1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Upah masih menjadi salah satu persoalan yang selalu menjadi sorotan
terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini mengingat bahwa upah merupakan komponen terbesar dari pendapatan seseorang sehingga tingkat upah merupakan salah satu indikator yang dapat mencerminkan kesejahteraan masyarakat dari suatu negara.
Salah satu upaya yang harus
dilakukan adalah perlunya kajian kritis atas penghidupan buruh yang selama ini masih menjadi persoalan ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya pemenuhan upah buruh yang dirasakan masih rendah. Persoalan upah ini juga masih menjadi perhatian yang serius di antara banyak pihak seperti pekerja sebagai penerima upah, pengusaha sebagai pihak pembayar upah, dan pemerintah sebagai regulator . Begitu pentingnya persoalan upah dalam hubungan ketenagakerjaan, maka kebijakan-kebijakan yang mengatur
soal
pengupahan
harus
benar-benar
mencerminkan
kondisi
pengupahan yang adil. Bagi pekerja atau pihak penerima upah yang memberikan jasanya kepada pengusaha, upah merupakan penghasilan yang akan digunakan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Selain itu upah juga mempunyai arti sebagai motivasi kerja. Bekerja dengan mendapatkan upah merupakan status simbol pekerja dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat. Setiap tindakan yang bermotif ekonomi, semua pihak yang terlibat di dalam aktivitas tersebut, akan selalu berusaha untuk memaksimalkan manfaat sesuai dengan kepentingan masing-masing. Pekerja misalnya, akan berupaya untuk mendapatkan manfaat yang setinggi-tingginya dari interaksi kegiatan ekonomi mereka dengan berusaha untuk memperoleh upah sebagai balas jasa
2
dari curahan waktu yang digunakan untuk bekerja setinggi mungkin. Sedangkan pengusaha akan berupaya menekan biaya produksi seefisien mungkin yang dapat mereka lakukan untuk memperoleh laba yang optimal, dimana menekan biaya produksi salah satunya melalui penekanan terhadap biaya tenagakerja berupa penurunan upah. Sejalan dengan fenomena di atas, Manning (1994) menyimpulkan bahwa studi mengenai upah di Indonesia masih kurang memadai. Meskipun disadari pentingnya data upah untuk analisis ekonomi, perencanaan dan kesejahteraan. Selama ekonomi orde baru, sangat sedikit studi mengenai upah dan sampai saat ini pun studi tentang upah ini masih sangat minim, apalagi di level daerah. Studi mengenai pasar tenagakerja umumnya hanya tertarik pada kuantitas dan kualitas tetapi bukan pada harga atau upah (Setiadji, 2002). Kalaupun ada penelitian tentang upah, umumnya hanya fokus di level mikro yang hanya melihat kesenjangan upah secara gender atau hanya melihat pengaruh tingkat pendidikan terhadap perolehan upah. Sementara itu, disparitas upah merupakan suatu keniscayaan yang perlu kajian lebih lanjut. Masalah disparitas upah ini mrupakan subyek yang besar dan penting baik perbedaan upah antar tingkat pendidikan, antar daerah, antar gender maupun antar sektor. Penelitian akan berfokus pada disparitas upah antara sektor pertanian dan sektor industri khususnya industri pengolahan. 1.2. Pasar Kerja di Sulawesi Selatan Pasar kerja di Sulawesi selatan merupakan cerminan suatu perekonomian dualistik yang ditandai oleh lapangan kerja di sektor modern yang relatif kecil dan sektor tradisional atau informal yang sangat besar, yang mencerminkan adanya “surplus” tenagakerja. Sebagai wilayah agraris, sektor pertanian memegang peranan yang cukup penting dalam kehidupan perekonomian masyarakat
3
Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat yang tinggal di wilayah perdesaan. Hingga saat ini sebagian besar penduduk Sulawesi Selatan masih tinggal di perdesaan dan mayoritas menggantungkan hidup mereka pada sektor pertanian, yaitu sebagai buruh tani (lihat Gambar 1.1). buruh tani sebagai salah satu komponen pada sektor pertanian, mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam menentukan keberhasilan sektor ini. Namun pada kenyataannya, keberhasilan sektor pertanian tidak selalu diikuti oleh meningkatnya kesejahteraan buruh tani. Hal tersebut disebabkan masih rendahnya upah buruh tani di Sulawesi Selatan, sementara di sisi lain harga barang-barang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari semakin tinggi. Kurangnya pemahaman akan dinamika perubahan pasar kerja dalam suatu perekonomian dualistik dapat menyulut perdebatan dalam merancang suatu kebijakan terhadap pasar kerja (labor market) yang ada. Sektor modern yang ditandai dengan upah rata-rata yang lebih tinggi dan kondisi lingkungan kerja yang juga jauh lebih baik jika dibandingkan dengan upah yang diperoleh mereka yang bekerja sebagai pekerja sektor tradisional atau informal seperti pekerja sektor pertanian di pedesaan. Selain itu pekerja sektor modern memiliki kesempatan untuk memperoleh ketrampilan dan akses terhadap pelatihan yang bisa menempatkan mereka pada posisi yang lebih baik untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Sebaliknya, kebanyakan pekerja di sektor tradisional melakukan kegiatan yang rendah tingkat produktivitasnya dengan upah yang lebih rendah serta tidak menentu, sehingga terjadi kesenjangan produktivitas yang dicerminkan oleh upah yang mereka terima. Sebagai gambaran, data yang ada menunjukkan bahwa pendapatan buruh tani di Sulawesi Selatan masih sangat rendah jika dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya terutama sektor modern, dimana buruh tani hanya memperoleh upah rata-rata Rp 2,3 juta per orang per tahun, sedangkan mereka
4
yang bekerja di seluruh sektor di luar ini menerima upah rata-rata sebesar Rp 6,3 juta lebih per orang per tahun (Antara, 20 Desember, 2008). Padahal sektor pertanian merupakan penyerap tenagakerja terbanyak di daerah ini (lihat Gambar 1.1) Gambar 1.1 Penduduk 15 tahun ke atas yang Bekerja selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha Utama di Sulawesi SelatanTahun 2006 – 2010
Sumber: Publikasi BPS, Sulawesi selatan Dalam Angka 2011
5
1.3. Disparitas Upah Antar Sektor dan Wilayah Pemahaman tentang evolusi upah dan tingkat ketimpangan upah adalah penting untuk pemahaman dinamika pasar tenagakerja. Persoalan ketimpangan upah selama tiga dekade terakhir adalah salah satu topik yang paling banyak diteliti di bidang ekonomi tenagakerja. Bagian penting dari perubahan ketimpangan upah telah dikaitkan dengan pertumbuhan premi upah pada jenjang pendidikan tinggi sejak tahun 1970-an (John Bound dan George Johnson, 1992; Lawrence F. Katz dan Kevin M Murphy, 1992). Namun, penjelasan pertumbuhan ketimpangan upah terkait dengan variabel standar modal manusia seperti pengalaman dan pendidikan dibatasi oleh kenyataan bahwa variabel-variabel ini hanya menjelaskan sekitar sepertiga dari varians upah (Lemieux, 2010). Kesenjangan upah juga terjadi pada sektor ekonomi tradisional yang umumnya bergerak di pedesaan. Ekonomi pedesaan merupakan bagian integral dari perekonomian nasional secara keseluruhan. Seiring dengan waktu, telah terjadi banyak perubahan, baik dari segi sosial ekonomi pedesaan maupun ekonomi perkotaan sebagai ekses dari strategi pembangunan yang selama ini cenderung bersifat bias perkotaan. Dari segi ekonomi misalnya upah tenaga kerja tidak terdidik di sektor pertanian cenderung lebih rendah daripada upah tenaga kerja yang sama diluar sektor pertanian. Selain itu maraknya urbanisasi tenagakerja muda yang memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai juga ikut andil dalam terciptanya ketidakseimbangan permintaan tenagakerja di sektor pertanian (Todaro, 2006).
6
Fenomena ini menyebabkan rendahnya produktivitas di sektor pertanian, yang berujung pada rendahnya upah yang diperoleh pekerja sektor pertanian. Kenyataan umum menunjukkan bahwa upah buruh antar wilayah maupun antar sektor tidaklah sama. Data International Labor Organization (ILO) 2012 menempatkan upah negara-negara ASEAN termasuk Indonesia jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah di negara-negara Barat. Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang telah maju, tingkat perolehan upah tenagakerja Indonesia masih jauh lebih rendah. Sebagai contoh, tenagakerja di Singapura memperoleh upah rata-rata US$ 12,68 per jam dan Jepang dengan rata-rata US$ 18,32 per jam. Perbedaan ini dapat terjadi karena variasi dalam biaya hidup, tingkat inflasi, dan komposisi kegiatan ekonomi wilayah. Selain itu disparitas upah dapat juga disebabkan oleh perbedaan kualitas sumberdaya manusia, misalnya perbedaan tingkat pendidikan dan keterampilan dari tenagakerja. Evolusi
upah,
ketimpangan
upah
dan
hubungannya
dengan
pendidikan telah dikaji secara luas di negara-negara maju. Hal ini bisa disimak pada beberapa studi, antara lain, Buchinsky (1994) untuk Amerika Serikat, Abadie (1997), Budria dan Moro-Egide (2008) untuk Spanyol, Hartog (2001), Machado dan Mata (2001; 2005), Martins (2004) dan Andini (2007) untuk Portugal, Ferstere dan Winter-Ebmer (1999) untuk Australia, Gosling
(2000)
untuk UK, Prasad (2000) dan Gernandt dan Pfeiffer (2006) untuk Jerman, MacGuinness (2009) untuk Irlandia, Pereira dan Martins (2002), Martins dan Pereira (2004), Budria dan Pereira (2005) dan Prieto-Rodriguez (2008) untuk beberapa negara Eropa. Lemieux (2007) mengkaji mengenai pertumbuhan sekuler ketimpangan upah di Amerika Serikat dan negara industri maju lainnya. Topik ini juga sering dikaji di negara sedang berkembang. Blom (2001) dan Gonzales dan Miles (2001) yang mengkaji ketimpangan upah di Brazil dan
7
Uruguay secara berturut-turut. Patrinos (2009) mengkaji ketimpangan upah di beberapa negara Amerika Latin dan Asia Timur. Studi lain dari negara sedang berkembang, yang mengkaji return terhadap pendidikan dengan regresi kuantil adalah Mwabu dan Schultz (1996) di Afrika Selatan, Girma dan Kedir (2003) di Ethiopia dan Falaris (2008) di Panama.1 Pertanyaan tentang distorsi di pasar tenagakerja dan rigiditas upah telah mendorong banyak perhatian di bidang ekonomi. Sebagian besar penelitian sepakat bahwa rigiditas atau ketidakefisienan ini diciptakan oleh serikat dan regulasi yang bersifat membatasi dan mencegah realokasi buruh dan sumber lain kepada manfaat-manfaat paling efisiennya (Frias, 2006). Sebelumnya Gottschalk dan Moffitt (1994) menunjukkan bahwa tumbuhnya ketidakstabilan upah merupakan faktor besar yang menyebabkan meluasnya distribusi pendapatan, dan peningkatan varian pendapatan sementara bisa menjelaskan satu pertiga dari keseluruhan peningkatan ketimpangan pendapatan di Amerika Serikat dari tahun 1970 sampai 1980 ( Zhao, 2007). Ketimpangan
upah
mencerminkan
struktur
upah
dan
perbedaan
kesejahteraan di antara rakyat. Evolusi struktur upah memberi gagasan tentang bagaimana distribusi kesejahteraan bergerak dari waktu ke waktu. Peningkatan ketimpangan upah secara tidak langsung menyatakan polarisasi dalam distribusi kesejahteraan dalam masyarakat (Tanzel and Bircan, 2010). Aspek ketidakadilan dalam struktur upah antar sektor ekonomi di Indonesia juga mendapat sorotan dari masyarakat akademis. Sebagai gambaran banyaknya sarjana pertanian yang bekerja di luar pertanian, padahal pertanian di negara ini masih ketinggalan. Kembali masalahnya adalah pengupahan yang tidak adil antar
1
Secara lengkap dapat dilihat dalam jurnal Tansel, Aysit and Fatma Bircan. 2010. Wage inequality and Returns to Education in Turkey: A Quantile Regression Analysis
8
sektor dan tidak didasarkan atas kontribusi riil setiap sektor terhadap ekonomi (InfoBank, edisi November, 2012).
1.4. Disparitas Upah antar Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Disparitas upah regional diketahui luas di banyak negara, dan sering menjadi sumber perhatian publik. Disparitas upah adalah refleksi dari kekuatan, termasuk proses pemilahan individu dan perusahaan dengan karakteristik yang berbeda
dan
juga
berpotensi
terhadap
eksternalitas
aglomerasi
yang
mempengaruhi produktivitas individu sebagai fungsi dari karakteristik daerah di mana mereka bekerja (Groot,et.all., 2011). Tiga sumber utama dari perbedaan upah regional yang biasanya dibedakan dalam literatur (Combes,et.all., 2008 dalam Groot,et.all., 2011): The first is the composition of the labour market, which is related to urbanization externalities. The second set of explanations relies on differences in the presence of local non-human endowments. The third consists of agglomeration economies: spatial proximity of firms to other firms, to producers or to suppliers. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa motif ekonomi dan kependudukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi seseorang untuk bekerja. Meskipun demikian, tidak berarti faktor-faktor lain di luar faktor ekonomi dan kependudukan tidak mempunyai pengaruh pada keputusan seseorang untuk bekerja. Faktor-faktor sosial budaya, psikologi dan lingkungan sering mempunyai pengaruh yang cukup untuk menentukan keputusan seseorang untuk bekerja dengan jam kerja sesuai dengan pilihan mereka.
Faktor
ekonomi
merupakan
faktor
yang
dipandang
dominan
mempengaruhi seseorang bersedia menyediakan waktunya untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu. Faktor ekonomi tersebut antara lain tercermin pada tingkat upah. Tingkat upah yang diterima oleh pekerja dipengaruhi oleh faktor
9
karakteristik kependudukan secara umum seperti halnya umur, jenis kelamin, tempat tinggal dan status perkawinan serta tingkat pendidikan.
Isu-isu
perburuhan
memiliki
dimensi
yang
besar,
termasuk
ketimpangan upah, dimana dimensi ketimpangan upah itu sendiri dapat dilihat dalam bervariasi cara, misalnya ketidaksetaraan pendapatan yang disebabkan oleh karakteristik daerah, sosial-ekonomi, karakteristik demografi, dan lainnya, termasuk disparitas pendapatan gender. Tidak terkecuali untuk wilayah Sulawesi Selatan, kesenjangan upah buruh juga masih terjadi. Sejalan dengan studi ini, data berikut menunjukkan bahwa selama tahun 2011 kesenjangan upah itu masih terjadi di Wilayah Sulawesi Selatan. Tabel 1.1 Upah Tenagakerja Kabupaten/Kota di SulawesiSelatanTahun 2011(RP) Kabupaten/Kota
Upah
Kab/Kota
1.291.432
Wajo
1.555.046
967.324
Sidrap
1.331.300
Bantaeng
1.145.487
Pinrang
1.271.748
Jeneponto
942.620
Enrekang
1.490.275
Takalar
1.005.886
Luwu
922.538
Gowa
1.257.238
Tana Toraja
1.580.282
Sinjai
1.197.076
Luwu Utara
1.041.505
Maros
1.180.406
Luwu Timur
2.398.550
Pangkep
1.300.699
Toraja Utara
1.343.515
Barru
1.355.988
Makassar
1.928.272
Bone
995.905
Pare-Pare
1.442.754
Soppeng
1.265.276
Palopo
1.275.037
Wajo
1.555.046
Selayar Bulukumba
Upah
Sumber: Diolah Dari Sakernas 2011
Sementara itu, ketika hanya memusatkan perhatian pada tingkat disparitas upah secara umum
antar daerah Kabupaten/Kota, mungkin akan
menyesatkan dari kenyataan bahwa terdapat kesenjangan yang lebih besar
10
dalam penerimaan upah riil antar sektor, antar individu bahkan dalam suatu daerah kabupaten/kota yang sama sekalipun. Disparitas upah ini sangat dipengaruhi
oleh
perbedaan
dalam
tingkat
pertumbuhan
ekonomi
dan
pembangunan antar daerah, terutama pengembangan sumberdaya manusia yang dapat dilihat dari tingginya variasi dalam tingkat pertumbuhan produktivitas per tenagakerja antar daerah. Semakin tinggi variasi disparitas produktivitas tenagakerja yang dimiliki oleh masing-masing daerah kabupaten/kota, maka variasi disparitas penerimaan upah tenagakerja juga akan semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan Lengyel and Lukovics (2006), yang menyatakan bahwa terciptanya pertumbuhan ekonomi region didorong oleh produktivitas tenagakerja dan kesempatan kerja yang tinggi. Pernyataan ini menyiratkan bahwa tenagakerja dengan produktivitas tinggi akan memperoleh balasjasa berupa upah yang juga tinggi. Fenomena yang terjadi di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa teori ini tidak berlaku, sehingga fenomena gap inilah yang merupakan salah satu hal yang melatarbelakangi penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Akatiga (2009) terhadap pekerja industri tekstil dan kulit di 50 perusahaan yang terdapat pada empat provinsi di Jawa (DKI Jakarta, Banten,Jawa Barat dan Jawa Tengah) menunjukkan bahwa tenagakerja di sektor ini hanya memperoleh upah total rata-rata sebesar Rp.
1.090.253
dengan
pengeluaran
riil
tenagakerja/buruh
sebesar
Rp 1.467.896,002. Sementara nilai rata-rata kebutuhan hidup layak adalah Rp 4.066.433,003. Merujuk kenyataan tersebut, maka studi upah sektor industri juga merupakan studi upah yang dipandang penting mengingat industri 2
Upah riil merupakan ukuran daya beli pekerja. Penurunan upah riil secara langsung menurunkan tingkat kesejahteraan pekerja dan keluarganya, hal ini dapat terjadi karena adanya pemotongan tingkat upah atau karena laju inflasi yang lebih tinggi dari kenaikan upah nominal. 3
Lihat Ringkasan Eksekutif: Menuju Upah Layak, Lembaga Penelitian Akatiga bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES) dan Textile Workers Association Regional Office (TWARO), 2009.
11
pengolahan adalah sektor paling besar yang menggunakan sistim upah secara reguler (terikat kontrak).
12
Gambar 1.2 Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan Tahun 2009
Sumber: Publikasi Bappeda kerjasama BPS, Indikator Pembangunan Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009.
13
Selain itu, sektor industri khususnya industri pengolahan yang hanya menyerap tenagakerja kurang lebih sepertiga dari dari sektor pertanian tetapi memberi kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kontribusi sektor pertanian. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiadji, 2002 menunjukkan upah sektor industri berada 1,9 kali sampai 1,7 kali dari tahun 1977-1990. Penelitian ini akan mengkaji lebih jauh dan menunjukkan bahwa terjadinya perbedaan upah tidak hanya disebabkan oleh perbedaan karakteristik individu, tetapi juga karakteristik dari human capital dan juga karakteristik dari pekerjaan yang digeluti. Dengan menganalisis karakteristik individu dan kondisi sosio-ekonomi-demografi persoalan terkait disparitas upah terutama disparitas antara upah pekerja sektor pertanian dan non pertanian di Sulawesi Selatan diharapkan bisa diungkap. Lebih lanjut penelitian ini juga akan menganalisis dekomposisi determinan dari perbedaan upah tersebut. Hal ini merupakan salah satu keterbaruan dari penelitian ini mengingat penelitian sejenis umumnya
hanya berhenti pada persoalan seberapa besar pengaruh
dari karakteristik individu serta karakteristik human capital terhadap tingkat upah yang diterima oleh pekerja. Selain itu penelitian yang ada umumnya berskala mikro yang hanya
melihat pada satu sektor serta tidak memperhatikan
dekomposisi penyebab dari disparitas upah yang ada. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa komparasi disparitas upah sektor pertanian dan industri khususnya industri pengolahan ini menjadi penting untuk dikaji? Beberapa alasan dapat memperkuat akan hal ini, antara lain bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian, demikian halnya di Sulawesi Selatan yang juga masih sangat bergantung pada sektor pertanian. Dominasi sektor ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap PDRB masing-
14
masing
kabupaten/kota
yang
rata-rata
Kota Makassar hanya 0,82 persen.
sebesar
41,41
persen,
kecuali
Selain itu, sektor industri yang ada di
daerah ini mayoritas digerakkan oleh sektor pertanian, dalam artian bahwa hasil komoditi sektor pertanian menjadi input bagi sektor industri terutama untuk industri pengolahan. Hal lain yang menjadi alasan betapa urgensi penelitian upah sektor pertanian menjadi menarik adalah mengingat bahwa upah sektor pertanian yang tidak bersifat stabil, karena variasi upah yang berfluktuasi dari bulan ke bulan dan dari desa ke desa (Mazumdar dan Sawit,1986). Penelitian terkait disparitas upah ini untuk kasus Indonesia
telah
dilakukan oleh Pirmana (2006) untuk menganalisis ketimpangan pendapatan antar gender dalam hal ini pendapatan yang diperoleh dari upah dan untuk mengetahui apakah disparitas upah tersebut dapat dijelaskan oleh faktor-faktor karakteristik individu seperti pendidikan dan pengalaman, lokasi perkotaanpedesaan dan provinsi di mana individu berada dan bekerja, dan berdasarkan karakteristik
sosio-demografi-ekonomi
menunjukkan
bahwa
terdapat
kesenjangan jender yang signifikan dalam penerimaan upah di Indonesia. Profil ketidaksetaraan pendapatan berdasarkan gender tampaknya berbentuk model "U terbalik" , dengan penyempitan kesenjangan penghasilan antara pria dan wanita sebagai pencapaian dari meningkatnya pendidikan. Melanjutkan temuan
penelitian Pirmana (2006) seperti yang telah
diungkapkan sebelumnya kiranya masih layak untuk menjadi suatu kajian. Kenyataan adanya penyempitan kesenjangan penghasilan antara pria dan wanita sebagai pencapaian dari meningkatnya pendidikan, merupakan daya tarik untuk mengkaji lebih jauh terutama di daerah. Kendati demikian, penelitian ini akan diperluas sehingga perbedaan gender hanya merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi dekomposisi disparitas upah yang terjadi antar pekerja sektor pertanian dan industri di Sulawesi Selatan. Pemilihan wilayah
15
Sulawesi Selatan sebagai representasi dari wilayah Timur secara keseluruhan adalah tepat untuk kemudian dapat dilihat apakah fenomena ini juga terjadi. Kondisi sosial ekonomi dan demografi wilayah Sulawesi Selatan yang relatif sama juga menjadi daya tarik tersendiri untuk kajian ini. Selain itu menurut hasil penelitian KPPOD yang disponsori oleh the Asia Foundation pada tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 10 kabupaten/kota yang menduduki ranking teratas secara nasional dengan indikator faktor tenagakerja dan produktivitas, terdapat 2 kabupaten yang berada di
Sulawesi Selatan.
Kedua kabupaten itu adalah kabupaten Pangkajene Kepulauan (urutan II), dan kabupaten Maros ( urutan X). Data ini paling tidak sudah menunjukkan bahwa tingkat disparitas produktivitas tenagakerja Sulawesi
Selatan adalah tinggi.
Fenomena ini menjadi menarik untuk dikaji lebih jauh dalam melihat keterkaitan disparitas upah antara pekerja dan antar sektor di daerah ini. Analisa disparitas upah menjadi penting mengingat upah merupakan salah satu cerminan kesejahteraan. 1.5. Rumusan Masalah Persoalan disparitas upah merupakan issu yang sering dibahas dalam ekonomi ketenagakerjaan. Adanya disparitas upah seringkali memicu terjadinya demo buruh yang menuntut keadilan dalam distribusi upah. Balas jasa tenagakerja berupa upah ini sangat terkait dengan faktor karakteristik individu, karakteristik modal manusia dan karakteristik dari pekerjaan itu sendiri. Hal ini sejalan Nakamura (1979), bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap upah yang diterima oleh pekerja, yaitu karakteristik individu dan karakteristik dari pasar tenagakerja. Perbedaan dalam kemampuan dan karakteristik daerah, termasuk sumberdaya manusia, dalam hal ini tenagakerja yang dimiliki akan
16
menyebabkan tingkat upah yang diterima pekerja juga berbeda antar region dan antar sektor. Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Seberapa besar disparitas tingkat upah dipengaruhi oleh karakteristik individu, karakteristik modal manusia
dan karakteristik pekerjaan pada
sektor pertanian dan industri? 2. Seberapa besar faktor karakteristik individu, karakteristik modal manusia serta karakteristik pekerjaan dapat membedakan dekomposisi determinan disparitas tingkat upah yang diterima oleh tenagakerja pada sektor pertanian dan industri?
1.6. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh
karakteristik individu, karakteristik modal manusia,
serta karakteristik pekerjaan terhadap disparitas tingkat upah pekerja antara sektor pertanian dan industri di daerah kabupaten/kota di wilayah Sulawesi Selatan; 2. Mengetahui seberapa besar masing-masing faktor dari karakteristik individu, karakteristik
modal
manusia,
serta
karakteristik
pekerjaan
terhadap
dekomposisi determinan disparitas tingkat upah antar sektor pertanian dan industri
dan
antar
pekerja
pada kedua sektor
kabupaten/kota di wilayah Sulawesi Selatan. 1.7. Manfaat Penelitian Manfaat hasil penelitian ini antara lain adalah:
tersebut
di
daerah
17
1. Secara teoritis, kontribusi penting penelitian ini terhadap pengembangan ilmu (teori), khususnya dalam literatur Labor Economics adalah mengembangkan model analisis Blinder-Oaxaca untuk dekomposisi determinan disparitas upah pekerja antar sektor khususnya sektor pertanian dan sektor industri di wilayah kabupaten/kota Sulawesi Selatan. 2. Secara praktis, manfaat penelitian ini, yaitu: (i) sebagai masukan bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk memahami kondisi ketenagakerjaan kabupaten/kota yang ada di wilayah Sulawesi Selatan, khususnya berkaitan dengan karakteristik individu tenagakerja, karakteristik human capital, serta karakteristik pekerjaan terhadap disparitas tingkat upah pekerja antara sektor pertanian dan industri khususnya industri pengolahan. Dengan demikian hasil penelitian
ini
dapat
digunakan
sebagai
masukan
bagi
perencana
pembangunan dalam merumuskan perencanaan pembangunan bidang ketenagakerjaan terutama dalam kaitannya dengan evaluasi dan strategi kebijakan pengupahan di Sulawesi Selatan; (ii) sebagai bahan informasi bagi penelitian terkait, khususnya yang berkaitan dengan sistem pengupahan dan pengembangan analisis dekomposisi Blinder-Oaxaca; dan (iii) sebagai bahan informasi bagi para investor di daerah dalam memilih lokasi investasi yang tepat.
18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Upah Sesungguhnya ada dua masalah besar ketika berbicara tentang upah. Dengan menggunakan bahasa Ricardo4, yaitu harga alami tenagakerja (natural price of labor), dan
harga pasar tenagakerja (market price of labor). Yang
pertama adalah tingkat harga berlaku dalam jangka panjang, jika pengaruh harga terhadap penawaran memiliki waktu dan kesempatan untuk mengambil efek tanpa intervensi penyebab yang mengganggu. Prinsip-prinsip yang mengatur harga alami umumnya diperlakukan secara terpisah, dan membentuk sebagian besar dalam diskusi tentang teori penduduk. Ketika hukum upah dibicarakan secara sederhana, biasanya yang menjadi rujukan bukan pada harga alami tenagakerja, tetapi lebih merujuk pada pasar upah (wage market). Sebagaimana halnya dengan harga barang-barang dan jasa-jasa, harga tenagakerja atau upah, tinggi rendahnya ditentukan oleh permintaan pasar dan penawaran pasar akan tenagakerja. Dengan demikian interaksi antara penawaran dan permintaan sangat menentukan tingkat upah dan pemanfaatan input dalam hal ini employment. Dipandang dari sumber daya manusia secara keseluruhan, tingkat upah ditentukan oleh kurva permintaan akan tenagakerja dan kurva penawaran tenagakerja agregat. Sejalan dengan pandangan Malthus, yang menilai bahwa upah yang wajar
dihubungkan dengan perubahan jumlah penduduk, maka tingkat upah
sebagai harga penggunaan input dalam hal ini tenagakerja sangat ditentukan oleh penawaran tenagakerja di mana penduduk sebagai sumber utamanya. 4
Penjelasan lengkap mengenai hal ini dapat dilihat pada The Theory of Wages, Stuart Wood
American Economic Association URL: http://www.jstor.org/stable/2485659
19
Ketika ada kenaikan dalam jumlah penduduk, maka pada saat yang sama, penawaran tenagakerja akan mengalami peningkatan yang berujung pada tekanan tingkat upah untuk segera turun, hal yang sama juga berlaku untuk sebaliknya. Setidaknya tedapat dua pandangan teori upah yang relevan dengan penelitian ini. Pertama, teori upah dalam perspektif Neo-Klasik atau teori upah kompetitif. Kedua, teori upah non kompetitif. Teori upah non kompetitif berasal dari dua asumsi, yaitu pertama, karena dipercayai adanya hubungan antara upah yang makin tinggi dengan laba yang juga makin tinggi, asumsi kedua, karena adanya prilaku yang tidak memaksimisasi (Kruger dan Summers, 1987, Fields dan Wolff, 1995). Dalam perspektif non kompetitif, ekonom umumnya memilih asumsi yang pertama dan merumuskan teori upah alternatif, misalnya teori upah efisiensi (Dickens dan Katz, 1987). Teori upah efisiensi merupakan salah satu landasan mikro ekonomi kelompok Post Keynesian (McCafferty, 1990). Teori ini memberi landasan bahwa akan selalu ada pengangguran terpaksa (involuntary unemployment) dan adanya industry fixed effect yang menyebabkan kekakuan upah, karena baik industri yang memberi upah tinggi maupun yang berupah rendah
ternyata
tidak
melakukan
penyesuaian,
tetapi
cenderung
mempertahankannya (Setiadji, 2002). Bukti-bukti adanya perbedaan upah, misalnya upah antarindustri diawali oleh Slichter (1950) yang menunjukkan bahwa selama 20 – 30 tahun struktur upah antarindustri relatif tidak berubah. Penelitian serupa dilakukan oleh Allen (1995), dengan memperpanjang jarak waktu pengamatan korelasi struktur upah tersebut sampai 100 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada prinsipnya pengusaha cenderung untuk mempertahankan tingkat perbedaan upah, dan tidak berdasarkan pada harga pasar.
20
Sejalan dengan temuan empirik tersebut, berkembang pula teori-teori yang berusaha menjelaskan fenomena perbedaan upah antarindustri tersebut. Salah satu penjelasan mengapa sebuah industri bersedia memberikan upah di atas harga yang seharusnya berlaku di pasar tenagakerja adalah adanya semacam bagi rente ( rents sharing hypothesis) antara pengusaha dan pekerja. Dalam hal ini pengusaha bersedia membayar upah yang lebih tinggi daripada harga balas jasa tenagakerja yang berlaku dan sebagai imbalannya pekerja memberikan upaya (effort) yang lebih baik. Sebagai implikasinya, produktivitas dan output akan meningkat (Leibenstein, 1963; Pugel, 1980; Christofides dan Oswald, 1992; Blanchflower et.all., 1996). Model-model yang dikembangkan oleh mereka selanjutnya dikelompokkan ke dalam apa yang disebut dengan teori upah efisiensi, dengan ragamnya antara lain, model menghindari kemalasan (shirking model), model mengurangi perputaran (turnover model), model menarik pekerja bermutu (selection model) dan model mengurangi ketidakadilan atau sociological model (Leibenstein, 1963; Stiglitz, 1974; Shapiro and Stiglitz, 1984; Akerlof, 1982; Akerlof and Yellen, 1988; Krieger and Summers, 1988). Untuk menunjukkan perbedaan antara teori upah Neo-Klasik dan teori upah yang berdasar pada upah efisiensi, dapat dijelaskan seperti berikut. Pembahasan diawali dengan model Neo-Klasik mengenai pasar tenagakerja (Elliot, 1991). 2.1.1. Perspektif Model Upah Neo-Klasik Dalam model Neo-Klasik, pekerja akan melakukan maksimisasi fungsi utilitas dengan kendala yang sesuai. Max U = U(G,L)
(1)
Dimana G adalah jumlah barang dan jasa, sedangkan L adalah waktu luang (leisure). Model ini disebut dengan fungsi utilitas langsung yang memenuhi asumsi fungsi utilitas yang well-behaved, dengan kendalanya adalah,
21
G = W(T-L) / P
(2)
Dimana W adalah upah, T adalah waktu yang tersedia, dan P adalah tingkat harga. Pada pasar yang kompetitif, pekerja akan menyesuaikan jumlah waktu yang akan dicurahkan untuk bekerja pada tingkat upah tertentu. Selanjutnya, dengan asumsi pasar tenagakerja yang kompetitif dan pasar output yang juga kompetitif, maka pengusaha akan memaksimumkan keuntungan dengan menentukan jumlah pekerja yang akan digunakan pada tingkat upah yang dihadapi di pasar tenagakerja. Dengan demikian pengusaha akan memaksimisasi keuntungan sebagai berikut; = TR – TC Dimana
(3)
adalah keuntungan, TR adalah penerimaan total = P.Q (P
adalah harga dan Q adalah jumlah output yang diproduksi), TC adalah biaya total = W.N, dimana W adalah upah dan N adalah jumlah tenagakerja. Dengan asumsi bahwa hanya tenagakerja yang merupakan variabel atau Q = f(N), maksimisasi fungsi laba (3) dengan memilih jumlah pekerja N yang digunakan untuk mencapai keseimbangan ketika nilai produk marjinal pekerja adalah sama dengan tingkat upah. Dengan demikian, fungsi laba Neo-Klasik terutama dalam jangka panjang, tidak meramalkan korelasi upah dengan laba. Bahkan kekuatan monopoli akan mendorong upah untuk turun. Maksimisasi laba monopolis terjadi jika: MR . MPL – W = 0 atau W = MR . MPL
(4)
Sehingga monopolis cenderung memilih untuk berproduksi yang lebih sedikit daripada yang dibutuhkan dibanding jika pasar kompetitif, yang berdampak pada menurunnya permintaan terhadap tenagakerja sehingga juga mendorong turunnya tingkat upah (Weiss, 1996). Kesimpulan yang dapat ditarik dari teori ini adalah teori Neo-Klasik menyatakan bahwa pekerja memperoleh upah senilai
22
dengan pertambahan hasil marjinalnya. Upah berfungsi sebagai imbalan atas usaha kerja yang diberikan seorang pekerja terhadap pengusaha, sehingga upah yang dibayarkan oleh pengusaha akan sesuai atau sama dengan produktivitas yang diberikan oleh pekerja. 2.1.2. Perspektif Teori Upah Efisiensi Shapiro dan Stiglitz (1984) serta Kreps (1990) membuat model perilaku pekerja dengan fungsi utilitas instan (instantaneous utility) seperti berikut: U = U(w,e)
(5)
Dimana w adalah upah, sedangkan e adalah upaya (effort), dengan asumsi keduanya dapat dipisah (separable), maka U = w – e. Jika e = 0, maka pekerja akan berperilaku malas, sebaliknya terjadi ketika e
, maka pekerja mengambil
sikap tidak malas. Pekerja diasumsikan hanya memiliki tiga pilihan, yaitu malas, tidak malas, dan menganggur, dengan fungsi utilitas harapan sebagai berikut: (6) (7) adalah utilitas harapan jika pekerja berlaku malas, r adalah faktor diskonto, w adalah tingkat upah yang berlaku, b adalah tingkat keluar (quit rate) dari pekerjaan, q adalah probabilitas termonitor jika pekerja berperilaku malas, dan Vu adalah utilitas jika pekerja menganggur.
adalah utilitas harapan jika pekerja
tidak malas dan e adalah upaya. Dua persamaan di atas menggambarkan perolehan atau kepuasan jika pekerja berlaku malas atau tidak malas. Selanjutnya, dari persamaan (6) dan (7) diperoleh suatu kendala yang memenuhi syarat supaya pekerja tidak malas (nonshirking constraint) sebagai berikut: w
rVu +
=
(8)
23
Dalam model Shapiro-Stiglitz, pengusaha akan menyamakan nilai produk marginal pekerja (F’L) dengan upah yang memenuhi syarat tidak malas atau nonshirking constraint (NSC). Hal ini menyebabkan perekrutan pekerja akan berhenti lebih cepat dibandingkan dengan model upah yang dikemukakan oleh Neo-Klasik. Menurut teori ini, besarnya upah yang harus diberikan oleh pengusaha dengan memenuhi syarat tidak malas adalah: w
+e+e
=
(9)
persamaan (9) menunjukkan upah w supaya memenuhi NSC harus semakin besar, jika: i).
Probabilitas terdeteksi dalam memonitor karyawan, q makin kecil;
ii). Makin besar usaha, e; iii). Makin tinggi tingkat keluar, b; iv). Makin tinggi faktor diskonto, r ; v). Makin tinggi tunjangan pengangguran, vi). Makin tinggi aliran keluar (flow out) dari stok pengangguran atau makin mudah mendapatkan pekerjaan, a. Dengan demikian 1/a = durasi harapan menjadi penganggur; jika a besar sekali, maka 1/a mendekati nol. Hal ini berarti tidak ada hukuman bagi pekerja yang malas karena setiap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan dikompensasi dengan pekerjaan baru. Jika harapan memperoleh pekerjaan, a +
dimana
adalah jumlah
angkatan kerja dan L adalah jumlah yang berhasil memperoleh pekerjaan, yang didefinisikan u = (AK – L)/AK adalah tingkat pengangguran karena itu model ini dapat dikaitkan dengan pengangguran, sehingga diperoleh; w
+(
) (b/u + r) =
(10)
24
Kesimpulan dari model ini adalah pemenuhan syarat tidak malas yang tidak konsisten dengan asumsi full employment atau pengangguran alami yang berarti N = L dan a menjadi sangat besar.
Model ini meramalkan bahwa
pengangguran selalu ada dan dengan demikian lebih mendekati pandangan Keynesian. Model Shapiro-Stiglitz menunjukkan adanya upah yang lebih tinggi dibandingkan upah keseimbangan Neo-Klasik dengan konsekuensi terjadi keseimbangan dengan pengangguran. Akan tetapi, model ini hanya bersifat konseptual dan belum dikembangkan dengan uji empirik. Selain itu model ini juga belum menjelaskan fenomena variasi upah antarindustri yang berkorelasi dengan tingkat keuntungan. 2.2. Sistem Pengupahan Sistem pengupahan di suatu negara umumnya didasarkan pada falsafah atau sistem masing-masing negara. Menurut Soemarsono (2003), teori yang mendasari sistem pengupahan pada dasarnya dapat dibedakan menurut dua ekstrim, yaitu: (1). Berdasarkan ajaran Karl Marx mengenai teori nilai dan pertentangan kelas; (2). Berdasarkan pada teori pertambahan produk marginal berlandaskan asumsi perekonomian bebas. Sistem pengupahan dari ekstrim pertama pada umumnya dilaksanakan di negara-negara penganut paham komunis, sedangkan sistem pengupahan ekstrim kedua pada umumnya dipergunakan di negara-negara yang digolongkan kapitalis. Ajaran Karl Marx menyatakan bahwa hanya buruh yang merupakan sumber nilai ekonomi. Nilai suatu barang tergantung nilai dari jasa buruh atau jumlah waktu kerja yang dipergunakan untuk memproduksi barang tersebut. Sebagai implikasi dari pandangan ini adalah:
25
a. Harga barang berbeda menurut jumlah jasa buruh yang dialokasikan untuk seluruh proses produksi barang tersebut. b. Jumlah jam kerja yang dikorbankan untuk memproduksi suatu jenis barang adalah hampir sama. Oleh sebab itu harga di beberapa tempat menjadi hampir sama. c. Seluruh pendapatan nasional diciptakan oleh buruh, jadi dengan demikian hanya buruh yang berhak memperoleh seluruh pendapatan nasional tersebut. Dengan demikian, sistem pengupahan berdasarkan pandangan Karl Marx adalah sebagai berikut: a. Jenis dan jumlah kebutuhan konsumsi tiap-tiap orang adalah hampir sama. Mengingat nilai (harga) setiap barang yang hampir sama, maka upah tiap pekerja juga diperkirakan adalah sama. b. Sistem pengupahan tidak memberikan insentif yang sangat perlu untuk menjamin peningkatan produktivitas kerja dan pendapatan nasional. c. Sistem kontrol yang sangat ketat diperlukan untuk menjamin setiap orang betul-betul mau bekerja menurut kemampuannya. Berkaitan dengan hal ini maka pengusaha akan mempekerjakan tenagakerja sedemikian rupa sehingga nilai pertambahan hasil marjinal seorang pekerja adalah sama dengan upah yang diterima tenagakerja tersebut. Dengan demikian tingkat upah yang dibayarkan oleh pengusaha adalah: W = WMPPL + MPPL . P, dimana; W adalah tingkat upah yang dibayarkan oleh pengusaha terhadap tenagakerja; P adalah harga jual barang hasil produksi dalam rupiah per unit barang; WMPPL adalah marginal physical product of labor atau pertambahan hasil marjinal pekerja yang diukur dalam unit barang per unit waktu;
26
MPPL adalah volume of marginal physical product of labor atau nilai pertambahan hasil marginal pekerja. Dalam teori Neo-Klasik menyatakan bahwa karyawan memperoleh upah senilai dengan pertambahan hasil marjinalnya. Upah berfungsi sebagai imbalan atas jasa usaha kerja yang diberikan seorang pekerja terhadap pengusaha. Pengusaha membayar upah sesuai atau sama dengan produktivitas yang diberikan. Dalam perekonomian pasar bebas tradisional ciri-ciri utamanya adalah penonjolan kedaulatan konsumen, utilitas atau kepuasan individual dan prinsip maksimalisasi keuntungan, persaingan sempurna dan efisiensi ekonomi dengan produsen dan konsumen yang atomistik yakni, tidak ada satupun konsumen dan atau produsen yang mempunyai pengaruh atau kekuatan yang cukup besar untuk mendikte harga-harga input maupun output produksi. Tingkat penyerapan tenagakerja dan harga (tingkat upah) ditentukan secara bersamaan atau sekaligus oleh segenap harga output dan faktor-faktor produksi dalam suatu perekonomian
yang
beroperasi
melalui
perimbangan
kekuatan-kekuatan
permintaan dan penawaran (Todaro, 2006). Dengan demikian produsen meminta lebih banyak tenagakerja sepanjang nilai produk marginal yang dihasilkan oleh pertambahan satu unit tenagakerja (yaitu produk marjinal atau tambahan secara fisik dikalikan dengan harga pasar atas produk yang dihasilkan oleh tenagakerja tersebut) melebihi biayanya yakni tingkat upah. Dengan asumsi bahwa the Law of Diminishing Marginal Product berlaku dan harga produk ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar, maka nilai produk marjinal tenagakerja tersebut akan memiliki kemiringan yang negatif. Sedangkan pada sisi penawaran, setiap individu diasumsikan selalu berpegang teguh pada prinsip maksimalisasi kepuasan. Kenaikan tingkat upah akan setara dengan peningkatan opportunity cost. Seandainya tingkat upah
27
mengalami kenaikan, maka penawaran tenagakerja (dari para pekerja itu sendiri) akan meningkat. Motivasi untuk bekerja mereka bertambah karena adanya iming-iming upah yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Korelasi tersebut ditunjukkan oleh kemiringan positif atas kurva penawaran tenagakerja, yang dapat dilihat dari grafik berikut; Gambar 2.1 Hubungan Tingkat Upah dan Penyerapan Tenagakerja
Wage
DL F
G
W2 We
W1
Penyerapan TK Le
Grafik tersebut menunjukkan bahwa upah keseimbangan W e (pasar tenagakerja sama dengan besarnya tenagakerja yang diminta oleh pengusaha). Pada tingkat upah yang lebih tinggi, seperti pada W 2, penawaran tenagakerja melebihi
permintaan
sehingga
persaingan
di
antara
individu
dalam
memperebutkan pekerjaan akan mendorong turunnya tingkat upah mendekati atau tepat pada titik keseimbangannya. Sebaliknya pada titik yang lebih rendah (W 1), jumlah total tenagakerja yang akan diminta oleh produsen dengan sendirinya melebihi kuantitas penawaran yang ada sehingga terjadilah persaingan
diantara
pengusaha
atau
produsen
dalam
memperebutkan
28
tenagakerja. Hal tersebut akan mendorong kenaikan tingkat upah mendekati atau ke titik keseimbangan W e. Pada titik W e jumlah kesempatan kerja adalah Le. Pada titik Le inilah terjadi full employment, yang berarti bahwa pada tingkat upah keseimbangan tersebut, semua orang yang menginginkan pekerjaan akan memperoleh pekerjaan, sehingga sama sekali tidak ada pengangguran. 2.3 Teori Penyamaan Upah Disadari atau tidak, tingkat kepuasan maupun ketidakpuasan masingmasing pekerja atas suatu pekerjaan tidaklah sama, maka dapat dipahami terjadinya kemungkinan perbedaan tingkat upah yang mencerminkan adanya perbedaan preferensi terhadap setiap jenis pekerjaan. Kemungkinan perbedaan tingkat upah yang mencerminkan adanya perbedaan preferensi terhadap jenis pekerjaan inilah yang sering disebut teori penyamaan tingkat upah. Selanjutnya 5: The theory of equalizing differences asserts that workers receive compensating wage premiums when they accept jobs with undesirable non wage characteristics, holding the worker’s characteristics constant. Seringkali seseorang mau mengorbankan rasa tidak sukanya terhadap suatu pekerjaan demi memperoleh imbalan yang tinggi, atau sebaliknya kadang seorang pekerja mau menerima pekerjaan yang memberi upah rendah, padahal dia dapat memperoleh pekerjaan yang memberi upah lebih tinggi, hanya karena menyukai pekerjaan tersebut. Dengan demikian setiap pekerjaan memiliki penawaran dan permintaan tersendiri yang menentukan tingkat upah serta jumlah pekerja yang bisa diserap.
5
Dalam Charles Brown, Equalizing Differences in The Labor Market: The Quarterly Journal of Economics (1980) 94 (1): 113-134. doi: 10.2307/1884607
29
Gambar 2.2 berikut menjelaskan proses penyamaan upah. Diasumsikan bahwa hanya ada dua jenis pekerjaan yang tersedia di pasar kerja. W 1/W 2 adalah rasio tingkat upah pada kedua jenis pekerjaan yang ada, sedangkan sumbu horizontal mengukur rasio employment atau penyerapan tenaga kerja oleh kedua jenis pekerjaan tersebut. Kurva permintaan tenaga kerja berbentuk downward sloping yang berarti bahwa semakin rendah tingkat upah, maka pekerja yang akan diserap akan lebih banyak. Hal sebaliknya berlaku untuk kurva penawaran tenaga kerja, yaitu upward sloping yang artinya semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan, maka tingkat upah yang harus dibayarkan akan semakin besar. Gambar 2.2 Proses Penyamaan Upah Rasio Upah(W 1/W 2) D
S
E
S
D
Rasio RK Q1/Q2
Asumsi yang lain dalam analisis ini adalah semua pekerja bisa melakukan kedua pekerjaan yang ditawarkan tersebut. Bentuk kurva penawaran yang upward sloping juga dikarenakan adanya perbedaan preferensi di kalangan pekerja atas dua jenis pekerjaan yang tersedia. Jika para pekerja tidak memiliki preferensi sama sekali, maka bentuk kurva penawarannya menjadi datar. Semakin curam atau semakin besar sudut kurva penawaran tersebut, semakin
30
besar kecenderungan para pekerja untuk memilih salah satu pekerjaan ketimbang yang lain. Dalam situasi ini, keseimbangan akan terjadi pada titik E (perpotongan antar DD dan SS). Keadaan ini menciptakan suatu rasio upah relatif, misalnya 1,4 dan rasio penyerapan tenaga kerja misalnya 0,8. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kondisi keseimbangan, tingkat upah pekerjaan jenis pertama adalah 40% lebih tinggi daripada upah yang diberikan oleh pekerjaan jenis kedua. Dalam kasus ini, teori penyamaan upah memberi informasi bahwa tingkat upah yang relatif tinggi harus ditawarkan oleh pekerjaan jenis pertama demi memperoleh tenaga kerja sesuai yang dibutuhkannya. Akan tetapi kenyataan kondisi ketenagakerjaan kita tidaklah seperti itu. Dalam kenyataan seringkali pekerja menerima pekerjaan yang kurang disukainya dengan tingkat upah yang juga rendah. Hal ini terjadi karena persoalannya tidak hanya terletak pada faktor preferensi pekerja semata, tapi faktor lain juga ikut ambil andil, katakan misalnya faktor keahlian dan keterbatasan lapangan kerja yang ada. Keadaan yang demikian membuat pasar tenaga kerja menjadi semakin kompetitif dan memerlukan sumber daya manusia yang profesional, loyal dan memiliki integritas. Kompleksitas masalah ketenagakerjaan di Indonesia sudah mengarah pada persoalan yang sifatnya multidimensi sehingga memerlukan cara solusi yang juga multidimensi. Dalam kaitan ini, masih sangat relevan untuk diperhatikan strategi yang pernah diajukan oleh Misi ILO (1995), yaitu strategi dan
kebijakan
yang
membuat
proses
pertumbuhan
ekonomi
lebih
memperhatikan aspek ketenagakerjaan dan tindakan yang dibutuhkan untuk mendapatkan
lapangan
pekerjaan
tambahan
penciptaan lapangan kerja secara langsung.
melalui
program-program
31
2.4. Definisi upah Upah adalah segala macam pembayaran yang timbul dari kontrak kerja, terlepas
dari
jenis
pekerjaan
dan
denominasinya.
Upah
menunjukkan
penghasilan yang diterima oleh pekerja sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya. Dewan Penelitian Pengupahan Nasional mendefinisikan upah sebagai berikut: “Upah ialah suatu penerimaan kerja untuk berfungsi sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan produksi yang dinyatakan menurut suatu persetujuan Undang-undang dan Peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi kerja dengan penerima kerja. Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa upah
merupakan
penghargaan dari tenaga kerja atau karyawan yang dimanifestasikan sebagai hasil produksi yang berwujud uang, atau suatu jasa yang dianggap sama dengan itu, tanpa suatu jaminan yang pasti dalam tiap-tiap minggu atau bulan. Sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada tingkat fungsi upah, yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong pertumbuhan produktivitas. 2.5. Teori Dualisme Arthur Lewis Pada dasarnya konsep teori ini muncul sebagai upaya untuk melihat hubungan antara sektor pertanian dan industri dalam perekonomian yang terjadi antara daerah perkotaan dan pedesaan dengan memasukkan proses urbanisasi yang terjadi di kota dan desa pada tahap awal pembangunan kapitalis di Eropa. Karena itu, pembahasan teori ini lebih pada proses pembangunan yang terjadi antara daerah kota dan desa, diikuti oleh proses urbanisasi antara kedua tempat tersebut. Selain itu, teori ini juga mengulas model investasi dan sistem
32
penetapan upah pada sistem modern yang juga berpengaruh pada arus urbanisasi yang ada. Selanjutnya Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu; Pertama. Perekonomian tradisional yang berbasis pertanian merupakan sektor pedesaan subsisten yang mengalami surplus tenagakerja. Surplus tersebut erat kaitannya dengan basis utama perekonomian tradisional. Kondisi masyarakat berada pada kondisi subsisten yang ditandai dengan marginal productivity of labor sama dengan nol (MPL=0) dan tingkat upah riil yang sangat rendah. Kondisi ini menunjukkan bahwa penambahan tenagakerja justru akan mengurangi total produksi yang ada, sebaliknya pengurangan tenagakerja tidak akan mengurangi total produksi yang ada. Dengan demikian, nilai upah riil ditentukan oleh nilai rata-rata produk marginal, dan bukan produk marginal dari tenagakerja itu sendiri. Kedua. Perekonomian industri perkotaan modern dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Nilai marginal terutama tenagakerja, bernilai positif yang berarti bahwa penambahan tenagakerja pada sektor industri akan meningkatkan tingkat produksi. Dengan demikian, industri perkotaan masih dapat menyediakan lapangan kerja bagi penduduk desa dengan tingkat upah rata-rata 30 persen lebih tinggi. Hal ini kemudian menjadi daya tarik bagi penduduk desa dalam melakukan urbanisasi. Karena itu daerah perkotaan merupakan tempat tujuan bagi para pencari kerja dari daerah pedesaan dan menjadi tempat penampungan tenagakerja yang ditransfer dari sektor subsisten. Hubungan
antara
upah,
jumlah
tenagakerja
dapat
dijelaskan
dengan
menggunakan model persamaan ekonometrik sederhana mengenai dinamika pasar tenagakerja yang terdiri dari:
33
N PD Fd WP , QP .........................................................................2.4.1 N PS FS WP
.........................................................................2.4.2
N PD N PS N P
....................................................................... 2.4.3
Persamaan 2.4.1 adalah permintaan tenagakerja yang merupakan suatu fungsi negatif dari tingkat upah ( W p ) ( FS' WP > 0), dan positif terhadap volume produksi pertanian (QP) ( Fd' QP 0 ).
yang merupakan
Persamaan 2.4.2 adalah penawaran tenagakerja N PS
fungsi positif dari tingkat upah FW' WP . Persamaan 2.4.3 mencerminkan keseimbangan di pasar tenagakerja, yang menghasilkan tingkat upah dan jumlah tenagakerja tertentu. Nilai produk marjinal adalah nol, artinya fungsi produksi di sektor pertanian (seperti yang diperlihatkan oleh persamaan 2.4.3) telah mencapai tingkat diminishing return, semakin banyak orang yang bekerja di sektor pertanian, semakin rendah produktivitas marjinal tenagakerjanya (Q P/NP) atau total produksi yang dihasilkan di sektor tersebut ( Fq" 0) .
QP FQP N P .......................................................................... 2.4.4 Dalam kondisi seperti ini, pengurangan jumlah tenagakerja tidak akan mengurangi jumlah output di sektor tersebut, karena proporsi tenagakerja terlalu banyak dibandingkan dengan proporsi input lain seperti tanah dan kapital. Akibat over supply tenagakerja ini, maka upah atau tingkat pendapatan di sektor pertanian menjadi sangat rendah.
34
Gambar 2.4 Kelebihan Tenagakerja di Pedesaan W P(Rp)
N PS ( 0) N PS (1)
W2 W1
N PD 0
NP NP1
NP2
Sebaliknya di perkotaan, sektor industri mengalami kekurangan tenagakerja. Sesuai perilaku rasional pengusaha, yakni mencari keuntungan maksimal, kondisi pasar tenagakerja seperti ini membuat produktivitas tenagakerja di sektor industri sangat tinggi dan nilai produk marjinal dari tenagakerja adalah positif, yang menunjukkan bahwa fungsi produksinya belum mencapai titik maksimal. Tingginya produktivitas marjinal di sektor industri membuat upah riil per pekerja sektor industri juga tinggi. Perbedaan tingkat upah inilah yang kemudian mendorong terjadinya pergeseran tenagakerja dari sektor pertanian di pedesaan ke sektor industri di perkotaan. Dengan demikian, model Lewis ini lebih ditujukan pada terjadinya proses transfer tenagakerja serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenagakerja
di
sektor
modern.
Transfer
tenagakerja
dan
pertumbuhan
kesempatan kerja dimungkinkan karena adanya perluasan output pada sektor modern. Adapun kecepatan terjadinya perluasan output ditentukan oleh tingkat investasi di bidang industri dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor
35
modern.
Peningkatan
investasi
dimungkinkan
karena
adanya
kelebihan
keuntungan sektor modern dari selisih upah, dengan asumsi bahwa kapitalis tersebut bersedia melakukan investasi kembali dari seluruh keuntungannya. Dengan asumsi tingkat upah di sektor industri adalah konstan dan jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di sektor pertanian subsisten tradisional, dimana tingkat upah di perkotaan minimal 30 persen lebih tinggi dari rata-rata pendapatan di pedesaan sehingga memaksa para pekerja untuk berpindah ke daerah perkotaan. Proses pertumbuhan yang berkelanjutan (self-sustaining growth) di sektor modern dan perluasan tenagakerja diasumsikan terjadi terus-menerus sampai surplus labor di pedesaan habis diserap di dalam sektor industri. Selanjutnya tambahan pekerja dapat ditarik dari sektor pertanian dengan biaya yang lebih tinggi karena hal ini akan menyebabkan berkurangnya produksi makanan karena penurunan rasio tenagakerja-tanah berarti bahwa produk marginal dari tenagakerja pedesaan tidak lagi sama dengan nol. Kemudian kurva penawaran tenagakerja
tersebut
berslope
positif
karena
tingkat
upah
mengalami
peningkatan secara terus-menerus. Faktor produksi tenaga kerja dianggap memiliki sifat mobilitas, karena secara umum dapat dikatakan bahwa pekerja memiliki kecenderungan mencari tempat bekerja yang dapat memberikan imbalan jasa terbesar. Dengan demikian, mereka berpotensi untuk berpindah dari satu lokasi kerja atau tempat lain yang menjanjikan imbalan jasa yang lebih besar atau menawarkan tingkat upah yang lebih tinggi. Meskipun demikian, mobilitas tenaga kerja diperkirakan tidak setinggi mobilitas modal. Dalam banyak kasus misalnya, sering ditemukan pekerja tetap bertahan di suatu tempat kerja meskipun ada peluang untuk bekerja di tempat lain yang memberikan imbalan jasa lebih besar. Dalam hal ini faktor kenyamanan lingkungan kerja serta hubungan kerja yang baik di dalam perusahaan mungkin
36
lebih menentukan dibandingkan dengan faktor besarnya imbalan kerja (Mulyadi, 2003). Upah tenaga kerja yang tinggi dapat memperbaiki kinerja perekonomian suatu region sehingga dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, baik kualitas maupun kuantitasnya. 2.6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Disparitas Upah Dalam kondisi pasar persaingan sempurna, upah di pasar tenagakerja akan secara fleksibel menyesuaikan keseimbangan antara permintaan dan penawaran tenagakerja. Meski demikian, seringkali upah tidak berlaku secara fleksibel melakukan penyesuaian ketika terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran tenagakerja (Mankiw, 2003). Kekakuan upah ini dapat disebabkan oleh adanya intervensi pemerintah terhadap upah, kekuatan serikat pekerja atau kelambanan pengusaha dalam merespon perubahan pasar tenagakerja. Namun demikian secara umum konsep upah selama ini selalu dikaitkan dengan standar dari karakteristik individidu pekerja, karakteristik human capital, karakteristik daerah serta karakteristik dari pekerjaan itu sendiri. 2.6.1. Umur Tenagakerja Perbedaan umur antar pekerja secara umum berpengaruh signifikan terhadap penerimaan upah. Tenagakerja usia produktif (15 – 65 tahun) akan menerima upah yang trendnya terus meningkat hingga melewati batas usia produktif, kemudian setelah itu trendnya akan menjadi negatif ketika pekerja sudah memasuki usia pensiun. Penelitian terkait hal ini telah dilakukan oleh Ehreinberg dan Smith (1988). Dengan menggunakan data Biro Sensus Amerika tahun 1984, mereka menemukan dua hal, yaitu: 1) semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi tingkat upah, dan 2) perbedaan dalam tingkat upah akan semakin besar pada pekerja-pekerja yang lebih tua. Hal ini disebabkan oleh kemampuan belajar pekerja yang berpendidikan lebih tinggi relatif lebih baik,
37
sehingga pada masa kerja yang sama pengalaman bekerja yang lebih tinggi juga akan lebih baik. Hal yang sama juga menjadi temuan Heckman (1976) dan Oey-Gardiner (2010) juga merekam bahwa kesenjangan gender pada kelompok usia muda relatif kecil namun terus meningkat seiring bertambahnya usia. 2.4.2. Status Pekerjaan Penelitian yang dilakukan oleh Picchio (2006) untuk mengestimasi kesenjangan perolehan upah antara tenagakerja tetap dan tenagakerja tidak tetap di Italia. Dengan menggunakan data survey pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga tahun 2002, Picchio menggunakan teknik estimasi persamaan Mincer yang diperluas dengan variabel dummy untuk tenagakerja kontrak tetap dan tenaga kerja yang memiliki jangka waktu kontrak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tenagakerja tidak tetap memperoleh upah yang lebih rendah dibandingkan dengan tenagakerja tetap. Selain itu penelitian ini juga menemukan bahwa teori compensating wage differentials tidak cukup untuk bisa menjelaskan terjadinya perbedaan upah antar tenagakerja di Italia. 2.6.3. Status perkawinan Antara tenagakerja yang masih lajang memperoleh upah yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang sudah menikah. Hal ini disebabkan mereka yang sudah menikah akan memperoleh beberapa tunjangan yang tidak diterima oleh tenagakerja yang masih lajang, seperti tunjangan istri, tunjangan anak dan lain-lain. Partisipasi angkatan kerja wanita yang sudah menikah di Amerika Serikat meningkat secara dramatis dari 4,6 % pada tahun 1890 menjadi 61,4 5 pada tahun 2001 (Polachek, 2004). Hasil penelitiannya yang membahas perubahan sekuler dalam upah perempuan relatif terhadap upah laki-laki menemukan
38
bahwa pekerja wanita menikah umumnya memperlihatkan trend positif terhadap partisipasi angkatan kerja. 2.6.4 Lokasi Menurut Porter (2000), faktor lokasi akan mempengaruhi keunggulan kompetitif melalui pengaruhnya terhadap produktivitas. Faktor input turunannya sendiri biasanya berlimpah dan mudah diakses. Kesejahteraan tergantung pada produktivitas dan bagaimana faktor-faktor itu digunakan dan ditingkatkan di lokasi tertentu. Menangkap lingkungan bisnis pada suatu lokasi merupakan suatu tantangan bila berbagai lokasi memberikan pengaruh terhadap produktivitas. Akibat perbedaan dalam pendidikan, modal yang tersedia, kualitas infrastruktur dan komunikasi, sehingga terdapat perbedaan besar dalam produktivitas antara tenaga kerja, yang berdampak pada perbedaan besaran upah dan nilai tambah per kapita, yang harus dipertimbangkan dalam menganalisis distribusi aktivitas ekonomi (Hinloopen and Van Marrewijk, 2005). Krugman (1999), menyatakan bahwa ada kepentingan baru pada geografi ekonomi dalam mengambil salah satu dari 2 (dua) pendekatan yang tampaknya
bertentangan.
Pendekatan
pertama
menjelaskan
perbedaan
pembangunan ekonomi antar lokasi dalam hal perbedaan yang melekat (inherent) pada lokasi tersebut dengan mencari asosiasi atau kecenderungan yang terjadi pada suatu lokasi. Sedangkan pendekatan kedua mempertanyakan mengapa nasib ekonomi pada lokasi berbeda bahkan mungkin tidak ada keunggulan atau kekurangan yang melekat. 2.6.5 Jenis Kelamin Penelitian tentang kesenjangan upah secara gender telah dilakukan oleh hampir semua negara tidak terkecuali di Indonesia. Studi tentang diskriminasi upah secar gender sudah terdokumentasi secara baik selama beberapa dekade dan merupakan salah satu aspek yang paling banyak diteliti pada ekonomi
39
ketenagakerjaan. Hampir semua studi mengkonfirmasi adanya diskriminasi upah secara gender kecuali Blaise (2002), yang mengukur kesenjangan upah antara sektor publik dan karyawan swasta (privat) di Jerman pada tahun 2000. Dengan menggunakan teknik regresi OLS dan dekomposisi Blinder-Oaxaca menunjukkan bahwa pria menerima upah yang lebih rendah daripada upah perempuan di sektor publik. Data wage indicator menunjukkan bahwa pekerja perempuan dengan pendidikan yang lebih tinggi tidak selalu mengakibatkan kesenjangan upah menjadi lebih kecil. 2.6.6 Tingkat Pendidikan Menurut Todaro (2006), permintaan atas tingkat pendidikan yang dianggap harus dicapai untuk mendapatkan pekerjaan berpenghasilan tinggi di sektor modern bagi seseorang (dan selanjutnya bagi segenap anggota masyarakat secara keseluruhan) sangat ditentukan oleh kombinasi pengaruh dari empat variabel berikut ini: 1. selisih atau perbedaan upah atau pendapatan antara sektor modern dengan sektor tradisional 2. probabilitas keberhasilan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor modern dengan adanya pendidikan, 3. biaya pendidikan langsung yang harus ditanggung siswa/keluarganya, 4. biaya tidak langsung atau biaya opportunitas dari pendidikan. Sebenarnya masih ada beberapa variabel penting lainnya yang kebanyakan bersifat nonekonomi (misalnya, pengaruh tradisi budaya, gender, status sosial, pendidikan orang tua, dan besarnya anggota keluarga), yang sangat mempengaruhi tingkat permintaan terhadap pendidikan. Teori modal manusia, menyatakan bahwa lamanya masa pendidikan berkorelasi positif dengan pendapatan. Individu yang memilki pendidikan yang
40
relatif lama memiliki pendapatan yang lebih tinggi bilamana dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki pendidikan formal (Blaug, 1974). Lebih lanjut menurut Elfindri (2001), pendidikan erat kaitannya dengan analisis pasar kerja. Terjadi segmentasi upah yang berkaitan dengan karakteristik pendidikan para pekerja sehingga pendidikan yang tinggi akan memberikan pendapatan yang tinggi juga. Berarti semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin tinggi tingkat penghasilan para pekerja. Selain itu pendidikan yang tinggi secara tidak langsung akan membawa konsekwensi terhadap pilihan-pilihan individu dalam mendapatkan pekerjaan, sehingga lapangan pekerjaan untuk mendapatkan pendapatan tinggi cendrung akan diambil oleh tenaga berpendidikan. Polachek (2004), dengan menggunakan data Luxemburg Income Survey (LIS) menunjukkan bagaimana modal manusia dalam hal ini pendidikan terhadap perempuan memprediksi kesenjangan upah gender yang lebih kecil dan menunjukkan mengapa upah perempuan secara relatif meningkat hampir tanpa henti sejak tahun 1890 sampai awal 1990-an di Amerika serikat. 2.6.7 Pelatihan Kerja Menurut teori modal manusia, salah satu
insentif berinvestasi dalam
pelatihan adalah berbanding lurus dengan waktu kerja selama hidup seseorang. Secara sekuler, meningkatnya partisipasi angkatan kerja perempuan relatif terhadap laki-laki menunjukkan bahwa investasi atas hak perempuan harus meningkat dibandingkan dengan laki-laki. Pada gilirannya, investasi modal manusia terhadap perempuan makin meningkat yang ditunjukkan oleh penyempitan
dalam
kesenjangan
upah
gender.
Penelitian
Polachek
menunjukkan bahwa selama periode 1890-2001, pendapatan perempuan tumbuh relatif terhadap pendapatan laki-laki. Secara keseluruhan dari tahun 1890, pendapatan perempuan meningkat dari hanya lebih dari 30% dari
41
penghasilan laki-laki pada tahun 1890, mendekati angka 80% pada tahun 2001. Hal ini sejalan dengan prediksi model modal manusia (Polachek, 2004). Hubungan antara pelatihan kerja dengan tingkat perolehan upah adalah berbanding lurus. Dengan perkataan lain bahwa semakin banyak pelatihan yang diperoleh seorang tenagakerja, berarti akan menambah tingkat ketrampilannya, sehingga menjadi lebih produktif yang pada akhirnya akan brdampak positif terhadap tingkat perolehan upah. Elia (2010), menganalisis dampak kebijakan pembatasan
penggunaan
tenagakerja
kontrak
jangka
pendek
terhadap
perbedaan tingkat upah antar pekerja di Italia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa reformasi pembatasan penggunaan tenagakerja jangka pendek makin melebarkan perbedaan upah antara tenagakerja trampil dengan tenagakerja tidak trampil. Pendidikan
dan
pelatihan
dapat
meningkatkan
ketrampilan
dan
pengetahuan seseorang. Sektor industri yang padat modal dan teknologi menuntut para pekerja yang mempunyai kemampuan dan ketrampilan
yang
tinggi. Beberapa studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pendidikan
dan
pelatihan
dengan
peningkatan
output.
Penelitian lain dilakukan oleh Fleisher, Li, dan Zhao (2010), untuk melihat bagaimana pola pertumbuhan regional di China bergantung pada perbedaan regional dalam modal fisik, manusia, dan infrastruktur serta pada perbedaan dalam arus investasi asing langsung. Mereka menemukan bahwa modal manusia (pendidikan dan latihan) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan output dan produktivitas di lintas provinsi penelitian. 2.6.8 Sektor/ Lapangan usaha Tingkat upah bisa berbeda antar region maupun antar satu sektor dengan sektor lainnya. Pada dasarnya disparitas upah ini bisa disebabkan oleh pasar kerja itu sendiri, karena beberapa pasar kerja yang
42
ada berbeda dan terpisah satu sama lain. Di satu pihak, pekerjaan yang berbeda memerlukan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang berbeda. Sehingga produktivitas kerja seseorang berbeda menurut tingkat pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki, yang juga berimplikasi pada besaran
upah
masing-masing
yang
diperoleh.
Hasil
empiris
menunjukkan, sejalan dengan literatur teoritis, pendidikan memberikan keuntungan upah yang signifikan bagi individu (Blundell, Dearden dan Meghir, 1999). Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Ehreinberg dan Smith (1988) untuk kasus Amerika. Tanzel dan Bircan (2010) juga menunjukkan adanya pengaruh yang positif dan sektor pekerjaan terhadap tingkat disparitas penerimaan upah. Kasus Turki memperlihatkan bahwa mereka yang bekerja di sektor publik akan memperoleh pembayaran jasa berupa upah yang lebih tinggi ketimbang mereka yang bekerja di sektor privat. 2.6.9
Jumlah Jam Kerja Secara teori, semakin banyak jumlah jam kerja yang dicurahkan oleh tenagakerja dalam kegiatan ekonomi maka upah atau balas jasa tenagakerja yang diterima juga akan semakin besar. Penelitian yang dilakukan oleh Figueroa dan Melendez (1993) menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga perempuan pekerja di Puerto Rico adalah berbanding lurus dengan peningkatan jumlah jam kerja.
2.6.10 Jumlah Tanggungan Keluarga Penelitian mengenai pengaruh jumlah anggota rumahtangga terhadap partisipasi angkatan kerja perempuan menikah dan lajang
yang
dilakukan oleh Figueroa dan Melendez (1993) menunjukkan bahwa partisipasi angkatan kerja perempuan menikah dan lajang adalah tidak konsisten. Mereka kemudian meneliti apakah akses terhadap informal
43
child care melalui jumlah anggota keluarga adalah penting dalam pengambilan keputusan penawaran kerja perempuan lajang Puerto Rico non-hispanik berkulit hitam dan berkulit putih. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa adanya anak, biaya pengasuhan anak dan kombinasi kehadiran kerabat yang berumur 16-64 tahun secara tidak langsung dapat
memperbaiki
atau
meningkatkan
kemungkinan
masuknya
perempuan Puerto Rico ke pasar kerja dengan jumlah jam kerja yang lebih banyak. 2.6.11 Jenis pekerjaan Hamermesh
(1970)
dalam
kajiannya
mengenai
efek
organisasi
tenagakerja terhadap disparitas upah tenagakerja white-collar and blue – collar.
Penelitian ini mengestimasi efek potensial kenaikan jumlah
tenagakerja white-collar yang tergabung dalam organisasi tenagakerja dan memprediksi sejauhmana efek organisasi tenagakerja berpengaruh terhadap daya tarik tenagakerja white-collar untuk memasuki pasar kerja. 2. 7 Tinjauan Empiris Penelitian ekonomi terhadap disparitas upah menjadi topik yang banyak dibicarakan. Hal ini menunjukkan begitu kompleksnya persoalan ekonomi ketenagakerjaan termasuk upah, baik di negara-negara yang sudah maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Disparitas upah merupakan issu
yang menarik mengingat kompleksitas
masalahnya mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi dengan pola yang tidak selalu mudah untuk dipahami. Beberapa penelitian telah dilakukan di negara berkembang, yang mengkaji return pendidikan terhadap tingkat upah, misalnya adalah Mwabu dan Schultz (1996) di
44
Afrika Selatan, Girma dan Kedir (2003) di Ethiopia dan Falaris (2008) di Panama6. Blaise (2002), mengukur kesenjangan upah antara sektor publik dan karyawan swasta (privat) di Jerman pada tahun 2000. Dengan menggunakan teknik regresi OLS dan dekomposisi Blinder-Oaxaca menunjukkan bahwa pria menerima upah yang lebih rendah daripada upah perempuan di sektor publik. Analisis secara terpisah terhadap pengalaman kerja dan kelompok pendidikan mengungkapkan bahwa karyawan yang paling berpengalaman dan mereka yang memiliki pendidikan dasar melakukan yang terbaik di sektor publik. Selanjutnya dengan melakukan dekomposisi perbedaan upah, hasil yang diperoleh adalah sama ketika memperlakukan sektor publik sebagai variable dummy. Komponen karakteristik secara rinci menunjukkan bahwa, untuk pria, perbedaan dalam pendidikan, jabatan dan pengalaman menjelaskan sebagian besar perbedaan upah tanpa syarat. Namun bagi wanita, perbedaan dalam pekerjaan ini memainkan peran utama. Gannon et.all (2005), menganalisis perbedaan upah antar industri dan kesenjangan upah gender pada enam negara di Eropa. Penelitian ini menemukan adanya signifikansi perbedaan upah antar industri dan jenis kelamin di semua negara di Eropa. Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa lebih dari 80% kesenjangan upah gender dalam industri adalah signifikan secara statistik. Namun demikian, industri yang memiliki kesenjangan upah gender tertinggi dan terendah bervariasi secara substansial di seluruh negara Eropa. Kesenjangan upah gender yang dapat dijelaskan melalui efek industri berkisar antara 0 sampai 29%.
6
Dalam Aysit Tanzel dan Fatma Bircan, Wage Inequality and Returns to Education in Turkey: A Quantile Regression Analysis, IZA Discussion Paper. 2010.
45
Penelitian yang dilakukan oleh Monastiriotis di UK menunjukkan bahwa kesenjangan upah di Inggris dan di tempat lain meningkat secara substansial selama dua dekade terakhir dan tetap pada tingkat tinggi sepanjang sejarah tahun 1990-an. Penelitian ini menyelidiki sumber ketimpangan dengan melakukan sejumlah dekomposisi terhadap distribusi upah dan perubahannya dari waktu ke waktu dan menemukan bahwa evolusi temporal return, dalam hal ini tingkat upah berdasarkan jenis pekerjaan adalah penentu utama dari kesenjangan upah. Kesenjangan upah juga ditentukan oleh perbedaan dalam wilayah atau lokasi, jenis kelamin, kelompok kerja dan tingkat pendidikan pekerja. Distribusi upah wilayah dari waktu ke waktu dan perbedaan lintasregional dalam distribusi upah sangat ditentukan oleh perbedaan dalam komposisi pekerjaan tenaga kerja dan di return atau balas jasa dari jenis pekerjaan. Penelitian lain dilakukan oleh Yun and Kang (2008) untuk melihat ketimpangan upah di Korea. Penelitian ini secara khusus meneliti berapa banyak perubahan penyebaran upah bisa dijelaskan oleh perubahan distribusi karakteristik pekerja (pengaruh karakteristik), dengan perubahan return pada karakteristik pekerja (pengaruh koefisien), dan dengan perubahan distribusi faktor-faktor
yang
tidak
diamati
(pengaruh
residu).
Dengan
mengimplementasikan komposisi komponen Oaxaca, penelitian ini menemukan bahwa perubahan struktur upah secara signifikan berkontribusi terhadap perubahan ketimpangan upah di Korea. Pengaruh koefisien faktor modal manusia telah memainkan peran besar tidak hanya dalam meningkatkan ketimpangan upah dari pertengahan tahun 1990an, tetapi juga menurunkan ketimpangan upah pada tahun 1980an dan awal tahun 1990an. Dekomposisi terinci menunjukkan bahwa faktor-faktor terkait dengan modal manusia
46
memainkan peran penting dalam mencetak perubahan berbentuk U terhadap ketimpangan upah di Korea. Tanzel dan Bircan (2010), dalam penelitiannya untuk melihat ketimpangan upah pada pria dan evolusinya selama periode tahun 1994 – 2002 di Turki dengan menggunakan estimasi persamaan upah Mincerian dengan teknik OLS dan regresi kuantil menemukan bahwa ketimpangan upah pria di Turki adalah tinggi. Tingginya disparitas upah sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Selain itu disparitas terhadap upah yang terjadi juga dipengaruhi oleh pengalaman,
pekerjaan yang berhubungan dengan sektor publik7, lokasi
geografi, ukuran perusahaan, dan industri yang ditekuni. Peningkatan aliran masuk FDI, keterbukaan pada perdagangan dan perkembangan teknologi global juga memberi andil sebagai faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan ketimpangan upah di dalam kelompok. Secara ringkas dapat dijelaskan beberapa temuan pokok dari penelitian ini, yaitu: i) Ketimpangan upah pria di Turki adalah tinggi. Sekalipun seluruh ketimpangan upah pria menunjukkan penurunan kecil selama periode 1994 – 2002, pengujian lebih dekat menunjukkan bahwa ketimpangan upah menurun pada ujung bawah dari distribusi upah dan naik pada ujung atas dari distribusi upah yang ada. ii) Pendidikan memiliki dampak positif terhadap ketimpangan di dalam kelompok dan di antara kelompok dengan kontribusi terbesar oleh pendidikan tingkat universitas baik pada tahun 1994 maupun 2004. iii) Sebagian
besar
kovariat
lain
memiliki
dampak
negatif
pada
ketimpangan di dalam kelompok dan berkontribusi terhadap seluruh penurunan ketimpangan upah pria yang diamati selama periode ini. 7
Sektor publik merupakan lapangan kerja yang disediakan oleh pemerintah, dan untuk kasus Turki, sektor publik ini merupakan penyumbang disparitas upah tertinggi.
47
Akhirnya, peningkatan aliran investasi asing langsung, keterbukaan pada perdagangan dan perkembangan teknologi global membutuhkan tenagakerja
terampil
juga
memungkinan
sebab
munculnya
ketimpangan upah di dalam kelompok Zhao (2007), menemukan bahwa evolusi ketimpangan penghasilan/upah di urban China lebih jelas pada wanita dibanding pria meski keduanya memberi tren yang sama dalam perubahan komponen pendapatan sementara dan pendapatan permanen. Mumford (2004), juga menemukan bahwa kesenjangan pendapatan antara karyawan pria dan wanita di Inggris adalah substansial dan persisten. Kontribusi penting dari kesenjangan ini disebabkan oleh tempat di mana karyawan bekerja. Namun demikian, komponen utama dari kesenjangan pendapatan antara pria dan wanita di Inggris dikaitkan dengan efek gender. Seperempat dari kesenjangan pendapatan jender keseluruhan dapat dijelaskan oleh perempuan yang memiliki karakteristik individu yang terkait dengan pendapatan yang lebih rendah, meskipun tertinggi 58% di sektor Kesehatan dan terendah 12% di bidang Administrasi Publik. Selanjutnya Blunch (2008), yang menguji determinan upah di Ghana dan memfokuskan pada pengaruh dari sekumpulan variabel modal manusia yang menggambarkan pendidikan formal dan non-formal, keterampilan kognitif dan non-kognitif, yang memperlakukan status kerja sebagai variabel endogen. Penelitian terdahulu sebagian besar memperlakukan modal manusia sebagai “kotak hitam,” “khususnya terhadap pendidikan formal tetapi tidak untuk pendidikan non formal atau baca tulis dan berhitung ketika menguji hubungan modal manusia dan upah. Hasil penelitiannya menunjukkan selain pengaruh langsung dari keterampilan dan pendidikan terhadap upah, beberapa pengaruh tidak langsung, muncul melalui dampak status pekerjaan. Pertama, tidak mengejutkan bahwa dominasi pendidikan formal mengarah kepada lebih
48
banyaknya pekerjaan dengan upah reguler. Kedua, hal sebaliknya adalah benar untuk pekerjaan-mandiri, di mana pekerja tidak dimungkinkan menyelesaikan pendidikan formal tetapi lebih dimungkinkan mengikuti program baca tulis. Ketiga, partisipasi kursus baca tulis orang dewasa menurunkan ketidak aktifan ekonomi, khususnya bagi wanita, individu dengan tanpa pendidikan non formal, dan di area urban. Karena itu, ketika partisipasi pada program baca tulis dewasa tidak memiliki pengaruh langsung kepada upah, kondisional pada status pekerjaan, hal ini memiliki pengaruh tidak langsung substansial pada upah melalui dampaknya kepada status pekerjaan yang dimiliki. Rand dan Torm (2012) meneliti perbedaan upah antara perusahaan manufaktur formal dan informal rumahtangga di Vietnam. Dengan menggunakan metode dekomposisi Blinder-Oaxaca, mereka menyelidiki apakah kesenjangan upah
sebagian
disebabkan
oleh
perbedaan
dalam
karakteristik
antara
perusahaan formal dan informal, atau variasi dalam return dari karakteristik (komponen dijelaskan). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa upah ratarata 10% -20% lebih tinggi pada perusahaan formal jika dibandingkan sektor rumahtangga informal. Analisis dekomposisi mengungkapkan bahwa sebagian besar kesenjangan upah disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik antara perusahaan di sektor formal dan informal. Kontributor utama terhadap kesenjangan upah adalah ukuran perusahaan, lokasi dan karakteristik tenaga kerja tertentu, sedangkan perbedaan umur perusahaan, jenis kelamin pemilik dan pendidikan serta tingkat teknologi dari sektor pekerjaan tidak memainkan peran penting dalam menjelaskan diferensiasi upah yang ada. Dominasi perusahaan
dalam
menjelaskan
kesenjangan
upah
sektor
informal
mengindikasikan bahwa faktor upah tradisional memainkan peran penting dalam menjelaskan return upah antara perusahaan rumah tangga di Vietnam.
49
Martí, Puertas, dan Fernández (2011), mengkaji produktivitas industri dan konvergensi region di China dalam hubungannya dengan masuknya China dalam organisasi perdagangan dunia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi China adalah sangat penting, baik karena seberapa cepat itu terjadi dan juga efeknya pada perekonomian dunia secara keseluruhan. Ukuran ekonomi dan tingkat di mana ia tumbuh telah membuka perbedaan internal region yang signifikan
yang terlihat dalam tren industri sebagai
eksponen utama pertumbuhan ini. Jurnal ini menganalisis perbedaan regional dalam
produktivitas
industri
dengan
menggunakan
pendekatan
dinamis
(Malmquist index), yaitu, dengan menentukan pertumbuhan produktivitas daerah serta perubahan dalam ketidaksetaraan nilai tambah dari satu daerah ke daerah lain (sigma dan konvergensi beta). Kedua pendekatan membedakan masingmasing antara periode 1995-2000 dan 2001 hingga 2006, dalam rangka untuk menganalisis kemungkinan dampak pada industri China setelah menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia. Pirmana (2006), yang menjadi referensi utama dalam tulisan ini, menunjukkan dengan jelas
adanya ketidaksetaraan gender yang signifikan
dalam pendapatan di Indonesia, penelitian ini menyimpulkan sebagai berikut: i) Berdasarkan pendidikan dan pengalaman, kota-desa lokasi dan provinsi di mana individu berada dan bekerja dan berdasarkan karakteristik sosio-demografiekonomi. Profil ketidaksetaraan pendapatan berdasarkan gender tampaknya menjadi model "U terbalik", dengan penyempitan kesenjangan penghasilan priawanita sebagai pencapaian meningkatnya tingkat pendidikan. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa afiliasi industri dari materi pekerja perempuan disinyalir sebagai salah penyebab terjadinya disparitas. ii) Hasil estimasi persamaan pendapatan Mincerian menunjukkan bahwa faktor seperti modal manusia (lama sekolah, yang dinyatakan dalam tahun dan pengalaman), karakteristik sosio-
50
demografi-ekonomi (menjadi kepala rumah tangga, jenis kelamin, status perkawinan, sektor pekerjaan), dan faktor lokasi (perkotaan-pedesaan dan provinsi dimana individu berada dan bekerja), secara signifikan mempengaruhi pendapatan individu di Indonesia. Sementara itu, hasil dari dekomposisi ketimpangan
pendapatan
ini
menunjukkan
bahwa
faktor
penyebab
ketidaksetaraan pendapatan antara "laki-laki" dan "perempuan" adalah sekitar 41,6 persen yang disebabkan oleh perbedaan endowment. Di sisi lain, sebagian besar kesenjangan sekitar 58,4 persen disebabkan oleh faktor tidak teramati dan tidak dapat dijelaskan. Penelitian empirik mengenai disparitas upah telah banyak dilakukan, tetapi kebanyakan penelitian yang ada hanya melihat perbedaan upah berupa diskriminasi di antara tenagakerja laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa diskriminasi upah menurut jender masih terjadi,
meskipun porsinya berbeda-beda antar
negara serta
besarnya
diskriminasi semakin berkurang dari waktu ke waktu. Selain itu penelitian terkait upah ini kebanyakan hanya mengaitkan bagaimana upah itu kemudian terdiferensiasi berdasarkan tingkat pendidikan atau hanya mengkaji return pendidikan terhadap perolehan tingkat upah, jadi hanya fokus pada sisi human capital. Sehingga secara umum penelitian yang ada hanya fokus pada persoalan disparitas upah gender, atau hanya melihat hubungan antara human capital dengan tingkat perolehan upah. Sedangkan penelitian ini, gender dan human capital hanyalah bagian dari variabel yang mempengaruhi disparitas dan dekomposisi dari perbedaan upah yang diterima pekerja sektor pertanian dan non pertanian. Selanjutnya, beberapa penelitian empirik tentang upah yang ada hanyalah mengkaji disparitas upah pekerja atau struktur upah antar industri, yang melihat apakah disparitas upah yang diterima oleh pekerja pada industri yang sama
51
dipengaruhi oleh produktivitas dari tenagakerja, keanggotaan serikat pekerja serta karakteristik dari perusahaan tempat mereka bekerja. Dengan demikian, penelitian yang ada hanya berkisar pada pertanyaan:” why are similar workers paid differently?” atau mengapa tenaga kerja yang sama menerima upah yang berbeda sehingga hanya berskala mikro yang fokus pada sektor formal mengingat sulitnya memperoleh data individu sektor informal. Penelitian ini merupakan penelitian yang fokus pada komparasi upah antar sektor pertanian dengan non pertanian yang menggunakan data mikro individu. Dengan demikian penelitian ini selain mengkaji sektor formal juga sektor informal yang diwakili oleh sektor pertanian. Sektor pertanian dipilih mewakili sektor informal mengingat sektor ini merupakan sektor penyerap tenagakerja terbanyak di wilayah ini. Selain itu upah sektor ini
adalah fluktuatif
yang sangat
dipengaruhi oleh faktor musim dan kondisi geografi masing-masing daerah. Selanjutnya, dengan menggunakan metode dekomposisi Blinder-Oaxaca, penelitian ini diharapkan akan dapat mengungkapkan kesenjangan upah pekerja antara sektor pertanian dan non pertanian, yang selanjutnya menyelidiki seberapa besar differensial ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik individu tenagakerja,
karakteristik
human
capital,
serta
karakteristik
pekerjaan.
Selanjutnya penelitian ini juga akan menjelaskan bagaimana pengaruh faktorfaktor yang un-observed terhadap disparitas upah yang terjadi, misalnya faktor budaya, etos kerja, perbedaan kebijakan masing-masing pemerintah daerah dan lain-lain.
52
BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1. Kerangka Konseptual Masalah tenagakerja adalah masalah yang sangat kompleks dan besar. Kompleksitas permasalahan ketenagakerjaan ini karena mempengaruhi dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi dengan pola yang umumnya tidak mudah dipahami. Pertanyaan tentang distorsi di pasar tenagakerja telah mendorong banyak perhatian di bidang ekonomi. Disparitas tingkat upah8 mencerminkan adanya perbedaan aksesibilitas tenagakerja terhadap pasar tenagakerja yang ada. Selain itu, isu-isu perburuhan memiliki dimensi yang besar, termasuk isu kesenjangan upah, dimana dimensi kesenjangan upah itu sendiri dapat dilihat dalam bervariasi cara, misalnya ketidaksetaraan pendapatan oleh karakteristik daerah, sosial-ekonomi, karakteristik demografi, dan lainnya, termasuk disparitas pendapatan
antar
sektor
pekerjaan.
Kenyataan
menunjukkan
adanya
kesenjangan upah antar sektor terutama antara sektor tradisional (sektor pertanian) dan sektor modern. Beberapa kasus, pekerja sektor non pertanian khususnya industri menerima upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja sektor pertanian. Meskipun telah ada upaya untuk mengukur besaran dan determinan kesenjangan upah ini terhadap tingkat upah yang diperoleh masing-masing pekerja, pemecahan dari kompleksitas masalah yang ada selalu saja masih menyisakan masalah baru. Hal ini juga disebabkan karena permasalahan ketenagakerjaan adalah sangat dinamis. Bukti-bukti
empiris
yang
ditunjukkan
penelitian
terdahulu
menginformasikan bahwa penerimaan upah pekerja sangat dipengaruhi oleh 1) Upah merupakan hasil keseimbangan dari interaksi antara penawaran tenagakerja dengan permintaan tenagakerja di pasar tenagakerja.
53
karakteristik
individu
pekerja,
karakteristik
human
capital,
karakteristik
pekerjaan,karakteristik daerah serta karakteristik sosial ekonomi secara umum. Data Wage Indicator menunjukkan bahwa pekerja perempuan dengan pendidikan yang lebih tinggi tidak selalu mengakibatkan kesenjangan upah menjadi lebih kecil. Dalam beberapa kasus, kesenjangan sebenarnya meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendidikan yang diperoleh. Namun secara umum, pendidikan yang lebih tinggi berarti pekerja akan memperoleh penghasilan yang lebih tinggi secara keseluruhan. Pertimbangan penggunaan karakteristik individu sebagai salah satu instrumen pada penelitian ini didasarkan bahwa pada umumnya, keputusan pekerja untuk masuk pada pasar kerja banyak dipengaruhi oleh karakteristik yang melekat pada diri pekerja tersebut. Hal ini sejalan dengan teori Neo-Klasik yang menjelaskan bahwa segmentasi pasar tenaga kerja terjadi sebagai akibat perbedaan karakteristik individu dan karakteristik
human capital9
yang
berpengaruh terhadap produktivitas
tenagakerja. Pentingnya variabel karakteristik sosial-ekonomi yang digunakan pada penelitian ini tidak lain adalah untuk menangkap efek perbedaan status sosial dan ekonomi masing-masing daerah mengingat setiap daerah kabupaten/kota memiliki pandangan yang berbeda terhadap simbol status sosial-ekonomi. Akan halnya dengan segregasi lokasi desa-kota, untuk membuktikan apakah kenyataan secara umum bahwa pekerja kota memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang bekerja di desa juga terjadi di region ini. Mereka yang bekerja di kota pada umumnya bekerja di sektor modern yang menjanjikan imbalan pembayaran jasa kerja yang lebih besar, sedangkan
9
)Yang termasuk human capital adalah pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja. Hal ini penting untuk menguji apakah tenaga kerja perempuan yang masuk pada pasar kerja sudah memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang ada di daerah.
54
mereka yang bekerja di desa bergelut dengan sektor tradisional seperti buruh tani memperoleh upah yang rendah dan terkadang sifatnya hanyalah sebagai pekerja musiman yang memperoleh balas jasa kerja yang lebih fluktuatif. Sementara itu, instrumen jenis kelamin juga penting untuk melacak apakah terdapat perbedaan penghasilan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Disparitas upah gender ini penting karena akan sangat berdampak pada kehidupan pekerja perempuan dan seluruh keluarganya terutama ketika perempuan tersebut adalah pencari nafkah tunggal dan orang tua tunggal yang harus bisa membagi waktu kerjanya dengan mengurus rumahtangga dan anak. Data Susenas 2007 menunjukkan bahwa persentase wanita sebagai kepala rumahtangga miskin mencapai 12,9 persen, sedangkan rumahtangga tidak miskin tercatat sebesar 13,5 persen. Hampir
semua
negara
di
dunia
sudah
melakukan kajian
yang
menitikberatkan pada disparitas upah secara gender dan hasilnya menunjukkan adanya disparitas antargender baik di negara maju maupun di negara berkembang. Hasil temuan International Labor Organization (ILO) yang baru diliris menyebutkan bahwa masih ada kesenjangan upah antar gender di Indonesia dengan selisih hingga 19 % pada tahun 2012. Kesenjangan upah antar gender tertinggi terjadi di Azerbaijan yaitu sebesar 46%, dan terendah adalah Paraguay dengan 4%. Sedangkan rata-rata jumlah kesenjangan antar gender di dunia masih mencapai angka 18%. Peningkatan ketimpangan upah secara tidak langsung menyatakan polarisasi dalam distribusi kesejahteraan dalam masyarakat. Pendidikan
merupakan
cara
terbaik
dalam
meningkatkan
kualitas
tenagakerja. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan akan sangat tergantung pada kualitas sekolah dan lulusan universitas serta kemampuan mereka untuk memproduksi, beradaptasi, mengkomersialkan dan memanfaatkan pengetahuan
55
(Huggins dan Izushi, 2008). Hal ini menyangkut kuantitas dan kualitas tenagakerja yang ada di daerah tersebut. Kalau kualitas tenagakerja rendah, maka disparitas upah antar daerah sulit diatasi. Hal ini sejalan dengan Lengyel and Lukovics (2006), yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah dibangkitkan oleh tingkat pertumbuhan tenagakerja dan kesempatan kerja yang tinggi. Kerangka konseptual dari penelitian ini secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut: Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Pasar Tenagakerja
Upah
Sektor Pertanian
Neo-Klasik
Sektor Non Pertanian
Karakteristik Individu tenagakerja Sosio-Ek-Demografi Human Capital Karakteristik Pekerjaan
Disparitas Upah
IMPLIKASI KEBIJAKAN DAERAH
Analisis Dekomposisi
56
3.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis disusun berdasarkan beberapa studi pustaka yang telah penulis lakukan, yang nantinya akan dibuktikan secara empiris melalui analisis deskriptif maupun analisis inferensial. Adapun hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Umur, Status Perkawinan, Jumlah Tanggungan Keluarga, Jenis Kelamin ,Jarak,
Lokasi Tempat Tinggal (Desa-Kota), Tingkat Pendidikan,
Pelatihan Kerja, Jumlah Jam Kerja dan Status Pekerjaan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap disparitas upah antar pekerja pada sektor pertanian dan non pertanian di wilayah Sulawesi Selatan. 2. Umur, Status Perkawinan, Jumlah Tanggungan Keluarga, Jenis Kelamin ,Jarak,
Lokasi Tempat Tinggal (Desa-Kota), Tingkat Pendidikan,
Pelatihan Kerja, Jumlah Jam Kerja dan Status Pekerjaan mempengaruhi dekomposisi disparitas upah pekerja antara sektor pertanian dan non pertanian di wilayah Sulawesi Selatan.
57
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Pendekatan Penelitian Masalah pokok yang diajukan dalam penelitian ini ada dua, dan bertitik tolak dari permasalahan sebagaimana disebutkan terakhir yaitu, pertama adalah menganalisis determinan
disparitas upah antar sektor pertanian dan non
pertanian. Kedua, adalah melacak dekomposisi determinan disparitas
upah
pekerja antar sektor pertanian dan non pertanian. Untuk menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas upah
digunakan persamaan upah Mincerian (Mincerian wage equation) yang telah dikembangkan oleh Mincer (1974). Sedangkan untuk mengetahui dekomposisi disparitas upah yang terjadi pada pekerja sektor pertanian dan non pertanian, digunakan analisis dekomposisi yang telah dikembangkan oleh Blinder (1973) dan Oaxaca (1973) yang sudah banyak diterapkan pada penelitian sebelumnya. Dengan
demikian,
maka
rancangan
penelitian
ini
menggunakan
pendekatan positivisme dengan melakukan eksplorasi berdasarkan fakta-fakta empiris yang ada di wilayah penelitian dan dianalisis dengan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif juga akan melengkapi penelitian ini sekaitan dengan karakteristik yang tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan kuantitatif. Metode statistik dan ekonometrika akan digunakan untuk mengetahui pengaruh setiap variabel terhadap disparitas tingkat upah pada pekerja yang berstatus sebagai pegawai/buruh/karyawan di sektor pertanian dan non pertanian yang ada di Sulawesi Selatan. Model yang digunakan dalam analisis ekonometrika adalah persamaan Mincerian dan analisis dekomposisi Oaxaca, dimana dekomposisi ini dilakukan dengan menggunakan command Oaxaca yang terdapat pada program STATA versi 12.0. Hal ini dilakukan dengan
58
menjadikan variabel
upah sebagai variabel endogen dan variabel-variabel
karakteristik individu tenagakerja, karakteristik human capital , serta karakteristik pekerjaan sebagai variabel eksogen.
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Latar Belakang Penelitian
Tinjauan Teoritis
Data SAKERNAS 2010 Mincerian earning Equation, Dekomposisi Komponen Oaxaca
Rumusan Permasalahan
Pengumpulan Data
Analisis Data
Pembahasan Hasil Analisis
Kesimpulan dan Rekomendasi
Penelitian Terdahulu
Data Cross Section
59
4.2. Pengumpulan dan Sumber Data Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu pengumpulan data primer dan data sekunder. Dalam penelitian ini lebih ditekankan pada penggunaan data sekunder yang dikumpulkan dengan metode kepustakaan yang bersumber dari data-data statistik, SAKERNAS 2010, berbagai publikasi, dan dokumen-dokumen yang terdapat di berbagai lembaga dan instansi yang terkait dengan penelitian ini. Sedangkan data primer bersifat melengkapi data sekunder yang ada. Data dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah data mikro individu yang diperoleh dari Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2010. 4.3.
Lokasi Dan Obyek Penelitian Lokasi dan obyek dari penelitian ini mengambil studi kasus pengamatan di
wilayah Sulawesi Selatan, yang meliputi tiga (3) kota dan dua puluh dua (22) kabupaten. Wilayah Sulawesi Selatan ditetapkan sebagai obyek penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa wilayah ini merupakan satu entitas regional strategis sebagai gerbang perekonomian di Kawasan Timur Indonesia, yang menunjukkan trend pertumbuhan ekonomi yang terus mengalami peningkatan, meskipun masih terdapat disparitas terhadap tingkat upah. Lingkup pengujian hipotesis dibatasi pada penduduk usia kerja yaitu 15 -64 tahun (sesuai definisi ILO) dengan status pekerjaan utama sebagai buruh/pegawai/karyawan pada sektor pertanian dan non pertanian. 4.4. Teknik Analisis Data Setelah tahapan pengumpulan data maka dilanjutkan dengan mengekstraksi data yang ada di Sakernas tahun 2010. Data mentah Sakernas berisi informasi individual dari tiap responden berdasarkan jawaban masing-masing responden
60
untuk setiap pertanyaan dari kuesioner Sakernas, dimana untuk wilayah Sulawesi Selatan terdapat
52 ribu individu sebagai responden. Tahapan
berikutnya adalah menganalisa data. Sekumpulan data yang ada akan dianalisa dengan menggunakan command Oaxaca yang terdapat pada program STATA 12.0. Dari hasil command ini, akan didapatkan pula persamaan fungsi upah (Mincerian Earning Equation) untuk pekerja sektor pertanian dan non pertanian di Sulawesi Selatan. Analisis dekomposisi komponen Oaxaca digunakan untuk mengetahui komposisi determinan disparitas tingkat upah antar pekerja dan antar daerah kabupaten/kota yang ada dalam region Sulawesi Selatan. Berikut penjelasan dua pendekatan utama yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. 4.4.1 Mincerian Earnings Equation Mincer (1974), pada awalnya menunjukkan bahwa jika biaya yang dihabiskan seseorang untuk mengenyam pendidikan adalah opportunity cost dari seseorang tersebut, dan jika pendapatan yang disebabkan oleh lamanya pendidikan yang naik secara proporsional adalah konstan sepanjang waktu, maka log dari pendapatan itu akan memiliki hubungan linear terhadap lamanya pendidikan yang ditempuh oleh seseorang. Mincer kemudian mengelaborasi hipotesis ini dengan memasukkan term kuadratik pengalaman kerja sebagai variabel yang juga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan. Secara matematis, model Mincer yang kemudian dikenal sebagai persamaan gaji Mincer (Mincerian Wage Equation), dapat ditulis sebagai berikut: lnWi = dimana lnWi adalah log natural dari upah individu i; pendidikan yang ditempuh;
adalah lamanya
adalah pengalaman (biasanya diukur dari usia
61
minus lamanya pendidikan yaitu minus 6); dan
adalah pengalaman dikuadratkan,
adalah error term. Model ini mengasumsikan bahwa nilai koefisien
schooling ,
adalah sama dengan discount rate.
Dalam
perkembangan
lebih
lanjut,
model
ini
digunakan
untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih jauh dari kesenjangan penghasilan yang tidak hanya berdasarkan pada tingkat pendidikan dan pengalaman (karakteristik human capital), tetapi juga memasukkan karakteristik individu dan karakteristik pekerjaan. Alasan utama untuk ini adalah bahwa ketika melihat ketimpangan penghasilan perhatian utama adalah persentase dari variasi penghasilan itu, hal ini bisa diperoleh dengan model semi log. Berikut adalah model dasar yang digunakan untuk memperkirakan pendapatan antar sektor : n
y ln Y a0 ai X i i 1
Y adalah fungsi penghasilan individu; Xi adalah set variabel independen (X1, X2, X3 ,...Xn); a0, a1,...an ; b0, b1,...bn adalah koefisien estimasi; adalah residual atau error term. Penentuan Xi didasarkan tidak hanya pada teori human capital yang diusulkan oleh Mincer (1974), tetapi juga didasarkan pada berbagai tujuan penelitian dan ketersediaan data. Dengan demikian untuk menjawab hipotesis I, maka persamaan estimasi yang digunakan dapat diurai sebagai berikut:
ln wi a1 x1 a2 x2 a3 x3 a4 x4 a5 x5 a6 x6 a7 x7 a8 x8 a9 x9 a10 x10 i Dimana:
wi = tingkat upah ; i = sektor
a1 , a2 ,..., a10 = koefisien estimasi
x1 = umur x2 = jenis kelamin x3 = status perkawinan x4 = jumlah tanggungan
62
x5 = jarak x6 = lama jam kerja x7 = pendidikan x8 = pelatihan x9 = jenis pekerjaan x10 = status pekerjaan
i = error term 4.4.2. Earnings Decomposition Method Untuk menginvestigasi dekomposisi determinan disparitas upah yang diterima berdasarkan sektor lapangan usaha, digunakan analisis dekomposisi yang telah dikembangkan oleh Blinder (1973) dan Oaxaca (1973). Disparitas upah antar sektor pertanian dan non pertanian dirumuskan sebagai: n
y N a0N aiN X iN N i 1
n
y P a0P aiP X iP P i 1
Dimana N adalah upah sektor non pertanian dan P adalah upah sektor pertanian. Blinder (1973) menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata dari logaritma upah atau penghasilan dapat didekomposisi:
n
n
y y a0N a0P aiN X i X i X i aiN aiP N
P
i 1
N
P
P
i 1
Dimana garis di atas variabel (bar) merupakan perbedaan rata-rata dari logaritma penghasilan yang dapat dilakukan dekomposisi seperti berikut:
Raw differential (R) a0N
P n P P N N a X a 0 ai X i E C U i i i 1 i 1 n
E adalah porsi diferensial yang disebabkan perbedaan endowment
63
n
E aiN X i X i i 1
N
P
C adalah porsi diferensial yang disebabkan oleh perbedaan koefisien n
C X i a N aiP P
i 1
U = unexplained portion of the differential = a0 a0 D adalah bagian diferensial yang disebabkan diskriminasi = C + U L
P
Hampir semua variabel dalam fungsi pendapatan adalah variabel dummy (kecuali pengalaman potensial dan pengalaman yang potensial kuadrat). Menurut Halvorsen dan Palmquist (1980)10, jika koefisien regresi semi logaritmik bukan variabel dummy, kita dapat menafsirkan koefisien secara langsung. Namun, penafsiran koefisien dari variabel dummy dalam persamaan logaritmik akan bias dan menyesatkan jika kita menafsirkan dengan prosedur yang sama. Penafsiran yang benar dari koefisien variabel dummy dalam persamaan semi logaritmik dirumuskan sebagai:
ln Y a bi . X i ci D j i
j
Dimana Xi adalah variabel kontinyu dan Dj merupakan variabel dummy. Untuk penyederhanaan, persamaan ini dapat ditulis sebagai:
Y 1 g
D
a bi X i i
Dimana g adalah efek relatif pada Y dari faktor yang diwakili oleh variabel dummy. Dengan demikian koefisien dari variabel dummy dalam persamaan adalah c = ln (1 + g ). Efek relatif pada Y adalah g = exp(c-1), dan efek presentase sama dengan 100. Sehingga g = 100. exp(c) – 1}, c adalah koefisien
10
Dalam Victor Permana, 2006. Earnings Differential Between Male-Female in Indonesia: Evidence from Sakernas Data. Working Paper in Economics and Development Studies No. 200608
64
regresi. Koefisien variabel dummy dalam penelitian ini ditafsirkan dalam bentuk efek presentase. Secara ringkas model dekomposisi yang digunakan untuk menjawab hipotesis II adalah sebagai berikut:
ln wd u1 x1 u2 x2 u3 x3 u4 x4 u5 x5 u6 x6 u7 x7 u8 x8 u9 x9 u10 x10 i Dimana:
ln wd = disparitas upah
u1 , u2 ,..., u10 = koefisien dekomposisi x1 = umur x2 = jenis kelamin x3 = status perkawinan x4 = jumlah tanggungan x5 = jarak x6 = lama jam kerja x7 = pendidikan x8 = pelatihan x9 = jenis pekerjaan x10 = status pekerjaan i = error term Dekomposisi Blinder-Oaxaca mengurai perbedaan dua keadaan ke dalam dua komponen, yaitu komponen perbedaan yang muncul sebagai akibat perbandingan dari dua kelompok secara rata-rata ( misalnya tingkat pendidikan dan pengalaman kerja), ketika kedua kelompok tersebut menerima perlakuan yang sama (explained component). Komponen kedua adalah komponen perbedaan yang muncul akibat perbedaan perlakuan yang berbeda terhadap salah satu kelompok dengan karakter individual yang sama (unexplained component). Kedua kelompok ini disebut sebagai efek karakter dan efek koefisien dalam terminologi analisis regresi yang merupakan dasar dari analisis dekomposisi. Altonji dan Blank,1999; Barsky et al., 2002, telah menggunakan teknik ini dalam menguji diskriminasi kesejahteraan di antara rumah tangga kulit
65
putih dengan rumahtangga kulit hitam di amerika Serikat. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bauer et al. (2006) dalam menguji perilaku wanita perokok dan tidak perokok di Jerman. Teknik
dekomposisi
ini
pada
dasarnya
tidak
berbeda
dengan
membandingkan individu pada dua lokasi yang berbeda, berdasarkan upah dan karakteristik yang diamati (Hertz et al., 2009). Teknik ini merupakan cara praktis untuk menemukan adanya fenomena diskriminasi dan menjadi alat dasar dalam mempelajari perbedaan dan diskriminasi upah yang disebabkan oleh perbedaan karakteristik. Teknik dekomposisi telah memberikan titik awal untuk mempelajari diskriminasi dan perbedaan upah ras dan jender sejak diperkenalkan pada awal tahun 1970. Namun demikian, meski pada awal diperkenalkannya teknik ini hanya untuk menguraikan perbedaan upah menurut suku dan jender, teknik ini juga cocok digunakan untuk mempelajari evolusi upah dari waktu ke waktu. Dalam kaitan ini, efek karakteristik merupakan pertumbuhan upah yang disebabkan oleh perubahan dalam kualifikasi dan kredensial dari waktu ke waktu, dan efek koefisien yang menunjukkan perubahan upah karena perubahan struktural dalam penentuan upah dari waktu ke waktu. Karena itu, teknik dekomposisi
Blinder-Oaxaca
pada
prinsipnya
dapat
diterapkan
untuk
menganalisis dekomposisi perbedaan atau perubahan dari setiap variabel kontinu, misalnya jam kerja. fleksibilitas dari teknik ini lebih lanjut ditunjukkan dengan memperluas dekomposisi perbedaan atau perubahan variabel biner, seperti
partisipasi
pasar
tenagakerja
dan
perbedaan
atau
perubahan
ketimpangan upah yang diukur dengan varians upah log. Teknik dekomposisi Blinder-Oaxaca ini telah dan terus digunakan secara luas dalam mempelajari perbedaan dan perubahan dalam berbagai variabel sosial ekonomi karena
66
kesederhanaan dan fleksibilitas dalam pelaksanaan serta wawasan yang ditawarkannya. 4.5. Definisi Operasional Variabel Serangkaian analisis dan pengujian ekonometrika ( Mincerian Earnings Equation
dan
analisis
komponen
Blinder-Oaxaca)
dimaksudkan
untuk
tercapainya tujuan penelitian dengan melibatkan beberapa variabel. Untuk membatasi dan memudahkan penyamaan persepsi, maka perlu ada definisi operasional dari masing-masing variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini. Adapun definisi operasional dari masing-masing variabel tersebut adalah: 1.
Disparitas Upah adalah perbedaan upah yang diterima oleh
pekerja di
sektor pertanian dan sektor non pertanian yang dinyatakan dalam rupiah 2.
Umur sebagai proksi dari pengalaman kerja, adalah mereka yang berusia minimal 15 tahun atau tenagakerja menurut versi BPS yaitu penduduk yang berusia 15 – 64 tahun yang terlibat dalam proses produksi
3.
Jenis kelamin adalah jenis kelamin tenagakerja (tenagakerja laki-laki:1 dan 0 untuk tenagakerja perempuan)
4.
Status perkawinan dalam penelitian ini dibedakan dalam pekerja yang sudah kawin dan belum kawin
5.
Jumlah tanggungan keluarga dalam penelitian ini merupakan proksi dari jumlah anggota keluarga yang dimiliki.
6.
Lokasi. Lokasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tempat domisili pekerja yang dibedakan antara kota dan desa (1: kota dan 0:desa)
7.
Tingkat pendidikan adalah lama seorang tenagakerja dalam menempuh pendidikan formal yang dihitung dalam satuan tahun.
67
8.
Pelatihan kerja, pelatihan kerja yang dimaksud pada penelitian ini adalah lamanya pelatihan yang diterima oleh pekerja yang berkaitan dengan bidang pekerjaan yang ditekuni.
9.
Jumlah jam kerja adalah jumlah waktu yang dicurahkan oleh pekerja selama seminggu terhadap bidang pekerjaan utama yang ditekuni yang dinyatakan dalam jam.
10. Jenis
pekerjaan adalah jabatan dari pekerjaan utama yang ditekuni,
misalnya manajer, mandor atau karyawan biasa