1
Motif Cerita Oedipus sebagai Sisipan Cerita dalam Novel Bilangan Fu: Sebuah Analisis Struktural oleh Ani Nuraini Syahara, M. Yoesoef Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas motif cerita Oedipus dalam novel Bilangan Fu serta kaitannya dengan struktur novel tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan interteks untuk melihat hubungan antara novel Bilangan Fu dengan cerita-cerita bermotif Oedipus serta pendekatan struktural untuk melihat unsur-unsur dalam novel tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motif cerita Oedipus dalam novel Bilangan Fu mempunyai kaitan dengan struktur novel. Kaitan tersebut terlihat pada tokoh, alur, dan tema novel Bilangan Fu. Kata kunci: cerita Oedipus, interteks, motif, struktur novel
Oedipus Motives as an Inserted Story in Bilangan Fu: A Structural Analysis Abstract This thesis discussed about Oedipus motives in Bilangan Fu and its relation to the structure of the novel. This research uses intertextual approach to look at the relationship between the Bilangan Fu with the Oedipus stories and structural approach to see the elements in the novel. This research used descriptive analytical method. The result showed that the Oedipus motives in Bilangan Fu is related to the novel structure. The relationship is shown in the character, plot, and theme of the novel Bilangan Fu. Key words: Oedipus story, intertext, motives, novel structure
Pendahuluan Seringkali kita menemukan adanya kemiripan antara sebuah cerita yang ada di suatu daerah dan cerita yang ada di daerah lain. Kemiripan cerita tersebut contohnya dapat ditemukan pada dongeng Cinderella. Jika kita perhatikan, cerita yang berasal dari Eropa ini ternyata mempunyai kemiripan dengan dongeng Ande-ande Lumut serta Bawang Merah dan Bawang Putih dari Indonesia. Kemiripan antara cerita-cerita tersebut terlihat dari tokoh dan konflik yang terjadi. Tokoh Cinderella dapat disejajarkan dengan tokoh Klenting Kuning dalam Ande-ande Lumut dan tokoh Bawang Putih dalam dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih. Tiga tokoh tersebut adalah anak perempuan bungsu yang hidup bersama ibu tiri dan kakak perempuan tiri mereka. Cinderella, Klenting Kuning, dan Bawang Putih sering diperlakukan kasar oleh ibu tiri dan kakak tiri mereka. Walaupun demikian, mereka tetap sabar dan tabah hingga pada suatu saat keajaiban terjadi pada mereka dan membuat hidup mereka bahagia di akhir cerita.
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
2
Kemiripan dalam cerita-cerita terlihat pada penggunaan motif yang sama. Dalam arti luas, motif merupakan ‘pola, corak, gagasan yang dominan dalam karya sastra’ (KBBI, 2007: 756). Menurut Danandjaja (1997: 56), adanya kemiripan pada cerita-cerita yang berkembang di dunia ini dapat dijelaskan dengan dua kemungkinan. Pertama monogenesis, yaitu adanya sebuah penemuan yang diikuti dengan proses difusi atau penyebaran. Kedua poligenesis, yaitu penemuan-penemuan sendiri (independent invention) atau sejajar (parallel invention) dari motif yang sama, di tempat-tempat yang berlainan serta dalam masa yang berlainan maupun bersamaan. Sebuah cerita—khususnya cerita rakyat—mengalami penyebaran, baik secara monogenesis ataupun poligenesis. Dalam penyebaran tersebut ada kemungkinan terjadi penambahan, pengurangan, atau pengubahan unsur cerita sehingga menghasilkan versi dan varian yang berbeda. Contohnya adalah epos Mahabharata yang berasal dari India. Setelah masuk ke Indonesia, ada pengubahan dalam unsur-unsur ceritanya, misalnya dengan hadirnya tokoh Punakawan. Selain itu, dalam Mahabharata versi India, Drupadi adalah istri dari lima Pandawa. Akan tetapi, dalam kisah Mahabharata versi Jawa, Drupadi hanya bersuamikan Yudhistira. Adanya pengubahan unsur cerita tersebut berkaitan dengan adaptasi sebuah cerita dengan kebudayaan setempat. Selain pengubahan unsur cerita, sebuah cerita dapat masuk ke dalam cerita lain. Cerita tersebut menyisip ke dalam cerita baru, baik sebagai sisipan cerita yang utuh atau tidak utuh. Sudjiman (1988: 98) menyatakan bahwa adanya penyisipan berkaitan dengan salah satu teknik penceritaan, yaitu teknik kolase. Teknik ini sendiri berasal dari bidang seni rupa. Istilah kolase berarti ‘menempelkan potongan kertas, koran, tutup botol, karcis bis, dan lainnya yang biasanya tidak terpikir adanya hubungan yang satu dengan yang lain. Dalam kaitannya dengan kesusastraan, Sudjiman (1990: 44) menyatakan bahwa teknik kolase menghasilkan cerita yang sarat dengan kutipan dari karya sastra lain yang biasanya tidak ada hubungannya yang satu dengan yang lain. Kisah yang terdapat pada sebuah karya terputus oleh kisah dan peristiwa yang tidak ada hubungannya bahkan berbeda ruang dan waktu. Hal itu ditandai dengan adanya pencantuman hal-hal dari kehidupan yang umumnya sudah dikenal, seperti lirik lagu pop, teks iklan, guntingan koran, dan lain-lain. Sisipan itu kadang menyiratkan hubungannya dengan kelanjutan cerita, tetapi kadang juga terasa sebagai lanturan yang terlalu jauh. Perkembangan sastra lama ke sastra modern menunjukkan gejala demikian. Damono (2005: 22) menyatakan bahwa perkembangan sastra modern menunjukkan adanya proses
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
3
peminjaman karya sastra lama untuk disisipkan ke dalam karya sastra baru. Sastrawan punya kecenderungan untuk meminjam karya-karya yang sudah ada, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sudjiman (1988: 99) mencontohkan sebuah karya yang di dalamnya terkandung unsur sisipan, yaitu Olenka (1983) karya Budi Darma. Cerita tersebut penuh dengan sisipan guntingan surat kabar. Selain itu, dalam novel Matinya Seorang Penari Telanjang (2000) karya Seno Gumira Ajidarma juga terdapat kutipan berita-berita dari surat kabar. Akan tetapi, nama-nama surat kabar dalam novel tersebut diubah sehingga menimbulkan rasa humor. Salah satu karya yang terbit pada era 2000-an yang menyisipkan banyak kisah dari era terdahulu dalam penceritaannya adalah novel Bilangan Fu karya Ayu Utami. Novel yang terbit pada 2008 ini merupakan novel ketiga Ayu Utami. Sebelumnya, ia menerbitkan novel Saman (1998) dan Larung (2001). Hingga tahun 2013, Ayu Utami telah menerbitkan 9 buku, yaitu Saman (1998), Larung (2001), Bilangan Fu (2008), Manjali dan Cakrabirawa (2010), Lalita (2012), Cerita Cinta Enrico (2012), Soegija 100% Indonesia (2012), Si Parasit Lajang (2013), dan Pengakuan Eks Parasit Lajang (2013). Di antara buku-bukunya yang telah terbit itu, Bilangan Fu adalah buku yang paling tebal. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya sisipan dalam novel tersebut. Sisipan dalam novel tersebut adalah sisipan berita dan cerita. Sisipan berita berbentuk kliping artikel dari koran. Sisipan berita tersebut diambil dari berbagai media yang ada di kehidupan nyata (bukan fiktif), seperti Kompas, Sinar Harapan, Detikcom, dan lain-lain. Sisipan cerita biasanya terintegrasi dengan paragraf. Cerita-cerita yang disisipkan ke dalam novel Bilangan Fu merupakan cerita yang sudah dikenal sebelumnya, antara lain Babad Tanah Jawi, Sangkuriang, Prabu Watugunung, Mahabharata, dan Perang Bubat. Selain itu, ada pula kisah tentang Kain dan Habil, Nabi Musa, Siung Wanara, serta Betari Durga. Penafsiran sebuah karya yang menggunakan teknik kolase sebagai salah satu teknik penceritaannya dapat dilakukan dengan kajian interteks. Pengertian interteks sendiri tidak dapat dilepaskan dari pengertian teks. Secara etimologis, teks berasal dari bahasa Latin, textus, yang berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Dengan demikian, interteks adalah jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain (Ratna, 2007: 172). Pada dasarnya, pembacalah yang menentukan ada tidaknya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain itu, unsur-unsur hipogram itu, berdasarkan resepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Penulis pun
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
4
mencurigai adanya intertekstualitas antara novel Bilangan Fu dengan sisipan-sisipan yang terdapat di dalamnya. Dari sekian banyak cerita yang disisipkan, cerita yang sering disebutkan adalah cerita Sangkuriang dan Prabu Watugunung. Kedua cerita tersebut termasuk ke dalam cerita bermotif Oedipus. Oedipus adalah salah satu tokoh dalam sebuah mitologi Yunani. Adanya cerita-cerita sisipan tersebut di dalam novel Bilangan Fu membuat penulis berhipotesis bahwa Bilangan Fu memiliki kaitan dengan cerita-cerita tersebut. Pada beberapa bagian, penulis merasakan kemiripan antara cerita bermotif Oedipus dan Bilangan Fu. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis hubungan unsur-unsur intrinsik dalam novel Bilangan Fu dengan cerita-cerita bermotif Oedipus yang disisipkan ke dalam novel tersebut. Tinjauan Teoritis 1. Struktur Dalam menelaah hubungan unsur-unsur novel Bilangan Fu dengan cerita bermotif Oedipus, penulis akan menganalisis struktur novel tersebut lebih dahulu. Unsur-unsur yang akan dianalisis adalah tokoh, alur, dan tema. a. Tokoh Menurut Sudjiman, (1988: 16) tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam cerita. Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Frekuensi kemunculan tokoh bukanlah kriteria utama dalam menentukan tokoh utama. Yang lebih penting adalah intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Menurut Nurgiyantoro (1998: 166), istilah “penokohan” mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. b. Alur Sudjiman (1988: 29) menyatakan bahwa berbagai peristiwa dalam sebuah cerita disajikan dalam urutan waktu tertentu. Urutan peristiwa itulah yang disebut sebagai alur. Forster (dalam Nurgiyantoro, 1998: 113) menyatakan bahwa alur atau plot adalah peristiwa-peristiwa yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas. c. Tema
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
5
Menurut Sudjiman (1988: 50), tema adalah “gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra”. Ia juga menyatakan bahwa “ada kalanya gagasan itu begitu dominan sehingga menjadi kekuatan yang mempersatukan pelbagai unsur yang bersama-sama membangun karya sastra dan menjadi motif tindakan tokoh”. 2. Interteks Menurut Nurgiyantoro (1998: 50), kajian interteks adalah kajian terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji. Kajian ini bertujuan untuk memberikan makna yang lebih penuh terhadap sebuah karya. Menurut Riffaterre (dalam Nurgiyantoro, 1998: 51) sebuah karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya sastra yang selanjutnya disebut dengan hipogram. Teeuw (1983: 65) menyatakan bahwa wujud hipogram dapat berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikkan esensi dan amanat teks(-teks) sebelumnya. Unsur-unsur ambilan sebuah teks dari teks-teks hipogramnya mungkin berupa kata, sintagma, model bentuk, gagasan atau berbagai unsur instrinsik yang lain (Nurgiyantoro, 1998: 53). Pengambilan bentuk-bentuk itu atau derivasi bentuk-bentuk teks yang ditransformasikan dapat hanya berupa varian leksikal, denotasi dan konotasi, pilihan paradigmatis kata-kata, atau pemakaian bentuk sinonim. 3. Motif Cerita Oedipus Dalam arti luas, motif merupakan ‘pola, corak, gagasan yang dominan dalam karya sastra’ (KBBI, 2007: 756). Menurut Danandjaja, (1997: 53), dalam ilmu folklor, motif adalah unsur-unsur suatu cerita (narrative elements). Motif teks suatu cerita rakyat adalah unsur dari cerita itu yang menonjol dan tidak biasa sifatnya. Unsur-unsur itu dapat berupa benda (seperti tongkat wasiat), hewan luar biasa, (kuda yang dapat berbicara), suatu konsep (larangan atau tabu), suatu perbuatan (ujian ketangkasan), penipuan terhadap suatu tokoh (raksasa atau dewa), tipe orang tertentu (Si Pandir, Si Kabayan), atau sifat struktur tertentu (misalnya pengulangan berdasarkan angka keramat seperti angka tiga dan tujuh). Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Aarne-Thompson, kisah Oedipus berlabel Type 931. Lessa dalam jurnalnya yang berjudul “Oedipus Tales in Oceania” (1956:
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
6
63) menyatakan bahwa cerita Oedipus memiliki motif (1) adanya ramalan bahwa sang anak akan (2) membunuh ayahnya dan (3) menikahi ibunya. Ia kemudian (4) diselamatkan dan (5) dipelihara oleh raja lain. Setelah itu, (6) ramalan pun terjadi. Dari keenam motif tersebut, yang paling esensial adalah motif ramalan, pembunuhan, dan motif inses. Danandjaja (1997) memberi penjelasan mengenai nomor indeks motif cerita Oedipus berdasarkan klasifikasi yang dikemukakan oleh Aarne-Thompson. Motif-motif dalam ceritacerita Oedipus adalah sebagai berikut. 1. No. M343 Parricide prophecy (ramalan mengenai pembunuhan seorang ayah oleh anak kandungnya). 2. No. M344 Mother incest prophecy (ramalan mengenai perkawinan sumbang antara seorang lelaki dengan ibu kandungnya). 3. No. M371.2 Exposure of child to prevent fullfilment of parricide prophecy (membiarkan anak mati dengan sendirinya di alam terbuka untuk mencegah terwujudnya ramalan pembunuhan ayah oleh putra kandungnya). 4. No. K512. Compassionate executioner (algojo yang tidak tega hati). 5. No. R131. Exposed or abandoned child rescued (anak yang dibiarkan mati di alam terbuka atau dibuang telah ditolong). 6. No. S354. Exposed infant reared at strange king’s court (anak yang dibiarkan mati diasuh di kerajaan asing) 7. No. N323. Parricide prophecy unwittingly fulfilled (ramalan tentang pembunuhan ayah oleh putra kandungnya dengan tidak sengaja terlaksana) 8. No. T412. Mother son incest (perkawinan sumbang antara ibu dan putra kandungnya). Hal mengenai Oedipus ini tidak hanya dapat dilihat dari sisi folklor, tetapi juga dari sisi psikologis. Dengan mengambil nama dan ciri-ciri Oedipus, Sigmund Freud, sang bapak psikoanalisis, mengemukakan suatu kondisi psikologis yang dinamakan oedipus complex. Menurut Minderop (2010: 101), oedipus complex adalah masa ketika seorang anak laki-laki menunjukkan rasa erotik kepada ibunya. Menurut Alfred Adler (dalam Lessa, 1956: 66—67) oedipus complex dapat muncul dalam kasus-kasus spesial ketika seorang anak lakilaki terlalu dimanjakan oleh ibunya. Sang anak menjadi tidak dapat melindungi diri dari dunia luar sehingga ia akan kembali kepada ibunya untuk mendapatkan kegembiraan atau kepuasaan dengan mendominasi ibunya. Ketika fantasi seksual dan gairahnya tertuju pada ibunya,
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
7
mereka menjadi “haus akan kekuatan ibunya”. Di sisi lain, Franz Alexander (dalam Lessa, 1956: 67) menyatakan bahwa aspek kecemburuan adalah aspek yang umumnya terlihat. Anak akan menunjukkan permusuhan dan agresivitas untuk melawan siapa saja yang ia pikir sebagai pesaing yang hadir selama masa setelah kelahirannya. Selain itu, Karen Horney (dalam Lessa, 1956: 67) menyatakan bahwa oedipus complex muncul bukan semata-mata karena masalah biologis, tetapi dari hubungan keluarga. Metode Penelitian Berdasarkan data serta landasan teori yang telah dipaparkan, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu metode deskriptif analitis. Metode deskriptifanalitis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2007: 53). Teknik yang digunakan penulis adalah kajian pustaka. Sebelum menganalisis motif cerita Oedipus dalam novel Bilangan Fu serta hubungan unsur-unsur intrinsik novel Bilangan Fu dengan motif cerita Oedipus, penulis menganalisis struktur (unsur intrinsik) novel terlebih dahulu. Unsur yang dianalisis yaitu tokoh, alur, dan tema. Kemudian, penulis mendeskripsikan sisipan-sisipan yang terdapat dalam novel Bilangan Fu. Berikutnya, penulis menganalisis motif cerita Oedipus yang terdapat dalam novel Bilangan Fu. Setelah itu, penulis mencari hubungan unsur-unsur intrinsik antara novel Bilangan Fu dengan motif cerita Oedipus tersebut. Analisis Struktur Novel Bilangan Fu Novel Bilangan Fu terdiri atas tiga bab, yaitu “Modernisme”, “Monoteisme”, dan “Militerisme”. Bab “Modernisme” terbagi menjadi 21 subbab, yaitu yaitu (1) “Almari”, (2) “Rumus”, (3) “Sebul”, (4) “Monster-monster”, (5) “Parang Jati”, (6) “Watugunung”, (7) “Rabies”, (8) Lima Jari Kurang Bagi Pemanjat”, (9) “Khotbah di Bukit, (10) “Ikonografi”, (11) “Tuyul”, (12) “Malu”, (13) “Kubur Kosong”, (14) “Sajenan”, (15) “Kejadian”, (16) “Bunyi Hu”, (17) “Hantu Cekik”, (18) “Kritik atas Modernisme”, (19) “Rindu”, (20) “Klan Saduki”, (21) “Segitiga”. Bab “Monoteisme” terbagi menjadi 12 subbab, yaitu (1) “Kelahiran”, (2) “Manyar”, (3) “Ulat”, (4) “Kepompong”, (5) “Nyi Ratu Kidul”, (6) “Kurban”, (7) “Durga”, (8) “Jalan”, (9) “Suhubudi”, (10) “Ratu Kidul dan Pandangan Keagamaan”, (11) “Kritik Hu atas Monoteisme”, dan (12) “ Kejatuhan”. Bab “Militerisme” terbagi menjadi 19 subbab, (1) “Laku Kritik”, (2) “Politik”, (3) “Goa Hantu”, (4) “Strategi Budaya”, (5) “Neo Kejawan”, (6) “Strategi Militer”, (7) “Kecubung Pengasihan”, (8) “Teror
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
8
Intelejen”, (9) “Pasukan Gelap”, (10) “Orang yang Kerasukan Setan”, (11) “Orang Farisi”, (12) “Mamon”, (13) “Tiga Musuh Postmodern”, (14) “Garis Polisi”, (15) “Perburuan”, (16) “Interogasi”, (17) “Musik”, (18) “Malam Gerhana”, dan (19) “Ozon”. Dalam novel Bilangan Fu, yang menjadi tokoh utama (tokoh protagonis) adalah Sandi Yuda. Tokoh yang bertentangan dengan Sandi Yuda atau disebut sebagai tokoh antagonis adalah Parang Jati. Hadir pula beberapa tokoh bawahan, yaitu Marja (kekasih Sandi Yuda), Kupukupu atau Farisi, Suhubudi (ayah angkat Parang Jati), Mbok Manyar (juru kunci mata air desa), dan Pontiman Sutalip (kepala desa Watugunung). Selain itu, ada pula tokoh-tokoh yang berfungsi sebagai tokoh tambahan. Tokoh-tokoh itu adalah Oscar, Fulan, Pete (teman Sandi Yuda), Kabur bin Sasus (warga desa Watugunung), Penghulu Semar (warga desa Watugunung), Parlan dan Mentel (orangtua angkat Kupukupu), Klan Saduki (kelompok sirkus manusia cacat dan aneh), Dayang Sumbi (istri Suhubudi), tuyul, lelaki berdahi hitam, dan Sriti. Berdasarkan kronologi atau urutan waktunya, alur dalam novel Bilangan Fu adalah gabungan antara alur maju dan sorot balik. Pada bab “Modernisme”, cerita dimulai dari penceritaan Sandi Yuda tentang pengalamannya bersama Parang Jati di Watugunung. Pada bab “Monoteisme”, cerita mundur pada riwayat hidup Parang Jati sejak ia bayi hingga berumur 17 tahun. Pada bab “Militerisme”, cerita berlanjut lagi pada masalah-masalah di Watugunung serta penyelesaiannya. Tasrif (dalam Nurgiyantoro, 1998: 149) membedakan tahapan plot atau alur menjadi lima bagian, yaitu (1) tahap penyituasian, (2) tahap pemunculan konflik, (3) tahap peningkatan konflik, (4) tahap klimaks, dan (5) tahap penyelesaian. Ada dua konflik dalam novel Bilangan Fu. Dua konflik ini diklasifikasikan berdasarkan tokoh-tokoh yang terlibat. Yang pertama adalah konflik yang berkaitan dengan kejadian di Watugunung (konflik A). Konflik ini merupakan konflik antara Parang Jati, Kupukupu, dan segala hal yang terjadi di Watugunung. Yang kedua adalah konflik yang berkaitan dengan pribadi Parang Jati (konflik B). Yang terlibat dalam konflik ini antara lain Parang Jati, Dayang Sumbi, dan Suhubudi. Konflik A terdapat pada setiap bab, sedangkan konflik B hanya terdapat pada bab “Modernisme” dan “Monoteisme”. Dalam novel Bilangan Fu, terdapat tiga titik puncak konflik. Titik puncak pertama adalah titik puncak konflik pada bab “Modernisme” yang terdapat pada subbab ketujuh belas, yaitu “Hantu Cekik”. Titik puncak kedua adalah titik puncak konflik pada bab “Monoteisme” yang terdapat pada subbab ketigapuluh satu, yaitu “Ratu Kidul dan Pandangan Keagamaan”.
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
9
Titik puncak konflik ketiga adalah titik puncak konflik pada bab “Militerisme” yang terdapat pada subbab “Interogasi”. Titik puncak ketiga adalah titik puncak tertinggi sehingga titik tersebut merupakan klimaks dari semua tahapan alur. Tiap bab memperlihatkan permasalahan yang berbeda. Bab “Modernisme” berisi pertentangan antara modern dan tradisional. Hal tersebut terlihat dari pertentangan yang terjadi antara Sandi Yuda dan Parang Jati, pemanjatan kotor dan pemanjatan bersih, serta masyarakat tradisional dan perusahaan penambangan. Modernisme cenderung merusak alam, sedangkan orang-orang tradisional justru merawat alam. Pada bab “Monoteisme”, pertentangan terjadi antara Parang Jati dan Kupukupu. Dalam hal ini, pertentangan yang ditonjolkan adalah pertentangan dalam hal kepercayaan. Kupukupu atau Farisi adalah orang yang fanatik dengan agama. Kupukupu menganut agama Islam yang merupakan agama monoteisme. Bab “Militerisme” berisi tentang kritik terhadap militerisme yang kerap menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Salah satu bentuk kekerasan dalam novel Bilangan Fu dilakukan oleh Farisi dan kelompoknya yang disebut dengan nama Kaum Farisi. Kaum ini merupakan perwakilan dari monoteisme dan penambangan merupakan perwakilan dari modernisme. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa militerisme adalah gabungan dari modernisme dan monoteisme. Militerisme adalah cara yang digunakan untuk menguasai alam. Di sisi lain, Parang Jati justru mempertahankan yang tradisional untuk menyelamatkan alam. Berdasarkan analisis tersebut dapat ditarik sebuah rumusan sebagai berikut. Modernisme
+
Monoteisme
=
Militerisme
↓
↓
↓
(orang)
(orang)
(orang)
(pola pikir)
(kepercayaan)
(jalan, cara)
Modernisme mencakup pada orang atau manusia dan pola pikirnya. Monoteisme mencakup orang atau manusi dan kepercayaannya. Militerisme mencakup orang dan jalan atau cara yang akan ditempuh. Orang dengan pola pikir modern mempunyai satu tujuan, yaitu menguasai alam. Untuk menguasai alam, orang modern terlebih dahulu harus menguasai orang-orang yang ada di dalamnya, yaitu warga desa yang pada umumnya masih percaya kepada takhayul. Di sisi lain, ada orang-orang yang tidak suka terhadap orang yang masih percaya pada takhayul. Orang-
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
10
orang ini adalah kaum monoteis. Mereka ingin agar orang-orang yang percaya kepada takhayul segera insaf dan menganut agama mereka. Orang modern kemudian bekerja sama dengan orang monoteis (fanatik) yang pada dasarnya mempunyai kebencian dengan orang-orang dengan kepercayaan tradisional. Jalan yang ditempuh untuk menghancurkan tradisional adalah dengan menyebarkan isu-isu takhayul dan dengan cara-cara militer. Dengan demikian, tujuan mereka masing-masing dapat terwujud. Pembagian novel menjadi tiga bab, yaitu “Modernisme”, “Monoteisme”, dan “Militerisme” ini secara otomatis menciptakan tiga tema. Jika dilihat secara keseluruhan, tiga tema
ini—modernisme,
monoteisme,
dan
militerisme—merupakan
media
untuk
menyampaikan tema utama. “Modernisme” berbicara tentang pertentangan antara modern dan tradisional. “Monoteisme” berbicara tentang pertentangan antara agama monoteis dengan kepercayaan tradisional. “Militerisme” berbicara tentang pertentangan antara militer dengan antimiliter. Modernisme, monoteisme, dan militerisme adalah tiga hal yang merusak alam. Ketiga hal tersebut harus dihindari. Pada akhirnya, tiga hal tersebut berbicara tentang hal yang sama. Hal ini mengacu pada tema utama, yaitu penyelamatan alam. Analisis Motif Cerita Oedipus dalam Novel Bilangan Fu Dalam novel Bilangan Fu, ada dua bayi yang dibuang pada saat baru lahir. Bayi pertama adalah Parang Jati dan yang kedua adalah Kupukupu. Mereka ditemukan di tempat yang sama, oleh orang yang sama, tetapi di waktu yang berbeda. Parang Jati ditemukan oleh Mbok Manyar, juru kunci mata air desa, di Sendang Hu atau Sendang Hulu atau lubuk ketiga belas. Ia ditemukan dalam keranjang serat pandan yang tersangkut di dekat lumut pakis dan bebatuan. Sama seperti Parang Jati, saat baru lahir Kupukupu ditemukan di Sendang Hulu oleh Mbok Manyar. Akan tetapi, Kupukupu lahir tiga tahun setelah kelahiran Parang Jati. Oleh karena kelahirannya yang sama dengan kelahiran Parang Jati, Kupukupu pun diceritakan sebagai adik Parang Jati—yang bahkan Parang Jati pun tidak tahu jika mereka kakak beradik. Hal ini diungkapkan oleh Sandi Yuda ketika menceritakan kembali kisah tersebut, yaitu " ADA YANG PARANG Jati tak tahu sampai akhir hayatnya kelak. Yaitu, bahwa ia memiliki adik sekandung” (Utami, 2008: 228). Jika dalam kisah Oedipus, pembuangan bayi dilakukan untuk mencegah terjadinya ramalan, dalam novel Bilangan Fu tidak terdapat alasan yang jelas mengenai pembuangan
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
11
bayi tersebut. Salah satu pernyataan yang mengacu pada alasan pembuangan bayi tersebut diungkapkan oleh Suhubudi. Ia menyatakan bahwa bayi tersebut—dalam hal ini hanya Parang Jati—dibuang karena dia anak yang berjari dua belas atau karena dia anak jadah. Akan tetapi, pernyataan tersebut segera disanggah oleh Mbok Manyar. Bagi Mbok Manyar, tidak penting siapa orang yang membuang bayi tersebut dan tidak penting pula alasan pembuangan bayi tersebut. Yang penting bagi Mbok Manyar adalah kehadiran bayi tersebut memiliki arti karena bayi tersebut diletakkan di Sendang Hulu, sendang ketiga belas, mata air yang hampir tak pernah dikunjungi orang, tetapi selalu ia kunjungi. Dalam menceritakan kelahiran dan penemuan bayi tersebut, Ayu Utami menyisipkan dua cerita lain yang memiliki kesamaan motif, yaitu kisah kelahiran Musa serta Siung Wanara. Kisah mengenai kelahiran dan pembuangan Musa dalam novel Bilangan Fu sama seperti yang terdapat dalam Alkitab, yaitu Keluaran 2: 1—10. Musa terdapat seseorang yang mengintai atau membuntuti Musa yang dilarung ke sungai agar bayi tersebut tidak mati, tidak demikian dengan Parang Jati. Menurut penglihatan Mbok Manyar, tidak ada orang lain yang mengintai atau membuntuti bayi tersebut. Yang ada hanyalah seekor burung dan kera. Dengan penggambaran situasi seperti itu, kisah kelahiran Siung Wanara pun disisipkan dalam novel. Siung Wanara adalah sebuah cerita yang berasal dari Jawa Barat. Pembuangan Siung Wanara sendiri memiliki motif yang sama dengan pembuangan Oedipus. Siung Wanara dibuang karena adanya sebuah ramalan. Untuk mencegah terjadinya ramalan tersebut, Siung Wanara yang masih bayi pun dibuang. Kisah kelahiran Parang Jati dan Kupukupu dalam novel Bilangan Fu memiliki motif yang sama dengan kisah Oedipus. Kesamaannya adalah pada motif No. R131. Exposed or abandoned child rescued (anak yang dibuang atau dibiarkan mati di alam terbuka telah ditolong). Oedipus dibuang dan diselamatkan oleh orang Corintha. Parang Jati dan Kupukupu diselamatkan oleh Mbok Manyar. Perbedaannya terletak pada motif pembuangan anak. Oedipus dibuang untuk dibunuh agar ramalan tidak terlaksana, sedangkan Parang Jati dan Kupukupu tidak jelas alasannya. Tidak ada bagian yang berisi alasan pembuangan bayi-bayi tersebut. Jika dikaitkan dengan cerita yang bermotif Oedipus yang disisipkan ke dalam novel, yaitu Sangkuriang dan Watugunung, tidak terdapat kesamaan dalam hal kelahiran. Di sisi lain, motif pembuangan pada saat kelahiran yang sama didukung dengan penyisipan cerita kelahiran Musa dan Siung Wanara.
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
12
Meskipun sama-sama dibuang dan ditemukan oleh Mbok Manyar, nasib Parang Jati dan Kupukupu berbeda. Setelah Mbok Manyar menemukan Parang Jati di Sendang Hulu, ia segera memerintahkan burung siung untuk mengabari Suhubudi. Setelah mendapat kabar dari burung siung, Suhubudi pun bergegas ke Sendang Hulu. Mbok Manyar kemudian memberikan bayi itu kepada Suhubudi. Dari sisi sikap, sifat, serta kemampuannya, Suhubudi digambarkan seperti seorang raja. Ia memiliki rumah yang digambarkan seperti keraton dengan lahan dan wilayah hutan yang luasnya berhektar-hektar. “Keratonnya” itu pun dikenal dengan Padepokan Perguruan Budi. Hal ini berbeda dengan Kupukupu. Ia telantar sehari semalam sebelum akhirnya Mbok Manyar datang ke Sendang Hulu dan menemukannya. Seperti tiga tahun lalu, Mbok Manyar pun segera memerintahkan burung siung untuk memberi kabar kepada Suhubudi. Namun, belum sempat memberi kabar kepada Suhubudi, burung tersebut mati tertembak. Mbok Manyar pun akhirnya pergi sendiri untuk memberikan Kupukupu kepada Suhubudi. Namun, ternyata Suhubudi tidak dapat menerima bayi tersebut. Mbok Manyar pun akhirnya memberikan bayi tersebut kepada sepasang suami istri yang baru saja kehilangan anaknya, yaitu Parlan dan Mentel. Suhubudi menolak untuk memelihara Kupukupu seperti halnya ia memelihara Parang Jati karena ia tidak mau jika ada lebih dari satu Siung Wanara. Dengan demikian, motif No. S354. Exposed infant reared at strange king’s court atau anak yang dibiarkan mati diasuh di kerajaan asing hanya sesuai pada Parang Jati. Motif ini tidak sesuai dengan Kupukupu meskipun motif kelahirannya, yaitu motif No. R131. Exposed or abandoned child rescued (anak yang dibuang atau dibiarkan mati di alam terbuka telah ditolong), sama dengan Parang Jati. Motif pembunuhan juga terdapat dalam novel Bilangan Fu. Akan tetapi, pembunuhan dalam novel hanyalah sebuah pemikiran Parang Jati mengenai manusia dan tradisi. Parang Jati menyatakan bahwa kebanyakan manusia modern adalah Sangkuriang, seperti Oedipus yang merasa harus membunuh ayahnya agar dapat menjadi dirinya sendiri. Berdasarkan pernyataan ini pula, ayah yang dimaksud adalah tradisi yang dianggap sia-sia dan terbelakang. Dalam hal ini, pembunuhan ayah dalam Bilangan Fu termasuk dalam kategori pembunuhan konotatif karena pembunuhan tidak benar-benar membunuh dan ayah yang dimaksud pun bukan ayah sesungguhnya. Parang Jati, sebagai seseorang yang dari sisi kehidupannya mempunyai motif yang sama dengan Oedipus ataupun Sangkuriang, tidak melakukan pembunuhan yang benar-benar berarti pembunuhan terhadap ayah kandungnya. Hal itu karena Parang Jati memang tidak tahu
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
13
siapa ayah kandungnya. Meskipun ia mempunyai Suhubudi yang merupakan ayah angkatnya, Parang Jati pun tidak membunuhnya. Sebenarnya. Parang Jati menyimpan kemarahan terhadap ayahnya, Suhubudi. Ia mempertanyakan hak ayahnya sehingga ayahnya berhak melemparkan Parang Jati untuk hidup bersama sekelompok orang cacat yang dinamakan Saduki Klan. Ia mempertanyakan hak ayahnya sehingga ayahnya berhak menyuruh Parang Jati untuk merasakan duka orang-orang cacat seperti Saduki Klan. Akan tetapi, Parang Jati menyadari bahwa dirinya bukanlah Sangkuriang yang akan membunuh ayahnya. Ia tidak berhak untuk membunuh Suhubudi karena sesungguhnya dirinya adalah anak angkat Suhubudi. Ia tidak berhak membunuh Suhubudi karena Suhubudilah yang menyelamatkannya dan memeliharanya hingga dewasa. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembunuhan ayah oleh anak laki-lakinya dalam novel Bilangan Fu merupakan pembunuhan yang sifatnya konotatif. Hal ini pun tidak merujuk kepada Parang Jati. Dalam hal ini, Parang Jati mengarahkan motif pembunuhan ayah oleh anak laki-lakinya dengan menganalogikannya dengan manusia modern yang membunuh tradisi-tradisi yang dianggap sia-sia dan terbelakang. Penganalogian Parang Jati ini mengarah pada Sandi Yuda yang merupakan manusia modern. Kemodernannya dalam berpikir membuat ia tidak lagi menghargai tradisi-tradisi yang ada. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, Sandi Yuda tidak percaya pada dongeng-dongeng desa serta takhayul. Hal tersebut pun diperjelas Sandi Yuda dengan menyatakan “… Dalam hidupku selama ini, aku tak hendak mempelajari nilai-nilai leluhur sebab aku tak mau berada dalam nilai-nilai itu, yang penuh takhayul dan egaliter” (Utami, 2008: 136). Dengan demikian, motif pembunuhan ayah oleh putranya dalam novel Bilangan Fu tidak sama dengan motif pembunuhan dalam cerita Oedipus. Akan tetapi, motif tersebut tetap ada dan hanya berupa pemakaian gagasan atas motif cerita Oedipus tersebut. Dalam Bilangan Fu, perkawinan sumbang terjadi antara Parang Jati dan Dayang Sumbi, ibu angkatnya. Pada saat itu, Parang Jati berusia tujuh belas tahun dan Dayang Sumbi berusia tiga puluh tahun. Jika perkawinan atau persetubuhan yang terjadi antara anak laki-laki dan ibu dalam cerita Oedipus, Sangkuriang, dan Watugunung itu merupakan hubungan antara anak laki-laki dan ibu kandung, tidak demikian dengan yang terjadi pada Parang Jati. Tidak ada perkawinan antara Parang Jati dengan ibu kandungnya karena sampai akhir cerita pun Parang Jati tidak tahu siapa ibu kandungnya. Akan tetapi, persetubuhan antara Parang Jati dan Dayang Sumbi tetap dapat dikatakan sebagai perkawinan sumbang. Inses yang terjadi antara Parang Jati dan
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
14
Dayang Sumbi lebih mengacu kepada inses antara orang yang memiliki hubungan keluarga, bukan hubungan darah seperti pada kisah Oedipus, Sangkuriang, dan Watugunung. Selain sosok Dayang Sumbi sebagai ibu, Parang Jati juga menganggap tebing di Watugunung serupa dengan penggambaran sosok perempuan, atau lebih tepatnya ibu. Bagi Parang Jati, bentuk tebing di Watugunung menyerupai bentuk vagina. Lambang keperempuanan ini pun lebih mengacu pada ibu, bukan pada perempuan yang belum menjadi ibu. Hal itu diperkuat dengan pernyataan yang diungkapkan kepada Sandi Yuda, yaitu “Yuda. Kamu sudah biasa memaku dan mengebor perempuan di tempat tidur. Dengan tebing, pakailah cara lain.” (Utami, 2008: 51) dan Ah, bidadari sialan itu berkata kau sudah biasa memaku dan mengebor perempuan di ranjang. Dengan ibundamu, pakailah cara lain.” Pengulangan tersebut memberikan suatu kesimpulan bahwa Parang Jati menganggap tebing adalah ibu. Jadi, menurut Parang Jati, apabila kita ingin bersatu dengan ibunda, gunakanlah cara-cara yang satria dan wigati, yang baginya terwujud dalam sebuah pemanjatan bersih atau clean bahkan sacred climbing. Pemanjatan sebaiknya dilakukan tidak dengan artificial climbing¸atau bagi Parang Jati pemanjatan kotor. Pemanjatan kotor, dengan memaku dan mengebor tebing, serta dengan hal-hal lain yang dapat merusak tebing, baginya sama saja dengan memperkosa perempuan. Pandangan Parang Jati mengenai tebing yang merupakan penggambaran perempuan membuat Sandi Yuda merasa bagaikan Sangkuriang dan Watugunung, lelaki yang ingin bersatu dengan ibundanya. Yang patut digarisbawahi dalam pernikahan sumbang dalam cerita-cerita bermotif Oedipus adalah sang perempuan tidak mengetahui bahwa lelaki yang menikahi atau akan menikahinya adalah anak kandungnya. Setelah terjadi peristiwa tertentu, sang perempuan akhirnya menyadari bahwa suaminya ternyata adalah anak kandungnya sendiri. Dalam kisah Oedipus, Jocasta akhirnya mengetahui bahwa Oedipus sebenarnya adalah anak kandungnya setelah pembunuh Raja Laius terkuak. Pada kisah Sangkuriang, Dayang Sumbi mengetahui jika Sangkuriang adalah anaknya setelah ia melihat bekas luka di kepala Sangkuriang. Begitu pula dalam kisah Watugunung. Hal ini berbeda dengan kisah inses dalam novel Bilangan Fu. Sang ibu, Dayang Sumbi, mengetahui bahwa Parang Jati adalah anaknya—meski bukan anak kandung. Parang Jati pun sudah tahu bahwa Dayang Sumbi bukan ibu kandungnya dan Suhubudi juga bukan ayah kandungnya. Dalam novel Bilangan Fu, Parang Jati tidak menikah dengan ibu kandungnya karena dalam cerita tidak dijelaskan mengenai ibu kandungnya. Dalam hidupnya,
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
15
ada Mbok Manyar yang dianggap sebagai ibu perantara. Ada pula Dayang Sumbi, perempuan yang dinikahi Suhubudi beberapa tahun setelah Suhubudi mengangkat Parang Jati sebagai anaknya. Dengan demikian, perkawinan sumbang dalam novel ini terjadi dalam dua jenis, yaitu perkawinan sumbang yang bersifat konotatif dan yang bersifat denotatif. Persetubuhan yang terjadi antara Parang Jati dan Dayang Sumbi merupakan perkawinan denotatif. Upaya penyatuan Parang Jati dengan tebing—yang ia anggap sebagai lambang ibunda—dapat dikatakan sebagai sebuah perkawinan dengan ibunda yang bersifat konotatif.
No.
1. 2.
3.
4. 5.
6. 7.
8.
Tabel 1.1 Perbandingan Motif Oedipus dalam Oedipus Sang Raja, Sangkuriang, Watugunung, dan Bilangan Fu Motif Tokoh Oedipus Sangkuriang Watugunung Parang Jati Parricide prophecy (ramalan √ mengenai pembunuhan seorang ayah oleh anak kandungnya) Mother incest prophecy (ramalan √ mengenai perkawinan sumbang antara seorang lelaki dengan ibu kandungnya) Exposure of child to prevent √ fullfilment of parricide prophecy (membiarkan anak mati dengan sendirinya di alam terbuka untuk mencegah terwujudnya ramalan pembunuhan ayah oleh putra kandungnya) Compassionate executioner (algojo √ yang tidak tega hati) Exposed or abandoned child √ √ √ rescued (anak yang dibiarkan mati di alam terbuka atau dibuang telah ditolong) Exposed infant reared at strange √ √ king’s court (anak yang dibiarkan mati diasuh di kerajaan asing) Parricide prophecy unwittingly √ √ √ fulfilled (ramalan tentang pembunuhan ayah oleh putra kandungnya dengan tidak sengaja terlaksana) Mother son incest (perkawinan √ √ √ √ sumbang antara ibu dan putra kandungnya)
Kupukupu
√
Berdasarkan deskripsi motif cerita Oedipus yang terdapat dalam novel Bilangan Fu, terlihat adanya kesejajaran antara tokoh dalam novel dengan tokoh dalam cerita bermotif
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
16
Oedipus. Jika kita melihat pada motif “penyelamatan bayi yang dibuang atau dibiarkan mati”, tokoh Parang Jati dan Kupukupu dapat disejajarkan dengan tokoh Oedipus. Adanya dua sisipan cerita lainnya, yaitu kisah kelahiran Musa serta kisah Siung Wanara juga membuat Parang Jati sejajar dengan Musa dan Siung Wanara. Tokoh Mbok Manyar dalam Bilangan Fu sejajar dengan sosok orang Corintha dalam Oedipus Sang Raja. Pada motif selanjutnya, yaitu motif “anak yang dibuang atau dibiarkan mati diasuh oleh raja asing”, sosok raja asing yang mengasuh itu adalah Suhubudi. Ia sejajar dengan Polybus dan Merope dalam Oedipus Sang Raja. Akan tetapi, apabila kita melihat pada sosok bayi yang diasuh, motif ini hanya cocok pada Parang Jati karena Kupukupu tidak diasuh oleh Suhubudi. Dengan demikian, Parang Jati sejajar dengan sosok Oedipus karena kesesuaian dengan dua motif cerita Oedipus. Sosok pembunuh ayah dalam cerita bermotif Oedipus pada motif “pembunuhan ayah oleh putranya” disejajarkan dengan orang-orang modern secara umum dan Sandi Yuda secara khusus. Pembunuhan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam novel Bilangan Fu adalah pembunuhan dalam arti konotatif, bukan pembunuhan dalam arti denotatif. Pada motif “perkawinan sumbang antara ibu dengan anak kandungnya”, tokoh Parang Jati sejajar dengan tokoh laki-laki yang mengawini ibunya sendiri, yaitu Oedipus, Sangkuriang, dan juga Prabu Watugunung. Sosok ibu yang kawin dengan putranya sendiri, Jocasta, Dayang Sumbi, dan Dewi Sinta sejajar dengan tokoh Dayang Sumbi dalam novel. Selain itu, berdasarkan pemikiran Parang Jati, sosok Oedipus atau Sangkuriang juga sejajar dengan para pemanjat yang ingin bersatu dengan ibundanya yang diwujudkan dalam bentuk tebing. Motif “penyelamatan anak yang dibuang atau dibiarkan mati” dan “anak yang dibuang atau dibiarkan mati diasuh oleh raja asing” terdapat pada subbab “Kelahiran” dan “Ulat”. Subbab “Kelahiran” berisi riwayat kelahiran Parang Jati, mulai dari penemuan dirinya oleh Mbok Manyar hingga penyerahan kepada Suhubudi. Subbab “Ulat” berisi riwayat kelahiran Kupukupu. Subbab ini berjudul “Ulat” terkait dengan kelahiran Kupukupu. Mbok Manyar memberi bayi yang ia temukan dengan nama Kupukupu. Kehidupan yang dijalani Kupukupu serupa dengan metamorfosis kupu-kupu. Sebelum menjadi kupu-kupu yang indah, ada proses yang harus dijalani, mulai dari ulat, lalu kepompong, dan barulah menjadi kupu-kupu. Berdasarkan diagram alur novel, subbab “Kelahiran” dan “Ulat” termasuk ke dalam tahap pengenalan atau penyituasian. Dua subbab tersebut terdapat dalam bab “Monoteisme”,
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
17
yaitu bab yang berupa arus balik dari bab sebelumnya, “Modernisme”. Bab ini juga merupakan penceritaan tentang awal mula pertentangan antara Parang Jati dan Kupukupu. Motif “anak yang dibiarkan mati diasuh di kerajaan asing” dalam novel Bilangan Fu juga terletak pada bagian yang sama dengan motif penyelamatan. Pada bagian tersebut, hal yang terpenting adalah alasan pemilihan Suhubudi sebagai orang yang akan memelihara Parang Jati. Mbok Manyar melihat bahwa penggerusan bebatuan di Watugunung semakin banyak. Apalagi sejak perusahaan melakukan penambangan di sana. Yang terjadi adalah eksploitasi alam. Oleh karena itu, Mbok Manyar ingin Parang Jati tumbuh menjadi anak yang pintar sehingga mampu menyelamatkan Watugunung dari eksploitasi alam. Untuk mencapai tujuan ini, Suhubudilah yang dapat mewujudkan hal tersebut karena Suhubudi mampu menyediakan kehidupan dan pendidikan yang terbaik. Dengan alasan dan tujuan seperti itu, motif pengasuhan tersebut pun berfungsi sebagai cara untuk menyampaikan tema novel ini, yaitu penyelamatan alam. Motif “pembunuhan ayah oleh putranya” terdapat pada subbab “Sajenan”. Subbab ini termasuk ke dalam tahap penyituasian. Subbab-subbab tersebut berkaitan dengan konflik A. Dalam novel Bilangan Fu, perihal pembunuhan ayah oleh anak laki-lakinya tidak dipaparkan dengan jelas. Hal ini hanya merupakan sebuah pernyataan Parang Jati mengenai sikap manusia modern yang tidak lagi menghargai tradisi yang ada, bahkan membunuh tradisi tersebut. Manusia modern dianggap sama seperti Sangkuriang dan tradisi dianggap sebagai ayah. Motif pembunuhan terhadap ayah oleh anak laki-lakinya yang terdapat dalam novel Bilangan Fu berkaitan dengan tema modernisme. Motif tersebut berfungsi untuk menyampaikan kritik Parang Jati terhadap modernisme. Kritik tersebut terdapat pada bab “Kritik atas Modernisme”. Pada bagian ini, Parang Jati membandingkan hal modern dengan tradisional. Secara lebih perinci, Parang Jati membandingkan modernisme dengan kepercayaan tradisional, yaitu takhayul. Berdasarkan sudut pandang Parang Jati, modernisme mempunyai jalan yang lurus, tapi bukan tujuan yang lurus, sedangkan takhayul mempunyai tujuan yang lurus, tetapi bukan jalan yang lurus. Modernisme adalah alat untuk memperalat, sedangkan takhayul adalah alat untuk diperalat. Bagi Parang Jati, orang-orang yang percaya pada takhayul lebih memelihara alam dibandingkan orang-orang dengan kepercayaan modern. Dengan percaya bahwa setiap tempat di alam raya ini ada “penunggunya”, orang-orang yang percaya pada takhayul tidak berani
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
18
untuk mengganggu keberadaan “mereka”. Jika mereka melanggar, mereka akan mendapat ganjarannya. Efek lain dari ketidakberanian tersebut adalah alam raya yang terpelihara. Sebaliknya, orang-orang yang telah berkenalan dengan pemikiran modern cenderung tidak percaya pada hal-hal yang tidak dapat dibuktikan atau diterangkan dengan akal sehat. Mereka yang tidak percaya menjadi lebih berani dan lebih rakus untuk memanfaatkan kekayaan alam. Dampak buruknya adalah alam yang menjadi rusak dan tidak terpelihara karena ada eksploitasi alam secara besar-besaran. Dengan demikian, motif ini berfungsi untuk menyampaikan tema utama novel Bilangan Fu, yaitu penyelamatan alam. Motif “perkawinan sumbang antara ibu dan putranya” terbagi menjadi 2 jenis, yaitu motif denotatif dan motif konotatif. Motif denotatif terdapat pada subbab “Kejatuhan” dalam bab “Modernisme. Subbab ini merupakan klimaks dari konflik B. Persetubuhan yang terjadi antara Parang Jati dan Dayang Sumbi tidak dapat dilepaskan dari peran mereka dalam sirkus Saduki Klan. Dalam sirkus manusia aneh tersebut, Parang Jati yang berjari duabelas berperan sebagai Sangkuriang dan Dayang Sumbi yang tak bersuara berperan sebagai Dayang Sumbi. Dalam dongeng, Sangkuriang adalah anak laki-laki yang menikahi ibu kandungnya sendiri, yaitu Dayang Sumbi. Dalam kisah Bilangan Fu, Parang Jati bersetubuh dengan Dayang Sumbi yang merupakan ibu angkatnya. Motif konotatif terdapat pada subbab “Watugunung” dalam bab “Modernisme”. Subbab ini merupakan tahap pengenalan. Sangkuriang dan Watugunung sebagai sebuah cerita rakyat muncul dalam novel Bilangan Fu pada bab “Watugunung”. Pada bagian ini, penyisipan cerita berfungsi sebagai pengait antara latar tempat dengan dongeng yang berkaitan dengan tempat tersebut. Selain itu, tokoh Sandi Yuda juga mengasosiasikan tokoh Tumang, anjing dalam cerita Sangkuriang, dengan alat kelamin laki-laki. Di sisi lain, penyisipan cerita Sangkuriang juga berkaitan dengan pemikiran Parang Jati yang menganggap tebing serupa dengan ibu. Sama seperti motif sebelumnya, motif ini juga berfungsi untuk menyampaikan tema penyelamatan alam. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa motif cerita Oedipus dalam novel Bilangan Fu mencakup konflik A dan konflik B. Dari sini, terlihat bahwa konflik B, yaitu persetubuhan antara Parang Jati dan Dayang Sumbi, digunakan untuk menyejajarkan sekaligus menyatakan konflik A, yaitu konflik yang berkaitan dengan Watugunung. Motif “pembunuhan ayah” dan “perkawinan sumbang” yang terdapat pada cerita-cerita bermotif Oedipus digunakan untuk menyampaikan permasalahan tentang orang-orang modern yang membunuh tradisi dan tentang pemanjat yang seolah ingin bersatu dengan tebing yang diibaratkan sebagai ibunya. Bentuk tebing di Watugunung digambarkan menyerupai vagina. Adanya istilah “ibu pertiwi”
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
19
atau “mother earth” dalam kaitannya dengan alam juga dapat dihubungkan dengan motif inses dalam novel Bilangan Fu tersebut. Kesimpulan Intertekstualitas adalah salah satu upaya untuk memaknai karya sastra dengan lebih dalam. Dengan mengkaji teks-teks yang berkaitan, interpretasi terhadap karya sastra tersebut dapat menjadi lebih dalam. Demikian pula halnya dengan novel Bilangan Fu. Dengan mengkaji teks-teks yang berkaitan dengan novel tersebut, interpretasi terhadap novel ini pun dapat menjadi lebih dalam. Dalam novel Bilangan Fu, Ayu Utami “membeberkan” cerita-cerita yang ia sisipkan ke dalam novel. Dengan gamblang ia memberitahukan judul atau sumber cerita-cerita lain yang ia sisipkan ke dalam novel. Hal ini membantu dalam proses interpretasi dari sisi intertekstualitas. Salah satu bentuk pembeberan itu adalah dengan menyebutkan kisah-kisah seperti Sangkuriang dan Prabu Watugunung dalam cerita. Kedua cerita tersebut, yaitu Sangkuriang dan Prabu Watugunung adalah cerita yang bermotif Oedipus. Sangkuriang dan Watugunung memiliki beberapa motif yang sama dengan motif cerita Oedipus. Kesamaan yang paling utama adalah pada motif perkawinan sumbang antara ibu dan anak laki-lakinya. Motif cerita Oedipus yang muncul dalam novel Bilangan Fu yaitu (1) penyelamatan bayi yang dibuang, (2) pengasuhan bayi yang dibuang oleh kerajaan asing, (3) pembunuhan ayah oleh anaknya, dan (4) perkawinan sumbang antara anak dan ibunya. Dengan demikian, cerita-cerita bermotif Oedipus dalam novel Bilangan Fu, ternyata bukanlah sekadar lanturan. Adanya motif cerita Oedipus dalam Bilangan Fu merupakan pemanfaatan motif yang sudah ada. Pemanfaatan motif cerita Oedipus terlihat dari adanya hubungan unsur-unsur intrinsik novel Bilangan Fu dengan cerita-cerita bermotif Oedipus. Unsur-unsur yang berhubungan itu adalah tokoh, alur, dan tema. Saran Selain cerita-cerita yang berkaitan dengan kisah Oedipus, dalam novel Bilangan Fu juga terdapat sisipan lain, baik berupa sisipan berita ataupun cerita. Hal ini membuka kesempatan untuk penelitian lain yang berkaitan dengan intertekstualitas. Selain itu, novel ini juga dapat dianalisis dengan pendekatan lain, misalnya sosiologi sastra, psikologi sastra, bahkan semiotik.
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014
20
Daftar Referensi Ajidarma, Seno Gumira. 2000. Matinya Seorang Penari Telanjang. Yogyakarta: Yayasan Galang. Alkitab. 1993. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Danandjaja. James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Haryono, Edi. 1994. Sangkuriang: Cerita Rakyat dari Jawa Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Inderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Lessa, William A. 1956. “Oedipus-Type in Oceania” dalam The Journal of American Folklore, Vol. 69, No. 271. Nurgiyantoro, Burhan. 1988. Teori Pengkajian Fiksi. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. Peneliti Muda (Litmud) Unpad. 2007. Folklor Lisan Sunda dan Rusia: Tinjauan Perbandingan Motif. Jatinangor: Lembga Penelitian Universitas Padjajaran. Pramanik, Niken. 1996. “Struktur Cerita Rakyat Indonesia yang Bermotif Oedipus.” (Skripsi Sarjana Fakultas Sastra UI). Tidak diterbitkan. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid III. 2007. Jakarta: Balai Pustaka. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rochkyamtom Amir, dkk. (terj.) 2004. Babad Tanah Jawi: Mitologi, Legenda, Folklor, dan Kisah Raja-raja Jawa. Jakarta: Amanah-Lontar. Rosidi, Ajip. 1961. Tjiung Wanara: Sebuah Tjeritapantun Sunda. Bandung: Penerbit Tiara. Sophocles (terj.). 1976. Oidipus Sang Raja. Jakarta: Pustaka Jaya. Stephanides, Menelaos dan Yannis. 1994. Oedipus: Tragedi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Subalidinta, R.S. (penyalin). 1985. Serat Kandhaning Ringgit Purwa Jilid 1: Menurut Naskah Tangan LOr 6379. Jakarta: Penerbit Djambatan. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. ___________. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Thompson, Stith. 1955—1958. Motif-Index of Folk Literature: A Classification of Narrative Elements in Folktales, Ballads, Myths, Fables, Mediaeval Romances, Exempla, Fabliaux, Jest-Books, and Local Legends. Vol. 1—6. Indiana: Indiana University Press. Utami, Ayu. 2008. Bilangan Fu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Motif cerita..., Ani Nuraini Syahara, FIB UI, 2014