BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan penduduk lanjut usia (lansia) diprediksikan akan meningkat cepat dimasa yang akan datang terutama di negara-negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga akan mengalami peningkatan jumlah penduduk lansia (Affandi, 2009). Proporsi penduduk lansia di Indonesia pada mulanya relatif rendah yaitu sekitar 4,5 persen tahun 1971, Tetapi antara tahun 1990 (6,6 persen) hingga tahun 2020 (11 persen) kenaikan proyeksi secara mencolok akan terjadi pada persentase penduduk lansia, kenaikannya hampir dua kali lipat (BPS, 2000). Penuaan struktur umur telah menjadi topik utama didalam perdebatan masyarakat karena hal tersebut memyangkut pertumbuhan ekonomi di masa depan (Prettner, 2013). Kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, dan majunya ilmu pengetahuan, terutama karena kemajuan ilmu kedokteran, mampu meningkatkan angka harapan hidup (life expectancy). Penduduk Indonesia dari tahun ke tahun telah mengalami perubahan struktur, komposisi, dan perkembangan. Proporsi penduduk usia muda atau di bawah 15 tahun mengalami perubahan menjadi mengecil walaupun jumlahnya masih bertambah. Meningkatnya angka harapan hidup secara tidak langsung mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk lanjut usia dan ada kecenderungan akan meningkat lebih cepat (Kartika, 2014).
Rasio ketergantungan penduduk tua (old dependency ratio) adalah angka yang menunjukkan tingkat ketergantungan penduduk usia lanjut (tua) terhadap penduduk usia produktif, sehingga penduduk usia produktif akan menanggung semakin banyak penduduk lanjut usia apabila jumlah penduduk lanjut usia meningkat semakin cepat (Samorodov, 1999). Menurut Heidkamp et al (2012) banyak penduduk lanjut usia yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena keterbatasan kemampuan dan keterampilan. Penurunan kinerja pada penduduk lansia menyebabkan tenaga kerja usia lanjut dianggap tidak efektif lagi dan cenderung perusahaan akan memperkerjakan karyawan yang lebih muda dengan keterampilan yang sama. Penurunan kinerja tersebut mengakibatkan penduduk lansia yang masih membutuhkan pekerjaan akan mencari alternatif pekerjaaan lain yang mau menerima tenaganya (McGregor and Gray, 2013). Tabel 1.1 Angka Harapan Hidup Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Bali Tahun 2008– 2012 (Tahun) No Kabupaten/Kota 2008 2009 1 Jembrana 71.65 71.73 2 Tabanan 74.27 74.38 3 Badung 71.70 71.75 4 Gianyar 72.01 72.06 5 Klungkung 69.00 69.05 6 Bangli 71.47 71.56 7 Karangasem 67.80 67.85 8 Buleleng 68.78 68.96 9 Denpasar 72.91 72.96 Bali 70.61 70.67 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014
2010 71.80 74.43 71.80 72.12 69.10 71.64 67.90 69.15 73.01 70.72
2011 71.88 74.49 74.85 72.17 69.15 71.73 67.95 69.34 73.06 70.78
2012 71.95 74.55 71.91 72.22 69.20 71.81 68.00 69.53 73.12 70.84
Peningkatan angka harapan hidup (life ecpectancy) merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan kesehatan. Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menilai derajat kesehatan penduduk, artinya jika angka harapan hidup meningkat, maka derajat kesehatan penduduk juga meningkat serta memperpanjang usia harapan hidupnya. Tabel 1.1 menunjukkan Angka Harapan Hidup (AHH) menurut Kabupaten/Kota Provinsi Bali pada tahun 2008-2012. Tahun 2008 AHH tertinggi diperoleh Kabupaten Tabanan yaitu sebesar 74,27 tahun. Tahun 2009 AHH tertinggi diperoleh Kabupaten Tabanan yaitu sebesar 74,38 tahun. Tahun 2010 Kabupaten Tabanan kembali menduduki posisi tertinggi AHH sebesar 74,43 tahun. Tahun 2011 AHH tertinggi diperoleh Kabupaten Badung sebesar 74,85 tahun, hal ini karena fasilitas dan kualitas kesehatan Kabupaten Badung pada tahun 2011 meningkat. Semakin meningkatnya kemajuan dibidang kesehatan akan diikuti peningkatan AHH suatu daerah (Mantra, 2000: 111). Tahun 2012 AHH tertinggi diperoleh Kabupaten Tabanan yaitu sebesar 74,55 tahun. Kabupaten Tabanan memiliki angka tertinggi selama 4 periode disebabkan oleh keadaan geografi pada Kabupaten Tabanan, dimana masih terdapat banyak lahan pertanian dengan udara yang sejuk dan juga kehidupan Kabupaten Tabanan yang masih tradisional, sehingga masyarakat Kabupaten Tabanan tidak terlalu banyak terkontaminasi oleh makanan-makanan olahan yang membahayakan kesehatan, dan udara yang tercemar.
Tabel 1.2
Kabupaten
PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Bali selama Tahun 19982011 (Persen) Tahun 1998 4,801 3,969 10,059 5,041 5,078 3,718 3,242 3,684 6,161 5,472
1999 2002 4,799 5,104 3,972 4,25 9,86 10,601 5,087 5,546 5,1 5,65 3,716 3,912 3,244 3,246 3,691 4,008 6,092 6,42 5,442 5,724
Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Buleleng Denpasar BALI Sumber : BPS Provinsi Bali, 2014
2003 2005 2006 2010 4,966 5,552 5,73 7,407 4,234 7,423 7,726 6,086 9,566 15,016 16,697 11,672 5,506 5,939 6,281 7,79 5,587 6,163 6,473 8,352 3,829 4,162 4,276 5,201 3,293 3,809 3,958 5,058 3,921 4,273 4,506 5,885 7,392 7,819 7,569 7,808 5,876 6,224 6,465 7,423
2011 7,749 6,098 11,86 8,166 8,778 5,462 5,286 6,186 8,018 7,744
Tabel 1.2 menunjukkan PDRB perkapita atas dasar harga konstan Kabupaten Tabanan berada diperingkat keenam dari 9 Kabupaten/Kota se-Bali atau di atas Kabupaten Buleleng, Bangli, dan Karangasem pada tahun 19982010. Namun pada tahun 2011 Kabupaten Tabanan menduduki peringkat ketujuh dengan nilai 6,098 persen karena Kabupaten Buleleng berhasil menduduki peringkat keenam dengan nilai 6,186 persen. Menurut Affandi (2009) dengan tingginya harapan hidup di suatu daerah akan dapat meningkatkan PDRB perkapita daerah tersebut, karena ketika angka harapan hidup di suatu daerah tersebut tinggi maka akan banyak tenaga kerja yang berasal dari penduduk lanjut usia yang menghasilkan pendapatan yang menambah jumlah PDRB perkapita daerah tersebut. Selain itu dengan meningkatnya PDRB perkapita suatu daerah kualitas kesehatan di daerah tersebut akan semakin baik. Hubungan antara PDRB
dengan angka harapan hidup sangatlah erat. Nilai angka harapan hidup yang semakin meningkat setiap tahunnya di Kabupaten Tabanan seharusnya dapat menempatkan Kabupaten Tabanan pada peringkat yang lebih tinggi setiap tahunnya, karena banyak tenaga dari penduduk lanjut usia yang masih mampu untuk berkontribusi dalam menambah PDRB perkapita di Kabupaten Tabanan. Nilai angka harapan hidup yang tinggi, membuat Kabupaten Tabanan memiliki banyak penduduk lanjut usia yang sehat masih mampu bekerja terutama di sektor pertanian yang mayoritas pekerjanya berasal dari penduduk berusia lanjut. Berdasarkan fakta tersebut, seharusnya tambahan pendapatan sektor pertanian mampu membuat PDRB Kabupaten Tabanan meningkat. Tabel 1.3 PDRB Kabupaten Tabanan Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) Tahun 2009-2013 (Juta Rupiah) Sektor Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, Restoran
2009 875.467 7.591 156.182 21.336 88.317
2010 901.911 7.959 164.316 23.502 93.332
Tahun 2011 924.419 8.762 168.006 25.561 99.857
502.426
536.995
577.747
2012 2013 951.827 1.001.658 9.810 10.653 181.088 194.180 27.838 30.274 108.488 113.435 622.701
636.048
Angkutan/Komunikasi 135.202 141.959 147.818 158.398 166.062 Bank/Keuangan/Perusahaan 140.861 157.346 170.199 182.010 195.040 Umum Jasa 415.329 448.396 497.318 532.236 594.470 Total 2.342.711 2.475.716 2.619.688 2.774.394 2.941.821
Sumber: BPS Kabupaten Tabanan, 2014
Pada Tabel 1.3 menunjukkan PDRB Kabupaten Tabanan Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) pada tahun 2009-2013. Kontribusi yang cukup signifikan membangun perekonomian Kabupaten Tabanan berasal dari sektor pertanian yaitu sebesar Rp 1.001.658.000,00 pada tahun 2013. Angka ini jauh meningkat dari angka sebelumnya pada tahun 2012 sebesar Rp 951.827.000,00. Sektor pertanian memberikan peranan yang sangat besar terhadap peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Tabanan, karena mayoritas penduduk di Kabupaten Tabanan masih bekerja sebagai petani dan lahan persawahan di Kabupaten Tabanan masih sangat banyak ditemui. Tidak hanya sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel, restoran, dan jasa juga memiliki nilai yang besar untuk meningkatkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Daerah Tabanan. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran memiliki
nilai
PDRB per kapita
atas dasar harga konstan sebesar
Rp.636.048.000,00 pada tahun 2013. Sektor jasa pada tahun 2013 memiliki nilai PDRB per kapita atas dasar harga konstan sebesar Rp.594.470.000,00. Semua sektor yang ada di Kabupaten Tabanan mengalami peningkatan yang cukup signifikan setiap tahunnya sehingga pendapatan Kabupaten Tabanan meningkat setiap tahunnya.
Tabel 1.4 Jumlah Penduduk Kabupaten Tabanan Per Kecamatan Pada Tahun 2009-2010 (Orang) Kecamatan Selemadeg Kerambitan Tabanan Kediri Marga Baturiti Penebel Pupuan Selemadeg Barat Selemadeg Timur Jumlah Total
Tahun 2010 2009 19.520 21.057 38.250 39.361 72.860 63.169 89.580 67.829 41.280 43.231 47.610 50.845 44.520 49.640 38.830 40.484 19.200 22.176 21.380 24.008 421.800 433.300
Sumber : Tabanan Dalam Angka, 2010 Tabel 1.4 menunjukkan jumlah penduduk di Kabupaten Tabanan per kecamatan pada tahun 2009 dan 2010. Tabel ini menggambarkan kecenderungan peningkatan jumlah penduduk. Kecamatan Kediri menduduki urutan pertama jumlah penduduk terbanyak di Kabupaten Tabanan yakni sebesar 89.580 orang pada tahun 2010 sehingga pada penelitian ini Kecamatan Kediri dijadikan sebagai sampel penelitian. Kecamatan Kediri mengalami peningkatan jumlah penduduk yang cukup besar pada tahun 2010 yakni sebesar 21.751 orang dari jumlah penduduknya sebelumnya pada tahun 2009 sebesar 67.829 orang. Beberapa kecamatan di Kabupaten Tabanan mengalami penurunan jumlah penduduk, antara lain Kecamatan Selemadeg, Kecamatan Kerambitan, Kecamatan Marga, Kecamatan Baturiti, Kecamatan Penebel, Kecamatan Pupuan,
Kecamatan Selemadeg Barat, dan Kecamatan Selemadeg Timur. Penurunan jumlah penduduk di beberapa kecamatan dikarenakan migrasi penduduk ke Kota Denpasar untuk meningkatkan kondisi ekonominya. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi penduduk lansia berpartisipasi dalam kegiatan produktif, terutama faktor sosial demografi dan sosial ekonomi dari lansia tersebut. Rimbawan (2008) mengemukakan bahwa lansia yang bekerja paling banyak terserap pada lapangan usaha pertanian. Lansia bekerja baik di perdesaan maupun perkotaan, sektor ini merupakan sektor penyerap pekerja lansia dengan proporsi terbesar dibandingkan sektor-sektor lainnya. Menurut Rimbawan (2008) pola status perkawinan penduduk lanjut usia laki-laki berbeda dengan perempuan. Lansia perempuan lebih banyak berstatus cerai mati, sedangkan lansia laki-laki lebih banyak berstatus kawin. Status cerai mati menyebabkan lansia perempuan tersebut kehilangan penopang ekonomi keluarga, karena secara umum dalam suatu rumah tangga yang bertindak sebagai kepala keluarga dan sekaligus juga sebagai penopang ekonomi keluarga adalah pihak suami. Kehilangan penopang ekonomi keluarga mengakibatkan lansia perempuan tersebut terpaksa bekerja untuk dapat bertahan hidup memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Penduduk lanjut usia yang memiliki status perkawinan tidak kawin atau cerai memiliki jam kerja yang lebih panjang dibandingkan dengan penduduk lanjut usia dengan status kawin. Beberapa perusahaan memberikan tunjangan hari tua kepada beberapa pegawai yang nantinya akan mengalami masa pensiun. Tunjangan hari tua
diberikan kepada mereka yang bekerja di sektor formal. Lansia yang bekerja di sektor formal memperoleh tunjangan hari tua lebih dari Rp 500.000,00 per bulan disesuaikan dengan masa kerja dan jabatan terakhir. Berbeda dengan lansia yang bekerja di sektor informal, mereka memiliki pendapatan sebagian besar kurang dari Rp 150.000,00 per bulannya (Andini, Nilakusmawati, dan Susilawati, 2013). Usia seseorang sudah tentu akan bertambah setiap tahunnya. Menurut Rinajumita
(2011),
peningkatan
usia
membuat
semakin
berkurangnya
kemampuan penduduk lanjut usia dalam beraktifitas sehari-hari. Meningkatnya usia maka secara alamiah akan terjadi penurunan kemampuan fungsi untuk merawat diri sendiri maupun berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya, dan akan semakin bergantung pada orang lain. Penduduk lanjut usia laki-laki memiliki tingkat ketergantungan lebih besar dibandingkan wanita, dan ini akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini dipengaruhi oleh tradisi daerah setempat, dimana laki-laki hanya bertugas mencari uang sedangkan untuk pekerjaan yang menyangkut mengurus rumah dan keluarga adalah tanggung jawab istri sebagai ibu rumah tangga. Kehidupan dalam susunan keluarga (family living arrangement) dapat dilihat bahwa wanita lebih banyak yang mandiri. Dapat dilihat dalam masyarakat bahwa lebih banyak wanita yang ditinggalkan suaminya, yang dapat membesarkan anak-anaknya hingga sukses atau mampu mencari nafkah sendiri. Kebanyakan penduduk lanjut usia laki-laki yang tidak
mandiri terjadi karena lansia laki-laki yang tidak terbiasa dengan pekerjaan rumah (Rinajumita, 2011). Menurut Affandi (2009) lansia yang mencapai tingkat pendidikan tinggi umumnya adalah mereka yang dulunya mempunyai pekerjaan yang baik, sehingga sekarang pada masa tuanya mereka tidak perlu lagi bekerja karena sudah mampu menghidupi dirinya sendiri atau dengan keluarganya, tanpa harus bekerja. Mereka yang bekerja di sektor formal umumnya mendapat jaminan hari tua berupa uang pensiun. Penduduk lansia yang berpendidikan tinggi dan pada saat lansia masih bekerja, umumnya mereka merupakan lansia yang masih dibutuhkan “kemampuan atau kepandaiannya” atau sumbangan pikirannya. Lansia yang berpendidikan rendah, mereka terpaksa harus bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan saat itu saja, tanpa memikirkan adanya jaminan hari tua. Secara keseluruhan, tingkat pendidikan lansia umumnya rendah, seperti halnya kondisi pendidikan penduduk Indonesia pada umumnya. Kondisi demikian sangat dimaklumi mengingat kebanyakan lansia pada waktu mereka berada pada saat usia sekolah, mereka hidup dalam jaman penjajahan atau jaman perang, dan besar kemungkinan bahwa hanya sedikit dari mereka harus ikut perang, selain itu juga sarana pendidikan masih sangat terbatas dibanding sekarang. Penduduk lanjut usia yang bekerja umumnya ditunjang dengan kondisi kesehatannya, yang memungkinkan lansia tersebut untuk bekerja (Affandi, 2009). Menurut Rinajumita (2011) dengan kesehatan yang baik lansia bisa melakukan aktivitas apa saja dalam kehidupannya sehari-hari seperti mengurus
dirinya sendiri, bekerja dan rekreasi. Kondisi kesehatan ini diperoleh berdasarkan keluhan-keluhan umum lansia yang dirasakan seperti, gangguan penglihatan, nyeri pada sendi dan pinggul, nyeri pinggang atau punggung, mudah lelah, perasaan dingin dan kesemutan pada anggota badan, dan susah tidur. Menurut Adlung (2013) perhitungan pendapatan untuk pekerja lanjut usia diharapkan dapat menjamin keamanan penduduk lanjut usia dalam bekerja atau setidaknya memberikan ijin kepada lansia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan obat-obatan ketika kondisi kesehatan mereka menurun. Perencanaan pelayanan kesehatan dan sosial untuk penduduk lanjut usia yang membutuhkan dukungan tinggi memerlukan proyeksi yang akurat mengenai jumlahnya di masa depan, sehinga nantinya dapat dibuat kebijakan yang sesuai sehingga tidak lagi menjadi penghambat dalam pembangunan (Falkingham et al, 2010). Penduduk lanjut usia yang berkeluarga biasanya memiliki tanggungan dalam keluarga, yakni tanggungan untuk anak dan cucu. Semakin banyak penduduk lanjut usia memiliki tanggungan keluarga semakin besar kemungkinan untuk bekerja. Menurut Andini, Nilakusmawati, dan Susilawati (2013) penduduk lanjut usia yang tidak memiliki tanggungan tetapi masih bekerja, mereka memiliki alasan bahwa apabila mereka tidak melakukan aktivitas badan mereka terasa sakit sehingga mereka perlu melakukan aktivitas kerja. Menurut Andini, Nilakusmawati, dan Susilawati (2013) sebagian besar status penduduk lanjut usia adalah sebagai anggota keluarga. Kondisi ini disebabkan oleh sebagian dari mereka memiliki anak-anak yang sudah mandiri.
Memiliki anak-anak yang sudah mandiri penduduk lanjut usia tidak perlu lagi untuk bekerja karena perekonomian keluarganya sudah ditanggung oleh anaknya. Berbagai upaya pemecahan masalah sudah harus segera dipikirkan dan dipertimbangkan agar penduduk lansia tidak menjadi kendala pembangunan, tetapi tetap dapat dipertahankan sebagai modal pembangunan. Meskipun dalam hal ini peran mereka mungkin berbeda dengan peran penduduk muda, mengingat kondisi fisik, mental dan sosial mereka yang sudah banyak mengalami kemunduran. Idealnya lansia yang bekerja mempunyai pekerjaan yang sesuai dengan kondisi fisik dan mental serta bagi lansia yang tidak bekerja diharapkan kesejahteraan mereka juga masih tetap mendapat perhatian. Kondisi seperti ini dapat terwujud dengan baik, maka berbagai pandangan bahwa lansia bergantung kepada bagian penduduk yang lain dalam pemenuhan kebutuhan dapat dikurangi (Affandi, 2009). 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini diantaranya : 1. Bagaimana pengaruh variabel sosial demografi terhadap keputusan penduduk lanjut usia memilih untuk bekerja di Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan secara bersama-sama? 2. Bagaimana pengaruh variabel sosial demografi terhadap keputusan penduduk lanjut usia memilih untuk bekerja di Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan secara parsial?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini diantaranya : 1. Untuk menganalisis pengaruh variabel sosial demografi terhadap keputusan penduduk lanjut usia memilih untuk bekerja di Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan secara bersama-sama. 2. Untuk menganalisis pengaruh variabel sosial demografi terhadap keputusan penduduk lanjut usia memilih untuk bekerja di Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan secara parsial. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna bagi : 1
Kegunaan Teoritis Dengan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi guna meningkatkan pengetahuan mahasiswa dan penduduk lanjut usia mengenai ketenagakerjaan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2
Manfaat Praktis Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
sebagai
strategi
pengembangan dan penelitian tentang ketenagakerjaan penduduk lanjut usia di masa mendatang guna memperbaiki masalah-masalah ekonomi kependudukan yang terjadi. 1.5 Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam penelitian ini disusun berdasarkan urutan beberapa bab secara sistematis, sehingga antara bab satu dengan bab lainnya mempunyai hubungan yang erat. Adapun penyajiannya adalah sebagai berikut. Bab I
: Pendahuluan Bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II
: Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian Bab ini menguraikan kajian pustaka dan rumusan hipotesis. Dalam kajian pustaka dibahas mengenai pengertian penduduk lanjut usia, batasan lanjut usia, teori aliran kekayaan, definisi bekerja, status perkawinan, tunjangan, usia, jenis kelamin, pendidikan, kondisi kesehatan, jumlah tanggungan, status dalam keluarga, pengertian sosial demografi, serta rumusan hipotesis.
Bab III
: Metode Penelitian Dalam bab ini diuraikan mengenai desain penelitian, lokasi dan ruang lingkup penelitian, objek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel dan metode pengumpulan sampel, metode pengumpulan data, serta teknik analisis data.
Bab IV
: Data Pembahasan Hasil Penelitian
Dalam bab ini diuraikan gambaran umum lokasi penelitian dan pembahasan hasil penelitian. Bab V
: Simpulan dan Saran Dalam bab ini dikemukakan simpulan-simpulan mengenai hasil pembahasan dan saran-saran yang akan ditujukan sebagai masukan.