Bab 1 Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Okinawa adalah salah satu kota di negara Jepang yang memiliki banyak keunikan, dan
salah satunya adalah kebudayaannya. Okinawa terletak di kepulauan Ryukyu (Okinawa, Miyako dan Yaeyama) yang terbentang di sebelah selatan kepulauan Jepang dan pada tahun 1879 kepulauan Ryukyu menjadi satu propinsi yaitu Okinawa yang beribukota Naha. Okinawa merupakan kepulauan terbesar dan pulau yang paling utama dari untaian Pulau Ryukyu yang membentang dari Jepang ke Taiwan. Okinawa memiliki luas kurang lebih 10 km & panjang hanya 110 km, terletak 740 km di timur dataran China, 550 km di selatan dataran utama Jepang dan 550 km di utara Taiwan. Okinawa menjadi jalur yang disinggahi mayoritas pedagang sebagai rute perdagangan, sebagai titik peristirahatan yang pertama kali ditemukan oleh orang Jepang. Kemudian Okinawa dikembangkan menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, perdagangan dengan Jepang, China, Indo China, Thailand, Malaysia, Borneo (Kalimantan), dan Filipina. Iklim di Okinawa sangat sejuk dan nyaman untuk kehidupan, dengan iklim yang seperti ini membuat masyarakat Okinawa lebih semangat dalam bekerja keras tanpa harus mengenal lelah meskipun perubahan cuaca yang tidak menentu. Untuk itu penduduk Okinawa dikenal dengan pekerja yang ulet, inovatif dan ramah. Kekayaan alam adalah modal utama Okinawa untuk menarik wisatawan, misalnya goa Gyokusen yang panjangnya mencapai lima kilometer dan menjadi goa terpanjang kedua di Jepang. Lalu ada banyaknya pegunungan yang berhutan lebat berpadu dengan dusun pertanian yang
1
apabila dipandang mata, nampak tanaman-tanaman hijau yang segar. Sistem bercocok tanam dengan menanam padi mulai masuk ke Okinawa sekitar abad ke-6. Dengan mengenalnya bercocok tanam, berarti masyarakat Okinawa mulai membentuk suatu masyarakat dengan tempat pemukiman yang tetap. Selain memiliki kekayaan alam, Okinawa juga memiliki kekayaan seni. Diantaranya tarian Ryukyu yang masih bertahan sampai sekarang, tarian ini menceritakan ekspresi terdalam cinta sang istri terhadap suami. Ada pula tarian singa atau Shishi-mai yang dimana penari memakai topeng singa berwarna-warni. Juga tari Eisa, yang dibawakan secara berkelompok dan diiringi tabuhan gendang yang menunjukkan kebersamaan dan kekompakan. Terakhir Shamisen, alunan instrumental khas Okinawa dari gitar tiga senar. Masyarakat Okinawa tak hanya ramah pada orang, tapi juga ramah pada lingkungan tempat mereka tinggal. Masyarakat Okinawa terdiri dari dua lapisan, yaitu bangsawan dan rakyat jelata. Di antara bangsawan ada yang pindah ke desa dan menjadi petani. Mereka disebut yaadori, dan dibedakan dari para petani asli, yang disebut jiin-chu. Asal usul keturunan ini nampaknya hingga saat ini masih berpengaruh dalam menentukan corak suatu desa. Sebagai salah satu contoh, ada suatu desa-desa tertentu di mana para penduduknya merasa bahwa cikal bakal desanya berasal dari golongan bangsawan atau ksatria, dan ada pula yang merasa berasal dari kalangan petani. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan adat istiadat desa yang bersangkutan. Desa-desa yang merasa berasal dari kaum ksatria cenderung untuk menekankan hubungannya dengan adat istiadat daerah shuri atau bagian selatan pulau Okinawa dimana dahulu terdapat pusat kerajaan. Selain dari stratatifikasi sosial berdasarkan asal usul keturunan sebagaimana yang disebutkan di atas, masyarakat Okinawa juga mengenal adanya pelapisan sosial
2
berdasarkan usia, misalkan para pemuda di atas usia tiga belas tahun yang belum menikah di sebut sebagai wakamun gumi (kelompok pemuda), dan mereka bertugas menjaga keamanan desa serta menyumbangkan tenaga fisik mereka pada waktu yang di butuhkan. Kemudian para pria yang sudah menikah dan berusia di bawah lima puluh tahun sampai dengan usia lima puluh lima tahun dinamakan suugumi (kelompok utama). Mereka adalah lapisan pemimpin desa yang paling aktif memimpin segala kegiatan desa. Terakhir adalah para pria yang berusia di atas lima puluh lima tahun, mereka disebut ufusuugumi (kelompok sesepuh). Mereka dapat dikatakan sebagai tetua desa yang tetap berpengaruh atas seluruh penduduk desa dan mereka berperan sebagai penasehat suugumi Alam (1995:23). Sistem kekerabatan di Okinawa berbeda dengan di Jepang. Di Okinawa kelompok kekerabatannya berupa “rumah tangga” (household), kelompok kekerabatan ini bersifat tradisional serta bersifat langgeng. Pemimpin dalam sebuah keluarga merupakan kedudukan yang sangat penting, karena kepala keluarga berkepentingan untuk tetap mempunyai kekuasaan untuk mengendalikan para anggotanya dan bertanggung jawab untuk memberikan kepada mereka bukan saja nafkah, melainkan juga bimbingan moral. Ia bertanggung jawab terhadap harta milik keluarganya, meneruskan pekerjaan keluarganya, merawat roh leluhurnya, seperti misalnya mengadakan upacara-upacara peringatan kematiannya. Seorang kepala keluarga biasanya mendominasi segala aspek kehidupan keluarganya. Oleh karena itu seorang anak yang akan menjadi pewaris dari kedudukan ini akan dididik secara berbeda dengan adik-adiknya, sejak kecil ia sudah memperoleh status yang lebih tinggi, dan harus dihormati oleh adik-adiknya. Oleh ayahnya sejak dini ia sudah di
3
persiapkan untuk memegang tanggung jawab sebagai pemimpin kelompoknya di kemudian hari. Hal ini merupakan adat primogenitur patrilineal. Berhubung suatu keluarga pokok tidak dapat berfungsi tanpa adanya seorang kepala keluarga, maka jika keluarga yang mempraktekkan adat pewarisan primogenitur patrilineal tidak mempunyai anak sulung pria, ada beberapa cara pemecahannya. Cara yang paling mudah yaitu “adopsi”, mengawinkan seorang pria yang dianggap patut untuk menjadi pemimpin keluarga itu, dengan salah seorang putrinya. Dalam keadaan ini adat adopsi sekaligus diikuti dengan adat tempat tinggal setelah menikah yakni setelah menikah kedua mempelai harus tinggal di rumah pihak mempelai wanita. Danandjaja (1997:336). Kaum pria di Okinawa umumnya menguasai di bidang sekuler (hal-hal yang menyangkut keduniawian; pertanian, perindustrian, politik dll) sedangkan wanitanya menguasai di bidang spiritual atau yang berhubungan dengan ketuhanan (dewa). Semua tercermin sejak masa kekuasaan kerajaan Ryukyu dahulu. Pada masa kekuasaan Ryukyu saat itu, posisi sekuler (politik) selalu didampingi posisi religius. Dengan demikian setiap jenjang kekuasaan atau kepemimpinan memiliki atau didampingi oleh ahli spiritual wanita. Di setiap upacara-upacara keagamaan wanita selalu menjadi pemimpin atau pendeta dalam proses upacara tersebut. Pada zaman feodal dulu ada suatu kepercayaan bahwa para pendeta wanita sebaiknya tidak menikah agar mereka dapat mempertahankan kesuciannya. Namun pada saat ini, para pendeta wanita tersebut umumnya menikah. Menurut Lebra dalam Alam (1995:55), wanita di Okinawa pada umumnya dapat menguasai masalah-masalah spiritual yang tidak dapat dicerna oleh akal dan pikiran.
4
Secara tradisional masyarakat meyakini bahwa dengan kekuatan spiritual yang dimiliki wanita dapat melindungi dan menjaga saudara laki-lakinya, yang dalam bahasa Okinawa disebut dengan onari-gami. Onari atau omenari yang secara harafiah dalam bahasa Okinawa artinya “saudara perempuan”. Kata onari ini tidak memiliki batas umur tertentu sehingga penggunaannya bisa mengacu kepada kakak perempuan ataupun adik perempuan. Sebagai lawan dari onari adalah ekeri, atau bisa juga disebut dengan omekeri atau ukii, yang secara harafiah berarti “saudara laki-laki”. Kata ekeri ini juga tidak mempunyai batasan usia yang khusus, sehingga dalam penggunaanya ia juga bisa mengacu kepada kakak laki-laki ataupun adik laki-laki. Dengan demikian, onari-gami secara harafiah berarti dewa saudara perempuan, maksudnya adalah roh saudara perempuan yang berkhasiat besar, khususnya bagi saudara laki-lakinya. Di zaman modern ini, masyarakat Okinawa masih percaya akan adanya hal-hal yang berbau supernatural. Mereka percaya seluruh alam semesta ini penuh dengan eksistensi supernatural, atau dalam bahasa Indonesia dapat kita golongkan sebagai dewa, makhluk halus, dan roh. Dalam kepercayaan tradisional masyarakat Okinawa, ada beberapa macam konsepsi kami (dewa), diantaranya adalah tii nu kami (dewa langit), tiida-gami (dewa matahari), miji-gami (dewa air), unjami (dewa laut), kaa nu kami (dewa sumur), fii nu kami atau fii nu kang (dewa api), faa nu kami ( dewa padi) dan sebagainya.
Dewa-dewa ini memiliki kekuatan yang berbeda-beda, meskipun mereka tidak berwujud manusia namun mereka dapat berbicara, dapat dilihat atau dirasakan, dan dapat menghukum atau memberi berkah kepada manusia. Bagi masyarakat Okinawa, meskipun kami tidak dianggap sebagai Tuhan yang bersifat maha tahu dan maha kuasa, kami dipercaya memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh manusia. Dalam pengertian ini
5
adalah bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengawasi, mempengaruhi dan merubah peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu orang Okinawa mempunyai tanggung jawab yang besar untuk selalu mempertahankan hubungan yang baik dengan kami, terutama pada penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan. Kalau hubungan ini tidak dijaga dan dipelihara dengan baik, maka kami akan marah dan dapat menyakiti atau menghukum manusia.
Lebra dalam Wulansari (1999) mengatakan Fii nu kang merupakan kami yang paling penting dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Okinawa. Di setiap rumah tradisional Okinawa, terdapat sebuah tungku yang berfungsi sebagai tempat berkomunikasi dengan fii nu kang. Fii nu kang juga sebagai jembatan kepada dewa-dewa yang lain.
Dari sisi agama mereka menganut kepercayaan Shinto. Meskipun demikian, Shinto berdasarkan atau berasal dari kepercayaan animisme Jepang terdahulu. Animisme merupakan peringkat awal manusia mulai mempunyai agama. Perkataan animisme berasal daripada perkataan Latin “Animis” yang mempunyai makna nyawa atau roh. pengikut kepercayaan ini, percaya bahwa alam ini mempunyai berbagai kuasa yang menunggu atau mendiami di gunung, bukit, sungai, laut dan tanaman. Shinto terbentuk dari hasil shamanisme yang terjadi di Okinawa. Seperti yang terkutip dalam Mullins (1993 : 223) berikut ini:
“ Bahwa shamanisme adalah termasuk proses putaran dunia dan menjadi pertahanan serta menghadirkan agama baru (Shinto) sebagai keseimbangan dunia dengan membentuk tempat (exist mundi) pelaksanaan kepercayaan itu”.
6
Menurut Yusa (2002:19) Shamanisme adalah proses perjalanan spiritual menuju kepada tuhan/dewa (the way of kami). Dalam proses perjalanan spiritual ini di perankan oleh seorang shaman sebagai shamanic dari shamanisme. Perempuan, syair dan dukun senior atau Shaman memegang penting dalam komunitas kepercayaan masyarakat Okinawa (Wulansari 1999).
1.1.1
Shamanisme
Shamanisme di Okinawa merupakan suatu aliran kepercayaan yang memusatkan kepercayaannya kepada seorang shaman. Aliran kepercayaan ini sering dianggap sebagai bentuk agama primitive dan digolongkan ke dalam bentuk dasar agama seperti animisme, preanimisme dan fetisisme. Shaman memiliki fungsi sebagai penasehat di dalam masyarakat, terutama yang berhubungan dengan roh leluhur (dewa). Dalam hal tersebut shaman menggunakan isyarat-isyarat alam seperti pohon, hewan, air, dan api. Faktorfaktor yang menyebabkan seseorang dapat menjadi shaman di antaranya faktor keturunan dan shirashi. Shaman di Okinawa terdiri dari yuta dan nuru yang masing-masing memiliki tugas dalam pelaksanaan shamanisme, sebagai berikut : Nuru Nuru memiliki fungsi dalam suatu ritual di masyarakat, misalnya dalam proses ritual bercocok tanam, perkawinan, dan hal – hal yang berhubungan dengan kebudayaan masyarakat. Yuta Yuta memiliki fungsi kepada proses pemujaan terhadap unsur alamnya. Misalnya pemujaan terhadap dewa yang berhubungan dengan unsur tersebut. Unsur – unsur tersebut diantaranya adalah: tii nu kami (dewa langit), tiida-gami (dewa matahari), miji-
7
gami (dewa air), unjami (dewa laut), kaa nu kami (dewa sumur), fii nu kami atau fii nu kang (dewa api), faa nu kami (dewa padi) dan sebagainya. Dalam pelaksanaan shamanisme yuta memiliki kaum atau yang disebut kaminchu. Kaminchu adalah kelompok masyarakat sebagai umat kepercayaan tradisional Okinawa (god people). Kaminchu dipimpin oleh nuru, dan mereka digolongkan sebagai shaman. Masing-masing dari keduanya memiliki fungsi di dalam pelaksanaan ritual keagamaan atau pemujaan suatu unsur. Berdasarkan uraian di atas, penulis sangat tertarik untuk meneliti shamanisme yang merupakan kepercayaan tradisional masyarakat Okinawa. Karena di zaman modern ini masyarakat Okinawa masih mempertahankan ritual-ritual kepercayaan yang di laksanakan secara tradisional terutama yang terdapat dalam ritual perkawinan dan ritual kematian.
1.2
Rumusan Permasalahan Dalam penelitian ini yang penulis akan teliti adalah unsur-unsur shamanisme yang ada
dalam suatu ritual di Okinawa.
1.3
Ruang Lingkup Permasalahan Dalam ruang lingkup permasalahan ini penulis akan membatasi penelitian yang hanya akan membahas unsur-unsur shamanisme di dalam ritual khususnya pada ritual perkawinan dan ritual kematian di Okinawa.
8
1.4
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai
Shamanisme dan unsur-unsur shamanisme yang ada di dalam ritual perkawinan dan kematian di Okinawa. Manfaat dari penelitian ini adalah dapat mengetahui lebih dalam mengenai Shamanisme serta unsur-unsurnya terutama yang terdapat dalam ritual perkawinan dan kematian di Okinawa.
1.5
Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini saya menggunakan metode kepustakaan untuk
mendapatkan informasi dan data-data pendukung yang akan saya butuhkan dalam penelitian ini. Sedangkan pada saat mengkaji korpus data, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis, yaitu cara kerja dalam membahas suatu masalah dengan cara menata dan mengklasifikasikan data serta memberi penjelasan tentang keterangan yang terdapat pada data. Penulis juga menggunakan buku-buku yang membahas mengenai masyarakat Okinawa, Shamanisme dan lain-lain yang masih berhubungan dengan tema skripsi saya. Buku-buku yang menjadi sumber data untuk skripsi ini di dapat dari perpustakaan The Japan Foundation Jakarta, Perpustakaan Bina Nusantara, Perpustakaan Sastra Universitas Indonesia, Pusat Studi Jepang, koleksi teman, dan juga dari para senior. Selain itu penulis juga menggunakan data yang didapat dari internet untuk menambah informasi dan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
9
1.6
Sistematika Penulisan
Dalam penulisan ini sistematika penulisan akan dibagi menjadi lima bab, yaitu : Pada bab 1 akan diuraikan mengenai latar belakang, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab 2 akan diuraikan mengenai teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan saya teliti. Pada bab 3 akan diuraikan mengenai analisis data saya yang dihubungkan dengan teori-teori yang terdapat pada bab 2. Pada bab 4 akan diuraikan mengenai simpulan dari penelitian yang telah dilakukan penulis dan juga berisiskan saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Pada bab 5 akan diuraikan mengenai ringkasan dari isi skripsi yang dimulai dari latar belakang, rumusan permasalahan serta tujuan penelitian dan hasil penelitian yang ditulis secara singkat dan padat.
10