Bab 2 Landasan Teori 2.1 Konsep Shinto (神道) Shinto merupakan agama asli Jepang, namun keberadaannya dibandingkan dengan agama-agama lain di dunia kurang diketahui (Ono, 1998:1).
2.1.1 Jenis Shinto Berikut ini adalah jenis-jenis Shinto menurut Ono (1998). a. Shinto Populer Berasal dari Minzoku Shinto (民俗神道), penyembahan kami menjadi dasar dari kehidupan sehari-hari penganutnya. b. Shinto Lokal. Merupakan kegiatan keagamaan yang dilakukan di altar Shinto yang terdapat di dalam rumah. c. Shinto Sekte, juga disebut sebagai Shuha Shinto (宗派神道). Dibentuk dari campuran 13 kelompok pada abad ke-19. Mereka tidak memiliki kuil dan melangsungkan aktivitas keagamaan di aula-aula. d. Shinto Kuil, juga disebut sebagai Jinja Shinto (神社神道). Merupakan tipe tertua dan paling tersebar dibandingkan dengan tipe-tipe Shinto lainnya. e. Shinto Nasional, juga disebut sebagai Kokka Shinto (国家神道). Merupakan hasil dari restorasi Meiji dimana pada saat itu ajaran-ajaran Budha dan Konfusianisme diusahakan agar hilang dari Shinto.
10
2.1.2
Upacara dan Ritual Shinto
Arti upacara (matsuri, 祭) dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini yang diambil dari Babylon Online Dictionary (2007). 祭とは、神霊などを祀る(奉納参照)儀式。祭礼、祭祀とも呼ばれる。 あるいは、本来の祭から派生した、催事(催し、イベント)、フェステ ィバルのこと。 Terjemahan: Matsuri merupakan ritual menyembah roh dewa atau memberi persembahan kepada roh dewa. Matsuri bisa juga berarti berarti festival, perayaan atau persembahan. Sedangkan definisi ritual (gishiki, 儀式) menurut Babylon Online Dictionary (2007) adalah sebagai berikut ini. 儀式は、特定の信仰、信条、宗教によって人間が行う、一定の形式、ル ールに基づいて行う、日常生活での行為とは異なる特別な行為。 Terjemahan: Ritual merupakan pelaksanaan kegiatan berdasarakan aturan atau pola yang ditetapkan sesuai dengan kepercayaan, aturan kepercayaan dan agama yang dianut oleh manusia. Bentuknya tetap, berdasarkan kegiatan istimewa yang berbeda dengan tindakan yang biasa dilakukan sehari-hari.
Para penganut Shinto menyembah kami (dewa). Mereka menganggap semua makhluk memiliki roh sehingga semua makhluk dapat dikatakan sebagai kami. Kualitas pertumbuhan, kesuburan, produksi, fenomena alam (angin dan petir), alam (matahari, gunung, sungai, pohon dan batu), hewan dan roh-roh leluhur keluarga sudah dianggap sebagai kami sejak zaman kuno. Pernyataan tersebut didukung melalui penjelasan di dalam 英語では語る日本書情 (Eigo de ha Kataru Nihon Shojou) berikut ini:
11
日本人にとって,神は、他の宗教に比べると、人間や自然に極めて近い 存在です。自然の中や先祖の霊に神を見出すこともあるのです。 Terjemahan: Bagi orang Jepang, kami lebih dekat dengan manusia dan alam dibandingkan dengan agama-agama lainnya. Kami dapat ditemukan di dalam alam dan roh leluhur. Roh-roh tidak selalu lebih hebat daripada manusia, ada juga roh-roh yang dikasihani karena lemah tetapi tetap dianggap sebagai kami. Sekarang ini, konsep kami meliputi keadilan, keteraturan dan berkah (Ono, 1998:6-7). Meskipun kebanyakan kami bersifat baik, ada juga kami yang bersifat jahat. Kami dengan sifat jahat, disebut tatarigami, harus diperlakukan dengan hati-hati (Varley, 2000:11). Konsep utama dalam tradisi Shinto adalah konsep akan kesucian. Ritual dan upacara Shinto bertujuan untuk menyucikan, menghalau datangnya kesialan atau bencana dan menambah kerjasama antar kami agar tercipta kedamaian dan kebahagiaan untuk individu maupun kelompok. Shinto memiliki empat konsep di dalam penyembahan, yaitu: a. Penyucian (harai) Harai (祓) bertujuan untuk menghilangkan hal-hal yang kotor dan jahat (tsumi, 罪) yang dapat menghalangi kehidupan yang sejalan dengan jalan kami. Harai terbagi atas tiga, yaitu sebagai berikut: 1. Harai (祓) Merupakan penyucian yang dilakukan oleh pendeta dengan menggunakan harai-gushi ( 祓 串 ), sebuah tongkat yang telah ditempelkan kertas
12
berbentuk zig-zag. Harai-gushi tersebut dilambaikan pada tempat atau orang yang menginginkan suatu penyucian. 2. Misogi (禊) Merupakan penyucian dengan menggunakan air. Misogi dapat dilakukan dengan mengambil air dengan menggunakan tangan atau ember kecil dan juga dengan cara berdiri di bawah air terjun. 3. Imi (忌) Merupakan penyucian dengan cara menghindari kata-kata atau tindakan tertentu, seperti larangan penggunaan kata “kiru” dan “deru” pada hari pernikahan (Picken, 1994:172). b. Persembahan (shinsen, 神饌) Shinsen bertujuan untuk menyenangkan hati kami. Oleh karena itu shinsen harus dilakukan setiap hari. Jika tidak dilakukan, kami menjadi tidak senang dan menyebabkan kesialan terhadap orang yang lupa melakukan shinsen. Persembahan biasanya diberikan berupa nasi, garam, air dan setangkai sakaki. c. Doa-doa (norito, 祝詞) Doa ditulis dalam bahasa Jepang klasik dan dibacakan oleh pemuka agama di kuil-kuil. Doa berisi pujian untuk kami, pernyataan syukur dan kata-kata perpisahan sebagai tanda hormat. d. Perjamuan simbolik (naorai, 直会) Naorai mempunyai makna “makan bersama kami”. Dilaksanakan dengan cara meminum sake yang diberikan oleh pendeta. (Sokyo, 1998:50-57)
13
Festival atau matsuri juga merupakan aktivitas agama Shinto. Ribuan festival diselenggarakan tiap tahun di seluruh penjuru Jepang. Tiap kuil Shinto memiliki festival tahunan tersendiri yang pada umumnya berhubungan dengan pertanian. Festival yang diadakan bisa menarik ratusan hingga ratusan ribu orang (Picken, 1994:176).
2.2 Sumō (相撲) Selain matsuri, sebuah pertandingan olah raga juga bisa menarik suporter dalam jumlah yang tidak kalah besar di Jepang. Menurut Reischauer (1999:224-226), masyarakat Jepang sangat berpartisipasi dalam olah raga, baik sebagai peserta maupun suporter. Mereka bermain dengan baik dalam baseball, voli dan olahraga lainnya. Balap kuda hingga pertandingan baseball tingkat nasional untuk SMU dapat menarik puluhan ribu suporter. Tidak hanya olahraga modern yang digemari, olahraga tradisional Jepang seperti sumō terbukti sebagai acara televisi yang sangat bagus dan meraih sebuah popularitas yang baru. Menurut Foreign Press Center Japan (2006), pada tahun 2004 turnamen sumō dihadiri hingga 571.000 orang. Turnamen sumō kini tidak hanya diadakan di Jepang tapi juga di negara-negara lain seperti Uni Soviet pada tahun 1965 dan Las Vegas pada bulan Oktober tahun 2005. Secara harafiah, kanji 相 berarti saling dan 撲 berarti memukul. Olahraga ini merupakan olahraga saling dorong-mendorong antara dua orang pegulat sumō yang disebut sumōtori (相撲取り).
14
2.2.1 Peran-peran di Dalam Sumō Jika sebuah pertandingan sumō diibaratkan sebagai sebuah pertunjukan drama, maka pelakon-pelakon di dalamnya terdiri dari sumōtori (pegulat), gyoji (wasit), shinpan (juri) dan yobidashi (penyelenggara). a. Sumōtori (相撲取り) Ciri khas seorang sumōtori adalah badan yang besar karena mereka diharuskan berbadan besar dan tambun karena semakin besar tubuh seorang sumōtori maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menang. Pada umumnya, sumōtori memulai karirnya sejak usia belasan tahun dan pensiun di awal usia tiga puluh tahun. Semua sumōtori berlatih di sebuah heya (部屋) yang telah dilengkapi dengan segala fasilitas untuk latihan yang disebut keiko. Peringkat sumōtori disusun seperti sebuah piramid, sesuai menurut prestasi para sumōtori tersebut. Peringkat di dalam sumō terbagi atas dua divisi yaitu sumōtori yang digaji dan tidak digaji. Nama-nama para sumōtori ditulis di dalam banzuke. Banzuke merupakan lembaran yang berisi daftar resmi peringkat-peringkat sumō. Sumōtori yang tidak digaji terdiri atas: maezumo (pemula), jonokuchi (peringkat terendah), jonidan, sandanme dan makushita (peringkat tertinggi untuk divisi ini). Untuk divisi sumōtori yang digaji, peringkat terendah disebut juryo. Divisi atas (makuuchi) dibagi atas maegashira (sumōtori senior) dan sanyaku yang terdiri atas komusubi (peringkat terendah di dalam divisi ini), sekiwake, ozeki dan yokozuna (peringkat tertinggi di dalam sumō). Berikut ini ilustrasi urutan peringkat di dalam sumō.
15
Makuuchi
Sanyaku Sekitori
Yokozuna Ozeki Sekiwake Komusubi Maegashira
Juryo Makushita Sandanme Jonidan Jonokuchi Maezumo Yokozuna adalah gelar yang diberikan kepada pegulat sumō profesional yang telah mencapai peringkat teratas dalam olahraga sumō. Berikut ini penjelasan mengenai gelar yokozuna yang terdapat di dalam Nihon Jiten (2003:422): 降格のない地位は最高位の横綱のみだが、地位にふさわしい結果 を残せなければ、横綱は引退しなければならなくなる。 Terjemahan: Gelar yokozuna merupakan satu-satunya gelar yang permanen, tetapi jika ia tidak dapat mempertahankan prestasinya maka ia diharapkan untuk berhenti. Istilah yokozuna berasal dari tambang (tsuna) berukuran lebar (yoko) yang dililitkan di pinggang pegulat bergelar yokozuna. b. Gyōji (行司) Gyōji bertugas untuk mengawasi sebuah pertandingan. Seperti sumōtori, gyōji juga memiliki peringkat dan berasal dari sebuah heya. Peringkat gyōji ditentukan berdasarkan senioritas dan ketepatan dalam mengawasi pertandingan. Kepala gyōji (tategyōji) biasanya telah memiliki empat puluh hingga lima puluh tahun
16
pengalaman dalam mengawasi pertandingan. Gyōji senior diharapkan untuk mewariskan tradisi dan kemampuan mereka kepada gyōji junior. c. Shinpan (審判) Shinpan adalah sumōtori yang sudah pensiun dan berperan sebagai tetua di dalam sumō (oyakata). Biasanya pemilihan shinpan diadakan setiap dua tahun sekali. Tugas seorang shinpan adalah untuk mengawasi tachi-ai ( 立 合 い ), serangan pertama dalam sebuah pertandingan. d. Yobidashi (呼出) Tugas seorang yobidashi adalah untuk memanggil sumōtori yang hendak bertanding. Ia memanggil nama sumōtori sambil memegang sebuah kipas tradisional. Selain memanggil sumōtori, seorang yobidashi juga bertanggung jawab untuk menangani pembangunan dohyō.
2.2.2 Tata Cara Sumō Kemenangan dalam sebuah pertandingan sumō ditentukan berdasarkan beberapa peraturan. Sumōtori dinyatakan kalah jika lebih dulu menyentuh tanah dengan bagian tubuh selain telapak kaki atau lebih dulu menginjak tanah di luar lingkaran ring sumō yang disebut dohyō (土俵). Sumōtori yang menggunakan teknik yang tidak sah (kinjite) secara otomatis dinyatakan kalah. Asosiasi Sumō Jepang mengeluarkan tujuh puluh teknik yang sah untuk memenangkan pertandingan (kimarite). Sumōtori dengan mawashi (sabuk yang juga berfungsi sebagai celana) yang lepas sewaktu bertanding juga dinyatakan kalah. Sumōtori yang tidak muncul sewaktu tiba gilirannya untuk bertanding juga dinyatakan kalah secara fusenpai. Setelah salah seorang sumōtori dinyatakan
17
sebagai pemenang, juri (gyōji) yang berada di luar ring mengumumkan kimarite, teknik yang digunakan oleh sumōtori yang menang (Kodansha, 1983).
2.2.3 Dohyō (土俵) Dohyō (土俵) merupakan arena bertanding sumō. Dohyō dibuat dari campuran tanah liat yang dikeraskan dengan pasir yang disebarkan di atasnya. Dohyō dibongkar setelah pertandingan selesai dan dohyō yang baru harus selalu dibangun untuk setiap turnamen. Pembangunan dohyō untuk keperluan turnamen atau latihan menjadi tanggung jawab yobidashi. Lingkaran tempat pertandingan berlangsung mempunyai diameter 4,55 meter dan dikelilingi oleh karung beras yang disebut tawara (俵). Ukuran karung beras sekitar 1/3 ukuran karung beras standar yang sebagian dipendam di dalam tanah liat yang membentuk gundukan dohyō. Sedikit di luar lingkaran diletakkan empat buah tawara yang di zaman dulu dimaksudkan untuk menyerap air hujan sewaktu turnamen sumō masih diselenggarakan di tempat terbuka. Di tengah-tengah lingkaran terdapat dua garis putih yang disebut shikiri-sen (仕切り 線). Kedua sumōtori yang bertarung harus berada di belakang garis shikiri-sen sebelum pertandingan dimulai. Bagian luar sekeliling lingkaran disebut janome yang dilapisi pasir halus untuk membentuk permukaan yang mulus. Sumōtori yang terdorong ke luar lingkaran atau terjatuh pasti menimbulkan tanda pada permukaan janome akibat terkena injakan kaki atau anggota tubuh yang lain. Yobidashi harus memastikan permukaan janome berada dalam keadaan mulus sebelum pertandingan yang lain dimulai. Dohyō dapat dilihat pada gambar 2-3 dan 2-4 (Kodansha, 1983:271).
18
Gambar 2-1. Dohyō
Sumber: Kodansha Ltd, Japan: An Illustrated Encyclopedia (1993). Keterangan: 1. Dekorasi merah
5. Tempat pijakan
9. Dekorasi hijau
2. Sisi selatan
6. Garis awal
10. Dekorasi putih
7. Sisi utara
11. Dekorasi hitam
(belakang) 3. Tirai dekorasi 4. Sisi timur
(depan) 8. Sisi barat
12. Atap 13. Tirai
19
Gambar 2-2. Dohyō
Sumber: Kodansha Ltd, Japan: An Illustrated Encyclopedia (1993). Keterangan: 1. Dekorasi putih
6. Sisi barat
2. Tempat pijakan
7. Sisi utara (depan)
3. Sisi selatan (tempat wasit
8. Lingkaran batas
menunggu)
9. Batas dispensasi (sebuah pijakan
4. Garam
di luar dohyō tidak dianggap
5. Sisi timur
sebuah kekalahan) 20
2.2.4 Ritual Dalam Sumō Sumō bukan hanya sebuah olahraga tapi juga merupakan seni, ritual dan filosofi. Upacara-upacara ritual merupakan ciri khas sumō dan rangkaian upacara-upacara tersebut terdiri dari: a. Dohyō-matsuri (土俵祭) Merupakan sebuah upacara yang bertujuan untuk menyucikan dohyō. Upacara ini hanya dilakukan pada hari pertama turnamen (honbasho) dan dipimpin oleh seorang tate gyōji (gyōji senior). b. Dohyō-iri (土俵入) Dohyō-iri adalah upacara memasuki ring. Untuk sumōtori peringkat tinggi, diharuskan untuk memakai keshomawashi. Mereka memasuki ring dan berbaris di diameter luar ring. Ketika sumōtori terakhir memasuki ring, mereka berbalik menghadap ke bagian dalam ring, bertepuk tangan, mengangkat keshomawashi dan akhirnya mengangkat tangan mereka. Ketika Tenno hadir di dalam sebuah turnamen, dohyō-iri yang dilakukan sedikit berbeda. Para sumōtori tidak berbaris membentuk lingkaran, melainkan berbaris menghadap ke arah kaisar. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada yang membelakangi kaisar (Newton, 1999). Untuk yokozuna, dohyō-iri yang dilakukan bernama yokozuna dohyō-iri. Tiap yokozuna melakukan dohyō-iri secara individual dengan sebuah tsuna (tambang putih dan tebal) yang dililitkan di pinggang menimpa keshomawashi. Yokozuna didampingi oleh dua orang pengawal, tachimochi dan tsuyuharai. Tachimochi
21
membawa pedang yang menandakan status yokozuna sebagai seorang samurai. Tachimochi juga harus merupakan pegulat sumo dari peringkat paling atas. c. Shikiri (仕切り) Semua sumōtori dari divisi manapun harus mengikuti shikiri, sebuah ritual yang dilakukan sebelum pertandingan. Sumōtori duduk di depan dohyō sejak dua pertandingan sebelum pertandingannya sendiri. Jika sudah waktunya untuk bertanding, mereka dipanggil oleh yobidashi dan memasuki dohyō tetapi bukan untuk bertanding melainkan untuk melakukan shikiri. Pertama-tama sumōtori menghentakkan kakinya sebanyak dua kali di sudut ring lalu berkumur dengan chikaramizu dan menyeka mulut dan tubuh bagian atasnya dengan selembar chikaragami. Kemudian ia menghampiri tokudawara terdekat dari sudutnya, berjongkok sambil menepuk tangan sebanyak satu kali dan merenggangkan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke atas. Ritual ini disebut chirichozu, menunjukkan bahwa sumōtori tersebut tidak bersenjata. Setelah melakukan chiri-chozu, sumōtori kembali ke sudut masing-masing dan melempar garam ke dalam dohyō dan berjongkok tepat dibelakang shiriki-sen, garis awal, bersiap-siap untuk memulai pertandingan. d. Yumitori-shiki (弓取り式) Upacara penutupan yang dilakukan pada pertandingan terakhir untuk hari tersebut dalam turnamen resmi (senshuraku). Upacara ini telah berlangsung sejak tahun 1575 ketika Oda Nobunaga memberikan salah satu busur kesayangannya kepada Miai Ganzaemon, pemenang turnamen besar yang dihadiri Oda Nobunaga. Miai sangat senang hingga ia menari dan memutar-mutar busur
22
tersebut sebagai tanda terima kasih. Yumitori-shiki tidak boleh dilakukan oleh ozeki. Biasanya sumōtori dari peringkat makushita dipilih untuk melakukan upacara ini. Yumitori-shiki dilakukan dengan memutar-mutar busur di atas kepala, melewati belakang, menyekop tanah dan akhirnya menaruh busur tersebut di pundak. e. Danpatsu-shiki (断髪式) Selain tubuh yang besar, ciri khas seorang sumōtori juga terletak pada tata rambutnya yang unik yang disebut chōnmage. Tata rambut seperti ini berfungsi sebagai penyatu kekuatan dari kepala hingga ujung kaki dan juga untuk mencegah cedera pada bagian kepala jika terjatuh. Untuk pegulat tingkat sekitori, tata rambutnya disebut oichōmage. Tata rambut ini bentuknya seperti daun ginkgo dan lebih rumit daripada chōnmage. Oichōmage hanya dipakai selama sekitori berada di dalam ring atau pada acara formal. Ketika seorang sekitori memutuskan untuk berhenti dari sumō, diadakan upacara pemotongan rambut yaitu danpatsu shiki (Wheeler, 1973).
2.2.5
Kostum Sumō
Kostum di dalam sumō dapat dibagi menjadi dua yaitu kostum untuk sumōtori dan gyōji. Tata rambut sumōtori juga termasuk bagian di dalam kostum. Adapun penjelasannya sebagai berikut: a. Kostum sumōtori dan gyōji 1. Kostum untuk sumōtori terdiri dari: 1.1 Mawashi
23
Mawashi adalah sabuk yang juga berfungsi sebagai celana. Untuk peringkat sekitori, mawashi yang digunakan terbuat dari bahan sutera dan terdapat bermacam-macam warna. Mawashi sutera ini hanya dipakai untuk pertandingan. Untuk latihan biasa, sumōtori memakai mawashi yang terbuat dari katun. Sumōtori peringkat bawah memakai mawashi berwarna hitam untuk pertandingan maupun latihan. Sumōtori mempercayai bahwa warna mawashi yang dipakai mempengaruhi keberuntungan mereka dalam suatu pertandingan. Oleh karena itu, jika performa mereka dalam suatu pertandingan buruk, maka mereka akan mengganti warna mawashi mereka untuk pertandingan berikutnya. 1.2 Keshomawashi Keshomawashi adalah kain berwarna-warni dan penuh dekorasi yang hanya dipakai oleh sekitori untuk dohyō-iri. Pada umumnya keshomawashi terbuat dari sutera dan satin terbaik dan memakan waktu paling sedikit sebulan untuk membuatnya. Motif yang dibordir pada keshomawashi adalah kaligrafi atau pemandangan alam dari tempat kelahiran sumōtori. 2. Kostum gyōji Gyōji memakai kostum sesuai dengan peringkat mereka. Untuk peringkat terendah, kostum yang digunakan sangat sederhana dan keindahan kostum gyōji semakin meningkat sesuai dengan peringkatnya. Gyōji membawa sebuah kipas dan dari kipas tersebut dapat terlihat peringkat mereka. Warna ungu hanya digunakan oleh tategyōji yang merupakan peringkat tertinggi, 24
diikuti oleh warna ungu putih, merah marun, merah putih, biru putih, biru dan kemudian hitam yang merupakan peringkat terendah. Gyōji termuda tidak memakai alas kaki sedangkan gyōji senior memakai tabi (kaus kaki dan sandal) berwarna putih. b. Tata rambut sumōtori (mage) Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, selain berbadan besar, ciri khas seorang sumōtori juga terlihat pada penataan rambutnya yang disebut mage dan ditata oleh penata rambut khusus (tokoyama) yang telah melewati latihan selama kurang lebih sepuluh tahun untuk menguasai gaya penataan rambut ini. Terdapat dua jenis tata rambut yaitu chōnmage (丁髷) dan oichōmage (大銀杏髷). Chōnmage merupakan tata rambut untuk kegiatan-kegiatan yang tidak resmi dan harus selalu digunakan oleh sumōtori yang tidak digaji. Sedangkan untuk sumōtori peringkat atas, tata rambut ini hanya digunakan untuk sehari-hari. Bentuknya menyerupai tata rambut yang terkenal di seluruh Jepang pada akhir zaman Edo. Untuk kegiatan resmi, sumōtori peringkat atas menggunakan tata rambut oichōmage. Pada bab berikutnya, bab 3 yang berisi analisis data, penulis akan menganalisis ada tidaknya pengaruh Shinto di dalam ritual, kostum, dan dohyō sumō.
25