BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1
Pareto Chart Menurut (Mengesha, Awaj, Singh, Yimer, & Amedie, 2013), diagram Pareto merupakan sebuah diagram khusus dimana nilai-nilai yang terdapat pada diagram tersebut diurutkan berdasarkan nilai dari yang terbesar hingga terkecil. Penggunaan dari diagram Pareto yaitu untuk menyoroti suatu kejadian yang paling sering terjadi atau permasalahan yang paling sering muncul. Dijelaskan oleh (Magar & Shinde, 2014), prinsip Pareto juga dikenal dengan aturan 80/20 yang diinterpretasikan dengan 20% dari permasalahan yang ada memberikan kontribusi eror atau defect sebanyak 80% dari keseluruhan masalah. Diagram ini dibuat dengan memakai data-data yang telah dikumpulkan, dan hanya 20% dari sumber permasalahan utama yang menyumbang mayoritas defect tersebutlah yang akan dilakukan penyelesaian. Dengan demikian, penyebab utama suatu masalah akan berkurang jika mayoritas penyebabnya juga menurun.
2.2
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) Menurut penjelasan (Rakesh, Jos, & Mathew, 2013), failure mode and effect analysis (FMEA) merupakan suatu model sistematis untuk mengidentifikasi dan mencegah suatu permasalahan yang ada di suatu sistem.Pada umumnya, metode ini dilaksanakan pada tahap pengembangan desain atau proses. FMEA pada pengembangan desain membantu dalam mengidentifikasi potensial kegagalan yang diketahui dan dapat diramalkan, lalu memberikan peringkat berdasarkan dampaknya terhadap suatu produk. FMEA pada proses diimplementasikan untuk mengidentifikasi suatu potensial kegagalan pada proses dengan memberikan peringkat dan menentukan prioritas tergantung pada dampaknya. Dijelaskan oleh Sellappan & Palanikumar (2013) bahwa penggunaan FMEA dilakukan dengan proses diskusi dari divisi yang berbeda pada perusahaan untuk menganalisis penyebab kegagalan terhadap komponen dan subsistem pada suatu proses atau produk.FMEA menggunakan kriteria-kriteria kemungkinan kejadian (occurrence), deteksi (detection), dan tingkat kerusakan (severity) untuk menentukan risk priority numbers (RPN) dan risk score value (RSV) agar nantinya digunakan untuk menentukan aksi dari risiko yang diprioritaskan. Dalam penentuan nilai RPN dan RSV, terdapat kriteria dalam melakukan penilaian tersebut. RPN merupakan sebuah nilai yang didasarkan pada tiga penilaian: severity (S), occurrence (O), dan detection (D).Sedangkan RSV hanya menggunakan severity (S) dan occurrence (O).Skala penilaian tersebut mulai dari 1 hingga 10. Berikut merupakan perhitungan untuk menentukan nilai RPN dan RSV: RPN = O x S x D RSV = O x S Berikut merupakan tabel yang menunjukkan keterangan dalam melakukan penilaian severity (S), occurrence (O), dan detection (D).
5
6
Tabel 2.1 Skala Penilaian untuk Occurrence, Severity, dan Detection Skor Occurrence(O) Severity (S) Detection (D) Hampir tidak pernah Tidak ada efek Hampir pasti 1 Sangat jarang Sangat kecil/ Sangat mudah 2 minor Cukup jarang Kecil/ minor Mudah 3 Sedikit jarang Sangat rendah Cukup mudah 4 Jarang Rendah Biasa saja 5 Sedikit sering Sedang Agak sulit 6 Cukup sering Tinggi Cukup sulit 7 Sering Sangat tinggi Sulit 8 Sangat Sering Serius Sangat sulit 9 Hampir selalu terjadi Sangat berbahaya/ Hampir tidak 10 serius mungkin Sumber: Sellappan & Palanikumar (2013)
Skor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 2.2 Skala Peringkat Severity Dampak Tingkat Kerusakan Tidak ada efek Tidak ada Sangat kecil/ minor Penyebab diketahui, sedikit kerusakan pada prosedur Kecil/ minor Penyebab diketahui, sedikit kerusakan pada proses Sangat rendah Penyebab diketahui, sedikit kerusakan pada peraturan Rendah Penyebab diketahui, banyak kerusakan pada prosedur Sedang Penyebab diketahui, banyak kerusakan pada proses Tinggi Penyebab diketahui, banyak kerusakan pada peraturan Sangat tinggi Penyebab tidak diketahui, masalah diketahui dan dapat diatasi Serius Penyebab tidak diketahui, masalah diketahui dan tidak dapat diatasi Sangat berbahaya/ serius Penyebab tidak diketahui, masalah tidak diketahui
Sumber: Faizal & Palaniappan (2014)
Tabel 2.3 Skala Peringkat Occurrence Skor Kemungkinan Kejadian Tingkat Terjadinya Risiko <1 dari 1.500.000 Hampir tidak pernah 1 1 dari 150.000 Sangat jarang 2 1 dari 15.000 Cukup jarang 3 1 dari 2.000 Sedikit jarang 4 1 dari 400 Jarang 5 1 dari 80 Sedikit sering 6 1 dari 20 Cukup sering 7 1 dari 8 Sering 8 1 dari 3 Sangat Sering 9
7
10
>1 dari 2
Hampir selalu terjadi
Sumber: Faizal & Palaniappan (2014)
Skor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 2.4 Skala Peringkat Detection Deteksi Kemungkinan Dideteksi Hampir pasti Pengendalian pasti dapat mencegah risiko Sangat mudah Sangat besar risiko dapat dicegah Mudah Besar risiko dapat dicegah Cukup mudah Kemungkinan risiko dapat dicegah Biasa saja Risiko cukup berkesempatan untuk dapat dicegah Agak sulit Kecil kemungkinan risiko dapat dicegah Cukup sulit Cukup kecil kemungkinan risiko dapat dicegah Sulit Tipis kemungkinan risiko dapat dicegah Sangat sulit Sangat tipis kemungkinan risiko dapat dicegah Hampir tidak Pengendalian tidak dapat mencegah mungkin risiko
Sumber: Faizal & Palaniappan (2014)
2.3
Peramalan Chopra & Meindl (2010) menyatakan bahwa peramalan permintaan merupakan landasan dari segala proses perencanaan dalam supply chain. Kemampuan untuk melakukan perencanaan dengan tepat merupakan sebuah kemampuan yang penting yang harus dimiliki oleh perusahaan untuk mengintegrasi proses internal dan external supply chain. Menurut Chopra & Meindl (2010), perusahaan dan supply chain manager harus dapat mengetahui karakteristik dari peramalan: 1. Peramalan (forecast)selalu tidak akurat dan harus menyertakan nilai yang diperkirakan dalam sebuah peramalan dan memperkirakan kemungkinan peramalan yang dibuat melakukan kesalahan atau nilai yang diramalkan meleset dari nilai yang sesungguhnya. Kesalahan dalam peramalan merupakan kunci dalam setiap proses supply chain. 2. Peramalan jangka panjang umumnya lebih tidak akurat jika dibandingkan dengan peramalan jangka pendek. Karena, peramalan jangka panjang memiliki nilai standar deviasi yang lebih besar dibandingkan dengan peramalan jangka pendek. 3. Peramalan Aggregate pada umumnya lebih akurat jika dibandingkan dengan peramalan disaggregate. Peramalan aggregate cenderung memiliki nilai standar deviasi yang lebih rendah. Sebuah perusahaan harus mengetahui dan mendalami metode-metode peramalan. Metode peramalan diklasifikasikan beberapa jenis sebagai berikut: 1. Metode kualitatif MenurutRender, Stair, & Hanna (2012), metode kualitatif menggabungkan penilaian atau faktor yang bersifat subjektif kedalam suatu peramalan. Pendapat dari para ahli, serta pengalaman pribadi terhadap
8
bidang yang berkaitan akan sangat mempengaruhi hasil dari metode ini. Metode kualitatif akan cocok untuk digunakan jika data kuantitatif sulit diperoleh dan terdapat berbagai faktor subjektif yang dipertimbangkan. Contoh dari metode kualitatif adalah metode Delphi.Render, Stair, & Hanna(2012)beranggapan pada metode ini pengambilan keputusan dilakukan oleh suatu group yang terdiri dari tiga bagian yang berbeda yakni: pembuat keputusan, staff, dan responden. Para staff melakukan pengumpulan, pengolahan, dan meringkas data kuesioner dan survey. Para responden melakukan penilaian mengenai data-data yang telah dikumpulkan dan memberikan masukan kepada para pembuat keputusan sebelum keputusan tersebut dibuat. 2. Metode kuantitatif Menurut Render, Stair, & Hanna(2012), dalam metode kuantitatif dibutuhkan data kuantitatif yang akurat dan diperbarui secara berkala, sehingga prosedur untuk melakukan peramalan dapat dilakukan secara berkala. Terdapat tiga metode dalam penggunaan kuantitatif dan dalam perusahaan mungkin hanya menggunakan satu dari metode tersebut atau mungkin kombinasi dari ketiganya. Chopra & Meindl (2010), mengelompokan model peramalan kuantitatif menjadi tiga, yakni: a. Time series Metode peramalan time series menggunakan data dari masa lalu untuk melakukan sebuah peramalan. Metode ini baik digunakan jika keadaan lingkungan stabil dan perbedaan pola permintaan tidak jauh berbeda setiap tahunnya. Metode ini merupakan metode yang paling mudah untuk digunakan. b. Causal Metode peramalan causal menggabungkan faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi peramalan kedalam perhitungan peramalan. Metode causal juga dapat menyertakan data dari penjualan sebelumnya kedalam sebagai data time series dan memadukannya dengan faktor lainnya. c. Simulation Simulasi adalah teknik yang menggunakan angka acak untuk menarik sebuah kesimpulan mengenai probability distributions. Datadata yang telah dikumpulkan dalam jangka waktu yang lama dapat di kembangkan dalam hitungan detik dengan menggunakan komputer. 2.3.1 Pola Permintaan Menurut Reid & Sanders (2010), untuk membuat sebuah ramalan seorang profesional bergantung dari bermacam-macam model yang dipilihnya. Pemilihan model tergantung kepada banyak faktor, seperti time horizon, data pattern, the experience of the forecaster, dan evaluation technique. Pola data banyak mempengaruhi pemilihan model yang digunakan dalam peramalan. Dengan adanya pola, praktisi dapat menentukan bagaimana kecenderungan data di masa lalu dan dapat memprediksi data di masa yang akan datang. Pola data juga dapat menyajikan hubungan antara dua variabel atau lebih.Data pattern dapat berupa horizontal, trend, seasonal, dan cyclical. 1. Horizontal pattern Cakupan waktu merupakan faktor yang penting untuk dapat mengetahui apakah horizontal pattern ini dapat dilihat atau tidak. Semakin
9
sedikit cakupan waktu semakin besar kemungkinan data tersebut memiliki horizontal pattern. 2. Trend pattern Trend pattern mengacu kepada sebuah pertumbuhan jangka panjang dalam sebuah rangkaian waktu. Dalam hal ini, pergerakan dapat berupa tren naik,dan tren turun. 3. Seasonal pattern Seasonal pattern adalah saat dimana data dapat diprediksi dan berulang-ulang dalam periode satu tahun atau kurang. Menurut Wisner, Tan, & Leong (2012) variasi seasonal memperlihatkan pola puncak dan lembah yang berulang dalam interval yang konsisten dalam hitungan jam, hari, minggu, bukan, tahun, atau musiman. 4. Cyclical pattern Cyclical pattern terjadi ketika terjadi sebuah perluasan maupun penyusutan dalam bisnis dan ekonomi sehingga akan sangat sulit untuk melakukan prediksi karena pergerakan terjadi dalam jangka waktu yang panjang sekitar lebih dari satu tahun. Dalam membuat sebuah cyclical pattern akan sangat sulit karena siklus tidak berulang dalam interval waktu yang tetap.
(Sumber:Reid & Sanders, 2010)
Gambar 2.1Demand Pattern 2.3.2 Metode Peramalan Time Series Render, Stair, & Hanna(2012) menyatakan bahwa metode time series bertujuan untuk melakukan peramalan berdasarkan data masa lalu. Model ini membuat asumsi dimana permintaansebuah periode yang akan terjadi di masa depan ada kaitannya dengan permintaanpada periode di masa lalu.
10
1. Moving Average Menurut Wisner, Tan, & Leong (2012), metode moving average adalah sebuah metode yang menggunakan data masa lalu untuk melakukan peramalan dan akan efektif bila permintaan dari waktu ke waktu stabil.
Dimana: F(t+1)= peramalan untuk periode t+1 n = banyaknya periode untuk menghitung moving average Ai = permintaan pada periode i 2. Simple Exponential Smoothing Menurut Wisner, Tan, & Leong (2012), peramalan exponential smoothing merupakan peramalan yang memerlukan data yang lebih sedikit dibandingkan dengan moving average karena hanya memerlukan dua data. Karena kemudahannya dan persyaratan data yang sedikit, metode ini merupakan metode yang paling sering digunakan oleh masyrakat luas. Menurut Chopra & Meindl (2010), berikut rumus untuk simple exponential smoothing.
Dimana: Ft : peramalan untuk periode t Dt: Permintaan untuk periode t α : smoothing constant (0<α<1) 3. Trend-Corrected Exponential Smoothing Menurut Chopra & Meindl (2010),Trend-corrected exponential smoothing(holt’s model)adalah sebuah metode yang baik digunakan jika permintaan memiliki sebuah trend dan level akan tetapi bukan tren dan level dalam jangka panjang (seasonal). dan Setelah mengetahui permintaan untuk periode t, praktikan melakukan estimasi untuk level,dan tren sebagai berikut(Chopra & Meindl, 2010):
Dimana α adalah nilai dari smoothing constant untuk level, 0<α<1, dan β merupakan nilai dari smoothing constant untuk tren dimana 0<β<1. 4. Trend-and Seasonality-Corrected Exponential Smoothing(Winter’s model) Menurut Chopra & Meindl (2010),winter’s model dapat digunakan jika sebuah permintaan terdapat faktor trend, level, dan faktor musiman (seasonal). dan Setelah mengetahui permintaan untuk periode t+1 faktor-faktor dari level, trend,dan seasonaldapat dicari dengan cara sebagai berikut:
11
Dimana α adalah nilai dari smoothing constant untuk level, 0<α<1, dan β merupakan nilai dari smoothing constant untuk tren dimana 0<β<1. Dan γ adalah nilai dari smoothing constant untuk faktor musiman (seasonal) dimana 0<γ<1. 5. Regresi Linier Merupakan dasar kecenderungan dari suatu persamaan karena dengan persamaan tersebut dapat diproyeksikan hal-hal yang akan diteliti di masa mendatang. Bentuk formula dari metode ini yaitu: Yt = a + bt Dimana: a (intercept)= (Y-bt)/n atau menggunakan rumus excel (=intercept(nilai y, nilai x)) b (slope)= n∑ty – ∑(t) ∑(y) atau menggunakan rumus excel (=slope(nilai y, nilai x)) 2.3.3 Ketepatan Peramalan Tujuan utama dari segala peramalan adalah untuk memiliki tingkat akurat data yang tinggi. Kerugian yang harus dihadapi oleh sebuah perusahaan apabila peramalannya tidak tepat adalah menurunnya penjualan, pembeli yang tidak puas, dan kehilangan kepercayaan. Perusahaan harus dapat mengurangi dari kesalahan peramalan dan harus meningkatkan teknik peramalannya(Wisner, Tan, & Leong, 2012). Menurut Render, Stair, & Hanna(2012), untuk mengetahui seberapa baik suatu metode peramalan bekerja, atau membandingkan dengan metode lain, nilai dari peramalan dapat dibandingkan dengan nilai yang sebenarnya. Rumus forecast error(deviasi) dapat dituliskan sebagai berikut: Forecast error = actual value – forecast value 1. MAD (Mean Absolute Deviation) Salah satu cara untuk mengukur tingkat akurasi peramalan adalah MAD (mean absolute deviation). MAD dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah dari forecast error yang telah di mutlakkan dan dibagi dengan jumlah peramalan yang salah (error).
Dimana: n = banyaknya kesalahan dalam perhitungan 2. MSE (Mean Square Error) Cara lain untuk mengukur tingkat akurasi ramalan selain MAD, dan yang paling sering digunakan adalah MSE(Mean Square Error).
3. MAPE (Mean Absolute Percent Error) Selain MAD dan MSE, MAPE (Mean Absolute Percent Error) dapat digunakan. MAPE adalah rata-rata dari nilai mutlak dalam persentase dari nilai yang sebenarnya.
12
Dimana: Dt = Permintaan pada periode 4. Tracking Signal Merupakan salah satu cara untuk mengetahui seberapa baik ramalan yang telah dilakukan dibandingkan dengan nilai yang sebenarnya.
2.4 Sistem Pengendalian Persediaan Dengan Metode Continuous Review System Gozali, Adianto, & Halim (2013) menjelaskan bahwa inventory management merupakan suatu kegiatan mengenai manajemen operasi utama. Inventory management yang baik merupakan hal penting dalam mencapai keberhasilan bisnis dan rantai supply. Berdasarkan penjelasan Gozali, Adianto, & Halim (2013), sistem persediaan dengan jumlah pemesanan tetap, sedang jarak waktupemesananberubah-ubah, sistem ini biasa disebut sistem Q, atau Continous Review System atau sistem jumlah pesanan tetap. Metode ini digunakan untuk mengantisifasi laju perubahan permintaan yang menjadi acak atau probabilistik.Persediaan diawasi setiap kali terjadi transaksi pemakaian persediaan dan kemudian persediaan yang ada dibandingkan dengan reorder point. Jika posisi persediaan sama atau lebih kecil dari reorder point, maka dilakukan pemesanan kembali dengan jumlah pemesananyang tetap. Dan jika posisi persediaan lebih besar dari reorder point berarti tidak ada tindakan pemesanan yang perlu dilakukan. 2.4.1 Biaya Inventory Berdasarkan penjelasan Godwin & Onwurah (2013), dalam inventory management, terdapat tiga biaya dasar, yaitu: 1. Biaya Simpan (Holding Cost) Merupakan biaya yang dikeluarkan untuk barang dalam penyimpanan. 2. Biaya Pesan (Order Cost) Merupakan biaya yang berhubungan dengan aktivitas pemesanan dan penerimaan barang. 3. Biaya Kekurangan (Shortage Cost) Merupakan biaya yang dikeluarkan pihak perusahaan apabila terdapat permintaan yang melebihi persediaan inventory. 2.4.2 Metode Q,R MenurutNahmias (2009), metode continuous review system(Q,R) merupakan sebuah system persediaan dengan jumlah pemesanan yang tetap, namun waktu pesan dapat berubah. Metode ini diaplikasikan sebagai tindak antisipasi laju perubahan permintaan yang menjadi acak. Kelemahan yang ada pada sistem ini yaitu perlu dilakukan pengecekan secara terus-menerus sehingga dapat menambah biaya tenaga kerja pada bagian gudang.Tingkat persediaan perlu diawasi setiap transaksi pemakaian persediaan terjadi, lalu dibandingkan dengan reorder point. Apabila tingkat
13
persediaan lebih kecil atau sama dengan nilai reorder point, maka pemesanan harus dilakukan dengan jumlah yang tetap. Terdapat rumus yang digunakan dalam metode Q,R, yaitu: 1. Tingkat permintaan selama periode lead time ( dan permintaan rata-rata perbulan (
2. Standar deviasi permintaan selama periode lead time Varians pertahun = 12 bulan x (standar deviasi)2
3. Perhitungan EOQ (Qo) untuk iterasi awal
Dimana: Qo K d h
= Nilai kuantitas pemesanan iterasi ke-o = biaya pemesanan barang = estimasi permintaan per tahun = biaya penyimpanan barang
4. Perhitungan F(R1)
Dimana: p
= shortage cost
5. Perhitungan Tingkat Reorder(R1) Dimana: z inputnya
= nilai yang diperoleh dari tabel z dengan F(R) sebagai
6. Perhitungan n(R1) n(R) = σL(z) Dimana: L(z)= nilai konversi dari nilai z pada tabel Z-chart&Loss Function 7. Perhitungan EOQ (Q1) untuk iterasi berikutnya
8. Safety stock s=R-µ
14
9. Perkiraan Biaya Total Penyimpanan per Unit Barang Persamaan dari perkiraan biaya total yaitu: Total cost= holding cost + fixed cost + shortage cost
2.4.3 Metode s,S (min-max) Menurut (Nahmias, 2009), metode s,S merupakan sebuah system persediaan dengan jumlah pemesanan yang bergantung pada tingkat inventory yang ada. Dalam penggunaannya, kedua nilai tersebut menggunakan hasil iterasi dari metode Q,R sebagai nilai awal untuk mencari nilai minimum (s) dan maksimum (S). Nilai s ditentukan sebagai titik terendah dari tingkat inventori, sehingga pemesanan akan dilakukan jika tingkat inventori telah mencapai atau kurang dari tingkat tersebut. Dan tingkat maksimum inventori (S) digunakan sebagai acuan dalam jumlah pemesanan. Apabila diasumsikan bahwa x merupakan tingkat inventori pada suatu periode, maka: Pemesanan akan dilakukan jika x < s, dan pesan sejumlah S-x. Pemesanan tidak dilakukan jika x > s. 2.4.4 Simulasi Monte Carlo Menurut Evans & Lindsay (2007), simulasi adalah pendekatan untuk menyusun suatu model yang logis dari sistem bisnis yang sebenarnya, dan bereksperimen dengan model tersebut untuk mendapatkan pemahaman mengenai perilaku sistem tersebut atau untuk mengevaluasi dampak perubahan dalam asumsi atau potensi perbaikan terhadapnya. Terdapat dua jenis pendekatan pemodelan simulasi dasar yang digunakan, antara lain: 1. Simulasi Proses Adalah membuat model dinamika dan perilaku elemen-elemen yang saling berinteraksi seiring dengan waktu dari sebuah sistem seperti fasilitas produksi atau pusat layanan pelanggan. 2. Simulasi Monte Carlo Didasari oleh pengambilan sampel berulang kali dari distribusi probabilitas input model untuk mengarakterisasi distribusi output model, biasanya simulasi ini dikerjakan dengan menggunakan lembar kerja (spreadsheet) (Evans & Lindsay, 2007). Berdasarkan penjelasan diatas, langkah pengerjaan dalam simulasi ini dimulai dengan melakukan sampel beberapa kali dari distribusi atau data terkait permasalahan yang akan dilakukan simulasi monte carlo, dari sampel tersebut selanjutnya diolah hingga mendapatkan model ataupun karakterisasi sesuai dengan range yang dihasilkan dari random number. Begitu selanjutnya hingga kriteria yang akan dilakukan simulasi terpenuhi. 2.5 Multi Criteria Decision Making Taylor (2005) menjelaskan bahwa pengambilan keputusan memerlukan strategi yang tepat, oleh karena itu diperlukan pertimbangan, bahkan perhitungan-perhitungan matematis dengan berbagai kriteria.Salah satu metode yang dipakai untuk pengambilan keputusan adalah Analytical Hierarchy Process.
15
2.5.1 Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah pengambilan keputusan multikriteria dengan dukungan metodologi yang telah diakui dan diterima sebagai prioritas yang secara teori dapat memberikan jawaban yang berbeda dalam masalah pengambilan keputusan serta memberikan peringkat pada alternatif solusinya(Kazibudzki & Tadeusz, 2013). Menurut Dieter dan Schmidt (2013), AHP merupakan metodologi pemecahan masalah untuk membuat keputusan dari beberapa alternatif dimana alternatif-alternatif tersebut mempunyai beberapa tujuan, memiliki struktur hierarki, atau meliputi kuantitatif dan kualitatif pengukuran.AHP dikembangkan oleh Saaty (1995).AHP dibuat berdasarkan perumusan matematika untuk membuat perbandingan antara kriteria yang konsisten. Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan akan dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut.AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk dengan melakukan perbandingan berpasangan. Seorang pengambil keputusan harus membuat gambaran keseluruhan mengenai hirarki dari keputusan yang akan diambil, diantaranya adalah objektivitasnya, kriterianya, dan alternatifnya. Proses hierarki menunjukkan beberapa faktor penting yang berhubungan dengan pemilihan alternatif. Setelah menentukan hierarki, selanjutnya lakukan pemilihan spesifikasi matriks alternatif dan tentukan matriks dasar berdasarkan tingkat preferensi (preference level) pada tabel berikut. Tabel 2.5Preference Level PreferenceLevel Equally Preferred Equally to Moderately Preferred Moderately Preferred Moderately to Strongly Preferred Strongly Preferred Strongly to Very Strongly Preferred Very Strongly Preferred Very Strongly to Extremely Preferred Extremely Preferred
Numerical Value 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sumber: (Taylor, 2005)
Setelah melakukan penilaian terhadap seluruh kriteria, setelah itu dilakukan perhitungan untuk memeriksa tingkat konsistensi dari kriteria tersebut. Berikut adalah tahap-tahap perhitungan yang dilakukan: 1. Perhitungan weighted sum vector 2. Perhitungan consistency vector 3. Estimasi lambda (λ) sebagai rata-rata dari consistency vector
16
Setelah mendapatkan konsistensi vektor, selanjutnya menghitung konsistensi indeks. Rumus untuk mencari konsistensi indeks (Taylor, 2005), yaitu: CI = Dimana n adalah penjumlahan dari item yang dibandingkan. Setelah mendapatkan CI, kemudian menghitung konsistensi rasio dengan rumus: CR = Dimana RI merupakan Random Index yang diambil berdasarkan tabel berikut. Tabel 2.6 Random Index Random Index N (RI) 2 0,00 3 0,58 4 0,90 5 1,12 6 1,24 7 1,32 8 1,41 9 1,45 10 1,49 11 1,51 12 1,48 13 1,56 14 1,57 15 1,59 Sumber: (Marimin, 2004)
Marimin (2004) mengantakan bahwa untuk mendapatkan nilai yang konsisten, nilai dari CR harus lebih kecil daripada 0,10. jika nilai tersebut lebih besar dari 0,10, maka harus dilakukan evaluasi ulang dari keputusan yang dilakukan. Berikut adalah gambar struktur Analytical Hierarchy Process (AHP), yaitu:
Sumber: (Marimin, 2004)
Gambar 2.2 Struktur Proses AHP
17