Bab 2 Landasan Teori 2.1 Pengertian Fukushi Fukushi (adverbia) yang berarti kata keterangan dalam bahasa Indonesia, merupakan salah satu kelas kata dalam ilmu sintaksis. Dalam lingkup ilmu sintaksis bahasa Jepang, Fukushi adalah kata-kata yang menerangkan verba, adjektiva, dan adverbial yang lainnya, tidak dapat berubah, dan berfungsi menyatakan keadaan atau derajat suatu aktivitas, suasana, dan perasaan pembicara (Matsuoka,2000:344). Pendapat Matsuoka didukung oleh pengertian Fukushi menurut Katou yang mengemukakan “Kata yang berdiri sendiri tanpa pemakaian, sebagai fungsi utamanya adalah untuk menghias suatu kata disebut fukushi”(Katou, 1991:23). 2.1.1 Jenis –jenis Fukushi Jenis-jenis fukushi menurut Terada dalam Sudjianto (2004 :167-168) dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu : 1.
Joutai no fukushi
Joutai no fukushi berfungsi menerangkan keadaan verba yang ada pada bagian berikutnya. Senada dengan pengertian tersebut Takano dalam Sudjianto (2004 : 166) menjelaskan joutai no fukushi “untuk sebagian besar kata yang menjelaskan Yougen, dan menyatakan kondisi/keadaan”. Contoh joutai no fukushi : 1) Shikkari (to) nigiru. Memegang dengan kuat. 2) Yukkuri (to) aruku. Berjalan dengan pelan-pelan.
3) Hakkiri (to) mieru. Terlihat dengan jelas. Fukushi lain yang juga termasuk jenis ini adalah masu masu, shibaraku, shiba shiba, koro koro (to), dan sebagainya. Di dalam joutai no fukushi ini termasuk juga peniruan bunyi-bunyi alam atau meniru bunyi binatang, yang disebut dengan onomatope. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Isami dalam Sudjianto (2004:74) yang mengemukakan di dalam joutai no fukushi juga terdapat kata-kata yang berfungsi menirukan bunyi yang dikeluarkan oleh benda atau suara manusia dan binatang (giseigo atau giongo) contohnya: 1.
朝から雨がしとしと降っている。 Asa kara ame ga shitoshito futteiru (sejak pagi hujan turun rntik-rintik)
2.
鳥はチチと鳴く。 Tori wa chichi to naku. (burung berkicau chichi)
Selain itu ada juga kata-kata yang menyatakan keadaan suatu hal atau perkara (gitaigo). Contohnya : 1.
テキパキボールをかちした。 Tekipaki boru wo kachishita. (menangkap bola dengan tangkas)
2.
ゆっくり話してください。 Yukkuri hanashite kudasai. (Tolong bicara pelan - pelan )
2. Teido Fukushi Teido no fukushi berfungsi menerangkan tingkat, taraf, kualitas atau derajat keadaan yougen (verba, adjektiva-I,adjektiva-na). Senada dengan pengertian tersebut Takano dalam Sudjianto (2004 : 166) menjelaskan teido no fukushi “untuk sebagian besar kata yang memperhalus dalam mengungkapkan keadaan atau kondisi dan membatasi derajat keadaan atau kondisi tersebut”. Contoh teido no fukushi : 1) Sukoshi samui. Agak dingin. 2) Taihen shinsetsu da. Sangat baik hati. 3) Kanari takai. Agak mahal. 3. Chinjutsu no Fukushi Chinjutsu no fukushi adalah fukushi yang memerlukan cara pengucapan khusus, disebut juga jujutsu no fukushi atau kou’o no fukushi. Senada dengan pengertian tersebut Takano dalam Sudjianto (2004 : 167) menjelaskan chinjutsu no fukushi sebagai “kata yang berfungsi untuk menjelaskan sifat pernyataan di akhir kalimat dengan menunjukkan kepala kalimat (dalam teori tata bahasa, disebut juga dengan keterangan yang menyampaikan pernyataan). Contoh chinjutsu no fukushi : 1) Kesshite makenai. Sama sekali tidak akan kalah. 2) Totemo mani awanai. Benar- benar tidak akan keburu.
3) Douzo ohairi kudasai. Silakan masuk. 2.2 Teori Onomatope Dalam linguistik bahasa Jepang, onomatope merupakan bagian dari fukushi atau kata keterangan. Fukushi dalam penjelasan diatas diketahui memiliki fungsi untuk menyatakan keadaan atau derajat suatu aktivitas, suasana, dan perasaan pembicara (Matsuoka, 2000:344). Berdasarkan pemahaman tersebut, Michiko (2003:680) menyatakan onomatope merupakan kata-kata yang dapat membedakan perasaan dan aktivitas agar dapat dipahami oleh pembaca. Berikut merupakan penjelasan mengenai onomatope dari asal mula terbentuknya hingga pembagian jenis- jenisnya. 2.2.1 Asal Mula Terbentuknya Onomatope Menurut Hideo Kobayashi yang dikutip Roseta (2008:15-17)
asal mula
terbentuknya kata-kata tiruan berasal dari simbol bahasa yang terbagi atas dua yaitu simbol bahasa yang mempunyai latar belakang perasaan hati, indera, kebiasaan dan angan serta simbol bahasa yang tidak memiliki latar belakang : 1. Simbol bahasa yang memiliki latar belakang a. Tiruan secara langsung, yaitu kata-kata tiruan yang terjadi karena peniruan bunyi atau suara dari suatu kejadian berlangsung, dalam suatu situasi dan kondisi. Contoh : - Peniruan suara binatang : suara anjing (wanwan) - Peniruan suara bunyi benda: bunyi jam (chikutaku,chikutaku) - Peniruan suara orang : suara tertawa (ha ha ha , he he he) b. Tiruan secara tidak langsung, yaitu kata-kata tiruan yang terjadi bukan dari peniruan bunyi yang dihasilkan dari suatu kejadian yang berlangsung, akan tetapi terjadi dari peniruan kejadian atau tingkah laku sehingga
bunyi lafalnya merupakan suatu tiruan keadaan atau tingkah laku yang disesuaikan dengan perasaan. Contohnya: -
ぐでんぐでんによっぱらってかえってくる。 Guden guden ni yopparatte kaette kuru (saya pulang dengan keadaan mabuk berat)
-
むしゃむしゃむさぼりたべていた。 Musha musha musabori tabete ita (saya makan dengan rakus)
2. Simbol bahasa yang tidak memiliki latar belakang Simbol bahasa yang tidak memiliki latar belakang, namun dikenal dengan tanda. Contohnya: merk, cap, dan angka.
Simbol yang berlatar belakang
Yang meniru secara langsung
giongo
Yang meniru secara tidak langsung
gijougo
Simbol bahasa
Gitaigo
Simbol yang tidak berlatar belakang
Tanda (merk, cap , angka)
Gambar 1.1 Asal Mula Terbentuknya Kata Tiruan Menurut Kobayashi
2.2.2 Pengertian Onomatope Onomatope seperti yang telah dijabarkan oleh Kobayashi merupakan bagian dari simbol bahasa yang terbentuk berdasarkan latar belakang tertentu sehingga memiliki keunikan tersendiri dalam pembentukannya. Senada dengan teori asal mula onomatope tersebut, Hinata dan Hibiya (1995:2) menjelaskan onomatope sebagai
擬音語、擬態語を含め音象徴(Sound Symbolism) とよぶことにして、 これが日本語の中で独特な位置を占めることは” yang artinya, “Giongo dan berikut “
gitaigo disebut sebagai onshouchou (sound symbolism) , dalam bahasa Jepang hal ini merupakan suatu keunikan tersendiri”. Senada dengan pendapat tersebut, Kamiya (2002: 214) juga menyebutkan onomatope sebagai “kata keterangan yang meniru suara (giseigo) atau menggambarkan tindakan, perilaku atau keadaan (gitaigo)”. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa onomatope Jepang umumnya terbagi atas dua yaitu giseigo dan gitaigo, hal senada juga diungkapkan oleh
Yoko (2002:142)
sebagai berikut :
こうした種類のこばをそれぞれ擬声語(擬音語)。擬態語と言い、両方 をあわせてオノマトペまたは音象徴後とよぶこともある。 (kata jenis seperti ini masing-masing disebut giseigo (giongo) dan gitaigo , keduanya bersatu dalam onomatope yang biasa disebut dengan onshouchougo) Pengertian onomatope lebih lanjut, dikemukakan oleh Akimoto (2002:134), yaitu :
このように擬声語。擬態語の両方に用いられたり、どうちらか判断で きなかったら刷る語もある、こられを合わせて音象徴後あるいはオノ マトペと呼ぶ。
Kono youni giseigo.gitaigo no ryouhou ni mochiiraretari, douchiraka handan dekinakattari suru go mo aru, korare wo awasete onshouchougo arui wa ONOMATOPE to yobu.
(giseigo dan gitaigo seperti ini ketika dipakai keduanya terdapat kesulitan dalam memutuskan kata yang tepat oleh karena itu keduanya bersatu dalam onshouchou atau yang disebut onomatope) Secara umum berdasarkan pendapat-pendapat di atas onomatope dibagi menjadi dua jenis yaitu giongo/giseigo dan gitaigo. 1) Giongo/Giseigo Menurut Amanuma dalam Sumirat (2010) mengemukakan pengertian Giongo sebagai “ungkapan yang dikeluarkan dalam menggambarkan bunyi benda (meliputi suara tertawa, suara menangis dan lain-lain ) dalam bentuk bunyi bahasa…”. Pendapat tersebut didukung oleh pengertian giongo menurut Yoko (2002:142) yang menjelaskan giseigo (giongo) sebagai berikut :
また、日本語で「赤ん坊が笑う」や「雨が降る」という表現をより具体 的に表そうとするときに、「赤ん坊がにこにこ(と)笑った」。「雨がしと しと(と)降っている」のように。。。 こうした種類のことばをそれぞれ擬声語(擬音語) Terjemahan: (lagi pula, dalam bahasa Jepang pada saat akan menunjukkan secara rinci ungkapan seperti “bayi tertawa” “ hujan turun” dan seperti “bayi tersenyum gembira” dan “ hujan turun rintik-rintik”… Kosakata jenis ini masing-masing disebut giseigo (giongo)… 2) Gitaigo Mengenai gitaigo, Hinata dan Hibiya (1995:2) menjelaskan gitaigo sebagai kata yang mengungkapkan keadaan, kondisi benda dan sebagainya yang terasa secara inderawi. Hal senada juga diungkapkan oleh Akimoto (2002:134) mengenai gitaigo sebagai berikut :
また、「ノソノソあるく」「ジロジロ見る」「雨水キラキラかがやく」の ように動きや状態を音によって象徴に表す語を擬態語という。
Terjemahan : (dan lagi, kata yang menunjukkan simbol suara yang bergerak atau keadaan seperti “NOSONOSO aruku” “ JIROJIRO miru” “amamizu KIRAKIRA kagayaku” disebut dengan gitaigo) 2.2.3 Klasifikasi giongo – gitaigo Berdasarkan pada pernyataan Hinata dan Hibiya (1995) mengenai onomatope, onomatope dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1.
Giongo: kata-kata yang menggambarkan suara yang ada disekeliling kita. dibagi menjadi dua bagian, yaitu : a. Giongo: kata-kata yang menunjukan bunyi benda mati.
風でドアががたがたし始めた。 Kaze de doa ga gatagata shi hajimeta. (pintu mulai berderak karena angin) b. Giseigo: kata-kata yang menunjukan suara makhluk hidup.
げらげら笑いすぎて、おなかが痛くなった。 Geragera warai sugite onaka ga itakunatta. (menjadi sakit perut karena terlalu banyak tertawa) 2.
Gitaigo: kata-kata yang secara simbolik menunjukkan benda-benda yang tidak mengeluarkan suara berdasarkan bunyi. Dibagi menjadi tiga bagian : a. Gitaigo: kata-kata yang menunjukkan keadaan benda mati.
靴をぴかぴかに磨いた Kutsu wo pika pika ni migaita. (menggosok sepatu sampai megkilat) b. Giyoogo: kata-kata yang menunjukkan keadaan makhluk hidup seperti tingkah laku dan keadaan orang sakit.
お風呂に入ってさっぱりした。
Ofuro ni haitte sappari shita. (saya merasa segar setelah berendam di ofuro) c. Gijoogo: kata-kata yang menunjukkan perasaan manusia.
バスによって胸がむかむかする。 Basu ni yotte mune ga mukamuka suru (karena mabuk dalam bis dadanya mual) 2.2.4 Gijoogo Gijoogo menurut klasifikasi onomatope Hinata Hibiya (1995) merupakan salah satu jenis dari gitaigo. Lebih lanjut dalam Jyouetsu Kyouiku Daigaku Kenkyuu Kiyou (2004)
menjelaskan
mengenai
gijoogo
yang
merupakan
kata-kata
untuk
menunjukkan perasaan manusia yang terbagi menjadi dua jenis yaitu gijoogo yang menunjukkan perasaan positif (plus) dan gijoogo yang menunjukkan perasaan negatif (minus). Berikut ini merupakan kutipan mengenai gijoogo menurut Michiko (2004: 833) :
『擬音語・擬態語辞典』に「擬情語」に分類されているものの中か ら 主なものを取り出し、プラス・マイナスに分けてみる。 Dalam kamus giongo/gitaigo, gijoogo dibagi menjadi plus dan minus berdasarkan kepentingan penggunaannya. •
プラスの擬情語)
Gijoogo positif ( -
うきうき・いそいそ・ほくほく Kitai (harapan), contohnya :わくわく Anshin (rasa aman), contohnya : ほっと Nodoka (tenang ), contohnya : のうのう Kokochi yosa (kenyamanan), contohnya :うっとり Sawayaka (kesegaran),contohnya :すっきり・さばさば
Yorokobi (sukacita), contohnya :
•
(マイナスの擬情語) Ikari (marah), contohnya : いらいら・むっと・くわ・かっ・むかむ か・ぎ・きー・ザアッ Shouchin (kecewa), contohnya :がっかり・がっくり Ken’o (tidak suka), contohnya :うんざり・げんなり Fukai (ketidak nyamanan), contohnya : くさくさ Shinkeishitsu (gugup), contohnya : かりかり Shinpai (gelisah), contohnya : くよくよ・はらはら・やきもき・ひや ひや Odoroki to osore (terkejut dan takut), contohnya : ぎょっ・びくっ・び くびく・ぞっと・もや Tamerai (keraguan ), contohnya : いじいじ・うじうじ・おずおず
Gijoogo negatif -
-
-
-
2.3 Kaitan Emosi atau Perasaan dengan Onomatope Perasaan menurut Yamane dalam Phenomenological pshycology of anger (2006) merupakan “salah satu fungsi psikologis yang sejajar dengan akal dan indera”
感情 (perasaan) Tsuchida dan Takemura (1994) dalam 『感情の社会心理学』 KANJOU NO SHAKAI SHINRIGAKU
(Yamane, 2006:2). Lebih lanjut tentang
(1994:36) mengklasifikasikan emosi dasar menjadi 5 faktor berdasarkan onomatope
(怒り) kegembiraan (喜 ) kesedihan(悲しみ) terkejut(驚き)dan ketakutan(不安・恐れ). yang terdapat dalam kamus onomatope, yaitu kemarahan
Selanjutnya Tsuchida mengkaitkan onomatope yang terdapat dalam bahasa Jepang dengan emosi dasar tersebut.
怒り) contohnya : むかむか、いらいら、きー、ザアッ、かっ
1. Marah (
喜び) contohnya : うっとり、うきうき、ほっ、わくわく
2. Senang (
悲しみ) contohnya :しょぽん、がっくり、くよくよ、がくつ
3. Sedih (
驚き) contohnya : ひゃっ、ぎょっ、どきっ、びくっ、がーん
4. Kaget (
不安・恐れ) contohnya : ひやひや、どぎまぎ、おどおど、どきどき
5. Takut (
怒り)
2.4 Konsep Marah (
Marah (
怒り) menurut Yamane (2006:19) merupakan perasaan untuk bertahan
atau melindungi diri sendiri karena adanya alasan yang dianggapnya benar. Dalam jurnal Jepang yang berjudul Multidimensional Characteristic of Anger in Childhood and Early Adolescene (2011:298-307) Terasaka menyebutkan bahwa kemarahan memiliki tiga komponen yaitu afektif (perasaan), kognitif (pikiran) dan perilaku. Selain itu, kemarahan akut juga diketahui mendasari perilaku agresif. Kemarahan akut diartikan sebagai permusuhan dan mudah tersinggung sehingga sering menimbulkan kemarahan yang tiba-tiba muncul. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Toshinori Kitamura dan Chieko Hatsui pada Journal of Interpersonal Violance (2006:843) depresi dan kegelisahan merupakan faktor yang paling umum sebagai pemicu munculnya perasaan marah. Depresi dan kegelisahan merupakan respon psikologis yang dimediasi oleh kemarahan. Perasaan marah muncul sebagai bentuk respon tiba-tiba terhadap adanya ancaman atau gangguan yang datang. (Danesh,1977) Pada Jurnal yang berjudul The Concept of Anger: Universal or Culture Specific (2000:159-170). Marah dalam bahasa Jepang dapat diungkapkan menjadi tiga, yaitu: •
「熱くなる」mulai panas
•
「爆発」ledakan
•
「切れる」pecah pembuluh darah
Tingkatan diatas berdasarkan pada proses pembentukan kemarahan yang dimulai dari
「腹」 hara (perut) kemudian pada tingkatan selanjutnya 「胸」 mune (hati) dan berakhir di「頭」atama (kepala) (Matsuki, 1995). Senada dengan penelitian tersebut, dijelaskan lebih lanjut oleh Yamane (2006:14), kemarahan diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu : 1.
Mukatsuku :
Tingkatan
kemarahan
yang
berlangsung
singkat
untuk
mengekspresikan perasaan tidak senang dan merasa tersinggung. Kemarahan ini merupakan tingkat awal kemarahan sehingga tingkat kekuatan kemarahannya tergolong ringan karena masih terdapat kesabaran yang kuat.
Gambar 2.1 Ekspresi marah level 1(sumber: Koizumi &Yamada, 2011) Mukatsuku terbagi atas dua jenis makna yaitu ira ira dan Futekusare. Ira ira Merupakan kondisi seseorang masih memiliki kemampuan untuk bersabar dan menahan kemarahannya. Ira ira timbul akibat dari ketidakcocokan atau ketidakpuasan terhadap orang lain, yang menyebabkan kemarahan. Kemarahan ini
berada di tahap awal sehingga masih memungkinkan seseorang untuk berpikir dengan akal sehat. Futekusare Perasaaan kesal yang tidak diungkapkan secara langsung, namun disimpan dalam diri sendiri dan menjadi dilema. Termasuk jenis kemarahan ringan yang muncul akibat ketidakyakinan terhadap benar atau salah. Lebih bersifat menahan diri terhadap sesuatu hal yang tidak baik bagi diri sendiri. 2. Atama ni kuru: merupakan kondisi emosi yang mulai panas, kemarahan menjadi sulit untuk ditekan. Umumnya diekspresikan dalam teriakan kemarahan. Tingkat kemarahan ini terjadi ketika kesabaran mulai berkurang dan hilang.
Gambar 2.2 Ekspresi marah level 2 (sumber: Koizumi &Yamada, 2011) Atamani kuru terbagi atas tiga jenis makna yaitu kanshaku, nikushimi atau urami dan shitto. Kanshaku Kemarahan yang dicontohkan seperti kondisi kemarahan bayi yang tidak dapat menangani mainannya. Muncul akibat dari kesabaran yang mulai berkurang dan ketidakmampuan untuk mewujudkan suatu hal sesuai dengan keinginan. Sasaran dari
kemarahan ini tidak hanya kepada orang lain tapi juga terhadap benda. Kanshaku merupakan kemarahan yang belum sepenuhnya, sehingga tidak memiliki tujuan untuk dipulihkan seperti halnya kemarahan yang telah penuh. kemarahan ini menghasilkan gairah atau kemauan keras dan keseriusan. Nikushimi Merupakan perasaan yang muncul sebagai kebencian terhadap yang menjadi pelaku bukan terhadap perbuatannya. Jenis kemarahan ini muncul akibat kerugian atas kesalahan atau perbuatan orang lain yang terjadi berulang kali. Shitto Kemarahan akibat tidak mendapatkan perlakuan yang istimewa. Dipicu oleh adanya pihak ketiga atau rival yang lebih mendapat keistimewaan daripada dirinya. Perwujudan emosi marah tertuju pada masing-masing target yaitu kepada pihak kedua dan pihak ketiga. Shitto merupakan perasaan marah yang menimbulkan keseriusan dan juga rasa kekalahan. 3. Kireru: merupakan kemarahan yang meledak atau kemarahan akut. Dalam kondisi ini kemarahan menjadi sulit dikontrol karena tidak memiliki kesabaran sehingga terkesan bertindak sesuai dengan kemauan sendiri yang berpotensi merugikan.
Gambar 2.3 Ekspresi marah level 3 (Sumber: Koizumi &Yamada, 2011) Kireru hanya mempunyai satu konsep makna yaitu shikari. Shikari Shikari lebih merupakan sebuah perlakuan seperti memarahi atau memberi peringatan keras dengan berbagai macam cara sebagai akhir dari kemarahan yang sudah meledak. Perlakuan tersebut bertujuan untuk memberikan sangsi atau hukuman kepada orang lain yang menjadi objek kemarahan. Shikari juga merupakan kemarahan yang menganggap orang lain salah dan percaya pada kebenaran diri sendiri.