BAB 2 LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Pemasaran Jasa Pemasaran menurut American Marketing Association (Kotler dan Keller, 2009:45) merupakan fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan, dan menyampaikan nilai kepada pelanggan serta mengelola hubungan pelanggan supaya menguntungkan bagi organisasi dan pemangku kepentingan perusahaan (stakeholder). Definisi pemasaran kemudian direvisi kembali oleh American Marketing Association (Kotler dan Keller, 2012:5) yaitu sebagai kegiatan, sekumpulan institusi, dan
proses untuk
menciptakan,
mengkomunikasikan,
menyampaikan
serta
menukarkan penawaran yang mempunyai nilai bagi pelanggan, klien, partner dan masyarakat luas. Dari definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa pemasaran merupakan
sekumpulan
fungsi
dan
proses
dalam
membangun
dan
mengkomunikasikan penawaran melalui penciptaan nilai bagi pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat luas. Sedangkan Lovelock dan Wirtz (2007:15) mendefinisikan jasa sebagai kegiatan ekonomi yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lainnya, umumnya menggunakan kinerja berbasis waktu untuk mewujudkan hasil yang diinginkan oleh penerimanya atau berupa benda maupun asset lainnya yang dimiliki oleh pembeli dengan imbalan uang, waktu, dan usaha tertentu. Pelanggan jasa berharap untuk
11
12
mendapatkan suatu nilai dari akses terhadap barang, tenaga kerja, keterampilan professional, fasilitas, jaringan dan sistem dengan mengeluarkan suatu pengorbanan tertentu. Heizer dan Render (2009:13) menyatakan bahwa jasa merupakan aktivitas ekonomi yang biasanya menghasilkan produk tidak nyata (misalnya: pendidikan, hiburan, penginapan, pemerintahan, keuangan, dan layanan kesehatan). Oleh karena itu, jasa dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak berwujud yang ditawarkan dari satu pihak ke pihak lainnya yang memberikan manfaat dan kepuasan yang diinginkan oleh penerimanya tanpa adanya suatu kepemilikan tertentu karena diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan yang diperoleh dengan suatu pengorbanan tertentu. 2.1.1.1 Karakteristik Jasa Secara garis besar karakteristik jasa menurut Hiezer dan Render (2009:13) adalah sebagai berikut: 1.
Jasa biasanya tidak nyata. Contoh: pembelian suatu perjalanan wisata.
2.
Jasa biasanya diproduksi dan dikonsumsi secara langsung; tidak ada persediaan. Sebagai contoh, salon kecantikan memberikan pelayanan (memproduksi) potong rambut yang langsung dikonsumsi oleh konsumennya.
3.
Jasa bersifat khas. Contohnya adalah potongan rambut seseorang tidak sama persis dengan orang lain, masing-masing memiliki ciri khasnya tersendiri.
4.
Dalam jasa, terjadi interaksi yang tinggi dengan pelanggan. Jasa sulit untuk distandardisasi, diotomatisasi, dan dibuat seefisien mungkin sesuai keinginan kita karena interaksi pelanggan membutuhkan kekhasan.
5.
Jasa mempunyai definisi produk yang tidak konsisten. Produk tidak dapat didefinisikan secara tepat, sebagaimana polis asuransi mobil, tidak konsisten
13
karena jasa bagi tiap pemegang polis asuransi mobil akan bervariasi bagi setiap pelanggaan, dilihat dari jenis mobil dan jangka waktu pertanggungannya. 6.
Jasa sering berdasar pada pengetahuan, seperti pendidikan, kesehatan, dan hukum, sehingga sulit diotomatisasi.
7.
Jasa sering tersebar. Penyebaran ini terjadi karena jasa biasanya diberikan kepada klien atau pelanggan melalui kantor setempat, toko pengecer, atau bahkan lewat panggilan ke rumah.
2.1.2 Persepsi Keadilan Pelayanan (Perceived Service Fairness) Namkung dan Jang
(2010) mendefinisikan keadilan pelayanan (service
fairness) sebagai persepsi pelanggan mengenai tingkat keadilan dalam perilaku perusahaan. Suatu tindakan dianggap adil hanya karena seseorang merasakan atau mempersepsikannya seperti itu, sehingga keadilan ini merupakan penilaian subyektif dari individu. Peter dan Olson menjelaskan bahwa konsumen memahami penilaian keadilan atau ketidakadilan dalam arti mereka memahami mengenai situasi yang berkaitan dengan potensi untuk memaksimalkan keuntungan pribadi atau manfaat dan meminimalkan investasi atau pengorbanan mereka (Namkung dan Jang, 2010). 2.1.2.1 Mengukur Keadilan Pelayanan Namkung dan Jang (2010) telah memodifikasi dimensi keadilan pelayanan (service fairness) dari teori dimensi keadilan pelayanan yang asli (keadilan prosedural, keadilan distributif, dan
keadilan interaksional) menjadi dimensi
keadilan harga (price fairness), keadilan prosedural (procedural fairness), keadilan hasil (outcome fairness), dan keadilan interaksional (interactional fairness) dalam tujuan untuk dapat memahami dengan lebih baik sifat dari keadilan pelayanan pada semua konteks penyampaian pelayanan dengan mempertimbangkan pengorbanan
14
dan manfaat yang dialami pelanggan saat mengkonsumsi jasa yang dijelaskan berikut ini: 1.
Keadilan harga (Price fairness) Kahneman et al. dalam Namkung dan Jang (2010) mendefinisikan keadilan
harga sebagai penghakiman pembeli mengenai perbedaan antara apa yang mereka harapkan dan apa mereka terima. Artinya, konsumen umumnya memiliki standar internal tersendiri untuk hargayang mungkin atau tidak sesuai dengan harga yang sebenarnya pada saat penilaian perbandingan sedang dibuat. Keadilan harga,dalam penelitian ini, mengacu pada penilaian konsumen secara keseluruhan terhadap harga berdasarkan perbandingan harga sebenarnya dengan harga yang dapat diterima yang ditentukan oleh standar sosial (patokan harga) dan kepentingan (tingkat adaptasi). Keadilan hargadikonseptualisasikan sebagai salah satu komponen penting dari pengorbanan pelanggan dan persepsi harga konsumen telah dianggap sebagai variabel, bersama dengan bentuk-bentuk layanan keadilan lain. 2.
Keadilan prosedural (Procedural fairness) Waktu merupakan sumber daya yang terbatas dalam aspek pengorbanan
konsumen yang dipengaruhi secara obyektif dan subyektif. Seperti yang dijelaskan oleh Haynes bahwa ketika dua pelanggan menghargai waktu secara berbeda dalam mengalami durasi mengunggu yang sama, mereka sebenarnya membayar harga yang berbeda untuk pertemuan layanan mereka. Konsep keadilan prosedural dalam penelitian ini mengacu pada ketepatan waktu dan efisiensi sistem pelayanan sebagai bagian dari pengorbanan pelanggan, karena waktu tunggu dan keterlambatan pelayanan dianggap sebagai kerugian.
15
3.
Keadilan hasil (Outcome fairness) Menurut Gronroos dalam Namkung dan Jang (2010), menyediakan jasa atau
produk inti yang baik merupakan salah satu kepentingan utama bagi bisnis jasa. Oleh karena itu, keadilan hasil yang dirasakan pelanggan diharapkan dapat menyebabkan reaksi emosi dan perilaku konsumen. Dalam penelitian ini, keadilan hasil mengacu pada penilaian subyektif konsumen mengenai rincian nyata dari layanan yang disampaikan. 4.
Keadilan interaksional (Interactional Fairness) Salon melibatkan sejumlah besar interaksi manusia dimana saat terjadi
pertemuan layanan berarti terjadi interaksi langsung dengan pelanggan. Tentunya interaksi ini dapat menyebabkan pelanggan merasa puas atau tidak puas hanya dalam hitungan menit. Oleh karena itu, keadilan interaksional dalam penelitian ini mengacu pada rasa hormat dan minat yang diperlihatkan kepada pelanggan oleh penyedia layanan sehingga pelanggan merasa diperlakukan secara adil selama interaksi konsumsi. Tabel berikut ini akan menjelaskan dimensi dan indikator yang digunakan untuk mengukur variabel Persepsi Keadilan Pelayanan: Tabel 2.1 Mengukur Persepsi Keadilan Pelayanan Judul
Jurnal
Effects of
European
Perceived
Journal of
Service
Marketing,
Fairness on
44 (9/10):
Emotions,
1233-1259
Tahun
2010
Pengarang
Dimensi
Indikator
Keadilan
Biaya Sesuai
Namkung,
Harga
Harga terjangkau
Y., & Jang,
Keadilan
S.C.
Prosedur
Dilayani sesuai dengan urutan kedatangan Dilayani dengan tepat waktu Pelayanan efisien
al
16
Judul
Jurnal
Tahun
Pengarang
Dimensi
Indikator
and
Keadilan
Pelayanan yang lebih baik
Behavioral
Hasil
Intentions in
Keadilan
Restaurants
Interaksi
.
onal
Kualitas pelayanan Karyawan ramah Memberikan pelayanan yang sama kepada semua pelanggan Tidak terjadi bias/ketidakadilan pada saya Karyawan sopan
Sumber: Penulis, 2013 2.1.3 Lingkungan Pelayanan (Service Environment) Jiun dan Haw (2011) mengadopsi istilah lingkungan pelayanan (service environment) dari servicescape yang digunakan dalam penelitian Bitner dan lingkungan toko (store environment) dalam penelitian Baker et al. untuk memasukkan faktor lingkungan yang lebih komprehensif. Lingkungan pelayanan sendiri menggabungkan keseluruhan faktor lingkungan yang ada dalam situasi pelayanan baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Wirtz, Chew, dan Lovelock (2012:297) menyebutkan bahwa tujuan dari lingkungan pelayanan adalah: 1.
Membentuk perilaku dan pengalaman pelanggan a. Media penciptaan pesan (Message-creating medium): tanda simbolis untuk mengkomunikasikan sifat khas dan kualitas dari pengalaman pelayanan. b. Media
penciptaan
perhatian
(Attention-creating
medium):
membuat
serviscape menonjol dalam persaingan dan menarik pelanggan dari segmen sasaran.
17
Media penciptaan pengaruh (Effect-creating medium): menggunakan warna, tekstur, suara, aroma, dan desain ruangan untuk mendorong pengalaman pelayanan yang diinginkan. 2.
Mendukung citra, posisioning, dan diferensiasi
3.
Bagian dari proposisi nilai
4.
Memfasilitasi pertemuan layanan dan mendorong produktivitas
2.1.3.1 Pengukuran Lingkungan Pelayanan Jiun dan Haw (2011) membagi lingkungan pelayanan menjadi dua dimensi yaitu lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Lingkungan sosial meliputi emosi yang ditampilkan karyawan dan iklim pelanggan. Sedangkan lingkungan fisik meliputi faktor suasana dan faktor desain. 1.
Emosi yang ditampilkan karyawan (Employee displayed emotion) Ekspresi emosi dari karyawan akan menghasilkan keadaan emosional yang
sama bagi para pelanggan, hal inilah yang disebut sebagai penularan emosi (emotional contagion). Penularan emosi ini biasanya terjadi diluar kesadaran seseorang. Jiun dan Cheng (2011) menyatakan bahwa ketika karyawan menampilkan emosi yang positif, pelanggan kemungkinan akan meniru perilaku karyawan tanpa sadar selama terjadinya pertemuan layanan. Perilaku meniru ini akan mengubah keadaan emosi pelanggan sendiri. 2.
Iklim pelanggan (Customer Climate) Iklim pelanggan mengacu pada persepsi pelanggan mengenai lingkungan
sosial, yang dibagikan oleh pelanggan lain yang juga menerima layanan, dimana pelanggan tersebut memainkan peran yang tidak terpisahkan dari pelanggan lainnya (Jiun dan Haw, 2011). Pelanggan lain didefinisikan sebagai pelanggan yang berada dalam fasilitas pelayanan bersamaan dengan pelanggan yang menjadi fokus
18
penelitian (focal customer). Penelitian Brocato, Voorhees, dan Baker (2012) menemukan bahwa perilaku pelanggan lain dapat mempengaruhi evaluasi pelayanan, seperti pengalaman berbelanja dimana tindakan orang lain dapat menciptakan suasana yang negatif (anak yang menangis, memaki, kata-kata kasar, dll) atau positif (ramah, loyal, membantu, dll). 3.
Faktor suasana (Ambient factors) Faktor suasana merupakan kondisi non-visual, kondisi latar belakang dalam
lingkungan, termasuk elemen seperti pencahayaan ruangan dan lantunan musik. Suasana dapat menciptakan perasaan harmoni dengan dekorasi dan membuat pengalaman menjadi lebih menyenangkan, yang mengarah ke emosi yang positif (Jiun dan Haw, 2011). 4.
Faktor desain (Design Factors) Faktor desain merupakan elemen lingkungan toko yang lebih bersifat visual,
meliputi tataletak ruangan, desain interior dan skema warna. Desain dapat menciptakan pengaruh visual yang positif, membawa perasaan yang nyaman, dan membantu konsumen membentuk keadaan psikis yang mendahului tanggapan emosional (Jiun dan Haw, 2011). Tabel berikut ini akan menjelaskan dimensi dan indikator yang digunakan untuk mengukur variabel Lingkungan Pelayanan: Tabel 2.2 Mengukur Lingkungan Pelayanan Judul The
Jurnal
Tahun
Pengarang
Dimensi
Jiun-Sheng,
Lingkun
C.L., &
gan
Haw-Yi, L.
Sosial
Emosi yang
Managing
ditampilkan
Influence of Service 2011 Service Environme
karyawan
Quality, 21 (4):
Indikator
Iklim Pelanggan
19
Judul nts on
Jurnal
Tahun
Pengarang
Dimensi
Indikator
350-372.
Customer
Faktor Suasana Lingkun
Emotion gan Fisik and Service Faktor Desain Outcomes Sumber: Penulis, 2013 2.1.4 Emosi Pelanggan (Customer Emotions) Emosi didefinisikan sebagai suatu rangkaian yang kompleks dari interaksiinteraksi antara faktor-faktor subjektif dan objektif sehingga menimbulkan suatu pengalaman afektif, dimana emosi lebih intens dari sekedar suasana hati dan cenderung lebih berhubungan langsung dengan ransangan tertentu, serta sering diekspresikan secara fisik, misalnya pada gerakan atau ekspresi wajah (Bigne, Mattila, Andreu, 2008). Sejalan
dengan
definisi
diatas,
Koenig-Lewis
dan
Palmer
(2008)
mendefinisikan emosi sebagai “fenomena multifaset” yang terdiri dari reaksi perilaku, reaksi ekspresi, reaksi psikologis, dan perasaan subjektif. De Rivera membedakan tiga konsep utama emosi: pertama, emosi sebagai keadaan psikologis yang berhubungan dengan naluri; kedua, sebagai persepsi nilai dalam menanggapi peristiwa tertentu atau insiden; ketiga, emosi sebagai bentuk transformasi berbasis pengalaman yang berfungsi untuk meningkatkan pemahaman kita mengenai peristiwa atau situasi tertentu (Martin et al., 2008). 2.1.4.1 Mengukur Emosi Pelanggan (Customer Emotions) Skala pengukuran untuk emosi diturunkan dari Skala Emosi Diferensial (Differential Emotions Scale) Izard telah secara luas diaplikasikan dan dilaporkan
20
dalam literatur perilaku dan jasa. Model ini telah diuji dan ditemukan sesuai untuk pengukuran dari emosi dalam berbagai situasi jasa dan atau konsumsi (Martin et al., 2008). Bentuk singkat dari skala Izard terdiri dari 10 emosi: ketertarikan (interestexcitement), kebahagiaan (happiness-joy), keterkejutan (surprise-astonishment), kesedihan (sadness-grief), kemarahan (anger-rage), kemuakan (disgust-revulsion), ketakutan (fear-terror), kehinaan (contempt-scorn), keseganan (shame-shyness), perasaan bersalah (guilt-remorse). Smith dan Reynold (2009) mengadopsi teori emosi Izard dan membagi antara kategori emosi positif dan emosi negatif menjadi 9 item emosi. Emosi positif mencakup: 1.
Nyaman (good),
2.
Aman (save),
3.
Percaya diri (Confident),
4.
Santai (relaxed),
5. Dihargai (valued). Dan emosi negatif mencakup: 6. Malu (shy), 7. Marah (angry), 8. Terganggu (irritated), 9. Tidak senang (unhappy). Tabel 2.3 Mengukur Emosi Pelanggan Judul
Jurnal
Affect and
Internatio
Tahun
Pengarang
Dimensi
Indikator Nyaman
Smith, A., Emosi
Cognition
nal
2009
&
Aman Positif
as
Marketing
Reynolds,
Percaya Diri
21
Judul
Jurnal
Tahun
Pengarang
Dimensi
Predictors
Review, 26
of
(6): 580-
Dihargai
Behavioral
600
Malu
N.
Indikator Santai
Intentions
Emosi
Marah
towards
Negatif
Terganggu
Services
Tidak senang
Sumber: Penulis, 2013
2.1.5 Niat Perilaku (Behavioral Intentions) Chang dan Polonsky (2012) mendefinisikan niat perilaku sebagai sejauh mana seseorang merumuskan rencana secara sadar untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu di masa depan. Niat perilaku yang dimaksud dalam penelitian ini adalah niat perilaku pelanggan pasca pembelian. Niat perilaku pasca pembelian dapat didefinisikan sebagai komitmen perilaku masa depan untuk membeli produk atau jasa dari suatu penyedia produk atau jasa disetiap kesempatan, disaat alternatif penyedia layanan yang lain juga tersedia (Jankingthong dan Gonejanart, 2012). Niat perilaku pasca pembelian dapat digunakan untuk memprediksi apakah konsumen menjadi pelanggan jangka panjang dan membawa keuntungan yang stabil bagi perusahaan atau tidak, sehingga niat perilaku dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan strategi pemasaran (Meng, Liang, dan Yang, 2011). Dengan demikian pemahaman terhadap niat perilaku pelanggan akan memudahkan pihak manajemen untuk mengembangkan produk dan jasanya sesuai dengan keinginan pelanggan karena niat perilaku pelanggan seringkali merupakan dasar dari perilaku yang sebenarnya.
22
2.1.5.1 Mengukur Niat Perilaku (Behavioral Intentions) Bendall-Lyon dan Powers mengelompokkan niat perilaku menjadi dua kategori dimensi yaitu niat perilaku ekonomi dan niat perilaku sosial (Chang dan Polonsky, 2012). Niat perilaku ekonomi merupakan perilaku pelanggan yang mempengaruhi aspek finansial perusahaan. Sedangkan, niat perilaku sosial merupakan perilaku pelanggan yang mempengaruhi tanggapan pelanggan potensial atau pelanggan yang sudah ada di perusahaan. Niat perilaku ekonomi meliputi perilaku pembelian berulang, kebersediaan untuk membayar lebih, dan perilaku beralih pada penyedia layanan lain. Niat perilaku sosial meliputi perilaku mengeluh rekomendasi dan komunikasi word of mouth. Niat perilaku sosial, baik yang positif maupun yang negatif, mempengaruhi pelanggan individu seperti juga mempengaruhi opini dari pelanggan lainnya. Informasi yang disebarkan melalui word of mouth dari pelanggan yang ada kemudian digunakan sebagai masukan bagi ekspektasi pelanggan nantinya (Chang dan Polonsky, 2012). Sejalan dengan hal tersebut, Zeithaml et al. (Vijayadurai, 2008) juga menggunakan item berikut ini untuk mengukur niat perilaku: a.
Niat membeli kembali (Repurchase intentions),
b.
Sensitivitas harga (Price sensitivity),
c.
Komunikasi Word of mouth(Word of mouth communication),
d.
Perilaku mengeluh (Complaining behavior). Tabel 2.4 Mengukur Niat Perilaku Pelanggan
Judul
Jurnal
The Influence of
Internatio
Multiple Types of
nal
Tahun
Pengarang
Dimensi
Indikator Niat
Chang, Y.W.,
Perilaku
membeli
Ekonomi
kembali
2012 Service Convenience
Marketing
Polonsky,
on Behavioral
Review, 26
M.J.
Sensitivitas
23
Judul Intentions: The
Jurnal
Tahun
Pengarang
Dimensi
Indikator
(6): 580-
harga
600
Word of
Mediating Role of Consumer
Perilaku
mouth
Satisfaction in a Sosial Taiwanese Leisure Setting
Perilaku mengeluh
Sumber: Penulis, 2013
2.2
Hubungan antar Variabel dan Hipotesis
a.
Hubungan Persepsi Keadilan Pelayanan dengan Emosi Pelanggan Individu yang berbeda dalam situasi yang sama, dapat memberikan penilaian
yang berbeda yang dapat menimbulkan emosi yang berbeda pula. Sehingga berarti bahwa faktor utama dalam pembentukan emosi adalah berasal dari penilaian kognitif akan situasi (Varela, Vazques, dan Iglesias, 2010). Saat terjadi pertemuan layanan itulah, pelanggan akan masuk dalam kontrak psikologi dengan penyedia layanan untuk dapat dipenuhi kebutuhannya dan diperlakukan secara adil, dimana emosi berperan dalam menjelaskan pengaruh dari keadilan yang akan mempengaruhi berbagai aspek proses kognitif termasuk persepsi, evaluasi, dan penilaian pelayanan (Namkung dan Jang, 2010). Penelitian Varela, Vazques, dan Iglesias (2010) membuktikan bahwa keadilan distributif dan keadilan interaksional dalam perbaikan pelayanan akan mempengaruhi kepuasan pelanggan melalui hubungannya dengan intensitas emosi positif pelanggan tersebut.
24
Sejalan dengan penelitian tersebut, Namkung dan Jang (2010) juga membuktikan bahwa persepsi pelanggan mengenai keadilan harga mempunyai pengaruh positif terhadap emosi positif, yang berarti bahwa ketika pelanggan mengevaluasi uang yang mereka bayarkan itu adil/layak, mereka akan cenderung mempunyai emosi yang lebih positif. Selain itu, dalam penelitian tersebut juga dinyatakan bahwa persepsi pelanggan mengenai keadilan prosedural memiliki pengaruh negatif terhadap emosi negatif, yang mengindikasikan bahwa ketika terjadi ketidaktepatan waktu dan ketidakefisienan pelayanan, maka persepsi konsumen terhadap tingkat ketidakadilan akan meningkat dan mereka akan mengalami emosi negatif. Tidak hanya itu, persepsi pelanggan mengenai keadilan hasil juga terbukti memiliki pengaruh positif terhadap emosi positif, yang berarti bahwa pelanggan yang mendapatkan hasil yang dinginkan dari proses penyampaian pelayanan akan mengalami emosi yang lebih positif dibandingkan pelanggan yang mendapatkan hasil yang kurang diinginkan. Begitu juga dengan persepsi pelanggan mengenai keadilan interaksional terbukti memiliki pengaruh positif terhadap emosi positif. Oleh karena itu,pada penelitian ini ditetapkanlah hipotesis yang pertama sebagai berikut: H1
: Persepsi keadilan pelayanan (perceived service fairness) memiliki
kontribusi terhadap emosi pelanggan (customer emotions) pada Jimmy Hair Dressing Salon Purwokerto. b.
Hubungan Lingkungan Pelayanan dengan Emosi Pelanggan Seperti yang diungkapkan oleh Jiun dan Cheng (2011), karena jasa
diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan dalam satu lingkungan pelayanan perusahaan, maka tidak mengejutkan jika studi empiris telah menunjukan bahwa lingkungan pelayanan mempunyai pengaruh signifikan terhadap emosi pelanggan.
25
Hal ini didasari oleh penelitian Baker et al. dimana lingkungan toko yang dirancang buruk dapat mengurangi kenikmatan belanja dan mengarah pada penurunan suasana hati pelanggan, sedangkan lingkungan toko yang dirancang dengan baik dapat menimbulkan emosi positif yang berkaitan dengan pertemuan layanan tersebut (Jiun dan Cheng, 2011). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Jang dan Namkung (2009) juga telah membuktikan mengenai rangsangan lingkungan berperan sebagai prediktor dari respon emosional. Liu dan Jang menyatakan bahwa lingkungan makan di rumah makan dapat menciptakan suasana hati dan emosi pelanggan, sehinga faktor suasana dapat menjadi bagian penting dalam pengalaman makan (Ha dan Jang, 2012). Sejalan dengan hal tersebut, Tsai dan Huang dalam Jiun dan Haw (2011) menyatakan bahwa lingkungan pelayanan memainkan peranan penting dalam penyampaian jasa karena lingkungan dapat membantu mengembangkan reaksi emosional yang menyenangkan, dan juga memperkuat persepsi dan retensi pelanggan. Oleh karena itu, pada penelitian ini ditentukanlah hipotesis yang kedua sebagai berikut: H2
: Lingkungan pelayanan (service environment) memiliki kontribusi terhadap
emosi pelanggan (customer emotions) pada Jimmy Hair Dressing Salon Purwokerto. Masih berkaitan dengan H1 dan H2, sesuai dengan tujuan penelitian maka pengaruh variabel-variabel penelitian juga akan diuji secara simultan sehingga dibentuklah H3 sebagai berikut: H3
: Persepsi keadilan pelayanan (perceived service fairness) dan lingkungan
pelayanan (service environment) memiliki kontribusi secara simultan terhadap emosi pelanggan (customer emotions) pada Jimmy Hair Dressing Salon Purwokerto.
26
c.
Hubungan Persepsi Keadilan Pelayanan dengan Niat Perilaku Pelanggan Penelitian Namkung dan Jang (2010) telah menunjukkan bahwa persepsi
pelanggan terhadap keadilan mempunyai pengaruh positif terhadap niat perilaku. Hasil ini menyiratkan bahwa dengan memastikan keadilan pelayanan yang diberikan oleh penyedia layanan maka akan memimpin pada respon niat perilaku pelanggan yang positif di masa depan. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh White, Breazeale, dan Collier (2012) yang juga menemukan bahwa semakin besar persepsi pelanggan mengenai keadilan kebijakan teknologi self-service maka semakin besar pula niat pelanggan untuk loyal dengan penyedia layanan, kembali lagi di masa depan, serta semakin kecil niat pelanggan untuk menyebarluaskan word of mouth yang negatif. Oleh karena itu dibentuklah hipotesis keempat pada penelitian ini sebagai berikut: H4
: Persepsi keadilan pelayanan (perceived service fairness) memiliki
kontribusi terhadap niat perilaku (behavioral intentions) pelanggan pada Jimmy Hair Dressing Salon Purwokerto. d.
Hubungan Lingkungan Pelayanan dengan Niat Perilaku Pelanggan Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Jang dan Namkung telah
menemukan bahwa suasana memainkan peran penting dalam perilaku di masa depan, seperti menyebarkan hal-hal positif atau niat untuk membeli kembali, dimana suasana dianggap sebagai variabel bebas untuk menjelaskan perilaku pembelian (Ha dan Jang, 2012). Mendukung penelitian tersebut, penelitian Ha dan Jang (2012) juga menunjukkan bahwa persepsi pelanggan terhadap suasana pelayanan mempengaruhi niat perilaku secara positif, sehingga semakin positif persepsi pelanggan terhadap suasana pelayanan maka akan membawa kepada niat perilaku yang diharapkan.
27
Berdasarkan pada penelitian psikologi lingkungan (Mehrabian dan Russel; Russel dan Prat), perilaku manusia berhubungan secara kuat dengan lingkungan fisik yang termasuk dalam lingkungan pelayanan,yang berarti bahwa kondisi suasana dari lingkungan
fisik dalam pengaturan layanan mendorong pelanggan untuk
mengkonsumsi layanan dan akibatnya mempengaruhi sikap dan perilaku mereka terhadap penyedia layanan (Ariffin, Bibon, dan Abdullah, 2012). Oleh karena itu, tidak heran jika penelitian Ariffin, Bibon, dan Abdullah (2012) juga menunjukan bahwa elemen suasana pelayanan (seperti pencahayaan, gaya, tata letak) berpengaruh secara signifikan terhadap niat perilaku untuk mengunjungi kembali dan melakukan word of mouth. Penelitian sebelumnya juga telah menunjukan bahwa respon pelanggan dipengaruhi oleh parameter individu mengenai limgkungan fisik, seperti warna dan pencahayaan (Areni dan Kim; Crowley), juga termasuk karakteristik toko yang lebih abstrak meliputi desain dan suasana (Baker et al) yang dapat membantu pelanggan mengembangkan keyakinan, perasaan, dan niat perilaku mereka yang positif seperti word of mouth dan loyalitas terhadap penawaran dari toko tersebut (Bruggen, Foubert, dan Gremler, 2011). Sama seperti interaksi sosial yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik dimana terjadinya interaksi tersebut, niat perilaku pelanggan juga dipengaruhi oleh lingkungan pelayanan (Jiun & Cheng, 2011). Sehingga disusunlah hipotesis kelima sebagai berikut: H5
: Lingkungan pelayanan (service environment) memiliki kontribusi terhadap
niat perilaku (behavioral intentions) pelanggan pada Jimmy Hair Dressing Salon Purwokerto.
28
e.
Hubungan Emosi Pelanggan dengan Niat Perilaku Pelanggan Morris et al., menemukan emosi sebagai prediktor yang signifikan dari niat
perilaku (White, 2010). Beberapa studi dari Aubert-Gamet, Dawson, Bloch dan Ridgeway, serta Hutto dan Richardson telah membuktikan hubungan antara emosi dengan perilaku mendekat-menjauh (approach-avoidance behavior) (Ariffin, Bibon, dan Abdullah, 2012). Pelanggan yang ada dalam suasana hati yang menyenangkan cenderung untuk melihat sisi terang dari sesuatu dan lebih bersedia untuk kembali lagi ke toko serta akan lebih bersedia untuk melakukan word of mouth yang positif (Jiun & Cheng, 2011).Terbukti dari penelitian Jiun dan Cheng serta Jiun dan Haw (2011) bahwa emosi positif pelanggan berkaitan secara positif dengan niat perilaku pelanggan. Dalam hasil penelitiannya, Namkung dan Jang (2010) juga menjelaskan bahwa pelanggan yang senang cenderung untuk tetap loyal dengan perusahaan dan memberitahu orang lain mengenai pengalaman positif mereka dan bahkan merekomendasikan perusahaan ke teman-teman dan kenalan mereka, namun sebaliknya, emosi yang tidak diinginkan pada akhirnya dapat menyebabkan pelanggan untuk meninggalkan perusahaan dan menyuarakan hal-hal yang tidak diinginkan.Oleh karena itu, hipotesis keenam pada penelitian ini adalah sebagai berikut: H6
: Emosi pelanggan (customer emotions) memiliki kontribusi terhadap niat
perilaku (behavioral intentions) pelanggan pada Jimmy Hair Dressing Salon Purwokerto. Masih berdasarkan tujuan penelitian ini, maka dibentuklah hipotesis ketujuh mengenai pengaruh variabel-variabel secara simultan sebagai berikut ini:
29
H7
: Persepsi keadilan pelayanan (perceived service fairness) dan lingkungan
pelayanan (service environment) memiliki kontribusi terhadap emosi pelanggan (customer emotions) serta berdampak terhadap niat perilaku (behavioral intentions) pelanggan pada Jimmy Hair Dressing Salon Purwokerto.
2.3
Kerangka Hipotesis Kerangka hipotesis penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Perceived Services Fairness (X1)
Customer Emotions (Y)
Service Environment (X2)
Gambar 2.1 Kerangka Hipotesis Sumber: Penulis, 2013
Behavioral Intentions (Z)