BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pemenuhan hak-hak reproduksi wanita di dunia pada masa sekarang ini masih banyak persoalan, terutama di negara berkembang. Salah satunya adalah Negara Indonesia, di mana masalah kesehatan reproduksi masih memprihatinkan, misalnya : kekerasan dalam rumah tangga (78%), kematian ibu (45%), pemilihan alat kontrasepsi (32%), perceraian (28%), wanita buta huruf (14,9%), aborsi (13%), kawin usia muda (3,8%) (Noah 2007). Persoalan kesehatan reproduksi di atas terjadi karena banyak hal, misalnya kemiskinan, pendidikan, gender, beban kerja yang terlalu berat, kawin muda, dan kekurangan gizi (Ismail 2008). Kemiskinan mengakibatkan pendidikan yang rendah,.Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan untuk sekolah tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya anak laki-laki seringkali lebih di utamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Kemiskinan juga dapat melakukan kekerasan terhadap istri juga dalam rumah tangga. Kekerasan terhadap istrinya yang berpendidikan rendah yang di lakukan suami akan berdampak buruk pada kesehatan ibu. Tingkat pendidikan mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya.
Universitas Sumatera Utara
Nunuk Fawziah (2009) menyatakan bahwa kejadian KDRT di daerah Tuban kebanyakan perempuan buta huruf 70%, yaitu tidak mampu membaca dan menulis. Kejadian ini terdapat di pedesaan terutama tingkat pendidikan dan ekonomi rendah, dan masyarakat menganggapnya biasa, hal ini di sebabkan masih kuatnya patriarkhi dalam budaya masyarakat pedesaan. Budaya ini menempatkan laki-laki sebagai peran utama dalam kehidupan sosial sementara perempuan masih di anggap sebagai subordinat, dalam budaya patriakhi ini laki-laki dominan melakukan kekerasan terhadap istri karena istri hanya pelengkap rumah tangga. Data Pusat Krisis Terpadu (PKT) RSCM 2003 terdapat 655 kasus kekerasan terhadap perempuan, 50 persennya adalah kekerasan seksual, yang di lakukan pada 47 % perempuan di bawah 18 tahun, yang berpendidikan SD hingga SLTA (74 %). Jika kekerasan itu di lakukan dalam rumah tangga, hal ini sangat ironis karena kekerasan itu justru di lakukan oleh orang yang mereka cintai artinya setiap perempuan mempunyai hak untuk tidak mendapat kekerasan ( fisik mupun verbal) oleh pasangan seksualnya ataupun orang lain. Menurut Soekanto (2001),di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih banyak terjadi (biasanya dibawah usia 18 tahun). Sebagian masyarakat menganggap kalau belum menikah di usia muda di anggap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawabnya dan di serahkan anak wanita tersebut kepada suaminya. Disamping itu resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita
Universitas Sumatera Utara
yang menikah di usia 20 tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada suami baik dalam ekonomi dan pengambilan keputusan. Laporan BPS 2008 menyatakan bahwa median usia kawin muda perempuan Indonesia 19 tahun, perempuan di pedesaan 18 tahun, perkotaan 20 tahun. Sulitnya perempuan mendapat akses pendidikan dan informasi yang mengakibatkan perempuan Indonesia di atas 10 tahun tidak bersekolah sebesar 11,56 % dari jumlah penduduk, perempuan buta huruf 12,28 %. Sutar (2008) menyatakan bahwa wanita yang telah menjadi ibu sebelum usia 20 tahun terjadi di berbagai negara. Banyak wanita tersebut tidak sempat memulihkan tenaga antara jarak kehamilan tidak menggunakan alat kontrasepsi sehingga lebih sering mengalami
komplikasi kehamilan dan persalinan. Sebagian besar wanita
tersebut memperoleh status aman di masyarakat dengan mempunyai banyak anak, terutama anak laki-laki. Di berbagai negara, anak perempuan berusia belasan tahun secepat mungkin ditekan untuk menikah dan mempunyai anak pertama. Contohnya di Zaria, Nigeria, 83% anak perempuan telah menikah pada umur 14 tahun. Ihromi (2007), menyatakan perceraian merupakan masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, perceraian itu menandakan adanya rasa benci dan tidak senang hidup bersama lagi. Perceraian menimbulkan celaan, kutukan, dan pelecehan bagi sang istri. Ihromi juga mengatakan perceraian menyebabkan wanita single perent. Dalam posisi seperti ini wanita akan mengerjakan pekerjaan ganda seperti mengurus anak –anak dan mencari nafkah untuk kehidupan keluarga.
Universitas Sumatera Utara
Menurut World Health organization (WHO) kekurangan gizi di negara berkembang terrnasuk Indonesia, menyebabkan kira-kira 450 juta wanita tumbuh tidak sempurna karena kurang gizi pada masa kanak-kanak sehingga fungsi alat –alat reproduksi tidak berkembang dengan sempurna dan berdampak buruk pada kehamilan, persalinan dan nifas sementara itu menurut hasil-hasil penelitian terdahulu bahwa wanita ternyata bekerja jauh lebih lama dari pada pria. Berbagai penelitian yang telah di lakukan di seluruh dunia menyebabkan rata-rata wanita bekerja 3 jam lebih lama. Akibatnya wanita mempunyai sedikit waktu istirahat, lebih lanjut terjadinya kelelahan kronis, stress sehingga kesehatan reproduksi tidak pernah di hiraukan dan di perhatikan karena beban kerja yang berat yang dapat berdampak pada kesehatan reproduksi wanita yang menggalami beban kerja yang berat tersebut. Suehendi, (2001). Menurut Affandi (2007), mengenai aborsi yang di selenggarakan pada periode 80-an menemukan bahwa ternyata pelayanan aborsi juga di cari oleh perempuan menikah yang tidak menginginkan tambah anak lagi tetapi tidak menggunakan kontrasepsi. Pola ini tidak berubah di era 90-an, seperti di tunjukkan pada sebuah penelitian di Bali di mana 71% perempuan yang melakukan aborsi berstatus menikah. penelitian yang diselenggarakan oleh Population Council pada tahun 2000-2007 di klinik swasta dan klinik pemerintah menunjukkan 98,8% klien merupakan perempuan menikah dan telah punya 1-3 orang anak (Herdayati 2008). Tingginya kasus aborsi pada perempuan menikah dengan jumlah paritas tinggi ini, memberikan pemikiran mengenai rendahnya pemakaian kontrasepsi dan
Universitas Sumatera Utara
rendahnya kualitas pelayanan kontrasepsi. Hasil SDKI 2005 menunjukkan masih terdapat 9% pasangan usia subur (PUS) yang tidak ingin hamil tetapi tidak memakai kontrasepsi (BPS, BKKBN, Depkes 2006). Perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup beragam. Di perkirakan antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi per 100 kehamilan. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan angka kejadian aborsi di Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta (Utomo 2008). Berdasarkan laporan World Health organization (WHO) pada tahun 2005 Fakta tentang kematian ibu di Indonesia juga memperlihatkan kondisi–kondisi seperti ini ikut mempengaruhi kondisi kesehatan reproduksi wanita, yang tidak menggambarkan Angka Kematian Ibu di Indonesia masih relatif tinggi sebesar 420/100.000 kelahiran hidup. Angka ini tergolong tinggi di bandingkan dengan Angka Kematian Ibu (AKI) di Negara Asia Tenggara lainnya. Angka Kematian Ibu (AKI) di Singapura 14/100.000 kelahiran hidup, di Malaysia 62/100.000 kelahiran hidup dan di Thailand 110/100.000 kelahiran hidup. Di Vietnam 150/100.000 kelahiran hidup, di Filipina 230/100.000 kelahiran hidup dan Myanmar 380/100.000 kelahiran hidup. Menurut Depkes RI (2005), Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mengalami penurunan dari 420/100.000 kelahiran hidup menjadi 373/100.000 kelahiran hidup. Namun angka ini masih tergolong tinggi karena sama artinya dengan perbandingan negara-negara tetangga se Asia Tenggara menunjukkan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) 373 per 100,000 kelahiran hidup 37 kali lebih tinggi dari pada
Universitas Sumatera Utara
Singapura (AKI 10), hampir 5 kali Malaysia (AKI 80), dan masih lebih tinggi dari Vietnam (AKI 160), Thailand (AKI 200), dan Filipina (AKI 280 per 100,000 kelahiran hidup). Di Provinsi Sumatera Utara, tempat penelitian ini di lakukan memperlihatkan Angka Kematian Ibu (AKI) cenderung menurun. Pada tahun 2006 Angka Kematian Ibu (AKI) 330 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2008 Angka Kematian Ibu (AKI) 315 per 100.000 kelahiran hidup (Dinkes Sumut, 2010), tahun 2009 AKI 280 per 100.000 kelahiran hidup (Saragih, 2010). Angka- angka tersebut menunjukkan AKI Sumatra Utara cenderung menurun, tetapi tidak mencapai target yang ingin dicapai secara nasional pada tahun 2010, yaitu sebesar 125 per 100.000 kelahiran hidup (Depkes RI 2008). Masih tingginya angka kematian ibu berarti masih rendahnya kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan terhadap ibu. Masalah kematian maternal ini
merupakan masalah yang kompleks karena menyangkut banyak hal,
status
kesehatan reproduksi dan status gizi sebelumnya dan selama kehamilan. Penyebab tak langsung kematian ibu ini antara lain adalah Anemia, Kurang Energi Kronis (KEK) dan keadaan “4 terlalu” (terlalu muda/tua, sering dan banyak) (Wiknjosastro 2008). Hasil penelitian Tambunan (2009) di RSUD Dr. Pirngadi tahun 2007 terdapat 1142 persalinan dengan kasus komplikasi persalinan sebanyak 154 dan 8 kasus kematian maternal. Penyebab tingginya komplikasi persalinan itu karena banyaknya kasus yang masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) dalam keadaan morbiditas berat, perdarahan, preeklamsia/eklamsia dan infeksi postpartum, penyebab langsung
Universitas Sumatera Utara
kematian maternal yaitu preeklamsia/eklamsia menduduki urutan pertama sebanyak 7 kasus (87,5%) diikuti perdarahan 1 kasus (12,5%). Wiknjosastro (2005), menyatakan bahwa penjelasan kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan pada ibu yang di sebabkan tiga macam keterlambatan antara lain (1) keterlambatan untuk memutuskan untuk segera mencari pengobatan atau pertolongan karena (a) tidak mengetahui akan adanya komplikasi, (b) status wanita yang dianggap masih rendah (c) hambatan sosio kultural dalam mencari pengobatan atau pertolongan: (2) keterlambatan akses terhadap tempat pengobatan atau pertolongan, karena letak geografis atau karena faktor ekonomi (3) keterlambatan dalam mendapat pertolongan karena sarana tidak memadai, petugas kesehatan yang tidak terlatih . Menurut Kompas (2007), perempuan tidak sepenuhnya dapat mengambil keputusan untuk menentukan jumlah anak dan keinginannya untuk hamil. Di kalangan masyarakat Mentawai misalnya laki-laki yang justru menentukan kehamilan. Suami akan bersikeras ingin punya anak lagi bila jumlah anak laki-laki belum mencapai yang di harapkannya. Anak laki-laki merupakan pewaris harta di keluarga Mentawai. Jarak usia anak umumnya berdekatan dan kasus keguguran sudah di anggap masalah yang biasa. Kehamilan bukan sesuatu yang dirasa perlu untuk dirawat intensif, seperti periksa rutin ke tenaga medis, mengurangi pekerjaan berat, dan mengkonsumsi makanan bergizi. Perempuan yang hamil dan tidak hamil tidak mendapatkan perbedaan perlakuan. Kondisi ini di perparah dengan tidak ada tenaga medis yang bisa membantu merawat kehamilan para ibu.
Universitas Sumatera Utara
Sesungguhnya tiap wanita mempunyai hak mendapat pelayanan dan perlindungan setinggi-tingginya untuk perawatan kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi. Namun terkadang, menurut Depkes RI (2008),
istri harus tertular
penyakit menular seksual atau HIV/AIDS, yang mengakibatkan kemandulan, keguguran, bahkan kehamilan ekstra uterine dan radang panggul, bukan akibat perbuatannya, tapi akibat perilaku seks suami yang tidak terkendali (suka berhubungan seks tidak aman di luar). Di Indonesia terdapat kasus AIDS pada perempuan 2.658 (Depkes RI 2008). Fenomena Angka Kematian Ibu (AKI) di atas relatif masih tinggi sehingga memengaruhi kondisi kesehatan reproduksi wanita pada kehamilan, persalinan dan kontrasepsi, hal ini di akibatkan pengambilan keputusan berada di tangan laki-laki maka perempuan tersebut dapat mengalami resiko tinggi terhadap kematian seperti komplikasi kehamilan dan persalinan ini terjadi karena perempuan pada masa reproduksinya tidak dapat menentukan hak reproduksinya dalam menentukan jumlah anak, jarak kelahiran dan pelayanan kesehatan reproduksinya (Abdullah, 2001). Data yang diperoleh dari Rumah Sakit TK II/BB pada tahun 2008-2010 ditemukan jumlah ibu meninggal 4 orang yang disebabkan komplikasi. Sedangkan data pada tahun 2008-2011 ditemukan 8 bayi meninggal yang disebabkan masih kurang usia kehamilan,dan bayi berat lahir rendah. Rumah Sakit TK I/BB merupakan Rumah Sakit tipe B, dan juga Rumah Sakit pendidikan, Rumah Sakit rujukan. Rumah Sakit ini menerima atau melayani Tentara, masyarakat umum, askes, dan perusahaan. Rumah Sakit ini memiliki fasilitas
Universitas Sumatera Utara
pelayanan prima yang salah satunya rawat inap, terdiri dari pelayanan medis, pelayanan keperawatan, pelayanan kebidanan dan pelayanan penunjang. Pelayanan kebidanan diberikan pada ibu hamil, ibu melahirkan dan konseling pemasangan alat kontrasepsi serta pemberian, informasi melalui pemutaran filim mengenai kesehatan reproduksi wanita khususnya tentang jumlah anak, jarak kelahiran dan pelayanan kesehatan reproduksi tentang hak-hak reproduksi wanita. Dari kunjungan ibu hamil dan ibu melahirkan ke Rumah Sakit yang berada di pusat Kota Medan tampak, bahwa masih banyak ibu hamil, ibu melahirkan yang sudah memilik anak di atas 4 orang(43,3%) Menurut hasil penelitian yang ada, hal ini di sebabkan rendahnya pengetahuan ibu mengenai hak-hak reproduksi mengenai Kesehatan reproduksi dan posisinya dalam menentukan jumlah anak,jarak kelahiran dan pelayanan kesehatan (Kusumapradja 2002). Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Dr. Pirngadi pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2011 pun menunjukan gejala yang sama. Dari 87 orang ibu yang bersalin, 10 di antaranya memiliki jumlah anak di atas 4 orang. Hasil wawancara yang di lakukan kepada dokter yang menolong persalinan dengan menyatakan
keluarga bersangkutan
ingin mendapatkan anak laki-laki sebagai
penerus keluarga. Survey pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti selama bulan Oktober sampai Desember 2011 dari 94 ibu yang bersalin 12 di antaranya memiliki jumlah anak di atas 4 orang di Rumah Sakit TK II DAM I/BB Medan. Hasil wawancara di lakukan kepada suami menyatakan bahwa keingginan mempunyai anak laki-laki sebagai penerus keturunan keluarga sebagai .alasan utama.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak reproduksi wanita masih belum terpenuhi menentukan jumlah anak, jarak kelahiran, dan mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi wanita, masih banyak pihak keluarga tidak memperhatikan kesehatan wanita, umpamanya melalui penekanan sosial budaya tentang pentingnya mempunyai anak laki–laki sebagai penerus garis keturunan keluarga (Hia, 2011). Inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang pengaruh sosial budaya terhadap pemenuhan hak-hak Reproduksi Wanita pada Pasangan Usia Subur, terutama dalam hal menetukan jumlah anak, jarak kelahiran dan mendapat pelayanan kesehatan reproduksi. Penelitian ini akan di lakukan di Rumah Sakit TK II DAM I /BB sebagai salah satu Rumah Sakit rujukan yang melakukan pelayanan kebidanan dan konseling. Faktor sosial budaya yang di maksud di sini mencakup 4 hal yaitu pengetahuan, sikap, nilai, kepercayaan.
1.2. Permasalahan Bagaimanakah sosial budaya (pengetahuan, sikap, nilai kepercayaan) terhadap pemenuhan hak reproduksi wanita
menentukan jumlah anak, jarak kelahiran dan
mendapat pelayanan kesehatan reproduksi pada pasangan usia subur di Rumah Sakit Tk. II DAM/I BB Kota Medan.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sosial budaya terhadap pemenuhan hak reproduksi wanita menentukan jumlah anak, jarak kelahiran
Universitas Sumatera Utara
dan mendapat pelayanan kesehatan reproduksi pada pasangan usia subur di Rumah Sakit TK. II DAM/I BB Kota Medan tahun 2012.
1.4. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh sosial budaya (pengetahuan, sikap, nilai dan kepercayaan) terhadap pemenuhan hak-hak reproduksi wanita pada pasangan usia subur di Rumah Sakit Tk. II DAM/I BB Kota Medan.
1.5. Manfaat Penelitian 1. Memberikan masukan dan informasi bagi Dinas Kesehatan Kota Medan di bidang KB dan pemberdayaan perempuan dan BKKBN dalam merumuskan kebijakan kesehatan reproduksi dalam upaya peningkatan pemenuhan hak-hak reproduksi wanita pada pasangan usia subur. 2. Bagi tenaga kesehatan meningkatkan promosi tentang kesehatan reproduksi dan hak reproduksi wanita terutama tentang menentukan jumlah anak, jarak kelahiran, dan mendapat pelayanan kesehatan reproduksi pada wanita. 3. Dapat dipergunakan sebagai referensi lanjutan.
Universitas Sumatera Utara