perilaku kita harus senantiasa mendudukkan manusia lain sebagai mitra sesuai dengan harkat dan martabatnya. Hak dan kewajibannya dihormati secara beradab. Dengan demikian tidak akan terjadi penindasan atau pemerasan. Segala aktivitas bersama berlangsung dalam keseimbangan, kesetaraan, dan kerelaan. Sikap dan perilaku positif menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dapat ditunjukkan antara lain : 1.
Memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
2.
Mengakui persamaan derajat, hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan sebagainya.
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, tenggang rasa dan tidak semena-mena terhadap orang lain. 4. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, seperti : menolong orang lain, memberi bantuan kepada yang membutuhkan.
Perasaan kemanusiaan merupakan perasaan yang timbul secara spontan yang merupakan kecenderungan gerak hati setiap manusia. Perasaan kemanusiaan bersifat universal.
Syariati (1996:42) mengungkapkan bahwa setiap manusia memiliki
hati nurani, rasa kemanusiaan, dan keadilan untuk mencerminkan kecintaannya terhadap sesama manusia. Ciri-ciri perasaan kemanusiaan sebagai berikut :
1.
Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
2.
Mengakui persamaan derajat, persamaan hak azasi manusia, dan kewajiban setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan antar golongan.
3.
Mengembangkan sikap saling mencintai antar sesama manusia.
4.
Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
5.
Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
6.
Melakukan kegiatan kemanusiaan
7.
Membela kebenaran dan keadilan.
Dari definisi mengenai perasaan kemanusiaan di atas dapat diketahui bahwa setiap manusia yang memiliki hati nurani untuk mengembangkan sikap saling mencintai terhadap sesamanya dan mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain mencerminkan kecintaannya terhadap sesamanya.
2.3 Teori Humanisme dalam Sistem Nilai Budaya Jepang Istilah humanisme dalam bahasa Jepang disebut dengan ninjo. Ninjo merupakan suatu perasaan kasih sayang yang timbul secara spontan yang merupakan kecenderungan gerak hati setiap manusia yang dicurahkan kepada sesamanya. Pada awalnya istilah ninjo berasal dari kata nasake yang berarti kasih sayang. Ninjo adalah perasaan kasih sayang manusia yang dicurahkan manusia kepada sesamanya. Perasaan ini adalah perasaan yang murni timbul dari hati yang paling dalam. Setiap individu di dunia ini pasti memiliki perasaan kasih sayang dalam hatinya, baik ia seorang penjahat maupun seorang yang individual sekalipun. Ninjo dilakukan
seseorang terutama bila melihat orang lain sedang dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan (Doi, 2002:33) Befu dalam Suyana (1996:7) mengutarakan bahwa ninjo menekankan pada perasaan yang berasal dari hati kecil seseorang untuk membantu seseorang yang membutuhkan pertolongan. Ninjo secara umum dimiliki oleh seluruh manusia, tidak hanya orang Jepang saja. Dalam Guide to Japanese Languange (2008) tertulis bahwa ninjo berhubungan dengan kadar emosi manusia, seperti rasa kasihan, simpati, cinta, dan pertemanan. Ninjo adalah sebuah ekspresi spontan terhadap orang lain, perasaan yang murni timbul dalam lubuk hati terdalam pada setiap manusia, yang bersifat psikologis dan personal, serta tidak terikat oleh norma-norma. Minamoto
(1996
:
69)
menuturkan
adalah
bahwa
ninjo .
Terjemahannya adalah Ninjo adalah keinginan atau ambisi manusia dan perasaan emosional yang bekerja secara alami yang mempengaruhi kepribadian manusia di dunia. Jika di dalam suatu masyarakat terjadi suatu jalinan hubungan antara manusia, selain hubungan intim atau khusus, seperti antara orang tua dengan anak, suami dan istri, atau sepasang kekasih, yang didasarkan rasa kasih sayang dan setia tindakan yang dilakukan tanpa syarat, maka akan muncullah ninjo. Berdasarkan definisi-definisi mengenai ninjo di atas, dapat disimpulkan bahwa ninjo merupakan perasaaan kemanusiaan dan rasa kasih sayang kepada sesama manusia secara universal, misalnya rasa cinta, iba, simpati, dan sebagainya. Perasaan ini murni timbul dari lubuk hati yang terdalam yang dimiliki oleh setiap manusia
untuk saling membantu antar sesamama manusia. Perasaaan ini biasanya timbul jika seseorang melihat orang lain mengalami kesulitan. Dalam sistem nilai budaya Jepang, konsep ninjo berhubungan dengan giri dan sering diletakkan kontras dengan giri.
Minamoto Ryouen, seorang
ahli
berkebangsaan Jepang, dalam bukunya yang berjudul Giri to Ninjo menuturkannya sebagai berikut :
Terjemahan : Kata giri dan ninjo adalah kata yang selalu digunakan oleh masyarakat Jepang dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita berpikir secara rasional, giri itu adalah gimu (kewajiban) yang berhubungan dengan etika dunia masyarakat umum. Menurut Minamoto (1996:27) giri adalah perasaan yang berasal dari perasaan alami manusia untuk membalas atau mengembalikkan budi baik yang telah diterima dari orang lain, selain orang yang mempunyai hubungan intim atau khusus, seperti hubungan antara orang tua dan anak atau hubungan antara suami dan istri. Befu dalam Suyana (1996:7) mengutarakan bahwa giri menekankan pada suatu tindakan di mana kita berkewajiban untuk melakukan suatu tindakan timbal balik kepada seseorang yang telah membantu kita. Seseorang yang telah menerima ninjo tidak akan bisa melupakannya. Kebaikan yang telah diterimanya tertanam di dalam hati dan suatu saat orang yang telah menerima kebaikan itu harus membalasnya. Maka sejak saat itu, akan timbul hubungan manusia di antara kedua belah pihak. Minami (1993:161-162), mengutarakan bahwa manusia di dunia hidup bersamasama dan saling menolong sehingga timbullah ninjo. Ninjo yang semakin murni, mendalam, dan luas sering ditindas oleh giri. Tuntutan atas perasaaan kemanusiaan (ninjo) merupakan bentuk perlawanan yang umum terhadap giri. Konfrontasi antara
giri dan ninjo telah membentuk suatu bayangan yang unik dalam pikiran bangsa Jepang. Dilema ini terasa menyiksa bagi bangsa Jepang. Ninjo dilandasi oleh hubungan manusia yang bersifat interpersonal. Doi (1992:29) mengatakan bahwa hubungan manusia akan menimbulkan perasaan kemanusiaan jika memiliki hasrat untuk berbuat baik kepada orang lain. Akan tetapi hasrat untuk berbuat baik ini terkadang menimbulkan konflik batin. Doi (1992:28) mengungkapkan bahwa ninjo dapat ditafsirkan sebagai perasaan manusia yang timbul secara spontan dalam hubungan antar manusia. Tidak hanya mencakup ungkapan perasaan manusia, pada hakikatnya meliputi rangkaian emosi yang dirasakan manusia dan kebaikan hati. Orang yang telah menerima ninjo mengalami suatu beban psikologi sebagai akibat dari penerimaan kebaikan hati orang lain. Beban psikologi ini menimbulkan hasrat untuk membalas budi baik orang tersebut. Befu dalam Suyana (1996:7) mengutarakan bahwa giri lebih menekankan pada tindakan yang mewajibkan kita untuk melakukan tindakan saling berbalas budi kepada seseorang yang telah membantu kita. Sedangkan ninjo menekankan pada perasaan yang berasal dari hati kecil seseorang untuk membantu sesama yang membutuhkan pertolongan. Befu dalam Suyana (1996:27) menyatakan bahwa pelaksanaan giri pada umumnya menimbulkan dilema pada seseorang. Dilema ini muncul karena kewajiban sosial yang harus dilakukannya ini bertentangan dengan keinginan pribadi atau perasaan manusiawinya yang disebut ninjo. Ninjo dalam setiap diri manusia dapat membawa konfrontasi atau dilema antara kewajiban yang terpaksa dilakukan walaupun sebenarnya tidak ingin dilakukan (tsumetai giri) dengan perasaan kemanusiaannya sendiri. Dilema ini terkadang
menyiksa batin. Befu (2001:167) mengemukakan bahwa ada tiga alternatif yang bisa dipilih saat seseorang berada pada konflik batin. Ketiga alternatif tersebut yaitu : 1.
Seseorang harus menindas perasaan-perasaan pribadinya (ninjo) dan menghormati prinsip yang berlaku di masyarakat.
2.
Seseorang menutup mata dari kewajiban moral (giri) dan mengikuti tuntutan perasaan kemanusiaannya (ninjo)
3.
Menghilangkan sesama potensi konflik dengan melakukan bunuh diri untuk menghindari
tuntutan
antara
kewajiban
(giri)
maupun
perasaan
manusiawinya (ninjo) Hal-hal di atas merupakan alternatif yang sering dipilih orang Jepang ketika mereka berada dalam posisi yang dilematis. Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam prinsip kebudayaan Jepang, giri mengharuskan orang Jepang untuk menjalankan kewajiban etika moral untuk membalas budi baik seseorang. Sedangkan ninjo adalah perasaan manusiawi untuk menjalani kewajiban (giri) yang bersifat moral dan sosial. Perasaan kemanusiaan (ninjo) terdapat dalam sistem nilai budaya Jepang, sehingga karakteristik orang Jepang mempunyai hubungan yang erat dengan akarakar dari nilai-nilai kebudayaan tersebut.