BAB 2
ANALISA DAN DATA
2.1
Sumber Data dan Informasi
Sumber data dan informasi untuk mendukung proyek Tugas Akhir saya diperoleh dari beberapa sumber yang terdiri dari:
2.1.1 Website : • http://bangsabugis.blogspot.com/ • http://www.rappang.com/ • http://gowata.blogspot.com/ • http://lontaraproject.com/
2.1.2 Literatur dan Buku :
• Cinta, Laut, dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo Oleh Nurhayati Rahman • I La Galigo, Cerita Bugis Kuno oleh R.A Kern • I La Galigo, Oleh Nunding Ram • Manusia Bugis, Oleh Cristian Pelras • Ritumpanna Welenrennge oleh Fachruddin Ambo Enre • Tiga dari Galigo Oleh Drs, H. Muhammad Salim • Bugis – Makassar , Manusia dan Kebudayaannya Oleh
Drs.
Mattulada
1
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Sastra Sastra (Sansekerta, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata "sastra" bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.Selain pengertian istilah atau kata sastra di atas, dapat juga dikemukakan batasan / defenisi dalam berbagai konteks pernyataan yang berbeda satu sama lain. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa sastra itu bukan hanya sekedar istilah yang menyebut fenomena yang sederhana dan gampang. Sastra merupakan istilah yang mempunyai arti luas, meliputi sejumlah kegiatan yang berbeda-beda. Kita dapat berbicara secara umum, misalnya berdasarkan aktivitas manusia yang tanpa mempertimbangkan budaya suku maupun bangsa. Sastra dipandang sebagai suatu yang dihasilkan dan dinikmati. Orang-orang tertentu di masyarakat dapat menghasilkan sastra. Sedang orang lain dalam jumlah yang besar menikmati sastra itu dengan cara mendengar atau membacanya. Batasan sastra menurut Plato, adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide. Aristoteles murid Plato memberi batasan sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Menurut kaum formalisme Rusia, sastra adalah sebagai gubahan bahasa yang bermaterikan kata-kata dan bersumber dari imajinasi atau emosi pengarang. Rene Welleck dan Austin Warren, memberi defenisi bahasa dalam tiga hal :
2
1. Segala sesuatu yang tertulis 2. Segala sesuatu yang tertulis dan yang menjadi buku terkenal, baik dari segi isi maupun bentukkesusastraannya 3. Sebagai karya seni yang imajinatif dengan unsur estetisnya dominan dan bermediumkan bahasa. Sastra merupakan perwujudan pikiran dalam bentuk tulisan. Tulisan menggambarkan media pemikiran yang tercurah melalui bahasa, bahasa yang bisa direpresentasikan dalam bentuk tulisan, media lain bisa saja berbentuk gambar, melody musik, lukisan ataupun karya lingkungan binaan/arsitektur. Sastra menjadi bagian dari budaya masyarakat. Sastra yang memuat materi yang tinggi dipelihara secara turun-temurun oleh para pujangga, banyak yang secara lisan karena media tulisan sangat terbatas, hanya daun lontar.
Menurut KBBI arti sastra adalah 1. bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); 2. karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Dalam bahasa Inggris kita mengenal kata literature, diserap menjadi literatur ke dalam bahasa Indonesia. Arti literature (menurut kamus online WorldNet) adalah: 1. creative writing of recognized artistic value 2. the humanistic study of a body of literature; “he took a course in French literature” 3. published writings in a particular style on a particular subject; “the technical literature”; “one
aspect of Waterloo has not yet been
treated in the literature” 4. the profession or art of a writer; “her place in literature is secure”. Sumber ( http://yosiabdiantindaon.com/2012/04/pengertian-sastra.html)
3
2.2.2 Mitologi Dari mitos Yunani, mitos berarti cerita atau kata. Mitologi adalah studi tentang mitos. Sebagai cerita (atau narasi ), mitos mengartikulasikan bagaimana karakter menjalani atau memberlakukan memerintahkan urutan kejadian. Mitos istilah telah datang untuk merujuk ke sebuah genre tertentu (atau kategori) cerita yang berbagi karakteristik yang membuat genre ini jelas berbeda dari yang lain genre narasi lisan , seperti legenda dan cerita rakyat. Banyak definisi mitos ulangi aspek umum yang sama dari genre dan dapat diringkas sebagai berikut: Mitos adalah cerita simbolis dari masa lalu (sering kali primordial) yang menyangkut kosmogoni dan kosmologi (asal usul dan sifat alam semesta), dapat dihubungkan ke sistem kepercayaan atau ritual, dan dapat berfungsi untuk mengarahkan aksi sosial dan nilai-nilai. Definisi klasik mitos dari studi cerita rakyat menemukan delineasi jelas dalam artikel William Bascom "The Bentuk Folklore: Prose Narasi" di mana mitos didefinisikan sebagai cerita diyakini sebagai benar, biasanya sakral, mengatur di masa lalu atau dunia lain atau belahan dunia , dan dengan ekstra-manusia, tidak manusiawi, atau heroik karakter s mitos. ini, sering digambarkan sebagai "kosmogonik," atau "asal" mitos, berfungsi untuk memberikan perintah atau kosmologi, berdasarkan "kosmik" dari kosmos Yunani yang berarti order (Leeming 1990, 3, 13; Bascom, 1965). Perhatian Kosmologi dengan urutan alam semesta menemukan narasi, ekspresi simbolik dalam mitos, yang dengan demikian sering membantu membangun nilai-nilai penting atau aspek pandangan dunia budaya itu. Bagi banyak orang, mitos tetap wacana nilai-sarat yang menjelaskan banyak tentang sifat manusia. Mitos adalah kosmogonik Narasi, terhubung dengan Yayasan atau Origin of the Universe (dan makhluk kunci dalam alam semesta yang), meskipun sering secara khusus dalam hal budaya atau wilayah tertentu.Mengingat koneksi ke asal, pengaturan biasanya primordial (awal waktu) dan karakter proto-manusia atau deific. Mitos juga sering memiliki nada kosmogonik bahkan ketika tidak sepenuhnya kosmogonik, misalnya yang berhubungan
4
dengan asal-usul elemen penting dari budaya (makanan, obat-obatan, upacara, dll). Mitos adalah Narasi dari Nature Suci, sering dihubungkan dengan beberapa Ritual. Mitos sering narasi dasar atau kunci yang terkait dengan agama. Narasi ini diyakini benar dari dalam sistem iman terkait(Meskipun kadang-kadang kebenaran yang dipahami sebagai metafora ketimbang literal). Dalam setiap budaya tertentu mungkin ada mitos sakral dan sekuler bersamaan. Mitos adalah Narasi formatif atau reflektif Ketertiban Sosial atau Nilai dalam Budaya (misalnya fungsionalisme ).Mitos adalah Narasi Perwakilan dari khusus Epistemologi atau Way of Understanding Alam dan Mengorganisir
Pemikiran. Misalnya, strukturalisme mengakui
bundel
dipasangkan berlawanan (atau dualitas - seperti terang dan gelap) sebagai pusat mitos. Mitos adalah Narasi yang "Counter-faktual dalam menampilkan aktor dan tindakan yang mengacaukan konvensi pengalaman rutin" (McDowell, 80). Ada banyak fungsi dan implikasi dikaitkan dengan mitos lainnya. Mereka sering sangat dihargai atau sengketa cerita yang masih intrik kami meskipun banyak dari kita tidak mengenali mereka sebagai genre yang hidup dalam budaya kita. Sebagai McDowell definisi (#6 di atas) menunjukkan, mitos sering melibatkan karakter yang luar biasa atau episode yang tampaknya mustahil di dunia kita, tapi "prestasi luar biasa dan sifat protagonis mitis yang mungkin hanya karena mereka menempel pada periode primer dan formatif dalam pertumbuhan dan perkembangan peradaban "(80); sehingga berbagai aspek atau dimensi mereka terbaik dianggap sebagai "organik terjalin" (McDowell, 80). Bahkan konotasi kontemporer mitos sebagai "kebohongan," sering dipahami sebagai bertentangan dengan ilmu pengetahuan, mungkin berasal dari pengakuan atribut ini mitos (# 6) dalam isolasi. Mitos juga tampaknya bertentangan dengan ilmu pengetahuan karena mereka tidak dapat diuji, yang merupakan kasus (setidaknya untuk mitos asal) karena pengaturan primordial mereka -
5
jika peristiwa yang dijelaskan berasal dari, dunia sebelumnya yang berbeda, maka tentu saja mereka tidak akan berulang atau logis di dunia kita. Kedua
mitos
dan
ilmu
menawarkan
penjelasan
dari
kosmos. Perbedaan utama adalah bahwa informasi tentang alam semesta yang disajikan dalam mitos tidak diuji, sedangkan ilmu dirancang untuk diuji berulang kali.Ilmu juga tergantung pada kumulatif, pengetahuan sering diperbarui, sedangkan mitos didasarkan pada diturunkan cerita dan keyakinan. Mitos dapat berubah dari waktu ke waktu, terutama setelah kontak dengan budaya lain, tetapi mereka tidak berubah dan beradaptasi dengan periode baru dan perkembangan teknologi dengan cara yang sama ilmu pengetahuan tidak. Mitos dapat ditetapkan melalui ritual dan percaya benar-benar, tetapi mereka biasanya tidak memiliki efek fisik di dunia nyata, seperti dalam mengarah ke teknologi baru untuk membangun mobil atau menyediakan perawatan medis. Orang mungkin percaya bahwa mereka disembuhkan melalui iman, dan mereka dapat menemukan nilai-sarat penting sentimen dalam mitos, tetapi ini "hasil dunia nyata" yang tidak empiris atau biasanya berulang (dua kriteria standar untuk ilmu pengetahuan). Meskipun ilmu pengetahuan berbeda dari mitos dalam menawarkan aktual, kontrol diuji terhadap lingkungan dan memproduksi nyata, hasil berulang di dunia, ilmu TIDAK benar-benar bercerai dari mitos. Banyak teori-teori ilmiah yang disajikan atau dipahami dalam bentuk narasi, yang sering berakhir terdengar sangat mistis, sebagai sarjana seperti Stephen Jay Gould dan Gregory Schrempp telah dibahas (lihat beasiswa sebagai mitos bagian bawah). Mitos dianggap oleh para sarjana Victoria sebagai sisa-kali sebelumnya (mungkin busuk atau mencerminkan "primitif" leluhur yang membawa mereka secara harfiah). Beberapa melihat mereka sebagai bukti teori evolusi sosial dari abad ke-19. Ini Victoria ulama (seperti EB Tylor) percaya bahwa manusia dalam semua kebudayaan maju melalui tahap evolusi dari "kekejaman" untuk "barbarisme" dan akhirnya ke "peradaban." , Tahap yang paling maju akhir ini tentu terbaik diwakili oleh laki-laki
6
(Victoria) menulis teori. Teori-teori tersebut tampaknya tidak lagi masuk akal. Kami
belum,
misalnya,
berkembang
melampaui
kebrutalan,
pembunuhan, perang, dan ketidakadilan kuburan hanya karena kita memiliki teknologi yang lebih maju (pada kenyataannya kita menggunakan teknologi kami sebagian untuk lebih efisien membunuh manusia lain). Kami juga mengakui kompleksitas, perhatian, dan keindahan banyak budaya lain kita mungkin pernah dianggap lebih rendah daripada kita sendiri. Berdasarkan lebih dari satu abad etnologi (penelitian lapangan antropologis) dan penelitian di bidang psikologi, genetika, dan disiplin lainnya, sarjana sekarang menerima bahwa manusia dari semua era dan belahan dunia memiliki kapasitas intelektual yang sama dan potensial. Kami memahami juga hari ini bahwa teori kita sendiri mungkin tampak seperti bodoh untuk keturunan kami sebagai konsepsi mereka tentang alam semesta tampaknya kadang-kadang kita (lihat beasiswa sebagai mitos bagian bawah). Nenek moyang kita memahami metafora serta kita. Ini tidak berarti nenek moyang kita hidup persis seperti yang kita lakukan, atau bahwa kita memahami dunia dengan cara yang sama. Tapi mitos melayani kita lebih baik sebagai sarana untuk memahami nenek moyang kita jika kita menerima kapasitas
mereka
untuk
ekspresi
intelektual
dan
artistik
yang
kompleks. Teori memungkinkan kita untuk melakukan pekerjaan kita sebagai ulama, meskipun upaya terbaik kami datang dengan kesadaran diri dari teori dan metode yang kami pekerjakan sebagai ulama. Kita sekarang memahami dan mendiskusikan mitos tradisional dan teks sejenis lainnya yang muncul dan rumit terhubung ke situasi kinerja atau konteks. Semakin kita dapat memahami dari konteks mitos, budaya itu berasal dari, individu yang mengatakan itu, kapan dan untuk tujuan apa, penonton yang menerimanya, dll, semakin baik kesempatan yang kita miliki menawarkan interpretasi yang akurat. Tentu saja, lebih jauh ke belakang dalam waktu satu pergi, semakin sulit untuk mempelajari konteks. Meskipun demikian, semakin besar upaya untuk memahami konteks yang membuat, potensi lebih baik untuk menafsirkan mitos menjadi. Dan bahkan jika kita tidak dapat
7
sepenuhnya memahami mitos budaya lain, itu tidak berarti mereka mitos tidak signifikan, tidak berguna, atau "primitif" (istilah yang sangat ofensif hari ini dalam kajian budaya). Mitos, sebagai penjelasan dari kosmos dan bagaimana hidup, sejajar dengan ilmu pengetahuan dalam banyak cara. Namun karena perbedaan mereka dari ilmu pengetahuan, mereka sering muncul tidak signifikan, aneh, tidak berguna, atau primitif orang-orang kontemporer. Banyak orang mengeluhkan penurunan mitos, karena mereka berjanji bimbingan moral dan kenyamanan yang membantu memperkaya kehidupan. Untuk alasan ini, banyak orang tetap tertarik pada mitos dan berusaha untuk menghidupkan kembali atau menghormati mereka. Selain itu, mitos terus intrik kita karena kaya simbolis, metaforis, dan narasi banding mereka. Beberapa orang percaya musik klasik, film, dan bahkan novel telah mengisi tempat mitos digunakan untuk menempati budaya. Dalam dunia post-modern kita banyak orang percaya mitos yang ada di baru, dikombinasikan, atau dihidupkan kembali bentuk. Salah satu fungsi dari semua seni adalah untuk mendamaikan kita dengan paradoks. Lain adalah untuk menunjukkan polapola dasar kehidupan dan alam semesta. Bahkan jika mereka tidak lagi berhubungan dengan ritual keagamaan, sistem kepercayaan, atau momen primordial penciptaan, "mitos" karakter heroik yang memediasi paradoks mengganggu kehidupan akan selalu memaksa kita dan bisa, saya yakin, masih bisa ditemukan dalam budaya kita. Karakteristik Mitos Mengingat peringatan (di atas) tentang berapa banyak definisi mitos telah diperdebatkan dan menulis tentang, mengambil karakteristik berikut mitos dalam roh di mana mereka dimaksudkan: pedoman umum yang diperoleh dari apa yang banyak orang telah memperhatikan sesering menjadi benar mitos . Ingat karakteristik ini tidak mutlak atau semua-encompasing. 1. Sebuah cerita yang atau dianggap sebagai penjelasan yang benar dari dunia alam (dan bagaimana hal itu datang untuk menjadi).
8
2. Karakter sering non-manusia - misalnya dewa, dewi, makhluk gaib, orang pertama. 3. Pengaturan adalah proto-dunia sebelumnya (agak seperti ini tetapi juga berbeda). 4. Plot mungkin melibatkan interaksi antara dunia (dunia ini dan dunia sebelumnya atau asli). 5. Menggambarkan peristiwa yang bengkok atau melanggar hukum alam (mencerminkan koneksi ke dunia sebelumnya). 6. Kosmogonik / penjelasan metafisik alam semesta (formatif pandangan dunia). 7. Fungsional: "Piagam untuk aksi sosial" - menyampaikan bagaimana hidup: asumsi, nilai-nilai, makna inti dari individu, keluarga, masyarakat. 8. Membangkitkan kehadiran Misteri, Unknown (memiliki "sakral" semburat). 9. Reflektif dan formatif struktur dasar (dualitas: terang / gelap, baik / buruk, menjadi / ketiadaan, mentah / matang, dll) bahwa kita harus berdamai. Dualitas sering dimediasi oleh karakter dalam mitos. 10. Tema umum: bahasa membantu memesan dunia (kosmos); sehingga mencakup banyak daftar, nama, dll 11. Metaforik,
pertimbangan
narasi
/
penjelasan
"ontologi"
(studi
menjadi). Mitos berusaha untuk menjawab, "Siapakah kita" "Apa tujuan kami?" Dll "Mengapa kita di sini?" - Pertanyaan mendasar kehidupan. 12. Kadang-kadang: aspek narasi ritual yang signifikan (narasi inti praktik keagamaan yang paling penting dari masyarakat, pada dasarnya terhubung ke sistem kepercayaan, kadang-kadang sumber ritual) Sumber (http://www.faculty.de.gcsu.edu/~mmagouli/defmyth.htm ) 2.2.3.
Folklor
Folklor merupakan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat jenis-jenis folklor antara lain sebagai berikut:
9
2.2.3.1. Folklor Lisan • Bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis. • Ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran. • Pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki. • Sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair. • Cerita prosa rakyat. Menurut William R. Bascom, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale). Seperti: Malin Kundang dari Sumatra Barat, Sangkuriang dari Jawa Barat, Roro Jonggrang dari Jawa Tengah, serta Jaya Prana dan Layonsari dari Bali. • Nyanyian rakyat, seperti: Jali-Jali dari Betawi, Ampar Ampar Pisang dari Kalimantan, dan Olesio dari Ambon. 2.2.3.2. Folklor sebagian Lisan Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi sebagai berikut: • Kepercayaan dan takhayul. • Permainan dan hiburan rakyat setempat. • Teater rakyat, seperti: lenong, ketoprak, dan ludruk. • Tari rakyat, seperti: Tari Tayuban, Doger, Jaran, Kepang, dan Ngibing, Ronggeng. • Adat kebiasaan, seperti: gotong royong dalam pembuatan jalan, rumah atau pesta selamatan, dan khitanan. • Upacara tradisional, seperti: tingkeban, turun tanah, dan temu manten. 1. Pesta rakyat tradisional, seperti bersih desa sesudah panen, meruwat, dan selamatan.
2.2.3.3. Folklor bukan Lisan Foklor ini juga dikenal sebagai artefak (artifact) meliputi sebagai berikut: • Arsitektur bangunan rumah yang tradisional, seperti: joglo, di Jawa,Rumah Gadang di Minangkabau, rumah Beteng di Kalimantan, dan Honay di Papua. • Seni kerajinan tangan tradisional. • Pakaian Tradisional • Obat-obatan rakyat • Alat-alat music tradisional • Peralatan dan senjata yang khas tradisional • Makanan dan minuman khas daerah 10
2.2.4 Legenda Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, legenda sering kali dipandang sebagai “sejarah” kolektif (folk history). Walaupun demikian, karena tidak tertulis, maka kisah tersebut telah mengalami distorsi sehingga sering kali jauh berbeda dengan kisah aslinya. Oleh karena itu, jika legenda hendak dipergunakan sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah, maka legenda harus dibersihkan dulu bagianbagiannya dari yang mengandung sifat-sifat folklor. Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yaitu: legenda keagamaan (religious legends), legenda alam gaib (supernatural legends), legenda perseorangan (personal legends), dan legenda setempat (local legends). 2.2.4.1
Legenda Keagamaan Legenda Keagamaan adalah legenda orang-orang yang dianggap suci atau saleh. Cerita-cerita tersebut dikenal sebagai hagigrafi (legent of the saint) yang berarti cerita mengenai orang-orang suci. Karya semacam itu termasuk folklore karena versi asalnya masih tetap hidup di kalangan masyarakat sebagai tradisi lisan. 2.2.4.2
Legenda Alam Gaib Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhayul” atau kepercayaan rakyat. Contoh legenda ini yaitu kepercayaan terhadap adanya hantu, gendruwo dan sundel bolong. 2.2.4.3
Legenda Perseorangan Legenda perseorangan merupakan cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap benar-benar terjadi. Di Indonesia legenda semacam ini banyak sekali. Di Jawa Timur yang paling terkenal adalah legenda tokoh Panji. Panji adalah seorang putra raja Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur yang senantiasa kehilangan istrinya. Akibatnya, banyak muncul cerita Panji yang temanya selalu perihal istrinya yang menjelma menjadi wanita lain. Cerita Panji yang semula merupakan kesusastraan lisan (legenda), namun
11
telah banyak dicatat orang sehingga mempunyai beberapa versi dalam bentuk tulisan. 2.2.4.4. Legenda Setempat Legenda setempat adalah cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yaitu bentuk permukaan suatu tempat, berbukit-bukit, berjuarang dan sebagainya. Legenda setempat yang berhubungan dengan nama suatu tempat misalnya legenda Kuningan. Kuningan adalah nama suatu kota kecil yang terletak di lereng Gunung Cermai, di sebalah selatan kota Cirebon, Jawa Barat. 2.2.4.
Dongeng
Dongeng merupakan cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benarbenar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan walaupun banyak pula yang melukiskan kebenaran, berisi pesan moral atau bahkan sindiran. Jenis-jenis dongeng yakni dongeng binatang dan dongeng biasa Sumber(http://sejarahpendidikanoffb.com/2012/04/tradisi-sejarahmasyarakat-indonesia.html)
2.2.5
Budaya Kata budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
pikiran, akal budi atau adat-istiadat. Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia. Kebudayaan sendiri diartikan sebagai segala hal yang berkaitan dengan akal atau pikiran manusia, sehingga dapat menunjuk pada pola pikir, perilaku serta karya fisik sekelompok manusia. Sedangkan definisi kebudayaan menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Budiono K, menegaskan bahwa, “menurut antropologi, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”. Pengertian tersebut berarti pewarisan budaya-budaya leluhur melalui proses pendidikan.
12
Beberapa pengertian kebudayaan berbeda dengan pengertian di atas, yaitu: 1. Kebudayaan adalah cara berfikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial (masyarakat) dalam suatu ruang dan waktu. 2. Kebudayaan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan kepercayaan seni, moral, hukum, adat serta kemampuan serta kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. 3. Kebudayaan merupakan hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya yaitu masyaraakat yang menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan kebendaan yang terabadikan pada keperluan masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia yaitu kebijaksanaan yang sangat tinggi di mana aturan kemasyarakatan terwujud oleh kaidah-kaidah dan nilai-nilai sehingga denga rasa itu, manusia mengerti tempatnya sendiri, bisa menilai diri dari segala keadaannya. Pengertian kebudayaan tersebut mengispirasi penulis untuk menyimpulkan bahwa; akal adalah sumber budaya, apapun yang menjadi sumber pikiran, masuk dalam lingkup kebudayaan. Karena setiap manusia berakal, maka budaya identik dengan manusia dan sekaligus membedakannya dengan makhluk hidup lain. Dengan akal manusia mampu berfikir, yaitu kerja organ sistem syaraf manusia yang berpusat di otak, guna memperoleh ide atau gagasan tentang sesuatu. Dari akal itulah muncul nilai-nilai budaya yang membawa manusia kepada ketinggian peradaban. Dengan demikian, budaya dan kebudayaan telah ada sejak manusia berpikir, berkreasi dan berkarya sekaligus menunjukkan bagaimana pola berpikir dan interpretasi manusia terhadap lingkungannya. Dalam kebudayaaan terdapat nilai-nilai yang dianut masyarakat setempat dan hal itu memaksa manusia berperilaku sesuai budayanya. Antara kebudayaan satu dengan yang lain terdapat perbedaan dalam menentukan nilai-nilai hidup sebagai tradisi atau adat istiadat yang dihormati. Adat istiadat yang berbeda tersebut, antara satu dengan lainnya tidak bisa dikatakan benar atau salah, karena penilaiannya selalu terikat pada kebudayaan tertentu.
13
Kebudayaan sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang, begitu pula sebaliknya. Di dalam pengembangan kepribadian diperlukan kebudayaan, dan kebudayaan akan terus berkembang melalui kepribadian tersebut. Sebuah masyarakat yang maju, kekuatan penggeraknya adalah individu-individu yang ada di dalamnya. Tingginya sebuah kebudayaan masyarakat dapat dilihat dari kualitas, karakter dan kemampuan individunya. Manusia dan kebudayaan adalah dua hal yang saling berkaitan. Manusia dengan kemampuan akalnya membentuk budaya, dan budaya dengan nilai-nilainya menjadi landasan moral dalam kehidupan manusia. Seseorang yang berperilaku sesuai nilai-nilai budaya, khususnya nilai etika dan moral, akan disebut sebagai manusia yang berbudaya. Selanjutnya, perkembangan diri manusia juga tidak dapat lepas dari nilainilai budaya yang berlaku. Kebudayaan dan masyarakatnya memiliki kekuatan yang mampu mengontrol, membentuk dan mencetak individu. Apagi manusia di samping makhluk individu juga sekaligus makhluk sosial, maka perkembangan dan perilaku individu sangat mungkin dipengaruhi oleh kebudayaan. Atau boleh dikatakan, untuk membentuk karakter manusia paling tepat menggunakan pendekatan budaya. Sumber (http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-budaya-dankebudayaan.html ) 2.2.6 Suku Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa : Suku--bangsa kesatuan sosial yg dapat dibedakan dr kesatuan sosial lain berdasarkan kesadaran akan identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa; Selain itu juga ada pendapat lain yang berusaha men definisikan mengenai apa itu suku bangsa: •
Dikutip dari id.wikipedia.org Kelompok etnik atau suku bangsa adalah
suatu golonganmanusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas
14
kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciriciri biologis •
Menurut Koentjaraningrat (1989), suku bangsa merupakan kelompok
sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatuan semua anggotanya serta memiliki sistemkepemimpinan sendiri. •
Menurut Theodorson dan Theodorson yang dikutip oleh Zulyani Hidayah
(1999), kelompok etnik adalah suatu kelompok sosial yang memiliki tradisi kebudayaan dan rasa identitas yang sama sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang lebih besar. Jadi kesimpulan dari definisi diatas ialah suku bangsa sebagai kesatuan hidup manusia yangmemiliki kebudayaan dan tradisi yang unik, membuat mereka mereka memiliki identitas khusus danberbeda dengan kelompok lainnya, dan suku bangsa merupakan bagian dari populasi yang lebih besar yang disebut dengan bangsa
Sumber bangsa.html)
(http://iskandarberkasta-sudra.blogspot.com/2011/11/etnis-suku-
15
2.3. Data Survey Dari data survey yang saya lakukan, terdapat 237 responses yang 92 berjenis kelamin laki-laki dan 145 perempuan rata-rata berumur 22-30 dan bekerja sebagai mahasiswa, karyawan, wiraswasta seniman dan pelajar. Didapatkan bahwa lebih dari 75% tertarik untuk membaca bacaan perihal tentang suku bugis. Dan konten yang sangat ingi diketahui 31% budaya, 28% sejarah, 27 % bahasa . apapun antusis para responden untuk membaca buku sangat tertarik sekira 62%, tertarik 52%, lalu yang menggunggah konensponden dalam membeli buku awalnya dengan 49% melihat konten, 29% tampilan visual, sisanya terdapat pada packaging dan penulis. Terlihat bahwa antusiasme masyarakat sangat positif. Melalui Survey ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang mengiginkan bahan bacaan yang memiliki lebih banyak tampilan visual yang menjelaskan isi konten buku. Bahan yang mudah di mengerti dan tidak berbelit- belit. Dan banyak responden tidak mengetahui tentang suku bugis ataupun I La Galigo itu seperti apa. Dan sangat mengharapkan kehadiran buku yang bisa menjelaskan tentang kebudayaan Indonesia agar bisa dilestarikan dan diperkenalkan ke khalayak luas.
16
2.4
Data Pendukung
2.4. 1. I La Galigo I La Galigo adalah suatu metodologi yang di susun dalam suatu system yang diuraikan dalam bahasa sastra, sehingga karya tersebut sifatnya lebih menonjol
sebagai
karya
sastra
daripada
karya
antropologi.
Dengan
menyampingkan yang aneh-aneh, syair I La Galigo menggambarkan kehidupan di Istana Raja-raja Bugis dahulu kala. I La Galigo bukanlah suatu puisi rakyat, dia adalah kesenian istana, yang dipupuk oleh raja-raja istana. Orang Barat yang membaca I La Galigo sebagai roman, Raffles misalnya mengganggap La Galigo itu sebagai puisi wiracarita yang mengisahkan sejarah sawerigading. Zainal Abidin menyatakan bahwa orang wajo pada umumnya memandang La Galigo sebagai sastra kuno yg disucikan dan bukan sejarah. Sedangkan orang luwuq termasuk bangsawaannya benar-benar percaya bahwa mereka adalah terurunan La Galigo. Dari berbagai pendapat di atas adanya 3 jenis bentuk yang dikenakan pada La Galigo yaitu, Mitos/legenda, Sejarah dan Sastra. R.A Kern Mengemukakan pendapatnya tentang sure’ Lagaligo itu bahwa apa yg akhirnya dikumpulkan oleh matthes 2.851 halaman ( 12 jilid). Kalau di tambahkan dengan apa yang telah di kumpulkan kemudian oleh beberapa ahli lainnya maka yang dicapai jumlah paling sedikit 7.000 muka folio. Oleh karena itu, menurut R. A Kern Sure’ I La Galigo termasuk hasil kesustraan paling besar melebihi Mahabrata dari india dan Homerus Dari Yunani. Dan Pada tahun 2011 Badan Dunia UNESCO menetapkan naskah I La Galigo ini sebagai warisan dunia dan di beri anugrah memory of the wold (MOW). I La Galigo telah diturunkan dalam tiga wujud tradisi, pertama sebagai karya tuis cerita berangkai (cyclus), kedua sebagai pangkal silsilah raja – dalam berbagai kronik, ketiga sebagai ceritera lisan yang dikaitkan dengan benda alam atau benda peninggalan zaman.
17
Berdasarkan kedudukannya I La Galigo menjalankan fungsi yg bersifat psikologis : •
Sebagai penawark kegelisahan menghadapi ancaman penyakit bencana dan kematian.
•
Sebagai Pelindung terhadap ancaman kebahagiaan hidup dan menjalin hubungan individu dengan penguasa serta dewa
•
Sebagai sumber ketentraman jiwa dan pelerai konflik batin
Ada pula kedudukannya sebagai 1. Ceritera normatif / sastra berguna
yang didalamnya di temukan
berbagai aturan yang di pandang sebagai pedoman hidup dan polah tingkah laku. Mendorong terciptanya integritas social dengan keluarga raja sebagai intinya. Mendorong stabilitas atau kelestarian buadaya khususnya kebudaayan bugis. Melalui berbagai iring-iringan kebesaran, penyambutan raja-raja, tata cara berpakaian dan santap bersama, serta upacara kelahiran, pijak tanah, bercacah, perkawinan dan kematian. 2. Sebagai sastra indah yang pilihan kata, kesatuan pola serta pelukisan latar dan tokohnya yang serasa masih hidup, telah berhasi menggugah perasaan, menawan perhatian, dan membangun citra masyarakat penikmatnya untuk waktu yang lama. Biasanya suatu episode I La Galigo di nyanyikan dengan iringan musik bagaikan suatu arus bunyi, kata dan drama yang telah terkenal. Bahkan pada zaman dahulu, orang menggantungkan kekuasaan gaib pada syair I La Galigo, sehingga Misalnya ada orang sakit, ahli ahli menggunakan obat dinyuruh membacakan baginya sebahagian dari syair itu sebagai permohonan doa. I La Galligo suatu gambaran tentang pandangan-pandangan keagamaan dan adat
18
istiadat orang bugis dalam kurun waktu tertentu dari sejarah mereka, yang dibukukan oleh mereka sendiri. 2.4. 2 Cerita Singkat I La Galigo
Gambar 2. 1 Silsilah Sawerigading Cerita La Galigo dimulai pada waktu dewa-dewa Patotoe’ di Kayangan (botting langiq) mufakat dalam suatu pertemuan untuk mengisi kawa (dunia tengah) dengan mengirimkan Batara guru anak Patotoe’ di langit dengan We Nyili’timo anak guru ri Selleng di Peretiwi untuk menjadi suami istri dan penguasa di sana. Dari perkawinan keduanya lahirnya Batara Lattu’, yang kelak menggantikan ayahnya menjadi penguasa Luwu. Dari perkawinan Batara Guru dengan We Nyili’timo dari peretiwi, lahirlah beberapa orang putra mereka yang kelak diangkat menjadi penguasa di daerah-daerah Luwu’ sekaligus sebagai pembantu Batara Lattu’. Setelah Batara Lattu’ cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We Datu Senngeng, anak La Urumpessi, setelah mengarungi lautan dengan perahunya bersama awak kapal. Sesudah itu Batara guru bersama isteri kembali lagi ke langit setelah melahirkan Sawerigading dan Tenriabeng sebagai anak kembar, seorang lelaki dan seorang perempuan. Berdaarkan pesan Batara Guru, kedua anak kembar itu harus dipisahkan agar kelak bila mereka berangkat remaja tidak akan saling jatuh cinta.
19
Namun demikian, suratan menentukan lain, sebab rantauan Sawerigading mendapat keterangan bahwa ia mempunyai saudara kembar wanita yang sangat cantik, We Tendriabeng namanya. Sejak itu hatinya resah selalu hingga pada suatu waktu ia berhasil melihatnya dan langsung jatuh cinta serta ingin mengawininya. Maksud ini kemudian di tentang oleh kedua orang tuanya beserta dewan adat, karena kawin bersaudara merupakan pantangan dan jika dilanggar akan terjadi bencana terhadap negeri, rakyat dan tumbuh-tumbuhan. Seluruh negeri bersedih. Melalui suatu dialog yang panjang, berhasil juga We Tenriabeng membujuk Sawerigading untuk membujuk saudara kembarnya untuk berangkat ke negeri cina menemui jodohnya disana, I We Cudai namanya, konon katanya wajah dan penampakannya sama persis We Tenriabeng. Lalu melalui keahlian We Tendriabeng diperlihatkanlah peranakan I We Cudai melalui kuku kuku jari Sawerigading, dan benar adanya. Lalu berangkatlah Sawerigading ke tanah cina dengan memotong pohon welengrenge yang sakti untuk sebagai bahan perahunya untuk berlayar. Maka berangkatlah Sawerigading, seperjalanan, We Tenriabeng naik ke langit untuk kawin dengan tunangannya Remmang Li Langi, dengan mengatasi hambatan demi hambatan mengalahkan 7 musuh dilaut , dan mengalahkan tunangannya settia bonga. Maka menikahlah Sawerigading dengan I We Cudai. Hasilnya ia melahirkan anak bernama I Lagaligo, Tenridio, dan Tenribalobo. Dan pada itupun La Galigo menjadi dewasa, merantau, menyabung, kawin, berperang dan memperoleh anak. Pada suatu ketika inginlah I We Cudai berkunjung ke negeri suaminya menjumpai mertua yang belum pernah dilihatnya. Sawerigading bimbang ingat akan sumpahnya dahulu ketika hendak bertolak ke Cina, bahwa seumur hidupnya ia tidak akan menginjakkan kakinya lagi di tanah luwu. Tetapi sayang akan isteri, anak dan cucu dibiarkan berlayar sendiri tanpa ditemani, akhirnya ia pun menetapkan akan ikut serta, menepis siri’ nya. Tetapi belum la itu dia kembali lagi ke Cina. Sekembalinya di Cina, Sawerigading gelisah mengingat isteri dan anaknyadan orangtua serta kampong halamannya
20
yang telah lama ia tinggal. Akhirnya dengan sembunyi-sembunyi ia berangkat menyusul isteri dan anak cucunya. Tidak lama setelah Sawerigading tiba di Luwu’. Patotoe’ menetapkan akan menghimpun segenap keluarganya di Luwu’. Dalam pertemuan keluarga besar itulah ditetapkan bahwa keturunan dewa-dewa yang ada di Kawa (Bumi) harus segera kembali ke langit atau peretiwi, dengan meninggalkan masing masing satu wakil Tidak lama setelah para kaum keluarga pulang kenegerinya masing masing, Sawerigading pun bersama anak isterinya pulang kecina. Di tengah jalan tiba-tiba perahunya meluncur ke peretiwi. Disana ia ternyata disambut gembira karena ia memang sudah lama ditunggu untuk menggantikan neneknya sebagai penguasa disana. Di peretiwi ia masih memeproleh seorang anak yang kemudian kawin dengan anak We Tenriabeng di langit. Yang selanjutnya dikirim ke Luwu’ untuk menjadi raja disana. Akhirnya tibalah saatnya pintu langit ditutup, sehingga penguasa yang ada di peretiwi tidak lagi leluasa untuk pulang pergi, dan ketentuan sewaktu-waktu kelak akan dikirim utusan untuk memperbaharui darah mereka sebagai penguasa. 2.4. 3 Budaya La Galigo Orang bugis adalah salah satu suku bangsa yang mendiami provinsi Sulawesi Selatan dengan jumlah penduduk terbesar disbanding suku bangsa lainnya. Dalam tradisi kebudayaannya, orang bugis lebih dikenal dengan pelautpelaut ulung, transmigran spontan, petani dan pedagang. Mereka memunya etos kerja dan struktur masyarakat yang spesifik, yang ternyata akar kebudayaan mereka tersebut masih dapat ditelusuri jejak-jejaknya dari zaman lampau hingga sekarang. Akar-akar kebudayaan tersebut antara lain peninggalan-peninggalan tertulis mereka yang tertuang di dalam berbagai naskah, salah satu diantaranya adalah naskah La Galigo Menurut Mattulada, epos La Galigo yang menampilkan Sawerigading sebagai tokoh utama menjadi salah satu sumber yang amat kuat sebagai kekuatan integrasi dan kesatuan pada hampir segenap kelompok etnik yang ada di Sulawesi (siduajong, 1987:5) La Galigo Yang ditemukan hamper semua etnik di
21
Nusantara bahkan sampai Malaysia, Brunai dan Singapura meninggalkan kesan yang begitu kuat pada berbagai suku di tempat-tempat persinggahan tradisi lisan La Galigo. La Galigo telah menjalankan fungsi kemanusiaannya sebagai perekat dan pemersatu kesatuan dalam integrasi di Nusantara. Sayangnya, Kesatuan sayup-sayup dan pelan-pelan La Galigo mulai ditinggalkan publiknya dan yang tersisa hanyalah penggalan-penggalan, emosi yang tersimpan dalam ingataningatan kultural masyarakatnya. Dari sudut manuskripnya yang berjumlah ribuan halaman serta jalinan tokohnya yang berbelit-belit, kern menempatkan teks La Galigo sebagai karya sastra terpanjang dan terbesar di dunia yang setara dengan kitab Mahabrata dan Ramayana dari india serta sajak-sajak Homerus dari Yunani.Karena itu menurut Koolhof, La Galigo menempatkan posisi yang unik, baik di Nusantara maupun di dunia, setidak –tidaknya apabia dilihat dari sudut panjang syairnya. Epos Mahabrata jumlah barisnya antara 160.000 – 200.000, sementara I La Galigo mencapai lebih 300.000 baris panjangnya (1995:1) Panjangnya naskah-naskah La Galigo disebabkan karena banyaknya tokoh yang diceritakan, dan hamper setiap tokoh penting yang merupakan bagian dari keturunan dewa di Btting Langiq dan di Boriq Liu selalu mempunyai ceritanya sendiri. Penggalan-penggalan cerita dari tokoh tersebut kemudian mempunyai cerita tersendiri. Penggalan-penggalan cerita dari tokoh tersebut kemudian disebut episode yang dalam bahasa bugisnya disebut tereng. Setiap episodenya mempunyai cerita tersendiri yang di batasi berdasarkan isi cerita. Cerita cerita itulah yang tertuang di dalam berbagai naskah yang dituliskan dengan maksud untuk dibawakan dalam bentuk lisan pada upacaraupacara tertentu. Zaman telah menempatkan La Galigo sebagai perwujudan dari cita rasa sastra yang tinggi, baik dari segi ester=tika maupun muatan etikanya. Sebagai karya sastra, keindahannya terletak pada konvensi bahasa, metrum dan alurnya.Isinya meliputi berbagai macam sumber tradisi, norma, serta konsep kehidupan kelompok masyarakat. Peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh dalam La Galigo bagaikan pertunjukan tentang suasana kehisupan manusia bugis beserta aktivitas social dan kulturalnya.
22
Sementara itu, masyarakat pendukung la Galigo senantiasa menempatkan teks maupun naskahnya sebagai suatu yang sacral dan keramat. Seluruh sesuatu peristiwa dan tokohnya dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Karena itu, meskipun sekarang posisi La Galigo sudah mulaai terdesak oleh pengaruh agama Islam, moderenisasi serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun sisa-sisa kebudayaan lama orang bugis seperti yang terkandung dalam ajaran La Galigo masih tetap dipertemukan dalam denyut nadi manusia bugis sampai saat ini, yang sekarang ini yang sebagian besar telah menjelma kedalam system kultural dan social orang-orang bugis secara factual.
2.4. 4. Masyarakat La Galigo
Masyarakat yang digambarkan dalam epos La Galigo tampak sangat hirarkis. Datu, sang penguasa orang yang paling terkemuka dalam kerajaan. Dialah yang menjaga keseimbangan lingkungan , baik itu lingkungan alam maupun lingkungan social, dan merupakan pewaris keturunan dewa dimuka bumi.Jika Datu melanggar aturan yang di atur oleh hokum dewata – misalnya perkawinan sumbang yang ingin di lakukan oleh sawerigading atau membuangbuang nasi dan meragukan kekuasaan dewata terhadap manusia, sekalipun pelakunya manusianya keturunan dewata, seperti raja tommpo tikka, maka bencana akan menimpa kerajaannya, malah di cabut nyawanya oleh patotoe. Mereka semua dipercayai memiliki “darah putih” Derajat itu selalu diperhitungkan pada saat-saat penting, seperti pada saat lamaran perkawinan, dengan cara menjelaskan silsilah garis keturunan dari leluhur dewata.
2.4.5. Bissu dan Upacaranya
Pada zaman La Galigo bissu dapat di katakan memiliki posisi di luar system kemasyarakatan dengan berperan sebagai pendeta, dukun, serta ahli “ ritual trance” kemasukan roh. Mereka merupakan penghubung antara umat manusia dengan dunia dewata, serta memiliki pasangan mistis dari kahyangan.
23
Bissu adalah wadam dan biasanya berperilaku homoseksual. Naskah Lagaligo tidak memberikan petunjuk apakah “jenis kelamin” para bissu memang sudah demikian halnya sejak dahulu kala.dari nama nama bissu juga tidak bisa diketahui apakah mereka lahir sebagai perempuan atau laki-laki. Dalam kasus tertentu terdapat pula perempuan bangsawan yang menjadi bissu misalnya sodara kembarnya Sawerigading, We Tenriabeng. Banyak upacara yang dipimpin para bissu digambarkan dalam La Galigo. Upacara yang paling banyak dibicarakan dalam teks La Galigo adalah hal-hal yang berkaitan dengan upacara perkawinan dan kelahiran anak. Karena lewat perkawinan dan kelahiran anaklah, “darah putih” yang diterima dari dewata dijaga kemurniannya, dilestarikan, dan diwariskan turun-temurun di muka bumi.’ Bissu, pendeta yang ditugaskan untuk memerihara regalia dalam istana dan memimpin upacara ritual kerajaan, juga terdapat sanro yang mengatur persembahan-persembahan. Penampilan seorang Bissu mirip banci, menurut keyakinan orang bugis dahulu, penampilan fisik seperti itu dimaksudkan agar mereka melepaskan diri dari tuntutan biologis terhadap lawan jenisnya. Dengan demikian, hubungan Bissu dengan para dewa tidak akan terputus. Menurut Hooykaas pada zaman dahulu, para Bissu disamping berperan sebagai pendeta agama ( rohaniwan) juga di percayai untuk menjaga puteri-puteri raja, khususnya ketika mereka sedang mandi atau mengganti pakaian. Pada umumnya bissu adalah laki-laki, meskipun juga terdapat wanita tapi jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan laki-laki. Bissu mempunyai bahasa
tersendiri,
baik
dalam
berkomunikasi
antara
mereka,
mupun
berkomunikasi dengan Tuhan. Bahasa bissu berperan sebagai bahasa sandi dan rahasia, karena hamper semua kosa katanya harmpir tak dikenal penuh dengan kata-kata aneh yang diperkaya oleh simbol-simbol. Pada umumnya bahasa bissu di ucapkan pada saat upacara-upacara tertentu, misalnya dalam ritual seperti membangunkan padi, memohon sesuatu kepada tuhan, atau pada saat mereka memanggil tuhan. Bahasa tersebut berbentuk puisi dengan 8 jumlah suku kata dan dilatunkan. Sebagai contoh, pada paddangeng-rangeng dibawh ini:
24
“tudakko denra mannigo, gojengngaq denra mallettung, tudakko mattule-tule, mattule-tule tinaju” artinya:
“aku membangunkan dewa yang tidur, aku
membangunkan dewa yangterbaring bangunlah duduk-duduk, duduk duduk dengan tenang” Kelebihan lain yang dimiliki seorang bissu adalah kemampuannya bermai akrobatik, misalnya dlam upacara mappano bine (persiapan penurunan bibit padi di sawah). Seorang bissu melakukan tari maggiriq yaitu menari-menari sambil bermain dengan keris yang di tusuk-tusukkan kedalam batang tubuhnya. Cukup menengannggkan bagi penonton, tetapi bagi bissu tusukan tersebut tidak sedikitpun tidak terasa olehnya, bagai seorang anak bermain boneka. Tarian tersebut bukan tarian sembarangan, tapi tarian yang memiliki makna-makna simbolis dan magis.bila dilihat dari segi fungsi, peranan dan kesakralannya La Galigo dapat dimasukkan sebagai karya sastra suci. Bagi sebagian orang bugis, apa yang terkandung dalam La Galigo semuanya adalah suatu kebenaran yang benar-benar pernah terjadi. Bahkan setelah islam masukpun sisa-sisa kepercayaan lama yang tertuang dalam lagaligo masih membias dalam bingkai kebudayaan bugis secara samar. Menurut kesaksian matthes ketika berkunjung ke kebupaten sidenreng Rappang, ia masih menjumpai orang-orang bugis yanag menggantunggkan kekuasaan gaib pada syair-syair La Galigo, sehingga apabila misalnya da orang yang sakit, maka ia diperintahkan untuk membaca beberapa bagian dari syair La Galigo sebagai permohonan doa. (kern:1989:9) Menurut tol, tidak ada pembacaan teks La Galigo tampa diiiringi dengan ritual. Sebelum dibaca harus ada persembahan sesajian, dupa, atau pemotongan ayam atau kambing. Membaca adalah salah satu fragmen La Galigo bisa menyembuhkan penyakit, tolak bala dan sebaginya ( 1989:10) Jadi La Galigo adalah kitab suci orang Bugis menurut kepercayaan lama mereka sebelum menjadi Islam. Ia senantiasa dipuja dan di sakralkan, sekaligos menjadi rujukan dalam setiap kegiatan dan kebudayaan mereka. Sekarang ini pembicara ritual di kalangan orang Bugis yang disertai dengan upacara-upacara tertentu sudah sangat langka, kecuali untuk beberapa
25
penduduk di Segeri Kabupaten Pangkep, Desa Buloe Kabupaten Wajo, Desa Awampone Kabupaten Wajo, sebagian penduduk mensakralkan terutama di Desa Buloé tapi sebagian juga melakukan pembacaan lagaligo hanya sekedar mejalankan upacara seremonial terutama di kalangan raja-raja yang sudah beragama islam
Teks teks La Galigo mengisahkan bahwa dewa utama yang disembah oleh manusia adalah Patotoé (sang penentu nasib) bermukim di istana Boting Langiq kerajaan alngit. Patotoeé mengutus seorang putranya yang bernama I Togeq Langiq untuk turun mengatur bumi. Setelah di bumi I togeq Langiq bergelar Batara Guru. Batara Guru kemudian kawin dengan sepupunya yang bernama We Nyiliq Timo dari dunia bawah laut. Inilah merupakan cikal bakal raja-raja di Bumi. Dewa dewa itulah yang dsembah dalam agama lama orang bugis. Bahka Dewata Séuaé Tuhan Yang Maha Esa) yang sering di gunakan oleh penganut umat islam sekarang ini merupakan transformasi istilah dari Dewa To Papunna (sang pemilik), Patotoé (sang penentuu nasib) menjadi Dewata Séualé
2.4. 6.Tindakan Tokoh 2.4. 6.1 Sawerigading Sawerigading adalah awal segala penyebab terjadinya semua peristiwa dan kejadian, yang menyebabkan bergeraknya alur secara dinamus, sejak awal hingga akhir. Salah satu yang dapat membantu kita untuk mengenal karakternya adalah melalui penyebutan nama-namanya yang beragam, nama-nama itu kadang –kadang muncul dalam dialog, namun muncul juga dalam deskripsi yang dilakukan oleh pencerita. Nama-nama Sawerigading sering muncul dalam teks antara lain: To Appanyompa ( orang yang di sembah ), La Maddukelleng, Langiq Paewang (sang penggoyah langit ), Pamadeng Latte ( Pemadam Halilintar ), Sawe Ri Sompa ( keturunan orang yang di sembah ), La Pura Eloq (orang yang tak terbantahkan kemampuannya), La Oro Kelling (Orang Oro Keling), Oppuna Wareq ( penguasa wareq), La Dato Lolo (raja
26
muda), La Tenritappuq (orang yang tak kerkalahkan), Laweq, dan sebagainya. Sawerigading sendiri berasal dari kata , Sawe yang berarti menetas atau berkembang biak dan ri gading artinya di atas bamboo betung. Yang dimaksud disini adalah kakek Sawerigading yaitu Batara Guru yang nama aslinya La Togeq Langiq, manusia pertama yang menghuni bumi. Ia adalah putera Patotoe, dewa yang bertahta di Botting Langiq (kerajaan langit) dan permaisurinya yang berasal dari Buri Liu (kerajaan bawah laut). Ketika pertama kali diturunkan ke bumi ia ditempatkan diatas bamboo betung, yang kemudian menetas dan berkembang biak di bumi. Batara Guru kemudian kawin dengan sepupunya We Nyiliq Timoq, dewi dari Buri Liu. Dari perkawinan anak dewa inilah lahir Batara Lattuq, ayah Sawerigading, yang selanjutnya menjadi cikal bakal kerajaan di Bumi(Luwuq/Bugis). Karena dari itu, dalam diri Sawerigading mengalir darah murni dewa, sebagai perpaduan antara dewa langit dan dewa peretiwi, yang ditempatkan diatas bumi untuk menjadi penguasa. Karena anak ini telah menjadi dewa yang menjelma menjadi manusia maka seluruh kegiatannya, di muka bumi dilakukan dalam bentuk manusia yang real. Dengan demikian, seorang tokoh termasuk sawerigading mempunyai sifat yang berdimensi ganda, yaitu sifat kemahakuasaan dan sifat kemanusiaan yang Nampak dalam bingkai aktifitas sehari-harinya. Hiruk pikik lalu lintas antara langit, bumi dan peretiwi berjalan sepertihalnya dalam kehidupan nyata. Menghidupkan orang yang telah mati dalam perang hanya dengan sesajen, ramuan,ramuan usapan keris, sementara mendatangkan dan menghentikan amukan alam yang mengganas cukup dengan telunjuk, demikian pula halnya dalam berkomunikasi dengan binatang, seekor burung seperti La DunruSereng dapat diperintahkan dalam waktu sekejap. Semua itu berfungsi untuk membuktikan kebesaran dan kemahakuasaan Sawerigading sebagai keturunan dewa. Itulah sebabnya ia sering dipanggil Pammadeng Lette
27
(sang pemadam halilintar), langiq Paewang (sang penggoyah langit). Sapaan-sapaan
tersebut
menjadi
ciri
khas
sawerigading
untuk
mengesahkan bagaimana dahsyatnya kekuatan yang ia miliki. Ia merupakan sosok pribadi manusia Bugis yang mempunyai watak berdimensi ganda, yakni cinta dan dendam, benci dan saying, tegar dan cengeng, lembut dan kasar, halus dank keras. Sejauh mana sifat dan karakter tersebut mengejawantah dalam diri pribadinya, bergantung dari ransangan-ransangan yang diterimanya dari luar. Ia tidak mengenal kompromi, hanya ada dua pilihan hitam dan putih. Karakter ini sejalan dengan apa yang dikatakan Arena Waty, bahwa rumus karakter orang Bugis/Makassar adalah ya dan tidak, tidak ada in between, tidak ada ambiguitas. Karena itu, gambaran Sawerigading tidaklah sesempurna dengan tokohtokoh pangeran seperti yang sering kita dengar dalam mitos-mitos lain. Pengarang dengan gambling menggambarkan pribadi tokoh sawerigading bukan pada sisi positifnya semata, tapi hal yang kurang positif tetap ditampilkan di permukaan. Kadang-kadang ia sangat cengeng sampai menangis terisak-isak, lalu ditegur oleh pengawalnya agar ia berhenti dan menghadapi hidup dengan tegar (ketika cintanya kepada tenriabeng ditentang oleh dewan adat). Dilain kesempat ia dilukiskan sebagai pribadi cepat tersinggung, emosional dan suka mengamuk samba membabi buta bila ada kurang berkenan di hatinya, atau menyinggung perasaannya, tanpa mempertimbangkan resikonya. Namun sebagai seorang pangeran, ia memiliki juga sifat kejantanan dan keperkasaan. Sebagai tanda kebesarannya ia selalu menggunakan pakaian kebesaran raja yg terbuat dari emas, berupa paying kebesaran yang terbuat dari emas, cincin emas yang semuanya turun dari langit di bawa oleh leluhurnya, dipinggangnya selalu melekat keris emas sebagai simbo keberanian dan kejantanan.
28
Ekspresi kejantana itu mendapatkan spirit empat sifat yang melekat dalam diri pribadinya yaitu getteng (teguh pendirian), Warani (pemberani), Lempuq (jujur), dan Macca (pintar).
2.4. 7. Latar Tempat Sebagai karya sastra mitos, didalammnya terdapat dua tempat yaitu tempat-tempat suci dan tempat tempat biasa. Tempat-tempat suci terdapat dua macam yaitu Boting Langiq dan Buri Liu. Boting Langiq artinya pusat langit (kerajaan Langit)tempatnya diatas langit, yang di dalamnya bertahta para dewa. Boting Langiq kadang disebut juga Rualletté. Yang berrti pusat Guntur. Disanalah bertahta dewa tertinggi bernama Patotoe yang berarti Penentu nasib. Dialah dewa yang disembah oleh manusia, dewa tersebut juga berkembang biak di dunia atas seperti halnya manusia. Karena itu didalamnya terdapat dinamika kehidupan tak ubahnya di dunia manusia yang penuh dengan senda gurau oleh penghuni-penghuni istana . disana terdapat raja, permasyuri, dan dayang dayang yang kesibukannya sama dengan kehidupan sehari-hari seorang raja. Semua nama tempat da istana langit selalu mengambil nama-nama planet dan cuaca untuk penamaanya , misalnya istana patotoe disebut sao kutta pareppaqeyang berarti istana Guntur _yang menggelar atau sao wero parappaqe artinya istana bintang yang menggelar. Tempat bertahannya We Tenriabeng dengan suaminya disebut istana Tanra tellu yang berarti istana yang bersusun tiga. Sementara itu cuaca di bumi semuanya dikendalikan dari boting langiq. Di sanalah dinyalakan api dewata (kita, tempat Guntur diadu, tempat hujan di turunkan , tempat bintang-bintang, bulan, dan matahari dinyalakan untuk menyinari dunia. Penamaan cuaca ini juga
selalu menjadi indeks tentang
karakteristik yang dimilkinya, misalnya Guntur disebut guttup pareppaq artinya Guntur yang memeca/menggelar, kilat disebut api dewata. Boting
langiq
merupakan lambing ketinggian, tempat manusia
menggantungkan hidupnya; disana ada dewa tempat manusia meminta, ada hujan
29
yang menumbuhkan penghuni bumi, ada matahari yang memberi sinar bagi manusia. Tapi juga di sana ada ancaman yang mendatangkan banjir , Guntur yang biasa membunuh manusia, bahkan ada hujan lallata yakni penyiksaan yang diturunkan oleh dewa dapat membuat manusia gatal seluruh badannya. Menguntukkan atau tidak, membahayakan atau menyengsarakan cuaca dari langit itu adalah bergantung dari karakter dan cara manusia memperlakukannya. Itulah sebabnya manusia selalu dituntut untuk berbuat baik terhadap sesame manusia, menyembah ke langit, memperbaiki hubungannya dengan alam. Sementara itu, tempat suci yang kedua terdapat di peretiwi, atau biasa juga disebut Buri Liu yang artinya dasar laut. Meskipun tempatnya di bawah itu tidaklah berarti bahwa ia mempunyai status yang lebih rendah dar Boting Langiq. Ia juga merupakan tempat suci, yang didalamnya bertahta para dewa; dewata untuk dewa di langit dan sangiang untuk dewa di bumi. Seperti halnya di Boting Langiq, di Buri Liu juga terdapat suasana kehidupan yang dinamis. Di sanalah bertahta para dewa dan makhluk-makhluk halus lainnya. Pada umunya yang menjadi pasangan dewa dari langit selalu berasal dari Buri Liu, misalnya patotoe istrinya dari Buri Liu, dimikian pula Batara Guru, permaisyurinya berasal dari tempat ini. Disana juga terdapat penghuni yang disebut punnae wae yang berarti “ sang pemilik air “ . Apabila sang pemilik air akan naik ke dunia maka ia memakai lorukkodonya ( pakaianmsamaran yang bentuknya sama buaya .menurut kepercayaan orang Bugis, untuk mengidentifikasi buaya yang jadijadian dengan buaya yang sesungguhnya, dapat dilakukan dengan menghitung jumlah jari tangannya. Kalau lima jumlahnya itu berarti buaya manusia, sebaliknya kalau empat jarinya itu adalah buaya yang sesungguhnya. Meskipun tidak dijelaskan bahwa punnae wae itu adalah buaya, tapi eksistensinya secara implisit dapat ditemukan dalam peristiwa ke tika I La Bulisa (kakek sattia bonga berangkat ke jawa. Di situ digambarkan bahwa saat I La Bulisa akan dibawa ke Jawa, maka ia diperintahkan naik ke punggung Punnae wae lalu ia menyelam menuju tanah Jawa
30
Sama halnya dengam langit, di dasar laut juga terdapat sumber-sumber kehidupan yang merupakan symbol kesejahteraan bagi manusia. Di sna ada ikan, ada mutiara, ada air yang semuanya berguna untuk kehidupan manusia. Diantara langit dan bumi terdapat dunia riel, dunia tempat manusia, yang didalam teks disebut Alé Kawaq, yang artinya batang tubuh dunia. Letaknya antara Boting Langiq dan Pérétiwi, ditengah tengah, tidak diatas tidak dibawah. Gambaran tentang dunia ini penuh dengan ketidakpastian, disana ada angina yang kadang-kadang kencang merobohkan segala ketidak berdayaan manusia, tapi kadang lembut dan syahdu, membuat manusia lterbuai dan lupa diri. Disana juga terdapat gelombang yang kadang-kadang menjadi teman dalam pelayaran tapi kadang menjadi ancaman bagi manusia. Juga terdapat halilintar dan kilat meyambar, yang semuanya membawa manfaat dan ketidakbermanfaatan bagi manusia. Baik dan buruknya, bersahabat atau tidaknya semua itu adalah bergantung bagaimana cara manusia memperlakukannya. Manusia yang menghuni Ale Kawaq(dunia tengah ) merupakan hasil perkawinan antara dewa langit dan dewi dunia bawah. Seluruh tingkh laku dewa dan dewi selalu menjadi indeks bagi aktifitas kehidupan manusia di Alé Kawaq, baik individu maupun sebagai anggota masyarakat. Tempat-tempat di Alé Kawaq sangat banyak disebutkan dalam teks dan yang paling popular adalah Jawa, Majapahit,Malaka,Luwuq,Sriwijaya dan Cina. Tiga tempat pertama selalu dianggap musuh yang harus ditaklukkan. Sedangkan empat yang terakhir digambarkan sebgai sahabat; bahkan Sriwijaya dan Cina selalu dijadikan rujukan dalam berperilaku dan bertatakrama bagi orang-orang dari kerajaan Luwuq.
31
2.4. 8 Perahu
Gambar 2. 2 Perahu Phinisi Perahu Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat Bugis yang sudah terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad ke14 M. Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat perahu tersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangat kokoh dan tidak mudah rapuh. Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebih dahulu dilaksanakan upacara khusus agar penunggunya bersedia pindah ke pohon lainnya. Sawerigading membuat perahu tersebut untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Singkat cerita, Sawerigading berhasil memperistri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di Tiongkok, Sawerigading rindu kepada kampung halamannya. Dengan menggunakan perahunya yang dulu, ia berlayar ke Luwu. Namun, ketika perahunya akan memasuki pantai Luwu, tiba-tiba gelombang besar menghantam perahunya hingga pecah. Pecahan-pecahan perahunya terdampar ke 3 (tiga) tempat di wilayah Kabupaten Bulukumba, yaitu di Kelurahan Ara, Tana Beru, dan Lemo-lemo. Oleh masyarakat dari ketiga kelurahan tersebut, bagian-bagian perahu itu kemudian dirakit kembali menjadi sebuah perahu yang megah dan dinamakan Perahu Pinisi.
32
Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi, dimana para pengrajinnya tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan perahu tersebut, terutama di Keluharan Tana Beru.
2.4.9 Bahasa
Gambar 2. 3 Naskah Lontara
Lontara Bugis-Makassar merupakan sebuah huruf yang sakral bagi masyarakat bugis klasik. Itu dikarenakan epos la galigo di tulis menggunakan huruf lontara. Huruf lontara tidak hanya digunakan oleh masyarakat bugis tetapi huruf lontara juga digunakan oleh masyarakat makassar dan masyarakat luwu.
33
Gambar 2. 4 Aksara Bugis
Kata lontaraq berasal dari Bahasa Bugis/Makassar yang berarti daun lontar. Kenapa disebuat sebagai lontaran?, karena pada awalnya tulisan tersebut di tuliskan diatas daun lontar. Daun lontar ini kira-kira memiliki lebar 1 cm sedangkan panjangnya tergantung dari cerita yang dituliskan. Tiap-tiap daun lontar disambungkan dengan memakai benang lalu digulung pada jepitan kayu, yang bentuknya mirip gulungan pita kaset. Cara membacanya dari kiri kekanan. Aksara lontara biasa juga disebut dengan aksara “sulapaq eppaq”. Anggapan bahwa hal itu berpangkal dari kepercayaan dan pandangan monologis orang bugis-makasaar yang memandang alam sebagai segi empat belah ketupat (sulappa eppaq). Satwa alam ini, adalah satu kesatuan, dinyatakan dalam satu bentuk bunyi sa = yang berarti esa. Symbol ini dapat menyimbolkan mikro-kosmos
sulapa’eppa’na taue (segi
empat tubuh manusia) dipuncak terdapat kepalanya, tangan kiri, tangan kanan dan ujung bawahnya dalah kaki.
34
Symbol ini menyatakan secara konkrit pada bagian kepala manusia di sebut sawang yang berarti mulut.dari mulutlah segala sesuatu dinyatakan disebut = bunyi. Bunti itu disusun sehingga membentuk makna yang disebut kata,, sabda atau titah. Ada kata-kata hikmat paseng yaitu : “ Bunyi mewujudkan kata, kata mewujudkan perbuatan, perbuatan mewujudkan manusia”
2.4.10 Sistem Kepercayaan
Sejak dahulu, masyarakat Sulawesi Selatan telah memiliki aturan tata hidup. Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan, sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepecayaan. Orang Bugis menyebut keseluruhan sistem tersebut Pangngadereng, orang Makassar Pangadakang, Orang Luwu menyebutnya Pangngadaran, Orang
Toraja Aluk
To
Dolo dan
Orang
Mandar Ada’. Dalam hal kepercayaan penduduk Sulawesi Selatan telah percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Dewata SeuwaE (dewa yang tunggal). Terkadang pula disebut oleh orang Bugis dengan istilah PatotoE (dewa yang menentukan nasib). Orang Makassar sering menyebutnya dengan Turei A’rana (kehendak yang tinggi). Orang Mandar Puang Mase (yang
maha
kedendak)
dan
orang
Toraja
menyebutnya Puang
Matua (Tuhan yang maha mulia). Mereka pula mempercayai adanya dewa yang bertahta di tempat-tempat tertentu. Seperti kepercayaan mereka tentang dewa yang berdiam di Gunung Latimojong. Dewa tersebut mereka sebut dengan nama Dewata Mattanrue. Dihikayatkan bahwa dewa tersebut kawin dengan Enyi’li’timo’kemudian melahirkan PatotoE. Dewa
PatotoE kemudian
kawin
dengan Palingo dan
melahirkanBatara Guru. Batara Guru dipercaya oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai dewa penjajah. Ia telah menjelajahi seluruh kawasan Asia dan bermarkas
35
di puncak Himalaya. Kira-kira satu abad sebelum Masehi Batara Guru menuju ke Cerekang Malili dan membawa empat kasta. Keempat kasta tersebut adalah kasta Puang,
kasta Pampawa
Opu, kasta Attana
Lang,
dan
kasta
orang
kebanyakan. Religi suku Bugis dan Makassar pada zaman pra islam adalah sure galigo, sebenarnya keyakinan ini telah mengandung suatu kepercayaan pada satu dewa tunggal, biasa disebut patoto’e (dia yang menentukan nasib), dewata seuwae (tuhan tunggal), turie a rana (kehendak yang tertinggi). Sisa kepercayaan ini masih tampak jelas pada orang To latang dikabupaten Sidenreng Rappang dan orang Amma Towa di Kajang kabupaten Bulukumba. Saat agama islam masuk ke Sulawesi Selatan pada awal ke-17, ajaran agama islam mudah diterima masyarakat. Karena sejak dulu mereka telah percaya pada dewa tunggal. Proses penyebaran islam dipercepat dengan adanya kontak terus menerus antara masyarakat setempat dengan para pedagang melayu islam yang telah menetap di Makassar.Pada abad ke-20 karena banyak gerakangerakan pemurnian ajaran islam seperti Muhammadiyah, maka ada kecondongan untuk menganggap banyak bagian-bagian dari panngaderreng itu sebagai syirik, tindakan yang taik sesuai dengan ajaran Islam, dan karena itu sebaiknya ditinggalkan. Demikian Islam di Sulawesi Selatan telah juga mengalami proses pemurnian. Sekitar 90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan hanya 10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik umumnya terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain atau dari orang Toraja. Mereka ini tinggal di kota-kota terutama di Makassar.
2.5 Tinjauan Khusus
2.5.1 Definisi Publikasi Secara terminologi, publikasi berarti penyiaran. Dalam bukunya, Ton Kertapati menjelaskan bahwa istilah publistik berasal dari kata kerja bahasa latin,
36
yaitu publicare yang berarti mengumumkan. Dalam penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah publikasi dapat diartikan pengumuman tentang suatu hal yang disiarkan lewat media elektronik maupun diterbitkan di media cetak. Kaitannya dalam buku ilustrasi La Galigo Sebagai Warisan Budaya Kebudayaan Suku Bugis adalah merupakan salah satu media cetak yang akan berguna untuk penyiaran atau penyebaran informasi La Galigo Sebagai Warisan Budaya Kebudayaan Suku Bugis kepada siapapun yang membacanya.
2.5.2 Teori Illustrasi Menurut Anne Ahira, Perkembangan seni ilustrasi terus meningkat dan disesuaikan dengan keinginan pasar, dalam hal ini teknologi turut memberi arti. Sebuah media agar dapat terus eksis dan selalu diapresiasi oleh pembacanya, harus terus berupaya memperindah tata desainnya. Dapat disimpulkan atas penjelasan tentang ilustrasi dari beberapa ahli yaitu Ilustrasi adalah visualisasi dari suatu tulisan dapat berupa sketsa, lukisan, vector graphic, foto, gambar digital, ataupun teknik seni rupa lainnya yang lebih menekankan pada penjelasan bentuk daripada tulisan dan dibuat untuk menjelaskan informasi yang terkandung didalam teks. Gambaran sesuatu yang bertujuan untuk melengkapi suatu tulisan. Beberapa teknik yang dikenal dalam pembuatan ilustrasi adalah teknik Woodcut, Fine Art, Folk Art dan Art Nouveau. Kaitannya dalam buku ilustrasi La Galigo Sebagai Warisan Budaya Kebudayaan Suku Bugis adalah karena lebih menekankan pada penjelasan bentuk daripada tulisan dan dibuat untuk menjelaskan informasi yang terkandung didalam teks. Ini juga termasuk dalam Teknik Folk Art dan Geoumetris segi empat belah ketupat sesuai dengan acuan suku bugis dalam bertindak yang digunakan untuk melukiskan sebuah cerita dan berusaha membuat keadaan secara natural atau perumpamaan sebagaimana yang tergambar pada aslinya.
37
2.5.3 Teori Tipografi Menurut Muhamad Salman Alfarisi dalam “Tipografi dan Penerapannya Pada Design Publikasi” yang telah disusunnya, Tipografi adalah seni dan desain huruf (termasuk symbol) dalam aplikasinya dan sifatnya sehingga pesan yang akan disampaikan sesuai dengan yang diharapkan. Secara modern, tipografi berkaitan dengan penataan huruf pada media elektronik, baik dari segi tampilan maupun output-nya ke berbagai media cetak. Sedangkan secara tradisional, tipografi berkaitan dengan penataan huruf melalui media manual berupa lempeng baja yang timbul atau karet (stempel) yang berkenaan dengan tinta dan akan dituangkan ke permukaan kertas. Tipografi memegang peranan penting dalam segala hal
yang berkenaan
dengan
penyampaian
bahasa non
verbal
(menggunakan tulisan) dalam segala bentuk publikasi, seperti mengetahui hal dalam mengatur ukuran tulisan yang akan kita gunakan, efek dan bentuk yang akan ditampilkan sehingga muatan emosi dan sifat dari pesan yang muncul sesuai dengan tujuan komunikasi yang ingin kita sampaikan kepada publik. Seperti penekanan atau pembesaran ukuran huruf pada kata – kata penting dan mengingatkan. Anatomi huruf terbagi menjadi 5 bentuk dasar yaitu serif, sans serif,
script,
dan
decorative.
Decorative,
huruf
jenis
ini
merupakan
pengembangan dari bentuk – bentuk yang sudah ada ditambah hiasan ornament atau garis – garis dekoratif atau bahkan dikurangkan. Kesan yang ditimbukan oleh huruf ini adalah dekoratif dan ornamental. Prinsip dalam tipografi terdiri dari Clearity, Readability, Legibility, yaitu keterbacaan dan jenis huruf tersebut dan Visibility, lebih menekankan pada keindahan jenis huruf tersebut. Kaitannya dalam buku La Galigo Sebagai Warisan Budaya Kebudayaan Suku Bugis adalah karena adanya beberapa penekanan pada makna – makna yang ingin diangkat dan difokuskan namun tetap memenuhi syarat Readability dan Legibility. Selain untuk menimbulkan kesan Ornamental , geometris dan bermain-main.
38
2.5.4 Teori Prinsip Desain Menurut wikibooks.org, desain grafis adalah seni komunikasi visual melalui penggunaan gambar, kata, dan ide-ide untuk memberikan informasi kepada pemirsa. Desain grafis dapat digunakan untuk iklan, atau hanya untuk hiburan ditujukan untuk pikiran. Ada beberapa prinsip dan elemen dalam desain grafis, diantaranya yaitu Alignment, Balance, Contrast, Emphasis, Gestalt, Harmony, Movement, Proportion, Proximity, Rhythm, Unity, dan White Space. Rhythm merupakan pengulangan pola maupun elemen grafis yang berkumpul menjadi satu kesatuan yang memiliki irama. Unity, persatuan menciptakan rasa keutuhan. Persatuan biasanya dicapai salah satu bagian saling melengkapi satu sama lain dengan cara menyamakan kesamaan. Kesatuan dapat dicapai dengan menggunakan warna yang sama atau gaya ilustrasi yang serupa.White Space, ruang kosong yang dimaksudkan agar karya tidak terlalu padat penempatannya pada sebuah bidang dan menjadikan sebuah objek terlihat menjadi dominan. Kaitannya dalam buku ilustrasi La Galigo Sebagai Warisan Budaya Kebudayaan Suku Bugis adalah karena keseluruhan prinsip desain yang ada diatas akan digunakan dalam merancang buku ini diantaranya adalah : Terutama penggunaan pola yang berulang namun memiliki irama (Rhythm) pada halaman pembuka untuk menjelaskan secara tidak langsung isi dari buku ini secara singkat. Penggunaan ruang kosong (White Space) pada tempat teks ditaruh untuk menyeimbangkan ilustrasi dengan teks yang ada. Penggunaan gaya ilustrasi yang sama dari awal sampai akhir untuk menunjukan kesan kesatuan (Unity). Dan prinsip desain lainnya akan diterapkan pada bagian isi dari buku ini.
2.5.5 Teori Warna Warna merupakan karunia Tuhan yang diciptakan sebagai salah satu bentuk keindahan dunia, warna tercipta dari berbagai campuran yang ada di alam, akan tetapi tidak hanya berfungsi sebagai bentuk keindahan saja, tetapi
39
warna dikenal mampu memberikan kesan seseorang pada saat pertama kali bertemu. Dalam dunia Psikologi barat, ilmu pengenalan tentang warna disebut denganColour Psychology, Dalam Wikipedia, Psikologi warna merupakan studi tentang warna sebagai penentu perilaku manusia. Bahkan warna dalam dunia Psikologi warna dikenal sebagai salah satu bentuk pengobatan penyakit psikologis, terapi ini dikenal sebagai Chromotherapi. Menurut healing.about.com terapis yang terlatih dalam terapi warna menggunakan cahaya dan warna dalam bentuk alat, visualisasi, atau komunikasi verbal untuk menyeimbangkan energi di daerah tubuh kita yang kurang “Vibrance”, baik itu fisik, emosional, spiritual, atau mental. Apapun perkembanganya, warna menjadi sesuatu yang penting terutama untuk memberi kesan positif pada kita, oleh karena itu kita perlu mengetahui warna-warna berikut yang memiliki kesan berbeda untuk pemakainya.
Berikut penjelasannya warna warna tersebut serta pengaruh psikologis dari si pemakai serta kapan saat waktu yang tepat untuk memakainya. Ada empat warna utama psikologis – Pink, Orange, Merah, biru, kuning dan hijau. Mereka berhubungan masing-masing untuk tubuh, pikiran, emosi dan keseimbangan penting antar ketiganya. •
Merah
kehangatan,energi,
melambangkan kelangsungan
keberanian
hidup
dasar,
fisik, ‘fight
kekuatan, or
flight’,
stimulasi,maskulinitas, kegembiraan. •
Biru melambangkan tenang ombak, dingin
•
Putih melambangkan suci, dewa, bersih, tanpa dosa
•
Kuning
melambangkan
optimis,
kepercayaan
diri,
harga
diri,extraversion, kekuatan emosional, keramahan, kreativitas, kekayaan, keselamatan emosional. Kaitannya dalam buku Illustrasi La Galigo Sebagai Warisan Budaya Kebudayaan Suku Bugis adalah penggunaan warna – warna berdasarkan psikologis, warna yang digunakan dalam buku ini adalah merah, hijau, kuning dan biru.
40
2.6
Data Target a. Psikografi Suka dengan hal-hal berbau tradisional, Pecinta sastra dan seni. b. Demografi Gender
: Pria – Wanita
Usia
: 20 - 35 tahun
Kewarganegaraan
: Indonesia
Pekerjaan
: Pecinta sastra, Perkerja seni, Enterprenenur
Kelas social
: A-B
c. Geografi Domisili: Seluruh wilayah di kota-kota besar Indonesia. 2.7
Analisa SWOT
Gambar 2 5
Gambar 2 6
Strength •
Buku ini menjelaskan secara rinci kejadian dan analisa La galigo dan kebudayaan Bugis
41
•
Segala Penelitian dan Teori tentang suku bugis dan I La Galigo mencakup luas
Weakness •
teks yang sangat banyak, rumit dan hanya menyediakan sedikit gambar saja
•
Bacaan yang terkesan membosankan hingga banyak orang tidak ingin membacanya
Oppourtunity •
Merupakan topik yang sangat unik, maka dari itu akan lebih mudah untuk mendapatkan perhatian besar masyarakat.
•
Banyaknya petualang dan pelancong yang berminat akan keasrian budaya dan tradisi yang ada di Sulawesi Selatan
Threat • Sudah banyak buku-buku dipasaran tentang budaya dan suku-suku yang ada di Indonesia. Contohnya buku tentang suku Asmat. •
Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan budaya adat – adat di Indonesia
42
2.7
Data Penyelenggara 2.7.1
PT Gramedia
Toko Buku Gramedia didirikan 02 Februari 1970 oleh P.K. Ojong, yang juga merupakan pendiri KKG, dengan misi turut serta menyebarkan produk pendidikan dan informasi, demi tercapainya cita-cita bersama mencerdaskan kehidupan bangsa, menuju masyarakat baru Indonesia yang berkehidupan Pancasila. MISI: Ikut serta dalam upaya mencerdaskan bangsa dengan menyebarluaskan penegtahuan plus informasi melalui berbagai sarana usaha ritel dan distribusi buku , alat sekolah dan kantor serta produk multimedia, ditandai dengan pelayanan unggul, manajemen proaktif dan perilaku bisnis yang sehat.Tak bisa dipungkiri bahwa distribusi merupakan mata rantai yang lemah dalam dunia bisnis di Indonesia. Penerbit dan percetakan saja tidaklah cukup untuk dapat mendistribusikan produk secara merata ke seluruh pelosok tanah air. Itulah sebabnya Kelompok Kompas Gramedia (KKG) mendirikan jaringan toko buku, dengan maksud memperkuat penyebaran produk, tanpa berkeinginan untuk lepas dari jaringan distribusi yang ada.Departemen Impor bertugas khusus
untuk
mengelola dan
mengembangkan jalinan kerja sama dengan penerbit luar negeri yang kini berjumlah lebih dari 250 penerbit. Penerbit luar negeri yang aktif menjalin kerja sama: Amerika Serikat: Simon & Schuster, Prentice Hall, McGraw Hill, Maxwell Macmillan, Addison Wesley, John Wiley, Harper Collins, Bantam, Random House, Baker & Taylor, dan lain-lain. Eropa: Penguin, Cambridge, Oxford, Elsevier, Grossohaus, Hachette, Longman, MacMillan UK, dan lainlain. Asia: Kondasha, Japan Publication, Toppan, Canfonian, Asiapac, UBSPD, S. Chand, S.S. Mubaruk, Pan Pacific, Mighty Mind, Federal Publication, dan lain-lain.
43
44